Kisruh Pajak Film Kapitalisme di Dunia P
BERMULA DARI CEMBURU
Oleh: syaiful HALIM
N
oorca M. Massardi, juru bicara 21 Cineplex—salah satu
jaringan bioskop terbesar di Indonesia—menulis di salah satu
media online. Noorca menyatakan bahwa Motion Picture
Association tak akan lagi mendistribusikan filmnya di Indonesia. “Film
baru yang sudah masuk tak akan ditayangkan, sedangkan yang
telanjur tayang sewaktu-waktu bisa dicabut. Semuanya, lantaran ada
perbedaan persepsi mengenai pungutan bea masuk hak distribusi
film,” tulisnya.1
Seketika kegemparan mengguncang dunia maya. Saling share
informasi
makin
memanaskan
situasi.
Semuanya
diburu
satu
kekhawatiran bahwa khalayak di Tanah Air tidak bisa lagi menyaksikan
simulasi-simulasi
mengepung
ala
berbagai
Hollywood.
narasumber
Media
untuk
massa
pun
memastikan
ramai-ramai
kebenaran
“bencana” yang bakal dialami budak-budak hedonisme.
Laporan Tempo online berikutnya, perwakilan asosiasi industri
film Amerika Serikat (Motion Picture Association of America/MPA),
produsen film Walt Disney Studios Motion Pictures, Sony Pictures
Entertainment Inc., Twentieth Century Fox Film Corporation, dan
Warner Bros Entertainment Inc, menemui Direktur Teknis Kepabeanan
Heri
Kristiono.
Heri
mengundang
para
juragan
film
itu
untuk
membahas rencana tambahan pungutan bea masuk dan pajak bagi
film impor. Bersama timnya, Heri diberondong pertanyaan tentang
aturan main perpajakan dan kepabeanan. Tetamu berkeras bahwa bea
atas royalti (bagi hasil) yang dibayar importir dari hasil pemutaran film
1
Tempo Online. 28 Februari 2011. Sengkarut Royalti Film Hollywood. Jakarta.
1|syaiful HALIM
asing itu tak lazim di dunia internasional. Sebaliknya Heri berkukuh
aturan ini sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan aturan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dua jam berdebat, tak ada
kesepakatan. Ujung-ujungnya salah satu dari mereka mengancam.
"Ada kemungkinan kami menyetop distribusi film ke Indonesia," ujar
Heri menirukan. 2
J
auh sebelum kasus itu terjadi, pada 10 Februari 2010 lalu, Deddy
Mizwar, Rudy Sanyoto, dan Ukus Kuswara, menemui Anggito
Abimanyu-saat
Kementerian
itu
Kepala
Keuangan.
Badan
Mereka
Kebijakan
adalah
Fiskal-di
rombongan
dari
Kantor
Badan
Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Deddy menjabat sebagai
ketua, Rudy merupakan wakil, dan Ukus yang juga Direktur Perfilman
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi sekretaris. Deddy
dan kawan-kawan menyodorkan hasil kajian BP2N kepada Anggito.
Kajian itu menunjukkan pajak produksi film nasional jauh lebih tinggi
ketimbang film impor. Perbandingannya bisa lima kali lipat lebih.
Menurut Rudy, selama ini importir tak memasukkan nilai royalti
yang disetorkan ke produsen film asing. Akibatnya, bea masuk atau
perpajakan dalam rangka impor lain sangat rendah. Jika perhitungan
nilai royalti dihitung secara benar, kewajiban bea masuk film impor
bisa sepuluh kali lipat dari yang selama ini dibayar importir.
Sejak pertemuan itu,
BP2N intensif menanyakan respons
pemerintah atas hasil kajian tadi. Empat bulan kemudian, Badan
Kebijakan Fiskal menyurati Direktorat Jenderal Bea dan Cukai agar nilai
pabean
film
impor
ditetapkan
sesuai
dengan
Undang-Undang
Kepabeanan. Tak butuh waktu lama, Juli 2010, Dirjen itu menggeber
2
Ibid.
2|syaiful HALIM
audit kepatuhan penerapan bea masuk impor film periode 2008-2010.
Dan hasilnya, PT Camila Internusa Film, salah satu importir dan
distributor film di bawah bendera Grup 21, bolak-balik dipanggil ke
Rawamangun. Akhir tahun lalu audit tuntas.
Dari pemeriksaan diketahui bahwa proses bisnis impor film
bermula dari importir membeli hak edar dari studio film—produsen film
di
luar
negeri,
misalnya
di
Hollywood.
Lalu
studio
meminta
laboratorium mencetak filmnya buat importir. Cetakan film dikirim ke
Indonesia dengan harga US$ 0,43 per meter—rata-rata satu rol film
panjangnya 3.000 meter. Harga pembelian cetak film ini diklaim
importir sebagai nilai barang yang akan kena bea masuk 10 persen,
pajak
pertambahan
nilai
impor
barang
10
persen,
dan
pajak
penghasilan 2,5 persen.
Setelah film asing diputar di Indonesia, importir membayar
royalti kepada produsen film di luar negeri tadi. "Royalti ini tak pernah
dilaporkan importir," ujar Heri. “Padahal, sesuai dengan UndangUndang Kepabeanan 2006, royalti barang impor diperhitungkan
sebagai komponen nilai pabean alias wajib dikenai bea atau pungutan.
Kami meminta importir menambahkannya agar bea atas royalti film
bisa dihitung. Tapi mereka menolak."
Direktur
Jenderal
Bea
dan
Cukai
Thomas
Sugijata
memperkirakan, pungutan atas royalti film impor selama dua tahun
terakhir yang belum dibayar sekitar Rp 30 miliar dari 1.759 judul film.
Lalu mengapa baru sekarang diterapkan?
"Sejak 1995, kepabeanan menggunakan metode perhitungan
sendiri (self-assessment). Maksudnya, importir menghitung sendiri
komponen dan nilai bea yang akan dikenakan,” jelas Thomas.
3|syaiful HALIM
Bos Grup 21 Harris Lesmana membantah tuduhan bahwa
perusahaannya
melanggar
aturan
perpajakan,
apalagi
sengaja
menutup-nutupi royalti agar tak dikenai bea masuk. Justru, katanya,
produsen film anggota Motion Picture Association menilai aturan
Organisasi Perdagangan Dunia tak memperhitungkan royalti atas
pendistribusian film. Negara lain yang juga mengimpor film dari
Hollywood, katanya, tak pernah menerapkan bea atas royalti.
Menurut Harris, sebagai satu-satunya pemegang hak distribusi
film Hollywood, Grup 21 tak bisa memaksa asosiasi tetap memasok
film ke Indonesia. Apalagi jika Grup 21 dianggap sengaja berkomplot
tak mengimpor film sebagai protes kepada pemerintah. Aroma
persaingan bisnis tercium dari ribut-ribut ancaman penghentian
peredaran film Hollywood ini. Terasa ada saling sikut di antara pemain
bisnis perfilman.
Bukan rahasia lagi, jaringan bioskop di Indonesia dikuasai Grup
21. Dulu grup ini ditukangi Sudwikatmono, adik sepupu mantan
presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup Subentra). Belakangan
Sudwikatmono "menarik diri". Sekarang Grup 21 dioperasikan Harris
Lesmana dan Benny. Grup 21 menguasai jalur distribusi dari enam
produsen film atau studio utama anggota Motion Picture Association.
Perusahaan importir Grup 21, di antaranya Camila yang dipimpin
Harris, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film.
Amero khusus merambah film Amerika non-MPA. Tak hanya itu, Grup
21 juga mengendalikan jaringan bioskop lewat PT Nusantara Sejahtera
Raya.
Jangan
heran
bila
importir
film
dari
Grup
21
berani
"mengancam" menghentikan peredaran film Hollywood.
Dominasi Grup 21 di jagat pendistribusian film inilah yang diduga
memancing kisruh. Menguasai 130 bioskop dari total 178 bioskop di
Indonesia, grup ini dituding menghambat kiprah film nasional dengan
4|syaiful HALIM
gelontoran film impor. Tahun lalu, Rudy Sanyoto mencatat 144 judul
dari 207 film asing berasal dari Amerika Serikat. Sedangkan film
nasional hanya 77 judul. "Sebagian besar dari studio Motion Picture
Association. Bagaimana film nasional bisa bersaing dapat tempat?"
B
erdasarkan
laporan
TEMPO
online
di
atas,
Penulis
mengindentifikasikan masalah kisruh pajak film impor sebagai
berikut:
-
Kajian BP2N menunjukkan bahwa pajak produksi film nasional
jauh lebih tinggi ketimbang film impor, karena importir tidak
membayar komponen royalti kepada produsen film.
-
Pemerintah melalui Dirjen Bea dan Cukai mempertanyakan
kewajiban para importir sesuai Undang-Undang bahwa royalti
barang impor diperhitungkan sebagai komponen nilai pabean
alias wajib dikenai bea atau pungutan—pungutan atas royalti film
impor selama dua tahun terakhir yang belum dibayar sekitar Rp
30 miliar dari 1.759 judul film.
-
Melalui perwakilan distributor Hollywood, para importir balik
menggertak untuk tidak memasukkan film asing. Ini bisa
dilakukan, bisa jadi, karena mereka menguasai jalur distribusi
dari enam produsen film atau studio utama anggota Motion
Picture Association (144 judul dari 207 film asing dari Amerika
Serikat) dan mengendalikan jaringan bioskop (menguasai 130
bioskop dari total 178 bioskop di Indonesia).
Maka, gong pembuka atas terkuaknya kisruh pajak film impor
adalah kecemburuan para produsen film lokal atas keleluasaan para
importir
menghadirkan
5|syaiful HALIM
film
impor
seraya
menikmati
berbagai
keringannya. Dalam bingkai idealis, alasan kecemburuaan itu bisa
dikaitkan dengan kekhawatiran nasib film nasional yang tidak pernah
menjadi ruan rumah di negeri sendiri dan berbagai alasan lain. Di balik
itu semua, harus diakui bahwa kisruh ini makin memperlihatkan deret
panjang kekisruhan perfilman di Tanah Air.
Bila kasus kisruh pajak film impor dianggap klimak atas seluruh
konflik perfilman, menurut Penulis, merupakan kesimpulan yang
tergesa-gesa. Pembahasan di halaman berikut akan menjelaskan
berbagai sudut pandang menyangkut kisruh itu, serta sedapat
mungkin membongkar benang kusut permasalahan yang semakin
kronis itu.[]
6|syaiful HALIM
KISRUH DARI SONONYA
W
artawan senior JB Wahyudi dalam buku Nonton Film
Nonton Indonesia mengurai data menarik soal peredaran
film impor dan film nasional di Tanah Air. Bahwa sepanjang
1969-1970, 751 film impor dan 11 film nasional lolos sensor, serta
diputar di 600 bioskop. Lantas pada 1976, 620 film—sebaian besar film
impor—lolos sensor dan diputar di 1025 bisokop. Saat itu, paling ada
200 pengedar, meliputi 72 pengedar pusat dan 114 pengedar daerah,
serta
importir
sebanyak
54
orang.
Pendistribusian
film
impor
diserahkan kepada pengedar.3
Kondisi itu memberikan gambaran bahwa kuantitas film impor
dibandingkan film nasional tidak pernah sebanding alias jomplang. Film
impor sejak dulu menjadi tuan rumah dan menguasai pangsa pasar di
Tanah Air, sekaligus menggilas kreativitas para sineas dalam negeri.
Situasi itu juga memaksa munculnya Golun-Globus (produser film-film
kacangan di Hollywood) lokal yang ramai-ramai memproduksi film
berselera rendah (seks dan kekerasan) demi meraih penonton dan
bertahan di bioskop (kelas bawah). Di sisi lain, para importir harus
bersaing
ketat
untuk
mendatangkan
film-film
box
office
demi
memanjakan pada pengedar pusat dan daerah—raja-raja kecil di
bidang perfilman.
Banyaknya raja-raja
peredaran
3
film
di
Tanah
kecil itu menjadi penyebab ruwetnya
Air.
Karena
mereka
bertempur
dan
Kristianto, JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia, Hlm. 355. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
7|syaiful HALIM
menghalalkan segala cara demi meraih pundi-pundi keuntungan.
Situasi itu diperparah dengan adanya sistem “jual-beli” untuk waktu
dan wilayah tertentu lantaran pengedar tidak memiliki modal yang
memadai untuk membuat jaringan bioskop. 4 Tidak ada monopoli,
namun tidak ada pengedar yang kuat juga. Namun situasi bisnis yang
tidak sehat itu memaksa tumbuhnya hukum rimba—dengan sistem
pemasaran dan peredaran yang sudah pasti tidak sehat. Hal itu
dibuktikan dengan cara transaksi yang didasarkan kepercayaan dan
sistem jual-beli, tapi penerapan sistem bagi hasil yang memungkinkan
semua pihak meraih keuntungan. Termasuk, pemerintah denganb
perolehan yang tidak dimanipulatif melalui sektor pajak.
Beranjak ke era 2004, semarak kepemilikan bioskop mulai
bergeser. Sejak 1987/1988, khalayak mulai mengenal bioskop dengan
sejumlah studio dan masing-masing dengan judul film tertentu. Studio
21—secara tidak resmi—mengukuhkan diri sebagai raja bioskop
(sekaligus importir) teranyar yang menguasai sekitar 400 layar (paling
tidak di 100 bioskop).5 Keberadaan jaringan bioskop inilah yang
menggilas bioskop-bioskop di berbagai kelas dan di berbagai kota.
Tidak perlu heran, karena grup yang ditukangi Sudwikatmono, adik
sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup
Subentra), itu menguasai jalur distribusi dari enam produsen film atau
studio utama anggota Motion Picture Association dan mengendalikan
jaringan.
Bila pada era 70-an, pemerintah, produser film, importir,
pengedar, dan pemilik bioskop, saling berebut uang tiket dengan
kebijakan pasar yang cenderung liberal. Pemerintah menjadi “wasit”
dan
melepaskan
situasi
pasar
kepada
alam
persaingan,
tanpa
mengindahkan nasib film nasional yang belum siap bertarung. Pada
4
5
Ibid.
Ibid, Hlm. 363.
8|syaiful HALIM
akhirnya, pihak yang harus menerima kekalahan itu adalah film
nasional.
Hal
itu
ditandai
dengan
jumlah
produksi
yang
tidak
meningkat dan kualitas film yang jauh dari bermutu. Bahkan, Festival
Film Indonesia yang pernah cukup berjaya di masanya sempat terhenti
lantaran tidak ada produser di Tanah Air yang memproduksi film.
Maka pada era 2000-an, kehadiran bisnis Grup 21 menghadirkan
aroma baru dalam bisnis film di Tanah Air. Kekuatan modal dan
kepintaran membaca tren—ditandai dengan pembangunan studiostudio yang lebih kecil, tata gambar dan suara yang lebih canggih,
atmosfir ruangan lebih nyaman, dan film-film lebih anyar. Khalayak
menjadi
sangat
dimanja
dan
memiliki
banyak
pilihan
untuk
menyalurkan minatnya menikmati dunia simulasi. Wangi monopoli
tidak bisa dipungkiri ikut “membunuh” importir-importir dengan modal
dan relasi pas-pasan, pengedar-pengedar dengan modal dan relasi
pas-pasan, dan pemilik bioskop dengan modal dan relasi pas-pasan.
Serta sudah pasti, produser-produser film di Tanah Air.
U
paya bertahan para pemain di industri film itu, menurut teori
ekologi
media,
berupaya
dipadang
sebagai
mempertahankan
makhluk
hidup
kehidupan.
yang
Untuk
mempertahankan kehidupan, media membutuhkan sumber-sumber
kehidupan, yakni isi (content), khalayak (audiences), dan iklan
(capital). Media saling berkompetisi memperebutkan sumber-sumber
kehidupan itu.6
Film termasuk dalam kategori spesialis dalam perspektif ekologi
media—kategori lain adalah generalis seperti ditunjukkan RCTI, SCTV,
6
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi, Hlm. 18-19. Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia.
9|syaiful HALIM
dan sejumlah stasiun televisi swasta lain. 7 Untuk memperpanjang
kegiatan bisnisnya, film sangat bergantung pada isi dan khalayak.
Kalaupun ada unsur iklan, jumlahnya relatif kecil. Pemasukan terbesar
bisnis film adalah tiket penonton. Dan dalam upaya menggaet
penonton, film harus bersaing melawan media lain, terutama televisi,
dan keping-keping DVD (terutama bajakan) yang saat dijual bebas dan
relative murah.
Persaingan bisnis ini cenderung antarstudio di bioskop itu sendiri,
dan bukan dengan bioskop-bioskop tunggal yang cenderung telah lama
kolaps. Persaingan di antara importir juga tidak terjadi, karena
sejumlah importir itu cenderung mengerucut ke satu kepemilikan.
Monopoli. Grup 21 menjadi penguasa untuk mendapatkan dan
mengedarkan film impor, bahkan memutarkanya di bioskop-bioskop 21
yang dikelolanya. Dari hulu ke hilir, bisnis film ini mutlak menjadi
penguasaan penuh kelompok ini. Kalaupun ada pemain baru dalam
pengelolaan bioskop (Grup Blitz), jumlahnya relatif kecil dan kaitannya
pun masih kuat dengan para importir raksasa di Tanah Air.
Menurut JB Wahyudi, kekuasaan Grup 21 selama 20 tahun ini
membuat membuat mereka bisa “berunding” dengan pemerintah,
termasuk dalam penentuan bea masuk seperti yang sampai sekarang
berlaku 43 sen dolar per meter untuk film Amerika-Eropa, dan 35 sen
dollar untuk film Asia, Australia, Selandia Baru. Dari mana angka itu
didapat? Tidak jelas.
Para importir tidak pernah mau membuka harga kontrak jual-beli
film mereka yang konon berkisar antara 5.000 dollar hingga 1 juta
dolar. Padahal, penentuan bea masuk seharusnya didasarkan dari
harga kontrak jual-beli tadi. Dan sewaktu mengajukan permintaan
impor film importir sebenarnya diharuskan melampirkan kontrak jual7
Ibid, Hlm. 19.
10 | s y a i f u l H A L I M
beli. Hal yang tak pernah dilakukan. Biasanya, importir hanya
melampirkan “pernyataan” sudah mengikat kontrak dengan pihak luar
negeri tanpa menyebutkan ”harga”.
Lalu kenapa mereka berteriak-teriak ketika diberlakukan pajak
royalti? Dan kenapa yang berteriak hanya MPA, dan bukan puluhan
produser film AS yang dikategorikan sebagai produser independen?
Kembali ke soal ekologi media. Konsentrasi kepemilikan media
bisa mengurangi derajat persaingan di antara media. 8 Kenyataan itulah
yang terjadi di ranah bisnis film. Bila dulu banyak pemain yang terjun
di bisnis ini, maka sekarang hanya beberapa pemain yang tergabung
dalam kelompok bisnis yang sama. Pebisnis masa ini dengan langkah
pasti membidik kalangan menengah ke atas sebagai target khalayak,
sekaligus membiarkan segmen di bawahnya untuk menikmati film-film
layar lebar di televisi![]
8
Ibid, Hlm. 21.
11 | s y a i f u l H A L I M
KAPITALISME, BIANG SEMUA KISRUH
K
apitalisme adalah sistem ekonomi yang mengizinkan individu
atau korporasi bisnis (bukan pemerintah, publik, atau negara)
memiliki
dan
mengontrol
sumber-sumber
kekayaan
atau
capital negara. Menurut teori ini, individu atau perusahaan bebas
berkompetisi
untuk
memperoleh
keuntungan
sebesar-besarnya,
misalnya melalui harga, promosi, dan lain-lain. Industri media dimiliki
swasta,
industri
media
bebas
berkompetisi
untuk
memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya.9
Seperti sudah dipaparkan pada bab terdahulu bahwa jaringan
bioskop di Indonesia dikuasai Grup 21. Dulu grup ini ditukangi
Sudwikatmono, adik sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny
Suherman (Grup Subentra).10 Kedekatan Sudwikatmono dengan para
petinggi di negara ini dan kepemilikan modal yang sangat memadai
harus diakui menjadi bekal untuk mengusai kisruh peredaran film di
Tanah Air.
Menurut JB Wahyudi, sejarah impor film sepanjang zaman Orde
Baru adalah kisah pungli, bagi-bagi lisensi, pemerasan dan lain
sebagainya. Setiap Menteri Penerangan selalu mencari cara untuk
memeras sapi perahan—yang bernama importir film itu—atas nama
“mengembangkan perfilman nasional”. Tanpa disadari perlakuan tadi
membuat
si
sapi
menumbuhkan
kekuatan
tersendiri.
Untuk
memudahkan “pengaturan”, maka monopoli impor diberikan kepada
9
10
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi, Hlm. 22. Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia.
Tempo Online. 28 Februari 2011. Sengkarut Royalti Film Hollywood. Jakarta.
12 | s y a i f u l H A L I M
PT Suptan Film—awal dari “kerajaan” yang sekarang dikenal sebagai
Grup 21. Kelompok ini praktis “memonopoli” peredaran film dengan
jaringan bioskopnya yang tak tertandingi, tapi juga “memiliki” tiga
usaha impor film: Camila Internusa Film, Satrya Perkasa Esthetika Film,
dan Amero Mitra Film yang lagi-lagi ‘memonopoli’ impor film.
Dari 180 film yang diimpor selama 2010, ketiga perusahaan itu
memasukkan 119 film yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika.
Importir yang banyak memasukkan film lainnya adalah Parkit Film yang
sebagian besar impornya berasal dari India (36 film). Sisanya: importer
“kecil”: Teguh Bakti Mandiri (11 film—semua Mandarin), Rapi Films (3
film) yang boleh dibilang di bawah ‘naungan’ Grup 21. Satu importer
lain, Jive Entertainment (10 film) merupakan organ impor film jaringan
bioskop Blitz. Ada satu lagi importir yang memasukkan satu film pada
2010, tidak perlu dihitung, karena boleh dikategorikan ‘tidak aktif’. Jadi
hanya ada tujuh importir yang aktif. Tidak jelas berapa jumlah importir
yang sekarang tergabung dalam Ikatan Perusahaan Film Impor
Indonesia (Ikapifi).
Raja-raja kecil yang dulu leluasa bertarung dan cakar-cakaran,
sejak 2000-an harus menahan diri dan menahan nafas. Bahkan, untuk
berkesempatan mendaftar di pertarungan bisnis itu pun tiada daya
upaya lagi. Praktik monopoli—atas nama liberalisme—memang tak
perlu dipungkiri lagi. Kepemilikan modal yang melimpah membuat
kelompok bisnis ini leluasa membangun dan mempetak-petakkan
gedung bioskop lama atau pusat-pusat perbelajaan menjadi studiostudio kecil nan sejuk dan nyaman. Layar yang dulu kusam menjadi
lebih bersih dan menghamparkan kesempurnaan hiperrealitas. Tata
suara yang dulu sayup-sayup di bioskop konvensional disulap menjadi
kian jernih dan menghadirkan sensasi-sensasi nan tak terkira.
13 | s y a i f u l H A L I M
Jamahan kapitalisme itu tak menghiraukan kerinduan para
penonton di kelas pinggiran yang dulu leluasa menikmati film nasional,
film Mandarin, atau film India. Segmentasi khalayak yang dibentuk
adalah dengan social economy status (SES) mapan, pendidikan
menengah ke atas, bermukim di kota-kota besar, dan dengan gaya
hidup yang cenderung hedonisme atau bisa dijadikan budak-budak
kapitalisme. Segmen khalayak ini akan merasa resah dan merasa
kehilangan pegangan ketika tidak bisa menikmati film-film Hollywood
baru. Terlebih lagi yang saat itu menjadi perbicangan di media online
atau dunia pergaulan.
T
ipikal monopoli yang sesungguhnya khas otoritarian dan
komunis justru menjelma dengan sempurna di alam liberal
Indonesia—atas nama persaingan pasar. Kondisi ini mirip
kepemilikan stasiun televisi swasta di Tanah Air saat ini yang
sesungguhnya dalam cengkeraman segelintir pemilik modal. Ketika
teks televisi diuraikan secara rinci menurut medan wacana (field of
discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana
(mode of discourse)—analisis wacana kritis yang dikembangkan
Halliday dan Hassan,11 akan menjelaskan penanda-penanda yang ada
di dalam pesan. Artinya, dari sana akan terjawab juga persoalan
bentuk dan rupa artefak yang dihadirkan dan hegemoni di dalamnya.
Bahwa pada akhirnya teks itu lebih berisikan selera rendah,
ringan, dan mengutamakan unsur hiburan, maka hal itu terkait
positioning yang didesain media itu yang mencoba meraup segmen
pemirsa sebanyak-banyaknya. Dengan rating dan share sebagai acuan
dalam penyusunan agenda. Bahkan, program berita yang mestinya
11
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, Hlm. 148. Bandung. Remaja Rosdakarya.
.
14 | s y a i f u l H A L I M
mengedepankan aspek idealism pun ikut menuhankan rating dan
share, hingga memodifikasi berita-berita agar lebih entertaining.
Media memiliki aspek-aspek dan kepentingan untuk menjalankan
roda usahanya. Khalayak juga sangat berkepentingan untuk mengawal
“aspek-aspek dan kepentingan” itu agar tetap mendapatkan informasi
tentang lingkungannya —bahkan meski dalam keadaan bias. “Watak
kolusif genre—produser dan khalayak punya kepentingan yang saling
menguntungkan dalam menjaga formula bersama-sama—menyeret
perhatian kita pada fakta bahwa konservatisme ideologis dalam berita
adalah sesuatu yang dipersekongkolan khalayak untuk dipelihara,
sama banyaknya dengan sesuatu yang sekadar ditimpakan kepada
pemirsa,” kata Graeme Burton.12
Hubungan sinergis itulah
yang
menjadikan
pesan
media
dibingkai dalam suasana market-based powers atau kekuasaan pasar.
Dalam bahasa lain, di bawah kendali pengusaha media. Situasi ini
menandakan media baru saja beranjak dari fase pengelolaan media
yang secara ketat di bawah kekuasaan Negara (state-based power).
Agus Sudibyo menggambarkan secara kritis fenomena statebased power dalam penyelenggaraan kegiatan penyiaran pada masa
Orde Baru. Persisnya, ketika pemerintah memegang kendali penuh
atas izin frekuensi, izin usaha, dan pengawasan, stasiun-stasiun televisi
yang milik segelintir pengusaha. Memasuki era reformasi, ketika
semangat mengembalikan kepemilikan ranah publik ke publik melalui
Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 membara, sempat
mencercahkan sedikit cahaya public-based power. Belakangan, tambah
Sudibyo, atas dasar kompromi-kompromi para politisi, pemerintah, dan
pengusaha,
perlahan-lahan
public-based
power
bermetamorfosis
menjadi bauran state-based power dan market-based powers. Dalam
12
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada
Studi Televisi, Hlm, 201. Bandung. Jalasutra.
15 | s y a i f u l H A L I M
artian, penguasaan kegiatan penyiaran yang dikendalikan Negara dan
keinginan pasar (baca: pengusaha media).13
Dalam kondisi itu, masalah objektivitas dalam penyajian berita di
televisi pun mulai dipertanyakan. Ketika rating dan share mendapatkan
kesempatan
menjadi
“dewa”,
mungkinkah
media
masih
memperlihatkan rona idealismenya? Dalam pengertian, tetap objektif,
netral, dan independen? Jangan-jangan kondisi ekonomi dan politik
media membentuk format berita menjadi makin tidak objektif? Bahkan,
tidak malu-malu memuat kekerasan simbolis, yakni kekerasan yang
berlangsung dengan persetujuan dari korbannya sejauh mereka tidak
sadar melakukan atau menderitanya—seperti dikemukakan Pierre
Bourdie dalam Sur la Television, Paris: Raison d’Agir.14
Gambaran suram isi televisi yang asli tontonan itu pula yang
membuat film impor yang dihadirkan di Tanah Air dan film-film nasional
di bioskop cenderung sampah. Asli produk industri budaya poipular.
Dan
khas
produk
kapitalisme.
Bahkan,
lebih
jauh
lagi,
akibat
kepemilikan yang cenderung monopoli itu para pebisnis film berani
“menggertak” pemerintah. Padahal, pemerintah memiliki landasan
hukum kuat untuk mendapatkan haknya seraya melindungi industri
film di Tanah Air. Namun, monopoli tersamar—seperti di dunia televisi
—membuat para pemain di bidang tetap tersenyum di tengah terpaan
badai sekuat apa pun. Dan hal ini berbanding terbalik dengan ruang
lingkup regulasi seperti digagas Colin Rowat, yaitu dalam lingkup
ekonomi dan nonekonomi.15 Artinya, tidak ada regulasi yang menjamin
terciptanya kompetisi dan kepemilikan (ekonomi) atau keyakinan isi
memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas (nonekonomi).[]
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media, Hlm.
xxi. Jakarta: Penerbit Kompas.
14
Haryatmoko. 2007. Etika Komunkasi:Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi, Hlm. 31. Jakarta: Penerbit Kanisius.
15
Ks, Usman. Op.cit, Hlm. 27-38.
13
16 | s y a i f u l H A L I M
SEKADAR REFERENSI
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar
Kepada Studi Televisi. Bandung. Jalasutra.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunkasi:Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi, Hlm. 31. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara
Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra.
Kristianto, JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi.
Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Noor, Henry Faizal. 2010. Ekonomi Media. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung.
Remaja Rosdakarya.
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat
Media, Hlm. xxi. Jakarta: Penerbit Kompas.
Tempo Online. 28 Februari 2011. Sengkarut Royalti Film Hollywood. Jakarta.
17 | s y a i f u l H A L I M
18 | s y a i f u l H A L I M
Oleh: syaiful HALIM
N
oorca M. Massardi, juru bicara 21 Cineplex—salah satu
jaringan bioskop terbesar di Indonesia—menulis di salah satu
media online. Noorca menyatakan bahwa Motion Picture
Association tak akan lagi mendistribusikan filmnya di Indonesia. “Film
baru yang sudah masuk tak akan ditayangkan, sedangkan yang
telanjur tayang sewaktu-waktu bisa dicabut. Semuanya, lantaran ada
perbedaan persepsi mengenai pungutan bea masuk hak distribusi
film,” tulisnya.1
Seketika kegemparan mengguncang dunia maya. Saling share
informasi
makin
memanaskan
situasi.
Semuanya
diburu
satu
kekhawatiran bahwa khalayak di Tanah Air tidak bisa lagi menyaksikan
simulasi-simulasi
mengepung
ala
berbagai
Hollywood.
narasumber
Media
untuk
massa
pun
memastikan
ramai-ramai
kebenaran
“bencana” yang bakal dialami budak-budak hedonisme.
Laporan Tempo online berikutnya, perwakilan asosiasi industri
film Amerika Serikat (Motion Picture Association of America/MPA),
produsen film Walt Disney Studios Motion Pictures, Sony Pictures
Entertainment Inc., Twentieth Century Fox Film Corporation, dan
Warner Bros Entertainment Inc, menemui Direktur Teknis Kepabeanan
Heri
Kristiono.
Heri
mengundang
para
juragan
film
itu
untuk
membahas rencana tambahan pungutan bea masuk dan pajak bagi
film impor. Bersama timnya, Heri diberondong pertanyaan tentang
aturan main perpajakan dan kepabeanan. Tetamu berkeras bahwa bea
atas royalti (bagi hasil) yang dibayar importir dari hasil pemutaran film
1
Tempo Online. 28 Februari 2011. Sengkarut Royalti Film Hollywood. Jakarta.
1|syaiful HALIM
asing itu tak lazim di dunia internasional. Sebaliknya Heri berkukuh
aturan ini sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan aturan
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dua jam berdebat, tak ada
kesepakatan. Ujung-ujungnya salah satu dari mereka mengancam.
"Ada kemungkinan kami menyetop distribusi film ke Indonesia," ujar
Heri menirukan. 2
J
auh sebelum kasus itu terjadi, pada 10 Februari 2010 lalu, Deddy
Mizwar, Rudy Sanyoto, dan Ukus Kuswara, menemui Anggito
Abimanyu-saat
Kementerian
itu
Kepala
Keuangan.
Badan
Mereka
Kebijakan
adalah
Fiskal-di
rombongan
dari
Kantor
Badan
Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N). Deddy menjabat sebagai
ketua, Rudy merupakan wakil, dan Ukus yang juga Direktur Perfilman
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menjadi sekretaris. Deddy
dan kawan-kawan menyodorkan hasil kajian BP2N kepada Anggito.
Kajian itu menunjukkan pajak produksi film nasional jauh lebih tinggi
ketimbang film impor. Perbandingannya bisa lima kali lipat lebih.
Menurut Rudy, selama ini importir tak memasukkan nilai royalti
yang disetorkan ke produsen film asing. Akibatnya, bea masuk atau
perpajakan dalam rangka impor lain sangat rendah. Jika perhitungan
nilai royalti dihitung secara benar, kewajiban bea masuk film impor
bisa sepuluh kali lipat dari yang selama ini dibayar importir.
Sejak pertemuan itu,
BP2N intensif menanyakan respons
pemerintah atas hasil kajian tadi. Empat bulan kemudian, Badan
Kebijakan Fiskal menyurati Direktorat Jenderal Bea dan Cukai agar nilai
pabean
film
impor
ditetapkan
sesuai
dengan
Undang-Undang
Kepabeanan. Tak butuh waktu lama, Juli 2010, Dirjen itu menggeber
2
Ibid.
2|syaiful HALIM
audit kepatuhan penerapan bea masuk impor film periode 2008-2010.
Dan hasilnya, PT Camila Internusa Film, salah satu importir dan
distributor film di bawah bendera Grup 21, bolak-balik dipanggil ke
Rawamangun. Akhir tahun lalu audit tuntas.
Dari pemeriksaan diketahui bahwa proses bisnis impor film
bermula dari importir membeli hak edar dari studio film—produsen film
di
luar
negeri,
misalnya
di
Hollywood.
Lalu
studio
meminta
laboratorium mencetak filmnya buat importir. Cetakan film dikirim ke
Indonesia dengan harga US$ 0,43 per meter—rata-rata satu rol film
panjangnya 3.000 meter. Harga pembelian cetak film ini diklaim
importir sebagai nilai barang yang akan kena bea masuk 10 persen,
pajak
pertambahan
nilai
impor
barang
10
persen,
dan
pajak
penghasilan 2,5 persen.
Setelah film asing diputar di Indonesia, importir membayar
royalti kepada produsen film di luar negeri tadi. "Royalti ini tak pernah
dilaporkan importir," ujar Heri. “Padahal, sesuai dengan UndangUndang Kepabeanan 2006, royalti barang impor diperhitungkan
sebagai komponen nilai pabean alias wajib dikenai bea atau pungutan.
Kami meminta importir menambahkannya agar bea atas royalti film
bisa dihitung. Tapi mereka menolak."
Direktur
Jenderal
Bea
dan
Cukai
Thomas
Sugijata
memperkirakan, pungutan atas royalti film impor selama dua tahun
terakhir yang belum dibayar sekitar Rp 30 miliar dari 1.759 judul film.
Lalu mengapa baru sekarang diterapkan?
"Sejak 1995, kepabeanan menggunakan metode perhitungan
sendiri (self-assessment). Maksudnya, importir menghitung sendiri
komponen dan nilai bea yang akan dikenakan,” jelas Thomas.
3|syaiful HALIM
Bos Grup 21 Harris Lesmana membantah tuduhan bahwa
perusahaannya
melanggar
aturan
perpajakan,
apalagi
sengaja
menutup-nutupi royalti agar tak dikenai bea masuk. Justru, katanya,
produsen film anggota Motion Picture Association menilai aturan
Organisasi Perdagangan Dunia tak memperhitungkan royalti atas
pendistribusian film. Negara lain yang juga mengimpor film dari
Hollywood, katanya, tak pernah menerapkan bea atas royalti.
Menurut Harris, sebagai satu-satunya pemegang hak distribusi
film Hollywood, Grup 21 tak bisa memaksa asosiasi tetap memasok
film ke Indonesia. Apalagi jika Grup 21 dianggap sengaja berkomplot
tak mengimpor film sebagai protes kepada pemerintah. Aroma
persaingan bisnis tercium dari ribut-ribut ancaman penghentian
peredaran film Hollywood ini. Terasa ada saling sikut di antara pemain
bisnis perfilman.
Bukan rahasia lagi, jaringan bioskop di Indonesia dikuasai Grup
21. Dulu grup ini ditukangi Sudwikatmono, adik sepupu mantan
presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup Subentra). Belakangan
Sudwikatmono "menarik diri". Sekarang Grup 21 dioperasikan Harris
Lesmana dan Benny. Grup 21 menguasai jalur distribusi dari enam
produsen film atau studio utama anggota Motion Picture Association.
Perusahaan importir Grup 21, di antaranya Camila yang dipimpin
Harris, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film.
Amero khusus merambah film Amerika non-MPA. Tak hanya itu, Grup
21 juga mengendalikan jaringan bioskop lewat PT Nusantara Sejahtera
Raya.
Jangan
heran
bila
importir
film
dari
Grup
21
berani
"mengancam" menghentikan peredaran film Hollywood.
Dominasi Grup 21 di jagat pendistribusian film inilah yang diduga
memancing kisruh. Menguasai 130 bioskop dari total 178 bioskop di
Indonesia, grup ini dituding menghambat kiprah film nasional dengan
4|syaiful HALIM
gelontoran film impor. Tahun lalu, Rudy Sanyoto mencatat 144 judul
dari 207 film asing berasal dari Amerika Serikat. Sedangkan film
nasional hanya 77 judul. "Sebagian besar dari studio Motion Picture
Association. Bagaimana film nasional bisa bersaing dapat tempat?"
B
erdasarkan
laporan
TEMPO
online
di
atas,
Penulis
mengindentifikasikan masalah kisruh pajak film impor sebagai
berikut:
-
Kajian BP2N menunjukkan bahwa pajak produksi film nasional
jauh lebih tinggi ketimbang film impor, karena importir tidak
membayar komponen royalti kepada produsen film.
-
Pemerintah melalui Dirjen Bea dan Cukai mempertanyakan
kewajiban para importir sesuai Undang-Undang bahwa royalti
barang impor diperhitungkan sebagai komponen nilai pabean
alias wajib dikenai bea atau pungutan—pungutan atas royalti film
impor selama dua tahun terakhir yang belum dibayar sekitar Rp
30 miliar dari 1.759 judul film.
-
Melalui perwakilan distributor Hollywood, para importir balik
menggertak untuk tidak memasukkan film asing. Ini bisa
dilakukan, bisa jadi, karena mereka menguasai jalur distribusi
dari enam produsen film atau studio utama anggota Motion
Picture Association (144 judul dari 207 film asing dari Amerika
Serikat) dan mengendalikan jaringan bioskop (menguasai 130
bioskop dari total 178 bioskop di Indonesia).
Maka, gong pembuka atas terkuaknya kisruh pajak film impor
adalah kecemburuan para produsen film lokal atas keleluasaan para
importir
menghadirkan
5|syaiful HALIM
film
impor
seraya
menikmati
berbagai
keringannya. Dalam bingkai idealis, alasan kecemburuaan itu bisa
dikaitkan dengan kekhawatiran nasib film nasional yang tidak pernah
menjadi ruan rumah di negeri sendiri dan berbagai alasan lain. Di balik
itu semua, harus diakui bahwa kisruh ini makin memperlihatkan deret
panjang kekisruhan perfilman di Tanah Air.
Bila kasus kisruh pajak film impor dianggap klimak atas seluruh
konflik perfilman, menurut Penulis, merupakan kesimpulan yang
tergesa-gesa. Pembahasan di halaman berikut akan menjelaskan
berbagai sudut pandang menyangkut kisruh itu, serta sedapat
mungkin membongkar benang kusut permasalahan yang semakin
kronis itu.[]
6|syaiful HALIM
KISRUH DARI SONONYA
W
artawan senior JB Wahyudi dalam buku Nonton Film
Nonton Indonesia mengurai data menarik soal peredaran
film impor dan film nasional di Tanah Air. Bahwa sepanjang
1969-1970, 751 film impor dan 11 film nasional lolos sensor, serta
diputar di 600 bioskop. Lantas pada 1976, 620 film—sebaian besar film
impor—lolos sensor dan diputar di 1025 bisokop. Saat itu, paling ada
200 pengedar, meliputi 72 pengedar pusat dan 114 pengedar daerah,
serta
importir
sebanyak
54
orang.
Pendistribusian
film
impor
diserahkan kepada pengedar.3
Kondisi itu memberikan gambaran bahwa kuantitas film impor
dibandingkan film nasional tidak pernah sebanding alias jomplang. Film
impor sejak dulu menjadi tuan rumah dan menguasai pangsa pasar di
Tanah Air, sekaligus menggilas kreativitas para sineas dalam negeri.
Situasi itu juga memaksa munculnya Golun-Globus (produser film-film
kacangan di Hollywood) lokal yang ramai-ramai memproduksi film
berselera rendah (seks dan kekerasan) demi meraih penonton dan
bertahan di bioskop (kelas bawah). Di sisi lain, para importir harus
bersaing
ketat
untuk
mendatangkan
film-film
box
office
demi
memanjakan pada pengedar pusat dan daerah—raja-raja kecil di
bidang perfilman.
Banyaknya raja-raja
peredaran
3
film
di
Tanah
kecil itu menjadi penyebab ruwetnya
Air.
Karena
mereka
bertempur
dan
Kristianto, JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia, Hlm. 355. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
7|syaiful HALIM
menghalalkan segala cara demi meraih pundi-pundi keuntungan.
Situasi itu diperparah dengan adanya sistem “jual-beli” untuk waktu
dan wilayah tertentu lantaran pengedar tidak memiliki modal yang
memadai untuk membuat jaringan bioskop. 4 Tidak ada monopoli,
namun tidak ada pengedar yang kuat juga. Namun situasi bisnis yang
tidak sehat itu memaksa tumbuhnya hukum rimba—dengan sistem
pemasaran dan peredaran yang sudah pasti tidak sehat. Hal itu
dibuktikan dengan cara transaksi yang didasarkan kepercayaan dan
sistem jual-beli, tapi penerapan sistem bagi hasil yang memungkinkan
semua pihak meraih keuntungan. Termasuk, pemerintah denganb
perolehan yang tidak dimanipulatif melalui sektor pajak.
Beranjak ke era 2004, semarak kepemilikan bioskop mulai
bergeser. Sejak 1987/1988, khalayak mulai mengenal bioskop dengan
sejumlah studio dan masing-masing dengan judul film tertentu. Studio
21—secara tidak resmi—mengukuhkan diri sebagai raja bioskop
(sekaligus importir) teranyar yang menguasai sekitar 400 layar (paling
tidak di 100 bioskop).5 Keberadaan jaringan bioskop inilah yang
menggilas bioskop-bioskop di berbagai kelas dan di berbagai kota.
Tidak perlu heran, karena grup yang ditukangi Sudwikatmono, adik
sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny Suherman (Grup
Subentra), itu menguasai jalur distribusi dari enam produsen film atau
studio utama anggota Motion Picture Association dan mengendalikan
jaringan.
Bila pada era 70-an, pemerintah, produser film, importir,
pengedar, dan pemilik bioskop, saling berebut uang tiket dengan
kebijakan pasar yang cenderung liberal. Pemerintah menjadi “wasit”
dan
melepaskan
situasi
pasar
kepada
alam
persaingan,
tanpa
mengindahkan nasib film nasional yang belum siap bertarung. Pada
4
5
Ibid.
Ibid, Hlm. 363.
8|syaiful HALIM
akhirnya, pihak yang harus menerima kekalahan itu adalah film
nasional.
Hal
itu
ditandai
dengan
jumlah
produksi
yang
tidak
meningkat dan kualitas film yang jauh dari bermutu. Bahkan, Festival
Film Indonesia yang pernah cukup berjaya di masanya sempat terhenti
lantaran tidak ada produser di Tanah Air yang memproduksi film.
Maka pada era 2000-an, kehadiran bisnis Grup 21 menghadirkan
aroma baru dalam bisnis film di Tanah Air. Kekuatan modal dan
kepintaran membaca tren—ditandai dengan pembangunan studiostudio yang lebih kecil, tata gambar dan suara yang lebih canggih,
atmosfir ruangan lebih nyaman, dan film-film lebih anyar. Khalayak
menjadi
sangat
dimanja
dan
memiliki
banyak
pilihan
untuk
menyalurkan minatnya menikmati dunia simulasi. Wangi monopoli
tidak bisa dipungkiri ikut “membunuh” importir-importir dengan modal
dan relasi pas-pasan, pengedar-pengedar dengan modal dan relasi
pas-pasan, dan pemilik bioskop dengan modal dan relasi pas-pasan.
Serta sudah pasti, produser-produser film di Tanah Air.
U
paya bertahan para pemain di industri film itu, menurut teori
ekologi
media,
berupaya
dipadang
sebagai
mempertahankan
makhluk
hidup
kehidupan.
yang
Untuk
mempertahankan kehidupan, media membutuhkan sumber-sumber
kehidupan, yakni isi (content), khalayak (audiences), dan iklan
(capital). Media saling berkompetisi memperebutkan sumber-sumber
kehidupan itu.6
Film termasuk dalam kategori spesialis dalam perspektif ekologi
media—kategori lain adalah generalis seperti ditunjukkan RCTI, SCTV,
6
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi, Hlm. 18-19. Jakarta:
Penerbit Ghalia Indonesia.
9|syaiful HALIM
dan sejumlah stasiun televisi swasta lain. 7 Untuk memperpanjang
kegiatan bisnisnya, film sangat bergantung pada isi dan khalayak.
Kalaupun ada unsur iklan, jumlahnya relatif kecil. Pemasukan terbesar
bisnis film adalah tiket penonton. Dan dalam upaya menggaet
penonton, film harus bersaing melawan media lain, terutama televisi,
dan keping-keping DVD (terutama bajakan) yang saat dijual bebas dan
relative murah.
Persaingan bisnis ini cenderung antarstudio di bioskop itu sendiri,
dan bukan dengan bioskop-bioskop tunggal yang cenderung telah lama
kolaps. Persaingan di antara importir juga tidak terjadi, karena
sejumlah importir itu cenderung mengerucut ke satu kepemilikan.
Monopoli. Grup 21 menjadi penguasa untuk mendapatkan dan
mengedarkan film impor, bahkan memutarkanya di bioskop-bioskop 21
yang dikelolanya. Dari hulu ke hilir, bisnis film ini mutlak menjadi
penguasaan penuh kelompok ini. Kalaupun ada pemain baru dalam
pengelolaan bioskop (Grup Blitz), jumlahnya relatif kecil dan kaitannya
pun masih kuat dengan para importir raksasa di Tanah Air.
Menurut JB Wahyudi, kekuasaan Grup 21 selama 20 tahun ini
membuat membuat mereka bisa “berunding” dengan pemerintah,
termasuk dalam penentuan bea masuk seperti yang sampai sekarang
berlaku 43 sen dolar per meter untuk film Amerika-Eropa, dan 35 sen
dollar untuk film Asia, Australia, Selandia Baru. Dari mana angka itu
didapat? Tidak jelas.
Para importir tidak pernah mau membuka harga kontrak jual-beli
film mereka yang konon berkisar antara 5.000 dollar hingga 1 juta
dolar. Padahal, penentuan bea masuk seharusnya didasarkan dari
harga kontrak jual-beli tadi. Dan sewaktu mengajukan permintaan
impor film importir sebenarnya diharuskan melampirkan kontrak jual7
Ibid, Hlm. 19.
10 | s y a i f u l H A L I M
beli. Hal yang tak pernah dilakukan. Biasanya, importir hanya
melampirkan “pernyataan” sudah mengikat kontrak dengan pihak luar
negeri tanpa menyebutkan ”harga”.
Lalu kenapa mereka berteriak-teriak ketika diberlakukan pajak
royalti? Dan kenapa yang berteriak hanya MPA, dan bukan puluhan
produser film AS yang dikategorikan sebagai produser independen?
Kembali ke soal ekologi media. Konsentrasi kepemilikan media
bisa mengurangi derajat persaingan di antara media. 8 Kenyataan itulah
yang terjadi di ranah bisnis film. Bila dulu banyak pemain yang terjun
di bisnis ini, maka sekarang hanya beberapa pemain yang tergabung
dalam kelompok bisnis yang sama. Pebisnis masa ini dengan langkah
pasti membidik kalangan menengah ke atas sebagai target khalayak,
sekaligus membiarkan segmen di bawahnya untuk menikmati film-film
layar lebar di televisi![]
8
Ibid, Hlm. 21.
11 | s y a i f u l H A L I M
KAPITALISME, BIANG SEMUA KISRUH
K
apitalisme adalah sistem ekonomi yang mengizinkan individu
atau korporasi bisnis (bukan pemerintah, publik, atau negara)
memiliki
dan
mengontrol
sumber-sumber
kekayaan
atau
capital negara. Menurut teori ini, individu atau perusahaan bebas
berkompetisi
untuk
memperoleh
keuntungan
sebesar-besarnya,
misalnya melalui harga, promosi, dan lain-lain. Industri media dimiliki
swasta,
industri
media
bebas
berkompetisi
untuk
memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya.9
Seperti sudah dipaparkan pada bab terdahulu bahwa jaringan
bioskop di Indonesia dikuasai Grup 21. Dulu grup ini ditukangi
Sudwikatmono, adik sepupu mantan presiden Soeharto dan Benny
Suherman (Grup Subentra).10 Kedekatan Sudwikatmono dengan para
petinggi di negara ini dan kepemilikan modal yang sangat memadai
harus diakui menjadi bekal untuk mengusai kisruh peredaran film di
Tanah Air.
Menurut JB Wahyudi, sejarah impor film sepanjang zaman Orde
Baru adalah kisah pungli, bagi-bagi lisensi, pemerasan dan lain
sebagainya. Setiap Menteri Penerangan selalu mencari cara untuk
memeras sapi perahan—yang bernama importir film itu—atas nama
“mengembangkan perfilman nasional”. Tanpa disadari perlakuan tadi
membuat
si
sapi
menumbuhkan
kekuatan
tersendiri.
Untuk
memudahkan “pengaturan”, maka monopoli impor diberikan kepada
9
10
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi, Hlm. 22. Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia.
Tempo Online. 28 Februari 2011. Sengkarut Royalti Film Hollywood. Jakarta.
12 | s y a i f u l H A L I M
PT Suptan Film—awal dari “kerajaan” yang sekarang dikenal sebagai
Grup 21. Kelompok ini praktis “memonopoli” peredaran film dengan
jaringan bioskopnya yang tak tertandingi, tapi juga “memiliki” tiga
usaha impor film: Camila Internusa Film, Satrya Perkasa Esthetika Film,
dan Amero Mitra Film yang lagi-lagi ‘memonopoli’ impor film.
Dari 180 film yang diimpor selama 2010, ketiga perusahaan itu
memasukkan 119 film yang hampir seluruhnya berasal dari Amerika.
Importir yang banyak memasukkan film lainnya adalah Parkit Film yang
sebagian besar impornya berasal dari India (36 film). Sisanya: importer
“kecil”: Teguh Bakti Mandiri (11 film—semua Mandarin), Rapi Films (3
film) yang boleh dibilang di bawah ‘naungan’ Grup 21. Satu importer
lain, Jive Entertainment (10 film) merupakan organ impor film jaringan
bioskop Blitz. Ada satu lagi importir yang memasukkan satu film pada
2010, tidak perlu dihitung, karena boleh dikategorikan ‘tidak aktif’. Jadi
hanya ada tujuh importir yang aktif. Tidak jelas berapa jumlah importir
yang sekarang tergabung dalam Ikatan Perusahaan Film Impor
Indonesia (Ikapifi).
Raja-raja kecil yang dulu leluasa bertarung dan cakar-cakaran,
sejak 2000-an harus menahan diri dan menahan nafas. Bahkan, untuk
berkesempatan mendaftar di pertarungan bisnis itu pun tiada daya
upaya lagi. Praktik monopoli—atas nama liberalisme—memang tak
perlu dipungkiri lagi. Kepemilikan modal yang melimpah membuat
kelompok bisnis ini leluasa membangun dan mempetak-petakkan
gedung bioskop lama atau pusat-pusat perbelajaan menjadi studiostudio kecil nan sejuk dan nyaman. Layar yang dulu kusam menjadi
lebih bersih dan menghamparkan kesempurnaan hiperrealitas. Tata
suara yang dulu sayup-sayup di bioskop konvensional disulap menjadi
kian jernih dan menghadirkan sensasi-sensasi nan tak terkira.
13 | s y a i f u l H A L I M
Jamahan kapitalisme itu tak menghiraukan kerinduan para
penonton di kelas pinggiran yang dulu leluasa menikmati film nasional,
film Mandarin, atau film India. Segmentasi khalayak yang dibentuk
adalah dengan social economy status (SES) mapan, pendidikan
menengah ke atas, bermukim di kota-kota besar, dan dengan gaya
hidup yang cenderung hedonisme atau bisa dijadikan budak-budak
kapitalisme. Segmen khalayak ini akan merasa resah dan merasa
kehilangan pegangan ketika tidak bisa menikmati film-film Hollywood
baru. Terlebih lagi yang saat itu menjadi perbicangan di media online
atau dunia pergaulan.
T
ipikal monopoli yang sesungguhnya khas otoritarian dan
komunis justru menjelma dengan sempurna di alam liberal
Indonesia—atas nama persaingan pasar. Kondisi ini mirip
kepemilikan stasiun televisi swasta di Tanah Air saat ini yang
sesungguhnya dalam cengkeraman segelintir pemilik modal. Ketika
teks televisi diuraikan secara rinci menurut medan wacana (field of
discourse), pelibat wacana (tenor of discourse), dan sarana wacana
(mode of discourse)—analisis wacana kritis yang dikembangkan
Halliday dan Hassan,11 akan menjelaskan penanda-penanda yang ada
di dalam pesan. Artinya, dari sana akan terjawab juga persoalan
bentuk dan rupa artefak yang dihadirkan dan hegemoni di dalamnya.
Bahwa pada akhirnya teks itu lebih berisikan selera rendah,
ringan, dan mengutamakan unsur hiburan, maka hal itu terkait
positioning yang didesain media itu yang mencoba meraup segmen
pemirsa sebanyak-banyaknya. Dengan rating dan share sebagai acuan
dalam penyusunan agenda. Bahkan, program berita yang mestinya
11
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing, Hlm. 148. Bandung. Remaja Rosdakarya.
.
14 | s y a i f u l H A L I M
mengedepankan aspek idealism pun ikut menuhankan rating dan
share, hingga memodifikasi berita-berita agar lebih entertaining.
Media memiliki aspek-aspek dan kepentingan untuk menjalankan
roda usahanya. Khalayak juga sangat berkepentingan untuk mengawal
“aspek-aspek dan kepentingan” itu agar tetap mendapatkan informasi
tentang lingkungannya —bahkan meski dalam keadaan bias. “Watak
kolusif genre—produser dan khalayak punya kepentingan yang saling
menguntungkan dalam menjaga formula bersama-sama—menyeret
perhatian kita pada fakta bahwa konservatisme ideologis dalam berita
adalah sesuatu yang dipersekongkolan khalayak untuk dipelihara,
sama banyaknya dengan sesuatu yang sekadar ditimpakan kepada
pemirsa,” kata Graeme Burton.12
Hubungan sinergis itulah
yang
menjadikan
pesan
media
dibingkai dalam suasana market-based powers atau kekuasaan pasar.
Dalam bahasa lain, di bawah kendali pengusaha media. Situasi ini
menandakan media baru saja beranjak dari fase pengelolaan media
yang secara ketat di bawah kekuasaan Negara (state-based power).
Agus Sudibyo menggambarkan secara kritis fenomena statebased power dalam penyelenggaraan kegiatan penyiaran pada masa
Orde Baru. Persisnya, ketika pemerintah memegang kendali penuh
atas izin frekuensi, izin usaha, dan pengawasan, stasiun-stasiun televisi
yang milik segelintir pengusaha. Memasuki era reformasi, ketika
semangat mengembalikan kepemilikan ranah publik ke publik melalui
Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 membara, sempat
mencercahkan sedikit cahaya public-based power. Belakangan, tambah
Sudibyo, atas dasar kompromi-kompromi para politisi, pemerintah, dan
pengusaha,
perlahan-lahan
public-based
power
bermetamorfosis
menjadi bauran state-based power dan market-based powers. Dalam
12
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar Kepada
Studi Televisi, Hlm, 201. Bandung. Jalasutra.
15 | s y a i f u l H A L I M
artian, penguasaan kegiatan penyiaran yang dikendalikan Negara dan
keinginan pasar (baca: pengusaha media).13
Dalam kondisi itu, masalah objektivitas dalam penyajian berita di
televisi pun mulai dipertanyakan. Ketika rating dan share mendapatkan
kesempatan
menjadi
“dewa”,
mungkinkah
media
masih
memperlihatkan rona idealismenya? Dalam pengertian, tetap objektif,
netral, dan independen? Jangan-jangan kondisi ekonomi dan politik
media membentuk format berita menjadi makin tidak objektif? Bahkan,
tidak malu-malu memuat kekerasan simbolis, yakni kekerasan yang
berlangsung dengan persetujuan dari korbannya sejauh mereka tidak
sadar melakukan atau menderitanya—seperti dikemukakan Pierre
Bourdie dalam Sur la Television, Paris: Raison d’Agir.14
Gambaran suram isi televisi yang asli tontonan itu pula yang
membuat film impor yang dihadirkan di Tanah Air dan film-film nasional
di bioskop cenderung sampah. Asli produk industri budaya poipular.
Dan
khas
produk
kapitalisme.
Bahkan,
lebih
jauh
lagi,
akibat
kepemilikan yang cenderung monopoli itu para pebisnis film berani
“menggertak” pemerintah. Padahal, pemerintah memiliki landasan
hukum kuat untuk mendapatkan haknya seraya melindungi industri
film di Tanah Air. Namun, monopoli tersamar—seperti di dunia televisi
—membuat para pemain di bidang tetap tersenyum di tengah terpaan
badai sekuat apa pun. Dan hal ini berbanding terbalik dengan ruang
lingkup regulasi seperti digagas Colin Rowat, yaitu dalam lingkup
ekonomi dan nonekonomi.15 Artinya, tidak ada regulasi yang menjamin
terciptanya kompetisi dan kepemilikan (ekonomi) atau keyakinan isi
memberikan perlindungan terhadap kaum minoritas (nonekonomi).[]
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media, Hlm.
xxi. Jakarta: Penerbit Kompas.
14
Haryatmoko. 2007. Etika Komunkasi:Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi, Hlm. 31. Jakarta: Penerbit Kanisius.
15
Ks, Usman. Op.cit, Hlm. 27-38.
13
16 | s y a i f u l H A L I M
SEKADAR REFERENSI
Burton, Graeme. 2007. Membincangkan Televisi: Sebuah Pengantar
Kepada Studi Televisi. Bandung. Jalasutra.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunkasi:Manipulasi Media, Kekerasan, dan
Pornografi, Hlm. 31. Jakarta: Penerbit Kanisius.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara
Modern dan Postmodern. Yogyakarta: Jalasutra.
Kristianto, JB. 2004. Nonton Film Nonton Indonesia. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
Ks, Usman. 2009. Ekonomi Media: Pengantar Konsep dan Aplikasi.
Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
Noor, Henry Faizal. 2010. Ekonomi Media. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung.
Remaja Rosdakarya.
Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat
Media, Hlm. xxi. Jakarta: Penerbit Kompas.
Tempo Online. 28 Februari 2011. Sengkarut Royalti Film Hollywood. Jakarta.
17 | s y a i f u l H A L I M
18 | s y a i f u l H A L I M