Pranatacara dalam bahasa Jawa sebagai Su

Pranatacara dalam bahasa Jawa sebagai Sumber Kearifan
dalam Kehidupan Bermasyarakat
Anik Muslikah Indriastuti
anikmuslikah@gmail.com
abstrak
Pranatacara atau sering disebut pambyawara, pranata adicara, pranata titilaksana atau pranata
laksitaning adicara adalah salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan suatu
pertemuan atau acara dalam masyarakat Jawa. Pranatacara dalam bahasa Indonesia disebut
pewara. Pranatacara merupakan pekerjaan yang membutuhkan keahlian khusus karena orang
yang melakukan pekerjaan tersebut biasanya memahami dengan benar susunan suatu acara
dengan menggunakan bahasa Jawa krama Inggil. Pranatacara lebih sering dihubungkan
dengan upacara adat pengantin Jawa. Kehadiran pranatacara dalam budaya masyarakat Jawa
merupakan suatu bentuk pelestarian budaya Jawa yang adiluhur sebagai sumber kearifan
dalam kehidupan bermasyarakat yang mencerminkan identitas lokal masyarakat Jawa sehingga
akan sangat penting bagi masyarakat Jawa untuk tetap melestarikan budaya tersebut dalam
kehidupan bermasyarakat. Semakin banyak orang mengenal dan mendengar bahasa Jawa di
ranah publik, maka semakin kokohlah bahasa Jawa sebagai cermin budaya bangsa yang ikut
membesarkan bangsa Indonesia.
Kata kunci: pranatacara, bahasa Jawa, budaya
A. Pranatacara dalam Bahasa Jawa
1. Pengertian

Pranatacara atau sering disebut pambyawara, pranata adicara, pranata titilaksana atau
pranata laksitaning adicara adalah salah satu jenis pekerjaan yang berhubungan dengan suatu
pertemuan atau acara dalam masyarakat Jawa. Pranatacara dalam bahasa Indonesia disebut
pewara. Pranatacara merupakan pembawa acara dalam upacara adat Jawa seperti pernikahan
(temanten), kematian (kesripahan), pertemuan (pepanggihan), perjamuan (pasamuan),
pengajian (pengaosan), pentas, dan sebagainya.
Profesi pranatacara sudah mendapat pengakuan dan memperoleh penghargaan yang
baik dari masyarakat dan berkembang menjadi suatu profesi yang menguntungkan. Peran
pranatacara dalam acara-acara resmi maupun hiburan, tetap menjadi tolak ukur dari sukses
tidaknya suatu acara, sehingga dapat dibayangkan bagaimana bila suatu acara tidak ada
pranatacaranya, maka acara tersebut akan terasa tidak urut dan tidak enak dilihat. Untuk
menjadi seorang pranatacara tidak hanya mempunyai bekal keberanian, tetapi juga harus
mempunyai bekal kemampuan. Keberanian akan timbul apabila seseorang mempunyai rasa
percaya diri yang tinggi, dan rasa percaya diri ini timbul bila seseorang tersebut mempunyai
keyakinan atas kemampuan yang dimiliki.
1

2. Syarat menjadi pranatacara
Seorang pranatacara harus dapat melafalkan dengan benar kata-kata bahasa Jawa
krama inggil. Iapun diwajibkan mampu mengendalikan suaranya agar tetap menarik dan tidak

menjemukan. Selain suara, nafas juga harus di kendalikan secara teratur. Beberapa syarat
yang biasanya menjadi dasar bagi seorang pranatacara agar mampu melaksanakan tugasnya
adalah sebagai berikut:
a. Olah swara (teknik vocal)
Suara adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, artinya adalah bahwa setiap orang
memiliki bobot suara yang berbeda-beda antara satu orang dengan orang lainnya. Ada yang
tinggi, sedang, dan kecil. Dalam bahasa Jawa, suara yang bagus disebut gandhang, yaitu tidak
berisik, pelan dan nyaman didengar. Suara gandhang enak didengar, penuh wibawa, dan
menunjukkan kepribadian. Sebagai pranatacara, maka suara adalah hal pertama yang harus
diperhatikan sebelum memulai aktivitas kepranatacaraannya. Berikut ini adalah beberapa hal
yang membantu pranatacara dalam olah swara (teknik vocal).
1) Aksentuasi (accentuation) atau logat. Suara pranatacara tidak tercampur dengan
dialek atau logat daerah, artinya suaranya menggunakan bahasa baku. Dalam
bahasa

Jawa,

yang

dianggap


baku

adalah

logat/dialek

Surakarta

dan

Ngayogyakarta hadiningrat. Untuk dialek tidak baku seperti dialek Banyumas, Jawa
Timuran dan lainnya bisa digunakan dalam acara santai atau sebagai selingan agar
acara tidak terasa sepi sunyi.
2) Artikulasi (articulation) atau pocapan. Yaitu kejelasan pengucapan kalimat dan
pelafalan kata. Huruf mati dan huruf hidup diucapkan dengan tegas dan jelas, tidak
mendengung (bindheng). Pranatacara harus mengerti cara pengucapan bahasa
Jawa dengan benar, begitu juga bahasa Indonesia atau bahasa asing yang mungkin
harus diucapkan ketika ada tamu yang tidak mengerti bahasa Jawa krama Inggil.
Kekeliruan dalam mengucapkan suatu kata bisa merendahkan kewibawaan

pranatacara.
3) Nafas (breath) atau prana. Nafas tidak dipaksakan, tidak terengah-engah, sehingga
tampak wajar. Dengan pengaturan nafas yang baik, maka seorang pranatacara bisa
memberi jeda frasa, kalimat, ungkapan (basa pinathok) dan pernyataan dengan
2

tepat maknanya. Sikap berdiri yang tegak, rileks, pakaian yang longgar/tidak sesak
di badan, dapat melonggarkan aliran nafas sehingga suara menjadi lebih alami.
4) Kecepatan (speed) bicara dan Intonasi (intonation) nada suara atau membat mentul
swara. Hal ini berhubungan dengan intonasi, aksen, pacing (tempo), pitch (nada),
juncture (titik waktu). Intonasi berkenaan dengan pungtuasi seperti koma, titik, titik
koma, tanda perintah, tanda tanya. Aksen berkenaan dengan stress (tekanan). Pitch
berkenaan dengan tinggi rendahnya suara sesuai dengan acara yang sedang
digelar. Untuk acara resmi seperti temanten, kesripahan, pahargyan, menggunakan
suara rendah, kalem, namun untuk acara hiburan menggunakan suara tinggi. Tempo
berkenaan dengan cepat dan lambatnya suara. Juncture berkenaan dengan waktu
pengambilan nafas agar nafas tidak terengah-engah saat menjalankan acara.
5) Empati atau kajiwa. Suara yang diucapkan harus bisa menyesuaikan dengan kondisi
kejiwaan suatu acara. Pengucapan harus sesuai dengan suasana acara apakah
acara tersebut memiliki unsur senang, susah, doa, atau gembira.

6) Infleksi atau lagu kalimat (perubahan nada suara). Lebih baik hindari pengucapan
yang sama bagi setiap kata (redundancy). Infleksi naik menunjukkan adanya
lanjutan kalimat atau menurun untuk menunjukkan akhir kalimat.
b. Olah raga lan busana (penampilan)
Di dalam bahasa Jawa terdapat sebuah peribahasa ajining dhiri gumantung kedaling
lathi, ajining raga gumantung ing busana. Peribahasa tersebut sangat sesuai dengan profesi
pranatacara. Seorang pranatacara akan tampil dengan sangat bagus jika didukung oleh
bagusnya suara, postur badan dan pakaiannya. Olah raga berhubungan dengan sikap, solah
bawa, kesusilaan, dan subasita. Berikut ini adalah tujuh bentuk olah raga sebagai pranatacara:
1) Magatra: badan, wajah, cara berdandan dan berpakaian, sesuai, pantas, sikap wajar,
tidak dibuat-buat.
2) Malaksana: cara melangkah dan berjalan selangkah dua langkah urut, luwes, tidak raguragu.
3) Mawastha: berdiri tegak, tidak menyondong.
4) Maraga: mantap, tenang, tidak gemetaran, kepala tegak, menatap ke depan, gerakan
tangan teratur untuk menunjukkan kejelasan ucapan.
5) Malaghawa: terampil, lancar, tidak lambat namun juga tidak terlalu cepat.

3

6) Matanggap: tanggap terhadap situasi yang dihadapi, ketika berhadapan dengan situasi

acara yang membutuhkan ketenangan, kekusyukan, bisa ikut tenang dan
khusyu’, jika berhadapan dengan situasi acara yang membutuhkan suasana
segar dan menyenangkan, bisa ikut membuat suasana menjadi gembira, dan
sebagainya.
7) Mawwat: mantab, menyelesaikan acara dengan baik, sesuai dengan yang diharapkan
penyelenggara acara.
Olah raga, atau cara berpenampilan yang baik bagi seorang pranatacara selalu diawali
dengan keadaan tubuh yang sehat, suara yang tidak serak, volume suara yang enak didengar,
tidak melengking dan tidak rendah. Ia harus mengenali tempat dimana acara akan
diselenggarakan, mengenali karakteristik tamu dan memandang mereka sebagai sahabat. Ia
bisa melakukan gerakan tangan seperlunya saat berada di atas pentas, tidak berlebihan apalagi
untuk menutupi kegugupan, karena gerakan tubuh yang berlebihan hanya akan mengacaukan
penampilan dan tampil percaya diri.
Olah busana atau cara berpakaian yang baik bagi seorang pranatacara merupakan hal
yang wajib diketahui dan dimengerti dengan baik agar penampilan dan gaya berpakaian sesuai
dengan acara yang sedang dibawakan. Memakai pakaian yang serasi/cocok dengan acara,
harus dibicarakan dengan panitia acara, contohnya ketika menjadi pranatacara adat temanten
Jawa, apakah menggunakan pakaian adat/kejawen (busana adat Ngayogyakarta atau
Surakarta), seragam dengan panitia ataukah tidak, menggunakan busana nasional/formal
ataukah tidak. Busana dalam acara pernikahan tentu akan berbeda dengan busana ketika

menjadi pranatacara kematian. Busana resmi akan berbeda dengan busana santai. Busana
yang dipakai dalam acara yang diselenggarakan didalam gedung pasti akan berbeda dengan
acara yang diselenggarakan dirumah. Warna busanapun harus dipilih dengan seksama, agar
tidak terlihat menyolok, terlalu terang, atau terlalu banyak memakai aksesoris.
c. olah basa lan sastra (kemampuan berbahasa dan sastra)
Agar dapat mengolah bahasa dengan baik, seorang pranatacara harus mengetahui dan
memahami paramasastra (fonologi, morfologi, semantik, sintaksis), wacana, dan pragmatik.
Pengetahuan yang luas mengenai paramasastra Jawa diharapkan dapat membuat pranatacara
mampu mengucapkan kata-kata, frasa, kalimat, ungkapan, wacana Bahasa Jawa krama inggil
4

dengan laras dan leres. Laras artinya, pranatacara mampu menggelar acara sesuai dengan
keadaan dan suasana. Leres artinya pranatacara bisa menggunakan bahasa yang sesuai
dengan paramasastranya.
Bahasa Jawa memiliki pola bahasa yang bertingkat-tingkat, yakni: basa krama, madya,
dan ngoko. Basa krama yang biasanya dipakai sebagai bahasa pengantar bagi pranatacara
dalam melaksanakan tugas kepranatacaraannya. Bahasa Jawa juga memiliki basa Jawa baru
dan lama. Rerengganan biasanya memakai bahasa Jawa lama/kawi yang memiliki aspek sastra
tinggi. Untuk menampilkan ciri sastra, pranatacara menggunakan purwakanthi (limaksita,
sastra, swara) atau nyekar (tembang).

Contoh purwakanthi lumaksita (purwakanthi basa):
Nun inggih naming Dhimas Sujatmika ingkang kuwawi methik puspita, puspita cempaka,
cempaka kang lagya ambabar ganda arum, boten sanes inggih naming Risang Ahayu Retna
Kumala. (dikutip dari Pringgawidagda, 1998: 20)
Contoh purwakanthi sastra:
Bokmenawi atur kula wonten cicir cewet kuciwanipun, kula nyuwun agunging pangaksama.
Wijang wijiling wicara panjenenganipun Rama Sudira kang pindha pinandhita paring
sesuluh seserepan dhumateng rising temanten kekalih.
Gumarenggeng ambrengengeng kadya sasra bremana ingkang mider hangupeng puspita,
hanenggih menika rata kencana ingkang tinitihan dening putra calon penganten kakung ingkang
sampun manjing gapuraning palataran. (dikutip dari Pringgawidagda, 1998: 20)
Ketika penganten hendak melakukan kirab, maka pranatacara dapat melantunkan sekar
kinanthi:
Arsa tedhak sang Dyah Ayu, Keng raka tansah kinanthi, Bagus Dendy setiawan, Kalian Dewi
Sitoresmi, arsa kirab kanarendran,Gandheng renteng kanthen nyari.
Ketika selesai pahargyan, pranatacara melantunkan sekar pucung:

5

Sampun rampung pahargyan temantenipun, Kanthi karaharjan, Binerkahan mring Hyang Widhi,

Sri panganten binedhol nuju wiwara.
d. pangrengga swara (sound system)
Kemajuan teknologi membantu pranatacara mengolah suaranya. Suara yang pelan bisa
terdengar lebih jelas, suara yang enteng akan terdengar lebih mantab. Dekat dan jauhnya letak
mikrofon dari mulut pranatacara bisa dipakai untuk membedakan suara berat, ringan, pelan,
cepat, dan memperjelas desis ketika melafalkan kata-kata bahasa Jawa dalam tingkatan krama
inggil.
e. papan (tempat)
Tempat dimana seorang pranatacara harus berdiri haruslah sesuai dengan suasana,
tidak terlalu dekat dengan tamu, dan tidak terlalu jauh dari tamu apalagi tidak terlihat sama
sekali oleh tamu. Yang paling ideal adalah tempat dimana seorang pranatacara bisa melihat
tamu dan seisi tempat acara dengan jelas, juga dekat dengan panitia acara, penata sound
system sehingga mengerti jalannya acara dari awal hingga akhir.
f. pawiyatan (pendidikan)
Menjadi seorang pranatacara bisa dipelajari melalui pendidikan formal seperti di UNY
program studi bahasa Jawa, pendidikan non formal seperti kursus, penataran, pelatihan atau
belajar sendiri. Ilmu umum yang dipelajari melalui pendidikan, baik formal maupun non formal,
harus diimbangi dengan ilmu agama sehingga ia mampu memaparkan ayat-ayat dari kitab
apapun. Jadi dan tidaknya seseorang sebagai pranatacara yang mumpuni tergantung niat dan
kemauan. Meskipun tidak belajar melalui pendidikan formal, apabila ia mau belajar melalui

pendidikan non formal ditambah mau belajar langsung dari situasi dan suasana dimana acara
digelar, ia pastilah bisa menjadi seorang pranatacara yang baik dan handal.
g. mental
Tidak semua orang memiliki mental baja, ada yang berani, ada yang malu-malu. Bisa
saja terjadi, seseorang yang sudah belajar dengan tekun, bahkan telah dihapalkan sebelumnya,
namun ketika berhadapan dengan tamu yang banyak, mentalnya menjadi ciut, oleh karena
6

seorang pranatacara tidak boleh salah ucap, dan grogi sehingga kata-kata yang seharusnya
diucapkan mantap menjadi acak-acakan dan sekenanya saja. Mental yang tidak kuat, bisa
terlihat dari suara yang grogi, badan gemetar, sering salah ucap, dan berdebar-debar.
Agar seorang pranatacara punya mental baja, kuat, dan berani tampil dengan hasil
maksimal, maka dibutuhkan latihan yang terus menerus dan bisa melakukan gladhi (gladhi
simulasi ataupun gladhi sebenarnya). Gladhi simulasi adalah melakukan tugas pranatacara
seperti menghadapi tamu yang sebenarnya diluar acara. Gladhi sebenarnya adalah mengikuti
kegiatan mranatacara pada acara yang sebenarnya dengan berdiri di dekat pranatacara
profesional saat melakukan pekerjaannya. Ketika sudah merasa berani tampil sendirian, ia bisa
mencoba satu dua titilaksana dalam acara tersebut bergiliran dengan pranatacara yang telah
profesional (biasanya acara yang memiliki banyak titilaksana adalah acara temanten). Ketika
sudah merasa bisa, maka ia bisa melaksanakan tugas pranatacara sendiri.

h. ketewajuhan (kedisiplinan)
Ketewajuhan berkenaan dengan disiplin waktu dan tugas. Disiplin waktu berarti ia harus
datang lebih awal dari para tamu yang sebenarnya, memulai acara sesuai dengan jadwal yang
telah ditentukan, dan mengakhiri acara sesuai dengan waktunya. Disiplin dalam tugas artinya
melaksanakan

kewajiban

sesuai

dengan

yang

diminta

penyelenggara

acara,

tidak

meninggalkan tempat acara sebelum acara selesai digelar.
i. gladhen (gladi)
Ada tiga tingkatan pranatacara, yaitu pemula, madya, dan professional. Pranatacara
pemula biasanya sebelum melaksanakan tugas kepranatacaraannya, ia membuat teks terlebih
dahulu dan dihapalkan. Pranatacara madya biasanya hanya membuat catatan garis besar
acara yang hendak ia laksanakan. Pranatacara professional biasanya tidak memerlukan
persiapan serius dan matang untuk melaksanakan tugas kepranatacaraannya. Ia bisa diminta
kapan saja alias mendadak. Pranatacara pada tingkatan manapun harus melakukan gladhi
acara agar acara yang dibawakannya bisa berjalan lancar, kata-kata bisa tepat, suaranya bisa
terdengar bagus dan mampu membawakan acara dari awal hingga akhir dengan baik.
j. kasamaptaan (persiapan)

7

Persiapan sangat penting bagi seorang pranatacara. Siap dalam arti mampu
mempersiapkan diri dalam hal kesehatan, penampilan, pakaian, dan acara. Jangan sampai
ketika di daulat menjadi pranatacara, ia sakit sehingga penyelenggara acara harus mencari
pengganti. Penampilan dan pakaian sangat mempengaruhi kewibawaan seorang pranatacara,
sehingga ia harus mempersiapkan dengan matang kedua hal tersebut sebelum acara digelar.
Siap dalam acara berarti bahwa seorang pranatacara harus berkomunikasi dengan
penyelenggara acara, panitai acara, bagaimana sebaiknya acara digelar. Jangan sampai
seorang pranatacara memberikan jeda waktu istirahat, sementara panitia belum siap untuk
menyuguhkan makanan dan minuman.
3. Kode etik pranatacara
a. Pengertian
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang
dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah
dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Etika akan memberikan semacam batasan
maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia,
etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsip prinsip moral yang ada pada saat yang dibutuhkan akan
bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logikarasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan
nafkah hidup dengan mengandalkan keahlian. Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang
selalu melekat pada profesi, yaitu:
1) Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki
berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2) Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku
profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3) Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus
meletakkan kepentingan pribadi dibawah kepentingan masyarakat.
Kode etik profesi merupakan norma yang ditetapkan dan diterima oleh sekelompok
profesi, yang mengarahkan atau memberi petunjuk kepada anggotanya bagaimana seharusnya
8

berbuat dan sekaligus menjamin mutu profesi itu dimata masyarakat. Apabila anggota
kelompok profesi itu menyimpang dari kode etiknya, maka kelompok profesi itu akan tercemar
di mata masyarakat. Oleh karena itu, kelompok profesi harus mencoba menyelesaikan
berdasarkan kekuasaannya sendiri.
Tanggung jawab profesi yang lebih spesifik yaitu:
1) Mencapai kualitas yang tinggi dan efektifitas baik dalam proses maupun produk hasil
kerja profesional.
2) Menjaga kompetensi sebagai profesional.
3) Mengetahui dan menghormati adanya hukum yang berhubungan dengan kerja yang
profesional.
4) Menghormati perjanjian, persetujuan, dan menunjukkan tanggung jawab.

b. Kode etik pranatacara
Menjadi seorang pranatacara berarti memahami etika pranatacara, etika tersebut
diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Bila diminta penyelenggara acara tidak menolak. Apabila hendak menolak, maka
harus memberikan penjelasan dengan cara yang baik, sopan, halus, dan berhati-hati
apalagi bila menyangkut masalah permintaan yang merupakan “sambatan” alias
sukarela tanpa dibayar.
2) Harus bisa meyakinkan penyelenggara acara agar mantap dalam memilihnya
sebagai calon pranatacara, namun seorang pranatacara tidak boleh sombong dengan
membicarakan kemampuannya sebelum tugas dilaksanakan.
3) Siap melaksanakan tugas.
4) Bila bertanya tentang waktu acara (baik siang atau malam), nama tempat, denah
lokasi, dan sebagainya dengan jelas sehingga tidak terjadi miskomunikasi atau
kesalahpahaman.
5) Jangan pernah meminta untuk dijemput kecuali jika waktunya terlalu mepet.
6) Jauhi pembicaraan tentang honor atau upah.

9

7) Jauhi permasalahan pribadi (seperti apakah pengantinnya duda atau janda: untuk
perhelatan temanten (pernikahan), meninggal karena apa: untuk acara layatan, dan
sebagainya).
8) Jangan menyebut merek sound system.
9) Bila bisa, upayakan datang setengah jam sebelum acara dimulai.
B. Pranatacara dalam Bahasa Jawa sebagai Sumber Kearifan dalam Kehidupan
Bermasyarakat
1. Pengertian kearifan dan kebudayaan
Kearifan merupakan “sesuatu” yang dihasilkan dari sebuah kecerdasan manusia yang
dapat digunakan oleh sesamanya sebagai sarana pencerdasan pula. Kearifan dihasilkan dari
proses pemikiran dan pengambilan keputusan yang bijaksana, tidak merugikan semua pihak,
serta bermanfaat bagi siapapun yang tersapa oleh kearifan itu. Kearifan dapat menjadi sarana
pemelajaran bagi setiap manusia untuk menjadi orang yang cerdas, pandai, dan bijaksana.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan
masyarakat untuk mencukupi segala kebutuhan serta hasratnya untuk memperbaiki hidupnya.
Kearifan dalam budaya adalah seluruh usaha dan hasil usaha manusia dan masyarakat yang
dilakukan dan ditujukan untuk memberikan makna manusiawi dan membuat tata kehidupan
yang manusiawi pula. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, usaha dan hasil budaya
manusia diarahkan untuk meningkatkan harkat dan nilai-nilai luhur kemanusiaan.
Kearifan dalam budaya merupakan bentuk kecerdasan yang dihasilkan oleh masyarakat
pemilik kebudayaan yang bersangkutan. Sebuah kearifan lokal merupakan kecerdasan yang
dihasilkan berdasarkan pengalaman yang dialami sendiri sehingga menjadi milik bersama.
Kearifan lokal budaya Jawa merupakan wujud kecerdasan yang dihasilkan oleh
pengalaman hidup masyarakat Jawa sendiri, bukan oleh pengalaman hidup bangsa atau suku
lain. Mempelajari dan menghayati budayanya sendiri akan menghasilkan kecerdasan bagi para
pelakunya, karena mereka terlibat langsung dalam penciptaan budayanya, melalui pengalaman
hidup yang dijalani bersama, namun bukan berarti kebudayaan suku atau bangsa lain tidak
dapat dipelajari.
Kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh sekelompok etnis
manusia yang diperoleh melalui pengalaman hidupnya serta terwujud dalam ciri-ciri budaya
10

yang dimilikinya. Kearifan lokal memiliki ketahanan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar
dan mampu berkembang untuk masa-masa mendatang. Kepribadian suatu masyarakat
ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan kearifan lokal dalam menghadapi kekuatan dari luar.
Jika kearifan lokal hilang atau musnah, maka kepribadian bangsapun memudar.
Orang Jawa yang masih menghayati ke-Jawa-annya, memandang bahwa kebudayaan
Jawa merupakan kebudayaan yang adiluhung. Adiluhung dapat dipadankan dengan luhur.
Kebudayaan adiluhung artinya kebudayaan luhur yang diciptakan untuk mencapai tujuan yang
luhur. Ketika orang Jawa mengajarkan pengetahuan, pranata, adat, norma-norma, ataupun
nilai-nilai Jawa kepada generasi berikutnya tentu mereka menanamkan bahwa orang Jawa
wajib melestarikan kebudayaan Jawa yang adiluhung itu.
Keyakinan atas keadiluhungan kebudayaan mewujud menjadi sebuah hukum yang ketat
yang dijabarkan dalam pranata adat ataupun aturan-aturan di dalam kehidupan keluarga.
Kebudayaan yang adiluhung yang mereka yakini dapat terpinggirkan oleh budaya lain atau
bahkan terlupakan dan pada akhirnya punah. Jika kebudayaan Jawa tidak dianut lagi,
barangkali, generasi berikutnya menjadi generasi yang tidak lagi berperilaku njawani seperti
layaknya orang Jawa.
2. Pranatacara dalam Bahasa Jawa sebagai Sumber Kearifan dalam Kehidupan
Bermasyarakat
Bahasa merupakan pengejawantahan dari apa yang dipelajari dan dipikirkan manusia.
Bahasa merupakan representamen kebudayaan. Kebudayaan merupakan keseluruhan proses
pemikiran dan hasil usaha manusia untuk mengatasi keterbatasan manusia dalam
mempertahankan dan memfasilitasi keberadaan hidupnya yang dipahami melalui proses belajar
hingga menjadi milik bersama.
Bahasa yang dipakai oleh seorang pranatacara adalah bahasa Jawa krama inggil, yakni
bahasa Jawa yang tingkatannya berada paling tinggi. Bahasa Jawa krama inggil memiliki unsur
sastra dan seni yang tinggi. Bahasa ini biasanya dipakai dalam situasi resmi. Unsur seni yang
tampil dalam bahasa Jawa krama inggil antara lain berupa pilihan susunan kata-kata, metaphor,
dan kesamaan bunyi mengubah tuturan yang disampaikan menjadi tuturan yang puitis. Tuturan
yang disajikan dengan bahasa seni (bahasa yang indah) disebut basa rinengga yaitu bahasa
yang diperindah. Cara memperindah tuturan dimaksud dilakukan dengan mengubah kalimat
dan mengganti kata-kata tertentu dengan kata-kata lain yang bersinonim atau menggunakan
metaphor.
11

Unsur seni yang berupa persamaan bunyi dalam tuturan bahasa Jawa disebut
purwakanthi yakni menyebut kembali apa yang telah diujarkan dedepannya (sebelumnya).
Seorang pranatacara biasa menggunakan bentuk ini dalam acara temanten. Unsur seni yang
terdapat dalam tuturan formal pada upacara temanten berupa penyulihan kata-kata yang lazim
digunakan dalam percakapan sehari-hari dengan kata-kata sinonimnya diambil dari ragam
sastra. Penggunaan kata-kata dari ragam sastra merupakan sebuah kelaziman yang hadir
dalam tuturan pidato pranatacara. Selain menciptakan rasa kenyamanan, bahasa seni yang
dihadirkan dalam upacara temanten mampu menciptakan suasana agung dan sakral.
Pranatacara adalah sebuah profesi yang erat kaitannya dengan budaya dan bahasa
Jawa. Kehadirannya ditengah masyarakat menjadikan budaya Jawa yang adiluhung tetap
dipakai dalam kehidupan bermasyarakat. Kita bisa membayangkan jika sudah tidak ada lagi
masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupannya, dan tidak pernah
mendengar orang menggunakan bahasa tersebut didalam masyarakat, maka bahasa Jawa
lama-kelamaan pasti akan hilang keberadaannya.
Pranatacara dalam bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa dalam situasi
resmi dan sakral maupun situasi santai akan menjadi salah satu unsur pembangkit dipakainya
kembali bahasa Jawa di ranah publik. Kecakapan pranatacara dalam menjalankan profesinya,
didukung oleh pemahaman masyarakat Jawa pada umumnya, bahwa acara-acara sakral dan
agung tidaklah nyaman dihati mereka jika tidak ada unsur ke-Jawa-annya. Unsur ke-Jawa-an
yang dimaksud adalah penggunaan bahasa Jawa krama inggil dengan unsur seni dan sastra
yang tinggi sehingga suasana kesakralan akan terasa dan menyentuh hati. Sekarang ini seperti
sedang berkembang suatu tren, baik di kalangan keraton, pejabat negara, pengusaha, maupun
rakyat biasa yang menggunakan jasa pranatacara sebagai pembawa acara yang mereka gelar.
Dalam hal ini, fungsi pranatacara sebagai salah satu pemakai dan pelestari budaya Jawa
menjadi sangat berarti.
Tren yang sedang berkembang hendaknya terus di uri-uri / dilestarikan agar anak dan
cucu dapat terus menjumpai dan mendengar bentuk-bentuk sastra Jawa yang adiluhung di
masyarakat. Seringnya menjumpai dan mendengar bentuk bahasa Jawa yang dibawakan oleh
seorang pranatacara, maka akan memunculkan bibit-bibit pranatacara baru yang nantinya akan
menggantikan fungsi pranatacara yang telah tua atau meninggal. Dengan demikian, regenerasi
profesi pranatacara akan dapat terus terjadi. Regenerasi inilah yang akan tetap melestarikan
budaya Jawa yang adiluhung sebagai suatu kearifan lokal masyarakat Jawa yang hanya akan
dijumpai dalam masyarakat Jawa sebagai ciri khas budaya Jawa.
12

C. Simpulan
Kehadiran pranatacara dalam budaya masyarakat Jawa merupakan suatu bentuk
pelestarian budaya Jawa yang adiluhur sebagai sumber kearifan dalam kehidupan
bermasyarakat yang mencerminkan identitas lokal masyarakat Jawa sehingga akan sangat
penting bagi masyarakat Jawa untuk tetap melestarikan budaya tersebut dalam kehidupan
bermasyarakat. Semakin banyak orang mengenal dan mendengar bahasa Jawa di ranah
publik, maka semakin kokohlah bahasa Jawa sebagai cermin budaya bangsa yang ikut
membesarkan bangsa Indonesia.

13

Daftar Pustaka
Al Qura, Abu Izzah. 2009. Materi Praktis Menjadi MC dan Pidato Handal. Surakarta: Al-Hikmah.
Amrih, Pitoyo. 2008. Ilmu Kearifan Jawa. Yogyakarta: Pinus Book publisher.
Bratawijaya, Thomas. 2006. Upacara Perkawinan Adat Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Endraswara, Suwardi. Cetakan ketiga 2010. Falsafah Hidup Jawa. Menggali Mutiara Kebijakan
dari Intisasi Filsafat Kejawen. Yogyakarta: Cakrawala.
Endraswara, Suwardi. Cetakan ketiga 2009. Mutiara Wicara Jawa. Pandom Pranatacara lan
Pamedharsabda. Yogyakarta: UGM Press.
Haq. Muh Zaairul. 2011. Mutiara Hidup Manusia Jawa. Yogyakarta: Aditya Media Publishing.
Hariwijaya, M. 2004. Tatacara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta. Hanggar
Kreator.
Margono. Tulada-Tulada Tanggap Wacana Basa Jawa. Surabaya: Karya Utama.
Pasha, Lukman. 2011. Butir-butir Kearifan Jawa. Yogyakarta: Azna Books.
Pringgawidagda, Suwarna. 1998. Gita Wicara Jawi. Pranatacara saha Pamedharsabda.
Yogyakarta: Kanisius.
Purwadi. 2010. Sejarah Asal-Usul Nenek Moyang Orang Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.
Rachmatullah, Asep. 2010. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Logung Pustaka.
Rahyono. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra.
Roqib, Moh. 2007. Harmoni dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Setiyanto, Aryo Bimo. 2007. Parama Sastra Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.

14

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

OPTIMASI FORMULASI dan UJI EFEKTIVITAS ANTIOKSIDAN SEDIAAN KRIM EKSTRAK DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum L) dalam BASIS VANISHING CREAM (Emulgator Asam Stearat, TEA, Tween 80, dan Span 20)

97 464 23

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Kekerasan rumah tangga terhadap anak dalam prespektif islam

7 74 74

Pengaruh metode sorogan dan bandongan terhadap keberhasilan pembelajaran (studi kasus Pondok Pesantren Salafiyah Sladi Kejayan Pasuruan Jawa Timur)

45 253 84

Kesesuaian konsep islam dalam praktik kerjasama bagi hasil petani desa Tenggulun Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan Jawa Timur

0 86 111

Upaya guru PAI dalam mengembangkan kreativitas siswa pada mata pelajaran pendidikan agama islam Kelas VIII SMP Nusantara Plus Ciputat

48 349 84

Konsep kecerdasan ruhani guru dalam pembentukan karakter peserta didik menurut kajian tafsir Qs. 3/Ali-‘Imran: 159

9 101 103