Pancasila sebagai Paradigma Reformasi Indonesia

Pancasila sebagai paradigma reformasi
1.1.LATAR BELAKANG
Pancasila sebagai dasar negara merupakan mempunyai peranan
penting bagi bangsa Indonesia. Pancasila sebagai paradigma juga berada
pada posisi pembangunan nasional yang meliputi segenap bidang
kehidupan, seperti politik,ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan
keamanan, juga di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta hukum
dan hak asasi manusia. Maka dari itu kita harus mengenal Pancasila
sebagai paradigma bangsa Indonesia.
1.2.RUMUSAN MASALAH
a. Adanya kekurangan pemahaman tentang pengertian pancasila dan paradigma.
b. Adanya kekurangan pemahaman tentang Gerakan Reformasi.
c. Adanya penyimpangan-penyimpangan dimasyarakat terhadap dasar nilai-nilai yang dicitacitakan oleh bangsa Indonesia.
d. Adanya hal-hal yang mempelopori Gerakan Reformasi.
1.3.TUJUAN
a. Memahami pengertian Pancasila.
b. Memahami pengertian paradigma.
c. Memahami pengertian Reformasi.
d. Memahami Pancasila sebagai paradigma reformasi.
e. Memahami syarat-syarat Gerakan Reformasi.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pancasila
Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini
terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta yaitupañca berarti lima
dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia. Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang
Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmat
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia,
dan
tercantum
pada

paragraf
ke-4
Preambule
(Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu
memenuhi kriteria sebagai puncak-puncak kebudayaan, sebagai
kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:

1.

Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti

setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Sila Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara
Indonesia tanpa membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya;
3. Sila Ketiga, mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk
di kepulauan nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat;
4. Sila Keempat, merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat
majemuk Indonesia untuk melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat

relevan untuk mengendalikan nilai-nilai budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan;
5. Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan
semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
2.2. Pengertian Paradigma
Pengertian paradigma yakni asumsi-asumsi dasar dan asumsi-asumsi yang bersifat
umum (sumber nilai), sehingga sebagai sumber hukum, metode yang dalam penerapan ilmu
pengetahuan akan menentukan sifat, ciri dari ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan sifatnya
dinamis, karena banyaknya hasil-hasil penelitian manusia, sehingga kemungkinan dapat
ditemukan kelemahan dan kesalahan pada teori yang telah ada.Jika demikian
ilmuwan/peneliti akan kemabali pada asumsi-asumsi dasar dan teoritis, sehingga ilmu
pengetahuan harus mengkaji kembali pada dasar ontologis dari ilmu itu sendiri.
Istilah ilmiah berkembang dalam berbagai bidang kehidupan manusia, diantaranya:
politik, hukum, ekonomi, budaya. Istilah paradigma berkembang menjadi terminologi yang
mengandung konotasi pengertian yaitu sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber
asas, serta arah dan tujuan.
2.3. Pengertian Reformasi
Kata reformasi secara etimologis berasal dari kata reformation dari
akar kata reform, sedangkan secara harfah reformasi mempunyai

pengertian suatu gerakan yang memformat ulang, menata ulang, menata
kembali hal-hal yang telah menyimpang, untuk dikembalikan pada format
atau bentuk semula sesuai dengan nilai-nilai ideal yang dicita-citakan oleh
rakyat.
Suatu gerakan reformasi memiliki kondisi syarat-syarat :
1. Suatu gerakan reformasi dilakukan karena adanya suatu penyimpangan-penyimpangan.
2. Suatu gerakan reformasi dilakukan dengan berdasar pada suatu kerangka struktural tertentu,
dalam hal ini pancasila sebagai ideologi bangsa dan Negara Indonesia.

3.

Gerakan reformasi akan mengembalikan pada dasar serta sistem Negara demokrasi, bahwa

kedaulatan berada ditangan rakyat, sebagaimana yang terkandung pada pasal 1 ayat 2.
4. Reformasi dilkukan kearah suatu perubahan kearah kondisi serta keadaan yang lebih baik,
perubahan yang dilakukan dalam reformasi harus mengarah pada suatu kondisi kehidupan
rakyat yang lebih baik dalam segala aspek.
5. Reformasi dilakukan dengan suatu dasar moral dan etik sebagai manusia yang berkebutuhan
Yang Maha Esa, serta terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa.
2.4. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi

Pancasila sebagai paradigma reformasi adalah dimana apabila terjadi
suatu perubahan kedepannya maka asumsi-asumsi dasar atau nilai-nilai
yang mendukung perubahan tersebut haruslah selalu berlandaskan pada
pancasila.
Bangsa Indonesia ingin mengadakan suatu perubahan, yaitu menata
kembali kehidupan berbangsa dan bernegara demi terwujudnya
masyarakat madani yang bermatabat kemanusiaan yang menghargai
hak-hak asasi manusia, masyarakat yang demokratis yang bermoral
religius serta masyarakat yang bermoral kemanusiaan dan beradab.
Berbagai gerakan muncul disertai dengan akibat tragedi
kemanusiaan yang sangat memilukan dan menelan banyak korban jiwa
dari anak-anak bangsa sebagai rakyat kecil yang tidak berdosa dan
mendambakan perdamaian ketenteraman serta kesejahteraan.
Namun demikian di balik berbagai macam keterpurukan bangsa
Indonesia tersebut masih tersisa satu keyakinan akan nilai yang
memilikinya yaitu nilai-nilai yang terakar dari pandangan hidup bangsa
Indonesia sendiri yaitu nilai-nilai Pancasila. Reformasi adalah menata
kehidupan bangsa dan negara dalam system Negara di bawah nilai-nilai
Pancasila, bukan menghancurkan dan membubarkan bangsa dan negara
Indonesia.

Bahkan pada hakikatnya reformasi itu sendiri adalah mengembalikan
tatanan kebenaraan kearah sumber nilai yang merupakan Platform
kehidupan bersama bangsa Indonesia, yangselama ini diselewengkan
demi kekuasaan sekelompok orang baik pada masa orde lama maupun
orde baru. Oleh karena itu proses reformasi walaupun dalam lingkup
pengertian reformasi total harus memiliki platform dan sumber nilai yang
jelas merupakan arah, tujuan, serta cita-cita yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
Reformasi dengan melakukan perubahan dalam berbagai bidang
yang sering diteriakkan dengan jargon reformasi total tidak mungkin

melakukan perubahan terhadap sumbernya itu sendiri. Oleh karena itu
justru sebaliknya reformasi itu harus memiliki tujuan, dasar, cita-cita serta
platform yang jelas dan bagi bangsa Indonesia Nilai-nilai Pancasila itulah
yang merupakan paradigma Reformasi Total tesebut.
2.5. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Dalam Berbagai Bidang
1. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Hukum
Dalam era reformasi akhir-akhir ini, seruan dan tuntutan rakyat terhadap pembaharuan
hukum sudah merupakan suatu keharusan karena proses reformasi yang melakukan penataan
kembali tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perubahan-perubahan terhadap peraturan

perundang-undangan. Agenda yang lebih konkrit yang diperjuangkan oleh para reformis yang
paling mendesak adalah reformasi bidang hukum.
Hal ini berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa setelah peristiwa 21 Mei 1998 saat
runtuhnya kekuasaan Orde Baru, salah satu sub system yang mengalami kerusakan parah
selama Orde Baru adalah bidang hukum. Produk hukum baik materi maupun penegakkannya
dirasakan semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan, kerakyatan, serta keadilan. Subsistem hukum nampaknya tidak mampu menjadi pelindung bagi kepentingan masyarakat dan
yang berlaku hanya bersifat imperative bagi penyelenggara pemerintahan.
2. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Politik
Landasan sumber nilai system politik Indonesia dalam pembukaan
UUD’45 alenia IV, jika dikaitkan dengan alenia II, dasar politik ini
menunjukkan bentuk dan bangunan kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun dalam kenyataannya nilai demokrasi ini pada masa Orla dan Orba
tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Reformasi politik pada dasarnya berkenaan dengan masalah kekuasaan
yang memang diperlukan oleh negara maupun untuk menunaikan dua
tugas pokok yaitu memberikan kesejahteraan dan menjamin keamanan
bagi seluruh warganya. Reformasi politik terkait dengan reformasi dalam
bidang-bidang kehidupan lainnya, seperti bidang hukum, ekonomi, sosial
budaya serta hakamnas. Misalnya, dalam bidang hukum, segala kegiatan
politik harus sesuai dengan kaidah hukum, oleh karena itu hukum harus

dibangun secara sistematik dan terencana sehingga tidak ada
kekosongan hukum dalam bidang apapun. Jangan sampai ada UU tetapi
tidak ada PP pelaksanaanya yang sering kita alami selama ini.
3. Pancasila Sebagai Paradigma Reformasi Ekonomi
Sistem ekonomi Indonesia pada masa Orba bersifat birokratik otoritarian.
Kebijaksanaan ekonomi yang selama ini diterapkan hanya mendasarkan
pada pertumbuhan dan mengabaikan prinsip kesejahteraan bersama
yang kenyataannya hanya menyentuh kesejahteraan sekelompok kecil

orang. Maka dari itu perlu dilakukan langkah yang strategis dalam upaya
melakukan reformasi ekonomi yang berbasis pada ekonomi rakyat yang
berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
2.6. Gerakan Reformasi
Banyak hal yang mendorong timbulnya reformasi pada masa
pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada ketidakadilan di bidang
politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal kemunculannya
pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Setelah Orde Baru memegang tumpuk kekuasaan dalam

mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus
menerus mempertahankan kekuasaannya atau status quo. Hal ini
menimbulkan akses-akses nagatif, yaitu semakin jauh dari tekad awal
Orde Baru tersebut. Akhirnya penyelewengan dan penyimpangan dari
nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD
1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Demokrasi yang tidak dilaksanakan dengan semestinya akan
menimbulkan permasalahan politik. Ada kesan kedaulatan rakyat berada
di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh para
penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan
adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”.
Gerakan reformasi menuntut untuk dilakukan reformasi total di
segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR yang dipandang
sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan
terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi
sumber ketidakadilan, di antaranya :
>> UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum
>> UU No. 2 Tahun 1985 tentang Susunan, Kedudukan, Tugas dan
Wewenang DPR / MPR

>> UU No. 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
>> UU No. 5 Tahun 1985 tentang Referendum
>> UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah
menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber
ekonomi oleh kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu
menghapuskan kemiskinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia.

Kondisi dan situasi Politik di tanah air semakin memanas setelah
terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996. Peristiwa ini muncul
sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal Partai Demokrasi
Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan reformasi
itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konfik PDI saja, tetapi
masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan
masyarakat, maupun pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik,
masyarakat beranggapan bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi
sangat besar, terutama terlihat pada perlakuan keras terhadap setiap
orang atau kelompok yang menentang atau memberikan kritik terhadap
kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh pemerintah. Selain

itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang pembatasan
masa jabatan Presiden.
Terjadinya ketegangan politik menjelang pemilihan umum tahun
1997 telah memicu munculnya kerusuhan baru yaitu konfik antar agama
dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan umum
tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan
korban jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997 ditandai dengan kemenangan Golkar
secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan mutlak memberi
dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden dalam
Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan
masyarakat yang dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang
sangat kuat untuk menolak kembali pencalonan Soeharto sebagai
Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai
Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden.
Timbul tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari
para mahasiswa dan kalangan intelektual.
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat
banyak ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori
oleh kalangan mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu
tuntutannya. Masyarakat menghendaki adanya reformasi di bidang
hukum agar dapat mendudukkan masalah-masalah hukum pada
kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
Krisis moneter yang melanda Negara-negara di Asia Tenggara sejak
bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan perekonomian

Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi
krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah semakin melemah, maka pertumbuhan
ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat pada iklim bisnis yang
semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia mengalami
keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir
tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI).
Ternyata udaha yang dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan
hasil, karena pinjaman bank-bank bermasalah tersebut semakin
bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara,
tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Memasuki tahun
anggaran 1998 / 1999, krisis moneter telah mempengaruhi aktivitas
ekonomi yang lainnya. Kondisi perekonomian semakin memburuk, karena
pada akhir tahun 1997 persedian sembilan bahan pokok sembako di
pasaran mulai menipis. Hal ini menyebabkan harga-harga barang naik
tidak terkendali. Kelaparan dan kekurangan makanan mulai melanda
masyarakat. Untuk mengatasi kesulitan moneter, pemerintah meminta
bantuan IMF. Namun, kucuran dana dari IMF yang sangat di harapkan oleh
pemerintah belum terelisasi, walaupun pada 15 januari 1998 Indonesia
telah menandatangani 50 butir kesepakatan (letter of intent atau Lol)
dengan IMF.
Faktor lain yang menyebabkan krisis ekonomi yang melanda
Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar negeri. Utang Luar
Negeri Indonesia menjadi salah satu faktor penyebab munculnya krisis
ekonomi. Namun, utang luar negeri Indonesia tidak sepenuhnya
merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi merupakan utang swasta.
Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari 1998 mencapai
63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai 73,962
miliar dollar Amerika Serikat.
Akibat dari utang-utang tersebut maka kepercayaan luar negeri
terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini juga dipengaruhi
oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat karena
adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah Orde Baru mempunyai
tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia sebagai Negara industri,

namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di masyarakat. Masyarakat
Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan tingkat pendidikan
yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan
Orde Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila.
Dalam Pasal 33 UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi,
produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau
pemilikan anggota-anggota masyarakat. Sebaliknya, sistem ekonomi yang
berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah sistem ekonomi
kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan berbagai bentuk
monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola
Pemerintahan
Sentralistis
Sistem
pemerintahan
yang
dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat sentralistis. Di dalam
pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua bidang kehidupan
berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat pemerintah
yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat pada
bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari daerahdaerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah
dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini
juga dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris,
karena pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita
utama. Namun peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya
dengan kepentingan pusat biasanya kalah bersaing dengan berita-barita
yang terjadi di Jakarta dalam merebut ruang, halaman, walaupun yang
memberitakan itu pers daerah.
Demontrasi di lakukan oleh para mahasiswa bertambah gencar
setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM dan ongkos
angkutan pada tanggal 4 Mei 1998. Puncak aksi para mahasiswa terjadi
tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti Jakarta. Aksi mahasiswa yang
semula damai itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah tertembaknya
empat orang mahasiswa Trisakti yaitu Elang Mulia Lesmana, Heri
Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafdhin Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari
kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan
pemerintahan yang dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia, namun tuntutan dari masyarakat
agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin banyak disampaikan.

Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung DPR / MPR untuk melakukan
dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi
mimbar bebas dan mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil
rakyat tersebut sebelum tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanantekanan para mahasiswa lewat demontrasinya agar presiden Soeharto
mengundurkan diri akhirnya mendapat tanggapan dari Harmoko sebagai
pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei 1998 pimpinan DPR/MPR
mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh
agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian Presiden
mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan
perubahan kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak
bersedia dicalonkan kembali sebagai Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya pembentukan Dewan Reformasi
dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan. Akhirnya pada tanggal 21
Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan diri/berhenti
sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan Presiden
kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung
diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik
Indonesia yang baru di Istana Negara.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulannya adalah pancasila berperan penting bagi kehidupan
barbangsa dan bernegara, dimana harus didasari oleh kehidupan tatanan
Negara seperti politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat
beragama.
3.2. Kritik/Saran
Kita sebagai mahasiswa pencetus terjadinya reformasi, mari kita
tunjukan pada dunia bahwa kita mampu dalam merealisasikan semua
cita-cita dan tujuan dasar dari reformasi. Akan tetapi disamping itu, perlu
kita sadari juga bahwasanya kita merupakan mahasiswa sebagai tonggak
dari penjunjung tinggi hak asasi manusia masihlah belum maksimal
kinerjanya untuk hal yang disebutkan diatas. Maka, dari detik ini, kita
sebagai generasi bangsa haruslah benar-benar menanamkan nilai-nilai
pancasila dalam setiap prilaku kita. Dimanapun, dan pada siapapun.
Pancasila sebagai paradigma pembagunan nasional

Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional Bidang Sosial, Budaya, Pertahanan
dan Keamanan Dikaitkan dengan Nilai-nilai Pancasila Dalam pembangunan nasional pasti
dibutuhkan suatu kerangka pemikiran yang melandasi pembangunan nasional itu sendiri. Oleh
karena itu, pancasila dapat dijadikan sebagai landasan pembangunan nasional. Namun
demikian, dari kata-kata Pancasila sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial,
budaya, pertahanan, dan keamanan akan tercipta beberapa pertanyaan. Pertanyaanpertanyaan itu sebagai berikut: - Apa itu Paradigma? - Apa saja Nilai-nilai Pancasila yang
dapat diterapkan sebagai Paradigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya,
pertahanan, dan keamanan? - Mengapa Pancasila dapat dijadikan Paradigma Pembangunan
Nasional? Orang yang pertama kali menyatakan istilah paradigma adalah Thomas Kuhn,
sedangkan arti dari pardigma adalah kerangka pemikiran. Pembangunan Nasional tidak
memiliki arti yang sempit hanya membangun fisiknya saja. Pembangunan Nasional memiliki
arti yang luas yaitu membangun masyarakat Indonesia seutuhnya. Pancasila dapat dijadikan
paradigma pembangunan Nasional karena nilai-nilai pancasila dapat diterapkan dan sesuai
dengan perkembangan jaman. Dalam pembangunan Nasional harus mendasarkan pada nilainilai yang terkandung dalam pancasila. Pada undang-undang alinea ke-IV telah tercantum
tujuan dari Negara Indonesia, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencapai
masyarakat adil dan makmur. Dan dalam upaya membangun Indonesia seutuhnya itulah
diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Pancasila sebagai paradigma dalam
pembangunan nasional bidang sosial dan budaya, pada hakikatnya bersifat humanistik karena
memang pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini
sesuai dengan pancasila, sila kedua yang berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh
karena itu, pembangunan sosial budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat
manusia, yaitu menjadi manusia yang berbudaya dan beradab. Dalam upaya membangun
masyarakat seutuhnya, maka hendaknya juga berdasarkan pada sistem nilai dan budaya
masyarakat Indonesia yang sangat beragam. Berdasar pada sila ketiga dari pancasila, yaitu
persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar penghargaan
terhadap nilai sosial dan budaya yang beragam di seluruh nusantara menuju pada tercapainya
rasa persatuan sebagai bangsa. Diperlukan adanya pengakuan dan penghargaan terhadap
budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka merasa
dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Sedangkan pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan, memiliki arti bahwa untuk
mencapai terciptanya masyarakat hukum diperlukan penerapan dari nilai-nilai pancasila. Hal
itu disebabkan karena Negara juga memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa dan
wilayah negaranya. Nilai-nilai pancasila dalam penerapan pancasila sebagai paradigma
pembangunan nasional bidang pertahanan dan keamanan adalah :
a. Sila pertama dan kedua: pertahanan dan keamanan Negara harus mendasarkan pada tujuan demi
tercapainya kesejahteraan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
b. Sila Ketiga: pertahanan dan keamanan Negara haruslah mendasarkan pada tujuan demi
kepentingan warga dalam seluruh warga sebagai warga Negara.
c. Sila keempat: pertahanan dan keamanan harus mampu menjamin hak dasar persamaan derajat
serta kebebasan kemanusiaan.
d. Sila kelima: pertahanan dan keamanan harus diperuntukan demi terwujudnya keadilan hidup
masyarakat. Membaca buku acuan dan referensi lain, dapat dimengerti tentang Pancasila sebagai

Pardigma Pembangunan Nasional bidang sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sehingga
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa nilai-nilai dari pancasila dapat dijadikan suatu paradigma atau
kerangka pemikiran dalam pembangunan nasional. Pancasila sebagai paradigma dimaksudkan
bahwa Pancasila sebagai sistem nilai acuan, kerangka-acuan berpikir, pola-acuan berpikir; atau
jelasnya sebagaisistem nilai yang dijadikan kerangka landasan, kerangka cara, dan sekaligus
kerangka arah/tujuan bagi ‘yang menyandangnya’. Yang menyandangnya itu di antaranya: (a) bidang
politik, (b) bidang ekonomi, (c) bidang social budaya, (d) bidang ..hukum, (e) bidang kehidupan antar
umat beragama, Memahami asal mula Pancasila. Kelimanya itu, dalam makalah ini, dijadikan pokok
bahasan. Namun demikian agar sistematikanya menjadi relatif lebih tepat, pembahasannya dimulai
oleh ‘paradigma yang terakhir’ yaitu paradigma dalam kehidupan kampus. 1. Pancasila sebagai
Paradigma Pembangunan Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu
pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali mengemukakan istilah tersebut
menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah
pandangan mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang
ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di bidang ilmu
pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma
kemudian berkembang dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan,
orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan paradigma berarti
sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah
kegiatan. Dengan demikian, paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan
segala hal dalam kehidupan manusia. Pancasila sebagai paradigma, artinya nilai-nilai dasar
pancasila secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap aspek
pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi atas pengakuan
dan penerimaan bangsa Indonesia atas Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini
sesuai dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia, sedangkan
negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia maka tidak berlebihan apabila
pancasila menjadi landasan dan tolok ukur penyelenggaraan bernegara termasuk dalam
melaksanakan pembangunan. Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat
manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk monopluralis. Kodrat manusia yang
monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain: a. susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan
raga b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial c. kedudukan kodrat manusia sebagai
makhluk pribadi dan makhluk tuhan. Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai
upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa, raga,pribadi, sosial, dan
aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan manusia
secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat manusia
secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya,
dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi,
sosial budaya, dan pertahanan keamanan. a. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik
Manusia Indonesia selaku warga negara harus ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan
sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat
meningkatkan harkat dan martabat manusia. Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia
sebagai subjek harus mampu menempatkan kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai

paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan otoriter. Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia
harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah
sistem politik didasarkan pada asas-asas moral daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu,
secara berturut-turut sistem politik Indonesia dikembangkan atas moral ketuhanan, moral
kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan moral keadilan. Perilaku politik, baik dari
warga negara maupun penyelenggara negara dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga
menghasilkan

perilaku

politik

yang

santun

dan

bermoral.

Pancasila

sebagai

paradigma

pengembangan sosial politik diartikan bahwa Pancasila bersifat sosial-politik bangsa dalam cita-cita
bersama yang ingin diwujudkan dengan menggunakan nilai-nilai dalam Pancasila. Pemahaman untuk
implementasinya dapat dilihat secara berurutan-terbalik: • Penerapan dan pelaksanaan keadilan
sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari; •
Mementingkan kepentingan rakyat (demokrasi) bilamana dalam pengambilan keputusan; •
Melaksanakan

keadilan

sosial

dan

penentuan

prioritas

kerakyatan

berdasarkan

konsep

mempertahankan persatuan; • Dalam pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan
kemanusiaan yang adil dan beradab; • Tidak dapat tidak; nilai-nilai keadilan sosial, demokrasi,
persatuan, dan kemanusiaan (keadilan-keberadaban) tersebut bersumber pada nilai Ketuhanan Yang
Maha Esa. Di era globalisasi informasi seperti sekarang ini, implementasi tersebut perlu
direkonstruksi kedalam pewujudan masyarakat-warga (civil society) yang mencakup masyarakat
tradisional (berbagai asal etnik, agama, dan golongan), masyarakat industrial, dan masyarakat purna
industrial. Dengan demikian, nilai-nilai sosial politik yang dijadikan moral baru masyarakat informasi
adalah: ~ nilai toleransi; ~ nilai transparansi hukum dan kelembagaan; ~ nilai kejujuran dan komitmen
(tindakan sesuai dengan kata); ~ bermoral berdasarkan konsensus (Fukuyama dalam Astrid: 2000:3).
b. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Ekonomi Sesuai dengan paradigma pancasila dalam
pembangunan ekonomi maka sistem dan pembangunan ekonomi berpijak pada nilai moral daripada
pancasila. Secara khusus, sistem ekonomi harus mendasarkan pada dasar moralitas ketuhanan (sila
I Pancasila) dan kemanusiaan ( sila II Pancasila). Sistem ekonomi yang mendasarkan pada moralitas
dam humanistis akan menghasilkan sistem ekonomi yang berperikemanusiaan. Sistem ekonomi yang
menghargai hakikat manusia, baik selaku makhluk individu, sosial, makhluk pribadi maupun makhluk
tuhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila berbeda dengan sistem ekonomi liberal yang hanya
menguntungkan individu-individu tanpa perhatian pada manusia lain. Sistem ekonomi demikian juga
berbeda dengan sistem ekonomi dalam sistem sosialis yang tidak mengakui kepemilikan individu.
Pancasila bertolak dari manusia sebagai totalitas dan manusia sebagai subjek. Oleh karena itu,
sistem ekonomi harus dikembangkan menjadi sistem dan pembangunan ekonomi yang bertujuan
pada kesejahteraan rakyat secara keseluruhan. Sistem ekonomi yang berdasar pancasila adalah
sistem ekonomi kerakyatan yang berasaskan kekeluargaan. Sistem ekonomi Indonesia juga tidak
dapat dipisahkan dari nilai-nilai moral kemanusiaan. Pembangunan ekonomi harus mampu
menghindarkan diri dari bentuk-bentuk persaingan bebas, monopoli dan bentuk lainnya yang hanya
akan menimbulkan penindasan, ketidakadilan, penderitaan, dan kesengsaraan warga negara.
Pancasila sebagai paradigma pengembangan ekonomi lebih mengacu pada Sila Keempat Pancasila;
sementara pengembangan ekonomi lebih mengacu pada pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia.
Dengan

demikian

subjudul

ini menunjuk pada

pembangunan

Ekonomi

Kerakyatan

atau

pembangunan Demokrasi Ekonomi atau pembangunan Sistem Ekonomi Indonesia atau Sistem
Ekonomi Pancasila. Dalam Ekonomi Kerakyatan, politik/kebijakan ekonomi harus untuk sebesarbesar
kemakmuran/kesejahteraan rakyat—yang harus mampu mewujudkan perekonomian nasional yang

lebih berkeadilan bagi seluruh warga masyarakat (tidak lagi yang seperti selama Orde Baru yang
telah berpihak pada ekonomi besar/konglomerat). Politik Ekonomi Kerakyatan yang lebih memberikan
kesempatan, dukungan, dan pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup koperasi, usaha kecil,
dan usaha menengah sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional. Oleh sebab itu
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun
perusahaan yang sesuai dengan ini ialah koperasi. Ekonomi Kerakyatan akan mampu
mengembangkan program-program kongkrit pemerintah daerah di era otonomi daerah yang lebih
mandiri dan lebih mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan daerah. Dengan
demikian, Ekonomi Kerakyatan akan mampu memberdayakan daerah/rakyat dalam berekonomi,
sehingga lebih adil, demokratis, transparan, dan partisipatif. Dalam Ekonomi Kerakyatan, Pemerintah
Pusat (Negara) yang demokratis berperanan memaksakan pematuhan peraturan-peraturan yang
bersifat melindungi warga atau meningkatkan kepastian hukum. c. Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Sosial Budaya Pancasila pada hakikatnya bersifat humanistik karena memang
pancasila bertolak dari hakikat dan kedudukan kodrat manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, pembangunan sosial
budaya harus mampu meningkatkan harkat dan martabat manusia, yaitu menjadi manusia yang
berbudaya dan beradab. Pembangunan sosial budaya yang menghasilkan manusia-manusia biadab,
kejam, brutal dan bersifat anarkis jelas bertentangan dengan cita-cita menjadi manusia adil dan
beradab. Manusia tidak cukup sebagai manusia secara fisik, tetapi harus mampu meningkatkan
derajat kemanusiaannya. Manusia harus dapat mengembangkan dirinya dari tingkat homo menjadi
human. Berdasar sila persatuan Indonesia, pembangunan sosial budaya dikembangkan atas dasar
penghargaan terhadap nilai sosial dan budaya-budaya yang beragam di seluruh wilayah Nusantara
menuju pada tercapainya rasa persatuan sebagai bangsa. Perlu ada pengakuan dan penghargaan
terhadap budaya dan kehidupan sosial berbagai kelompok bangsa Indonesia sehingga mereka
merasa dihargai dan diterima sebagai warga bangsa. Dengan demikian, pembangunan sosial budaya
tidak menciptakan kesenjangan, kecemburuan, diskriminasi, dan ketidakadilan sosial. Paradigmabaru dalam pembangunan nasional berupa paradigma pembangunan berkelanjutan, yang dalam
perencanaan dan pelaksanaannya perlu diselenggarakan dengan menghormati hak budaya komunitikomuniti yang terlibat, di samping hak negara untuk mengatur kehidupan berbangsa dan hak asasi
individu

secara

berimbang

(Sila

Kedua).

Hak

budaya

komuniti

dapat

sebagai

perantara/penghubung/penengah antara hak negara dan hak asasi individu. Paradigma ini dapat
mengatasi sistem perencanaan yang sentralistik dan yang mengabaikan kemajemukan masyarakat
dan keanekaragaman kebudayaan Indonesia. Dengan demikian, era otonomi daerah tidak akan
mengarah pada otonomi suku bangsa tetapi justru akan memadukan pembangunan lokal/daerah
dengan pembangunan regional dan pembangunan nasional (Sila Keempat), sehingga ia akan
menjamin keseimbangan dan kemerataan (Sila Kelima) dalam rangka memperkuat persatuan dan
kesatuan bangsa yang akan sanggup menegakan kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI (Sila
Ketiga). Apabila dicermati, sesungguhnya nilai-nilai Pancasila itu memenuhi kriteria sebagai puncakpuncak kebudayaan, sebagai kerangka-acuan-bersama, bagi kebudayaan - kebudayaan di daerah:
(1) Sila Pertama, menunjukan tidak satu pun sukubangsa ataupun golongan sosial dan komuniti
setempat di Indonesia yang tidak mengenal kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; (2) Sila
Kedua, merupakan nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh segenap warganegara Indonesia tanpa
membedakan asal-usul kesukubangsaan, kedaerahan, maupun golongannya; (3) Sila Ketiga,
mencerminkan nilai budaya yang menjadi kebulatan tekad masyarakat majemuk di kepulauan

nusantara untuk mempersatukan diri sebagai satu bangsa yang berdaulat; (4) Sila Keempat,
merupakan nilai budaya yang luas persebarannya di kalangan masyarakat majemuk Indonesia untuk
melakukan kesepakatan melalui musyawarah. Sila ini sangat relevan untuk mengendalikan nilai-nilai
budaya yang mendahulukan kepentingan perorangan; (5) Sila Kelima, betapa nilai-nilai keadilan
sosial itu menjadi landasan yang membangkitkan semangat perjuangan bangsa Indonesia dalam
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutserta melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. d.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini mengandung
makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga
rakyat Indonesia secara keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan pertahanan dan keamanan
Indonesia disebut sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem
pertahanan yang bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya
nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total
terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan semesta
didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara, serta keyakinan pada kekuatan
sendiri. Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila, di mana pemerintahan dari
rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela
negara. Pancasila sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima bangsa
Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang pertahanan Negara. Dalam
undang-undang tersebut dinyatakan bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan
pandangan hidup bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan
ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah konstitusi, yang di dalamnya terdapat
pengaturan tiga kelompok materi-muatan konstitusi, yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) adanya pembagian dan
pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di
dalamnya terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945
atau merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi
positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi
negatifnya, Pembukaan dapat diubah oleh MPR—sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD—termasuk perubahannya—, demikian juga UU dan peraturan
perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar negara (sila - sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan ‘Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum’, hukum (baik yang
tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3)
Persatuan

Indonesia,

(4)

Kerakyatan

yang

dipimpin

oleh

hikmat

kebijaksanaan

dalam

permusyawaratan/perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian,
substansi hukum yang dikembangkan harus merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang
terkandung dalam Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk hukum
responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan aspirasi rakyat). Pancasila Sebagai
Paradigma Pembangunan Kehidupan Umat Beragama Bangsa Indonesia sejak dulu dikenal sebagai

bangsa yang ramah dan santun, bahkan predikat ini menjadi cermin kepribadian bangsa kita di mata
dunia internasional. Indonesia adalah Negara yang majemuk, bhinneka dan plural. Indonesia terdiri
dari beberapa suku, etnis, bahasa dan agama namun terjalin kerja bersama guna meraih dan mengisi
kemerdekaan Republik Indonesia kita. Namun akhir-akhir ini keramahan kita mulai dipertanyakan
oleh banyak kalangan karena ada beberapa kasus kekerasana yang bernuansa Agama. Ketika bicara
peristiwa yang terjadi di Indonesia hampir pasti semuanya melibatkan umat muslim, hal ini karena
mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Masyarakat muslim di Indonesia memang terdapat
beberapa aliran yang tidak terkoordinir, sehingga apapun yang diperbuat oleh umat Islam menurut
sebagian umat non muslim mereka seakan-seakan merefresentasikan umat muslim. Paradigma
toleransi antar umat beragama guna terciptanya kerukunan umat beragama perspektif Piagam
Madinah pada intinya adalah seperti berikut: 1. Semua umat Islam, meskipun terdiri dari banyak suku
merupakan satu komunitas (ummatan wahidah). 2. Hubungan antara sesama anggota komunitas
Islam dan antara komunitas Islam dan komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsi: a. Bertentangga
yang baik b. Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama c. Membela mereka yang
teraniaya d. Saling menasehati e. Menghormati kebebasan beragama. Lima prinsip tersebut
mengisyaratkan: 1) Persamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara tanpa diskriminasi
yang didasarkan atas suku dan agama; 2) pemupukan semangat persahabatan dan saling
berkonsultasi dalam menyelesaikan masalah bersama serta saling membantu dalam menghadapi
musuh bersama. Dalam “Analisis dan Interpretasi Sosiologis dari Agama” (Ronald Robertson, ed.)
misalnya, mengatakan bahwa hubungan agama dan politik muncul sebagai masalah, hanya pada
bangsa-bangsa yang memiliki heterogenitas di bidang agama. Hal ini didasarkan pada postulat
bahwa homogenitas agama merupakan kondisi kesetabilan politik. Sebab bila kepercayaan yang
berlawanan bicara mengenai nilai-nilai tertinggi (ultimate value) dan masuk ke arena politik, maka
pertikaian akan mulai dan semakin jauh dari kompromi. Dalam beberapa tahap dan kesempatan
masyarakat Indonesia yang sejak semula bercirikan majemuk banyak kita temukan upaya
masyarakat yang mencoba untuk membina kerunan antar masayarakat. Lahirnya lembaga-lembaga
kehidupan sosial budaya seperti “Pela” di Maluku, “Mapalus” di Sulawesi Utara, “Rumah Bentang” di
Kalimantan Tengah dan “Marga” di Tapanuli, Sumatera Utara, merupakan bukti-bukti kerukunan umat
beragama dalam masyarakat. Ke depan, guna memperkokoh kerukunan hidup antar umat beragama
di Indonesia yang saat ini sedang diuji kiranya perlu membangun dialog horizontal dan dialog Vertikal.
Dialog Horizontal adalah interaksi antar manusia yang dilandasi dialog untuk mencapai saling
pengertian, pengakuan akan eksistensi manusia, dan pengakuan akan sifat dasar manusia yang
indeterminis dan interdependen. Identitas indeterminis adalah sikap dasar manusia yang
menyebutkan bahwa posisi manusia berada pada kemanusiaannya. Artinya, posisi manusia yang
bukan sebagai benda mekanik, melainkan sebagai manusia yang berkal budi, yang kreatif, yang
berbudaya. 2. Implementasi Pancasila sebagai Paradigma Kehidupam Kampus Menurut saya,
implementasi pancasila sebagai paradigma kehidupan kampus adalah seperti contoh-contoh
paradigma pancasila diatas kehidupan kampus tidak jauh berbeda dengan kehidupan tatanan
Negara. Jadi kampus juga harus memerlukan tatanan pumbangunan seperti tatanan Negara yaitu
politik, ekonomi, budaya, hukum dan antar umat beragama. Untuk mencapai tujuan dalam hidup
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara maka sebagai makhluk pribadi sendiri dan sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pada hakikatnya
merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur jiwa manusia meliputi aspek akal, rasa,dan
kehendak. Sebagai mahasiswa yang mempunyai rasa intelektual yang besar kita dapat

memanfaatkan fasilitas kampus untuk mencapai tujuan bersama. Pembangunanyang merupakan
realisasi praksis dalam Kampus untuk mencapai tujuan seluruh mahsiswa harus mendasarkan pada
hakikat manusia sebagai subyek pelaksana sekaligus tujuan pembangunan. Oleh karena itu hakikat
manusia merupakan sumber nilai bagi pembangunan pengembangan kampus itu sendiri. Pancasila
sebagai Paradigma dalam Pembangunan Nasional dan Aktualisasi Diri 01 Apr Pendahuluan
Pengertian Paradigma Secara terminologis tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia
ilmu pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul “The Structure Of Scientific
Revolution”, paradigma adalah suatu asumsi-asumsi dasar dan teoritis yang umum (merupakan suatu
sumber nilai) sehingga merupakan suatu sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu
pengetahuan sehingga sangat menentukan sifat, ciri serta karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dalam ilmu-ilmu sosial manakala suatu teori yang didasarkan pada suatu hasil penelitian ilmiah yang
mendasarkan pada metode kuantitatif yang mengkaji manusia dan masyarakat berdasarkan pada
sifat-sifat yang parsial, terukur, korelatif dan positivistik, maka hasil dari ilmu pengetahuan tersebut
secara epistemologis hanya mengkaji satu aspek saja dari obyek ilmu pengetahuan yaitu manusia.
Dalam masalah yang populer istilah paradigma berkembang menjadi terminology yang mengandung
konotasi pengertian sumber nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas serta tujuan dari suatu
perkembangan, perubahan serta proses dari suatu bidang tertentu termasuk dalam bidang
pembangunan & pendidikan. A. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Tujuan negara yang
tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia” hal ini merupakan tujuan Negara hukum formal, adapun rumusan “Memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa” hal ini merupakan tujuan negara hukum
material, yang secara keseluruhan sebagai tujuan khusus atau nasional. Adapun tujuan umum atau
internasional adalah “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Secara filosofis hakikat kedudukan Pancasila sebagai
paradigma pembangunan nasional mengandung suatu konsekuensi bahwa dalam segala aspek
pembangunan nasional kita harus mendasarkan pada hakikat nilai-nilai Pancasila. Unsur-unsur
hakikat manusia “monopluralis” meliputi susunan kodrat manusia, terdiri rokhani (jiwa) dan jasmani
(raga), sifat kodrat manusia terdiri makhluk individu dan makhluk sosial serta kedudukan kodrat
manusia sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri dan makhluk Tuhan. Nilai-nilai dasar Pancasila itu
dikembangkan atas dasar hakikat manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk
monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai ciri-ciri, antara lain: a. susunan
kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga b. sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial c.
kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk tuhan. Berdasarkan itu,
pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia yang
meliputi aspek jiwa, raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan
nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas. Pembangunan sosial harus mampu
mengembangkan harkat dan martabat manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan
dilaksanakan di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Pembangunan,
meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pancasila menjadi
paradigma dalam pembangunan politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. B.
Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Politik Manusia Indonesia selaku warga negara harus
ditempatkan sebagai subjek atau pelaku politik bukan sekadar objek politik. Pancasila bertolak dari
kodrat manusia maka pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Sistem politik Indonesia yang bertolak dari manusia sebagai subjek harus mampu menempatkan

kekuasaan tertinggi pada rakyat. Kekuasaan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem
politik Indonesia yang sesuai pancasila sebagai paradigma adalah sistem politik demokrasi bukan
otoriter Berdasar hal itu, sistem politik Indonesia harus dikembangkan atas asas kerakyatan (sila IV
Pancasila). Pengembangan selanjutnya adalah sistem politik didasarkan pada asas-asas moral
daripada sila-sila pada pancasila. Oleh karena itu, secara berturut-turut sistem politik Indonesia
dikembangkan atas moral ketuhanan, moral kemanusiaan, moral persatuan, moral kerakyatan, dan
moral keadilan. Perilaku politik, baik dari warga negara maupun penyelenggara negara
dikembangkan atas dasar moral tersebut sehingga menghasilkan perilaku politik yang santun dan
bermoral. C. Pancasila sebagai Paradigma Pengembangan IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
(Iptek) pada hakikatnya merupakan suatu hasil kreativitas rohani manusia. Unsur rohani (jiwa)
manusia meliputi aspek akal, rasa, dan kehendak. Akal merupakan potensi rohaniah manusia dalam
hubungannya dengan intelektualitas, rasa dalam bidang estetis, dan kehendak dalam bidang moral
(eti

Dokumen yang terkait

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

Dinamika Perjuangan Pelajar Islam Indonesia di Era Orde Baru

6 75 103

Perspektif hukum Islam terhadap konsep kewarganegaraan Indonesia dalam UU No.12 tahun 2006

13 113 111