Resume buku Daerah Istimewa Yogyakarta d (1)
TUGAS ASAS-ASAS HUKUM TATA NEGARA
RESUME BUKU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
OLEH:
Sandhi Andaru
16102073
DOSEN PEMBIMBING
Raja Dachroni,S.Sos, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
RAJA HAJI TANJUNGPINANG
2017
BAB 1
SEBUAH PEMAHAMAN AWAL
Perubahan paradigma otonomi daerah yang ditandai dengan terbitnya UndangUndang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian
diperbaharui melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, ternyata masih
menyisakan polemik yang cukup hangat untuk menjadi bahan kajian terutama
yang berkaitan dengan kedudukan dan keberadaan daerah istimewa dalam sistem
pemerintahan daerah maupun dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam
sistem pemerintahan daerah di Indonesia dikenal adanya 4 (empat) daerah
provinsi atau setingkat yang dikategorikan sebagai daerah khusus atau daerah
istimewa, yaitu Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, di mana semuanya memiliki
titik berat kekhususan dan keistimewaan yang berbeda satu sama lain dalam hal
substansi ataupun dasar hukumnya.
Permasalahan muncul terhadap Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut
khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana pada UU 22 tahun 1999
dimana tidak berubah pada UU 32 tahun 2002 yang berbunyi “...pengangkatan
Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta
dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku
Alam...”. Permasalahan tersebut semakin menarik tatkala dalam kurun waktu 14
(empat belas) tahun terakhir terjadi peristiwa yang fenomenal yang melibatkan
berbagai komponen dalam masyarakat di Yogyakarta, yaitu : pertama,pada tahun
1998 masyarakat Yogyakarta menolak calon Gubernur selain Sri Sultan
Hamengku Buwono X. Kedua, kejadian serupa berulang pada tahun 2003 dimana
terjadi tarik ulur kepentingan politik dan perbedaan penafsiran peraturan
perundangan tersebut oleh wakil rakyat yang terus menunda-nunda tata tertib
pemilihan gubernur, yang membuat masyarakat
melakukan aksi menuntut
penetapan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur. Ketiga,terjadinya tarik ulur Rancangan Undang-Undang tentang
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta membuat pengesahannya menjadi
Undang-Undang tertunda-tunda, sedangkan Undang-Undang Pemilihan Kepala
Daerah harus menggunakan sistem pemilihan langsung, sehingga menjadi dilema
jika Undang-Undang keistimewaan DIY belum disahkan. Keempat, pernyataan
Sri Sultan Hamengku Buwono X bahwa sampai sekarang kandungan ruh
keistimewaan dalam UU Keistimewaan DIY belum terwujud, tiga ruh yang
penting adalah pemahaman yang komprehensif terhadap sejarah DIY,
perkembangan kekinian tentang pro kontra pandangan dan kepentingan politiknya
serta pakar sejarah dan ketatanegaraan, dan persoalan status tanah-tanah di DIY
yang belum mempunyai kepastian hukum yang berimplikasi luas di masyarakat
pada masa yang akan datang. Dalam kesempatan yang sama Sultan Hamengku
Buwono X menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi sebagai Gubernur DIY
pada tahun 2008. Kelima, pada tahun 2008 telah terjadi beberapa gerakan masa
yang melibatkan berbagai komponen masyarakat di Yogyakarta yang menuntut
penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa melalui pemilihan. Keenam, statemen dari
Pemerintah Pusat yang menyatakan bahwa dengan diselesaikannya RUU
keistimewaan akan membawa DIY dari Monarki Absolut menjadi Monarki
Konstitusional, yang menunjukan Pemerintah Pusat tidak paham bahwa Sistem
Pemerintahan DIY tidak menganut sistem pemerintahan monarki, melainkan
sistem pemerintahan yang keberadaan dan eksistensinya diakui secara legal oleh
UUD 1945 dan UU Pemda. Ketujuh, perbedaan persepsi tersebut membuat publik
bingung, kearah manakah keistimewaan DIY akan dibawa. Kedelapan, sikap diam
dan menunggu Sultan Hamengku Buwono X maupun lingkungan Kasultanan
Yogyakarta. Kesembilan, munculnya berbagai gerakan dan tuntutan baik dari
dalam masyarakat DIY maupun dari luar DIY untuk menetapkan Sultan
Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur. Kesepuluh, amanat atau Sabda Tama Sri Sultan Hamengku Buwono X
yang
berisi
keistimewaan
DIY
tentang
otonomi
dalam
menjalankan
pemerintahnya dan penetapan Sultan Hamengku Buwono serta Adipati Paku
Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
2
Sabda Tama tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan politik dari Sultan
Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai inkonsistensi dan tarik
ulur Pemerintah Pusat.
1. Alasan Historis
DIY berasal dari dua kerajaan yang berkuasa di jaman sebelum Republik
Indonesia berdiri yakni Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman. Eksitensinya diakui dari dunia Internasional, baik pada masa
penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan
Indonesia kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri.
Namun Sultan yang memerintah pada waktu itu memilih sikap secara politik
untuk bergabung dengan Republik Indonesia dan menjadi Daerah Istimewa
yang bersifat kerajaan dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur .
2. Alasan Filosofis
Sebelum
kelahiran
Republik
Indonesia,
Negeri
Ngayogyakarta
dan
Pakualaman telah diakui memiliki otonomi yang luas dan daerah yang
berdaulat sebagai kerajaan oleh Ratu Wihelmina, yang secara hukum
internasional kedudukannya sama dengan negara. Dengan pernyataan
bergabungnya dua negara tersebut ke dalam Republik Indonesia, dalam
perpektif hukum internasional terdapat perjanjian kedua negara tersebut yaitu
Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman dengan
Pemerintah Republik Indonesia yang dikenal dengan bilateral treaties, yang
mengikat dan wajib dipatuhi kedua belah pihak selama keduanya belum
membatalkan kesepakatan dimaksud. Kesepakatan tersebut adalah secara
praktis setelah bergabung dengan Republik Indonesia, Negari Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman penyelenggaraan pemerintahnya
mengikuti sistem yang dianut oleh Republik Indonesia kecuali dalam hal
mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
3
3. Alasan Yuridis
Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY
telah berjalan sesuai pasal 18 B UUD 1945, dimana dimaksud dalam pasal
tersebut mengakomodasi daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa,
seperti Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan Papua.
4. Alasan Sosiologis
Pemberian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY oleh keturunan Sri
Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam merupakan kemauan dari
masyarakat Yogyakarta.
5. Alasan Teoritis
Dari perpektif filsafat ilmu hukum, seharusnya kita tidak berfikir semata-mata
pada teks normatif hukum positif melainkan harus mampu melihat hukum
sebagai realita secara utuh dari perspektif trancendental order, social order
maupun political order. Oleh karenanya keistimewaan DIY harus dipahami
sebagai simbol-simbol dan makna yang ada di lingkungan masyarakat DIY
sebagai satu kesatuan.
4
BAB 2
PENDEKATAN SEJARAH HUKUM, SISTEM PEMERINTAHAN DAN
BANGUNAN NEGARA, DAN TEORI KEKUASAAN
A. Pendekatan Sejarah Hukum
Sebagai disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong sebagai pengetahuan yang
masih muda. Dalam perkembangannya dirasakan kurang menggembirakan
dikarenakan amat langkanya literatur yang disusun secara sistematis dan
lengkap. Hal ini dikarenakan belum disadari tentang pentingnya pendekatan
sejarah hukum dalam menunjang dan memahami ilmu pengetahuan hukum
postif. Sedangkan hukum dan sistem hukum yang dijadikan pertimbangan
penentuan hukum pada masa sekarang dan masa depan merupakan lanjutan
dari peranan sejarah hukum yang terjadi di masa lalu. Menurut Rohfles
seorang ahli sejarah menguraikan berbagai ciri khas sejarah secara pluridimensional, interdependensi data sejarah satu dengan yang lain, aspek
genetis, keterikatan waktu dan lain-lain. Menurut Satjipto, hukum yang
sekarang, mengalir atau bersumber dari hukum yang sebelumnya atau pada
masa-masa yang lampau, atau dengan kata lain hukum yang berlaku saat ini
dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa lampau. Dengan
mengenali dan memahami secara sistematik proses-proses terbentuknya
hukum, faktor-faktor yang menyebabkan, dan sebagainya, memberikan
tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum
dalam masyarakat.
B. Sistem Pemerintahan dan Bangunan Negara
1. Sistem Pemerintahan
Persoalan mengenai sistem pemerintahan selalu berkaitan langsung dengan
negara, hal tersebut disebabkan karena Pemerintahan dan Negara
merupakan dua hal yang saling terkait satu dengan yang lain dan tidak
dapat dipisahkan dalam melakukan pemahaman. Hal tersebut menurut
Rousseau dalam Soehino disebabkan karena pemerintahan merupakan
bagian dari negara atau dapat dikatakan bahwa pemerintahan merupakan
5
badan di dalam negara, akan tetapi dalam menjalankan fungsinya
pemerintahan tidak dapat berjalan sendiri seperti negara, melainkan
bersandar kepada perkembangan sejarahnya. Menurut doktrin dalam
Hukum Tata Negara, sistem pemerintahan negara dapat dibagi ke dalam 3
(tiga) pengertian, yaitu :
Pertama, Sistem Pemerintahan Negara dalam arti paling luas, yakni
tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitikberatkan
pada hubungan antara negara dengan rakyat. Menimbulkan pemerintahan
Monarki, Aristokrasi, dan Demokrasi.
Kedua, Sistem Pemerintahan Negara dalam arti luas, yakni suatu tatanan
atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak dari hubungan antara
semua organ negara, termasuk hubungan antara Pemerintahan Pusat
dengan bagian-bagian yang terdapat di dalam negara di tingkat lokal
(Local Government). Meliputi Bangunan Negara Kesatuan, Bangunan
Negara Serikat, dan Bangunan Negara Konfederasi.
Ketiga, Sistem Pemerintahan Negara dalam arti sempit, yakni suatu
tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan
sebagai organ negara di tingkat pusat, khususnya hubungan antara
eksekutif dan legislatif. Struktur seperti ini menimbulkan model Sistem
Parlementer, Sistem Presidensiil, dan Sistem Pemerintahan dengan
pengawasan langsung oleh rakyat.
Menurut Asshidiqie, variasi-variasi sistem pemerintahan yang terdapat
dalam setiap negara dikembangkan oleh setiap negara sesuai dengan
kebutuhan masing-masing, dimana sistem pemerintahan yang digunakan
oleh suatu negara belum tentu sesuai untuk negara yang lain. Maka sistem
pemerintahan adalah suatu tatanan/susunan pemerintahan yang
berupa suatu struktur yang terdiri dari organ-organ pemegang
kekuasaan di dalam negara dan saling melakukan hubungan
fungsional antara organ-organ negara tersebut baik secara vertikal
maupun horisontal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
6
2. Bentuk dan Bangunan Negara
Kelsen dalam Poerbopranoto bahwa persoalan tentang syarat-syarat
berdirinya sebuah negara, yakni berkaitan dengan pertanyaan apakah suatu
bentuk masyarakat telah memenuhi persyaratan tertentu sehingga
merupakan “negara”, itu adalah persoalan yang bersifat hukum (yuridis).
Dengan kata lain, persyaratan yang menentukan suatu bentuk masyarakat
itu dapat dinamakan “negara” adalah ditentukan menurut pertimbangan
dan norma-norma hukum, yakni hukum negara. Pengertian negara menurut
Kranburg, negara itu pada hakekatnya adalah sebuah organisasi
kekuasaaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut
bangsa. Dengan demikian menurut Krenenburg, sebelum terbentuknya
sebuah negara harus terlebih dahulu ada sekelompok manusia yang
mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi dengan tujuan
untuk memelihara kepentingan dari kelompok tersebut. Berbeda dengan
pendapat tersebut, Logemann dalam Soehino mengatakan bahwa negara
tersebut pada hakekatnya merupakan suatu organisasi kekuasaan, maka
organisasi ini memiliki suatu kewibawaan, dalam mana terkandung
pengertian dapat memaksakan kehendak pada semua orang dalam
organisasi tersebut. Logemann berpendapat negara berkedudukan primer
sedangkan manusia adalah sebagai faktor sekunder dalam terbentuknya
negara. Montesquieu dalam bukunya “I ‘Esprit des Lois” membagi bentuk
negara menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Negara berbentuk republik, dimana kekuasaan tertinggi di dalam
negara berada di tangan rakyat atau dilakukan atas nama rakyat;
2. Negara yang berbentuk monarki, dimana pemerintahan dilakukan oleh
raja/ratu dengan tetap mengacu pada peraturan atau perundangundangan tertentu, yang kemudian disebut dengan istilah Monarki
Konstitusional;
3. Negara yang berbentuk despotis (menganut faham despotisme),
dimana pemerintahan tunggal dilakukan secara sewenang-wenang
tanpa dasar peraturan dan bersifat mutlak.
7
Hestu Cipto Handoyo menyatakan bahwa bangunan negara berkaitan erat
dengan susunan dan struktur negara. Berkaitan dengan hal tersebut,
menurut Hestu secara garis besar dikenal adanya 3 (tiga) macam
bangunan, yaitu Negara Kesatuan (Unitaris), Negara Serikat (Federalis),
dan Serikat Negara-negara (Konfederalis).
C. Teori Kekuasaan
Pengertian kekuasaan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kemampuan
atau kesanggupan orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan,
wewenang, kharisma atau kekuatan fisik. Terkait dengan pengertian tersebut,
John Pieris menguraikan bahwa seseorang atau golongan yang berkuasa,
biasanya memiliki kewibawaan, kekuasaan, kewenangan dan pengaruh yang
besar untuk menguasai orang atau pihak lain. Dari aspek sosiologis, menurut
Maurice Duverger dalam Pieris, kekuasaan terdiri dari seluruh kerangka
institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas, yang berarti, terdapat
dominasi beberapa orang terhadap orang lain. Pemikiran Duverger ini
menurut Pieris memang mengarahkan pada kekuasaan konstitusional yang
berkaitan dengan kekuasaan negara atau pemerintah terhadap anggota
masyarakat. Dalam kaitan teori kekuasaan, Thomas Hobbes menyamakan
kekuasaan pusat yang tunggal atau “sovereignity” atau kedaulatan merupakan
suatu pusat kekuasaan yang langsung berkewenangan di atas seluruh negara.
Sehubungan dengan itu, maka faham “sovereignity” atau kedaulatan ini
menurut sejarah dan perkembangannya mempunyai 2 (dua) sifat, yaitu :
pertama, sifat yang mutlak ke dalam, artinya kekuasaan penuh pemerintahan
negara meliputi seluruh penduduknya; kedua, sifat yang defensif keluar,
yakni daya upaya mempertahankan kedudukan sendiri sebagai negara
merdeka terhadap desakan kekuasaan lain
dari luar. Montesquieu
mengemukakan pendapat tentang teori trias politika yang hingga kini masih
dipraktekkan, yaitu dengan membagi kekuasaan menjadi 3 (tiga); legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Dalam kaitan dengan struktur birokrasi, Max Weber
dalam PJ Suwarno, menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya dapat
8
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu : pertama, Kekuasaan Tradisional, kedua,
Kekuasaan Karismatis, ketiga, kekuasaan legal.
Dalam kaitan dengan teori kekuasaan dan kedaulatan, G. Mudjanto
mengemukakan
teorinya
tentang
kekuasaan
jawa
yang
kemudian
dipopulerkannya dengan konsep atau doktrin keagungbinataraan. Secara
garis besar, inti dari Konsep Keagungbinataraan dalam kekuasaan Jawa
menurut Moedjanto adalah pengakuan bahwa kekuasaan raja itu agung
binatara, bahu dendha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil
paramarta (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa
dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama).
Berdasarkan hal tersebut, maka kekuasaan raja jawa bersifat absolut, akan
tetapi diimbangi dengan kewajiban moral yang besar untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya.
9
BAB 3
DAERAH ISTIMEWA
A. Daerah Istimewa
Daerah
Istimewa
merupakan
istilah
yang
sangat
populer
dalam
penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam khasanah desentralisasi di
Indonesia, setidaknya sebagai status yang melekat bagi Provinsi Aceh dan
Yogyakarta. Menurut Eko Sutoro, dalam kaitan desentralisasi, pemerintaha
nasional memberikan pengakuan terhadap keberagaman budaya, asal-usul
dan pengalaman sejarah untuk memberikan status istimewa pada Aceh,
Papua, Yogyakarta maupun Jakarta (sebagai ibukota negara). Dalam
pembicaraan dalam rapat-rapat BPUPKI, tidak dijumpai penjelasan mengenai
makna atauu pengertian “hak asal-usul dalam daerah-daerah yang besifat
istimewa”. Dalam IS atau RR tidak pernah diketemukan penggunaan istilah
“istimewa” atau “khusus” untuk menunjukan sifat suatu daerah pemerintahan
tertentu. Demikian pula dalam buku mengenai susunan ketatanegaraan Hindia
Belanda tidak mempergunakan istilah “istimewa” atau semacam itu. Klentjes,
ketika menguraikan aneka ragam suatu pemerintahan tingkat daerah (legere
territoriale rechtgemeenschappen) hanya menyebutkan: province, autonomie
regentscappen, standgemeenten, plaatselijkeresorten, inlandsche gemeenten,
rechtpersoonlijk-heid
bezzittend,
waterschappen,
dan
landschappen.
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) mengidentifikasikan
“hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai daerahdaerah yang mempunyai susunan asli yaitu Zelfbestuurende landschappen
dan Volkgemeenschappen. Kedua susunan pemerintahan tersebut meskipun
tunduk pada tingkat berbagai pemerintahan Hindia Belanda, tetapi merupakan
susunan pemerintahan asli Indonesia. Bukan merupakan bentukan peraturan
perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda, melainkan pemerintahan
yang diciptakan dam dijalankan kaum bumi putera. Selanjutnya, dalam alinea
terakhir penjelasan pasal 18 UUD 1945 berbunyi: “Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
10
segala aturan negara mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut”. Sebenarnya sudah terdapat petunjuk bahwa “memandang
dan mengingati” itu berarti ”menghormati”, atau dengan kata lain “tidak
mengabaikan”. Jadi, konsekuensi dari jaminan yang diberikan UUD 1945
tersebut adalah bahwa setiap aturan negara atau peraturan perundangundangan mengenai “daerah bersifat istimewa” itu haruslah tidak
mengabaikan hak asal-usul daerah tersebut.
B. Ragam Daerah Istimewa
Berdasarkan butir II penjelasan pasal 18 UUD 1945 daerah yang bersifat
istimewa dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu yang disebut
Zelfbestuurende landschappen atau yang lazim disebut dengan Daerah
Swapraja dan Volkgemeenschappen atau Desa dan yang setingkat dengan itu,
dimana dalam penjelasan disebutkan secara kongkret contoh-contohnya
seperti Nagari di Minangkabau dan Marga di Palembang. Menurut Bayu
Surianingrat
menyatakan
bahwa
swapraja
mempunyai
wewenang
menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan mengatur urusan rumah
tangganya sendiri, dan berkaitan dengan kontrak politik, terdapat 2 (dua)
macam kontrak politik, yaitu :
1. Korte Verklaring. Dalam pernyataan ini Kepala Swapraja menyatakan
secara singkat bahwa ia mengakui kekuasaan tertinggi ada pada Belanda
dan ia tunduk pada Raja Belanda, bahwa ia akan mentaati semua aturan
dan perintah Gouvernement, dan bahwa ia tidak akan mengadakan
perjanjian dengan kekuasaan atau negara lain.
2. Lang Contract (Kontrak Panjang). Kepala Swapraja yang dianggap
mempunyai kedudukan penting oleh Pemerintah Hindia Belanda, akan
membuat perjanjian atau kontrak panjang. Dalam kontrak ini diatur satu
demi satu hak dan kewajiban Kepala Swapraja maupun Gouvernement.
11
BAB 4
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF YURIDIS
A. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Konstitusi
1. UUD 1945
UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa daerah-daerah istimewa itu
telah memiliki hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan
pemerintahan di daerahnya. Hak-hak itu berupa hak yang dimiliki
berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimilikinya
sejak semula yang bersifat autochtoon, atau hak yang dimilikinya sejak
sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia.
Inilah perwujudan hak asal-usul yang masih dimiliki oleh Daerah Istimewa
Yogyakarta,
selebihnya
pada
umumnya
berasal
dari
pemberian
pemerintah, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus berbagai urusan
rumah tangga daerah, seperti halnya Pemerintah Provinsi lainnya. Hak-hak
asal-usul dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok, yakni : hak asalusul yang menyangkut struktur kelembagaan, hak asal-usul yang
menyangkut
pemberhentian
ketentuan
dan
pemimpin,
prosedur
dan
hak
tentang
asal-usul
pengangkatan
yang
dan
menyangkut
penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan
dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.
Dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 butir pertama dikatakan Negara
Indonesia merupakan suatu “eendheidstaat”, maka oleh sebab itu dalam
struktur pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia tidak memungkinkan
adanya sebuah negara dalam negara atau daerah/daerah istimewa tidak
akan mungkin diatur dalam politiek-contract, seperti yang pernah
dilakukan dalam masa pemerintahan penjajahan. Berkaitan dengan hal
tersebut, esensi yang terkandung pada pasal tersebut, yaitu :
Pertama, adanya daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang berdasarkan pada asas desentralisasi.
12
Kedua, satuan pemerintahan daerah menurut UUD 1945 dalam
penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
Ketiga, dalam penyusunan dan penyelenggaraan sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dilakukan dengan memandang dan mengingati hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan secara konstitusional
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang kemudian
diintegrasikan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dijadikan
istimewa, dengan mempertimbangkan :
a. Ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang.
b. Bentuk dan Susunan pemerintahan yang ada disesuaikan dengan
kondisi
dan
sistem
pemerintahan
negara
dengan
tetap
mempertimbangkan hak asal-usul yang berlaku di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
c. Bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
tersebut memandang dan mengingati dasar permusyawaratan.
2. Konstitusi RIS 1949
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara federal
membawa konsekuensi adanya perubahan konstitusi yaitu dari UUD 1945
ke Konstitusi RIS 1949 yang lahir bersamaan dengan lahirnya Republik
Indonesia Serikat pada 17 Desember 1949. Dalam Konstitusi RIS
kedudukan dan eksistensi Daerah Istimewa sebagai bagian dari Sistem
Pemerintahan Daerah maupun sebagai bagian dari Sistem Ketatanegaraan
Indonesia secara ekplisit telah diakui, meskipun terdapat perbedaan
konsepsional pengertian Daerah Istimewa antara Konstitusi RIS dengan
dalam UUD 1945. Dalam Konstitusi RIS, Daerah Istimewa adalah bagian
dari Daerah negara dan hanya Kalimantan Barat, sedangkan pada UUD
1945 istilah daerah-daerah
yang diakui sebelumnya pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda sebagai Zelfbestuurende landschappen dan
Volkgemeenschappen dinyatakan sebagai Daerah Istimewa. Selain itu
13
sesuai yang tertuang dalam pasal 64 sampai dengan pasal 67 Konstitusi
RIS, daerah-daerah yang diakui sebelumnya pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda sebagai Zelfbestuurende landschappen diistilahkan
menjadi Daerah Swapraja pada masa Republik Indonesia Serikat, tidak
terkecuali Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Perubahan konstelasi politik di Indonesia sebagai negara yang baru lahir
membawa dampak terhadap perubahan Konstitusi untuk yang ke- 2
kalinya, yaitu pertama, dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS, kedua, dari
Konstitusi RIS ke UUDS 1950. Pada UUDS 1950 ini tidak terdapat
perbedaan dalam mengenai Daerah Istimewa, karena Zelfbestuurende
landschappen masih diistilahkan Daerah Swapraja
4. UUD 1945 Pasca Amandemen
Sejalan dengan perkembangan demokrasi dan situasi politik kenegaraan
Indonesia,
sepanjang
tahun
2001-2003
telah
dilakukan
amandemen/perubahan pasal demi pasal UUD 1945, tak terkecuali Pasal
18 UUD 1945. Dari Amandemen terhadap UUD 1945 ini, UUD 1945
pasca amandemen menjamin dan mengakui hak-hak keistimewaan daerahdaerah yang bersifat istimewa, namun keistimewaan ini tidak bersifat
mutlak seperti UUD 1945 sebelum diamandemen, keberlangsungan
keistimewaan daerah-daerah yang bersifat istimewa disesuaikan dengan
perkembangan pemerintahan modern serta dinamika kehidupan berbangsa
dan bernegara.
B. Daearah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-Undang Pemerintah
Daerah
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah ini
pada pelaksanaannya dianggap sebagai Undang-Undang pertama yang
mengatur tentang Pemerintahan di daerah, karena dibuat pada masa
revolusi, sudah barang tentu sangat wajar apabila ketentuan-ketentuan di
dalamnya dirasakan masih sangat sumir atau tidak sempurna. Pada pasal
14
pertama UU tersebut Komite Nasional Daerah diadakan di seluruh wilayah
Jawa dan Madura kecuali di Daerah Surakarta dan Yogyakarta,
dikarenakan secara historis merupakan swapraja pada pemerintahan
Hindia Belanda. Selain itu pemerintah menganggap perlua adanya
Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Daerah Istimewa.
2. Undang-Undang No.22 Tahun 1948
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
ditetapkan di Yogyakarta, Undang-Undang ini secara eksplisit mencabut
UU No. 1 Tahun 1945. Seperti halnya UU No. 1 Tahun 1945, dalam UU
No.22 Tahun 1948 ini permasalahan Daerah Istimewa mendapat perhatian
cukup besar. Hanya saja UU No. 1 Tahun 1945 hanya memperhatikan
Daerah Swapraja khususnya Surakarta dan Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa, sedangkan dalam UU No.22 Tahun 1948 sudah dikembangkan
pemikirannya menyesuaikan kembali dengan ketentuan pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya yang memungkinkan Desa sebagai Daerah
Istimewa, di samping Provinsi dan Kabupaten.
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957
Dalam Undang-Undang ini, paling banyak dimuat ketentuan tentang
Daerah Istimewa, meskipun UU No. 1 Tahun 1957 ini ditetapkan dengan
berdasarkan UUDS 1950 yang tidak terdapat ketentuan tentang Daerah
Istimewa. Suasana riil menurut Sujamto, dalam penyusunan UU ini lebih
dipengaruhi UUD 1945 meskipun UU ini merupakan amanat dari UUDS
1950. Dalam UU ini penggunaan istilah Daerah Swatantra digunakan
untuk Daerah biasa, dengan Daerah Swatantra tingkat ke- I sebagai
representasi Provinsi, Daerah Swatantra tingkat ke- II sebagai representasi
Kabupten, dan Daerah Swatantra tingkat ke- III sebagai representasi Desa.
Sama halnya dengan Daerah Swatantra, Daerah Istimewa juga dibagi
dalam
tingkatan-tingkatan
sesuai
dengan
representasi
tingkatan
administrasi daerahnya.
15
4. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959
Sebagaimana kita ketahui bahwa Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959
adalah amanah digunakannya kembali UUD 1945. Sehingga terkait
dengan lahirnya Perpres No.6 Tahun 1959 tersebut, maka kedudukan dan
eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta diakui secara hukum sebagai
bagian dari struktur ketatanegaraan Indonesia dan dengan dikeluarkannya
Perpres No. 6 Tahun 1959 ini adalah merubah bentuk dan susunan
Pemerintahan Daerah, dimana perubahan ini juga berlaku juga di DIY.
5. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
UU ini berisi tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini,
permasalahan Daerah Istimewa tidak diatur secara khusus dan rinci, akan
tetapi hanya diatur dalam Pasal 88 yang termasuk dalam Bab peraturan
peralihan. Dalam Bab tersebut disebut pula Daerah Istimewa Aceh yang
dalam UU terdahulu belum pernah disinggung sama sekali. Lain daripada
itu Daerah-daerah Swapraja lain selain Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman dinyatakan dihapus.
6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
Perubahan konstelasi politik dalam negeri yang ditandai dengan jatuhnya
Presiden Soekarno dan digantikan Presiden Soeharto membawa dampak
pula bagi perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan
pemerintahan daerah. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU ini tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang merupakan produk hukum
pertama dan terakhir yang mengatur tentang pemerintahan di daeraha
dalam masa kepemimpinan Presiden Soeharto (orde baru). Dalam UU ini
terjadi penyeragaman terhadap bentuk dan susunan pemerintahan daerah
dengan tanpa memperhatikan hak asli dan asal-usul bagi bekas swapraja
maupun hak asli otonom bagi Desa atau Volkgemeenschappen. Sedangkan
kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta diakui secara hukum oleh
Pemerintah pusat, namun terdapat pengertian yang sumir dalam Pasal 91
butir b, dimana pasal tersbut dapat diartikan bahwa keistimewaan DIY
dalam pengangkatan Kepala dan Wakil Daerahnya hanya sampai Sultan
16
Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII, dan setelah itu
mekanismenya sesuai UU No. 6 Tahun 1974 melalui DPRD.
7. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Sejalan dengan tuntutan untuk mewujudkan desentralisasi dan hubungan
yang adil antara pusat dan daerah, membawa dampak bagi perubahan
paradigma otonomi daerah yang kemudian ditandai dengan terbitnya UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam UU ini
daerah diberikan kewenangan atau otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan ciri khas
dan karakteristik masing-masing daerah. Pada UU ini terkait Daerah
Istimewa masih mempedomani UU No. 5 Tahun 1974, dimana pada UU
tersebut belum mengatur tentang isi dan substansi dari keistimewaan
Yogyakarta.
Konsekuensinya
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
ketentuan-ketentuan lain dalam hal ini pemerintahan daerah harus
didasarkan pada UU No.22 Tahun 1999 yang tentunya secara substansi
bertentangan dengan unsur keistimewaan.
8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 kembali tidak terdapat pengaturan khusus
mengenai Daerah Istimewa. Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dalam
UU ini tertuang dalam pasal Ketentuan Lain-lain, dimana terkait Daerah
Istimewa diatur dalam UU tersendiri. Dan khusus DIY ketentuan terkait
penyelenggaraan pemerintahannya didasarkan pada UU ini, sehingga
terkait substansi dari penyelenggaraan pemerintahannya, DIY tidak
mempunyai keistimewaan seperti Daerah Istimewa lainnya yang diatur
dengan UU secara khusus.
C. Undang-Undang Pembentukan Daerah
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950
Secara de jure pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta sudah
dilakukan melalui UU No. 3 Tahun 1950 juncto UU No. 19 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ditetapkan pada
tanggal 3 Maret 1950. Namun UU tersebut belum secara eksplisit
17
mengatur tentang substansi atau hal-hal menjadi dasar keistimewaan
Yogyakarta. Pada UU ini juga diatur tentang urusan yang wajib dilakukan
Pemerintah
Daerah
Yogyakarta,
karena
mengatur
urusan
bukan
kewenangan maka terjadi multiinterpretasi tentang makna istimewa yang
disandang Yogyakarta.
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2012
UU ini menyempurnakan UU sebelumnya tentang keistimewaan DIY.
Pada UU ini secara isi dan substansi telah dibahas penyelenggaraan
pemerintahan DIY secara khusus.
18
BAB 5
SEJARAH HUKUM PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA
A. Masa Hindia Belanda
Wilayah kerajaan Mataram yang pada saat menjelang terbentuknya
Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta oleh Sri Sunan Paku
Buwono III berkedudukan di Sala (Surakarta) sebagai ibukota, merupakan
induk atau cikal bakal lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itu,
kekuasaan Mataram membentang meliputi seluruh Pulau Jawa (Kecuali Jawa
Barat). Wilayah Mataram yang pada saat itu hampir meliputi seluruh Jawa
(Kecuali Jawa Barat) pada masa pemerintahan raja-raja sesudah Sultan
Agung (1612-1645) sedikit demi sedikit jatu ke tangan Verenidge Oost
Indische Companie (VOC) atau lebih dikenal Kompeni Belanda
yang
kemudian karena mengalami kebangkrutan, maka kedudukan VOC
digantikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda sebagai wakil Kerajaan
Belanda. Semakin lemahnya kekuasaan Raja Mataram membuat kekuasaan
Kerajaan Mataram sejajar dengan VOC, dan membuka peluang bagi VOC
untuk
mencapkan
pemerintahan
pengaruhnya
Keraton.
Terkait
dan
melakukan
dengan
hal
intervensi
tersebut,
dalam
Sudarisman
Purwokusumo menyatakan bahwa terdapat beberapa perjanjian atau kontrak
politik antara Sri Sunan Paku Buwono II sebagai Raja Mataram dengan
Belanda, selanjutnya Sudarisman Purwokusumo menguraikan 3 (tiga)
perjanjian terakhir sebelum ditandatanganinya Perjanjian Gianti, yaitu
sebagai berikut :
1. Perjanjian Tahun 1743
Isi perjanjian Tahun 1743 kurang lebih dinyatakan sebagai berikut :
I. Setelah Geger Pecinan selesai, maka Sri Sunan Paku Buwono II harus
menyerahkan pada VOC :
19
a. Pulau Madura;
b. Sebagian dari Jawa Timur sebelah timur garis dari Pasuruan ke
selatan;
c. Daerah Pesisiran dan daerah-daerah sungai besar (Bengawan Sala
dan Kali Brantas);
d. Surabaya dan sekitarnya;
e. Rembang, Jepara, Ambarawa dan sekitarnya;
f. Semarang.
II. Disamping itu dalam Pasal 4 ditegaskan, bahwa untuk mengangkat
Pepatih Dalem (RikjsBestuurder) Sri Sunan harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari VOC.
III. Sri Sunan harus menjual bahan-bahan tertentu yang diperlukan oleh
VOC.
IV. Karena Kota Kertasura sebagai ibukota Kerajaan Mataram telah
hancur akibat Geger Pecinan, maka Sri Sunan diijinkan untuk
memindahkan ibukota Kerajaan Mataram ke Kota Surakarta (Sala),
dipinggir Bengawan Sala.
2. Perjanjian Tahun 1746
Pada saat Gubernur Jenderal Van Imhoff mengunjungi ibukota Kerajaan
Mataram di Surakarta pada Tahun 1746, maka selain memperkuat
Perjanjian 1743 yang lebih menguntungan bagi VOC, VOC juga mendapat
perjanjian tambahan dari Sri Sunan Paku Buwono II, kurang lebih sebagai
berikut :
I. Semua syahbandar di kota-kota pesisiran harus dipergunakan untuk
kepentingan VOC dan untuk itu Sri Sunan akan dapat ganti rugi dalam
bentuk mata uang.
II. Daerah-daerah pesisiran lainnya yang belum diserahkan kepada VOC,
diserahkan sepenuhnya oleh Sri Sunan Paku Buwono II, penyerahan
mana juga akan diberi ganti rugi dengan uang.
III. Segala macam bea dan pungutan di jalan-jalan dan sungai-sungai, juga
borongan tempat-tempat sarang burung diserahkan oleh Sri Sunan
20
Paku Buwono II kepada VOC dengan mendaatkan ganti rugi dalam
bentuk uang.
3. Perjanjian Tahun 1749
Perjanjian Tahun 1749 merupakan Perjanjian penyerahan Kerajaan
Mataram kepada Pemerintah Hindia Belanda oleh Sri Sunan Paku Buwono
II. Beberapa hari sebelum Sri Sunan Buwono II mangkat, dan dalam
kondisi sakit yang sangat kritis, Baron Van Hovendorf Gubernur dan
Direktur Jawa berhasil membujuk Sri Sunan Paku Buwono untuk
menandatangani sebuah perjanjian tentang penyerahan Kerajaan Mataram
kepada VOC.
B. Masa Pendudukan Jepang
Kekalahan Sekutu pada Perang Dunia ke II oleh Jepang, secara tidak
langsung membawa dampak politis pendudukan Belanda di Indonesia.
belanda sebagai salah satu negara pendukung Sekutu harus menerima
konsekuensi terhadap kekalahan tersebut, dengan merelakan daerah
koloninya untuk diserahkan kepada Jepang, tidak terkecuali Yogyakarta.
Jepang berencana melakukan pengaturan seluruh Jawa dengan menggunakan
hukum tata negara yang positif dengan memberitahukan rencananya kepada
Sultan Hamengku Buwono IX, dan dituangkan dalam dokumen arsip Karaton
Yogyakarta dengan judul Rencana Tatanegara di Tanah Jawa.
C. Masa Pasca Kemerdekaan
1. Periode Tahun 1945-1950
Setelah berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia dan Sekutu belum
dapat mengambil alih kekuasaan, hal tersebut dimanfaatkan oleh para
pejuang RI untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan upaya Pemerintah RI untuk melakukan
penyempurnaan pemerintahan dan mengefektifkan kekuasaannya di
daerah-daerah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
menjadi wewenangnya beserta instruksi lewat pidato oleh presiden, wakil
presiden maupun perdana menteri. Perkembangan tersebut cepat ditangkap
oleh masyarakat Yogyakarta maupun pihak Kasultanan Yogyakarta dam
21
Kadipaten Pakualaman dengan berintegrasi dengan Pemerintah RI dengan
menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara resmi tertuang dalam UU
Nomor 3 Tahun 1950, meskipun secara de facto, nama atau sebutan
Daerah Istimewa Yogyakarta telah dipergunakan sebelum lahirnya UU
tersebut, yakni pada pasal 18 UUD 1945.
2. Periode Tahun 1950-1959
Pada periode ini terjadi penggabungan Kabupaten Kulon progo dengan
Kabupaten Adikarto, dikarenakan wilayahnya yang terlalu kecil dan juga
efesiensi susunan pemerintahan di daerah-daerah tersebut. Seperti
diketahui meskipun DIY berintegrasi dengan Pemerintah Republik
Indoensia, akan tetapi birokrasi pemerintahan Keraton tidak dihapuskan.
3. Periode 1959-1965
Seiring dengan terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian
diiringi dengan kembali ke UUD 1945, maka Pemerintah Pusat kemudian
berusaha untuk menyesuaikan kembali penyelenggaraan pemerintahan
daerah berdasarkan UUD 1945 dengan keluarnya Penpres no. 6 Tahun
1959. Perubahan ini berimplikasi pada DIY sesuai yang telah dibahas pada
pembahasan bab sebelumnya.
4. Periode 1965-1974
Periode ini diawali dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 1965 tentang
Pemerintah Daerah. Pada dasarnya UU No. 18 Tahun 1965 merupakan
pengukuhan Penpres No. 6 Tahun 1959 menjadi sebuah UU, implikasi
pada DIY adalah dengan perubahan Struktur Organisasi DIY seperti pada
bagan di bawah :
22
5. Periode Tahun 1974-1999
Perubahan konstelasi politik dalam negeri yang ditandai dengan jatuhnya
kepemimpinan Presiden Soekarno dan digantikan Presiden Soeharto.
Dampaknya pada pemerintah daerah adalah dengan lahirnya UU No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merupakan
produk pertama dan terakhir yang mengatur pemerintahan daerah pada
masa orde baru.
6. Periode Pasca Tahun 1999
Sejalan dengan tuntutan untuk mewujudkan desentralisasi dan hubungan
yang adil antara pusat dan daerah, membawa dampak bagi perubahan
paradigma otonomi daerah yang ditandai dengan terbitnya UU No. 22
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan
UU No. 32 Tahun2004. Dimana daerah diberikan kewenangan atau
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dengan memperhatikan ciri khas dan karakteristik masing-masing
daerah. Perubahan ini akan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
23
BAB 6
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2012 DAN MASA DEPAN
KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
A. Keistimewaan dalam bingkai Negara Kesatuan
Pasal 18 Tahun 1945 memberi pengakuan formal terhadap daerah-daerah
yang memiliki keistimewaan dimana pengaturan tentang daerah istimewa
ditetapkan dengan sebuah UU dengan mengingati hak-hak asal-usul yang
berlaku di daerah istimewa. Dinamika perubahan konstelasi politik membuat
pemahaman, pengakuan dan perubahan terhadap pengaturan pemerintahan
daerah yang tentunya juga daerah yang bersifat istimewa. Hingga yang
terakahir adalah UU No. 32 Tahun 2004, yang konsekuensinya adanya UU
turunan yang mengatur Daerah Istimewa secara khusus.
Secara khusus DIY dalam pembahasan kita ini, sempat mengalami konflik
dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahannya pasca UU No.32 Tahun
2004
dikarenakan
UU
yang
mengatur
secara
isi
dan
substansi
penyelenggaraan keistimewaan pemerintahannya secara komprehensif belum
juga diterbitkan seperti daerah istimewa lainnya seperti DKI Jakarta,
Nanggroe Aceh Darussalam, dan Prov. Papua yang diatur secara khusus
keistimewaannya dalam UU.
Konflik tersebut berakhir setelah diterbitkannya UU No. 13 Tahun 2012 yang
secara garis besar keistimewaan dan otonomi khusus diberikan dengan
hakekatnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta
dengan melalui pemerintahan yang demokratis dengan berbasis pada nilainilai kultural dan kearifan lokal.
B. Subtansi Kewenangan Keistimewaan DIY
1. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan kewenangan
Gubernur dan Wakil Gubernur
24
Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan isu yang
paling krusial pada saat penyusunan undang-undang keistimewaan
Yogyakarta. Namun pada akhirnya melalui UU No. 13 Tahun 2012, Sultan
Hamengku Buwono dan KGPAA Paku Alam yang bertahta secara
otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2012 tentang syarat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terdapat klausul
bahwa Calon Gubernur dan Wakil harus bertahta sebagai Sultan
Hamengku Buwono dan bertahta sebagai Adipati Paku Alam. Dengan
demikian siapapun dan pihak manapun terutama dari internal Kasultanan
dan Pakualaman tidak akan diajukan sebagai Calon Gubernur dan Wakil
Gubernur apabila bukan Sultan dan Adipati Paku Alam.
2. Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY
Kewenangan keistimewaan dalam aspek kelembagaan Pemerintah Daerah,
diatur dalam Bab VIII tentang Kelembagaan Pasal 30. Dimana dalam pasal
tersebut kewenangan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi,
dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan
asli. Dan diatur dalam Perdais (Peraturan Daerah Istimewa).
3. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah DIY sebagai ciri keistimewaan DIY. Secara jelas
tertuang dalam Pasal 31 UU No. 13 Tahun 2012, dimana Pemerintah
Daerah DIY diberikan Kewenangan seluas-luasnya untuk memelihara dan
mengembangkan
kebudayaan.
Dan
mengenai
ketentuan
untuk
mengaturnya diatur dalam Perdais.
4. Pertanahan
Dalam kaitan dengan keistimewaan Yogyakarta, masalah pertanahan
merupakan salah satu isu aktual dan krusial selain jabatan gubernur dan
wakil gubernur. Melalui UU No. 13 Tahun 2012, Kasultanan dan
Kadipaten dijadikan sebagai badan hukum khusus yang merupakan subjek
25
hak yang memiliki hak milik atas tanah Kasultanan dan Kadipaten.
Dengan demikian kewenangan ini berdampak positif untuk mengatur
kewenangan secara administratif atas tanah-tanah Kasultanan dan
Kadipaten.
5. Tata Ruang
Kewenangan keistimewaan di bidang tata ruang bagi DIY berkorelasi
dengan aspek pertanahan. Dengan kewenangan yang diberikan seiring
dengan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Kasultanan dan
Pakualaman tanah yang menjadi aset atau milik Kasultanan dan
Pakualaman,
selanjutnya
Kasultanan
dan
Pakualaman
dalam
melaksanakan kewenangan tata ruang, dapat menetapkan kerangka umum
kebijakan tata ruang tanah Kasultanan dan Pakualaman dengan mengacu
tata ruang nasional dan tata ruang DIY.
C. Masa Depan Keistimewaan DIY
1. Kasultanan dan Pakualaman
Faktor ini merupakan faktor yang utama dalam arti implementasi
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UU No.13 Tahun
2012 akan tergantung pada pihak Kasultanan dan Pakualaman sendiri.
Penataan kelembagaan maupun koordinasi internal di Kasultanan dan
Pakualaman meruapakan hal
yang mutlak dilakukan, mengingat
Kasultanan
menjadi
dan
Pakualaman
panutan
bagi
masyarakat
Yogyakarta. Sehingga konflik internal atau perbedaan di dalam lingkungan
Kasultanan dan Pakualaman seyogyanya dapat diselesaikan dengan baik
dan tidak mencuat keluar dan terbaca oleh publik sehingga tidak
menimbulkan dampak yang negatif terhadap implementasi UU No. 13
Tahun 2012.
2. Rakyat
Sejalan dengan semboyan fox populi fox dei (suara rakyat adalah suara
Tuhan), maka keberadaan daerah istimewa sangat ditentukan oleh
bagaimana kehendak dan keinginan rakyat. Proses terbitnya UU No. 13
Tahun 2012 merupakan kemauan rakyat Yogyakarta dimana pada Tahun
26
2008 rakyat Yogyakarta menuntut pada Pemerintah Pusat agar menetapkan
Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY tanpa melalui
mekanisme pemilihan di DPRD.
3. Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Kemauan politik (Political Will) Pemerintah Pusat merupakan kunci bagi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berbasis keistimewaan dan
kekhususan.
Hal
itu
disebabkan
karena
landasan
yuridis
bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat lepas atau bertentangan
dengan
ketentuan-ketentuan hukum
Pemerintah
Pusat,
meskipun
yang telah
jaminan
terhadap
keistimewaan keragaman adat dan istiadat
dikeluarkan
oleh
kekhususan
dan
dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah telah diberikan.
4. Elite Politik
Tidak dapat dipungkiri bahwa terbitnya UU No. 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dipenuhi dengan tarik ulur
antar kepentingan berbagai elite politik, sehingga membutuhkan waktu
yang sangat lama dan menguras energi yang cukup besar dari elemen di
Yogyakarta maupun Pemerintah Pusat. Menyikapi hal tersebut, diperlukan
kearifan dari elite politik yang ada di tingkat pusat maupun tingkat lokal
dalam kaitannya mengimplementasikan UU No. 13 Tahun 2012. Sehingga
keistimewaan Yogyakarta yang berbasis kultural dan kearifan lokal akan
dapat membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
27
28
29
30
31
32
RESUME BUKU DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
OLEH:
Sandhi Andaru
16102073
DOSEN PEMBIMBING
Raja Dachroni,S.Sos, M.Si
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
SEKOLAH TINGGI ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
RAJA HAJI TANJUNGPINANG
2017
BAB 1
SEBUAH PEMAHAMAN AWAL
Perubahan paradigma otonomi daerah yang ditandai dengan terbitnya UndangUndang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang kemudian
diperbaharui melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, ternyata masih
menyisakan polemik yang cukup hangat untuk menjadi bahan kajian terutama
yang berkaitan dengan kedudukan dan keberadaan daerah istimewa dalam sistem
pemerintahan daerah maupun dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam
sistem pemerintahan daerah di Indonesia dikenal adanya 4 (empat) daerah
provinsi atau setingkat yang dikategorikan sebagai daerah khusus atau daerah
istimewa, yaitu Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, di mana semuanya memiliki
titik berat kekhususan dan keistimewaan yang berbeda satu sama lain dalam hal
substansi ataupun dasar hukumnya.
Permasalahan muncul terhadap Undang-Undang Pemerintah Daerah tersebut
khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana pada UU 22 tahun 1999
dimana tidak berubah pada UU 32 tahun 2002 yang berbunyi “...pengangkatan
Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta
dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku
Alam...”. Permasalahan tersebut semakin menarik tatkala dalam kurun waktu 14
(empat belas) tahun terakhir terjadi peristiwa yang fenomenal yang melibatkan
berbagai komponen dalam masyarakat di Yogyakarta, yaitu : pertama,pada tahun
1998 masyarakat Yogyakarta menolak calon Gubernur selain Sri Sultan
Hamengku Buwono X. Kedua, kejadian serupa berulang pada tahun 2003 dimana
terjadi tarik ulur kepentingan politik dan perbedaan penafsiran peraturan
perundangan tersebut oleh wakil rakyat yang terus menunda-nunda tata tertib
pemilihan gubernur, yang membuat masyarakat
melakukan aksi menuntut
penetapan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur. Ketiga,terjadinya tarik ulur Rancangan Undang-Undang tentang
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta membuat pengesahannya menjadi
Undang-Undang tertunda-tunda, sedangkan Undang-Undang Pemilihan Kepala
Daerah harus menggunakan sistem pemilihan langsung, sehingga menjadi dilema
jika Undang-Undang keistimewaan DIY belum disahkan. Keempat, pernyataan
Sri Sultan Hamengku Buwono X bahwa sampai sekarang kandungan ruh
keistimewaan dalam UU Keistimewaan DIY belum terwujud, tiga ruh yang
penting adalah pemahaman yang komprehensif terhadap sejarah DIY,
perkembangan kekinian tentang pro kontra pandangan dan kepentingan politiknya
serta pakar sejarah dan ketatanegaraan, dan persoalan status tanah-tanah di DIY
yang belum mempunyai kepastian hukum yang berimplikasi luas di masyarakat
pada masa yang akan datang. Dalam kesempatan yang sama Sultan Hamengku
Buwono X menyatakan tidak bersedia dicalonkan lagi sebagai Gubernur DIY
pada tahun 2008. Kelima, pada tahun 2008 telah terjadi beberapa gerakan masa
yang melibatkan berbagai komponen masyarakat di Yogyakarta yang menuntut
penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai
Gubernur dan Wakil Gubernur tanpa melalui pemilihan. Keenam, statemen dari
Pemerintah Pusat yang menyatakan bahwa dengan diselesaikannya RUU
keistimewaan akan membawa DIY dari Monarki Absolut menjadi Monarki
Konstitusional, yang menunjukan Pemerintah Pusat tidak paham bahwa Sistem
Pemerintahan DIY tidak menganut sistem pemerintahan monarki, melainkan
sistem pemerintahan yang keberadaan dan eksistensinya diakui secara legal oleh
UUD 1945 dan UU Pemda. Ketujuh, perbedaan persepsi tersebut membuat publik
bingung, kearah manakah keistimewaan DIY akan dibawa. Kedelapan, sikap diam
dan menunggu Sultan Hamengku Buwono X maupun lingkungan Kasultanan
Yogyakarta. Kesembilan, munculnya berbagai gerakan dan tuntutan baik dari
dalam masyarakat DIY maupun dari luar DIY untuk menetapkan Sultan
Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur. Kesepuluh, amanat atau Sabda Tama Sri Sultan Hamengku Buwono X
yang
berisi
keistimewaan
DIY
tentang
otonomi
dalam
menjalankan
pemerintahnya dan penetapan Sultan Hamengku Buwono serta Adipati Paku
Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY.
2
Sabda Tama tersebut dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan politik dari Sultan
Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam IX sebagai inkonsistensi dan tarik
ulur Pemerintah Pusat.
1. Alasan Historis
DIY berasal dari dua kerajaan yang berkuasa di jaman sebelum Republik
Indonesia berdiri yakni Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten
Pakualaman. Eksitensinya diakui dari dunia Internasional, baik pada masa
penjajahan Belanda, Inggris maupun Jepang. Ketika Jepang meninggalkan
Indonesia kedua kerajaan tersebut telah siap menjadi sebuah negara sendiri.
Namun Sultan yang memerintah pada waktu itu memilih sikap secara politik
untuk bergabung dengan Republik Indonesia dan menjadi Daerah Istimewa
yang bersifat kerajaan dengan Sri Sultan dan Sri Paku Alam sebagai Gubernur
dan Wakil Gubernur .
2. Alasan Filosofis
Sebelum
kelahiran
Republik
Indonesia,
Negeri
Ngayogyakarta
dan
Pakualaman telah diakui memiliki otonomi yang luas dan daerah yang
berdaulat sebagai kerajaan oleh Ratu Wihelmina, yang secara hukum
internasional kedudukannya sama dengan negara. Dengan pernyataan
bergabungnya dua negara tersebut ke dalam Republik Indonesia, dalam
perpektif hukum internasional terdapat perjanjian kedua negara tersebut yaitu
Negari Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman dengan
Pemerintah Republik Indonesia yang dikenal dengan bilateral treaties, yang
mengikat dan wajib dipatuhi kedua belah pihak selama keduanya belum
membatalkan kesepakatan dimaksud. Kesepakatan tersebut adalah secara
praktis setelah bergabung dengan Republik Indonesia, Negari Ngayogyakarta
Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman penyelenggaraan pemerintahnya
mengikuti sistem yang dianut oleh Republik Indonesia kecuali dalam hal
mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur.
3
3. Alasan Yuridis
Mekanisme pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY
telah berjalan sesuai pasal 18 B UUD 1945, dimana dimaksud dalam pasal
tersebut mengakomodasi daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa,
seperti Aceh, Jakarta, Yogyakarta dan Papua.
4. Alasan Sosiologis
Pemberian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY oleh keturunan Sri
Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paku Alam merupakan kemauan dari
masyarakat Yogyakarta.
5. Alasan Teoritis
Dari perpektif filsafat ilmu hukum, seharusnya kita tidak berfikir semata-mata
pada teks normatif hukum positif melainkan harus mampu melihat hukum
sebagai realita secara utuh dari perspektif trancendental order, social order
maupun political order. Oleh karenanya keistimewaan DIY harus dipahami
sebagai simbol-simbol dan makna yang ada di lingkungan masyarakat DIY
sebagai satu kesatuan.
4
BAB 2
PENDEKATAN SEJARAH HUKUM, SISTEM PEMERINTAHAN DAN
BANGUNAN NEGARA, DAN TEORI KEKUASAAN
A. Pendekatan Sejarah Hukum
Sebagai disiplin ilmu, sejarah hukum tergolong sebagai pengetahuan yang
masih muda. Dalam perkembangannya dirasakan kurang menggembirakan
dikarenakan amat langkanya literatur yang disusun secara sistematis dan
lengkap. Hal ini dikarenakan belum disadari tentang pentingnya pendekatan
sejarah hukum dalam menunjang dan memahami ilmu pengetahuan hukum
postif. Sedangkan hukum dan sistem hukum yang dijadikan pertimbangan
penentuan hukum pada masa sekarang dan masa depan merupakan lanjutan
dari peranan sejarah hukum yang terjadi di masa lalu. Menurut Rohfles
seorang ahli sejarah menguraikan berbagai ciri khas sejarah secara pluridimensional, interdependensi data sejarah satu dengan yang lain, aspek
genetis, keterikatan waktu dan lain-lain. Menurut Satjipto, hukum yang
sekarang, mengalir atau bersumber dari hukum yang sebelumnya atau pada
masa-masa yang lampau, atau dengan kata lain hukum yang berlaku saat ini
dibentuk oleh proses-proses yang berlangsung pada masa lampau. Dengan
mengenali dan memahami secara sistematik proses-proses terbentuknya
hukum, faktor-faktor yang menyebabkan, dan sebagainya, memberikan
tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum
dalam masyarakat.
B. Sistem Pemerintahan dan Bangunan Negara
1. Sistem Pemerintahan
Persoalan mengenai sistem pemerintahan selalu berkaitan langsung dengan
negara, hal tersebut disebabkan karena Pemerintahan dan Negara
merupakan dua hal yang saling terkait satu dengan yang lain dan tidak
dapat dipisahkan dalam melakukan pemahaman. Hal tersebut menurut
Rousseau dalam Soehino disebabkan karena pemerintahan merupakan
bagian dari negara atau dapat dikatakan bahwa pemerintahan merupakan
5
badan di dalam negara, akan tetapi dalam menjalankan fungsinya
pemerintahan tidak dapat berjalan sendiri seperti negara, melainkan
bersandar kepada perkembangan sejarahnya. Menurut doktrin dalam
Hukum Tata Negara, sistem pemerintahan negara dapat dibagi ke dalam 3
(tiga) pengertian, yaitu :
Pertama, Sistem Pemerintahan Negara dalam arti paling luas, yakni
tatanan yang berupa struktur dari suatu negara dengan menitikberatkan
pada hubungan antara negara dengan rakyat. Menimbulkan pemerintahan
Monarki, Aristokrasi, dan Demokrasi.
Kedua, Sistem Pemerintahan Negara dalam arti luas, yakni suatu tatanan
atau struktur pemerintahan negara yang bertitik tolak dari hubungan antara
semua organ negara, termasuk hubungan antara Pemerintahan Pusat
dengan bagian-bagian yang terdapat di dalam negara di tingkat lokal
(Local Government). Meliputi Bangunan Negara Kesatuan, Bangunan
Negara Serikat, dan Bangunan Negara Konfederasi.
Ketiga, Sistem Pemerintahan Negara dalam arti sempit, yakni suatu
tatanan atau struktur pemerintahan yang bertitik tolak dari hubungan
sebagai organ negara di tingkat pusat, khususnya hubungan antara
eksekutif dan legislatif. Struktur seperti ini menimbulkan model Sistem
Parlementer, Sistem Presidensiil, dan Sistem Pemerintahan dengan
pengawasan langsung oleh rakyat.
Menurut Asshidiqie, variasi-variasi sistem pemerintahan yang terdapat
dalam setiap negara dikembangkan oleh setiap negara sesuai dengan
kebutuhan masing-masing, dimana sistem pemerintahan yang digunakan
oleh suatu negara belum tentu sesuai untuk negara yang lain. Maka sistem
pemerintahan adalah suatu tatanan/susunan pemerintahan yang
berupa suatu struktur yang terdiri dari organ-organ pemegang
kekuasaan di dalam negara dan saling melakukan hubungan
fungsional antara organ-organ negara tersebut baik secara vertikal
maupun horisontal untuk mencapai tujuan yang dikehendaki.
6
2. Bentuk dan Bangunan Negara
Kelsen dalam Poerbopranoto bahwa persoalan tentang syarat-syarat
berdirinya sebuah negara, yakni berkaitan dengan pertanyaan apakah suatu
bentuk masyarakat telah memenuhi persyaratan tertentu sehingga
merupakan “negara”, itu adalah persoalan yang bersifat hukum (yuridis).
Dengan kata lain, persyaratan yang menentukan suatu bentuk masyarakat
itu dapat dinamakan “negara” adalah ditentukan menurut pertimbangan
dan norma-norma hukum, yakni hukum negara. Pengertian negara menurut
Kranburg, negara itu pada hakekatnya adalah sebuah organisasi
kekuasaaan yang diciptakan oleh sekelompok manusia yang disebut
bangsa. Dengan demikian menurut Krenenburg, sebelum terbentuknya
sebuah negara harus terlebih dahulu ada sekelompok manusia yang
mempunyai kesadaran untuk mendirikan suatu organisasi dengan tujuan
untuk memelihara kepentingan dari kelompok tersebut. Berbeda dengan
pendapat tersebut, Logemann dalam Soehino mengatakan bahwa negara
tersebut pada hakekatnya merupakan suatu organisasi kekuasaan, maka
organisasi ini memiliki suatu kewibawaan, dalam mana terkandung
pengertian dapat memaksakan kehendak pada semua orang dalam
organisasi tersebut. Logemann berpendapat negara berkedudukan primer
sedangkan manusia adalah sebagai faktor sekunder dalam terbentuknya
negara. Montesquieu dalam bukunya “I ‘Esprit des Lois” membagi bentuk
negara menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Negara berbentuk republik, dimana kekuasaan tertinggi di dalam
negara berada di tangan rakyat atau dilakukan atas nama rakyat;
2. Negara yang berbentuk monarki, dimana pemerintahan dilakukan oleh
raja/ratu dengan tetap mengacu pada peraturan atau perundangundangan tertentu, yang kemudian disebut dengan istilah Monarki
Konstitusional;
3. Negara yang berbentuk despotis (menganut faham despotisme),
dimana pemerintahan tunggal dilakukan secara sewenang-wenang
tanpa dasar peraturan dan bersifat mutlak.
7
Hestu Cipto Handoyo menyatakan bahwa bangunan negara berkaitan erat
dengan susunan dan struktur negara. Berkaitan dengan hal tersebut,
menurut Hestu secara garis besar dikenal adanya 3 (tiga) macam
bangunan, yaitu Negara Kesatuan (Unitaris), Negara Serikat (Federalis),
dan Serikat Negara-negara (Konfederalis).
C. Teori Kekuasaan
Pengertian kekuasaan dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kemampuan
atau kesanggupan orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan,
wewenang, kharisma atau kekuatan fisik. Terkait dengan pengertian tersebut,
John Pieris menguraikan bahwa seseorang atau golongan yang berkuasa,
biasanya memiliki kewibawaan, kekuasaan, kewenangan dan pengaruh yang
besar untuk menguasai orang atau pihak lain. Dari aspek sosiologis, menurut
Maurice Duverger dalam Pieris, kekuasaan terdiri dari seluruh kerangka
institusi sosial yang berhubungan dengan otoritas, yang berarti, terdapat
dominasi beberapa orang terhadap orang lain. Pemikiran Duverger ini
menurut Pieris memang mengarahkan pada kekuasaan konstitusional yang
berkaitan dengan kekuasaan negara atau pemerintah terhadap anggota
masyarakat. Dalam kaitan teori kekuasaan, Thomas Hobbes menyamakan
kekuasaan pusat yang tunggal atau “sovereignity” atau kedaulatan merupakan
suatu pusat kekuasaan yang langsung berkewenangan di atas seluruh negara.
Sehubungan dengan itu, maka faham “sovereignity” atau kedaulatan ini
menurut sejarah dan perkembangannya mempunyai 2 (dua) sifat, yaitu :
pertama, sifat yang mutlak ke dalam, artinya kekuasaan penuh pemerintahan
negara meliputi seluruh penduduknya; kedua, sifat yang defensif keluar,
yakni daya upaya mempertahankan kedudukan sendiri sebagai negara
merdeka terhadap desakan kekuasaan lain
dari luar. Montesquieu
mengemukakan pendapat tentang teori trias politika yang hingga kini masih
dipraktekkan, yaitu dengan membagi kekuasaan menjadi 3 (tiga); legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Dalam kaitan dengan struktur birokrasi, Max Weber
dalam PJ Suwarno, menyatakan bahwa kekuasaan pada dasarnya dapat
8
dibedakan menjadi 3 (tiga), yaitu : pertama, Kekuasaan Tradisional, kedua,
Kekuasaan Karismatis, ketiga, kekuasaan legal.
Dalam kaitan dengan teori kekuasaan dan kedaulatan, G. Mudjanto
mengemukakan
teorinya
tentang
kekuasaan
jawa
yang
kemudian
dipopulerkannya dengan konsep atau doktrin keagungbinataraan. Secara
garis besar, inti dari Konsep Keagungbinataraan dalam kekuasaan Jawa
menurut Moedjanto adalah pengakuan bahwa kekuasaan raja itu agung
binatara, bahu dendha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil
paramarta (besar laksana kekuasaan dewa, pemelihara hukum dan penguasa
dunia, meluap budi luhur mulianya, dan bersikap adil terhadap sesama).
Berdasarkan hal tersebut, maka kekuasaan raja jawa bersifat absolut, akan
tetapi diimbangi dengan kewajiban moral yang besar untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyatnya.
9
BAB 3
DAERAH ISTIMEWA
A. Daerah Istimewa
Daerah
Istimewa
merupakan
istilah
yang
sangat
populer
dalam
penyelenggaraan pemerintahan maupun dalam khasanah desentralisasi di
Indonesia, setidaknya sebagai status yang melekat bagi Provinsi Aceh dan
Yogyakarta. Menurut Eko Sutoro, dalam kaitan desentralisasi, pemerintaha
nasional memberikan pengakuan terhadap keberagaman budaya, asal-usul
dan pengalaman sejarah untuk memberikan status istimewa pada Aceh,
Papua, Yogyakarta maupun Jakarta (sebagai ibukota negara). Dalam
pembicaraan dalam rapat-rapat BPUPKI, tidak dijumpai penjelasan mengenai
makna atauu pengertian “hak asal-usul dalam daerah-daerah yang besifat
istimewa”. Dalam IS atau RR tidak pernah diketemukan penggunaan istilah
“istimewa” atau “khusus” untuk menunjukan sifat suatu daerah pemerintahan
tertentu. Demikian pula dalam buku mengenai susunan ketatanegaraan Hindia
Belanda tidak mempergunakan istilah “istimewa” atau semacam itu. Klentjes,
ketika menguraikan aneka ragam suatu pemerintahan tingkat daerah (legere
territoriale rechtgemeenschappen) hanya menyebutkan: province, autonomie
regentscappen, standgemeenten, plaatselijkeresorten, inlandsche gemeenten,
rechtpersoonlijk-heid
bezzittend,
waterschappen,
dan
landschappen.
Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (sebelum amandemen) mengidentifikasikan
“hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa” sebagai daerahdaerah yang mempunyai susunan asli yaitu Zelfbestuurende landschappen
dan Volkgemeenschappen. Kedua susunan pemerintahan tersebut meskipun
tunduk pada tingkat berbagai pemerintahan Hindia Belanda, tetapi merupakan
susunan pemerintahan asli Indonesia. Bukan merupakan bentukan peraturan
perundang-undangan pemerintahan Hindia Belanda, melainkan pemerintahan
yang diciptakan dam dijalankan kaum bumi putera. Selanjutnya, dalam alinea
terakhir penjelasan pasal 18 UUD 1945 berbunyi: “Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan
10
segala aturan negara mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul
daerah tersebut”. Sebenarnya sudah terdapat petunjuk bahwa “memandang
dan mengingati” itu berarti ”menghormati”, atau dengan kata lain “tidak
mengabaikan”. Jadi, konsekuensi dari jaminan yang diberikan UUD 1945
tersebut adalah bahwa setiap aturan negara atau peraturan perundangundangan mengenai “daerah bersifat istimewa” itu haruslah tidak
mengabaikan hak asal-usul daerah tersebut.
B. Ragam Daerah Istimewa
Berdasarkan butir II penjelasan pasal 18 UUD 1945 daerah yang bersifat
istimewa dapat dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok yaitu yang disebut
Zelfbestuurende landschappen atau yang lazim disebut dengan Daerah
Swapraja dan Volkgemeenschappen atau Desa dan yang setingkat dengan itu,
dimana dalam penjelasan disebutkan secara kongkret contoh-contohnya
seperti Nagari di Minangkabau dan Marga di Palembang. Menurut Bayu
Surianingrat
menyatakan
bahwa
swapraja
mempunyai
wewenang
menyelenggarakan pemerintahan sendiri dan mengatur urusan rumah
tangganya sendiri, dan berkaitan dengan kontrak politik, terdapat 2 (dua)
macam kontrak politik, yaitu :
1. Korte Verklaring. Dalam pernyataan ini Kepala Swapraja menyatakan
secara singkat bahwa ia mengakui kekuasaan tertinggi ada pada Belanda
dan ia tunduk pada Raja Belanda, bahwa ia akan mentaati semua aturan
dan perintah Gouvernement, dan bahwa ia tidak akan mengadakan
perjanjian dengan kekuasaan atau negara lain.
2. Lang Contract (Kontrak Panjang). Kepala Swapraja yang dianggap
mempunyai kedudukan penting oleh Pemerintah Hindia Belanda, akan
membuat perjanjian atau kontrak panjang. Dalam kontrak ini diatur satu
demi satu hak dan kewajiban Kepala Swapraja maupun Gouvernement.
11
BAB 4
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF YURIDIS
A. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Konstitusi
1. UUD 1945
UUD 1945 mengakui kenyataan historis bahwa daerah-daerah istimewa itu
telah memiliki hak dan wewenang dalam penyelenggaraan berbagai urusan
pemerintahan di daerahnya. Hak-hak itu berupa hak yang dimiliki
berdasarkan pemberian dari pemerintah dan hak yang telah dimilikinya
sejak semula yang bersifat autochtoon, atau hak yang dimilikinya sejak
sebelum daerah itu merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia.
Inilah perwujudan hak asal-usul yang masih dimiliki oleh Daerah Istimewa
Yogyakarta,
selebihnya
pada
umumnya
berasal
dari
pemberian
pemerintah, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus berbagai urusan
rumah tangga daerah, seperti halnya Pemerintah Provinsi lainnya. Hak-hak
asal-usul dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok, yakni : hak asalusul yang menyangkut struktur kelembagaan, hak asal-usul yang
menyangkut
pemberhentian
ketentuan
dan
pemimpin,
prosedur
dan
hak
tentang
asal-usul
pengangkatan
yang
dan
menyangkut
penyelenggaraan urusan-urusan pemerintahan terutama yang berhubungan
dengan penyelenggaraan dan pembebanan terhadap masyarakat.
Dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945 butir pertama dikatakan Negara
Indonesia merupakan suatu “eendheidstaat”, maka oleh sebab itu dalam
struktur pemerintahan dan ketatanegaraan Indonesia tidak memungkinkan
adanya sebuah negara dalam negara atau daerah/daerah istimewa tidak
akan mungkin diatur dalam politiek-contract, seperti yang pernah
dilakukan dalam masa pemerintahan penjajahan. Berkaitan dengan hal
tersebut, esensi yang terkandung pada pasal tersebut, yaitu :
Pertama, adanya daerah otonom dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang berdasarkan pada asas desentralisasi.
12
Kedua, satuan pemerintahan daerah menurut UUD 1945 dalam
penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingati dasar
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
Ketiga, dalam penyusunan dan penyelenggaraan sistem penyelenggaraan
pemerintahan daerah, dilakukan dengan memandang dan mengingati hak
asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan secara konstitusional
Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang kemudian
diintegrasikan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dijadikan
istimewa, dengan mempertimbangkan :
a. Ditetapkan dalam bentuk Undang-Undang.
b. Bentuk dan Susunan pemerintahan yang ada disesuaikan dengan
kondisi
dan
sistem
pemerintahan
negara
dengan
tetap
mempertimbangkan hak asal-usul yang berlaku di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
c. Bentuk dan susunan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta
tersebut memandang dan mengingati dasar permusyawaratan.
2. Konstitusi RIS 1949
Perubahan bentuk negara dari negara kesatuan menjadi negara federal
membawa konsekuensi adanya perubahan konstitusi yaitu dari UUD 1945
ke Konstitusi RIS 1949 yang lahir bersamaan dengan lahirnya Republik
Indonesia Serikat pada 17 Desember 1949. Dalam Konstitusi RIS
kedudukan dan eksistensi Daerah Istimewa sebagai bagian dari Sistem
Pemerintahan Daerah maupun sebagai bagian dari Sistem Ketatanegaraan
Indonesia secara ekplisit telah diakui, meskipun terdapat perbedaan
konsepsional pengertian Daerah Istimewa antara Konstitusi RIS dengan
dalam UUD 1945. Dalam Konstitusi RIS, Daerah Istimewa adalah bagian
dari Daerah negara dan hanya Kalimantan Barat, sedangkan pada UUD
1945 istilah daerah-daerah
yang diakui sebelumnya pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda sebagai Zelfbestuurende landschappen dan
Volkgemeenschappen dinyatakan sebagai Daerah Istimewa. Selain itu
13
sesuai yang tertuang dalam pasal 64 sampai dengan pasal 67 Konstitusi
RIS, daerah-daerah yang diakui sebelumnya pada masa Pemerintahan
Hindia Belanda sebagai Zelfbestuurende landschappen diistilahkan
menjadi Daerah Swapraja pada masa Republik Indonesia Serikat, tidak
terkecuali Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Perubahan konstelasi politik di Indonesia sebagai negara yang baru lahir
membawa dampak terhadap perubahan Konstitusi untuk yang ke- 2
kalinya, yaitu pertama, dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS, kedua, dari
Konstitusi RIS ke UUDS 1950. Pada UUDS 1950 ini tidak terdapat
perbedaan dalam mengenai Daerah Istimewa, karena Zelfbestuurende
landschappen masih diistilahkan Daerah Swapraja
4. UUD 1945 Pasca Amandemen
Sejalan dengan perkembangan demokrasi dan situasi politik kenegaraan
Indonesia,
sepanjang
tahun
2001-2003
telah
dilakukan
amandemen/perubahan pasal demi pasal UUD 1945, tak terkecuali Pasal
18 UUD 1945. Dari Amandemen terhadap UUD 1945 ini, UUD 1945
pasca amandemen menjamin dan mengakui hak-hak keistimewaan daerahdaerah yang bersifat istimewa, namun keistimewaan ini tidak bersifat
mutlak seperti UUD 1945 sebelum diamandemen, keberlangsungan
keistimewaan daerah-daerah yang bersifat istimewa disesuaikan dengan
perkembangan pemerintahan modern serta dinamika kehidupan berbangsa
dan bernegara.
B. Daearah Istimewa Yogyakarta dalam Undang-Undang Pemerintah
Daerah
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945
Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah ini
pada pelaksanaannya dianggap sebagai Undang-Undang pertama yang
mengatur tentang Pemerintahan di daerah, karena dibuat pada masa
revolusi, sudah barang tentu sangat wajar apabila ketentuan-ketentuan di
dalamnya dirasakan masih sangat sumir atau tidak sempurna. Pada pasal
14
pertama UU tersebut Komite Nasional Daerah diadakan di seluruh wilayah
Jawa dan Madura kecuali di Daerah Surakarta dan Yogyakarta,
dikarenakan secara historis merupakan swapraja pada pemerintahan
Hindia Belanda. Selain itu pemerintah menganggap perlua adanya
Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Daerah Istimewa.
2. Undang-Undang No.22 Tahun 1948
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah
ditetapkan di Yogyakarta, Undang-Undang ini secara eksplisit mencabut
UU No. 1 Tahun 1945. Seperti halnya UU No. 1 Tahun 1945, dalam UU
No.22 Tahun 1948 ini permasalahan Daerah Istimewa mendapat perhatian
cukup besar. Hanya saja UU No. 1 Tahun 1945 hanya memperhatikan
Daerah Swapraja khususnya Surakarta dan Yogyakarta sebagai Daerah
Istimewa, sedangkan dalam UU No.22 Tahun 1948 sudah dikembangkan
pemikirannya menyesuaikan kembali dengan ketentuan pasal 18 UUD
1945 beserta penjelasannya yang memungkinkan Desa sebagai Daerah
Istimewa, di samping Provinsi dan Kabupaten.
3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957
Dalam Undang-Undang ini, paling banyak dimuat ketentuan tentang
Daerah Istimewa, meskipun UU No. 1 Tahun 1957 ini ditetapkan dengan
berdasarkan UUDS 1950 yang tidak terdapat ketentuan tentang Daerah
Istimewa. Suasana riil menurut Sujamto, dalam penyusunan UU ini lebih
dipengaruhi UUD 1945 meskipun UU ini merupakan amanat dari UUDS
1950. Dalam UU ini penggunaan istilah Daerah Swatantra digunakan
untuk Daerah biasa, dengan Daerah Swatantra tingkat ke- I sebagai
representasi Provinsi, Daerah Swatantra tingkat ke- II sebagai representasi
Kabupten, dan Daerah Swatantra tingkat ke- III sebagai representasi Desa.
Sama halnya dengan Daerah Swatantra, Daerah Istimewa juga dibagi
dalam
tingkatan-tingkatan
sesuai
dengan
representasi
tingkatan
administrasi daerahnya.
15
4. Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959
Sebagaimana kita ketahui bahwa Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959
adalah amanah digunakannya kembali UUD 1945. Sehingga terkait
dengan lahirnya Perpres No.6 Tahun 1959 tersebut, maka kedudukan dan
eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta diakui secara hukum sebagai
bagian dari struktur ketatanegaraan Indonesia dan dengan dikeluarkannya
Perpres No. 6 Tahun 1959 ini adalah merubah bentuk dan susunan
Pemerintahan Daerah, dimana perubahan ini juga berlaku juga di DIY.
5. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965
UU ini berisi tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU ini,
permasalahan Daerah Istimewa tidak diatur secara khusus dan rinci, akan
tetapi hanya diatur dalam Pasal 88 yang termasuk dalam Bab peraturan
peralihan. Dalam Bab tersebut disebut pula Daerah Istimewa Aceh yang
dalam UU terdahulu belum pernah disinggung sama sekali. Lain daripada
itu Daerah-daerah Swapraja lain selain Kasultanan Yogyakarta dan
Kadipaten Pakualaman dinyatakan dihapus.
6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974
Perubahan konstelasi politik dalam negeri yang ditandai dengan jatuhnya
Presiden Soekarno dan digantikan Presiden Soeharto membawa dampak
pula bagi perubahan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara dan
pemerintahan daerah. Hal ini ditandai dengan lahirnya UU ini tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang merupakan produk hukum
pertama dan terakhir yang mengatur tentang pemerintahan di daeraha
dalam masa kepemimpinan Presiden Soeharto (orde baru). Dalam UU ini
terjadi penyeragaman terhadap bentuk dan susunan pemerintahan daerah
dengan tanpa memperhatikan hak asli dan asal-usul bagi bekas swapraja
maupun hak asli otonom bagi Desa atau Volkgemeenschappen. Sedangkan
kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta diakui secara hukum oleh
Pemerintah pusat, namun terdapat pengertian yang sumir dalam Pasal 91
butir b, dimana pasal tersbut dapat diartikan bahwa keistimewaan DIY
dalam pengangkatan Kepala dan Wakil Daerahnya hanya sampai Sultan
16
Hamengku Buwono IX dan KGPAA Paku Alam VIII, dan setelah itu
mekanismenya sesuai UU No. 6 Tahun 1974 melalui DPRD.
7. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Sejalan dengan tuntutan untuk mewujudkan desentralisasi dan hubungan
yang adil antara pusat dan daerah, membawa dampak bagi perubahan
paradigma otonomi daerah yang kemudian ditandai dengan terbitnya UU
No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana dalam UU ini
daerah diberikan kewenangan atau otonomi seluas-luasnya untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan memperhatikan ciri khas
dan karakteristik masing-masing daerah. Pada UU ini terkait Daerah
Istimewa masih mempedomani UU No. 5 Tahun 1974, dimana pada UU
tersebut belum mengatur tentang isi dan substansi dari keistimewaan
Yogyakarta.
Konsekuensinya
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
ketentuan-ketentuan lain dalam hal ini pemerintahan daerah harus
didasarkan pada UU No.22 Tahun 1999 yang tentunya secara substansi
bertentangan dengan unsur keistimewaan.
8. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 kembali tidak terdapat pengaturan khusus
mengenai Daerah Istimewa. Pengaturan mengenai Daerah Istimewa dalam
UU ini tertuang dalam pasal Ketentuan Lain-lain, dimana terkait Daerah
Istimewa diatur dalam UU tersendiri. Dan khusus DIY ketentuan terkait
penyelenggaraan pemerintahannya didasarkan pada UU ini, sehingga
terkait substansi dari penyelenggaraan pemerintahannya, DIY tidak
mempunyai keistimewaan seperti Daerah Istimewa lainnya yang diatur
dengan UU secara khusus.
C. Undang-Undang Pembentukan Daerah
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1950
Secara de jure pengakuan terhadap keistimewaan Yogyakarta sudah
dilakukan melalui UU No. 3 Tahun 1950 juncto UU No. 19 Tahun 1950
tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang ditetapkan pada
tanggal 3 Maret 1950. Namun UU tersebut belum secara eksplisit
17
mengatur tentang substansi atau hal-hal menjadi dasar keistimewaan
Yogyakarta. Pada UU ini juga diatur tentang urusan yang wajib dilakukan
Pemerintah
Daerah
Yogyakarta,
karena
mengatur
urusan
bukan
kewenangan maka terjadi multiinterpretasi tentang makna istimewa yang
disandang Yogyakarta.
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2012
UU ini menyempurnakan UU sebelumnya tentang keistimewaan DIY.
Pada UU ini secara isi dan substansi telah dibahas penyelenggaraan
pemerintahan DIY secara khusus.
18
BAB 5
SEJARAH HUKUM PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA
A. Masa Hindia Belanda
Wilayah kerajaan Mataram yang pada saat menjelang terbentuknya
Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta oleh Sri Sunan Paku
Buwono III berkedudukan di Sala (Surakarta) sebagai ibukota, merupakan
induk atau cikal bakal lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Pada saat itu,
kekuasaan Mataram membentang meliputi seluruh Pulau Jawa (Kecuali Jawa
Barat). Wilayah Mataram yang pada saat itu hampir meliputi seluruh Jawa
(Kecuali Jawa Barat) pada masa pemerintahan raja-raja sesudah Sultan
Agung (1612-1645) sedikit demi sedikit jatu ke tangan Verenidge Oost
Indische Companie (VOC) atau lebih dikenal Kompeni Belanda
yang
kemudian karena mengalami kebangkrutan, maka kedudukan VOC
digantikan oleh Pemerintahan Hindia Belanda sebagai wakil Kerajaan
Belanda. Semakin lemahnya kekuasaan Raja Mataram membuat kekuasaan
Kerajaan Mataram sejajar dengan VOC, dan membuka peluang bagi VOC
untuk
mencapkan
pemerintahan
pengaruhnya
Keraton.
Terkait
dan
melakukan
dengan
hal
intervensi
tersebut,
dalam
Sudarisman
Purwokusumo menyatakan bahwa terdapat beberapa perjanjian atau kontrak
politik antara Sri Sunan Paku Buwono II sebagai Raja Mataram dengan
Belanda, selanjutnya Sudarisman Purwokusumo menguraikan 3 (tiga)
perjanjian terakhir sebelum ditandatanganinya Perjanjian Gianti, yaitu
sebagai berikut :
1. Perjanjian Tahun 1743
Isi perjanjian Tahun 1743 kurang lebih dinyatakan sebagai berikut :
I. Setelah Geger Pecinan selesai, maka Sri Sunan Paku Buwono II harus
menyerahkan pada VOC :
19
a. Pulau Madura;
b. Sebagian dari Jawa Timur sebelah timur garis dari Pasuruan ke
selatan;
c. Daerah Pesisiran dan daerah-daerah sungai besar (Bengawan Sala
dan Kali Brantas);
d. Surabaya dan sekitarnya;
e. Rembang, Jepara, Ambarawa dan sekitarnya;
f. Semarang.
II. Disamping itu dalam Pasal 4 ditegaskan, bahwa untuk mengangkat
Pepatih Dalem (RikjsBestuurder) Sri Sunan harus mendapat persetujuan
terlebih dahulu dari VOC.
III. Sri Sunan harus menjual bahan-bahan tertentu yang diperlukan oleh
VOC.
IV. Karena Kota Kertasura sebagai ibukota Kerajaan Mataram telah
hancur akibat Geger Pecinan, maka Sri Sunan diijinkan untuk
memindahkan ibukota Kerajaan Mataram ke Kota Surakarta (Sala),
dipinggir Bengawan Sala.
2. Perjanjian Tahun 1746
Pada saat Gubernur Jenderal Van Imhoff mengunjungi ibukota Kerajaan
Mataram di Surakarta pada Tahun 1746, maka selain memperkuat
Perjanjian 1743 yang lebih menguntungan bagi VOC, VOC juga mendapat
perjanjian tambahan dari Sri Sunan Paku Buwono II, kurang lebih sebagai
berikut :
I. Semua syahbandar di kota-kota pesisiran harus dipergunakan untuk
kepentingan VOC dan untuk itu Sri Sunan akan dapat ganti rugi dalam
bentuk mata uang.
II. Daerah-daerah pesisiran lainnya yang belum diserahkan kepada VOC,
diserahkan sepenuhnya oleh Sri Sunan Paku Buwono II, penyerahan
mana juga akan diberi ganti rugi dengan uang.
III. Segala macam bea dan pungutan di jalan-jalan dan sungai-sungai, juga
borongan tempat-tempat sarang burung diserahkan oleh Sri Sunan
20
Paku Buwono II kepada VOC dengan mendaatkan ganti rugi dalam
bentuk uang.
3. Perjanjian Tahun 1749
Perjanjian Tahun 1749 merupakan Perjanjian penyerahan Kerajaan
Mataram kepada Pemerintah Hindia Belanda oleh Sri Sunan Paku Buwono
II. Beberapa hari sebelum Sri Sunan Buwono II mangkat, dan dalam
kondisi sakit yang sangat kritis, Baron Van Hovendorf Gubernur dan
Direktur Jawa berhasil membujuk Sri Sunan Paku Buwono untuk
menandatangani sebuah perjanjian tentang penyerahan Kerajaan Mataram
kepada VOC.
B. Masa Pendudukan Jepang
Kekalahan Sekutu pada Perang Dunia ke II oleh Jepang, secara tidak
langsung membawa dampak politis pendudukan Belanda di Indonesia.
belanda sebagai salah satu negara pendukung Sekutu harus menerima
konsekuensi terhadap kekalahan tersebut, dengan merelakan daerah
koloninya untuk diserahkan kepada Jepang, tidak terkecuali Yogyakarta.
Jepang berencana melakukan pengaturan seluruh Jawa dengan menggunakan
hukum tata negara yang positif dengan memberitahukan rencananya kepada
Sultan Hamengku Buwono IX, dan dituangkan dalam dokumen arsip Karaton
Yogyakarta dengan judul Rencana Tatanegara di Tanah Jawa.
C. Masa Pasca Kemerdekaan
1. Periode Tahun 1945-1950
Setelah berakhirnya kekuasaan Jepang di Indonesia dan Sekutu belum
dapat mengambil alih kekuasaan, hal tersebut dimanfaatkan oleh para
pejuang RI untuk memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, yang
kemudian ditindaklanjuti dengan upaya Pemerintah RI untuk melakukan
penyempurnaan pemerintahan dan mengefektifkan kekuasaannya di
daerah-daerah dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang
menjadi wewenangnya beserta instruksi lewat pidato oleh presiden, wakil
presiden maupun perdana menteri. Perkembangan tersebut cepat ditangkap
oleh masyarakat Yogyakarta maupun pihak Kasultanan Yogyakarta dam
21
Kadipaten Pakualaman dengan berintegrasi dengan Pemerintah RI dengan
menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara resmi tertuang dalam UU
Nomor 3 Tahun 1950, meskipun secara de facto, nama atau sebutan
Daerah Istimewa Yogyakarta telah dipergunakan sebelum lahirnya UU
tersebut, yakni pada pasal 18 UUD 1945.
2. Periode Tahun 1950-1959
Pada periode ini terjadi penggabungan Kabupaten Kulon progo dengan
Kabupaten Adikarto, dikarenakan wilayahnya yang terlalu kecil dan juga
efesiensi susunan pemerintahan di daerah-daerah tersebut. Seperti
diketahui meskipun DIY berintegrasi dengan Pemerintah Republik
Indoensia, akan tetapi birokrasi pemerintahan Keraton tidak dihapuskan.
3. Periode 1959-1965
Seiring dengan terbitnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang kemudian
diiringi dengan kembali ke UUD 1945, maka Pemerintah Pusat kemudian
berusaha untuk menyesuaikan kembali penyelenggaraan pemerintahan
daerah berdasarkan UUD 1945 dengan keluarnya Penpres no. 6 Tahun
1959. Perubahan ini berimplikasi pada DIY sesuai yang telah dibahas pada
pembahasan bab sebelumnya.
4. Periode 1965-1974
Periode ini diawali dengan lahirnya UU No. 18 Tahun 1965 tentang
Pemerintah Daerah. Pada dasarnya UU No. 18 Tahun 1965 merupakan
pengukuhan Penpres No. 6 Tahun 1959 menjadi sebuah UU, implikasi
pada DIY adalah dengan perubahan Struktur Organisasi DIY seperti pada
bagan di bawah :
22
5. Periode Tahun 1974-1999
Perubahan konstelasi politik dalam negeri yang ditandai dengan jatuhnya
kepemimpinan Presiden Soekarno dan digantikan Presiden Soeharto.
Dampaknya pada pemerintah daerah adalah dengan lahirnya UU No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang merupakan
produk pertama dan terakhir yang mengatur pemerintahan daerah pada
masa orde baru.
6. Periode Pasca Tahun 1999
Sejalan dengan tuntutan untuk mewujudkan desentralisasi dan hubungan
yang adil antara pusat dan daerah, membawa dampak bagi perubahan
paradigma otonomi daerah yang ditandai dengan terbitnya UU No. 22
1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diperbaharui dengan
UU No. 32 Tahun2004. Dimana daerah diberikan kewenangan atau
otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri dengan memperhatikan ciri khas dan karakteristik masing-masing
daerah. Perubahan ini akan tetapi tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
23
BAB 6
UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2012 DAN MASA DEPAN
KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA
A. Keistimewaan dalam bingkai Negara Kesatuan
Pasal 18 Tahun 1945 memberi pengakuan formal terhadap daerah-daerah
yang memiliki keistimewaan dimana pengaturan tentang daerah istimewa
ditetapkan dengan sebuah UU dengan mengingati hak-hak asal-usul yang
berlaku di daerah istimewa. Dinamika perubahan konstelasi politik membuat
pemahaman, pengakuan dan perubahan terhadap pengaturan pemerintahan
daerah yang tentunya juga daerah yang bersifat istimewa. Hingga yang
terakahir adalah UU No. 32 Tahun 2004, yang konsekuensinya adanya UU
turunan yang mengatur Daerah Istimewa secara khusus.
Secara khusus DIY dalam pembahasan kita ini, sempat mengalami konflik
dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahannya pasca UU No.32 Tahun
2004
dikarenakan
UU
yang
mengatur
secara
isi
dan
substansi
penyelenggaraan keistimewaan pemerintahannya secara komprehensif belum
juga diterbitkan seperti daerah istimewa lainnya seperti DKI Jakarta,
Nanggroe Aceh Darussalam, dan Prov. Papua yang diatur secara khusus
keistimewaannya dalam UU.
Konflik tersebut berakhir setelah diterbitkannya UU No. 13 Tahun 2012 yang
secara garis besar keistimewaan dan otonomi khusus diberikan dengan
hakekatnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta
dengan melalui pemerintahan yang demokratis dengan berbasis pada nilainilai kultural dan kearifan lokal.
B. Subtansi Kewenangan Keistimewaan DIY
1. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan kewenangan
Gubernur dan Wakil Gubernur
24
Pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan isu yang
paling krusial pada saat penyusunan undang-undang keistimewaan
Yogyakarta. Namun pada akhirnya melalui UU No. 13 Tahun 2012, Sultan
Hamengku Buwono dan KGPAA Paku Alam yang bertahta secara
otomatis ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah
Istimewa Yogyakarta. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2012 tentang syarat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur terdapat klausul
bahwa Calon Gubernur dan Wakil harus bertahta sebagai Sultan
Hamengku Buwono dan bertahta sebagai Adipati Paku Alam. Dengan
demikian siapapun dan pihak manapun terutama dari internal Kasultanan
dan Pakualaman tidak akan diajukan sebagai Calon Gubernur dan Wakil
Gubernur apabila bukan Sultan dan Adipati Paku Alam.
2. Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY
Kewenangan keistimewaan dalam aspek kelembagaan Pemerintah Daerah,
diatur dalam Bab VIII tentang Kelembagaan Pasal 30. Dimana dalam pasal
tersebut kewenangan penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan
masyarakat berdasarkan prinsip responsibilitas, akuntabilitas, transparansi,
dan partisipasi dengan memperhatikan bentuk dan susunan pemerintahan
asli. Dan diatur dalam Perdais (Peraturan Daerah Istimewa).
3. Kebudayaan
Kebudayaan merupakan salah satu kewenangan yang dimiliki oleh
Pemerintah Daerah DIY sebagai ciri keistimewaan DIY. Secara jelas
tertuang dalam Pasal 31 UU No. 13 Tahun 2012, dimana Pemerintah
Daerah DIY diberikan Kewenangan seluas-luasnya untuk memelihara dan
mengembangkan
kebudayaan.
Dan
mengenai
ketentuan
untuk
mengaturnya diatur dalam Perdais.
4. Pertanahan
Dalam kaitan dengan keistimewaan Yogyakarta, masalah pertanahan
merupakan salah satu isu aktual dan krusial selain jabatan gubernur dan
wakil gubernur. Melalui UU No. 13 Tahun 2012, Kasultanan dan
Kadipaten dijadikan sebagai badan hukum khusus yang merupakan subjek
25
hak yang memiliki hak milik atas tanah Kasultanan dan Kadipaten.
Dengan demikian kewenangan ini berdampak positif untuk mengatur
kewenangan secara administratif atas tanah-tanah Kasultanan dan
Kadipaten.
5. Tata Ruang
Kewenangan keistimewaan di bidang tata ruang bagi DIY berkorelasi
dengan aspek pertanahan. Dengan kewenangan yang diberikan seiring
dengan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Kasultanan dan
Pakualaman tanah yang menjadi aset atau milik Kasultanan dan
Pakualaman,
selanjutnya
Kasultanan
dan
Pakualaman
dalam
melaksanakan kewenangan tata ruang, dapat menetapkan kerangka umum
kebijakan tata ruang tanah Kasultanan dan Pakualaman dengan mengacu
tata ruang nasional dan tata ruang DIY.
C. Masa Depan Keistimewaan DIY
1. Kasultanan dan Pakualaman
Faktor ini merupakan faktor yang utama dalam arti implementasi
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan UU No.13 Tahun
2012 akan tergantung pada pihak Kasultanan dan Pakualaman sendiri.
Penataan kelembagaan maupun koordinasi internal di Kasultanan dan
Pakualaman meruapakan hal
yang mutlak dilakukan, mengingat
Kasultanan
menjadi
dan
Pakualaman
panutan
bagi
masyarakat
Yogyakarta. Sehingga konflik internal atau perbedaan di dalam lingkungan
Kasultanan dan Pakualaman seyogyanya dapat diselesaikan dengan baik
dan tidak mencuat keluar dan terbaca oleh publik sehingga tidak
menimbulkan dampak yang negatif terhadap implementasi UU No. 13
Tahun 2012.
2. Rakyat
Sejalan dengan semboyan fox populi fox dei (suara rakyat adalah suara
Tuhan), maka keberadaan daerah istimewa sangat ditentukan oleh
bagaimana kehendak dan keinginan rakyat. Proses terbitnya UU No. 13
Tahun 2012 merupakan kemauan rakyat Yogyakarta dimana pada Tahun
26
2008 rakyat Yogyakarta menuntut pada Pemerintah Pusat agar menetapkan
Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur DIY tanpa melalui
mekanisme pemilihan di DPRD.
3. Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Kemauan politik (Political Will) Pemerintah Pusat merupakan kunci bagi
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang berbasis keistimewaan dan
kekhususan.
Hal
itu
disebabkan
karena
landasan
yuridis
bagi
penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak dapat lepas atau bertentangan
dengan
ketentuan-ketentuan hukum
Pemerintah
Pusat,
meskipun
yang telah
jaminan
terhadap
keistimewaan keragaman adat dan istiadat
dikeluarkan
oleh
kekhususan
dan
dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah telah diberikan.
4. Elite Politik
Tidak dapat dipungkiri bahwa terbitnya UU No. 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta dipenuhi dengan tarik ulur
antar kepentingan berbagai elite politik, sehingga membutuhkan waktu
yang sangat lama dan menguras energi yang cukup besar dari elemen di
Yogyakarta maupun Pemerintah Pusat. Menyikapi hal tersebut, diperlukan
kearifan dari elite politik yang ada di tingkat pusat maupun tingkat lokal
dalam kaitannya mengimplementasikan UU No. 13 Tahun 2012. Sehingga
keistimewaan Yogyakarta yang berbasis kultural dan kearifan lokal akan
dapat membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat Yogyakarta.
27
28
29
30
31
32