Konsep Pemikiran Sachiko Murata dalam Th

KONSEP PEMIKIRAN SOCHIKO MURATA DALAM THE TAO OF ISLAM
Latar Belakang
Sejak kehadiran Islam dengan nilai universal, salah satu visi dan misinya
adalah kesetaraan dan keadilan gender. Rasulullah Saw senantiasa memberikan
perhatian khusus dalam beberapa problema kontekstual sebagai bentuk pentingnya
mengubah cara pandang dan cara memperlakukan perempuan dan laki-laki; dan
sepanjang lintasan sejarah pra-Islam selalu antara keduanya diperlakukan berbeda.
Perempuan tidak mendapatkan hak-hak dasar yang sama dengan laki-laki. Namun
demikian, hingga saat ini pesan moral Islam tersebut belum terwujud sepenuhnya
dalam kehidupan sehari-hari. Artinya masih tersisa masalah kesenjangan gender
yang memerlukan perhatian serius oleh semua pihak, baik pemerintah maupun
masyarakat.1
Perbedaan jenis kelamin melahirkan perbedaan gender yang telah melahirkan
berbagai ketidakadilan. Faktor yang menyebabkan ketidak seimbangan atau
ketidakadilan gender adalah akibat adanya gender yang dikonstruksikan secara
sosial dan budaya. Beberapa anggapan yang memojokkan kaum perempuan dalam
konteks sosial menyebabkan sejumlah persoalan.2Kebanyakan aplikasi dan
implikasi pada permasalahan gender telah mengerucut kepada ketidakadilan (gender
in-equalities). Ketidakadlan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, misalnya subordinasi, marginalisasi, beban kerja lebih banyak, dan
stereotipe.3


1 Mufidah Ch, Gender di Pesantren Salaf Why Not ?, (Malang: UIN-Maliki Press, 2010), hlm.
v.

2 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMMPress, 2006), hlm. 10.

1

Kesetaraan gender merupakan pokok pembahasan yang kontroversial. Dari
munculnya berbagai macam pemikiran dengan pendapatnya yang khas. Pada
awalnya persoalan ini muncul akibat dari ketidakpuasan kaum hawa sebagai the
second sex. Baik secara biologis yang menyebabkan perbedaan alami antara pria dan
wanita (nature), maupun budaya yang turut membentuk konsep gender,
memposisikan kaum wanita di bawah laki-laki. Kemudian para feminis mencoba
membuat teori-teori yang mencoba mencari kesamaan dan kesetaraan antara dua
tipe seks dan gender ini.
Namun kemudian, teori-teori ini pada akhirnya hanya akan menghasilkan
konsep yang mencoba menafikan fungsi dan peran wanita yang khusus dilebelkan
padanya. Seperti konsep yang diusung Sulamith Firestone mengenai revolusi
produksi yang menyatakan bahwa wanita berhak menolak untuk tidak hamil.

Kemudian Kata Mullet yang mencoba mengasimilasikan feminis ke dalam maskulin
sehingga yang ada di dunia ini hanyalah sifat maskulin yang tentunya hal ini akan
menafikan sifat feminin dengan berbagai kelebihannya sendiri yang kemudian
konsep ini ditentang oleh Marlyn French dengan alasan bahwa proses asimilasi
tersebut akan menghasilkan krisis teologi (alam), sehingga ia menciptakan konsep
baru yang merupakan kebalikannya yaitu mengasimilasikan sifat maskulin ke dalam
sifat feminin hingga memunculkan konsep ecofeminism. Namun hal ini pun
dianggap terlalu mengunggulkan kaum perempuan dan kefemininannya sehingga
kesemuanya ini tidak menghasilkan suatu kesetaraan dalam keragaman yang akan
menghasilkan keharmonisan ekologi dan sosial.
Fenomena yang terjadi masih terdapat kasus-kasus yang berakar dari
diskriminasi gender hampir dapat dijumpai dengan mudah dalam kehidupan.
Kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi terhadap perempuan dan anak-anak
dalam berbagai bentuk telah banyak terjadi. Salah satu faktor penyebab diskriminasi
gender di atas bisa berakar dari pemahaman teks suci ajaran agama yang dipahami
3 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender, (Malang: UMMPress, 2006), hlm. 14.

2

secara bias gender sehingga salah satu jenis kelamin lebih diunggulkan dari jenis

kelamin lainnya, atau jenis individu yang satu lebih diunggulkan dari jenis individu
lainnya, atau unsur yang satu lebih diunggulkan dari unsur lainnya. Atau
dikarenakan perbedaan dan kesalahan dalam mempersepsikan serta memberikan
penilaian terhadap permasalahan gender, oleh karena itu perlu dibutuhkan sebuah
relasi yang dapat memberikan pemaknaan sessungguhnya mengenai konsep gender.
Dengan demikian diperlukan perspektif baru dalam memahami teks suci tersebut
agar selaras dengan nilai-nlai Islam yang agung, juga sebagai solusi atas problem
sosial berbasis gender di tengah masyarakat.4
Namun masalah gender ini ternyata bukanlah sekedar masalah soal perempuan,
atau perbedaan jenis kelamin atau perbedaan jenis dan jenjang sosial yang lainnya,
melainkan juga masalah mengenai konsep kosmologi dan teologi dalam Islam.
Seperti yang ditemukan dan diteliti oleh Sachiko Murata yang telah membahas
perspektif relasi gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam yang beliau tulis dalam
bukunya yang berjudul “The Tao of Islam”.5
Kesetaraan dalam keragaman yang akan menghasilkan keharmonisan
ekologi dan sosial agaknya hanya akan bisa terwujud jika masing-masing dari seks
dan gender memposisikan dirinya sesuai dengan fungsi dan perannya. Konsep yang
mencoba menguraikan hal ini adalah konsep relasi gender yang dikemukakan oleh
Prof. Sochiko Murata, seorang pemikir Jepang yang mencoba menguraikan relasi
gender dengan menggunakan konsep kosmologi Cina yaitu yin (feminis )dan yang

(maskulin)
4 Mufidah Ch, Op. Cit, hlm. vi.

5 Buku ini bukan hanya membahas tentang masalah gender tentang perempuan, tetapi
mengenai juga permasalahn gender dalam kosmologi dan teologi Islam yang telah berkembang
dalam berbagai banyak kajian literatur klasik dalam al-Qur’ân dan hadits. Konsep tersebut oleh
Sachiko Murata telah ungkapkan panjang lebar di dalam bukunya yang berjudul “The Tao of Islam”.

3

Kosmologi Cina melukiskan alam semesta dalam batasan kerangka yin dan
yang bisa dipahami sebagai prinsip-prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif
atau pria dan wanita. Yin dan yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan, dan
perpaduan keduannya menghasilkan segala sesuatu yang ada, yang ia sebut dalam
bukunya The Tao Of Islam dengan Sepuluh Ribu Hal. Symbol terkenal Tai Chi, atau
Tao, melukiskan yin dan yang sebagai gerakan dan perubahan yang konsultan.
Dalam fenomena tertentu, hubungan antara yin dan yang terus-menerus berubah.
Karena itu, seluruh alam semesta berubah setiap saat, bagaikan sungai yang
mengalir. Dari sini penting kiranya mengulas konsep relasi gender yang ditawarkan
oleh Prof. Sochiko Murata yang dituangkan dalam karyanya The Tao Of Islam.

Sachiko Murata telah memberikan gambaran bahwa antara gender dengan
kosmologi, teologi, seni, agama, filsafat, etika, termasuk relasi gender yang
kesemuanya disusun menjadi suatu rangkaian kesatuan yang mengagumkan.6
Pendekatan yang dipakai oleh Prof. Sachiko Murata untuk menjelaskan relasi
gender adalah dengan memakai prspektif kosmologi Islam. Pendekatan ini bisa
dianggap kurang lazim atau relatif belum banyak dibaca di Indonesia. Apa yang
djelaskan oleh Sachiko Murata yang membuktikan bahwa maskulinitas dan
feminitas pada tataran manusia masing-masing mempunyai sisi positif dan sisi
negatif, yang keduanya saling melengkapi. Begitu pula dengan yin dan yang,
feminitas dan maskulinitas, mikrokosmos dan makrokosmos, jamal dan jalal.
Keseimbangan yang selalu terlahir dan tercipta baik di alam lahiriah dan alam
batiniah. Dengan kata lain esensi tujuan hidup manusia baik laki-laki maupun
perempuan untuk menjadi insan kamil.7
6 Sachiko Murata, The Tao of Islam, edisi terjemah cet VII, penterjemah: Rahmani Astuti dan
M.S. Nasrullah, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 7.

7Ibid, hlm. 10.

4


Sachiko Murata juga menekankan dalam bukunya bahwa tidak ada satu pun
ayat dalam nash-nash al-Qur’ân yang tidak mempunyai makna, karena itu semua
berasal dari Allah Swt. Murata telah menujukkan sikap obyektif terhadap apa yang
dikajinya, ia tidak menafsirkan al-Qur’ân dan Hadîts menurut pikirannya, melainkan
ia bergantung sepenuhnya kepada nash-nash al-Qur’ân.8 Relasi gender yang
dikemukakan adalah merupakan bentuk manisfestasi dari al-Qur’ân sendiri sebagai
kitab rujukan bagi seluruh umat manusia. Buku “The Tao of Islam” telah banyak
memberikan bukti-bukti ilmiah mengenai relasi gender dalam kosmologi dan teologi
Islam, tanpa mengubah atau memutar-mutar makna al-Qur’ân dan Hadîts tidak
menurut pada tempatnya. Buku ini juga banyak membahas tentang laporan ilmiah
yang telah diteliti oleh Prof. Sachiko Murata mengenai relasi gender dalam
kosmologi dan teologi Islam.
A. TIGA REALITAS
1. Tanda-tanda di Cakrawala dan Jiwa
Sebelum membahas tentang tanda relasi gender dalam tiga realitas (Allah,
Makrokosmos, dan Mikrokosmos), maka terlebih dahulu mengetahui bagaimana arti
dari makna-makna tersebut.
Kata “gender” sering diartikan sebagai kelompok laki-laki, perempuan, dan
perbedaan jenis kelamin.9 Konsep gender adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan (masculine and feminine) yang dibentuk oleh faktor-faktor
sosial maupun budaya, sehingga lahir beberapa anggapan tentang perbedaan fungsi

peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan (social contributionmasculine and
feminine)10, bentuk sosial perempuan adalah sebagai makhluk yang lemah lembut,
8Ibid, hlm. 11.

9 Trisakti Handayani dan Sugiarti, Op. Cit, hlm. 4.

10Ibid, hlm. 5.

5

cantik, emosional, dan keibuan; sedangkan bentukan sosial laki-laki adalah makhluk
yang dianggap kuar, rasional, jantan, dan perkasa.11
Namun di dalam buku “The Tao of Islam”, konsep gender lebih meluas dan
universal. Istilah gender dipakai oleh Prof. Sachiko Murata untuk memaknai
Makrokosmos dan Mikrokosmos yang draf kontennya lebih merujuk kepada
berlainan identitas dan cakupan, namun keduanya adalah merupakan jenis yang
sama. Murata lebih menekankan gender kepada aspek mayor (makrokosmos) dan
aspek minor (mikrokosmos yang terkandung di alam semesta ini.
Dalam sebagian besar teks-teks Islam, ada tiga realitas dasar yang selalu
dipegang; yaitu Allah, kosmos (makrokosmos), dan manusia (mikrokosmos). Kita

bisa menggambarkan ketiganya ini sebagai tiga sudut dari sebuah segitiga. Yang
secara khusus manrik ialah hubungan yang terjalin diantara ketiga sudut itu. Allah
yang berada di puncak dan merupakan sumber yang menciptakan kedua sudut yang
ada dibawahnya, karena baik makrokosmos maupun mikrokosmos adalah realitasrealitas deveriatif. Istilah “cakrawala dan jiwa” (al-âfâq wa al-anfus) adalah bentuk
deveriatif dari makrokosmos dan mikrokosmos12terungkap dalam al-Qur’ân dalam
QS. Fushilât ayat (41) ayat 53:13

11Ibid, hlm. 5.

12Ibid, hlm. 47.

13 Depag RI, al-Qur’ân dan Terjemahannya, (Semarang: Thoha Putra, 1999), hlm. 483.

6





Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan)

Kami di segala wilayah bumi (cakrawala) dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas
bagi mereka bahwa Al-Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa
Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu”.
“Tanda-tanda” (âyât) Allah yang dijumpai baik di dalam maupun di luar diri
manusia, merupakan salah satu tema yang diulang-ulang dalam al-Qur’ân. al-Qur’ân
menggunakan istilah “tanda” dalam bentuk tunggal maupun jamak sebanyak 288
kali dalam beberapa makna yang berkaitan erat. Sebuah tanda adalah fenomena
yang memberitahukan ihwal Allah. Tanda itu bisa berupa nabi, risalah nabi,
mukjizat nabi, atau berbagai hal yang ada di dalam alam. Ia bisa bertalian dengan
alam lahiriah, makrokosmos, atau alam batiniah, mikrokosmos.14 Pada QS. AżŻâriyât (51) ayat 20-2115:



Artinya: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orangorang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka Apakah kamu tidak
memperhatikan?”.
Singkat kata segala sesuatu pada alam semesta adalah tanda Allah. Banyak
dalam ayat al-Qur’ân mengungkapkan gagasan bahwa semua obyek alam adalah
tanda-tanda Allah. Sangatlah penting memahami gagasan ini sebagai fondasi
pemikiran Islam, karena menetapkan hubungan antara Allah dan kosmos dalam
terma-terma yang pasti.Manakala al-Qur’ân memerintahkan manusia untuk melihat

14 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 48.

15 Depag RI, Op. Cit, hlm. 521.

7

segala sesuatu sebagai tanda-tanda Allah, maka ini berarti bahwa al-Qur’ân
mendorong manusia untuk memahami segala sesuatu bukan melulu tentang
obyeknya sendiri, melainkan juga tentang apa yang dapat diterangkan mengenai
sesuatu diluar dirinya. Menurut definisi, Allah tidaklah tampak, namun jejak-jejak
dan isyarat-isyarat dari ciptaan-Nya yang mengagumkan, bisa menghasilkan
pemahaman tentang Allah16, ciptaan-Nya saja begitu indah, begitu sempurna, begitu
rapi, begitu canggih, apalagi jika Allah sendiri sebagai wujud asli dari Tuhan.
Keberadaan wujud Allah menjadi “silau” oleh pandangan makhluk dikarenakan
begitu sempurna diri-Nya, jika kita merenungkannya.17
Berbagai diskusi dan penelitian tentang makna fenomena tanda dalam
mikrokosmos dan makrokosmos seing kali tidak berhubungan dengan apa yang
disebut “evaluasi ilmiah”. Teks-teks itu lebih berurusan dengan penilaian
ketersalinghubungan antara alam nyata (al-syahâdah) dan alam gaib (alghayb).Alam gaib adalah sebuah wilayah yang bukan saja tak terjangkau oleh panca
indra manusia, melainkan juga tidak bisa dijangkau secara definitif apapun

instrumen ilmiah yang digunakan untuk mencarinya. Akan tetapi, wilayah gaib
dapat dijangkau oleh wilayah yang sama dalam mikrokosmos, dalam keadaan
tertentu ruh manusia bisa dimengerti oleh realitas-realitas ilmiah.18
16 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 48.

17 Kadang kala banyak sekali orang memikirkan bagaimana dzat Allah Ta’ala yang
sebenarnya, sampai ia menjadi bingung, gundah, ruwet, kalang kabut, dan berujung kepada kegilaan
dan stress. Hal ini diakibatkan oleh karena terlalu banyak memikirkan dzat Allah Ta’ala dengan
wujud aslinya, tanpa memikirkan dzat Allah dari keindahan ciptann-Nya, kesemprunaan ciptaan-Nya,
kecanggihan ciptann-Nya, dan kemegahan ciptann-Nya, sehingga banyak sekali orang yang terjebak
dalam kemusyrikan. Dikarenakan keterbatasan akses kemampuan manusia, dan juga karena manusia
itu sendiri adalah ciptann-Nya.

18 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 49.

8

Hal inilah yang berusaha dijelaskan oleh Sachiko Murata bahwa adanya
tanda-tanda Allah dalam makrokosmos dan mikrokosmos adalah ada, dan terukur
serta teruji secara ilmiah melalui berbagai argumen dan penelitian ilmiah. Namun
kesempurnaan ciptaan Allah ini belum mampu diteliti secara keseluruhan secara
mendetail oleh manusia, dikarenakan keterbatasan kemampuan manusia. Namun
oleh Sachiko Murata berusaha menjelaskan bahwa kekuasaan Allah adalah benar
adanya dan ke-Maha Agungan Allah yang telah menciptakan makhluk-Nya.
2. Keserbamencakupan Manusia
Dalam refrensi dan ilmu pengetahuan mengenai makhluk ciptaan Allah,
manusia menempati posisi khusus yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Sifat
posisi ini diungkapkan banyak cara, seperti pada “Amanat” yang diterima oleh
manusia, tetapi ditolak oleh langit, bumi, dan gunung-gunung (QS. 33: 72).19 Hal ini
telah disebutkan oleh Sachiko Murata, bahwa Ibnal-‘Arabî yang menyatakan bahwa
manusia sebagai “wujud serba meliputi” (al-kawn al-jâmi’).20 Itulah sebabnya Nabi
Saw bersabda bahwa Adam diciptakan dalam citra atau bentuk (shûrah) “Allah”,
bukan dengan nama Ilahi lainnya. Semuanya ini disiratkan dalam kisah penciptaan
Adam dalam al-Qur’ân, yang menyatakan bahwa Adam diajari “semua nama”.21
19Ibid, hlm. 59. Dalam al-Qur’ân Allah mengisahkan hal “Amanat” ini kepada manusia,
dalam QS. al-Ahżâb (33: 72): “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,
bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir
akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat
zalim dan Amat bodoh”. Lihat dalam Depag RI, Op. Cit, hlm. 428.

20 Bandingkan dengan kalimat Fushûsh al-Hikam , tentang bagaiamana hikmah nama Allah
dalam kata Adam. Austin menterjemahkan al-kawn al-jâmi’ dengan obyek serba meliputi (Austin
RW.J. “The Feminine Dimensions in Ibn al-‘Arabi’s Thought”, Journal of the Muhyiddin Ibn ‘Arabi
Society 2, 1984). Lihat juga dalam Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 61.

21Ibid, hlm. 61.

9




Artinya: “Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada Adam Nama-nama (bendabenda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!".22
Manusia diciptakan dijelaskan oleh hadis tentang “Khazanah Tersembunyi”.
Allah “ingin (atau “senang”) dikenal dan diketahui oleh makhluk-Nya, dan hanya
manusia sajalah yang bisa mengenal dan mengetahui Allah dengan segala
kesempurnaan-Nya, yang memahami semua nama, sebab hanya manusia sajalah
yang diciptakan dalam bentuk nama yang serba meliputi. Kecintaan Allah pada tipe
pengetahuan yang bisa diaktualisasikan hanya oleh manusia. Jâmi’ berbicara untuk
keseluruhan tradisi kearifan (hikmah).23 Sebuah temuan yang dikemukakan oleh
Sachiko Murata megenai hal ini, tertuang dalam matsnawi-nya Silsilat al-Dzahab,
sebagai berikut:
“bahwa anak-anak Adam tidak mengetahui kesempurnaan dan
ketidaksempurnaan mereka sendiri, karena mereka tidak diciptakan untuk
diri mereka sendiri, dan mereka juga tidak diciptakan untuk selain diri
mereka sendiri. Melainkan mereka diciptakan untuk diri-Nya sendiri
(Allah), bukan untuk mereka (manusia). Dia (Allah) memberikan kepada
mereka hanya apa yang pantas dan tepat bagi mereka agar bisa menjadi
milik-Nya. Sekiranya mereka tahu bahwa mereka diciptakan untuk Allah,
mereka pasti tahu bahwa Allah menciptakan makhluk-makhluk itu dalam
bentuk yang paling sempurna”.24
22 Depag RI, Op. Cit, hlm. 7.

23 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 61.

24Ibid, hlm. 61.

10

Manusia selalu percaya, bahwa mereka diciptakan untuk diri mereka
sendiri. Apa saja yang mereka pandang tepat dan pantas, mereka
memandangnya sebagai baik dan sempurna. Namun, apa saja yang mereka
pandang tak tepat dan tak pantas, mereka golongkan sebagai tidak
sempurna. Tapi kepercayaan sendiri ini salah, sebab mereka diciptakan
untuk Allah dari eksistensinya. Dari eksistensi segala sesuatu, Allah hanya
menginginkan manifestasi seluruh nama atau sifat-Nya.25
Makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) adalah berasal
dari nama-nama Allah (bagi yang menghendaki dengan cara menempuh jalan
kebaikan), bukan nama-nama yang berasal dari spekuliasi manusia, karena dosa
manusia.26 oleh karena itu apa yang ada di dalam diri manusia adalah
merupakan manifestasi dari nama-nama dan sifat Allah yang Allah sendiri
tuangkan dalam penciptaan-Nya.
Dari berbagai penjelasan yang diungkapkan oleh Sachiko Murata di atas
telah menunjukkan bahwa manusia mempunyai keserbacakupan dalam
eksistensi dirinya diciptakan. Manusia diciptakan bukanlah untuk diri mereka
sendiri, atau untuk alam semesta, untuk pasangan mereka, ataupun untuk
makhluk lainnya, tetapi manusia diciptakan oleh Allah untuk diri-Nya, sebagai
manifestasi bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam, yang menguasi kerajaan
di langit dan di bumi.
25Ibid, hlm. 61.

26 Sejatinya, manusia tidak akan bisa mencapai kesempurnaan (sesuai dengan fitrah
kholifatullah) manakala manusia tidak menempuh jalan kebaikan yang sudah Allah berikan kepada
manusia. dan sejatinya pula bahwa wujud Allah (baik nama-Nya dan sifat-Nya) adalah sudah
terwakilkan manifestasinya dalam Makrokosmos dan Mikrokosmos, dan bukan oleh spekulasi dan
anggapan angan-angan manusia saja. Hal ini menunjukkan realitas Allah yang sesungguhnya yang
nampak di alam semesta. Manausia akan dapat mengetahui eksistensi dirinya sebagai khalifah Allah
dengan sebenarnya manakala manusia mau menempuh jalan kebaikan dan menebarkan rahmat di
alam semesta, namun manusia juga tidak akan memahami eksistensinya sebagai khalifah Allah
manakala dirinya membuat kerusakan di bumi, yang berakibat menorehkan dosa bagi manusia itu
sendiri, sehingga tidak dapat melihat keagungan Allah dalam dirinya sendiri maupun di dalam alam
semesta.

11

3. Turunan dari Segala Unsur (Makrokosmos dan Mikrokosmos)
Segala sesuatu dalam kosmos memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat
Allah, sementara makrokosmos secara keseluruhan memanifestasikan sifat-sifat dari
seluruh nama Allah. Begitu pula, segala sesuatu dalam diri manusia
memanifestasikan nama-nama dan sifat-sifat Allah, sementara individu secara
keseluruhan sekurang-kurangnya dalam kasus mereka yang benar-benar manusia
dan menjadi khalifah Allah memanifestasikan seluruh nama Allah. Karena itu,
perbedaan antara manusia dan makhluk lainnya kembai kepada keutuhan manusia
itu sendiri.27
Salah satu cara yang paling umum yang dilakukan oleh Sachiko Murata
dalam melukiskan turunan unsur (makrokosmos dan mikrokosmos) adalah
membandingkan manusia dengan turunan-turunan unsur lainnya; mineral-mineral,
tumbuh-tumbuhan, dan hewan-hewan.28 Mineral adalah yang pertama kali muncul,
kemudian tumbuh-tumbuhan, hewan, dan kemudian manusia. masing-masing
memiliki karakteristik bahwa dia-lah (manusia) yang pertama kali mendapatkan
karakteristik. Karakteristik empat pilar adalah empat sifat; panas, dingin, basah, dan
kering, dan transmutasi sebagian dirinya menjadi lainnya. Karakteristik tumbuhtumbuhan adalah menyerap makanan dan tumbuh berkembang. Karakteristik hewan
adalah sensasi dan gerakan. Karakteristik manusia adalah ucapan rasional (nuthq),
refleksi (fikr), dan mendeduksi bukti-bukti logis. Karakteristik malaikat adalah tidak
pernah mati. Manusia bisa mempunyai karakteristik semuanya ini. Manusia
mempunyai empat sifat, yang menerima transmutasi dan perubahan seperti empat
pilar di atas. Sifat-sifat itu mengalami pertumbuhan dan kerusakan seperti mineral,
megambil makanan dan tumbuh seperti tumbuh-tumbuhan. Manusia merasa
27Ibid, hlm. 62.

28Ibid, hlm. 63.

12

bergerak seperti hewan. Dan adalah dimungkinkan manusia juga bisa menjadi
malaikat, sebagaimana yang dijelaskan dalam “Risalah tentang Kebangkitan”
Ikhwanus Shofa.29
Penjelasan yang dikemukakan oleh Sachiko Murata merujuk pada sebuah
surat dalam al-Qur’ân bahwa manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya
(yaitu terkompleks dan terlengkap dari makhluk lainnya seperti mineral, tumbuhtumbuhan, hewan, malaikat, dan lain-lain), yang menjadikan manusia menjadi
makhluk yang paling tertinggi derajadnya. Namun manusia juga akan menjadi
turunan-turunan pembentuk manusia (mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan),
manakala manusia tidak mau menempuh jalan yang Allah tunjukkan sebagai
manusia yang sebenarnya.
4. Di balik Mitos Penciptaan Adam
Pemikiran Islam menempatkan manusia di titik pusat30,kaum muslim mesti
mencari pengetahuan untuk mengenal dan mengetahui Allah, kosmos, dan diri
sendiri. Akhirnya pengetahuan tertinggi terletak dalam pengenalan diri sendiri,
karena “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal
Tuhannya”.Mengetahui dan mengenal dirinya sendiri berarti antara lain mengetahui
apa artinya menjadi manusia yang sebenarnya. Karena itu, mitos tentang penciptaan
Adam adalah sebuah titik refrensi konstan dalam teks-teks Sachiko Murata.31

29 Manusia sejatinya adalah makhluk yang keserbamencakupan dari makhluk-makhluk
lainnya. Kesempurnaan diciptakannya manusia juga mempunyai kerendahan manakala manusia
memilih jalan yang tidak baik. Sachiko Murata mendefiniskan bahwa manusia bisa menjadi tumbuhtumbuhan manakala manusia hanya tumbuh dan berkembang saja, manusia bisa menjadi hewan
manakala kelakuannya dan tingkah lakuknya tidak mencerminkan yang baik; manusia juga bisa
menjadi malaikat dna bahkan melebihi derajad malaikat manakala manusia menebarkan kebaikan
dan membuat kebaikan selama hidupnya. (Dalam Ikhwân al-Shafâ, Rasâ’il, II 473). Lihat juga dalam
Sachiko Murata, Ibid, hlm. 65.

30 Para pemikir Islam menempatkan Manusia menjadi titik pusat dalam kehidupan dunia ini.

31Ibid, hlm. 66.

13

Dalam menjelaskan mitos penciptaan Adam, Sachiko Murata terlebih dahulu
mengemukakan QS. at-Tîn (95) ayat 4-5:32



Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendahrendahnya (neraka)”.
Nabi Bersabda seraya mengutip firman-Nya: “Aku mengolah tanah Adam
dengan kedua tangan-Ku sendiri selama empat puluh hari”.33 “Yang paling rendah
dari yang rendah” sebagaimana disebutkan dalam QS. at-Tîn (95) ayat 4-5 tersebut,
menurut intepretasi Râzî, “penurunan derajad manusia” ini berhubungan dengan
meningkatnya kemajemukan, penyebaran, dan menjauh dari Dunia Ruh. Raga
manusia termasuk dalam derajad rendah, sementara ruh manusia termasuk derajad
tertinggi. Hikah yang ada di dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban
beban Amanat yang diberikan Allah. Karena itu, mereka harus mampu mempunyai
kekuatan dalam dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak ada sesuatu
pun di dunia ini yang mampu mengemban amanat, selain ruh-ruh manusia. Ruh
manusia mempunyai kekuatan melalui esensi sifat-sifat runhya, bukan jasadnya.34

32 Depag RI, Op. Cit, hlm. 598.

33 Sachiko Murata, Op. Cit, hlm. 66.

34Ibid, hlm. 67.

14

Ruh manusia berkaitan dengan derajat yang tertinggi dari yang tinggi, tidak
ada sesuatu pun di dunia ruh yang bisa menyamai kekuatannya, baik itu malaikat,
syetan, atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula derajat manusia berkaitan dengan
derajat yang paling rendah, sehingga tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang
mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau lainnya.35
Dalam mengolah tanah, Adam, semua sifat syetan, hewan, binatang buas,
tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu
dipilih untuk mengejawantahkan sifat “Dua tangan-Ku”. Karenanya, masing-masing
sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luar. Dalam setiap sifat itu ada mutiara dan
permata berupa sebuah sifat ilahi, sinar matahari (cahaya Ilahi) dapat mengubah
batu granit menjadi kerang yang mengandung permata, akik, merah delima, zamrud,
dan pirus. Adam dipilih karena “Aku mengaduk dan mengolah tanah Adam dengan
kedua tangan-Ku” selama “empat puluh hari”, dan menurut sebuah hadis masingmasing hari itu sama dengan seribu tahun.36
Kutipan ini mengungkapkan penghormatan yang agung kepada manusia.
Manusia diciptakan dalam citra Allah yang diwujudkan sampai bentuk kerangka
tubuh, sekalipun terendah mempunyai tempat yang khusus di sisi Allah. Menurut
beberapa hadis, selama empat puluh ribu tahun, kekuasaan Ilahi sesuai dengan
kebijaksanaan-Nya yang sempurna melakukan pekerjaan-Nya guna membentuk air
dan tanah Adam diantara Mekkah dan Thâ’if. Dalam dimensi-dimensi batiniyah dan
lahiriyah, kekuasaan Ilahi membentuk dan memasang berbagai cermin sesuai
dengan sifat-sifat Ilahi. Setiap cermin adalah lokus atau tempat manifestasi bagi
salah satu sifat ketuhanan.37
35Ibid, hlm. 67.

36Ibid, hlm. 68.

37Ibid, hlm. 69.

15

Dalam mitos penciptaan Adam, Allah memperlihatkan ribuan kebaikan dan
kelembutan pada jiwa dan kalbu Adam di alam Gaib dan alam Nyata, dibalik
kehawatiran para malaikat. Namun, tidak ada satupun malaikat yang diberi tahu
tentang ihwal rahasia penciptaan manusia ini. Tak satu pun dari mereka yang
mengenal Adam. Satu per satu mereka lewat di depan Adam. Mereka mengatakan,
“Gambar aneh apa yang tengah diciptakan Allah?”. Di bawah bibirnya, Adam
berkata, “Meski kalian tidak mengenalku, aku kenal kalian. Tunggu saja sampai aku
bangun dari tidur nyenyakku ini. Akan kusebutkan nama kalian satu demi satu”.
Dalam hal inilah Râzî menjelaskan bahwa Adam diciptakan atas citra dan kekuasaan
dari Allah secara langsung.38
Dalam mitos penciptaan Adam ini, Sachiko Murata mengungkapkan esensi
unsur Iblis sebagai perbandingan makhluk ciptaan Allah. Iblis disebut juga sebagai
mikrokosmos, jiwa rendah, yang disebut dengan “jiwa yang menyuruh pada
kejahatan” (al-nafs al-ammârah), memahami hanya “bentuk/ fisik/ dhahir/ lahiriah”
(shûrah) dari segala sesuatu, bukan “makna” (ma’nâ)-nya. Iblis tidak mempunyai
cahaya akal (‘aql), sekalipun dia cerdik dan licik, dan karena itu dia tidak sanggup
memahami maksud tanda-tanda Allah. Dia melihat konteks langsung dari segala
sesuatu, tapi tidak mampu memahami awal dan akhir segala sesuatu. Maka tidak
heran jika Jalaludin Rûmi menyebut Iblis sebagai makhluk bermata satu.39
Dari berbagai bentuk kecemburuan Iblis dan Malaikat mengenai penciptaan
Adam, maka dalam prosesnya kedua jenis makhluk ini senantiasa melakukan

38Ibid, hlm. 69.

39 Rûmi, Matsnawi IV 1709 (SPL 83). Lihat Juga dalam Sachiko Murata, Ibid, hlm. 69.

16

penyelidikan mengenai struktur penciptaan Adam, baik struktur raga maupun jiwa
(ruh). Dari berbagai bentuk penyelidikan tersebut, ternyata ditemukan bahwa antara
struktur tubuh Adam yang mikrokosmos adalah sepadan, sebanding, dan sama
intensitasnya dengan struktur Alam Semesta yang makrokosmos. Hal ini telah
menyebutkan bahwa Allah telah memilih Adam yang konsepsinya bentuk manusia
adalah makhluk terbaik diantara seisi alam dan diantara semua makhluk-Nya.40
B. BAGIAN II: TEOLOGI
1. Dualitas Ilahi
Dalam buku The Tao of Islam, Sachiko Murata menjelaskan beberapa
permasalahan teologi yang mungkin banyak mengejutkan orang. Sachiko Murata
mendefinisikan dualitas ilahi sebagai realitas antara Tuhan dan Kosmos (alam
semesta).
Ketikan “Tuhan” disebut-sebut dalam konteks pemikiran Islam, kata itu bisa
dipahami dari dua sudut pandang. Kita bisa memandang Tuhan sebagai Dia dalam
diri-Nya sendiri, dimana kita mengesampingkan kosmos, yakni “esensi dari Dzat
Allah”, yang semua pemikir Muslim telah sepakat bahwa esensi dari Dzat Allah
tidak bisa diketahui melainkan hanya dengan memahami apa yang terkandung
dalam kosmos tersebut. Pada saat yang sama, mestilah diingat bahwa “dualitas” ini
tak pernah mengimplikasikan pemisahan mutlak. Yang dibicarakan di sini adalah
polaritas, atau dua dimensi komplementer dari realitas tunggal. Jika kita
menggunakan istilah dualitas, maka ini disebabkan teks-teks itu umumnya berbicara
tentang dua prinsip.41
Singkat kata, dualitas berkaitan dengan sifat diskursus manusia tentang
Tuhan. Untuk bisa memahami Tuhan, maka harus mengerti keterbatasanketerbatasan konsepsi kita sendiri dalam memahami Tuhan. Menurut perspektif
40Ibid, hlm. 69-72.

41Ibid, hlm. 79.

17

keterbandingan, “Tak ada yang bisa mengenal Allah kecuali diri-Nya sendiri”.
Karena itu, kita mempunyai dua macam pengertian tentang Tuhan; Tuhan dalam
konsepsi manusia, dan Tuhan yang hakiki, yang berada jauh di luar konsepsi
manusia. Sachiko Murata,mengatakan bahwa: “Tuhan yang dibicarakan berkaitan
dengan konsepsi saya. Tuhan yang lainnya (maksudnya Tuhan yang hakiki) tidak
bisa kita pahami, baik oleh saya maupun Anda”. Karena itu kita tidak bisa
membicarakan tentang-Nya secara bermakna. Tidak ada seorang pun yang mampu
menjelaskan ini secara lebih baik melebihi Ibn al-‘Arabi.42 Hal ini yang menjelaskan
diskursus mengenai pemaknaan Tuhan dan esensi-Nya.
Dalam pengertian pertama, Allah menciptakan alam semesta dan bisa
diketahuinya melalui-Nya. Dalam pengertian kedua, Allah juga tidak tergantung
pada alam semesta serta tidak membutuhkannya. Dia (Allah) menjaga jarak dari
segenap makhluk-makhluk-Nya, bukan lantaran Dia tersembunyi atau kikir,
melainkan lantaran makhluk-makhluk-Nya sama sekali berbeda dari-Nya dan tidak
sangup meliputi realitas-Nya.43
Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan untuk membedakan ke
Esaan Nya dengan kejamkan makhluk-makhluknyaNya. Ciptaan itu mustahil tampa
adanya dualitas, sebab hanya tuhanlah yang tunnggal. Tampa wanita, pria bukanlah
seorang pria, sebab dia didenefisikan oleh wanita. Keberadaan kosmos, tidak ada
tuhan tanpa wanita, tidak ada pria.
Maka manusia dijadikan wakil tuhan di bumi sebab mereka diciptakan dalam
bentuk ilahi dan mewujudkan apa yang dimiliki oleh kedua tangan tuhan
dicerminkan dalam tabiat ganda dari dua ruh, sebagaimana yang diwakili oleh ruh
terbesar (akal pertama) dan jiwa universal. Melalui jaraknya dari penciptaan, ruh
42Ibid, hlm. 80.

43Ibid, hlm. 80.

18

mencerminkan keagungan dan kecerdasan sebaliknya, jiwa mencerminkan sifat-sifat
pemeliharaan yaitu kelembutan dan kebaikan melalui kedekatan relatifnya dengan
penciptaan, keserbagunaan, dan perbedaan. Ruh dan jiwa selanjutnya dicerminkan
dalam diri pasangan manusia. Adam dan Hawa, dalam ruh dan jiwa setiap individu
manusia, baik pria maupun wanita mewujudkan ruh dan jiwa setiap individu
manusia baik pria maupun wanita mewujudkan ruh dan jiwa, namun ruh
mendominasi pria sementara jiwa mendominasi wanita.
Dalam konteks Tao, begitu kita menyebut Tao, kita perlu mengetahui dan
mengenal Tao di balik nama-nama, Tao tidak ternamai dan tidak terpahami. Tao
yang bisa kita namai mensyaratkan adanya yin dan yang, karena keduanya bersifat
inheren dalam dirinya sendiri. Karena itu, kita mulai dengan dualitas ganda:
pertama, Tao yang bisa dinamai dan Tao yang tak bisa dinamai, dan kedua, yin dan
yang yang mendefinisikan hukum-hukum dari Tao yang bisa dinamai.Jika kita
mengesampingkan Tuhan yang tak bisa diketahui dan mengacu pada Tuhan yang
bisa diketahui, maka kita mempunyai dua perspektif yang sama: Kita mengetahui
bahwa pengetahuan kita tentang Tuhan masih kurang, yakni bahwa Dia tak bisa
dibandingkan. Pada saat yang sama, kita juga tahu bahwa kita bisa mengetahui
sesuatu tentang-Nya, yakni bahwa Dia adalah serupa. Karena itu, kita jumpai adanya
ketakterbandingan dan keserupaan pada tataran yang berbeda.
Dualitas Ilahi menurut Sachiko Murata juga termaktub dalam kebermaknaan
“Allah dan Hamba”. Dalam tradisi intelektual, berbicara tentang kosmos sama
artinya dengan berbicara tentang Tuhan, karena kosmos adalah segala sesuatu selain
Tuhan. Malahan bagi Islam, tidak ada artinya sama sekali berbicara tentang kosmos
tanpa berbicara tentang Allah. Artinya Allah dan kosmos merupakan dua bentuk
yang berbeda namun merupakan sebuah relasi realitas yang tidak terpisahkan.44
Sachiko Murata mengemukakan hubungan timbal balik antara
Tuhan dan manusia di satu pihak, dan antara pria dan wanita di pihak
lain. Dalam kaitannya dengan realitas, wanita identik dengan pria,
44Ibid, hlm. 89.

19

namun dalam kaitannya dengan entifikasi, masing-masing berbeda satu
sama lainnya. Pada akarnya, wanita menjadi terwujud karena pria,
maka dia seperti menjadi bagian darinya. Wanita menjadi terpisah
dan terwujud dalam bentuk feminim.
Dengan mengutip dari Kasyâni, Sachiko Murata menjelaskan bahwa
ada persesuaian dan bentuk antara pria dan wanita, sebagaimana ada
persesuaian antara Tuhan dan manusia:45 “Bentuk adalah persesuaian
yang paling besar, agung dan sempurna. Sebab ia adalah “salah satu
dari pasangan” (zauj). Dengan kata lain, ia membuat zat yang nyata
menjadi dua. Dengan cara yang sama, wanita membuat pria menjadi
dua melalui eksistensinya. Wanita mengubahnya menjadi salah satu
dari pasangannya”.
Dengan kata lain, bentuk manusia membuat bentuk dari Yang
Maha Pengasih menjadi salah satu dari pasangan, sebagaimana
bentuk wanita membuat bentuk pria menjadi salah satu dari
pasangan. Di sini, Sachiko Murata memahami ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi,
mengenai kebutuhan Tuhan akan seorang pelayan dan kebutuhan Tuhan
akan hamba Ilahi. Sebaliknya, kaum wanita (sebagai Yin) mempunyai
keunggulan dari kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di
bidang lahiriah. Jadi mereka tidak begitu berkecenderungan untuk
membuat tuntutan-tuntutan yang tidak pada tempatnya. Mereka
mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai hamba.
Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban
untuk mengumpulkan kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban
untuk melayaninya karena ini. Tetapi karena suami mempunyai satu
tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam keunggulan,
sementara kaum wanita mendapatkan manfaat / keistimewaan
(maziyyah) dari kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar
45 Ibid., hlm. 254

20

(‘ajz al-Basyariyyah). Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan
menyebut kelemahan wanita sebagai kelebihan.46
berarti menyinggung suatu pandangan positif dari realitas Yin. Ini
adalah pandangan khas dari suatu pendekatan terhadap al-Quran
dengan mencari makna batinnya.
Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn

‘Arabi,

menjelaskan tentang keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum
wanita dengan mengkaitkannya pada beberapa “hubungan” yang
ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan melalui penciptaan
Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai
derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi.
Ketiga, Ibn ‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita
mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan pernah
mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin
di antara mereka : penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4).
2. Dua Tangan Allah
Dalam banyak ayat al-Qur’ân, banyak sekali disebutkan mengenai istilah
“tangan” dan “dua tangan” dan juga “kanan dan kiri”. Istilah-istilah dalam al-Qur’ân
tersebut mengandung unsur lebih dalam memaknai sebuah kata. “Dua tangan Allah”
yang dimaksudkan dalam berbagai literatur dan hadis, sama sekali tidak seperti
tangan manusia. Beberapa ulama terdahulu berpandangan bahwa tidak ada arti
khusus dalam fakta bahwa tangan harus dua. Akan tetapi, Ibn ‘Arabi dan para
pengikutnya sangat tertarik pada setiap nuansa teks al-Qur’ân yang menyebutkan
bahwa Allah mempunyai “tangan dua”.47

46 M. Dawam Raharjo, mengupamakannya seperti bayi, di mana ia merupakan lambang
manusia yang tidak berdaya (Yin). Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru
dalam hubungan pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada akhirnya
menuntut perhatian dari kaum pria (Yang). Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan
dalam Perbincangan”, dalam Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, hlm. 50.
47

Ibid, hlm. 89.

21

Dalam al-Qur’ân jarang menyinggung dua tangan Allah dengan
menggunakan bentuk dualitas dari kata yad (lihat dalam QS. 5: 64; yang
menjelaskan bahwa: “Dua tangan-Nya terbuka, Dia menafkahkan sebagaimana yang
dikehendaki-Nya”), memang menyebut-nyebut tangan kanan dan tangan kiri Allah.
Ternyata kata “dua tangan Allah” ini mengandung semantika bahasa dan pemaknaan
yang sangat luas, sehingga dalam al-Qur’ân tangan kanan atau golongan kanan
dimaknai dengan kata “yamîn”, (disebut dalam al-Qur’ân 44 kali) yang berarti
bahwa menunjukkan makna nasib yang baik atau peruntungan yang baik; dan
tangan kiri atau golongan kiri dimaknai dengan kata “syimâl” yang berarti bahwa
menunjukkan makna nasib buruk atau kemalangan.48 Ternyata bukan masalah
golongan kanan dan kiri sebagaimana yang disebutkan dalam QS. al-Wâqi’ah (2743). QS. al-Hâqqah (18-26), dan juga QS. al-Isrâ’ (71) dan juga di surat lainnya,
melainkan juga pada pemaknaan setiap pekerjaan yang dimulai dengan tangan
kanan (baik dalam sholat, masuk masjid, makan, memakai pakaian, memakai
sepatu, dan lain-lain) adalah digunakan untuk kegiatan yang mengandung
kebersihan, kesucian, dan juga kebaikan. Sedangkan pemaknaan setiap pekerjaan
yang dimulai dengan tangan kiri (membersihkan diri setelah pergi dari jamban, dan
lain-lain) adalah digunakan untuk kegiatan yang mengandung noda, kotoran, dan
juga kejelekan.49 Realitas pemaknaan dua tangan Allah juga mengandung implikasi
bahwa adanya surga dan neraka.50

48

Ibid, hlm. 122.
49

Ibid, hlm. 123.
50

Ibid, hlm. 124.

22

Dari berbagai argumen tersebut, rupanya Sachiko Murata ingin memaparkan
dan menjelaskan adanya kekuasaan Allah di balik rahasia “Dua tangan-Nya”,
dengan segala kekuasaan-Nya dan kebesaran-Nya, sehingga menimbulkan banyak
pemaknaan dan realitas yang terjadi di alam ini, baik di dunia maupun di akhirat.

Kesimpulan
Dari penjelasan penulis mengenai The Tao of Islam dari Sachiko Murata,
maka dapat diambil kesimpulan bahwa Sachiko Murata tidak hendak mementahkan
ajaran Islam yang sudah sempurna berabad-abad lamanya, tetapi di sini Sachiko
Murata berusaha memaparkan sebuah data penelitian bahwa Islam adalah agama
yang rahmat bagi semesta alam, cakupan dalam Islam sangat luas dan sangat luar
biasa, sehingga menarik untuk di teliti. Terutama dalam hal ini mengenai relasi
gender dalam kosmologi dan teologi Islam, seperti yang telah dikemukakan oleh
Sachiko Murata di atas.
Konsep teologi Islam dalam memandang perempuan terlihat dalam tujuan
penciptaan manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah sama yakni
untuk menjadi ’abd dan khalifah. Hal ini karena seluruh manusia berasal dari
sumber yang satu yaitu Tuhan, berarti manusia seluruhnya adalah makhluk Tuhan.
Dengan demikian seluruh manusia adalah sama-sama makhluk Tuhan. Adanya
keyakinan itu mengasumsikan bahwa ciptaan-Nya juga pada hakekatnya adalah
suatu kesatuan. Pandangan ini membawa pada kesimpulan bahwa seluruh jagad
raya (universe) termasuk di dalamnya seluruh umat manusia apapun bangsa
dan bahasanya adalah merupakan makhluk Tuhan yang mempunyai kedudukan
yang sama.
Seluruh manusia tidak memandang jenis kelamin laki-laki ataupun
perempuan merupakan puncak ciptaan Tuhan (ahsanu taqwim). Manusia adalah
satu-satunya makhluk eksistensialis, dan ukuran kemuliaan di sisi Tuhan adalah
prestasi dan kualitas ketakwaannya tanpa membedakan etnik dan jenis kelamin. AlQur’an tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu atau
mengistimewakan suku tertentu. Laki-laki dan perempuan dari suku bangsa

23

manapun mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ’abd dan khalifah.
Menyaksikan Tuhan dari segi Dzatnya adalah mustakhil, tetapi
menyaksikan Tuhan dari segi penampakan diri-Nya (tajalli) adalah mungkin.
Artinya Tuhan menampakkan diri-Nya pada segala sesuatu yang diciptakan.
Sehingga Tuhan dapat disaksikan pada lokus penampakan diri-Nya. Salah satu
kelebihan yang dimiliki perempuan menurut Ibnu Arabi adalah kenyataan
bahwa perempuan dibuat dicintai bagi

laki-laki khususnya Nabi

Muhammad SAW, karena perempuan adalah lokus penampakan diri Tuhan
yang paling sempurna dalam kosmos yakni lokus penerimaan aktivitas (mahall
al-infi’al) yang paling sempurna.
Dengan demikian perendahan terhadap kualitas feminim perempuan
bernilai sama dengan pengabaian kualitas feminim Tuhan. Atas dasar hal
tersebut, diskriminasi jender sesungguhnya tidak memiliki legitimasi teologis
tetapi justru pengingkaran terhadap Tuhan secara utuh. Alasannya, relasi jender
secara mengesankan telah direpresentasikan oleh Tuhan sendiri.
DAFTAR RUJUKAN
Ch, Mufidah 2010. Gender di Pesantren Salaf Why Not ?. Malang: UIN-Maliki Press.
------------------------. 2003. Paradigma Gender. Malang: Bayumedia Publishing.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1983. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta:
Gramedia.
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender.
Malang: UMM-Press.
Leman. The Best of Chinese Life Philosophies. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. cet.
3. 2007.
Murata, Sachiko. 1998. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relation in
Islamic Though. Diterjemahkah oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah dengan
judul The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi
dan Teologi Islam. Bandung: Mizan.
-------------------------. dan William Chittick. 2005. The Vision of Islam. Penerjemah
Suharsono dengan judul yang sama. Yogyakarta: Suluh Press.

24

-------------------------. Chinese Gleams of Sufi Light. 2003. Diterjemahkan oleh Susilo
Adi dengan judul Kearifan Sufi dari Cina. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Sumbulah, Umi. 2008. Spektrum Gender: Kilasan Inklusi Gender di Perguruan
Tinggi. Malang, UIN-Malang Press.
Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran. Jakarta:
Paramadina.
Fakih, Mansour,1997. Analisi Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Ibn al-‘Arabi, 1980 Fushus al-Hikam. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi,
Ibn al-‘Arabi. Al-futuhat al-Makiyah. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

25