Wisata Antara Eksploitasi Keindahan Alam

Wisata: Antara Eksploitasi Keindahan Alam dan Seksual
Oleh: Ali Thaufan Dwi Saputra (Alumni Pascasarjana UIN Jakarta)
Keindahan alam Indonesia tidak berlebihan rasanya jika disebut dengan “surga kecil dunia”.
Keindahan ini pula yang mendorong minat pemerintah untuk membuka tempat-tempat
pariwisata baru guna mendongkrak ekonomi lokal dan menjadi sumber devisa negara.
Kampanye pesona Indonesia dilakukan secara masif untuk menarik perhatian wisatawan
baik lokal maupun wisatawan mancanegara (wisman). Dibukannya tempat pariwisata
memberi efek domino bagi terbukanya usaha-usaha kecil menengah dan pemberdayaan
masyarakat untuk memproduksi kekhasan daerah baik makanan atau pernak-pernik buah
tangan lainnya.
Meski jumlah wisman Indonesia masih kalah dengan beberapa negara tetangga, tetapi
wisman yang berkunjung ke Indonesia menunjukan tren kenaikan. Statistik Kementerian
Pariwisata (Kemenpar) Indonesia menunjukkan adanya kenaikan. Pada bulan Januari 2015
jumlah wisman ke Indonesia sebanyak 798.983, lalu meningkat pada Desember 2015
sebanyak 986.519. Kemudian pada Januari 2016 jumlah wisman sebanyak 814.303,
meningkat pada Desember 2016 menjadi 1.113.328. Selanjutnya pada Januari 2017
sebanyak 1.032.930 wisman dan meningkat pada Agustus 2017 sebanyak 1.404.664
(Kemenpar.go.id).
Kendala utama pariwisata Indonesia adalah infrastruktur menuju tempat pariwisata yang
belum memadai. Hal ini yang menyebabkan ongkos menuju destinasi menjadi tinggi (mahal)
sehingga wisman lokal pun enggan berkunjung. Kondisi ini juga tidak menguntungkan bagi

penyedia jasa travel pariwisata karena selain memakan waktu perjalanan yang cukup lama,
juga mempertahuhkan keselamatan.
Sisi positif pariwisata sebagai sumber devisi negara teryata menyimpan sisi negatif. Hasil
penelitian ECPAT, sebuah organisasi yang menaruh perhatian pada pengembangan
pariwisata menemukan adanya tempat-tempat pariwisata yang bukan saja tidak ramah
anak, tapi juga membahayakan. Beberapa tempat pariwisata diduga menjadi tempat
eksploitasi seksual anak. Kondisi ini tentu sangat merugikan karena adanya tempat
pariwisata diikuti dengan mengorbankan masa depan anak (Kompas 10/11/2017).
ECPAT menemukan lima modus eksploitasi seksual anak di tempat pariwisata, yaitu: protitusi
anak; prostitusi online; pedofilia; wisata seks; dan kopi pangku. Protitusi anak hampir
tersedia di tempat pariwisata seperti bar, kelap malam, tempat karaoke dan hotel. Ironisnya,
penyedia tempat hiburan ini memang menyediakan perempuan usia anak-anak untuk
memuaskan pengunjung. ECPAT juga menemukan motif kedatangan para turis, bahwa
mereka tidak hanya ingin menikmati alam indah wisata Indonesia, tetapi juga mencari
pemuas nafsu seksnya.
Sementara itu, wisata seks menurut ECPAT kerap terjadi di daerah wisata pegunungan.
Daerah wisata seks menawarkan wisata kawin beberapa bulan bagi pengunjungnya (kawin
kontrak). Dapat dibayangkan, ada berapa banyak anak yang tak memiliki orang tua yang lahir
dari aktivitas wisata seks atau kawin kontrak ini?


Modus lain dari ekploitasi seks di tempat pariwisata adalah kopi pangku. Wisata model ini
menyediakan kafe-kafe dan para pengunjungnya (pria) disediakan anak-anak gadis
perempuan untuk dipangku selama menikmati minuman.
Inilah potret buram dunia pariwisata. Membuka tempat pariwisata berpotensi dan
mengandung konsekuensi munculnya tempat-tempat prostitusi. Masyarakat sekitar daerah
pariwisata patut berhati-hati dengan fenomena prostitusi di tempat wisata ini. Menjadi
kewajiban bagi orang tua untuk menjaga anak-anaknya dari bahaya eksploitasi seksual anak.
Peran aparat hukum dan tokoh masyarakat sangat penting untuk menjaga generasi muda
penerus bangsa (anak-anak).
Salah satu hal yang dapat dilakukan pemerintah untuk meredam praktik eksploitasi seksual
anak di daerah kawasan wisata adalah membuka program pendidikan pariwisata di sekolahsekolah tingkat atas. Dengan cara ini, anak-anak dapat memanfaatkan tempat wisata di
daerah tersebut dengan bekal ilmu dan pengetahuan, bukan menggadaikan masa depan
(melacur).