Kelinci dengan Telinga Biru langit

Kelinci dengan Telinga Biru langit

D

ahulu kala, ada seekor kelinci bertelinga biru langit. Kelinci-kelinci lainnya menjulukinya si Telinga Biru.
Ia sadar, tidak ada kelinci yang memiliki warna telinga yang sama dengannya. Ia merasa malu. Ia lebih
suka berjalan-jalan dan bermain sendirian.

Satu-satunya teman yang ia miliki adalah Bulan di langit. Dia mengeluhkan kesedihannya pada Bulan, walau
Bulan tidak pernah menjawab.
“Aku akan menjelajah dunia. Aku akan pergi ke tempat yang tak ada seekor hewan pun mengenalku,” pikir
Telinga Biru.
Ia pun pergi dan hanya ditemani Bulan. Namun, di mana pun ia datang, ia selalu ditertawakan. Telinganya selalu
menarik perhatian. Telinga Biru sangat sedih. Ia merasa telinganya yang biru membuatnya sial.
Suatu hari, ia menemukan sebuah topi milik pembersih cerobong asap di rumah petani. Telinga Biru lalu
menutupi telinganya dengan topi pembersih cerobong asap itu. Ia lalu belajar memanjat cerobong asap,
menggunakan sapu, dan membersihkan tungku pembakaran.
“Sekarang aku cocok menjadi petugas pembersih cerobong asap,” gumam Telinga Biru gembira.
Suatu hari, topi Telinga biru tersangkut di corong cerobong asap. Telinga Birunya langsung terlihat. pembersih
cerobong asap lainnya segera menatap telinga si Telinga Biru. Meraka mulai tertawa dan berkata “Kamu pasti
petugas pembersih palsu!”. Si Telinga Biru malu dan pergi. Hanya Bulan yang menemaninya.

Ia lalu menemukan sebuah topi koki di sebuah penginapan. Ia sangat gembira dan menutupi telinganya
dibawah topi koki. Ia belajar memasak sayur-mayur dan membakar daging. “Sekarang aku juga cocok menjadi
koki.” Ujar si kelinci kecil bertelinga biru.
Sayangnya, suatu hari, topi kokinya itu jatuh kedalam sup. Para koki lainnya menatap telinganya yang berwarna
biru langit. Meraka mulai tertawa dan berkata “Kamu pasti koki palsu!”. Kelinci kecil malu dan pergi lagi. Hanya
Bulan yang menemaninya.
Tak lama kemudian, Telinga Biru menemukan sebuah topi milik tukang kebun di sebuah gubuk. Lagi-lagi ia
memakai topi temuannya untuk menutupi telinganya. Ia juga belajar mencangkul tanah, menanam pohon dan
memetik bunga-bunga. “ Sekarang aku juga cocok menjadi tukang kebun!” gumamnya.
Sayangnya, suatu hari angin menerbangkan topi itu. Tukang kebun lainnya melihat telinga biru langitnya.
Meraka mulai tertawa dan berkata “Kamu pasti tukang kebun yang palsu!”
Lagi-lagi kelinci kecil malu dan pergi. Hanya Bulan yang menemani.
Ia menemukan topi milik badut disuatu tempat sirkus. Ia segera menutupi telinganya dibawah topi badut. Ia
belajar untuk tersandung dibawah kakinya dan tersenyum menyeringai. “Sekarang aku juga cocok menjadi
badut.” Ujar si kelinci kecil itu.
Sayangnya, suatu hari, seekor monyet mengambil topi badut itu. Badut lainnya menatap telinga biru langitnya
dan tertawa. “Kamu pasti badut palsu!”.
kelinci kecil malu dan pergi. Hanya Bulan yang menemani.
Ia lalu menemukan topi milik gelandangan dibawah jembatan. Kembali ia memakai topi temuannya untuk
menutupi telinganya. Ia belajar untuk bermalas-malasan, berbaring, dan mengkhayal dibawah bayangan

jembatan. “ Sekarang aku juga cocok menjadi gelandangan,” pikirnya.
Akan tetapi, suatu hari, arus sungai menghanyutkan topinya. gelandangan lain menatap telinga biru langitnya
dan tertawa. “Kamu pasti gelandangan palsu!”

Kelinci kecil lelah melarikan diri dan menggunakan banyak topi. Ia duduk sendirian di pinggir kolam di tengah
hutan.
Aku bukan pembersih cerobong asap, buka koki , bukan tukang kebun, bukan badut, dan bukan gelandangan.
Lalu apakah aku ini?
Dalam sekejap, Bulan bersinar ke kolam dan membentuk cermin di sana. Di cermin itu kelinci kecil itu menatap
bayangan kelinci. Itulah dirinya. Kelinci di cermin itu tampak memiliki telinga biru langit. Semakin lama ia
menatapnya di sinar bulan, ia semakin terlihat mirip kelinci kecil. Ia pun mengerti tidak beruntung itu bukan
berasal dari telinga biru langitnya. Namun karena ia selalu merasa malu akan dirinya sendiri
Telinga Biru lalu pulang kembali kerumah. Bulan menemaninya. Di perjalanan ia berpapasan dengan
gelandangan, badut, tukang kebun, koki, dan pembersih cerobong asap. Dengan bangga ia menunjukkan
telinga biru langitnya. Anehnya, tak ada yang menertawakannya.
Telinga Biru tetap gembira dengan pengalamannya itu. Ia sudah belajar memanjat cerobong asap,
menggunakan sapu, membersihkan tungku pembakaran, memasak sayur-mayur, memanggang daging,
mencangkul tanah, menanam pohon, memetik bunga, barmain terompet, tersenyum menyeringai, bermalasmalasan, berbaring, dan mengkhayal dibawah bayangan jembatan.