POS POLISI DISERANG BERUJUNG VONIS MATI

POS POLISI DISERANG BERUJUNG VONIS MATI DAN
PENINDASAN ETNIS ROHINGYA
Zaeda Zulfa
zaedazulfa@students.unnes.ac.id
Abstrak
Yangon – Otoritas Myanmar menjatuhkan vonis mati terhadap seorang pria
Rohingya. Putusan vonis mati ini berkaitan dengan penyerangan pos polisi di
perbatasan yang menewaskan 9 personel kepolisian Myanmar sehingga
memicu aparat negara untuk melakukan operasi besar-besaran terhadap
kelompok minoritas muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Dari operasi
pembersihan yang dilakukan pada Oktober 2016 mengakibatkan ratusan
warga Rohingya tewas dan puluhan ribu lainnya melarikan diri ke Bangladesh.
Laporan terbaru PBB menyebutkan bahwa pembunuhan massal terhadap
warga Rohingya di Rakhine juga dibarengi dengan pemerkosaan bergiliran oleh
tentara dan polisi Myanmar. Operasi pembersihan oleh aparat negara Myanmar
bertujuan untuk menemukan para pelaku penyerangan pos polisi di
perbatasan tersebut. Pemerintah Myanmar menduga bahwa dibalik serangan
itu adalah teroris Rohingya. Ada 14 terdakwa pelaku penyerangan pos polisi di
perbatasan dan salah satu terdakwa bernama Mamahdnu Aka Aulia di vonis
hukuman mati. Kepala Kepolisian Sittwe, Yan Naing Lett, menyebutkan
pengadilan setempat menjatuhkan vonis mati terhdapa pemimpin

penyerangan pos kepolisian di perbatasan Kotankauk. Sittwe merupakan ibu
kota Negara Rakhine. Vonis mati dijatuhkan pada Jumat (10/2) lalu. Yan Naing
Lett kepada AFP, Senin (13/2) menuturkan bahwa Mamahdnu Aka Aulia dijatuhi
vonis mati pada 10 Februari di pengadilan Sittwe atas dakwaan pembunuhan
disengaja. Pria tersebut
ikut serta dalam penyerangan dan memimpin
penyerangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa lainnya.
Kendati demikian, militer Myanmar melakukan pengawasan ketat dengan
melakukan operasi di wilayah Rakhine, temapt kekerasan terhadap kaum
muslim khususnya Rohingya.
Kata Kunci : Vonis, serangan, Rohingya, polisi, PBB
PENDAHULUAN
Latar belakang
Rohingya adalah sebuah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine di Burma.
Jumlah warga Rohingya sekitar 3 juta penduduk yang mendiami Rakhine. Etnis
Rohingya meerupakan penduduk muslim yang mendiami di negara bagian
Rakhine atau dikenal juga sebagai negara Arakan pada abad ke-16. Etnis
Rohingya pada saat itu belum diketahui secara pasti jumlahnya oleh
pemerintahan Inggris. Pada 1872 dan 1911 Inggris melakukan survey untuk
menghitung jumlah penduduk muslim Rohingya. Dalam hasilnya tercatat

bahwa penduduk etnis Rohingya mengalami peningkatan dari 58.255 menjadi
178.647. Adanya peristiwa pembantaian Arakan menimbulkan perbedaan
keyakinan oleh etnis-etnis yang mendiami daerah itu. Pada 1982, pemerintah
Jendral ne Win memberlakukan hukum kewarganegaraan, etnis Rohingya tidak
diikutsertakan sebagai warga Myanmar di dalam Undang-Undang. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bahwa etnis Rohingya adalah penduduk

yang paling teraniaya di dunia. Mengutip keterangan dari media Republika, hal
tersebut diinyatakan sebagai berikut1 : “Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengatakan bahwa etnis minoritas Muslim Rohingya di Myanmar merupakan
kelompok etnis minoritas yang saat ini paling merana di dunia. Ini dikarenakan
konflik kemanusiaan dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok pengikut
Budha radikal di Myanmar”.
Dapat dilihat dengan jelas tidak ada kesetaraan dalam hidup
berdampingan dengan perbedaan keyakinan. Hilangnya prinsip kesetaraan
bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum, tidak ada produk hukum
yang berlaku untuk beberapa orang. Telah terjadi diskriminasi kaum minoritas
Rohingya, kekerasan dan penindasan dirasakan oleh kaum minoritas tersebut.
Pemerintah yang tidak mengakui adanya Rohingya semakin sulit memperoleh
hak asasinya untuk mendapat perlindungan. Penindasan terhadap etnis

Rohingya ini sudah termasuk ke dalam kejahatan genosida. Kejahatan genosida
merupakan sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap
satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat
punah) bangsa tersebut.2 Menurut Larry May, bahwa kejahatan etnic cleansing
melibatkan adanya suatu kebijakan yang disengaja oleh suatu grup/suku
tertentu untuk memindahkan secara paksa dan kekerasan atau diteror agar
penduduk sipil lainnya atau grup agama lainnya pindah ke wilayah geografis
tertentu.
Dengan tidak diakuinya etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar,
etnis Rohingya telah dirugikan, hak asasi untuk memperoleh pengakuan, hak
untuk melangsungkan kehidupannya dan lain sebagainya tidak bisa di
dapatkan dengan mudah, tidak ada jaminan hukum untuk melindungi warga
Rohingya dari ancaman luar. Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan
pemberian dari sang pencipta secara kodrati pada setiap individu makhluk
sampai melepasnya roh dari jiwa makhluk itu sendiri. Hak memberikan jaminan
moral dan dapat menikmati kebebasan manusia itu sendiri dari segala bentuk
perlakuan. Manusia mempunyai kedudukan dan martabat yang tinggi sehingga
perlu untuk diberikan penghargaan, pengakuan, perlindungan dan pemenuhan
HAM sebagai makhluk yang memiliki akal dan hati nurani.
Penggunaan kekerasan yang dilakukan karena konflik bersenjata

internasional atau bersenjata nasional membuat masyarakat internasional
melakukan pencegahan dan tindakan dengan cara penyelesaian damai terlebih
dahulu. Jika penyelesaian dengan kekeluargaan tidak kunjung usai konfliknya
maka digunakan intervensi kemanusiaan yang bersifat menghukum. Untuk
memberikan bantuan kemanusiaan dapat dilakukan tanpa harus memperoleh
keputusan dari organisasi dunia. Pemberian bantuan guna untuk mengurangi
penderitaan yang dirasakan, pemberian dapat berupa penyelamatan korban,
memberikan bantuan kebutuhan kehidupan sehari-hari. 3Sedangkan intervensi
kemanusiaan penggunaan kekerasan dengan cara pengiriman militer yang
dimaksudkan untuk menekan dan menghentikan tindakan kekerasan dan
dalam penyelenggaraannya harus dipertimbangkan melalui putusan atau
resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
11Dipresentasikan pada “Seminar Nasional Rohingya dalam Perspektif Fotografi Kemanusiaan dan HAM yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta,
tanggal 11 Februari 2014.
2Jawahir Thontowi, “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan
Hukum Internasional”, Pandecta, Volume 8. Nomor 1. (Januari 2013), hlm. 42.
3 Ibid., hlm. 41.

Kronologi Kasus

Pada Oktober 2016, Myanmar kembali tegang sebab telah terjadi
penyerangan pos polisi yang menewaskan 9 personel kepolisian Myamnar.
Pemerintah Myanmar menuturkan jika serangan pos polisi yang berada di
perbatasan sudah disusun dan dirancang oleh kelompok etnis Rohingya. Ada
ratusan militan etnis Rohingya yang melakukan penyerbuan pos polisi
pengamanan dekat perbatasan Bangladesh. Penyerangan dilakukan karena
dirasa telah terjadi diskriminasi minoritas Rohingya oleh pemerintahan
Myanmar. Perbedaan agama menyebabkan pula semakin tegangnya konflik
yang sedang terjadi. Kaum muslim minoritas berdampingan dengan penduduk
mayoritas Budha radikal di Myanmar yang kurang akur semakin memperparah
keadaan kaum Rohingya yang dikucilkan di daerah tempat tinggalnya.
Ratusan militan Rohingya diketahui telah menyerang tiga pos polisian
yang berada di perbatasan Bangladesh pada 9 Oktober. Untuk mencari para
pelaku dalam penyerangan dilakukan operasi pembersihan terhadap warga
Rohingya. Tanpa ada pilah-pilah aparat kepolisian dan militer membunuh
ratusan warga Rohingya dan sebagian lainnya melarikan diri ke Bangladesh
guna menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar. Laporan PBB terbaru menyatakan jika dalam operasi
pembersihan aparat kepolisian dan militer melakukan pembunuhan massal dan
pemerkosaan secara bergilir terhadap warga Rohingya.Setelah tertangkapnya

14 terdakwa penyerangan pos polisi, Kepala Kepolisian Sittwe Yan Naing Lett,
menyebutkan jika terdapat satu terdakwa yang dijatuhi hukuman mati oleh
pengadilan setempat. Diduga pelaku tersebut bernama Mamahdnu Aka Aula
pemimpin serangan dan merencanakan penyerangan bersama terdakwa
lainnya. Mamahdnu dijatuhi hukuman mati pada 10 Februari di pengadilan
Sittwe atas dakwaan pembunuhan disengaja. Sedangkan 13 terdakwa lainnya
telah disidang namun belum dijatuhi vonis.
Adanya dugaan pelannggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan
militer, Kementrian Dalam Negeri Myanmar akan melakukan penyelidikan
depatemen guna mencari tahu dugaan kekejaman yang dilakukan aparat
keamanan negaranya. Sejak insiden penyerangan pos pengamanan di wilayah
tiga perbatasan Myanmar oleh sejumlah kelompok bersenjata militer Myanmar
melakukan pengawasan ketat dengan melakukan operasi di Rakhine, tempat
kekerasan terhadap kaum Muslim khususnya Rohingya yang juga ditempat itu
pula militer Myanmar melakukan pelanggaran HAM berat dengan cara
membabi buta secara sadis.4 Tindakan diskriminatif pemerintah Myanmar yang
tidak mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara dilegalkan melalui
perangkat hukum, kemudian pembunuhan oleh aparat secara masif,
perampasan kebebasan, serta pemindahan secara paksa dapat dikategorikan
sebagai persekusi. Tindakan yang dilakukan pemerintah Myanmar dengan

kebijakan negara tidak adanya pengakuan warga negara semata-mata
ditujukan kepada etnis minoritas Myanmar saja.
Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadikan pemerintah Myanmar melakukan operasi
pembersihan terhadap etnis Rohingya?
2. Jenis pelanggaran atau kejahatan manakah yang dilakukan aparat polisi
dan militer Myanmar terhadap minoritas Rohingya?
3. Bagaimanakah pandangan dunia terkait penindasan yang dialami etnis
Rohingya?
4 Andrey Sujatmoko, Hukum HAM dan Hukum Humaniter, (Jakarta: PT RAJAGRAFINDO, 2015), hlm 164.

PEMBAHASAN
Alasan Pemerintah Myanmar Melakukan Operasi Pembersihan
Terhadap Etnis Rohingya
5
Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat
pada tiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai
manusia. Masih ada banyak negara yang menganggap persoalan HAM adalah
persoalan masing-masing negara, penyelesaian persoalan pelanggaran HAM

hanya cukup diselesaikan oleh negara yang bersangkutan. Apabila negara lain
ikut campur dalam urusan pelanggaran di negara yang bersangkutan dianggap
telah melanggar kedaulatan negara. HAM menjadi bagian penting pada
individu makhluk hidup. Hak dasar yang harus diperoleh adalah hak untuk
menjalankan kehidupannya. Namun, menjalani HAM tidak selamanya bebas
melakukan sesuatu yang dirasa akan membahagian diri ada batasan yang
harus ditaati yaitu norma yang ada dalam masyarakat terkait, aturan hukum
tertulis yang ada pada daerah tersebut. Di dalam dimensi internasional,
pelanggaran HAM telah menjadi bagian dari persoalan internasional, suatu
negara tidak boleh mengatakan dirinya bahwa HAM hanya urusan nasional
saja. Adanya PBB menandakan jika HAM diatur secara internasional yang
dinamakan the International Bill of Human Rights yang meliputi: Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948, International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) tahun 1966 dan International
Covenant on Civil and Political Rights pada 1966.
Operasi pembersihan terhadap etnis minoritas Muslim Rohingya secara
besar-besaran hingga terjadi kekerasan di dalamnya, bertujuan untuk mencari
para pelaku penyerangan pos polisi yang menewaskan 9 aparat polisi harus
menimbulkan penderitaan oleh banyak orang menjadikan konflik ini sebagai
pelanggaran HAM berat yang tergolong kejahatan genosida. 6Dalam pasal 2

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa setiap orang
berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam
Deklarasi ini dengan tidak ada terkecuali apa pun, seperti pembedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, pandangan lain, asal usul
kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan
lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan
politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari
mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk
wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan
kedaulatan yang lain.
Pelanggaran HAM yang terjadi secara meluas dan sistematis serta
berlanjut juga pemerintah tidak ada tanggungjawab atas pelanggaran terhadap
etnis minoritas Muslim Rohingya. Pemerintah Myanmar membuat tudingan
bahwa di dalam serangan tersebut ada hubungannya dengan teroris Rohingya.
Tidak ada bukti konkret terhadap tudingan yang dilontarkan. Ujaran kebencian
juga disuarakan terhadap etnis Rohingya dan menganggap etnis Rohingya
bukan bagian dari saudara atau kelompoknya. Tidak diakuinya sebagai warga
negara Myanmar oleh pemerintah Myanmar, justru menganggap jika warga
5A.Ubaedillah, Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2003), hlm 148.

6 Majlis Umum PBB, “Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia’,

Rohingya adalah warga pendatang dari Bangladesh. Pelecehan kerap kali
ditujukan ke Rohingya dengan sebutan orang “Bengali atau Kalar”.
Pelanggaran Yang Dilakukan Terhadap Rohingya
Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat militer Myanmar telah
menjadi pelanggaran HAM berat, adanya diskriminasi dengan membiarkan
aparat penegak hukum melakukan tindak kekerasan, pemerkosaan,
penganiayaan hingga menewaskan ratusan Muslim Rohingya. 7Dalam UndangUndang Kewarganegaraan Myanmar (Citicenship Act) tahun 1982, secara
eksplisit tidak mengakui orang-orang Rohingya sebagai warga negara
Myanmar. Tidak diakuinya Rohingya sebagai warga negara melah menjadikan
orang-orang Rohingya hidup tanpa memperoleh perlindungan hukum sama
sekali dan mudah untuk melakukan sasaran tindak kekerasan. Bukti bahwa
etnis Rohingya tidak diikutsertakan sebagai warga negara Myanmar terdapat
pada
Undang-Undang
Kewarganegaraan
tahun
1982.
Mengenai

kewarganegaraan di dalam Pasal 15 ayat 1 Universal Declaration of Human
Right menjelaskan bahwa setiap orang berhak mendapat atas suatu
kewarganegaraan. Hukum internasional melindungi hak asasi tiap individu dan
berlaku bagi setiap negara.
8
Komisi Hukum Internasional (International Law Commission/ILC)
menyatakan bahwa pelanggaran terhadap kewajiban negara yang digolongkan
sebagai “international wrongful act” mencakup pelanggaran HAM berat yang
dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Berdasarkan rekomendasi yang
dibuat oleh Komite HAM (Human Rights Commite) PBB, yang merupakan badan
yang dibentuk (treaty body) dalam rangka pelaksanaan Perjanjian Internasional
mengenai hak-hak sipil dan politik (International Convenant onCivil and
Politiical Rights/ICCPR), secara umum bentuk atau ruang lingkup dari “remedy”
adalah tindakan-tindakan yang berupa:
1. Penyeledikan yang terbuka untuk mendapatkan fakta-fakta (public
investigation to estabilish the fact)
2. Mengadili para pelaku (bringing to justice the preparators)
3. Membayar kompensasi (paying compensation)
4. Menjamin tidak terulangnya pelanggaran (ensuring non-repitition of
the violation)
5. Mengubah hukum (amending the law)
6. Menyediakan restitusi (providing restitution)
7. Menyediakan pengobatan dan layanan kesehatan (medical care
and treatment)
9
Pasal 2 ayat 3 ICCPR menyebutkan bahwa negara-negara peserta perjanjian ini
berjanji untuk menjamin setiap orang yang HAMnya dilanggar harus (shall
have) mendapatkan “remidy” yang efektif, sekalipun pelanggaran itu
dilakukan oleh orang-orang yang bertindak dalam kapasitas resmi (kedinasan).
Negara memiliki kewajiban untuk melakukan penghukuman tehadap orangorang yang melakukan kejahatan genosida atau kejahatan terhadap
kemanusiaan yang terjadi. Negara internasional memiliki prinsip untuk
melarang negaranya melakukan pembiaran terhadap para pelaku pelanggaran
HAM bebas tanpa hukuman. Menurut pasal 49 Konvensi Jenewa 1949
7 Ibid., hal. 161.
8 Ibid., hal. 211.
9 Teks asli Pasal 2 ayat (3) (a) ICCPR: “Each State Party to the present Covenant undertakes: a to ensure that any person
whose rights or freedoms as herein recognized are violated shall have an effective remedy, notwithstanding that
violation has been commited by person acting in an official capasity.”

menyangkut pelanggaran berat, setiap negara pihak pada Konvensi Jenewa
memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan tiga keajiban utama, yaitu:
1. Membuat undang-undang di tingkat nasional yang mengatur
pelanggaran berat
2. Mencari pelaku yang diduga melakukan pelanggaran berat
3. Mengadili pelaku pelangaran berat atau menyerahkannya kepada negara
lain yang berkepentingan unguk diadili.
10
Dalam konvensi-konvensi internasional seperti konvensi internasional
tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi rasial tahun 1965 dan
konvensi internasional tentang hak-hak sipil dan politik tahun 1966
memberikan perlindungan untuk kebebasan tanpa adanya diskriminasi. Pasal 5
dalam konvensi internasional tentang penghapusan semua bentuk diskriminasi
rasial tahun 1965, yang berbunyi sebagai berikut: “Untuk memenuhi
kewajiban-kewajiban dasar yang dicantumkan dalam pasal 2 konvensi ini,
negara-negara pihak melarang dan menghapuskan semua bentuk diskriminasi
rasial serta menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit,
asal bangsa dan suku bangsa, untuk diperlakukan sama di depan hukum.
Bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap
etnis Rohingya dengan melakukan pembiaran tidak bertindak pada situasi yang
terjadi, aparat polisi dan militer melakukan kekerasan dengan cara
penembakan, adanya batasan untuk berpindah atau bergerak terhadap orangorang Rohingya yang melarikan diri maupun mengungsi ke negara tetangga
dan pemindahan Muslim Rohingya secara paksa dapat dikategorikan sebagai
persekusi. Tindakan yang didasari oleh kebijakan pemerintah dan ditujukan
semata-mata hanya untuk etnis Rohingya saja. 11Berdasarkan Statuta Roma
pasal 7 ayat 1 (h) dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes againtst humanity) atau persekusi (persecution) sebagai
berikut : “Persecution againts any identifiable grup or collectivy on political,
racial, national, ethnic, cultural, religious, gender as defined in paragraph 3, or
other grounds that universally recognized impermissible under international
law, in connection with any act referred to in this paragraph or any crime
within jusdiction of the Court.”
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa (Crimes Againts
Humanity of Deportation or Forcible Transfer of Population) dalam pasal 7 ayat
2 huruf c Statuta Roma dijelaskan bahwa pengusiran atau pemindahan secara
paksa dengan cara pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
berarti pemindahan orang secara sah tanpa diberikan alasan yang diijinkan
oleh hukum internasional. Pemerintah Myanmar tidak mengambil tindakan
tegas dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di negaranya dan
terkesan melakukan pembiaran terus menerus. Dewan Keamanan PBB dapat
mengambil alih penyelesaian masalahnya untuk mengakhiri penindasan yang
terjadi di Myanmar.
Pandangan Dunia Tehadap Rohingya
Pemrintah Myanmar yang melakukan pembiaran kejahatan HAM berat
terhadap minoritas Rohingya telah mengundang organisasi internasional untuk
menyalurkan bantuan. Organisasi internasional seperti OKI telah mengirimkan
misi pencari fakta ke Myanmar, Ekmeleddin Ihsaroglu dengan merujuk pada
10 Aviantina Susanti, “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM BeratTerhadap Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan
Hukum Internasional,” Jurnal Ilmiah, (2014), hlm. 14.
11 Ibid., hal. 163.

laporan HAM dunia, menunjukkan bukti terjadinya suatu penyiksaan dan
diskriminasi disponsori negara. Peran pemerintah yang terkesan lambat dalam
menangani kasus ini sangat disayangkan. Kasus ini menjadi perhatian bagi
seluruh negara-negara di dunia. Kewajiban internasional untuk melindungi,
menjamin dan memenuhi HAM yang fundamental bersifat erga omnes, menjadi
tanggungjawab bagi seluruh negara. Kewajiban internasional dapat bersumber
dari perjanjian internasional atau kebiasaan internasional.
12
Pemerintah Myanmar juga berkewajiban untuk mencabut atau
mengamandemenkan
peraturan
perundang-undangan
yang
bersifat
diskriminatif, khususnya Undang-Undang Kewarganegaraan (Citizenship Act)
tahun 1982. Diskriminasi sudah menjadi permasalahan serius bagi tiap individu
yang didiskriminasi karena perbedaan warna kulit, asal-usul, dan kepercayaan
yang dianutnya merupakan faktor-faktor diluar kekuasaan. Diskriminasi
merupakan perlakuan yang diberikan oleh negara atau pemerintah kepada
sejumlah orang atau komunitas secara tidak sama atas jaminan hak-hak dasar
dan hak-hak kebebasan dasar baik karena alasan perbedaan suku, agama, ras,
dan gender. 13Pasal 5 International Convention on the Elimination of All Form of
Racial Discrimination 1969 menyebutkan bahwa negara-negara pihak
berkewajiban untuk meghapus segala bentuk tindakan diskriminasi, dan wajib
memberikan jaminaj kepada setiap orang tanpa menbedakan ras, warna,
kebangsaan, asal usul, suku dan agama.
Pelanggaran HAM berat yang menewaskan banyak manusia dan
kehilangan harta bendanya mendorong untuk melakukan tindakan tindakan
intervensi kemanusiaan. Banyaknya jumlah korbanyang tewas baik disengaja
maupun tidak disengaja dari tindakan rezim pemerintah Myanmar atau negara
membiarkan peristiwa terjadi dan atau tiketidakmampuan negara untuk
melakukan tindakan sehingga negara gagal untuk menegakkan keadilan. Meski
tidak mudah, melakukan intervensi kemanusiaan juga ketika Oganisasi
Konferensi Islam menyelenggarakan pertemuan, yang dihadiri oleh lebih dari
40 utusan dari 20 anggota negara muslim mengenai pembahasan minoritas
rohingya di Myanmar sebagai anggota masyarakat dunia yang paling tertindas.
Peran Indonesia dalam menyikapi kasus pelanggaran yang terjadi pada
etnis Rohingya dengan tegas menolak secar konsisten segala bentuk
diskriminasi atas dasr agama, suku, dan ras serta lainnya. Sikap pemerintah
Indonesia dengan memberikan rasa kepeduliannya melalui diskusi multirateral
dan bilateral dengan pemerintah Myanmar. Indonesia yang penduduknya
paling banyak dihuni oleh orang-orang Muslim memberikan kepeduliannya atas
dasar kemanusiaan untuk membela orang-orang Muslim Rohingya dari
diskriminasi rusial. Hasil sementara dari kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB,
Navy Pilay 28 Juli menyerukan penyelidikan independen, disertai oleh
kunjungan Jean Quintana, yang tiba di Myanmar tanggal 29 Juli 2012. Temuan
dari Human Rights Watch ASEAN telah mengemukakan temuannya bahwa
pemerintah Myanmar tidak melakukan upaya pencegahan.

KESIMPULAN

12 Ibid., hal. 165.
13 Jawahir Thontowi. “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim Rohingya Perspektif Sejarah dan
Hukum Internasional,” Pandecta, Volume 8. Nomor 1 (Januari 2013), hlm. 47.

Etnis Rohingya merupakan warga minoritas Muslim yang berada di
perbatasan, Rakhine, Myanmar. Peristiwa pembantaian yang berada di Arakan
menimbulkan perbedaan keyakinan yang kemudian muncullah diskriminasi
terhadap etnis minoritas Rohingya. Mayoritas penduduk Myanmar yang
beragama Budha radikal semakin memperparah keadaan, warga Rohingya
didiskriminasi oleh negara sendiri, tidak ada hak asasi untuk melindungi diri
dari serangan. Penyerangan oleh sejumlah pria tidak diketahui secara jelas apa
motifnya. Pemerintah Myanmar hanya memberikan dugaan jika serangan yang
berlangsung pada Oktober 2016 merupakan serangan dari para teroris
Rohingya tanpa ada bukti konkret. Akibat dari serangan tersebut yang
menewaskan 9 polisi, pihak aparat polisi dan militer melakukan pencarian para
pelaku dengan melakukan operasi pembersihan hingga menewaskan ratusan
Muslim Rohingya dan lainnya melarikan diri ke negara tetangga. Bahkan di
dalam laporan PBB terbaru, polisi dan militer melakukan penindasan dan
pemerkosaan terhadap Rohingya. Sikap pemerintah yang diam melihat
kekerasan yang ditujukan kepada Rohingya menjadi perhatian seluruh Negara
Dunia. Di dalam hukum internasional, sikap pemrintah Myanmar seharusnya
bertanggung jawab untuk melakukan penyelidikan terhadap kasus Rohingya,
menghukum orang-orang yang terlibat dalam kasus kekerasan yang terjadi dan
juga
pemerintah
Myanmar
seharusnya
mencabut
Undang-Undang
kewarganegaraan tahun 1982 lalu memberikan hak asasi untuk mendapatkan
pengakuan sebagai warga negara Myanmar. Turunnya tim pencari fakta
Ekmeleddin Ihsaroglu oleh organisasi internasional menjadi bukti jika negara
dunia sudah geram melihat kejahatan HAM berat ini berlarut-larut lama. Dari
berbagai perwakilan di negara-negara dunia dikumpulkan di sebuah organisasi
konferensi muslim untuk melakukan pembahasan terhadap etnis Muslim
Rohingya yang dirasa sebagai penduduk paling sengsara di dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Sujatmoko, Andrey. Hukum HAM Dan Hukum Humaniter. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2015.
Ubaedillah. A dan Abdul Rozak. Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2003.
Thontowi, Jawahir. “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Minoritas Muslim
Rohingya Perspektif Sejarah dan Hukum Internasional,” Pandecta, Volume 8.
Nomor 1 (Januari 2013), hlm. 41-50.
Susanti, Aviantina. “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM BeratTerhadap Etnis
Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional,” Jurnal Ilmiah, (2014),
hlm. 1-21.
Sefriani, “Yurisdiksi ICC Terhadap Negara Non Anggota Statuta Roma 1998,”
Jurnal Hukum no 2, April Vol 14, Yogyakarta, 2007.
“Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia,” Resolusi 217 A (III), 10 Desember
1948.
Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar (Citicenship Act) tahun 1982.
Rome Statute of The International Criminal Court 1998.
Universal Declaration of The Human Rights 1948.