Kisah Alkitab dalam Film Populer

Nama : Yose Emeraldo T.
NIM : 52140002

Kisah-kisah Alkitab dalam Layar Lebar
Menemukan atau kehilangan pesan Alkitab dalam budaya populer?
Tahun 2014 mungkin menjadi tahun yang menarik bagi orang-orang Kristen
penggemar film. Bagaimana tidak, di tahun 2014 terdapat setidaknya tiga film mengenai
kisah-kisah dalam Alkitab yang laris manis. Yang pertama adalah Son of God (28 Februari)
oleh Christopher Spencer yang mengisahkan mengenai pelayanan Yesus. Selanjutnya pada 28
Maret muncul Noah oleh Darren Aronofsky (Black Swan, The Fountain) yang dibintangi artis
papan atas Russel Crowe (Gladiator, A Beautifull Mind, Les Miserables), mengisahkan
tentang Nuh dan bencana air bah. Yang terakhir adalah Exodus: Gods and Kings yang
disutradarai oleh Ridley Scott (Alien, Gladiator, Black Hawk Down) dan dibintangi artis
papan atas lainnya, Christian Bale (trilogi Dark Knight, The Prestige) yang mulai diputar 12
Desember, yang mengisahkan mengenai Musa yang memimpin bangsa Israel keluar dari
tanah Mesir. Selain itu juga terdapat film-film lain yang meski tidak mengangkat kisah dalam
Alkitab namun bernafaskan Kristen dan juga laris seperti God’s Not Dead, Heaven is for
Real, dan Left Behind. Bahkan ada yang menjuluki tahun 2014 sebagai The Year of the Bible
Movie – Tahunnya Film Alkitab!1 Sebutan ini tentu tidak asal-asalan. Film-film di atas cukup
sukses dan meraup banyak keuntungan. Noah berhasil mengumpulkan pemasukan sebanyak
US$362 juta2, Exodus: Gods and Kings mendapatkan US$268 juta3 dan Son of God berhasil

mendapatkan US$67 juta4. Meski pendapatan tersebut tidaklah sebanyak film-film terlaris
tahun 2014 seperti Transformers: Age of Extinction (US$ 1.100 juta) atau The Hobbit: The
Battle of The Five Armies (US$955 juta)5, namun pendapatan dari film-film berbasis Alkitab
tersebut cukup menggiurkan.
Oleh karena itu, tampaknya trend film berbasis Alkitab masih akan terus bergulir di
tahun-tahun mendatang. Setelah membuat Exodus: Gods and Kings, Ridley Scott berencana
membuat film berbasis Alkitab lagi mengenai Raja Daud 6. Will Smith (I Am Legend,
Hancock, Bad Boys) dikabarkan hendak membuat film mengenai Kain. Kemudian ada juga
1

2
3
4
5

6

Shone,
T.,
A

movie
miracle:
how
Hollywood
found
religion,
2014,
dalam
http://www.theguardian.com/film/2014/jul/31/-sp-faith-films-hollywood-religion-christian-noah-heaven-isreal-bible diaskes 1 Juni 2015
Noah, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=noah.htm diakses 3 Juni 2015
Exodus: Gods and Kings, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=exodus.htm diakses 3 Juni 2015
Son of God, dalam http://www.boxofficemojo.com/movies/?id=sonofgod.htm diakses 3 Juni 2015
2014 Worldwide Grosses, dalam http://www.boxofficemojo.com/yearly/chart/?view2=worldwide&yr=2014&p=.htm diakses 3 Juni 2015
Toro, G., Ridley Scott May Follow Exodus With A Movie About King David, 2014, dalam
http://www.cinemablend.com/new/Ridley-Scott-May-Follow-Exodus-With-Movie-About-King-David43813.html diakses 1 Juni 2015

proyek mengenai Pontius Pilatus yang rencananya dibintangi Brad Pitt (World War Z, Troy,
Ocean’s Eleven).7 Bahkan Hugh Jackman (Wolverine, trilogi X-Men, Les Miserables)
bersama dengan Matt Damon (trilogi Bourne, Elysium, Good Will Hunting) dan Ben Affleck
(Pearl Harbor, Gone Girl, Argo) hendak membuat film mengenai Paulus berjudul Apostle

Paulus8. Bukan lagi studio film kristen kecil-kecilan yang mengangkat kisah-kisah Alkitab
tetapi justru studio-studio besar seperti Paramount, Warner Bros dan 20 th Century Fox dengan
bintang-bintang kelas A. Alkitab mulai menjadi mainstream, populer melalui film-film yang
berpotensi besar dan akan ditonton banyak orang. Pesan Alkitab akan diperdengarkan dan
disampaikan tidak hanya kepada orang Kristen melainkan juga orang-orang non kristen. Atau
benarkah demikian?
Dalam paper ini penulis hendak menggali dan menguak lebih dalam mengenai nilainilai

teologis

yang

membandingkannya

disajikankan

dengan

nilai


melalui
teologis

film
yang

sebagai
disajikan

budaya

populer

oleh Alkitab.

serta

Melalui

pembandingan itu penulis berharap untuk menjawab pertanyaan di atas, “Apakah pesan

Alkitab diperdengarkan kepada banyak orang?”. Secara khusus penulis akan membahas Noah
dan Exodus: Gods and Kings sebagai perwakilan dari trend film berbasis Alkitab. Pemilihan
ini karena film-film tersebut yang sudah beredar dan dapat ditonton, sementara beberapa film
lain yang diproduksi studio besar dan dibintangi artis-artis Hollywood papan atas, masih
dalam proses produksi. Namun sebelum masuk lebih dalam adalah baik untuk membahas
sedikit mengenai budaya populer itu sendiri.
Yang Terkemuka Di Antara Semua
Apakah budaya populer? Sebuah hasil akal budi yang dikenal dan disukai orang
banyak. Setidaknya itu arti budaya populer ketika penulis mencari arti kata ‘budaya’ dan
‘populer’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Meski demikian seringkali kata budaya
dipakai secara terbatas untuk menyebut hasil karya manusia yang dianggap berkualitas
tinggi.9 Sebuah karya teater klasik seperti Hamlet dan Romeo and Juliet oleh Shakespeare
dianggap sebagai sebuah budaya sementara serial TV komedi seperti Malam Minggu Miko
7

8

9

Kennedy, J.W., Why 2015 May (or May Not) Be the Year of the Bible Movie, Part 2, 2014, dalam

http://www.charismanews.com/culture/46529-why-2015-may-or-may-not-be-the-year-of-the-bible-moviepart-2 diakses 28 Mei 2015
Busch, A. & Fleming Jr., M, ‘Apostle Paul’ With Hugh Jackman Sainted By Warner Bros., 2015, dalam
http://deadline.com/2015/03/apostle-paul-hugh-jackman-ben-affleck-matt-damon-1201401935/ diakses 28
Mei 2015.
Detweiler, C. & Taylor, B., A Matrix of Meaning: Finding God in pop culture, (Michigan: Baker Academic,
2003), h.17.

2

atau Bajaj Bajuri tidak dianggap sebagai sebuah budaya. Pembedaan semacam ini yang juga
dikenal dengan pembedaan antara high culture dan low culture oleh mazhab Frankfurt. High
culture dipandang sebagai puncak pencapaian seni karya dan cipta manusia, sementara low
culture walau disebut culture (budaya) sebenarnya bukanlah sebuah budaya atau seni
melainkan hanyalah sebuah komoditas yang diproduksi untuk keuntungan dan manipulasi
belaka.10 Pemikiran demikan bersumber dari pandangan Marxisme yang mewarnai mazhab
Franfurt, Budaya populer tentu saja dipandang sebagai low culture dan sering juga disebut
sebagai mass culture atau budaya massal. Murahan, tak berharga dan semacam pembodohan
bagi rakyat. Kritik dari mazhab Frankfurt ini tentu menarik untuk dibahas lebih lanjut namun
hal ini jelas diluar cakupan dari paper ini.11 Meski penulis tidak sepenuhnya menolak
argumen-argumen yang diajukan oleh mazhab Frankfurt, namun penulis tidak bisa tidak

merasa bahwa argumen mazhab ini cenderung elitis dan mengagungkan budaya-budaya
tertentu –umumnya yang klasik– serta merendahkan bentuk budaya lain yang tentu saja lebih
kontemporer dan modern.12
Budaya populer kontemporer tentu saja berbeda dengan budaya-budaya klasik. Hal ini
karena konteks dunianya jelas berbeda. Kalau mazhab Frankfurt berargumen seakan-akan
budaya klasik bukanlah budaya populer, hal ini tentu kurang tepat, sebab menurut penulis
budaya-budaya klasik pun sesungguhnya adalah budaya populer pada jamannya. Apa yang
membedakan? Menurut Romanowski ada empat hal yang membedakan yaitu (1) teknologi
massa, (2) skala distribusi, (3) demografi para penikmat (audiens) dan (4) basis komersial
dari konsumen.13 Dengan keberadaan teknologi massal seperti percetakan masal, radio, TV,
dan internet maka produk-produk budaya populer dapat dinikmati oleh lebih banyak orang,
tidak hanya dalam sebuah kota atau sebuah negara bahkan sampai mencakup seluruh dunia.
Seandainya teknologi TV sudah ada pada jaman Shakespeare mungkin drama Romeo and
Juliet akan ditonton oleh berbagai oleh orang pada masa itu. Sayangnya tidak demikian
sehingga drama tersebut hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang pada masa itu, dan
10

Cobb, K., The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, (Oxford: Blackwell Publishing, 2005), h.4748.
11
Cobb dalam bab1 (h.45-52) membahas lebih jauh mengenai pandangan mazhab Frankfurt, mengenai kritik

yang diajukan serta dasar-dasar pemikiran dari mazhab Frankfurt. Sementara itu di bab 2 (53-71), Cobb
membahas mengenai pengembangan pemikiran oleh para penerus mazhab Frankfurt yang meski
mempertahankan beberapa kritik dan pemikiran oleh Mazhab Frankfurt namun juga mengembangkan cara
pandang yang berbeda dan lebih terbuka.
12
Lihat juga penjelasan Romanowski mengenai pemikiran dan pandangan mengenai budaya tinggi (disini
disebut high brow) dan budaya rendah (lowbrow), serta penempatan budaya klasik dan budaya populer dalam
kategori-kategori tersebut. Romanowski, W.D., Eyes Wide Open, (Michigan: Brazor Press, 2007), h.85-87.
13
Ibid., h.91

3

kemudian saat ini dipandang sebagai high culture karena fakta tersebut. Sebuah pengertian
yang tidak tepat. Oleh karena itu penulis lebih memandang budaya populer (maksudnya
adalah budaya populer kontemporer) sebagai sebuah produk karya manusia yang dikenal dan
disukai oleh banyak orang. Budaya populer adalah budaya yang memiliki audiens massal,
sangat banyak, diciptakan dalam urbanisasi dan demokratisasi seiring dengan berkembangnya
teknologi distribusi massal.14
Film: Peta bagi Perjalanan Hidup Anda

Film sebagai sebuah media artistik yang harus menunggu diciptakannya teknik
reproduksi sebelum berkembang pesat merupakan sebuah bentuk seni yang paling
emansipatoris (melibatkan seluruh pihak). Setidaknya demikian menurut Walter Benjamin 15.
Namun pendapat ini mungkin ada benarnya. Melalui film kita belajar mengenai banyak hal
yang perlu kita ketahui tentang hidup bahkan mungkin hampir seluruhnya. 16 Film mungkin
merupakan sebuah budaya populer yang menyentuh banyak orang. Pada tahun 2011 saja, UIS
(salah satu lembaga milik UNESCO) mencatat bahwa ada 6,984 milyar tiket bioskop yang
terjual17. Ini hampir setara dengan jumlah populasi dunia hari ini yang mencapai lebih dari 7
milyar orang18. Data di atas jelas belum menghitung dan mempertimbangkan orang-orang
yang menonton film dari DVD/VCD, streaming online, televisi berbayar, televisi umum,
smartphone atau dari bajakan. Jumlahnya tentu dapat berlipat ganda. Film memiliki cakupan
dan pengaruh yang kuat sebagai sebuah budaya populer.
Film sebagai sebuah produk budaya populer selain menghibur juga memiliki fungsifungsi yang lebih mendalam. Film mampu mengafirmasi dan merefleksikan kembali
keyakinan-keyakinan hidup dan nilai-nilai yang dipandang berharga oleh penonton. Film
sebagai budaya populer dapat dipahami sebagai imaginative ordering of experience atau
penyusunan yang rapi dan imajinatif atas pengalaman. Film memampukan kita untuk
mendapatkan insipirasi dan pencerahan mengenai kondisi manusia dan tempat kita dalam
semesta. Film juga mampu menyajikan nilai-nilai dan asumsi budaya, norma perilaku, peran
sosial dan gender setidaknya menurut versi sutradara atau screenwriter dari film tersebut.19
Penulis tertarik dan setuju dengan pendapat Romanowski bahwa budaya populer dapat

14

Detweiler, op.cit., h.18.
Cobb, op.cit., h.31.
16
Detweiler, op.cit., h.155.
17
Gonzalez. R., Emerging Markets And The Digitalization of The Film Industry, (Montreal: UNESCO Institute
for Statistics, 2013), h.18
18
Current World Population, dalam http://www.worldometers.info/world-population/ diakses 3 Juni 2015.
19
Romanowski, op.cit., h.95.
15

4

menjadi maps of reality, peta mengenai realitas yang dipakai untuk menavigasi, mencari arah
dan menemukan jalan dalam kehidupan.20 Film adalah sebuah media dan seni yang tersedia
dan dapat diakses orang untuk menemukan makna dalam kehidupan.21

Berbicara mengenai film sebagai media untuk mencari makna, Paul Schrader
membagi film ke dalam dua kategori22, yang pertama adalah film yang bersarana melimpah
(abundant). Ini adalah film yang lebih praktis, emosional, fisik dan sensual. Contohnya
adalah film-film yang mengedepankan unsur laga aksi (action) atau komedi umumnya
merupakan film yang abundant. Stimulus dan masukan dari film semacam ini tinggal
diterima saja tanpa perlu banyak berpikir. Sementara itu jenis kedua adalah film bersarana
jarang (sparse), yaitu film yang lebih abstrak, bergaya unik, dan lebih fokus pada yang
esensial saja. Film semacam ini tentu perlu lebih banyak berpikir dan ada kesulitan lebih
untuk mencerna dan memahami maksud dalam film tersebut.
Menurut Schrader, film-film religius atau berbasis alkitab sering jatuh kepada kategori
film bersarana melimpah yang dirasanya gagal menginspirasi iman para penontonnya. 23
Meski demikian film-film sparse yang diidolakan oleh Schrader ternyata tidak mampu
menangkap hati penonton. Orang tampaknya cenderung menjauhi dan menolak film-film
sparse tersebut.24Mungkin film-film tersebut terlalu sulit dicerna sehingga orang cenderung
enggan untuk menontonnya. Bagaimanapun juga orang menonton film untuk memperoleh
hiburan, merasa senang dan bersantai. Film-film sparse mungkin menuntut penonton
menginvestasikan daya emosional dan spiritual yang terlalu banyak. 25 Banyak orang
tampaknya kewalahan menghadapi film-film sparse.
Kalau demikian apakah kita tidak akan dapat menemukan makna diluar film-film
sparse? Penulis rasa tidaklah demikian. Kita juga dapat menemukan makna dalam film-film
non sparse juga. Detweiler dalam refleksinya terhadap beberapa karya sutradara film populer
dari tahun 1999 menyimpulkan bahwa film-film yang padat, penuh dan abundant pun dapat

20

Ibid., h.95
Marsh, C., Theology Goes to The Movies: An Introduction to Critical Christian Thinking, (New York:
Routledge, 2007), h.23.
22
Detweiler, op.cit., h.159
23
Ibid.
24
Derweiler memaparkan mengenai permasalahan yang dihadapi oleh film-film sparse yang dibuat oleh
Schrader (The Yakuza, Rolling Thunder, Blue Collar, Hardcore) maupun oleh para sutradara idola Schrader
seperti Theodor Dreyer (The Passion of Joan of Arc), Yasujiro Ozu (Floating Weeds), dan Robert Bresson
(Diary of a Country Priest, Au Hasard Balthazar) yaitu pujian dari kritikus namun pengabaian dan
ketidakacuhan dari para penonton. Film-film tersebut umumnya gagal secara finansial. Untuk pembahasan
lebih lengkap lihat ibid., h.160-162.
25
Ibid., h.181
21

5

mendorong individu untuk mencari makna hidup dan menggugah secara spiritual 26. Bahkan
mungkin film-film semacam ini –yang abundant namun sedikit-sedikit sparse– justru lebih
bermanfaat sebab menjadi map of reality yang akan dipakai penonton sebab tidak terlalu
berat. Meski demikian perlu disadari juga bahwa model semacam ini memiliki resiko juga.
Penonton dapat gagal melihat lebih dalam melampaui hingar-bingar aksi, gambar yang indah
dan special effect dari film abundant, menuju kepada pertanyaan-pertanyaan utama yang
diprovokasi dan disodorkan dalam film-film tersebut.27 Namun bagi penulis resiko ini
merupakan resiko yang layak diambil. Karena penggalian mendalam mengenai makna dapat
dibangun melalui diskusi, refleksi film ataupun review film selama film tersebut ditonton
oleh banyak orang.
Noah dan Exodus: Gods and Kings, kedua film yang akan dibahas dalam paper ini
merupakan contoh film yang, bagi penulis, merupakan film abundant namun sedikit-sedikit
sparse. Keduanya merupakan film yang padat, penuh aksi, dialog dan adegan-adegan
spektakuler (terimakasih kepada CGI dan special effect yang keren!) namun juga dapat
mendorong pemikiran dan refleksi atas hidup. Menyadari bahwa film mampu menyajikan
nilai-nilai dan asumsi budaya, norma perilaku, peran sosial dan gender, kita kembali bergerak
untuk menjawab pertanyaan di awal mengenai film-film berbasis Alkitab ini, “Apakah pesan
Alkitab diperdengarkan kepada banyak orang?”
Antara Akurasi & Imajinasi
Salah satu komentar pertama yang umumnya dilontarkan oleh kaum Kristiani
mengenai film adaptasi Alkitab seperti Noah dan Exodus: Gods and Kings adalah bahwa
film-film tersebut tidak akurat. Dalam artian film-film tersebut tidak mengikuti cara
pengkisahan dalam Alkitab termasuk juga menghilangkan sebagian kisah ataupun menambah
dan mengubah sebagian dari kisah tersebut. Banyak orang yang bahkan mencela Darren
Aronofsky ataupun Ridley Scott. Meskipun demikian perlu disadari bahwa film-film adaptasi
dari Alkitab ini tentu bukanlah sekadar pengkisahan ulang Alkitab. Jika itu yang diharapkan
maka kemungkinan besar kita akan kecewa. Bagaimana pun juga film merupakan sebuah
dunia imajinatif yang artistik. Sebuah dunia yang diciptakan oleh imajinasi sang seniman.
Sebuah produk dari orang-orang kreatif yang bekerja bersama, sutradara, penulis naskah,

26

Detweiler merefleksikan 6 buah film yaitu The Matrix, American Beauty, Fight Club, Magnolia, Dogma dan
Run Lola Run. Lihat pembahasan ibid., h. 168-180.
27
Ibid., h.181.

6

produser, dan lain sebagainya. 28 Jonathan Bock, pendiri Grace Hill Media di California
bahkan berpendapat bahwa orang-orang yang bekerja dibalik kamera perlu dan memang akan
memiliki kebebasan karena Alkitab bukanlah naskah film. 29 Oleh karena itu bagi penulis
pengembangan kisah merupakan hal yang menarik dan layak diapresiasi dari para pembuat
film ini. Dalam kisah-kisah Alkitab terdapat berbagai plot holes, kekosongan-kekosongan
plot dan alur cerita yang dapat diisi oleh imajinasi dan kreatifitas dari penulis. Contohnya
mengenai relasi antara Nuh dan Metusalah tidak pernah digambarkan dalam Alkitab. Apakah
Metusalah mati wajar ataukah mati karena air bah?30 Apakah keturunan Seth menyimpan
kulit ular dari Kejadian 3 sebagai barang peninggalan / keramat dari masa lampau? Seperti
apakah dunia pada masa Nuh? Gersang atau indah? Apa yang dialami oleh para penumpang
bahtera ketika air bah pertama kali datang? Seperti apakah relasi antara Musa dan para
penguasa Mesir? Apakah Musa menyadari keyahudiannya? Apakah Musa seorang jenderal
dengan pengetahuan yang luas akan seni perang? Apa yang dirasakan orang Israel kepada
orang Mesir yang terkena tulah-tulah? Konflik dan pergumulan semacam ini tidak tertulis
dalam Alkitab dan menjadi plot holes bagi penulis untuk berkreasi dan berimajinasi.
Meskipun demikian bagaimana jika kebebasan berimajinasi tersebut justru mengubah
makna kisah tersebut? Tokoh-tokoh yang ada tetap sama tetapi relasi antar tokoh berbeda
secara signifikan dan merubah kisah tersebut pada titik-titik kunci dan utama dari kisah
tersebut. Dapatkah hal yang demikian masih disebut sebagai sebuah film adaptasi? Apakah
film-film ini menolong menyampaikan pesan Alkitab mengenai Allah? Dalam pembahasan
selanjutnya, penulis akan mengulas bagian-bagian menarik dari Noah dan Exodus: Gods and
Kings serta membandingkan pesannya dengan pesan dari Alkitab.
Dunia Baru Tanpa Manusia
Pertama-tama berbicara mengenai Allah, dalam film Noah, Allah memang tidak
ditampilkan secara jelas. Allah tidak muncul sebagaimana dalam Exodus: Gods and Kings,
yang akan dibahas nanti. Dalam film Noah, gambaran mengenai Allah hanya ditemukan
melalui ucapan dan pandangan dari tokoh-tokoh seperti Nuh, Tubal-Kain, Metusalah, dan
The Watcher. Allah tidak pernah mengucapkan sepatah kata pun sepanjang film tersebut dan
28

Romanowski, op.cit., h.99,101.
Kennedy, op.cit.,
30
Jika menghitung catatan Alkitab mengenai usia Metusalah (Kejadian 5:25-27) dan memperkirakan waktu
terjadinya Air Bah dengan menghitung usia Nuh (Kejadian 5:28-32; 9:28-29) maka Metusalah mati pada usia
969 tahun bersamaan dengan tahun terjadinya air bah. Dari data inilah kemungkinan Darren Aronofsky
berimajinasi bahwa Metusalah mati karena Air Bah.
29

7

disebut hanya sebagai Sang Pencipta (The Creator).Dalam film Noah, Allah berbicara kepada
Nuh melalui penglihatan-penglihatan yang indah, mempesona namun sekaligus mengerikan 31
atau kejadian alam yang unik, seperti setetes air yang jatuh ke tanah dari langit dan serta
merta menghasilkan bunga32. Percakapan dengan Allah itu sesuatu yang tidak jelas dan
ambigu bagi Nuh. Nuh kemudian mencari nasihat kepada kakeknya, Metusalah yang
dikisahkan tinggal seorang diri di gunung. Melalui perjumpaan tersebut Metusalah
meyakinkan Nuh bahwa Allah berbicara dalam cara yang dipahami oleh Nuh 33 dan akhirnya
ia memahami tugas yang harus dikerjakannya.
Nuh ditugasi Allah untuk membuat bahtera untuk selamat dari Air Bah. Yang menarik
adalah ketika Nuh menjelaskan mengenai tugas membuat bahtera kepada keluarganya. Nuh
menjelaskan bahwa manusia akan dihukum karena perbuatannya kepada dunia (bumi) dan
bahtera dibuat untuk menyelamatkan hewan-hewan yang tidak bersalah. Karena mereka tidak
bersalahlah maka Allah menyelamatkan mereka.34 Tanggapan Ila juga menarik bahwa hewan
akan diselamatkan dan hidup karena mereka masih hidup sama seperti saat mereka hidup di
Taman (Eden). Hal ini berbeda dengan perkataan Tuhan dalam Kejadian 6:7 “Aku akan
menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi, baik manusia maupun
hewan dan binatang-binatang melata dan burung-burung di udara, sebab Aku menyesal,
bahwa Aku telah menjadikan mereka”. Allah menghapuskan segala mahluk dari dunia ini.
Dunia telah rusak dan penuh dosa dan bukan hanya manusianya saja tetapi seluruh kosmis!
Jadi sudah tidak ada lagi yang tidak tercemari dosa di dunia (lihat Kejadian 6:11-13, Roma
5:12, 8:19-22). Dimulai dari peristiwa kejatuhan di Eden (Kejadian 3) sampai rencana Air
Bah (Kejadian 6) kita melihat dunia yang berproses dan bergerak makin jatuh dan dicemari
dosa yang akhirnya mencapai skala kosmis. 35 Oleh karena itu pesan yang disampaikan oleh
Noah dalam hal ini berbeda dari Alkitab.
Awalnya Nuh menduga bahwa dirinya dan keluarganya akan turut serta dalam dunia
baru36. Namun lewat penglihatan lebih lanjut37, menurut Nuh, Allah menginginkan seluruh
manusia mati, tidak ada yang diselamatkan sebab manusia adalah jahat dan merusak dunia ini
termasuk juga Nuh dan keluarganya. Penglihatan ini mengguncang Nuh dengan keras dan dia
31

Aronofsky, D., (Sutradara). (2014). Noah [Film]. Amerika Serikat; Paramount Pictures, 10.30-11.37; 27.5228.50; 56.32-57.01
32
Ibid., 05.47-06.02
33
Ibid., 26.18-26.40
34
Ibid., 30.25- 31.04
35
Fretheim, T. E., God and World in the Old Testament: A Relational Theology of Creation, (Nashville:
Abingdon Press, 2005), h.79
36
Ibid., 31.06-31.22
37
Aronofsky, op.cit., 56.32-57.01

8

digambarkan berubah menjadi pribadi yang muram. Mungkin karena beban dan konsekuensi
yang mengikuti pencerahan tersebut terlalu berat. Nuh membagikan pencerahannya kepada
istri dan anak-anaknya yang tentu saja diterima dengan berat hati terutama oleh istrinya,
“They are our children, Noah!” kata sang istri dengan geram dan murka. Nuh tetap teguh
dengan rencananya. Ia berencana agar keluarganya menjadi yang terakhir dari manusia yang
hidup di dunia. Sepanjang terapung-apung tanpa arah didalam bahtera, Nuh pun berjuang
untuk menghayati pencerahan tersebut. Ia terus bergumul apakah hal tersebut memang
merupakan kehendak Allah. Pergumulan untuk hidup dalam sinkronisasi (selaras) dengan
kehendak dan rencana Allah tentu merupakan tema alkitabiah yang terus dihidupi oleh orang
Kristen sampai saat ini. Ketika Ila (istri Sem) memberitahukan bahwa ia hamil maka Nuh
menjadi semakin gamang dan galau. Ia berseru-seru kepada Allah namun tidak mendapatkan
jawaban dari Allah. Ia menginterpretasikan ini bahwa kehendak Allah tidak berubah,
kematian seluruh umat manusia termasuk anak Ila. Nuh pun kemudian berusaha membunuh
anak-anak Ila sementara Naameh (istri Nuh), Sem dan Ila berusaha menyelamatkan sang
anak. Pada akhirnya Nuh memutuskan untuk tidak mengikuti kehendak Allah dan
membiarkan si anak tetap hidup, keputusan yang diambil dengan perasaan gagal, sedih dan
luar biasa terpukul.38 Konflik batin yang hebat antara mengikuti kehendak Allah dan
menyelamatkan darah-dagingnya akhirnya dimenangkan oleh keinginannya menyelamatkan
cucu-cucunya (bandingkan kisah Abraham di Kejadian 22:1-19). Konflik batin inilah yang
menurut penulis, menjadi kisah dan drama utama dari Noah. Beban mental dan emosional
yang sedemikian berat akhirnya membuatnya bermabuk-mabukan ketika sampai lagi di darat.
Berbeda tentu dari Alkitab dimana Nuh mabuk bukan karena stres atau tertekan (Kejadian
9:20-21).
Bagian menarik bagi penulis adalah sepanjang proses ini bahkan setelah Nuh
mengambil keputusan menyelamatkan anak-anak Ila pun Allah tidak berbicara apapun
kepada Nuh. Apakah ini hanya ujian seperti dalam kisah Abraham? Apakah Nuh salah
menginterpretasikan penglihatan dari Allah? Apakah akhirnya dunia kembali hancur karena
Nuh gagal mengikuti visi Allah mengenai dunia baru yang tidak didiami oleh manusia?
Pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan tak terjawab oleh Aronofsky. Allah ala Aronofsky adalah
Allah yang diam, Allah yang jauh bahkan dari manusia pilihannya, Allah yang sangat
transenden, nun jauh disurga dan berbicara dalam teka-teki dan ketidakjelasan.

38

Ibid., 87.41-88.42; 90.55-92.22; 95.41-100.30; 107.30-109.57; 111.26-113.10; 115.50-120.30

9

Mengikuti logika cerita –dimana visi Allah kepada Nuh yang masih dan belum
direvisi, adalah kematian seluruh umat manusia– maka Nuh memberontak kepada Allah demi
keluarganya. Tindakan Nuh tersebut bisa jadi dipandang tidak tepat jika orang-orang –yang
memiliki asumsi bahwa kisah Nuh merupakan sebuah sejarah yang terjadi di masa lampau–
berefleksi dan melihat kondisi dunia masa kini dimana terjadi kerusakan lingkungan yang
hebat karena manusia. Disisi lain pesan yang disampaikan oleh film ini adalah hal demikian
itulah yang tepat. Cinta kepada keluarga harus di atas Allah, walau mungkin mengorbankan
dunia (?). Menjelang akhir Ila menyatakan bahwa tindakan Nuh tepat (mengasumsikan
bahwa Allah menguji Nuh saja) karena ia menunjukkan pengampunan dan kasih kepada
keluarga.39 Kesempatan kedua bagi manusia merupakan kehendak Allah bagi Nuh namun hal
ini tidak terkonfirmasi oleh Allah sampai dengan adegan akhir, ketika Nuh melakukan ritual
tanggungjawab merawat bumi dan beranak-cucu, maka muncul pelangi (yang bisa
diinterpretasikan sebagai persetujuan dari Allah). Namun lagi-lagi tidak ada kejelasan dan
konfirmasi dari Allah. Hanya interpretasi manusia (Nuh dan keluarganya dan para penonton).
Pesan yang disampaikan film tersebut bagi penulis tentu saja tidak sepenuhnya selaras
dengan pesan Alkitab. Dalam Alkitab, Allah memang jelas-jelas memilih Nuh dan
keluarganya untuk diselamatkan dari air bah. Sehingga kegelisahan dan konflik batin dalam
bahtera tentu tidak dihadapi oleh Nuh. Lebih dalam dari itu, pengampunan, kasih dan
kesempatan kedua menjadi inisiatif dan pemberian Allah (Kejadian 6:8) dan tidak didapatkan
lewat pemberontakan kepada Allah. Bagian penting lain dari Alkitab yang dikeluarkan dari
Noah adalah perjanjian yang ditetapkan Allah setelah Nuh dan keluarganya keluar dari
bahtera (Kejadian 9:1-17). Perjanjian ini menunjukkan Allah yang berelasi dengan manusia
(tidak hanya manusia tetapi segala mahluk!) dan Allah yang meletakkan keyakinan dan
kepercayaan kepada kebaikan manusia dan segala mahluk (walau juga memiliki kapasitas
untuk berbuat jahat dan dosa – lihat Kejadian 9:21-22) untuk meneruskan ciptaan. Allah yang
tidak lagi akan mengintervensi dunia dengan Air Bah. Meski Noah juga menyajikan kisah
mengenai kehidupan baru (meski tema ini tidak dibangun secara kuat) namun Aronofsky
memutar kisah Nuh dan menjadikan keselamatan dan kehidupan baru itu (setidaknya
mengenai manusia) bukan sebagai inisiatif dan kehendak dari Allah melainkan dari usaha dan
pemberontakan manusia kepada rencana Allah.
Selanjutnya mengenai keluarga di atas Allah, Matius 10:37-38 berkata “Barangsiapa
mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa
39

Ibid., 125.10-127.14

10

mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku.
Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak bagi-Ku.”. Bagi Yesus,
kasih kepada keluarga yang melebihi kasih kepada Allah bukanlah hal yang tepat. Kasih
kepada Allah dan kepada keluarga perlu diletakkan pada taraf yang sama (lihat Matius 22:
34-40).40
Percakapan antara Nuh dan Tubal-Kain membawa kita melihat sisi lain dari kisah Air
Bah ini.41 Meskipun Tubal-Kain digambarkan sebagai seorang yang bengis, penindas dan
kejam, dan memang diposisikan sebagai seorang antagonis yang egois, hal ini tentu tidak
membuat kita berhenti berpikir mengenai nasib orang-orang banyak, para pengikutnya
beserta keluarganya. “The land is dying, the cities are dead. My people follow me and more
will follow them. ... If you refuse my dozens now, I shall return with legions!” Demikianlah
seru marah Tubal-Kain. Manusia yang sekian banyak akan segera tenggelam dalam Air Bah
tanpa ada kesempatan untuk bertobat dan berubah. Perhatian serupa juga muncul ketika Air
Bah sudah melanda dan Sem dan Ila (nama istri Sem) ingin menolong orang-orang di luar
bahtera yang masih hidup dan terapung-apung namun ditolak oleh Nuh. Kegelisahankegelisahan humanis yang ditampilkan dalam film Noah ini menarik (walau tidak terjawab
dalam film secara memuaskan juga) untuk kita dapat menggumuli relasi Allah dan manusia.
The Watcher merupakan bagian dari kisah yang merupakan fantasi dan imajinasi
Aranofsky (atau mengambil sumber di luar Alkitab) yang menarik. Terlepas dari ketidakalkitabiahan tokoh-tokoh ini, menarik untuk mencermati kisah mereka. Allah dikisahkan
menciptakan The Watcher pada hari yang kedua. The Watcher dikatakan berbelas-kasihan
pada manusia dan turun ke bumi untuk menolong manusia. Akibatnya mereka kemudian
dihukum Allah karena melawan perintah-Nya. Mereka, mahluk-mahluk cahaya dikurung
dalam batu dan tanah dari bumi. Meskipun demikian mereka tetap menjalankan rencana
mereka untuk menolong manusia. Mereka mengajari manusia segala hal mengenai ciptaan
sampai akhirnya keturunan Kain berhasil membangun peradaban yang luar biasa. Mereka
berhasil baik namun kemudian manusia berbalik dan menggunakan pembelajaran tersebut
untuk melakukan kekerasan dan kejahatan. The Watcher diburu dan dibunuh oleh manusia.
Menyadari kesalahan mereka, The Watcher meminta Allah untuk membawa mereka pulang
namun Allah diam saja.42 Yang menarik adalah saat mereka berusaha melindungi Nuh dan
40

Dalam Matius 22: 34-40, Yesus menyatakan bahwa mengasihi Allah (hukum pertama) dan mengasihi diri dan
sesama (hukum kedua), tentu saja termasuk keluarga, memiliki bobot keutaman yang sama.
41
Aranofsky, op.cit., 47.40-48.40
42
Ibid., 20.50-22.34

11

bahteranya dari Tubal-Kain, The Watcher yang mati kemudian dapat kembali kepada Allah. 43
“The Creator brings him home!” pekik salah satu dengan sukacita. Ini berbeda dengan para
The Watcher yang mati dalam flashback kisah dari Magog. Meski seakan-akan berkata
bahwa mereka dapat kembali ke surga karena telah mau menolong Nuh namun menurut
penulis titik kuncinya adalah pada kata-kata Samyaza (The Watcher pertama yang mati saat
melindungi Nuh), “My Creator, forgive me.”44 Keselamatan dari Allah datang karena
Samyaza memohon ampun atas kesalahan The Watcher. Tentu bukan soal ‘gagal’ melindungi
Nuh tetapi mengenai pemberontakan mereka. Kalau sebelumnya mereka hanya meminta
Allah membawa mereka pulang, kini mereka tidak meminta pulang namun memohon ampun
dan justru Allah membawa mereka pulang.
Kisah penciptaan dan kejatuhan manusia yang dituturkan oleh Nuh merupakan sebuah
penceritaan yang menarik. Meski secara naratif memakai kisah penciptaan ala Kejadian 1,
namun tidak dapat dipungkiri bahwa penceritaan melalui rangkaian gambar yang berganti
secara cepat (stop-motion) memberi kesan penciptaan dunia berdasar teori Big Bang dan
evolusi dari mahluk laut sampai menjadi mahluk darat. 45 Aronofsky berhenti sampai pada
mahluk yang menyerupai monyet sebelum narator berpindah kisah tentang manusia. Walau
demikian secara implisit kita dapat melihat pesan yang hendak disampaikan dibaliknya
adalah manusia merupakan evolusi kera. Sementara itu Tubal-Kain memberikan kisah lain
mengenai penciptaan manusia, bahwa Allah menciptakan manusia karena tidak puas dengan
keberadaan ciptaan yang lain.46
Penulis mengapresiasi imajinasi dan visualisasi kisah Nuh yang disajikan oleh
Aronofsky. Metusalah yang memiliki kekuatan supranatural seperti mengeluarkan api dari
pedang dan memulihkan rahim Ila. Ham yang tidak memiliki istri saat Air Bah (berbeda dari
kisah Alkitab – Kejadian 6:18) dan dengan begitu menambahkan konflik yang menarik.
Tubal-Kain, sang antagonis yang menyusup ke dalam bahtera dan bertarung dengan Nuh.
Gambaran dunia yang gersang dan rusak oleh manusia (apakah kita bergerak menuju dunia
semacam ini?), pengambaran bencana Air Bah secara dahsyat, dan visualisasi lainnya yang
indah. Secara keseluruhan, Noah menyajikan sebuah kisah yang menarik.

43

Ibid.,
Ibid.,
45
Ibid.,
46
Ibid.,
44

75.11-76.20
75.55-75.59
84.30-87.40
93.22-93.45

12

Sang Anak Kecil dan Jenderal Pembebas
Exodus: Gods and Kings merupakan sebuah film yang menarik. Exodus: Gods and
Kings dimulai dengan prolog “for 400 years the Hebrews have been slaves to Egypt”47 yang
kemungkinan diinspirasi dari Kejadian 15:1348 yang berujung pada “God has not forgotten
them.”49 Sebuah pembukaan yang kuat dan menjadi kesaksian akan Allah yang mengingat
dan berelasi dengan umatnya. Meski demikian Exodus: Gods and Kings tampaknya lebih
berpusat pada perseteruan antara Musa dan Ramses, Musa dan Allah, dan Musa dengan
dirinya.
Musa dalam Exodus: Gods and Kings digambarkan sebagai jenderal Mesir yang
tangguh, memiliki pengetahuan dan ketrampilan perang yang baik, seorang administrator
yang handal dan berwibawa, serta seseorang dengan edukasi yang baik (hal yang wajar bagi
seorang pangeran). Musa adalah tokoh penting di kerajaan Mesir. Ia memiliki relasi erat dan
akrab dengan Ramses, Firaun yang akan dikonfrontasinya ketika hendak membebaskan
Israel. Bahkan dikisahkan Musa tumbuh besar bersama Ramses, sudah dianggap saudara
dekat bahkan sampai mendapat pedang kembar dari Firaun Seti50. Alur plot ini agak berbeda
dari versi Alkitab dimana Musa melewatkan masa kecilnya dirawat oleh ibunya, yang
berperan sebagai inang penyusu (Keluaran 2:10). Meski demikian Alkitab juga tidak dengan
pasti memberikan rentang usia Musa diangkat anak oleh puteri Firaun sehingga penulis rasa
Scott berimajinasi bebas di sini. Mungkin saja Musa berumur 2 atau 3 tahun (usia anak
disapih) ketika kemudian diangkat anak dan dibawa ke dalam istana Firaun dan hidup disana
bergaul dengan sang penerus tahta, menjadi salah satu pangeran Mesir. Menurut penulis plot
ini terutama diciptakan Scott untuk membawa kisah Keluaran ini menjadi ketegangan antara
dua orang ‘saudara’ dari kecil. Romanowski mencermati bahwa gaya semacam ini merupakan
bentuk individualisme yang digaungkan oleh Hollywood. Satu orang dapat merubah
semuanya dan menghapuskan segala masalah. Memang benar setiap orang perlu didorong
bahwa mereka memiliki dampak dan peran tetapi individualisme Hollywood dipandang
berlebihan sampai-sampai mendistorsi realitas bahwa perubahan tidak serta merta dihasilkan
oleh satu tokoh saja.51 Meski menjadikan kisah Exodus: Gods and Kings berpusar disekitar
47

Scott, R. (Sutradara). (2014). Exodus: Gods and Kings [Film]. Amerika Serikat; Twentieth Century Fox.
01.13-01.17
48
Tuhan berfirman kepada Abram bahwa keturunannya akan diperbudak dinegeri asing (asumsinya Mesir)
selama 400 tahun. Menurut Keluaran 12:40, orang Israel tinggal di Mesir selama 430 tahun, sehingga yang 30
tahun bisa diandaikan sebagai masa Yusuf dan saudara-saudaranya masih hidup dan bebas dari perbudakan.
(lihat Keluaran 1)
49
Scott, op.cit., 01.55-02.00
50
Ibid., 04.16-04.50
51
Romanowski, op.cit., h.171-174.

13

Musa membuat kisah ini menjadi lebih dramatis dan (bisa) mendapat penggalian karakter
yang mendalam. namun individualisme radikal52 semacam ini menurunkan nilai peran
bersama dari komunitas serta keberadaan kuasa atau hal-hal diluar kendali individu yang
turut mengubah arah sejarah. Contohnya Harun53, hanya ditampilkan sebagai sosok figuran
yang berjarak, tidak erat dengan Musa dan cenderung apatis (bandingkan Keluaran 4:14-16,
27, 29-30 dan 7:1).
Dalam Exodus: Gods and Kings, persoalan besar (sosial, bangsa) direduksi menjadi
perselisihan personal, terlihat dalam sibling rivarly antara Musa dan Ramses. Mulai dari
ramalan sang pendeta, konflik batin Ramses yang ditolong Musa dalam perang 54, Firaun Seti
yang lebih mempercayai Musa daripada Ramses 55, konflik Ramses dan ibunya untuk
membunuh atau mengusir Musa56, konflik bersenjata antara pasukan Ramses dan kelompok
pemberontak Yahudi yang dipimpin Musa terkait perihal pembebasan Israel dan terakhir
berpuncak pada duel gagal di tengah Laut Merah57.
Dalam Exodus: Gods and Kings, Musa menyadari identitas keyahudiannya dalam
kunjungan kerjanya ke Pithom setelah diberitahu oleh Nun, salah satu tua-tua Israel. Musa
galau dengan identitasnya sampai-sampai ia membunuh seorang penjaga Mesir dalam
kemarahannya yang akhirnya berujung pada pengusirannya dari Mesir. Pergumulannya tidak
berhenti walaupun Bithia (sang putri Mesir) dan Miriam memberitahukan bahwa dia adalah
seorang Ibrani58. Ketika Allah berbicara dengan Musa mengenai orang Ibrani dan menyindir
“...or are they not people in your opinion?”59 adegan ini menunjukkan Musa masih sulit
menerima dirinya sebagai orang Ibrani. Atau bandingkan juga percakapan Allah dengan Musa
yang lain, “you still don’t think them as yours, do you?”60 Dalam kisah Alkitab memang
terdapat plot holes mengenai kesadaran Musa dan orang-orang disekitarnya akan keyahudian
Musa.61 Namun dalam Alkitab, Musa tidak dikisahkan bergumul mengenai identitas
keyahudiannya. Pergumulan ini sendiri menjadi sebuah plot yang menarik (jika digali secara

52

Ibid., h.174.
Scott, op.cit., 66.21-66.48
54
Ibid., 10.10-11.15
55
Ibid., 12.53-13.30
56
Ibid., 36.55-37.32
57
Ibid., 121.21-122.48
58
Ibid., 38.00-39.14
59
Ibid., 57.04-57.08
60
Ibid., 98.00-98.20
61
Keluaran 2:10 dan 11 mengindikasikan ada jeda waktu antara Musa diangkat anak oleh puteri Firaun dengan
masa dewasa ketika ia dikisahkan melihat kerja paksa dan mengenali orang-orang Ibrani sebagai saudaranya.
53

14

mendalam), mengenai orang yang mencari identitas dirinya termasuk mengenai
spiritualitasnya.
Musa ditampilkan sebagai sosok yang cenderung skeptis dan ateis. Pada adegan awal
di istana Firaun ketika seorang pendeta Mesir sedang meramal masa depan dengan membaca
isi perut dari angsa (sebuah ketidakakuratan historis 62), ia menunjukkan ketidakpercayaannya
pada hal religius dengan mengejek ramalan sang pendeta. 63 Dalam percakapan dengan
anaknya, Gershom mengenai gunung Tuhan, Musa juga menunjukkan keskeptisannya 64,
sebuah sikap yang mungkin menjadi anakronisme65 dari sikap orang-orang modern. Exodus:
Gods and Kings dapat dikatakan sebagai sebuah kisah pencarian dan penemuan relasi antara
Musa dengan Yang Maha Kuasa. Di akhir kisah digambarkan Musa yang bergaul erat dengan
Allah66.
Berbicara mengenai relasi Musa dan Allah merupakan hal yang menarik dari Exodus:
Gods and Kings. Musa pertama kali bertemu Allah di gunung dimana terdapat semak yang
menyala tetapi tidak terbakar. Kisah yang sama dengan di dalam Alkitab. Yang membedakan
adalah bagaimana pertemuan itu berlangsung. Di dalam Alkitab 67, Musa dalam kondisi sadar,
sementara dalam Exodus: Gods and Kings68, Musa digambarkan terkena longsoran batu dan
mungkin berhalusinasi mengenai Allah. Isi percakapan tersebut juga berbeda. Di dalam
Alkitab, Allah secara jelas memperkenalkan diri dan menyatakan maksudnya yaitu untuk
mengutus Musa membebaskan umat-Nya dari Mesir. Musa bahkan sampai berdebat panjang
dengan Allah mengenai kapasitas dirinya sendiri. Sementara itu dalam Exodus: Gods and
Kings, percakapan dengan Allah lebih singkat (tentu dalam rangka menjaga agar film dan
percakapan itu tetap menarik dalam media film) dan sedikit lebih ambigu. Misal Allah
berkata “I need a general to fight” bisa dimaknai berperang (yang lebih masuk akal untuk
seorang jenderal) atau berjuang dalam artian lebih umum. Gambaran Scott mengenai Allah
cukup menarik. Allah digambarkan sebagai seorang bocah kecil usia belasan, mungkin 12
atau 13 tahun. Gambaran yang tidak biasa, yang juga ditentang oleh Zipora dalam Exodus:
Gods and Kings, “God isn’t a boy”69 Penulis sendri tidak masalah dengan sosok Allah yang
62

Membaca isi perut hewan untuk meramal masa depan adalah praktek religius Romawi bukan Mesir Kuno.
Lihat subpoin factual errors dari http://www.imdb.com/title/tt1528100/goofs?ref_=tttrv_ql_2
63
Scott, op.cit., 03.18-03.40
64
Ibid., 52.55-54.10
65
Sebuah inkonsistensi waktu (secara kronologis) yang biasanya terkait dengan tradisi, objek, teknologi,
kejadian atau orang yang berada pada periode waktu yang salah.
66
Scott, op.cit., 140.11-141.47
67
Lihat Keluaran 3:1-4:17
68
Scott, op.cit., 55.31-57.29
69
Ibid., 58.09-58.11

15

muncul sebagai seorang anak, sebab tidak ada yang tahu juga seperti apa sosok Allah.
Umumnya memang digambarkan sebagai laki-laki kulit putih tua tetapi kemudian Morgan
Freeman merevolusinya dengan trend Allah sebagai sesosok pria tua kulit hitam. Mungkin
Scott hendak memulai trend gambaran baru mengenai Allah yang bersosok anak-anak.
Pengisahan 10 Tulah yang menjangkiti Mesir perlu mendapat perhatian khusus.
Menurut penulis, pengkisahan ala Scott kehilangan makna asli tulah tersebut dari Alkitab.
Scott menceritakan tulah yang terjadi terus menerus, dimulai dari sungai menjadi darah –
karena buaya yang sangat banyak saling membunuh– sampai kepada tulah keenam yaitu
barah (meski melewatkan tulah 3-nyamuk dan tulah 5-sampar, yang dipindah posisi).
Penulahan ini kemudian diselingi dengan peringatan dan ajakan bernegosiasi dari Musa yang
ditulis di sebuah kuda dengan darah. Hal ini kemudian ditanggapi Ramses dengan
memperberat pekerjaan orang Yahudi (dalam Alkitab ini terjadi saat Musa pertama kali
memohon kepada Firaun untuk mengijinkan Israel pergi ke padang dan beribadah kepada
Tuhan, sebelum 10 tulah itu terjadi). Setelah itu bencana dilanjutkan dengan tulah penyakit
sampar pada hewan, hujan es dan api, kegelapan dan diakhiri dengan kematian anak sulung.70
Bencana-bencana tersebut terjadi terus menerus tanpa henti sehingga memberi kesan Allah
yang menghukum terus menerus. Hal yang berbeda dengan yang disajikan Alkitab bahwa
tulah tersebut terjadi sebagai peringatan kepada Firaun, menunjukkan kebesaran Allah dalam
rangka membujuk Firaun untuk membebaskan Israel dari Mesir. Oleh karena itu setiap tulah
umumnya memiliki pola yang sama: diawali dengan sebuah permohonan dari Musa kepada
Firaun, peringatan akan tulah, dan perbuatan ajaib yang terjadi melalui suatu aksi dari Musa
atau Harun (menyentuhkan tongkat, mengambil debu dan tanah, mengulurkan tongkat ke
langit)71. Beberapa kemudian diredakan ketika Firaun berjanji melepaskan Israel atau
bernegosiasi dengan Musa72, yang kemudian diingkari Firaun. Dalam kisah Alkitab Firaun
memiliki kesempatan, waktu dan kebebasan untuk memilih, merespon dan bertindak 73. Pesan

70

Ibid., 81.18-88.46, 89.06-91-53, 92.42-95.24
Kisah lengkap 10 Tulah lihat Keluaran 7:14-12:51
72
Setelah tulah keempat, Firaun menwarkan kepada Musa untuk beribadah di tengah-tengah Mesir tetapi ditolak
(Keluaran 8:25-27). Sebelum tulah kedelapan turun, Firaun menawarkan hanya kaum laki-laki saja yang pergi,
bukan seluruh bangsa (Keluaran 10:8-11). Kemudian setelah tulah kesembilan, Firaun sedikit melunak dan
mengijinkan semua pergi kecuali ternak Israel (Keluaran 10:24).
73
Meskipun umumnya dipakai istilah “Allah mengeraskan hati Firaun”, namun penulis berpendapat bahwa ini
merupakan cara para penulis kitab Keluaran mengatributkan segala sesuatu yang terjadi kepada Allah. Penulis
sendiri mengikuti pandangan Teologi Proses, meyakini bahwa setiap mahluk memiliki kebebasan untuk
bertindak dan memilih tanpa dimanipulasi atau dikeraskan hatinya oleh Allah. Untuk lebih jelas lihat Griffin,
D. R., Evil Revisited: Responses and Reconsiderations, (New York: State University of New York Press,
1991), h.11-13.
71

16

yang berbeda yang akan ditangkap ketika melihat Exodus: Gods and Kings dimana Firaun
dan seluruh Mesir menjadi korban yang cenderung pasif.
Dalam beberapa percakapan antara Musa dengan Allah tampak beberapa persoalan
yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut (tentu tidak di sini!). Musa mempertanyakan
tulah-tulah yang terjadi sebagai kekejaman, tidak manusiawi dan dilakukan sebagai sebuah
pembalasan dendam dari Allah saja. “I want to see them (Pharaohs) on their knees, begging
for it to stop!”74 Allah digambarkan secara implisit mengiyakan hal tersebut, bahkan terlibat
berobsesi untuk menunjukkan kehebatannya dan keinginannya mematahkan kesombongan
para firaun yang mengtuhankan dirinya. Percakapan lain menunjukkan Allah yang tidak sabar
dengan metode Musa yaitu membentuk kelompok gerilyawan (atau teroris?) sehingga Ia
memutuskan untuk menurunkan tulah-tulah tersebut. 75 Kedua pemahaman ini konsisten
dengan dunia Musa yang dibangun oleh Scott tetapi tentu saja berbeda dengan pemahaman
dan pengisahan Alkitab karena dalam Alkitab maksud dan tujuan tulah itu seperti
diungkapkan dalam paragarf di atas. Sebagai peringatan bagi Firaun. Allah dalam Alkitab
justru tampak lebih sabar. Dipermainkan dan diberi harapan palsu oleh Firaun setidaknya 9
kali, namun tetap Allah memberi kesempatan bagi Firaun untuk memilih membebaskan
Israel. Terlepas dari itu menarik juga melihat gambaran Musa yang simpatik dan peduli juga
kepada bangsa Mesir atau setidaknya orang-orang Mesir yang dikenal Musa, yang menderita
akibat tulah-tulah hebat tersebut (meski ironisnya dia tidak terlihat bermasalah dengan
melakukan aksi terorisme kepada rakyat Mesir).
Scott juga menggambarkan Allah yang tidak dekat dengan umatnya. Meskipun di
awal disebutkan bahwa Allah tidak melupakan umatnya namun Allah tidak menyatakan
dirinya kepada umatnya, tidak melalui Musa, tidak melalui Harun, tidak melalui siapapun.
Upaya pembebasan Israel dari Mesir ditampilkan pertama-tama sebagai usaha Musa secara
pribadi. Pengolesan darah domba dan segala ritual terkait dilepaskan dari peringatan akan
pembebasan dari Allah dan sekadar sebuah jaga-jaga dalam ketakutan dan ketidaktahuan
akan tindakan Allah.76 Aura yang dibangun adalah ketakutan bukan sukacita (bandingkan
Keluaran 12:1-28) sebab Allah tidak menyatakan maksud dan kehendaknya kepada bangsa
Israel. Allah menjadi Allah yang absen sepanjang proses pembebasan dan juga perjalanan
keluar dari Mesir. Kalau di dalam Alkitab Allah dikisahkan mendampingi bangsa Israel
melalui tiang awan dan api (lihat Keluaran 13:17-22), dalam Exodus: Gods and Kings tidak
74

Scott, op.cit., 97.52-98.39
Ibid., 80.13-81.15
76
Ibid., 101.46-102.15
75

17

ada hal semacam itu. Ketika Musa tersesat dipersimpangan jalan dan kemudian terdampar di
tepi laut, Allah juga tidak hadir.77
Kisah Exodus: Gods and Kings dapat dilihat sebagai kisah mengenai Musa yang
berusaha mengandalkan dirinya sendiri dan gagal. Musa yang mengalami proses direndahkan
hatinya oleh Allah. Dari yang berkeras hati78 akan kemampuannya sendiri kemudian
menyadari ketidakmampuannya dan menyerah kepada Allah (yang disimbolkan dengan
melemparkan pedang ke laut)79. Bahkan dalam pertemuan dengan Allah di gunung untuk
membuat loh batu, Musa sekali lagi belajar kerendahan hati. Merelakan dirinya yang adalah
pemimpin digantikan.80 Dalam hal ini tema ini, perendahan hati dihadapan Allah, merupakan
sebuah tema yang Alkitabiah (lihat Matius 23:12, 1 Petrus 5:6, Yakobus 4:6, dst).
Film Alkitabiah : Menemukan atau Mempertanyakan Allah?
Berdasar pada pembahasan di atas, kita melihat bahwa baik Aronofsky maupun Scott
menyajikan sebuah kisah, penceritaan ulang yang menarik Baik Noah dan Exodus: Gods and
Kings menyajikan sebuah penceritaan yang sungguh menggugah hati melalui imajinasi dan
rekreasi ulang akan kisah-kisah Alkitab tersebut. Namun demikian disadari juga bahwa
ternyata film-film tersebut menyampaikan gambaran Allah dan relasinya dengan ciptaan yang
sering tidak konsisten dan sama dengan pesan Alkitab. Terdapat ide, konsep, pandangan dan
keyakinan-keyakinan lain yang mewarnai film-film tersebut. Dalam hal ini kita dapat
menjawab dengan mudah pertanyaan di awal paper, “Apakah pesan Alkitab diperdengarkan
kepada banyak orang?” Tidak.
Jika demikian haruskah kita memboikot film-film tersebut. Menolak keberadaannya
dan berupaya menggagalkan film-film serupa yang hendak dibuat dimasa mendatang?
Haruskah kisah-kisah Alkitab dijauhkan dari jamahan Hollywood? Untuk ini saya juga
menjawab tidak. Meskipun pengisahan yang berbeda ala film-film tersebut dapat memberi
gambaran Allah yang salah dan tidak tepat. Namun setidaknya film-film tersebut menolong
kita melihat kembali gambaran Allah dan relasinya dengan ciptaan, yang kita miliki. Filmfilm ini dapat mendorong kegelisahan, kegoncangan iman dan bahkan diskusi. Seperti yang

77

Ibid., 114.58-118.12
Ibid., 92.01-92.40
79
Ibid., 118.42-119.37
80
Ibid., 140.11-141.47
78

18

diharapkan oleh salah seorang penulis review, “orang-orang terdorong kembali kepada
Alkitab dan membaca kisah” tersebut lagi.81
Untuk itulah saya setuju dengan Romanowski bahwa kita membutuhkan sebuah
interpretive community, sebuah komunitas penafsir yang terdiri atas orang-orang yang
mampu untuk memilah, merenungkan dan menafsirkan secara aktif film-film populer.
Komunitas yang bersama-sama mendiskusikan dan menggali film-film tersebut secara
mendalam dan reflektif untuk pertumbuhan iman bersama.
Akhir kata, kehadiran film-film box-office yang mendapatkan idenya dari kisah-kisah
Alkitab dapat dipakai untuk mendorong kita menghayati iman kita lebih dalam. Mungkin kita
tidak akan menemukan Allah, dalam artian mendapat gambaran langsung yang lebih jelas
mengenai Allah atau terinspirasi mengenai Allah, dari dalam film-film populer. Tetapi biarlah
pertanyaan-pertanyaan dan kegelisahan kita mengenai Allah yang disajikan oleh budaya
populer mendorong kita untuk menemukan dan membangun secara kokoh identitas
kekristenan kita.

81

Kandiah, K. dalam Exodus: Gods and Kings review - biblically irreverent but powerful cinema, 2014, dalam
htt