e book majalah geografi warta geologi volume 4 nomor 1

Pengantar Redaksi

kegiatan pertambangan dan pengaruhnya pada lingkungan. Penulis mengungkapkan bahwa kegiatan pertambangan identik dengan penggalian tanah (atau harta karun) secara besar-besaran dan akan merubah rona awal bentang alam, hidrologi, hutan, dan biota yang ada. Perubahannya terutama berasal dari tahapan penambangan, pembuangan limbah batuan, pengolahan bijih, serta operasional pabrik pengolahan. Apabila kegiatan berdasarkan estimasi cadangan atau keekonomian tidak memungkinkan terciptanya good mining practice untuk menghasilkan operasi tambang yang ramah lingkungan maka akan lebih baik kalau kegiatan penambangan dibatalkan.

Artikel “Geologi dan Legenda Gunung Kelimutu” merupakan tulisan bersama peneliti H. Z. Abidin,

E. Partoyo, dan H. Utoyo. Para penulis mengupas keistimewaan Gunung Kelimutu di Pulau Flores yang memiliki tiga danau dengan tiga warna dari aspek geologi dan tradisi setempat.

Artikel “Al-Biruni Ilmuwan dan Kontribusinya terhadap Ilmu Kebumian” dan “Geomedika” merupakan artikel Geo Fakta sumbangan Joko Parwata. Dalam artikel “Al-Biruni” penulis yang tengah menyelesaikan pendidikan magisternya ini menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh Ilmuwan muslim yang memiliki pengaruh besar atas kemajuan ilmu pengetahuan di berbagai bidang termasuk ilmu kebumian. Sementara dalam “Geomedika bagian 2” penulis melanjutkan tulisannya terdahulu mengenai pengaruh debu pada kesehatan.

Profil Warta Geologi kali ini adalah seorang purna bhakti Badan Geologi bernama Dr. Ir. Rukmana Nugraha Adhi, DEA yang pada masa kerjanya memiliki banyak aktivitas di berbagai kegiatan struktural mau pun pendidikan. Berasal dari keluarga petani, profil kita ini mengaku sempat bingung memilih kuliah

antara di IPB dengan di ITB. Lulusan S3 Perancis ini tergolong pejabat yang memiliki sifat humanis yang tinggi, salah satunya adalah upayanya menggalang acara makan siang bersama pada hari Jumat.

Dalam rubrik “Layanan Geologi” kali ini diisi artikel “Pelayanan Informasi Peta Kegeologian Pusat Survei Geologi” sumbangan Sofyan Suwardi (Ivan). Terakhir dalam rubrik “Seputar Geologi” kita bisa menyimak beberapa kegiatan Badan Geologi antara bulan Desember 2008 akhir hingga Maret 2009, di antaranya adalah acara pengukuhan Profesor Riset untuk tiga pejabat fungsional peneliti Badan Geologi, yaitu Bhakti Hamonangan Harahap, H. Fahroel Aziz, dan Hamdan Z. Abidin.

Pembaca yang budiman, Kami senantiasa mengundang para pembaca, khususnya para peneliti dan pengamat bidang geologi dari dalam maupun luar lingkungan Badan Geologi untuk menulis di WG. Media cetak majalah populer – ilmiah bidang geologi ini tidak akan berkibar tanpa kiprah para penulis.

Kepada para penulis yang telah menyumbangkan tulisannya di WG kali ini, tak lupa redaksi mengucapkan terima kasih.

Akhir kata, selamat menikmati Warta Geologi. n

Redaksi

Editorial

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka kata plagiat disamakan dengan jiplak yang artinya “mengambil/mencuri karangan (pendapat dsb.) orang lain dan menjadikannya seolah- olah karangan (pendapat dsb.) sendiri. Misalnya menerbitkan karya tulis atau karya cipta orang lain atas nama dirinya sendiri”.

Belum lama ini masyarakat luas mendengar atau membaca dari berbagai media massa betapa karya putra-putri Bangsa Indonesia, misalnya Batik, tarian Kuda Lumping atau nyanyian Rasa Sayang dengan tanpa rasa malu diakui oleh pihak asing sebagai karya mereka. Hal tersebut menyadarkan kita semua bahwa betapa perilaku menjiplak atau plagiat sudah merambah sangat luas, bahkan karya bangsa lain.

Di dalam negeri, perilaku plagiat, khususnya karya tulis ilmiah semakin berkembang. Disinyalir bukan hanya mengakui karya orang lain, tetapi juga karya diri sendiri yang sudah diterbitkan sebelumnya pada salah satu majalah/jurnal diterbitkan kembali pada majalah/jurnal lainnya. Dengan demikian plagiat diartikan juga sebagai kecurangan.

Kebiasaan buruk tersebut berkembang bukan alang- kepalang oleh mereka yang bermental instan (tidak mau berusaha), tetapi ingin eksis. Pelaku, biasanya para pejabat fungsional, terdorong melakukan hal memalukan tersebut oleh karena berada di ambang batas waktu (deadline) pengumpulan angka kredit. Tentu kita tidak ingin kebiasaan tercela itu terus berlangsung, karena selain merugikan orang lain juga merugikan diri sendiri.

Editor Jurnal Geologi Indonesia, Badan Geologi belum lama ini memprakarsai terbentuknya Forum Komunikasi Editorial Jurnal Kebumian yang disingkat FORKOM EJB. Pada saat “launching“ hadir seluruh editor jurnal, majalah, bulletin ilmu kebumian se Bandung Raya dan perwakilani LIPI. Ini adalah forum komunikasi sejenis yang pertama di Indonesia dan mendapat sambutan baik dari semua pihak.

Hentikan Kebiasaan Plagiarisme

Penggagas, Jurnal Geologi Indonesia, juga sudah melakukan sosialisasi pada Perguruan Tinggi dan Dinas Pertambangan di Yogyakarta dan Medan. Sosialisasi akan dilanjutkan ke daerah lainnya, sehingga diharapkan forum komunikasi ini menjangkau secara nasional. Dalam Pertemua Ilmiah Tahunan Ikatan Ahli Geologi Indonesia (PIT IAGI) ke 36 di Bandung keberadaan Forkom EJB “numpang tampil” dengan membagi-bagikan brosur tentang keberadaan forum ini kepada semua peserta pertemuan.

Forkom EJB bertujuan antara lain menggalang kerja sama dengan para editor jurnal, majalah, bulletin atau semacamnya yang memuat karya ilmiah tentang ilmu kebumian untuk saling tukar informasi mengenai karya tulis yang sedang diedit, sudah dimuat dan sebagainya. Dengan demikian diharapkan seorang plagiator atau pelaku curang dapat dilacak sebelum tulisan jiplakannya lolos diterbitkan.

Forkom EJB tentu tidak bermaksud menutup pintu bagi plagiator atau pelaku curang, akan tetapi ini adalah jalan terbuka untuk penyadaran diri. Meskipun demikian, kita juga sepakat bahwa harus ada upaya yang sifatnya memberikan efek jera agar perilaku buruk tersebut dapat ditinggalkan untuk selamanya. Di akhir tahun 2008 yang lalu seorang Pejabat Fungsional pada salah satu instansi dibatalkan kenaikan jabatannya oleh LIPI karena salah satu tulisannya diketahui merupakan hasil jiplakan karya orang lain. Ulahnya itu bukan saja membuat malu yang bersangkutan, tetapi mempunyai efek domino. Nama instansinya, atasannya, dan para koleganya ikut tercoreng terbawa malu.

Negeri yang besar dimulai dengan hasil karya anak bangsa, terpakai secara luas di dalam kehidupan masyarakat, kemudian mendapat pengakuan dunia.

Mari berkarya dengan hasil jerih payah sendiri, bermutu, berkualitas dan pasti buahnya manis. n Salam Redaksi

Editorial

Geologi Populer Geologi Populer

Danau Kawah yang Hilang

Dampaknya terhadap mitigasi bencana di masa datang

Oleh: Syamsul Rizal Wittiri

D secara permanen, baik di musim hujan maupun

anau kawah (crater lake) dapat

didefinisikan sebagai kawah aktif

suatu gunung api yang berisi air

musim kemarau. Selain danau kawah ini terdapat

pula danau jenis lain. Ada danau yang terbentuk

karena air mengisi suatu kaldera, misalkan Danau

Batur di Bali, dan Danau Segara Anak di Gunung

Rinjani Lombok. Ada pula danau yang terbentuk

karena air mengisi lubang bekas letusan masa

lampau (ranu/maar), seperti misalnya Ranu

Pane dan Ranu Kumbolo di lereng Semeru, serta

beberapa ranu di sekitar Gunung Lamongan.

Indonesia memiliki tujuh gunung api yang mempunyai danau kawah, yaitu Gunung Dempo di Sumatera Barat, Gunung Galunggung di Jawa Barat, Gunung Kelut di Jawa Timur, Gunung Ijen di Jawa Timur, Gunung Kelimutu di Nusa Tenggara Timur, Gunung Awu di Sulawesi Utara, dan Gunung Kie Besi di Maluku Utara. Dalam dua dasa warsa terakhir ada tiga danau kawah yang hilang dan berubah menjadi sumbat lava setelah melalui letusan. Ketiga danau tersebut adalah Danau Kawah Gunung Kie Besi, Danau Kawah Gunung Awu, dan Danau Kawah Gunung Kelut.

Gunung Kie Besi Gunung api yang membentuk Pulau Makian ini tumbuh di perairan Halmahera, Maluku Utara dan

berada pada posisi geografi 0 0 19’ Lintang Utara

serta 127 0 24’ Bujur Timur. Sebelum letusan 1988 Kie Besi merupakan gunung api yang memiliki

danau kawah dengan luas 450 x 150 m 2 . Setelah

gunung ini istirahat selama 90 tahun pada 10 Juli 1988 terjadi letusan dahsyat.

Pada letusan tersebut air danau terlontar keluar kawah kemudian terbentuk sumbat lava dengan volume sebesar 282.600 m³ (Sobana dkk. 1995). Seismograf merekam gejala munculnya lava di permukaan pada 3 Agustus 1988, secara visual sinar api mulai terlihat pada 6 Agustus 1988 yang menandakan bahwa lava sudah mencapai permukaan.

Gunung Awu Gunung Awu merupakan puncak tertinggi di Pulau Sangihe dengan ketinggian 1220 m dpl. (pengukuran tahun 1984). Kawahnya berbentuk

oval (1550 x 1200 m 2 ) dengan arah memanjang dari utara ke selatan di bagian puncaknya, dan

Danau Kawah Gunung Kie Besi sebelum terjadi letusan berisi air yang berasal dari hujan dan mata air

Foto:Sr. Wittiri, 1987.

yang tertampung di dalam kawah membentuk

sebuah danau dengan volume lk. 3,5 juta m 3

(Karnaen, 1981). Penulis melakukan penelitian pada tahun 1992 dan menemukan adanya mata air di lantai kawah bagian timur.

Kegiatan pembentukan sumbat lava di dasar kawah sering terjadi. Letusan Februari 1931 berakhir dengan terbentuknya kubah lava setinggi

80 m. Kubah tersebut dihancurkan pada letusan Agustus 1966 dan kawahnya kembali terisi air serta membentuk danau kawah.

Pada 6 Juni 2004 di gunung ini terjadi letusan dan berakhir dengan terbentuknya sumbat kubah lava di dasar kawah. Sumbat yang berbentuk

Sumbat Lava Gunung Kie Besi, dua bulan setelah muncul ke permukaan, kubah tersebut mempunyai diameter 250 x 300

Foto: SR. Wittiri, 1988.

Geologi Populer

Geologi Populer

m 2 dengan tinggi 40 m dan volume taksiran 3.000.000 m 3 , sedikit lebih kecil dibanding dengan volume air danau sebelumnya.

Gunung Kelut Gunung api yang berdiri di Dataran Kediri ini juga memiliki danau kawah dengan volume air

sebanyak 4,5 juta m 3 . Seperti Gunung Awu, letusan Kelut pada 1376 dan 1920 juga berakhir dengan terbentuknya sumbat lava. Beberapa puncak yang ada di sekitarnya juga merupakan kubah lava sisa masa lalu.

Letusan 1991 meskipun tidak signifikan menonjol, tetapi ditengarai meninggalkan sumbat lava di dasar kawah. Tiga bulan kemudian kawah kembali

berisi air sebanyak 3,25 juta m 3 .

Pada September 2007 Gunung Kelut giat kembali setelah mengalami masa masa istirahat (dormand) selama 16 tahun. Seolah mengulang sejarah, letusan 2007 berakhir dengan terbentuknya sumbat lava berbentuk kubah di dasar kawah

dengan volume sebesar 4.000.000 m 3 . Pada 10

September 2007 indikasi munculnya sumbat lava di dasar kawah Gunung Kelut yang terendam dengan air danau mulai terekam oleh seismograf.

Bencana di Masa Datang Kita bisa belajar dari peristiwa letusan Gunung Galunggung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1982 dan Gunung Colo, Pulau Una-Una, Sulawesi Tengah, pada 1983. Kedua gunung api tersebut mempunyai sumbat lava dan letusannya

merupakan letusan besar yang berlangsung Danau Kawah Gunung Awu, 1988 Foto: Sr. Wittiri dan A. Solihin.

masing-masing sembilan bulan dan enam bulan lamanya.

Tidak terperikan bencana yang diakibatkan oleh keduanya. Meskipun tidak ada korban jiwa, tetapi lebih dari 50.000 penduduk Tasikmalaya diungsikan dan dua kali masa panen yang tidak menghasilkan merupakan penderitaan yang sangat mendera. Sebanyak 7.000 penduduk Pulau Una-Una diungsikan ke daratan Sulawesi menyongsong meletusnya Gunung Colo. Mulai rerumputan hingga pohon kelapa hangus terbakar disapu awan panas. Penduduk harus menunggu hingga lebih lima tahun hingga tetumbuhan mulai berpucuk kembali.

Peristiwa tersebut menggambarkan betapa dahsyat bencana yang ditimbulkan oleh suatu letusan gunung api yang memiliki sumbat lava. Betapa tidak, untuk menghancurkan sumbat

Kubah lava yang terbentuk pada Juni 2004. lavanya saja diperlukan energi pendobrak yang

Foto: Sr. Wittiri dan A. Solihin.

amat besar. Itulah sebabnya, gunung api yang mempunyai sumbat lava lazim menjalani dormand selama puluhan tahun agar tercapai akumulasi energi yang memadai untuk menghasilkan suatu letusan. Kecuali magma mendesak melalui bidang lemah yang lain, sehingga letusan membentuk titik letusan yang baru. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi Peta Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung api, khususnya terhadap gunung api yang mengalami perubahan dari berdanau kawah menjadi berkubah lava.

Gunung api yang berdanau kawah lebih dominan menghasilkan lahar primer, sedangkan gunung api dengan kubah banyak menghasilkan piroklastik (hujan bebatuan). Kedua produk letusan tersebut berbeda bentuk fisiknya, sehingga berbeda juga daya rusaknya.

Lahar primer atau dikenal juga dengan lahar letusan biasanya mengalir dan melanda daerah aliran sungai dan atau lembah yang berhulu di puncak gunung api. Dengan demikian dugaan daerah yang akan terlanda bencana relatif lebih mudah. Sedangkan jatuhan piroklastik, misalnya awan panas terlebih dahulu terlontar secara vertikal kemudian jatuh ke segala arah lereng gunung api sehingga daerah yang akan terlanda bencana tersebar luas dan tidak dapat diduga. n

Penulis adalah Ahli Vulkanologi

Geologi Populer 9

Geologi Populer Geologi Populer

AMFIBI

Penghuni Awal di Muka Bumi

Oleh: A. Hendarsyah Lambri

Terbentuknya Bumi dan Awal kehidupan erdasarkan satu teori yang dinamakan “Teori Kabut Pilin” (Nebular Hypothesis), bumi

B saudaranya’ planet yang lain, terbentuk pada

bersama dengan ‘saudara-

sekitar 4,6 milyar tahun yang lalu, dan tergabung dalam satu susunan (keluarga) tata surya yang dinamakan “Keluarga Matahari” (The Solar System). Saat pertama kali terbentuk bumi masih dalam kondisi cair pijar bagaikan lautan api, atmosfer belum terbentuk sehingga hujan meteorit mudah jatuh ke permukaan bumi tanpa ada satu apapun yang menghalangi. Dalam kondisi seperti itu sangat mustahil ada satu kehidupan di dalamnya. Hal tersebut berlangsung hingga 3,5 milyar tahun yang lalu, kemudian mulai berkembang suatu kehidupan yang dicirikan dengan munculnya ganggang dan bakteri.

Indikasi Kehidupan Keberadaan kehidupan di muka bumi dapat diketahui melalui keberadaan sisa organisme yang pernah hidup saat itu yang dinamakan fosil (bukti kehidupan organisme yang terawetkan pada lapisan batuan dalam kurun waktu yang sangat lama, puluhan ribu, jutaan hingga ratusan juta tahun). Informasi kehidupan yang

Acanthostega gunnari yang ditemukan di Greendland pernah berlangsung tersebut dapat dideteksi

dari keberadaan fosil yang ditemukan pada masa sekarang. Suatu kaidah yang dikemukakan oleh

James Hutton, yaitu “Present is The Key to The Past”, penemuan saat ini adalah kunci masa lalu. Dengan melakukan penelitian terhadap temuan suatu fosil, dapat diketahui sejarah kehidupan dan keberadaan penghuninya, serta lingkungan kehidupan di muka bumi pada masa lalu.

Amfibi Primitif Salah satu kehidupan yang muncul di muka bumi pada masa awal adalah binatang amfibi. Binatang

Ichthyostega dan sketsa kerangkanya ini dapat hidup di dua jenis alam, di air dan di

darat, misalnya katak dan salamander. Amfibi primitif muncul pada akhir Zaman Devon,

yaitu pada Masa Paleozoikum (540-245 juta tahun yang lalu), setelah kemunculan ikan pada Zaman Devon. Amfibi yang pertama muncul ialah Ichthyostega yang diduga merupakan peralihan dari ikan crossopterygian (Eusthenopteron), yang mempunyai kebiasaan dalam pergerakannya pindah ke daratan.

Ichthyostega berasal dari bahasa Yunani yang berarti “fish roof”, diyakini oleh para ahli paleontologi sebagai amfibi pertama dan juga tetrapoda (vertebrata yang berjalan dengan empat kaki, contoh mamalia, reptil) pertama yang muncul di akhir Zaman Devon (Famennian, 360 juta tahun yang lalu, (KCM, Kompas Cyber Media, 05/09/2005). Itulah sebabnya Ichthyostega disebut juga sebagai ‘ikan berkaki empat’. Fosilnya ditemukan di Pulau Greenland sebelah timur, dideskripsi dan diberi nama oleh Säve-Soderbergh (1932). Fosil tersebut diidentifikasi berumur Devon Akhir.

Satu spesies lainnya, yaitu Ichthyostega wimani masuk dalam genus Ichthyostegospis (http:// en.wikipedia.org/wiki/Ichthyostega). Genus ini berhubungan erat dengan Acanthostega gunnari, juga ditemukan di Greenland Timur; Jarvik (1952, 1980, 1996).

Kenampakan tengkorak

Ichthyostega

lebih

mirip ikan, memiliki tulang belakang/punggung Tengkorak, kaki depan, dan kaki belakang Ichthyostega

Geologi Populer 11

Geologi Populer

yang lebih kuat, sirip yang sangat membantu • Eogyrinus, tetrapoda terbesar Zaman Karbon, pergerakannya. Ichthyostega dewasa mempunyai

panjang tubuhnya dapat mencapai hingga 4 m, panjang tubuh sekitar 1,5 m, memiliki sirip pada

berleher pendek, posisi bahu begitu dekat dengan ekornya, kaki belakang yang lebih kecil dari kaki

kepalanya, merupakan perenang yang hebat dan depan lebih menyerupai sirip, mempunyai 7 buah

predator, hidup di akhir Zaman Karbon (300 juta jari pada masing-masing, sedangkan jumlah jari

tahun yang lalu), fosilnya ditemukan di Eropa. pada kaki depan belum diketahui dengan pasti tetapi ada kemungkinan sama jumlahnya dengan yang terdapat pada kaki belakang.

Penyesuaian dengan Kehidupan Daratan Amfibi

primitif seperti

Ichthyostega

dan

Acanthostega berbeda dengan Crossopterygians (Eusthenopteron

atau

Panderichthys).

Crossopterygians memiliki paru-paru dan bernafas dengan insang, selain itu mereka menggunakan

Seymouria, (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Seymouria) tubuh dan ekornya untuk bergerak, sedangkan

siripnya untuk keseimbangan. Lain halnya dengan • Seymouria, tetrapoda bertubuh kecil, fosilnya Ichthyostega yang bernafas dengan paru-paru

ditemukan di utara Seymour, Texas, pada batuan dan memiliki kulit khusus untuk menahan

sedimen berumur Perem (275 juta tahun yang dan menghambat kekeringan cairan dalam

lalu).

tubuh mereka. Untuk bergerak, Ichthyostega menggunakan tungkainya dan ekornya untuk keseimbangan.

Jennifer A. Clack mengatakan, Ichthyostega banyak menghabiskan waktu untuk berjemur di bawah matahari, seperti iguana laut dan anjing laut. Sedangkan aktivitasnya untuk makan, minum dan berkembang biak dilakukan di dalam air.

Di bawah ini diperlihatkan satu ilustrasi kehidupan ikan (Coelacanth) dan amfibi pada Zaman Devon Akhir.

Seymouria, (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Seymouria) • Eryops (berarti “simuka letih”), ditemukan pada

Keberadaan Ichthyostegoids

lapisan sedimen berumur Perem Awal di Texas, Acanthostega, Ichthyostega,...) pada 20-30 juta

(Elginerpeton,

berbadan lebar dan berat, memiliki tengkorak tahun kemudian diganti oleh temnospondyls dan

yang datar, panjang tubuhnya antara 1,5-1,8 m. anthracosaurs seperti Eryops, amfibi yang memiliki

kemampuan berjalan di daratan. Amfibi lainnya yang hidup di Masa Paleozoikum

diantaranya:

Eryops, (Evolution of The Vertebrates, 1991, Edwin H. Colbert & Michael Morales)

• Metoposaurus, ditemukan pada lapisan batuan sedimen berumur Trias Akhir, di Amerika Serikat, Eropa, Afrika Utara, dan di India, panjang

Eogyrinus, (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Eogyrinus) tubuhnya sekitar 2 meter.

Gerrothorax, (Evolution of The Vertebrates, 1991, Edwin H. Colbert & Michael Morales) •Gerrothorax, berumur Trias Akhir, panjang tubuhnya sekitar 1 meter.

Microbrachis, (Evolution of The Vertebrates, 1991, Edwin H. Colbert & Michael Morales)

• Microbrachis, berumur Karbon Akhir, panjang tubuhnya hanya 15 cm-an.

Triadobatrachus, (Evolution of The Vertebrates, 1991, Edwin H. Colbert & Michael Morales)

•Triadobatrachus,

nenek moyang kodok, ditemukan dalam lapisan berumur Trias Awal di

Diplocaulus, (Evolution of The Vertebrates, 1991, Edwin H. Colbert & Michael Morales)

Madagaskar, ukuran tubuhnya sekitar 12 cm. • Diplocaulus, amfibi dengan kepala mirip mata

• Trimerorhachis, ditemukan pada lapisan batuan panah, fosilnya ditemukan dalam lapisan berumur

berumur Perem di Texas. Perem di Texas, hidup di dasar sungai atau danau, panjang tubuh 90 cm-1 meteran.

• Cacops, ditemukan di Texas, dalam lapisan batuan berumur Perem.

Fosil kodok lain, Vieraella, ditemukan dalam lapisan berumur Jura Awal di Amerika Selatan,

ukuran tubuh sekitar 4 cm, mempunyai bentuk mirip dengan kodok sekarang. n

Penulis adalah Penyelidik Bumi Pusat Survei Geologi – Badan Geologi

Ophiderpeton, (Evolution of The Vertebrates, 1991, Edwin H. Colbert & Michael Morales)

• Ophiderpeton, bentuknya mirip ular, panjang tubuh 75 cm, berumur Karbon Akhir.

Geologi Populer

Geologi Populer

Pertambangan Umum

Upaya untuk Menghasilkan Rona Akhir yang Lebih Baik

Oleh: Sabtanto Joko Suprapto

G Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Menteri

reen Mining dideklarasikan di Nusa Dua, Bali, pada 9 Desember 2007 atas prakarsa Menteri Energi dan Sumber

Kehutanan serta Ketua Forum Reklamasi Hutan Akibat Kegiatan Penambangan (RHAKP). Deklarasi tersebut berisi kesepakatan untuk secara bersama- sama menghijaukan kembali hutan di lokasi bekas tambang. Pada tahun 2008 sektor pertambangan memberikan kontribusi perolehan devisa sebesar 36% kepada negara. Dengan potensi tersebut, pengalokasian biaya untuk menciptakan ling- kungan bekas tambang yang lebih baik bukan merupakan masalah yang sulit. Potensi ekonomi pertambangan yang sangat besar sepadan den- gan risiko yang harus dihadapi. Operasi produksi tambang mempunyai daya ubah lingkungan yang tinggi.

Oleh karena itu, agar mendapatkan hasil yang optimal dan seimbang harus memperhitungkan risiko yang ditimbulkan. Rona akhir dari wilayah tambang harus diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya.

Terkait dengan pasca tambang, telah dikeluarkan Permen ESDM Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Semangat untuk menghasilkan lingkungan lahan bekas

Rona awal deposit bijih emas Gunung Pani, Gorontalo. Ciri khas daerah tambang menjadi ekosistem yang lebih baik telah

yang mengandung bijih emas primer adalah tandus, terjal, dan mudah longsor. didukung oleh keluarnya Permen tersebut.

Rona awal pada wilayah cebakan, bijih tembaga Grasberg tahun 1988 merupakan daerah yang berbukit dan tandus. sumber PT. FI

Kandungan rata-rata unsur logam, Kandungan rata-rata unsur logam pada deposit bijih emas di Ratatotok, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara.

Rona Awal Rona awal suatu daerah yang mempunyai deposit bahan tambang memiliki karakteristik sesuai dengan jenis bahan galiannya. Misalnya daerah dengan batuan penyusun batugamping (lime stone) menghasilkan bentuk bentang alam kars dan cenderung gersang. Demikian juga pada zona dijumpainya deposit bijih logam, membentuk rona khas yang dapat menjadi indikator penting dalam eksplorasi.

Rona awal (status data tahun 1993) sebaran unsur Arsen di Pulau Sumatera Keberadaan deposit bahan tambang khususnya

logam primer menyajikan rona yang khas, yaitu Sehingga peninggian atau anomali kandungan berupa lahan tandus, terjal dan sering dijumpai

logam berat akan dijumpai pada sekitar longsoran tanah, serta umumnya tidak porous

dijumpainya deposit bijih logam primer tersebut. dan tidak lulus air sehingga kecil potensinya untuk

menjadi zona resapan air. Selain itu deposit logam Kandungan logam berat kadar tinggi dijumpai primer yang umumnya berada di puncak-puncak

pada bijih itu sendiri, tanah lapukannya, dan bukit tersebut merupakan “bukit racun” yang

menyebar pada endapan sedimen sungai yang seluruh tubuhnya tersimpan logam-logam berat

berhulukan dari dari zona ditemukannya bijih bersifat racun yang apabila tidak ditambang,

logam.

secara alami akan terus menerus tererosi dan mencemari lingkungan sekitarnya.

Kandungan logam pada cebakan bijih logam primer terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur komoditas

Tubuh deposit bijih logam seperti bijih emas, utama dan bahan ikutan. Cebakan bijih emas tembaga, timbal, dan besi umumnya mengandung

tipe epitermal kandungan logamnya dapat terdiri bahan penyusun bersifat racun yang secara alami

dari Au, Ag, As, Sb, Hg, Cu, Pb, dan Zn. Contoh akan terus menyebar ke lingkungan sekitarnya.

deposit bijih emas epitermal mengandung arsen, Geologi Populer deposit bijih emas epitermal mengandung arsen, Geologi Populer

Cebakan tembaga porfiri di Grasberg dan Batu Hijau mengandung sulfida Cu, dengan ikutan berupa Au, Ag, dan Fe. Deposit bijih timah mengandung mineral radioaktif sebagai bahan ikutannya. Deposit bijih logam apabila tidak dimanfaatkan atau ditambang, maka secara alami unsur-unsur logam berat bersifat racun atau radioaktif akan terus-menerus tersebar ke dalam lingkungan di sekitarnya akibat tererosi atau terbawa bersama aliran air tanah maupun air permukaan sehingga rona awal kandungan unsur logam di daerah sekitarnya terutama pada aliran sungai akan tinggi. Bijih sulfida yang tersingkap di permukaan akan teroksidasi, potensial menghasilkan air asam yang pada lingkungan tambang disebut sebagai air asam tambang. Air asam tersebut berpotensi melarutkan

logam, sehingga

mencemari

lingkungan sekitarnya. Deposit bijih logam dengan komponen penyusun

resisten terhadap pelapukan dan erosi, membentuk morfologi tinggi dan cenderung berlereng curam. Tanah yang terbentuk umumnya sangat tipis, sehingga cenderung gersang, tidak tertutup oleh vegetasi lebat. Deposit bijih logam yang terbentuk dari hasil aktivitas hidrotermal, akan terbentuk zona alterasi, di antaranya menghasilkan zona argilik. Pada zona argilik dengan penyusun dominan lempung mudah terjadi longsoran. Pada tahap eksplorasi dilakukan, longsoran argilik yang umumnya berwarna putih sampai abu-abu cerah tersebut merupakan indikator yang baik untuk menemukan lokasi cebakan bijih.

Pertambangan dan Lingkungan Pertambangan umum identik dengan penggalian tanah secara besar-besaran di wilayah tambang. Kegiatan tersebut akan merubah rona awal bentang alam, hidrologi, hutan, dan biota yang ada. Kegiatan pertambangan merupakan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat risiko, serta usaha jangka panjang. Selain itu, kegiatan tersebut melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan terikat aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Itulah sebabnya kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang.

Pada saat membuka tambang, sudah harus dipahami bagaimana menutup tambang. Sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan dan masyarakat sekitar tambang. Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi eksplorasi untuk estimasi sumberdaya dan cadangan, perencanaan batas penambangan, pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perencanaan tempat penimbunan, perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan termasuk pengembangan masyarakat serta perancangan rona akhir pasca tambang.

Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap

kegiatan meliputi eksplorasi, pembangunan infrastruktur dan sumber energi serta pembangunan kamp kerja dan kawasan permukiman, penambangan dan pengolahan. Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan penambangan, pembuangan limbah batuan, pengolahan bijih, serta operasional pabrik pengolahan.

Upaya Penambangan Penambangan bahan mineral dan batubara di seluruh dunia, lebih dari dua per tiganya dilakukan dengan tambang terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying, tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.

Tambang bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah batuan penutup yang harus dipindahkan terlalu besar. Produktifitas tambang bawah tanah 5 sampai 50 kali lebih rendah dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat yang digunakan lebih kecil dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.

Ekstraksi bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan cekungan yang besar. Pada tambang bidang (strip mining) penggalian dilakukan pada suatu bidang galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan oleh galian sebelumnya. Teknik tambang seperti ini biasanya digunakan untuk menggali deposit batubara yang relatif datar, terletak di dekat

Geologi Populer

Geologi Populer

permukaan tanah. Teknik penambangan quarrying untuk mengambil bahan seperti pasir, kerikil, bahan industri semen, batuan ornamen, dan batuan urugan.

Kegiatan penambangan menghasilkan limbah dalam jumlah yang sangat banyak. Total limbah yang diproduksi dapat bervariasi antara 10% sampai sekitar 99,99% dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang dihasilkan adalah batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup dan limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi atau batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak ekonomis untuk diolah.

Pengolahan Bijih Tambang Pengolahan bijih akan menghasilkan limbah yang mempunyai karakteristik tergantung pada jenis bijih dan metoda pengolahannya. Penanganan dan penempatan limbah tersebut dalam rangka merehabilitasi/reklamasi

lingkungan pasca tambang dengan mempertimbangkan karakteristik kimia dan fisika limbah.

Pengolahan bijih terdiri dari proses benefication dengan cara bijih yang ditambang diproses menjadi konsentrat bijih untuk diolah lebih lanjut atau dijual langsung, diikuti dengan pengolahan metalurgi dan refining. Proses benefication umumnya terdiri dari kegiatan persiapan, penghancuran dan atau penggilingan, peningkatan konsentrasi dengan gravitasi atau pemisahan secara magnetis atau dengan menggunakan metode flotasi (pengapungan), yang diikuti dengan dewatering dan penyaringan. Hasil dari proses ini adalah konsentrat bijih dan limbah dalam bentuk tailing serta emisi debu. Tailing biasanya mengandung bahan kimia sisa proses dan logam berat. Oleh karena itu, sebelum dimasukkan ke lahan penampungan terlebih dahulu dilakukan proses detoksifikasi.

Pengolahan metalurgi bertujuan untuk mengisolasi logam dari konsentrat bijih dengan metode pyrometalurgi, hidrometalurgi atau elektrometalurgi baik dilakukan sebagai proses tunggal maupun kombinasi. Proses pyrometalurgi seperti pembakaran dan peleburan menyebabkan terjadinya gas buang ke atmosfir (sebagai contoh: sulfur dioksida, partikulat dan logam berat) dan slag.

Pemisahan magnetik digunakan untuk memisahkan

bijih besi dari bahan yang memiliki daya magnetik lebih rendah. Sedangkan flotasi menggunakan bahan kimia untuk mengikat kelompok senyawa mineral tertentu seperti sulfida tembaga dengan gelembung udara untuk pengumpulan. Bahan kimia yang digunakan termasuk collectors, frothers, antifoams, activators, and depressants; tergantung karakteristik bijih yang diolah. Bahan kimia ini dapat mengandung sulfur dioksida, asam sulfat, senyawa sianida, cressol, disesuaikan dengan karakteristik bijih yang diolah.

Proses

pemisahan

gravitasi menggunakan perbedaan berat jenis mineral untuk meningkatkan konsentrasi bijih. Ukuran partikel merupakan faktor penting dalam proses pengolahan, sehingga ukuran tetap dijaga agar seragam dengan menggunakan saringan atau hydrocyclon. Tailing padat ditimbun di kolam penampungan tailing, airnya didaur ulang untuk proses pengolahan. Flokulan kimia seperti aluminium sulfat, kapur, besi, garam kalsium, dan kanji biasanya ditambahkan untuk meningkatkan efisiensi pemadatan.

Pelindian merupakan proses untuk mengambil senyawa logam terlarut dari bijih dengan melarutkan secara selektif senyawa tersebut ke dalam suatu pelarut seperti air, asam sulfat dan asam klorida atau larutan sianida. Logam yang diinginkan kemudian diambil dari larutan tersebut dengan pengendapan secara kimiawi atau proses elektrokimia. Metode pelindian dapat berbentuk timbunan, heap atau tangki. Metode pelindian heap leaching banyak digunakan untuk pertambangan emas sedangkan pelindian dengan timbunan banyak digunakan untuk pertambangan tembaga.

Proses pengolahan batubara pada umumnya diawali oleh pemisahan limbah dan batuan secara mekanis diikuti dengan pencucian batubara untuk menghasilkan batubara berkualitas lebih tinggi. Dampak potensial akibat proses ini adalah pembuangan batuan limbah dan batubara tak terpakai, timbulnya debu dan pembuangan. Air pencuci mengandung lumpur dan batubara halus, dialirkan ke kolam pengendapan.

Reklamasi Pasca Tambang Salah satu kegiatan akhir dari kegiatan penambangan, yaitu reklamasi. Kegiatan tersebut merupakan upaya penataan kembali daerah bekas tambang agar lebih bermanfaat dan berdayaguna. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Sebuah lahan atau gunung yang dikupas untuk

Geologi Populer

diambil isinya hingga kedalaman ratusan meter bahkan sampai ribuan meter, walaupun sistem gali timbun (back filling) diterapkan, tetap akan meninggalkan lubang besar seperti danau. Rehabilitasi lokasi penambangan dilakukan sebagai bagian dari program pengakhiran tambang, mengacu pada penataan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Bekas tambang batubara Kendilo, Kaltim, sumber DJMBP. Teknik rehabilitasi meliputi regarding, reconturing,

dan penanaman kembali permukaan tanah yang tergradasi, penampungan dan pengelolaan racun dan air asam tambang, menggunakan penghalang fisik maupun tumbuhan untuk mencegah erosi atau terbentuknya air asam tambang. Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :

Bekas tambang emas di Minahasa Selatan sumber DJMBP. a.Pengisian kembali bekas tambang, penebaran

tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian kembali.

b.Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi, dan pengelolaan air.

c.Keamanan tambang

terbuka,

longsoran,

pengelolaan B3, dan bahaya radiasi.

Bekas, tambang timah di Malaysia.

d.Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi.

e.Pencegahan dan penanggulangan terjadinya air asam tambang dari bukaan tambang, pengelolaan tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan).

f. Penanganan potensi timbulnya gas metan dan Bekas tambang timah di Singkep untuk lahan perikanan, obyek wisata dan waduk emisinya dari tambang batubara

penampung air.

g.Sulfida logam yang masih terkandung pada tailing

waste.

atau waste merupakan pengotor yang potensial akan menjadi bahan toksik dan penghasil air

Rona Akhir Pasca Tambang asam tambang yang akan mencemari lingkungan,

Kondisi pasca tambang menghasilkan lingkungan pemanfaatan sulfida logam tersebut merupakan

bekas tambang yang berbeda dengan kondisi salah satu alternatif penanganan. Demikian juga

awal. Puncak bukit terdapatnya deposit bijih dapat kandungan mineral ekonomi yang lain, diperlukan

berubah menjadi cekungan atau danau. Lereng upaya pemanfaatan.

yang semula curam dapat berubah menjadi landai. Zona terdapatnya bijih yang merupakan lahan

h. Penanganan/penyimpanan bahan galian yang tandus dapat direklamasi menjadi lahan dengan masih potensial untuk menjadi bernilai ekonomi

tutupan vegetasi lebih lebat. Demikian juga zona baik dalam kondisi in-situ, berupa tailing atau

yang tadinya sulit untuk meresapkan air, dapat

Geologi Populer 19

direkayasa sehingga menjadi zona dengan tingkat resapan air yang tinggi. Deposit bijih logam mengandung mineral sulfida dan logam berat yang mempunyai sifat racun. Dengan ditambangnya bahan galian tersebut pencemaran secara alami yang diakibatkan tersebarnya logam berat dan terbentuknya air asam akan menjadi jauh lebih berkurang. Penambangan dengan mengangkat cebakan bijih logam adakalanya menyisakan sulfida atau bijih yang tidak tertambang. Untuk menghindari sisa- sisa bijih sulfida logam berat tersebut teroksidasi, dapat diupayakan agar tidak terpapar pada udara bebas, yaitu dengan menimbun atau melapisi dengan bahan penutup.

Cekungan bekas tambang (pit) dapat digunakan untuk waduk penampung air. Air yang ditampung diupayakan tidak menghasilkan air asam tambang. Waduk penyimpan air dapat digunakan untuk lahan perikanan, wisata dan sumber air bersih atau air untuk keperluan irigasi pertanian. Waduk atau danau bekas tambang dapat menjadi lingkungan ekosistem baru, yang sama sekali berbeda dengan kondisi sebelum ada tambang. Tersedianya waduk atau danau selain menyediakan sumber daya air juga meningkatan fungsi resapan air yang akan meningkatkan imbuhan pada air tanah.

Rona akhir dari wilayah bekas tambang disesuaikan dengan peruntukannya yang dapat dikembalikan ke peruntukan semula misal kawasan hutan lindung, atau menjadi kawasan budi daya. Dengan perencanaan yang disusun sejak awal penambangan maka rona akhir seperti topografi, jenis vegetasi dan tata air, dapat direkayasa menyesuaikan dengan peruntukan pasca tambang agar menghasilkan rona yang lebih baik, lebih berdaya guna, dan lebih indah dibandingkan rona awalnya.

Masyarakat sekitar tambang yang semula menggantungkan hidupnya pada kegiatan usaha pertambangan, dengan tutupnya tambang memerlukan keberlanjutan pendapatan untuk kelangsungan hidupnya. Penutupan tambang memperhitungkan hal tersebut, demikian juga peluang usaha lain yang dapat dikembangkan untuk masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung ketika tambang beroperasi mendapatkan manfaat dari tambang. Infrastruktur pertambangan yang dibangun dapat menunjang pengembangan wilayah sekitar tambang, meskipun tambang telah ditutup. Ketika tambang ditutup diharapkan ada manfaat ditinggalkan yang bersifat berkelanjutan. Kegiatan ekonomi, industri dan sektor lain

sebagai efek ganda dari adanya tambang ketika masih aktif dapat terus berlangsung dan tumbuh berkembang. Demikian juga pelaku usaha pertambangan dapat menciptakan kegiatan usaha lain untuk penciptaan lapangan kerja dengan bermodalkan hasil kegiatan tambang.

Penutup Kegiatan usaha pertambangan sarat risiko, berdampak langsung pada lingkungan, serta mempunyai efek dalam jangka panjang. Risiko terhadap degradasi lingkungan menjadi isu yang sering mengemuka, terutama ketika kegiatan operasi produksi tambang sedang berlangsung. Bahkan kegiatan tambang seringkali dapat menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Risiko yang besar tersebut menyebabkan beberapa Pemerintah Daerah tidak mengizinkan adanya kegiatan penambangan dalam wilayahnya.

Tambang yang identik dengan penggalian harta karun berukuran sangat besar, mempunyai risiko yang sepadan. Operasi tambang mengundang berbagai permasalahan, baik yang bersifat teknis penambangan,

lingkungan maupun sosial. Untuk mendapatkan hasil optimal harus mempertimbangkan semua risiko. Kemungkinan dampak degradasi lingkungan saat operasi produksi sampai dengan pasca tambang perlu diantisipasi dengan perencanaan sejak awal. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari operasi produksi tambang, telah memperhitungkan juga komponen biaya untuk perlindungan lingkungan.

Operasi tambang apabila ternyata dari estimasi cadangan atau keekonomian tidak memungkinkan terlaksananya good mining practice untuk menghasilkan operasi tambang yang ramah lingkungan, akan lebih baik apabila deposit bahan galian tersebut tidak ditambang. Akan tetapi apabila operasi produksi tambang bisa memberikan manfaat besar pada pembangunan dalam

jangka

pendek

maupun jangka panjang secara berkelanjutan, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat bahkan dapat menghasilkan rona akhir yang lebih baik dan lebih indah dibandingkan rona awalnya operasi produksi tambang merupakan keharusan. n

Penulis adalah Penyelidik Bumi Pusat Sumber Daya Gelogi – Badan Geologi

Lintasan Geologi

Geologi dan Legenda Gunung Kelimutu

Oleh: Hamdan Z. Abidin, E. Partoyo dan H. Utoyo

G yang saling berdekatan. Istimewanya, air ketiga

unung Kelimutu adalah satu- satunya gunung api di Indonesia yang memiliki tiga danau kawah

danau tersebut warnanya berbeda. Danau Kawah yang pertama bernama Tiwu Ata Polo, airnya berwarna merah. Danau kedua yang berjarak 10 m dari danau yang pertama adalah Tiwu Nua Muri Kooh Fai, airnya berwarna hijau. Sedangkan danau yang ketiga airnya berwarna biru dan dikenal dengan Tiwu Ata mBupu. Kelimutu terletak di Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur pada posisi geografi 8 o 45,5’ Lintang Selatan dan 121 o 50’ Bujur Timur.

Lintasan Geologi

Untuk mencapai daerah ini, kita bisa melalui Maumere, Ibukota Kabupaten Sikka, atau dari Ende, Ibukota Kabupaten Ende. Perjalanan ke gunung ini dari Maumere, membutuhkan waktu antara 2-3 jam, sedangkan dari Ende yang berjarak hanya 60 km, membutuhkan waktu sekitar 1 jam perjalanan.

Mengingat daerah Kelimutu adalah salah satu daerah tujuan wisata yang terletak di dataran tinggi dan terpencil, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Ende membangun tempat penginapan untuk menarik sekaligus menampung para wisatawan di Desa Moni. Jarak lokasi tersebut dengan puncak/ kompleks danau Kelimutu sekitar 12 km. Dengan demikian, para pengunjung yang menginap di tempat tersebut dapat memulai perjalanannya ke puncak Kelimutu dengan mudah.

Kondisi Danau Kelimutu Ketiga danau yang memiliki luas 100 ha itu terletak di puncak Gunung Kelimutu pada ketinggian 1640 m dpl. dan merupakan bagian daerah cagar alam yang luasnya ± 500 ha.

Danau pertama yang dijumpai adalah Tiwu Ata Polo. Danau ini berbentuk silinder dengan garis tengah antara 75-100 m dan kedalaman 64 m. Jarak antara bibir danau dengan muka air sekitar 50 m dan luasnya berkisar 4 ha. Rekaman perubahan warna air kawah pada 1997 dan antara 2002 - 2006 memperlihatkan warna yang hampir konstan, yaitu merah kecoklatan kecuali di tahun 1997 pernah berubah menjadi merah hati/ hijau botol dan tahun 2002 warna air berubah 3 kali, masing-masing menjadi warna hijau pupus dan merah marun. Tahun 2003 terjadi satu kali perubahan warna menjadi hijau pupus, dan tahun 2004 satu kali perubahan menjadi warna hijau pupus. Di sekitar danau tercium bau belerang lemah (Sumber Geoteknologi, LIPI).

Danau kedua adalah Tiwu Nua Muri Kooh Fai, berjarak 10 m dengan danau pertama, berbentuk sangat silindris (seperti sumur) dengan diameter

antara 100 - 150 m, kedalaman 127 m, dan luas 5,5 ha. Air danau kedua ini berwarna hijau sampai hijau muda. Ketika penulis berkunjung pada bulan Juli 2008, air danau ini tampak berwarna hijau muda agak keruh. Di sekitar danau tercium bau belerang lemah.

Danau ketiga yang bernama Tiwu Ata mBupu terletak di sisi kiri dua danau sebelumnya. Kenampakan permukaan danau ini betul-betul berbentuk sangat silindris dengan garis tengah berkisar 75 -100 m sedalam 67 m seluas 4,5 ha.

Geologi Danau Kelimutu Danau Kelimutu merupakan hasil eksplosif yang dahsyat dari gunung api bertipe stratovolcano. Oleh karena itu, daerah puncak ditutupi oleh hasil letusan gunung api berupa endapan piroklastik yang tebal. Umumnya endapan piroklastik ini berupa perselingan tuf dan breksi gunung api, sedikit lava (flow) dan bom gunung api yang tersebar cukup luas.

Wilayah kawah pertama, Tiwu mBupu, ditutupi oleh perselingan breksi gunung api dengan tuf. Breksi gunung api yang membentuk dinding kawah purba memiliki aneka fragmen dengan ukuran yang bervariasi, antara 1-2 m, tertanam dalam

Foto danau kawah Gunung Kelimutu, secara berturut-turut dari kiri adalah Danau Tiwu mBupu, Danau Tiwu Ata Polo, dan Danau Tiwu Nua Muri Kooh Fai.

Breksi, gunung api kaldera tua (Tiwu mBupu) dengan matrik tuf.

masa dasar tuf berbutir kasar. Komponen breksi berupa andesit, lava, bom, dan basalt. Tuf yang membentuk dinding kawah berwarna putih. Baik breksi gunung api maupun tuf memperlihatkan

kemiringan lapisan (<10˚). Daerah bekas kaldera tua ini umumnya telah ditumbuhi oleh aneka tumbuhan baik perdu maupun pohon cemara yang sudah cukup besar (5 -10 m).

Geologi danau yang kedua, Tiwu Ata Polo, tidak jauh berbeda dengan kondisi kaah yang pertama. Sekitar danau ditumbuhi oleh tumbuhan perdu ditutupi oleh perselingan antara tuf, breksi dan aliran lava. Dari kenampakan lapangan, runtunan tuf dan breksi gunung api, sedikit aliran lava dan bom gunung api, memperlihatkan perlapisan dengan ketebalan berkisar dari 10-15 cm. Tuf berwarna abu-abu hingga keputihan, sebagian telah mengalami pelapukan yang memberikan warna abu kecoklatan dan berlapis tipis. Breksi gunung api berwarna abu kehitaman, monomik dengan diameter antara 2-5 cm yang tertanam dalam masadasar tuf kasar. Lava berwarna hitam, berlapis tipis dan menutupi lapisan tuf dan breksi gunung api. Kemiringan lapisan runtunan batuan ini mencapai 30 o . Di beberapa tempat, runtunan ini telah mengalami pelapukan atau tererosi sehingga membentuk lapisan bertingkat seolah-olah layaknya bentukan taman. Di atas bebatuan ini tumbuh “pohon abadi” yang kerdil (Rhododendron renschianum). Perselingan antara tuf dan breksi terlihat pada dinding kawah dengan ketebalan mencapai puluhan meter.

Kawah terakhir adalah Tiwu Nua Muri merupakan danau kawah yang termuda dalam kompleks

kawah Kelimutu dan paling aktif saat ini. Secara geologi, danau ini ditutupi oleh batuan yang sama seperti yang terdapat di daerah danau lainnya, perbedaannya hanyalah bebatuannya belum mengalami pelapukan kuat seperti yang terdapat di Tiwu Ata Polo. Litologinya umumnya belum terkonsolidasi kuat dan masih banyak berupa batuan lepas. Bekas-bekas bom gunung api dengan ukuran mencapai 50 cm sering dijumpai. Hal ini membuktikan bahwa hasil letusan gunung api muda ini cukup kuat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa tenaga yang dahsyat melemparkan bom dan rempah gunung api dicirikan oleh kawah yang juga berbentuk corong/silinder dengan dinding kawah hampir

tegak (90˚). Secara lengkap runtunan litologi yang terdapat di kawah muda ini dapat terlihat jelas

pada dinding-dinding kawah. Runtunan litologi yang terdiri dari perselingan antara tuf dan breksi, mempunyai ketebalan mencapai lebih dari 50 meter. Runtunan ini berwarna kuning kecoklatan sampai kemerahan. Warna ini merefleksikan tinggi kadar mineral besi dan belerang.

Danau Tiga Warna Keunikan Gunung Kelimutu yang mempunyai tiga danau kawah adalah masing-masing danau memiliki air yang berbeda antara satu dengan lainnya. Air danau Tiwu Ata Polo berwarna coklat dan sesekali berubah menjadi coklat hitam. Danau Tiwu Nua Muri Kooh Fai yang berdampingan dengan Danau Ata Polo memiliki warna hijau muda dan sesekali berubah warna menjadi hijau coklat. Danau mBupu memiliki warna hijau lumut. Letak ketiga danau ini saling berdekatan kecuali danau mBupu jaraknya 300 m dari Ata Polo. Suatu

Aliran lava menutupi lapisan tuf dan breksi di sekitar Danau Tiwu Ata Polo. Dinding Danau Tiwu Nua Muri Kooh Fai memperlihatkan perselingan tuf dan breksi (atas) menutupi tuf masif (bawah)

Lintasan Geologi

Lintasan Geologi