Wajah di Garis Depan TV Anchor Pembaca B
WAJAH DI GARIS DEPAN TV:
ANCHOR, PEMBACA BERITA, DAN PRESENTER
Oleh: syaiful HALIM
PERTENGAHAN Agustus lalu, seorang pembaca Harian Republika
menulis tentang gaya Riza Primadi, news anchor Liputan 6 SCTV, saat
mewawancarai tamu yang diundang ke studio Liputan 6 di Gedung IWI.
Dituliskan,
gaya
Riza
lebih
terkesan
mengintrogasi
ketimbang
mewawancarai. Sikap Riza pun, katanya, cenderung kaku!
S
ehari sebelum surat pembaca itu dimuat, sebuah artikel tentang
news anchor atau pembaca berita dengan contoh kasus utama Riza
Primadi dimuat pula di Harian Jawa Pos. Secara detail, termasuk
jumlah teori, data, juga dugaan gaji seorang Riza diungkapkan di dalamnya.
Motif komunikasi tulisan itu sendiri lebih mengarah pada pencermatan fgur
seorang news anchor di Indonesia.
Dan, kalau Riza Primadi yang tadinya lebih dikenal sebagai pembawa
acara atau moderator program mingguan Di Balik Berita (SCTV) menjadi
fokus, tentu tak lepas dari asumsi bahwa Riza bukan sekadar pembaca
berita. Namun lebih dari pembaca berita biasa. Dia merupakan news anchor
atau diartikan secara harafah sebagai pengendali berita. Adakah perbedaan
mencolok antara news anchor, pembaca berita, atau news presenter,
sebagai fgur wajah-wajah personal yang tampil di garis depan dan
mengemban image sebuah program informasi televisi?
syaiful HALIM
Page 1
Kalau menyimak penampilan Riza Primadi dalam Liputan 6 Petang
pada kali pertama mengudara 20 Mei lalu, tampak casting-nya bukan
sekadar membacakan intro program, lead per lead berita, dan penutup acara
lewat teleprompter. Tapi, ia juga melakukan dialog dengan tamu yang
didatangkan ke studio Liputan 6 Jakarta, serta pada tamu atau rekan coanchor Indiarto Priadi di SCTV Surabaya lewat wawancara jarak jauh.
Sebaran senyum, improvisasi dialog, dan sikap tak angker diberikan
sepanjang program. Singkatnya, dari penampilan 30 menit ini, pemirsa
seolah diajak melihat bercengkrama dengan aksi seorang Riza dengan
hidangan informasi dan dialog.
Penampilan program dan news anchor tersebur pun tak luput menjadi
ulasan berbagai media cetak. Namun, di luar promosi profl Riza Primadi
sebagai news anchor Liputan 6 Petang yang secara gencar dilakukan
pengelola program tersebut, kehadiran news anchor dalam dunia jurnalistik
televisi kita, nampaknya begitu fenomenal. Ia seolah diperhitungkan sebagai
kekuatan utama untuk kesuksesan sebuah program informasi.
Bukan apa-apa, selama lebih dari 20 tahun, saat TVRI masih
merupakan satu-satunya saluran televisi di negeri ini, kita begitu telanjur
akrab dengan gaya news presenter atau pembawa berita produk televisi
pemerintah ini. Wajah-wajah wibawa dengan kekuatan utama pada good
microphone voice-nya, hadir bergantian di depan kita. Sederet nama, sebut
saja, Teddy Resmisari, Idrus, Sazli Rais, Rusdi Saleh, Toeti Adhitama, Ike
Maris, hingga berganti pada era Tengku Malinda, Ines Sukandar, dan banyak
nama lainnya, segera saja akan mengingatkan kita pada acara-acara berita
TVRI. Bahkan hingga sekarang, kita sulit melupakan wajah dan vokal
legendaris Sambas yang akrab di lapangan olahraga.
Sejauh ini, mereka tetap lebih kita kenal sebagai pembaca berita.
Karena dengan kelebihan wajah dan vokal khas, mereka tampil dominan
sebagai pembaca berita atau news presenter dalam program-program
syaiful HALIM
Page 2
informasi
produk
TVRI.
Mereka
tampil
sekadar
membuka
program,
mengantarkan lead berita, lalu menutup acara. Atau, kerap mengantar
seremoni kenegaraan yang disiarkan secara langsung.
Di studio pemberitaan, tak ada wawancara yang dilakukan pembaca
berita dengan tamu yang sengaja diundang. Pada era 90-an, mulai ada
inovasi kemasan acara dengan adanya kontak pembaca berita dengan
reporter di stasiun daerah atau lokasi sumber berita. Belum ada tradisi
wawancara langsung dengan narasumber. Karenanya, kita belum akrab
dengan pertanyaan kritis dan cerdas model TVRI. Rileksasi yang dilakukan
pembaca berita TVRI, paling jauh adalah saling lempar senyum saat
mendekati closing bumper dan credit title bersuper-impose dengan wajah
mereka.
Ketika Seputar Jakarta dan lalu berganti rupa sebagai Seputar
Indonesia mengudara di layar RCTI, nama-nama Desi Anwar, Adolf Posumah,
Helmi Yohanes, Zsa Zsa Yusharya, dan sejumlah nama lain, juga mulai kita
kenal. Perlahan sekali, pemirsa mulai dipengaruhi style pembaca barita ala
RCTI yang tak lagi berusaha tampil wibawa dan bervokal mikrofonis seperti
pembawa berita TVRI. Namun, mereka tampil lebih rileks, rajin mengumbar
senyum, lebih familiar, banyak melakukan improvisasi kalimat saat tampil
berdua, dan satu lagi, kerap kaidah-kaidah membaca berita yang begitu
lama dibakukan di TVRI pun mulai disingkirkan.
Kita bisa menyaksikan, gaya Desi Anwar yang konon lebih menguasai
bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia dalam mempresentasikan
acaranya. Terdengar, pengucapan artikulasi dan intonasi, dan pemenggalan
jeda, sering tidak tepat. Meski begitu, hal ini dianggap gaya khasnya. Dan,
malah menempatkannya sebagai pembaca berita popular versi sebuah
tabloid. Barangkali, fase ini bisa dianggap sebagai tonggak pergeseran gaya
membaca berita layar gelas.
syaiful HALIM
Page 3
P
ada fase berikutnya, kita juga menyaksikan fenomena upaya
pengindentikan program dengan presenternya. Di RCTI, ada Dana
Iswara
yang
akrab
dengan
Buletin
Siang
dan
Sekilas
Info.
Belakangan, wajah Desi Anwar dipadukan dengan Ade Novit plus Ronny
Kusuma di Nuansa Pagi. Juga sejumlah variasi pasangan lain. Meski tidak
terlalu kaku, nampak upaya pengidentikan program dengan presenternya
begitu serius dilakukan.
Beberapa
stasiun
lain
yang
memproduksi
program
informasi,
menyikapi secara positif trend ini. Lihat saja bagaimana ANTV melakukan
langkah ini; Anita Firdaus diplot sebagai “wajah” Cakrawala, juga Monika
Desideria dengan gaya cerianya di Lensa Olahraga. Beberapa nama lain
kerap menggantikan masing-masing news presenter di program-program ini.
Namun, lewat frekuensi penampilan dan promo di media cetak, kita semua
tahu, pengidentikan itu memang sengaja diciptakan.
TPI juga mulai melakukan langkah yang sama. Misal saja, Sofa Ranti
yang sangat rutin mengantar hidangan Lintas Lima-nya. SCTV dengan
sejumlah program informasi mingguannya, jauh-jauh hari merangkul tren itu.
Sebut saja, Diana Debora yang akrab dengan Derap Hukum, Tjandra Wibowo
dengan Wakil Kita-nya, Deti Supandi atau Arief Suditomo dengan Usaha
Anda, termasuk Riza Primadi dengan Liputan 6 Petang.
Namun, apa yang dilakukan sejumlah nama tersebut tampaknya
belum menyamai porsi seorang Riza Primadi saat menyajikan Liputan 6
Petang. Lepas dari segala perannya dalam merencanakan, menggodok, dan
menyiapkan materi Liputan 6 Petang sebelum mengudara, kita bisa
mencermati
aksinya
sebagai
news
anchor.
Untuk
acara
live,
keterampilannya membuka program, membaca lead berita, menutup acara,
mengatasi secara spontan segala kesulitan teknis, memang tidak jauh
syaiful HALIM
Page 4
berbeda dengan news presenter stasiun lain. Namun, kesan lain akan
ditampilkan setelah mandapati pertanyaan-pertanyaan cerdas dan kritis saat
berdialog atau mengatasi “tekanan” gangguan teknis yang biasa terjadi,
lewat improvisasi kalimat yang meluncur begitu saja dari bibirnya.
Gaya wawancara seperti sekeras Riza, di stasiun dalam negeri,
mungkin hanya bisa kita temui lewat program Persektifnya Wimar Witoelar
di SCTV yang sudah almarhum, atau program Bincang-bincangnya Ekki
Syachrudin di ANTV, atau juga program Dialog-nya Chris Kelana di RCTI.
Namun, Riza melakukan semuanya dalam tayangan langsung dan tempo
waktu yang terbatas.
Lepas dari polemik gaya Riza dalam melakukan wawancara yang justru
dituduh bergaya introgasi tersebut, bagaimana sesungguhnya fgur news
anchor program informasi ini? Apa saja kriteria yang diperlukan untuk layak
disebut sebagai pengendali berita ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, rasanya sungguh tepat
menyikapi apa saja yang disampaikan Andrew Boyd (Broadcast Journalism,
Techniques of Radio & TV News, 1994) tentang sosok news anchor ini. Dalam
pembukaan Bab Anchor and Newsreader-nya dikatakan, dalam bisnis
pertunjukan, aktor atau aktris dikenal sebagai bakat yang julukan ini pun
ditunjukan pada pembaca berita dan anchor stasiun radio atau TV tersebut.
Sebagai the talent, pendapat Boyd ini tampaknya lebih memfokuskan
pada orang-orang yang dikaruniai kelebihan sejak lahir. Yakni, bakat sebagai
orang yang bakal tampil di garis depan. Orang yang memiliki modal besar
untuk menjual citra sebuah stasiun. Bakat itu tentu menyangkut sisi lahiriah
dan rohaniah. Lebih khusus pada sisi lahiriah, wajah-wajah tampan dan
cantik, postur fsik yang sempurna, dan modal suara yang khas, tentu lebih
ditekankan. Menyangkut rohaniah, tentu dihadapkan pada bekal kecerdasan,
wawasan, juga kepribadian. Sebagai fgur yang tampil di garis depan, Boyd
syaiful HALIM
Page 5
berkeyakinan, reputasi stasiun sangat bergantung pada news anchor atau
pembaca berita ini. Naik turunnya rating program informasi ditentukan news
presenter-nya. Karenanya, tidak heran di alam liberal sana, bongkar-pasang
news anchor berita bukan pemandangan yang mengejutkan. Yang gagal
menaikan rating harus menyingkir. Dan, wajah baru yang lebih potensial
harus segera menggantikan. Tuntutan pada news anchor, ia harus mampu
mendongkrak popularitas acara.
Di negeri kita, hal ini memang belum mentradisi. Kita belum pernah
mendengar ada pembaca berita yang didepak lantaran rating programnya
anjlok. Paling jauh dibebastugaskan, bila ada kasus yang menyangkut
pribadi
news
presenter
dan
dikhawatirkan
mengganggu
kredibilitas
stasiunnya. Lalu, perannya pun diberikan pada news presenter lain. Bagi
pengelola acara bukan masalah besar untuk memberikan peran itu pada
news presenter lain. Toh, pemirsa belum begitu peduli.
Karena itu, sejauh ini, untuk peran pembaca berita atau news
presenter, kita belum bisa melihat keterkaitan yang kuat antara fgurnya
dengan program yang dibawakannya. Artinya, kita belum tahu, sebenarnya
pemirsa menyaksikan program karena bobot informasinya atau karena
pesona news presenter-nya. Karena, kalaupun news presenter bergantiganti, mereka tetap mengikuti program informasi tersebut.
Dunia dalam Berita (TVRI) pernah sangat populer, padahal pembaca
beritanya senantiasa berganti-ganti. Begitu juga dengan Seputar Indonesia.
Rating-nya tetap tinggi meski news presenter-nya selalu beganti-ganti.
Lonjakan rating tidak terjadi karena pergantian news anchor atau
pembaca berita. Kalau pun pemirsa memiliki favorit news presenter tertentu,
itu pun bukan alasan untuk meninggalkan acara. Kalau pun ia mendapati
program tersebut dikawal news presenter lain, paling jauh adalah pindah
saluran.
syaiful HALIM
Tak
ada
efek
diferensial
Page 6
drastis
lainnya.
B
oyd juga membuat terminologi seorang news anchor sebagai pribadi
yang
kuat
kharisma
dan
berotoritas,
yang dimilikinya.
dipadu
Ia
dengan
tampil
lebih
pengalaman
daripada
dan
seorang
pembaca berita biasa. Secara tegas, Boyd menggariskan kategori mutu
news
anchor:
berotoritas,
berkredibilitas,
hangat,
berkepribadian,
profesional, memiliki suara yang baik dan jelas, serta saja wajah yang enak
dipandang. Lebih daripada itu, kontrol emosi pun juga cukup diperhitungkan.
Dari terminologi tersebut, tampak dominasi kekayaan rohaniah yang perlu
dimiliki seorang news anchor. Kepribadian yang kuat, otoritas, pengalaman,
dan
kharisma,
dibentuk
bukan
cuma
jenjang
pendidikan.
Namun,
pengalaman pekerjaan dan pergaulan menjadi bekal yang sangat berharga.
Pribadi-pribadi yang hangat, ramah, memiliki kontrol emosi yang baik,
juga merupakan keharusan. Meski news anchor r ada di garis depan,
perannya tetap perlu mendapar dukungan penuh segenap kru lainnya. Di
belakangnya, ada produser, pengarah acara, pengarah teknik, hingga kru
master control dan studio, yang perlu sangat dekat. Sehingga ada rongga
saling mengisi yang tersisa. News anchor bukanlah fgur super, tapi bagian
dari tim juga. Dari sana kedekatan kerja setim, mesti pula ditunjukan oleh
pengendali berita ini.
Pada akhirnya, kehangatan dan keramahan itu pun mesti dijalin juga
dengan pemirsa, yang justru hanya diperantai lensa kamera studio. Garisgaris senyum jadi aksesoris yang lebih berharga dibandingkan polesan tata
rias. Karenanya, penampilan ramah namun berwibawa pun perlu digulirkan.
Tujuannya, agar wajah yang good looking itu akan membias secara alamiah.
syaiful HALIM
Page 7
Tentang suara yang perlu good microphone voice itu pun merupakan
modal penting lainnya. Karena di samping wajah, suara adalah jajanan
utama. Hal ini berkait dengan syarat komunikasi seorang news anchor yang
bukan
cuma
menampilkan
informasi,
tapi
adalah
mempresentasikan
informasi itu sendiri. Beberapa teknik membaca berita memang disinggung
Boyd, yaitu; menyangkut kecepatan membaca kata per kata, pengaturan
pernapasan pada jeda-jeda kalimat, proyeksi, dan emphasis. Kecepatan
membaca atau bertutur, untuk ukuran televisi dibatasi pada jumlah kata 140
hingga160 per menitnya.
Di luar kategori itu, Boyd menjelaskan, news anchor adalah fgur yang
disiapkan menampilkan sesuatu yang beda. Perbedaan mencolok dalam
menyajikan materi informasi, di samping mengenal framing materi dengan
baik, adalah rumusan yang telah disinggung di atas, yaitu: “informasi +
presentasi = komunikasi”.
Teknik presentasi itu memang bisa dipelajari lewat lembaga-lembaga
pendidikan pertelevisian. Namun, seperti di awal tulisan Boyd yang
mengedepankan sisi bakat, maka hasil pendidikan hanya medium untuk
pembentukan. Utamanya, bakat itu sendiri telah ada. Karenanya, lewat
tempaan yang bagaimana pun bagusnya, bila modal bakat ini sedikit, maka
bisa diduga hasilnya.
Khususnya tentang penyampaian materi ini, Paul Clevand (Assigment
Manager ABC News, London) menambahkan, “In a word, an anchor has to
have believability. The viewer has to believe what he is saying and that he
understands its signifinance”.
Dengan segala kategori dan konsep news anchor yang dibuat oleh
Andrew Boyd di atas, tampaknya kita telah memiliki sedikit acuan tentang
keberadaan fgur wajah-wajah di garis sepan layar kaca ini. Kembali pada
tudingan soal gaya wawancara Riza Primadi yang introgatif itu, tentu kita
syaiful HALIM
Page 8
bisa mengasumsikannya sebagai upaya memperlihatkan pribadi-pribadi
seperti yang digariskan Boyd. Di samping, untuk menggali terus rasa ingin
tahunya, membentuk tingkat kredibilitasnya, sekaligus memperlihatkan
kecerdasannya,
serta
menggali
ketajaman
masalah
sebagai
syarat
positioning program yang dibawakannya.
Namun,
penilaian
ini
pun
relatif
adanya.
Karena,
juri
yang
sesungguhnya memang mutlak pemirsa juga. Pemirsa berhak menilai apa
saja. Termasuk, meninggalkan program dan pindah ke saluran lain. Karena,
harus diyakini, sebagaian besar pemirsa kita, masih terlalu risi dengan suatu
inovasi. Bahkan, news anchor sekelas Larry King sekali pun.[]
TABLOID CITRA No. 344/VII/28 Okt. – 03 Nov. 1996
syaiful HALIM
Page 9
ANCHOR, PEMBACA BERITA, DAN PRESENTER
Oleh: syaiful HALIM
PERTENGAHAN Agustus lalu, seorang pembaca Harian Republika
menulis tentang gaya Riza Primadi, news anchor Liputan 6 SCTV, saat
mewawancarai tamu yang diundang ke studio Liputan 6 di Gedung IWI.
Dituliskan,
gaya
Riza
lebih
terkesan
mengintrogasi
ketimbang
mewawancarai. Sikap Riza pun, katanya, cenderung kaku!
S
ehari sebelum surat pembaca itu dimuat, sebuah artikel tentang
news anchor atau pembaca berita dengan contoh kasus utama Riza
Primadi dimuat pula di Harian Jawa Pos. Secara detail, termasuk
jumlah teori, data, juga dugaan gaji seorang Riza diungkapkan di dalamnya.
Motif komunikasi tulisan itu sendiri lebih mengarah pada pencermatan fgur
seorang news anchor di Indonesia.
Dan, kalau Riza Primadi yang tadinya lebih dikenal sebagai pembawa
acara atau moderator program mingguan Di Balik Berita (SCTV) menjadi
fokus, tentu tak lepas dari asumsi bahwa Riza bukan sekadar pembaca
berita. Namun lebih dari pembaca berita biasa. Dia merupakan news anchor
atau diartikan secara harafah sebagai pengendali berita. Adakah perbedaan
mencolok antara news anchor, pembaca berita, atau news presenter,
sebagai fgur wajah-wajah personal yang tampil di garis depan dan
mengemban image sebuah program informasi televisi?
syaiful HALIM
Page 1
Kalau menyimak penampilan Riza Primadi dalam Liputan 6 Petang
pada kali pertama mengudara 20 Mei lalu, tampak casting-nya bukan
sekadar membacakan intro program, lead per lead berita, dan penutup acara
lewat teleprompter. Tapi, ia juga melakukan dialog dengan tamu yang
didatangkan ke studio Liputan 6 Jakarta, serta pada tamu atau rekan coanchor Indiarto Priadi di SCTV Surabaya lewat wawancara jarak jauh.
Sebaran senyum, improvisasi dialog, dan sikap tak angker diberikan
sepanjang program. Singkatnya, dari penampilan 30 menit ini, pemirsa
seolah diajak melihat bercengkrama dengan aksi seorang Riza dengan
hidangan informasi dan dialog.
Penampilan program dan news anchor tersebur pun tak luput menjadi
ulasan berbagai media cetak. Namun, di luar promosi profl Riza Primadi
sebagai news anchor Liputan 6 Petang yang secara gencar dilakukan
pengelola program tersebut, kehadiran news anchor dalam dunia jurnalistik
televisi kita, nampaknya begitu fenomenal. Ia seolah diperhitungkan sebagai
kekuatan utama untuk kesuksesan sebuah program informasi.
Bukan apa-apa, selama lebih dari 20 tahun, saat TVRI masih
merupakan satu-satunya saluran televisi di negeri ini, kita begitu telanjur
akrab dengan gaya news presenter atau pembawa berita produk televisi
pemerintah ini. Wajah-wajah wibawa dengan kekuatan utama pada good
microphone voice-nya, hadir bergantian di depan kita. Sederet nama, sebut
saja, Teddy Resmisari, Idrus, Sazli Rais, Rusdi Saleh, Toeti Adhitama, Ike
Maris, hingga berganti pada era Tengku Malinda, Ines Sukandar, dan banyak
nama lainnya, segera saja akan mengingatkan kita pada acara-acara berita
TVRI. Bahkan hingga sekarang, kita sulit melupakan wajah dan vokal
legendaris Sambas yang akrab di lapangan olahraga.
Sejauh ini, mereka tetap lebih kita kenal sebagai pembaca berita.
Karena dengan kelebihan wajah dan vokal khas, mereka tampil dominan
sebagai pembaca berita atau news presenter dalam program-program
syaiful HALIM
Page 2
informasi
produk
TVRI.
Mereka
tampil
sekadar
membuka
program,
mengantarkan lead berita, lalu menutup acara. Atau, kerap mengantar
seremoni kenegaraan yang disiarkan secara langsung.
Di studio pemberitaan, tak ada wawancara yang dilakukan pembaca
berita dengan tamu yang sengaja diundang. Pada era 90-an, mulai ada
inovasi kemasan acara dengan adanya kontak pembaca berita dengan
reporter di stasiun daerah atau lokasi sumber berita. Belum ada tradisi
wawancara langsung dengan narasumber. Karenanya, kita belum akrab
dengan pertanyaan kritis dan cerdas model TVRI. Rileksasi yang dilakukan
pembaca berita TVRI, paling jauh adalah saling lempar senyum saat
mendekati closing bumper dan credit title bersuper-impose dengan wajah
mereka.
Ketika Seputar Jakarta dan lalu berganti rupa sebagai Seputar
Indonesia mengudara di layar RCTI, nama-nama Desi Anwar, Adolf Posumah,
Helmi Yohanes, Zsa Zsa Yusharya, dan sejumlah nama lain, juga mulai kita
kenal. Perlahan sekali, pemirsa mulai dipengaruhi style pembaca barita ala
RCTI yang tak lagi berusaha tampil wibawa dan bervokal mikrofonis seperti
pembawa berita TVRI. Namun, mereka tampil lebih rileks, rajin mengumbar
senyum, lebih familiar, banyak melakukan improvisasi kalimat saat tampil
berdua, dan satu lagi, kerap kaidah-kaidah membaca berita yang begitu
lama dibakukan di TVRI pun mulai disingkirkan.
Kita bisa menyaksikan, gaya Desi Anwar yang konon lebih menguasai
bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia dalam mempresentasikan
acaranya. Terdengar, pengucapan artikulasi dan intonasi, dan pemenggalan
jeda, sering tidak tepat. Meski begitu, hal ini dianggap gaya khasnya. Dan,
malah menempatkannya sebagai pembaca berita popular versi sebuah
tabloid. Barangkali, fase ini bisa dianggap sebagai tonggak pergeseran gaya
membaca berita layar gelas.
syaiful HALIM
Page 3
P
ada fase berikutnya, kita juga menyaksikan fenomena upaya
pengindentikan program dengan presenternya. Di RCTI, ada Dana
Iswara
yang
akrab
dengan
Buletin
Siang
dan
Sekilas
Info.
Belakangan, wajah Desi Anwar dipadukan dengan Ade Novit plus Ronny
Kusuma di Nuansa Pagi. Juga sejumlah variasi pasangan lain. Meski tidak
terlalu kaku, nampak upaya pengidentikan program dengan presenternya
begitu serius dilakukan.
Beberapa
stasiun
lain
yang
memproduksi
program
informasi,
menyikapi secara positif trend ini. Lihat saja bagaimana ANTV melakukan
langkah ini; Anita Firdaus diplot sebagai “wajah” Cakrawala, juga Monika
Desideria dengan gaya cerianya di Lensa Olahraga. Beberapa nama lain
kerap menggantikan masing-masing news presenter di program-program ini.
Namun, lewat frekuensi penampilan dan promo di media cetak, kita semua
tahu, pengidentikan itu memang sengaja diciptakan.
TPI juga mulai melakukan langkah yang sama. Misal saja, Sofa Ranti
yang sangat rutin mengantar hidangan Lintas Lima-nya. SCTV dengan
sejumlah program informasi mingguannya, jauh-jauh hari merangkul tren itu.
Sebut saja, Diana Debora yang akrab dengan Derap Hukum, Tjandra Wibowo
dengan Wakil Kita-nya, Deti Supandi atau Arief Suditomo dengan Usaha
Anda, termasuk Riza Primadi dengan Liputan 6 Petang.
Namun, apa yang dilakukan sejumlah nama tersebut tampaknya
belum menyamai porsi seorang Riza Primadi saat menyajikan Liputan 6
Petang. Lepas dari segala perannya dalam merencanakan, menggodok, dan
menyiapkan materi Liputan 6 Petang sebelum mengudara, kita bisa
mencermati
aksinya
sebagai
news
anchor.
Untuk
acara
live,
keterampilannya membuka program, membaca lead berita, menutup acara,
mengatasi secara spontan segala kesulitan teknis, memang tidak jauh
syaiful HALIM
Page 4
berbeda dengan news presenter stasiun lain. Namun, kesan lain akan
ditampilkan setelah mandapati pertanyaan-pertanyaan cerdas dan kritis saat
berdialog atau mengatasi “tekanan” gangguan teknis yang biasa terjadi,
lewat improvisasi kalimat yang meluncur begitu saja dari bibirnya.
Gaya wawancara seperti sekeras Riza, di stasiun dalam negeri,
mungkin hanya bisa kita temui lewat program Persektifnya Wimar Witoelar
di SCTV yang sudah almarhum, atau program Bincang-bincangnya Ekki
Syachrudin di ANTV, atau juga program Dialog-nya Chris Kelana di RCTI.
Namun, Riza melakukan semuanya dalam tayangan langsung dan tempo
waktu yang terbatas.
Lepas dari polemik gaya Riza dalam melakukan wawancara yang justru
dituduh bergaya introgasi tersebut, bagaimana sesungguhnya fgur news
anchor program informasi ini? Apa saja kriteria yang diperlukan untuk layak
disebut sebagai pengendali berita ini?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, rasanya sungguh tepat
menyikapi apa saja yang disampaikan Andrew Boyd (Broadcast Journalism,
Techniques of Radio & TV News, 1994) tentang sosok news anchor ini. Dalam
pembukaan Bab Anchor and Newsreader-nya dikatakan, dalam bisnis
pertunjukan, aktor atau aktris dikenal sebagai bakat yang julukan ini pun
ditunjukan pada pembaca berita dan anchor stasiun radio atau TV tersebut.
Sebagai the talent, pendapat Boyd ini tampaknya lebih memfokuskan
pada orang-orang yang dikaruniai kelebihan sejak lahir. Yakni, bakat sebagai
orang yang bakal tampil di garis depan. Orang yang memiliki modal besar
untuk menjual citra sebuah stasiun. Bakat itu tentu menyangkut sisi lahiriah
dan rohaniah. Lebih khusus pada sisi lahiriah, wajah-wajah tampan dan
cantik, postur fsik yang sempurna, dan modal suara yang khas, tentu lebih
ditekankan. Menyangkut rohaniah, tentu dihadapkan pada bekal kecerdasan,
wawasan, juga kepribadian. Sebagai fgur yang tampil di garis depan, Boyd
syaiful HALIM
Page 5
berkeyakinan, reputasi stasiun sangat bergantung pada news anchor atau
pembaca berita ini. Naik turunnya rating program informasi ditentukan news
presenter-nya. Karenanya, tidak heran di alam liberal sana, bongkar-pasang
news anchor berita bukan pemandangan yang mengejutkan. Yang gagal
menaikan rating harus menyingkir. Dan, wajah baru yang lebih potensial
harus segera menggantikan. Tuntutan pada news anchor, ia harus mampu
mendongkrak popularitas acara.
Di negeri kita, hal ini memang belum mentradisi. Kita belum pernah
mendengar ada pembaca berita yang didepak lantaran rating programnya
anjlok. Paling jauh dibebastugaskan, bila ada kasus yang menyangkut
pribadi
news
presenter
dan
dikhawatirkan
mengganggu
kredibilitas
stasiunnya. Lalu, perannya pun diberikan pada news presenter lain. Bagi
pengelola acara bukan masalah besar untuk memberikan peran itu pada
news presenter lain. Toh, pemirsa belum begitu peduli.
Karena itu, sejauh ini, untuk peran pembaca berita atau news
presenter, kita belum bisa melihat keterkaitan yang kuat antara fgurnya
dengan program yang dibawakannya. Artinya, kita belum tahu, sebenarnya
pemirsa menyaksikan program karena bobot informasinya atau karena
pesona news presenter-nya. Karena, kalaupun news presenter bergantiganti, mereka tetap mengikuti program informasi tersebut.
Dunia dalam Berita (TVRI) pernah sangat populer, padahal pembaca
beritanya senantiasa berganti-ganti. Begitu juga dengan Seputar Indonesia.
Rating-nya tetap tinggi meski news presenter-nya selalu beganti-ganti.
Lonjakan rating tidak terjadi karena pergantian news anchor atau
pembaca berita. Kalau pun pemirsa memiliki favorit news presenter tertentu,
itu pun bukan alasan untuk meninggalkan acara. Kalau pun ia mendapati
program tersebut dikawal news presenter lain, paling jauh adalah pindah
saluran.
syaiful HALIM
Tak
ada
efek
diferensial
Page 6
drastis
lainnya.
B
oyd juga membuat terminologi seorang news anchor sebagai pribadi
yang
kuat
kharisma
dan
berotoritas,
yang dimilikinya.
dipadu
Ia
dengan
tampil
lebih
pengalaman
daripada
dan
seorang
pembaca berita biasa. Secara tegas, Boyd menggariskan kategori mutu
news
anchor:
berotoritas,
berkredibilitas,
hangat,
berkepribadian,
profesional, memiliki suara yang baik dan jelas, serta saja wajah yang enak
dipandang. Lebih daripada itu, kontrol emosi pun juga cukup diperhitungkan.
Dari terminologi tersebut, tampak dominasi kekayaan rohaniah yang perlu
dimiliki seorang news anchor. Kepribadian yang kuat, otoritas, pengalaman,
dan
kharisma,
dibentuk
bukan
cuma
jenjang
pendidikan.
Namun,
pengalaman pekerjaan dan pergaulan menjadi bekal yang sangat berharga.
Pribadi-pribadi yang hangat, ramah, memiliki kontrol emosi yang baik,
juga merupakan keharusan. Meski news anchor r ada di garis depan,
perannya tetap perlu mendapar dukungan penuh segenap kru lainnya. Di
belakangnya, ada produser, pengarah acara, pengarah teknik, hingga kru
master control dan studio, yang perlu sangat dekat. Sehingga ada rongga
saling mengisi yang tersisa. News anchor bukanlah fgur super, tapi bagian
dari tim juga. Dari sana kedekatan kerja setim, mesti pula ditunjukan oleh
pengendali berita ini.
Pada akhirnya, kehangatan dan keramahan itu pun mesti dijalin juga
dengan pemirsa, yang justru hanya diperantai lensa kamera studio. Garisgaris senyum jadi aksesoris yang lebih berharga dibandingkan polesan tata
rias. Karenanya, penampilan ramah namun berwibawa pun perlu digulirkan.
Tujuannya, agar wajah yang good looking itu akan membias secara alamiah.
syaiful HALIM
Page 7
Tentang suara yang perlu good microphone voice itu pun merupakan
modal penting lainnya. Karena di samping wajah, suara adalah jajanan
utama. Hal ini berkait dengan syarat komunikasi seorang news anchor yang
bukan
cuma
menampilkan
informasi,
tapi
adalah
mempresentasikan
informasi itu sendiri. Beberapa teknik membaca berita memang disinggung
Boyd, yaitu; menyangkut kecepatan membaca kata per kata, pengaturan
pernapasan pada jeda-jeda kalimat, proyeksi, dan emphasis. Kecepatan
membaca atau bertutur, untuk ukuran televisi dibatasi pada jumlah kata 140
hingga160 per menitnya.
Di luar kategori itu, Boyd menjelaskan, news anchor adalah fgur yang
disiapkan menampilkan sesuatu yang beda. Perbedaan mencolok dalam
menyajikan materi informasi, di samping mengenal framing materi dengan
baik, adalah rumusan yang telah disinggung di atas, yaitu: “informasi +
presentasi = komunikasi”.
Teknik presentasi itu memang bisa dipelajari lewat lembaga-lembaga
pendidikan pertelevisian. Namun, seperti di awal tulisan Boyd yang
mengedepankan sisi bakat, maka hasil pendidikan hanya medium untuk
pembentukan. Utamanya, bakat itu sendiri telah ada. Karenanya, lewat
tempaan yang bagaimana pun bagusnya, bila modal bakat ini sedikit, maka
bisa diduga hasilnya.
Khususnya tentang penyampaian materi ini, Paul Clevand (Assigment
Manager ABC News, London) menambahkan, “In a word, an anchor has to
have believability. The viewer has to believe what he is saying and that he
understands its signifinance”.
Dengan segala kategori dan konsep news anchor yang dibuat oleh
Andrew Boyd di atas, tampaknya kita telah memiliki sedikit acuan tentang
keberadaan fgur wajah-wajah di garis sepan layar kaca ini. Kembali pada
tudingan soal gaya wawancara Riza Primadi yang introgatif itu, tentu kita
syaiful HALIM
Page 8
bisa mengasumsikannya sebagai upaya memperlihatkan pribadi-pribadi
seperti yang digariskan Boyd. Di samping, untuk menggali terus rasa ingin
tahunya, membentuk tingkat kredibilitasnya, sekaligus memperlihatkan
kecerdasannya,
serta
menggali
ketajaman
masalah
sebagai
syarat
positioning program yang dibawakannya.
Namun,
penilaian
ini
pun
relatif
adanya.
Karena,
juri
yang
sesungguhnya memang mutlak pemirsa juga. Pemirsa berhak menilai apa
saja. Termasuk, meninggalkan program dan pindah ke saluran lain. Karena,
harus diyakini, sebagaian besar pemirsa kita, masih terlalu risi dengan suatu
inovasi. Bahkan, news anchor sekelas Larry King sekali pun.[]
TABLOID CITRA No. 344/VII/28 Okt. – 03 Nov. 1996
syaiful HALIM
Page 9