BAB II KERANGKA TEORI - Variasi Eksperensial Teks Translasional Mangupa Bahasa Mandailing – Inggris

BAB II KERANGKA TEORI

2.1 Pendahuluan

  Pendahuluan (Translation Studies) merupakan sebuah disiplin ilmu yang multidisipliner. Penerjemahan berkaitan dengan/dan memrlukan kontribusi berbagai subdisiplin ilmu linguistik seperti semantik, sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, kontrastif linguistik, kognitif linguistik, dan dengan disiplin lain seperti filsafat, rekayasa bahasa (language engineering), studi kebudayaan dan kesusasteraan (Hatim dan Munday, 2004:8). Oleh karena itu penelitian ini tidak dapat didasarkan pada satu teori saja akan tetapi pada sejumlah teori (eclectic) yang saling terkait dan mendukung.

  Bahasa adalah bagian dari budaya. Ketika seorang penutur menggunakan bahasa sebagai sarana interaksi dengan penutur lain, sebagai sarana penyampai pikiran, gagasan, dan perasaan, ciri-ciri budaya penutur selalu terrefleksi dalam bahasanya. Oleh karena itu penelaahan bahasa apapun tidak akan memadai tanpa melihat budaya yang melatarbelakangi bahasa tersebut. Bahasa digunakan dalam konteks. Bentuk dan makna bahasa yang sedang digunakan ditentukan oleh konteks. Sebagai contoh, dalam konteks yang tidak formal bahasa yang dipakai pun bahasa tidak resmi dan sebaliknya bila konteksnya formal pentur akan menggunakan bahasa resmi atau formal. Kajian tentang relevansi bahasa dengan konteks: konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi juga perlu dilakukan untuk membantu upaya penerjemahan.

  Penerjemahan sebagai sebuah disiplin, yang merupakan sub-disiplin linguistik terapan (applied linguistic) tentu saja memiliki teori, metode, dan teknik. Teori, metode dan teknik apa yang akan diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan sebuah teks ditentukan oleh tujuan penerjemahan yang telah ditetapkan perlu pula dilakukan sebelum penerjemahan dimulai.

2.2 Teori Linguistik Systemic Fungsional (LSF)

  Teori – teori yang dipilih sebagai pemandu dalam pengkajian ini meliputi teori konsep penerjemahan, penerjemahan teks Mangupa, ekuivalensi dalam penerjemahan, konseptual translastic, tiga metafungsi Halliday, makna pengalaman dan sekilas tentang klausa. Setiap teori tersebut akan disajikan pada bagian – bagian berikut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah LSF yang dikemukakan oleh Halliday. Penggunaan LSF dalam bahasa Indonesia didasarkan pada rujukan teks berbahasa Indonesia Sinar (2003, 2008, 2010) dalam bukunya” Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik Fungsional” dan Saragih (2006; 2007) dalam bukunya “Bahasa dalam konteks Sosial : Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana”.

  LSF dikembangkan oleh M.A.K. Halliday, pakar linguistik dunia dari Inggris ( yang kini tinggal di Australia), dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kajian. J.R. Martin, pakar linguistik dari Kanada mengembangkan dan memperkaya teori LSF dengan teori lanjutan, seperti teori genre dengan bahasa kajian bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, teori LSF telah diterapkan ke berbagai bahasa dalam mengkaji (suatu) aspek kebahasaan dalam berbagai bentuk, seperti maklah, tesis, dan disertasi. Aplikasi seperti itu telah dilakukan dalam bahasa Arab, Hindi, Jepang, Latin, Mandarin, Persia, Portugis , Prancis, Rusia, Spanyol, Swedia, Tagalog, dan Yunani. Sejumlah penelitian mengenai bahasa Indonesia berdasarkan teori LSF juga telah dilakukan. Namun, buku mengenai teori LSF secara utuh atau keseluruhan dalam dan dengan bahasa percontohan bahasa Indonesia belum dilakukan.

  Aliran LSF yang diperkenalkan oleh Prof. M.A.K. Halliday dari Universitas Sydney, Australia, teorinya ini muncul dari gabungan teori antropologi Malinowski dan linguist J.R. Firth di Eropa yang sekaligus merupakan dosen Halliday di Universitas London. Halliday mengembangkan dua teori tersebut dengan menghubungkan bahasa dan konteks. Menurut Halliday (1978), bahasa adalah sistem arti, sistem bentuk, dan ekspresi. Hubungan arti dan ekspresinya adalah semantik yang direalisasikan dengan tata bahasa, Selanjutnya, tata bahasa diekspresikan fonologi (dalam bahasa lisan) atau grafologi (dalam bahasa tulisan). Hubungan antara arti dan bentuk adalah alamiah dan berkonstrual dengan konteks sosial. Dengan kata lain, konteks sosial menentukan dan ditentukan oleh teks. Dalam hal ini, teks dibatasi sebagai unit bahasa, unit arti atau unit semantik yang fungsional dalam konteks sosial. Jadi teks bukanlah merupakan unit tata bahasa (seperti kata, frasa, klausa, paragraf, dan naskah).

  Dengan demikian, dalam satu konteks soal tertentu hanya teks tertentu saja yang dapat dihasilkan. Sebaliknya, dalam teks tertentu hanya konteks sosial tertentu yang dapat dirujuk. Konteks pemakaian bahasa dibatasi sebagai sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian bahasa.

  Dengan pengertian fungsional, konteks linguistik mengacu pada unit linguistik yang mendampingi satu unit yang sedang dibicarakan. Contoh pada klausa: Carrisa ingin . berangkat nanti malam. Unit Carissa ingin....nanti malam merupakan konteks bagi unit berangkat ketika seseorang membicarakan kata

  

berangkat itu. Konteks linguistik adalah konteks internal karena berada di dalam

dan merupakan bagian dari teks yang dibicarakan.

  Sedangkan konteks sosial adalah pemakaian bahasa dinterpretasikan berdasarkan konteks atau segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakaian bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa terdiri dari atas

  situasi (register), budaya (culture), dan ideologi (ideology) (Martin, 1985).

  Konteks situasi mengacu pada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode) of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti (1) medan, yakni apa---what yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat, yakni siapa----who yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) sarana, yakni bagaimana----how interkasi dilakukan. Konteks budaya dibatasi sebagai aktivias sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Konteks budaya meliputi tiga hal yaitu (1) batasan kemungkinan tiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial.

  Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dala satu interkasi sosial. Dengan batasan ini, ideologi merupakan konsep atau gambar ideal yang diinginkan dan diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi (Saragih, 2006:6).

  Bila melihat dari segi relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa teori fungsional ini berpijak pada konteks sosial dalam penganalisaan bahasa, tata bahasa yang berdasarkan LSF relevan untuk semua bidang yang terkait dengan pemakaian bahasa. Dalam berbagai bidang kegiatan, bidang, dan disiplin ilmu, bahasa memegang peran penting. Karena tujuan pemakaian bahasa menentukan tata bahasa tertentu. Peran LSF adalah mengeksplorasi dan mendeskripsi tata bahasa itu. Walaupun pemakaian bahasa sangat luas, kerelevanan tata bahasa berdasarkan LSF secara spesifik menurut Halliday (1994:xxix) mencakup beberapa hal, seperti : a) memahami hakiki dan fungsi bahasa, b) memahami hakiki persamaan atau perbedaan sejumlah bahasa, c) Memahami perubahan bahasa dalam kurun tertentu, d) memahami perkembangan bahasa dan perkembangan bahasa manusia umunya, dsb.

2.3 Translasi

  Translasi adalah istilah lain dari penerjemahan. Ada beberapa fenomena translasi(onal) baik secara intrinsik, teramati, dan terukur. Dari berbagai referensi dalam kajian translasi baik yang tersurat maupun tersirat pemakaian dan pengertian translasi (translation), Munday mengartikan translasi adalah peralihan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk teks tulis .....as changing of an original written text in the original verbal language into a written text in a different verbal language. (Munday, 2001:5). Berdasarkan definisi translasi tersebut, terlihat adanya kesepakatan bahwa translasi adalah suatu pekerjaan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu kesamaan, yakni adanya ekuivalensi. Dalam penerjemahan, yang kemudian terjadi adalah transfer makna dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target language) dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan produk ( Nababan 2008).

  Selain memperlakukan translasi sebagai proses Tou (2008), Savory (1968:13), Nida dan Taber (1969:12), Newmark (1988:32), Hurtmann dan Stork (1972;713), Wilss (1982:112), Larson (1984:3), dan Papegaajj dan Schubert (1988:11) juga berpandangan bahwa translasi berkaitan dengan bahasa (sandi semiotik verbal atau kebahasaan), bukan dengan nonbahasa (sandi semiotik nonverbal atau nonkebahasaan). Dalam hal ini translasi secara hakiki dipandang sebagai persoalan fenomena kebahasaan. (Savory menggunakan ungkapan “verbal expressions” untuk mempresentasikan bahasa). Sebagian pengkaji translasi memaknai translasi dalam arti ini dan berdalil bahwa kajian/ teori translasi apapun harus mengacu pada kajian/teori bahasa.

  Nida dan Taber (1982:12) mendefinisikan penerjemahan “Reproducing in

  

the receptor language that natural equivalent of the source language massage,

first in term of meaning and second in term of style ”. Artinya, penerjemahan

  adalah mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam BSu ke dalam BSa dengan menggunakan padanan yang wajar dan terdekat baik dari segi makna maupun gaya bahasa. Oleh karena itu, suatu hasil terjemahan ideal mampu dipahami dengan mudah dan terasa seperti TSa bukan hasil terjemahan karena penggunaan gaya bahasa yang equivalen (sepadan) dengan gaya Bsa. Untuk mendapatkan equivalensi makna antara BSu dan BSa, Nida menawarkan teknik penambahan atau pengurangan informasi yang kemudian dikenal dengan istilah gain and loss in translation.

  Dari ungkapan Nida di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

  

pertama, menurut Nida, penambahan informasi dalam penerjemahan diperlukan

  ketika adanya ambiguitas makna pada BSa, jika tidak diberikan informasi tambahan dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman pembaca dalam memaknai TSu. Kedua, Penambahan informasi juga dibutuhkan mengingat pergeseran bentuk dan perubahan kelas kata untuk menghindari misinterpretasi yang disebabkan oleh perbedaan signifikan gramatika kedua bahasa. Ketiga, amplikasi (penjelasan) yang juga merupakan penambahan informasi diperlukan untuk mengungkapkan makna implicit TSu menjadi makna eksplicit. Akan tetapi, disisi lain pengurangan dalam penerjemahan juga terkadang diperlukan untuk menghindari pemborosan dan kekakuan bahasa. Menerjemahkan dua bahasa atau lebih yang perbedaanya tergolong signifikan, tentulah bukan hal yang mudah. Apalagi tidak ada kesepadanan yang mendekati seratus persen persis sama. Oleh karena itu, padanan tidak hanya berada pada tataran formal saja tetapi juga pada tataran informal yang mengkaji makna yang tersembunyi di balik TSu. Bell (1991: 6) menyatakan penerjemahan sebagai peralihan (replacement)

  

presentasi satu teks dalam satu bahasa dengan satu representasi teks yang

sepadan dalam bahasa yang kedua . Strauss (1998) menyebut kesepadan ini

  dengan” an accurate and readable rendition,” Artinya , tujuan utama penerjemahan adalah menghadirkan suatu pesan secara akurat kepada pembaca bahasa sasaran.Ia mengutip Herbert M. Wofl yang menyatakan bahwa tujuan penerjemahan yang baik adalah “ to provide an accurate , and readable rendition

  of the original that will capture as much of the meaning as possible,” Artinya,

  tujuan utama penerjemahan adalah memberikan teks terjemahan yang akurat dan mudah terbaca seperti aslinya dengan menyampaikan makna yang ada secara maksimal Pembaca sasaran menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan penerjemahan. Teks terjemahan harus menghadirkan makna secara utuh dengan bentuk kebahasaan yang mudah dipahami oleh pembaca sasaran. Untuk itu, seorang penerjemah harus memahami betul makna yang terkandung dalam teks asli dan memahami cara untuk menyampaikan makna itu untuk pembaca sasaran.

  Dengan demikian, teks asli memiliki otoritas mutlak yang maknanya harus dihadirkan secara utuh dalam teks sasaran. Pandangan diatas agak berbeda dengan dengan persfektif kaum fungsionalis yang lebih mengedepankan tujuan dari penerjemahan. Menurut mereka teks terjemahan yang tidak sejalan dengan tujuan yang diinginkan oleh pemangku kepentingan yang terlibat dinyatakan sebagai produk terjemahan yang gagal.

  Nord (1997: 89-90) memberikan persyaratan pokok yang harus dipenuhi penerjemah untuk dapat menghasilkan ekuivalen antara teks sumber dan teks sasaran. Persyaratan tersebut meliputi :

1) Penafsiran penerjemah harus sama dengan “maksud” pengarang.

  2) Penerjemahan harus dapat mengungkapkan maksud pengarang dengan sedemikian rupa hingga teks sasaran dapat mencapai fungsi yang sama dalam budaya sasaran sebagaimana pencapaian teks asli dalam budaya sumber.

  3) Pembaca sasaran harus memahami dunia teks terjemahan sebagaimana pembaca teks sumber memahami dunia teks asli.

  4) Efek yang ditimbulkan oleh teks sasaran terhadap pembaca sasaran harus sepadan dengan efek yang diakibatkan oleh teks asli terhadap pembacanya. Dari persyaratan di atas, tampak lebih jelas lagi “titik idealis” dari pandangan Nord. Kriteria dan persyaratan itu agaknya dapat diberlakukan dalam semua jenis pekerjaan penerjemahan, bukan hanya dalam penerjemahan teks

  Mangupa saja. Tetapi kriteria dan persyaratan “ kesempurnaan” karya terjemahan

  yang diungkapkan Nord di atas tentu saja tidak harus dipenuhi secara mutlak oleh praktisi penerjemahan. Tentunya, ada perioritas yang mesti dipentingkan dan elemen suplemen yang dapat dikesmpingkan untuk sementara dalam penerjemahan teks mangupa. Tindakan semacam ini tidaklah mengurangi “pemenuhan fungsi” seorang penerjemah sebagai satu tahap awal untuk mencapai pemenuhan tugas “secara maksimal”.

  Didalam penerjemahan, seorang penerjemah harus memahami makna teks secara keseluruhan dan menghadirkannya dalam bahasa lain secara utuh pula.” Keutuhan” dalam hal ini tentu saja tidak akan tercapai secara mutlak karena “ pemindahan makna dari teks sumber ke teks sasaran selalu menimbulkan “translation loss”, sebagaimana ungkapan Harvey dan Higgins (1992-24),” the

  transfer of meaning from ST (source text) to TT (target text) is necessarily subject to a certain degree of translation loss; that is, a TT will always lack certain

culturally relevant features that are present in the ST.” Pandangan ini

  dimaksudkan agar penerjemah tidak bekerja keras untuk membela padanan sempurna yang tidak realistis, melainkan menerima situasi tersebut yang memang kadang tidak terhindahkan, dan berupaya meminimalkan derajat kehilangan itu. Penerjemah tidak akan mungkin menghadirkan makna teks secara sempurna disebabkan adanya kesenjangan elemen – elemen kebahasaan dan budaya diantara bahasa – bahasa yang ada. Terkadang prosedur adaptasi harus dilakukan, dengan mengubah sama sekali kebahasaan yang tersurat dalam bahasa sumber. Langkah ini merupakan pilihan jalan yang harus ditempuh ketika seorang penerjemah berhadapan dengan situasi atau konsep yang diusung dalam pesan bahasa sumber yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya yang menjadi konteks bahasa sasaran (Hatim dan Munday, 2004; 151). Ia kemudian mengkreasikan satu situasi yang dianggap sebagai padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai padanan situasional. Hal ini dapat kita lihat pada judul film, novel, atau buku – buku. Damono (2008; 04) menyatakan bahwa penerjemahan memiliki spektrum yang luas dan menempatkan penerjemah pada dua kutub opsi yang sangat berbeda satu sama lain. Di satu sisi, penerjemah dapat memilih untuk berupaya menghasilkan karya yang sama persis dengan aslinya. Di sisi lain, penerjemah dapat menjadi kegiatan kreatif yang dinamis. Sebagai pedoman dalam pemadanan dan pengubahan, kita dapat memanfaatkan konsep dinamika penerjemahan oleh Newmark (1988). Menurut beliau, sebuah teks yang akan diterjemahkan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis, sebelum dialihkan, Newmark (1988: 4) menggambarkan proses penerjemahan suatu bahasa seperti berikut :

  1 Penulis teks

  5 Hubungan dalam Bahasa Sasaran

  2 Norma Bahasa Sumber

  6 Norma Bahasa Sasaran TEKS

  3 Budaya Bahasa Sumber

  7 Budaya Bahasa Sasaran

  4 Latar dan Tradisi Bahasa Sumber

  8 Latar dan Tradisi Bahasa Sasaran

  9 Penerjemah ( Newmark, 1988 :4) Gambar : 2. 3

9 Kebenaran (fakta atau substansi masalah)

2.4 Ekuivalensi dalam Penerjemahan

  Ekuivalensi lazim digunakan sebagai parameter yang digunakan dalam menilai kualitas sebuah teks terjemahan. Ekuivalensi atau padanan mengacu pada kesetaraan pesan/makna antara teks sumber dan teks sasaran. Beberapa ahli menagajukan konsep yang beragam mengenai ekuivalensi tersebut akan dibahas satu per satu pada bagian ini. Konsep pertama datang dari Catford dengan gagasan ‘kesetaraan formal’ dan ‘padanan tekstualnya’.

  Catford (1965:20) memandang pekerjaan penerjemah hanyalah sekedar ‘mengganti’ makna dari satu bahasa (bahasa sumber) dengan makna pada bahasa yang lain (bahasa sasaran), yang dapat berfungsi sepadan pada situasi yang berlaku. Menurutnya, target tersebut dapat dilakukan dengan persamaan formal (formal corresspondence) atau padanan tekstual (tekstual equivalence). Artinya ekuivalensi dalam penerjemahan merujuk pada persamaan makna antara teks sumber dan teks sasaran yang harus dapat berfungsi pada situasi yang serupa (Catford,1965: 27).

  Persamaan bentuk merupakan bentuk representasi dari makna teks sumber yang teramat patuh pada bentuk lingual dalam bahasa sumber. Kategori bentuk dari TL sama persis dengan SL (misalnya kata kerja SL diterjemahkan dengan verba dalam TL. Padanan ini merupakan bentuk kepatuhan secara menyeluruh baik secara maknawi maupun lingual. Sebaliknya padanan tekstual tidak terlalu takluk pada bentuk, tetapi lebih kepada ekspresi yang dianggap sepadan dalam situasi tertentu. Catford (1965: 49) menyebut padanan tekstual ini dengan kriteria, “ interchangeable in a given situation”. Artinya, kedua bentuk lingual sebuah teks (dalam SL dan TL) secara umum dapat saling menggantikan dalam situasi tertentu sebagai konteks. Kategori padanan yang mengingatkan kita pada prosedur adaptasi yang menghasilkan “ situated equivalence” (Hatim dan Munday : 2004).

  Teks terjemahan diciptakan dalam bingkai kondisi yang berlainan dengan bentuk – bentuk tulisan yang lebih bebas. Penerjemah harus berhadapan dan mengatasi sejumlah masalah yang tidak didapati dalam penulisan teks secara umum. Bingkai pembatas itu terkait dengan keharusan untuk menyelaraskan kode bahasa, nilai budaya , dunia dan persepsi tentangnya, gaya dan estetika, dan sebagainya (Hatim dan Munday, 2004:46).

  Koller (dalam Hatim, 2001:27) memandang padanan sebagai proses yang dibatasi oleh pengaruh perbedaan bahasa, non –bahasa serta lingkungan/situasi antara SL/TL dan juga peran kondisi sejarah – budaya yang menjadi konteks penciptaan teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua teks itu sampai ke pembaca. Relasi – relasi yang sepadan (equivalen) bersifat relatif terhadap ‘ikatan ganda’, pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak penerima. Satuan – satuan linguistik-tekstual dikatakan sepadan apabila sejalan dengan unsur – unsur teks sumber dilihat dari ‘kerangka - kerangka padanan’.

  Sejalan dengan konsep tersebut, Koller dalam (Hatim, 2001:28) merumuskan ”kerangka padanan” dan menyatakan bahwa padanan terjemahan dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut :

  a) Kata- kata BSu dan BSa memilki fitur ortografis dan fonologis yang serupa (padanan formal).

  b) Kata – kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama (padanan referensial/ denotatif). c) Kata – kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif) d)

  Kata – kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau serupa pada masing – masing bahasa (padanan tekstual – normatif).

  e) Kata – kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing – masing pembaca dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik).

2.5 Variasi Makna Teks : sekilas Konsepsi Translasi berbasis Translatics

  Teks dimaknai oleh Halliday dan Hasan (1985,Tou:1992:14) sebagai kumpulan makna – makna yang diungkapkan/dikodekkan dalam kata – kata dan struktur. Ia adalah suatu proses dan hasil dari makna sosial dalam konteks situasi tertentu (ibid:15). Fenomena tersebut digambarkan secara rinci demikian.

  Konteks situasi, tempat teks itu terbentang, dipadatkan dalam teks, bukan dengan

  cara berangsur – angsur, bukan pula dengan cara mekanis yang ekstrim, tetapi melalui sesuatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di satu pihak, dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (1985: 15-16)”. Dari pengertian di atas, teks selalu hadir dalam variabel – variabel yang menentukan bentuk kehadirannya. Teks selalu ditentukan oleh konteks situasi yang berujud medan, pelibat, dan sarana, serta situasi sosial sebagai konteks budaya yang lebih besar lagi. Teks dalam hal ini merangkul teks sebagai teks yang ditulis oleh seorang pengarang dengan panduan pemikirannya, dan juga teks terjemahan yang kreasinya dipandu oleh teks sumber sebagai acuan.

  Dalam perspektif yang demikian, Tou (2008:28) merangkum variabel – variabel yang menentukan wujudiah teks, yang meliputi semiotika konotatif (religi, ideologi, budaya, dan situasi) dan semiotika denotatif (wujud ekspresi baik verbal/nonverbal). Dengan banyaknya variabel – variabel yang mengikat kehadiran teks, amat sulit dua teks dapat hadir dengan makna yang sepadan tanpa mengalami transformasi apapun, terlepas dari berapapun besaran derajad skalanya, variasi atau perubahan akan menjadi keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam praktik pengugkapan makna melalui sistem semiotika.

  Adanya sifat plastis dari makna pesan verbal, proses penerjemahan menjadi sangat relatif terhadap berbagai variabel yang melingkupi teks bahasa sumber dan juga faktor yang mengelilingi teks sasaran, termasuk pembaca tujuan yang dicanangkan sebagai target dalam proses tersebut. Keplastisan atau potensi perubahan dalam proses penerjemahan juga diungkapkan oleh Al-Zoubi dan Al- Hassnawi (2003:1) yang melihat perubahan itu sebagai “peralihan/ perubahan”(shift). Mereka berpandangan bahwa dalam praktiknya, penerjemah berhadapan dengan “a plethora of linguistic, stylistics and even cultural problems”. Dengan permasalahan (variabel) kebahasaan, stilistika, dan juga budaya, tindak penerjemahan selalu berada dalam kontinum kemungkinan yang akan menyebabkan sejumlah peralihan (shift) nilai – nilai linguistik, estetik dan intelektual dari teks sumber. Mereka kemudian mendefinisikan apa itu”peralihan” (shift) sebagai:

  

All the mandatory actions of the translator (those dictated by the structural

discrepancies between the two language systems involved in this process) and the

  

optional ones (those dictated by the his personal and stylistic preferences) to

which he resorts conciously for the purpose of natural and communicative renditionof an SL text into another language (Al- Zoubi & Al-Hassnawi,2003:1).

  Mereka memandang peralihan sebagai “mandatory actions” (tindakan wajib) yang dilakukan oleh penerjemah untuk mencapai tujuan penerjemahan yang luwes dan komunikatif dikarenakan oleh perbedaan sistem bahasa dan karena pilihan pribadi dan stilistika penerjemah.

  Dengan mengacu pada kerelativan teks seperti di atas, kajian ini akan bertumpu pada konsep “variasi” yang bermaksud dilawankan dengan konsep padanan (equivalence) yang selama ini selalu menjadi wacana dominan dalam kajian penerjemahan, meskipun pada kenyataannya padanan sendiri masih ‘kontroversial’ , yang antara lain dibuktikan dengan berbagai sebutan padanan seperti ekuivalen dinamik, ekuivalen situasi, ekuivalen komunikasi, ekuivalen

  

semantik dan sebagainya. Sebutan padanan yang sangat variatif itu sebenarnya

  sebuah klaim tidak langsung terhadap konsep lawannya, yakni variasi. Apabila dikaitkan dengan kerangka kesepadanan Koller yang membagi kerangka padanan menjadi lima, setiap padanan yang dapat dicapai pada satu kerangka,kemungkinan besar membuka variasi pada keempat kerangka yang lain. Misalnya, ketika pencipta teks 2 mewujudkan padanan formal dari teks satu, maka sangat mungkin bahwa padanan itu tidak sepadan (bervariasi) pada aspek referensial, konotatif, tekstual-normatif, dan pada aspek pragmatiknya. Demikian halnya, dengan pencapaian sebuah padanan lain, yang cendrung akan mengorbankan keempat padanan yang lain lagi, atau bervariasi pada keempat aspek lainnya.

2.6 Penerjemahan Teks Mangupa

  Teks Mangupa sebagai teks budaya klasik memiliki banyak istilah/ungkapan budaya yang memerlukan perhatian khusus.

  Perbedaan antara bentuk (form) bahasa dan makna (meaning) dapat lebih jelas terlihat berdasarkan asumsi bahwa terdiri lapis bentuk (surface structure) dan lapis makna (deep structure). Menurut Larson (1984: 3) pekerjaan penerjemahan mencakup pemahaman kosakata, struktur gramatika, situasi komunikasi dan konteks budaya bahasa sumber untuk menentukan maknanya dan selanjutnya makna tersebut direkonstruksi dengan menggunakan kosakata dan struktur gramatika yang sesuai dalam bahasa dan konteks budaya bahasa sasaran. Jadi sebuah penerjemahan tidak semata-mata memfokuskan perhatian pada ketepatan makna saja tetapi juga harus memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut. Pandangan ini sangat sejalan dengan pandangan teori LSF yang melihat bahasa sebagai suatu entitas yang terikat dengan konteks situasi dan konteks budaya seperti disebutkan terdahulu. Beliau juga mengatakan bahwa tidak mudah secara konsisten melakukan penerjemahan idiomatik. Kadang- kadang sebuah ujaran dapat diterjemahkan secara ideomatik tetapi kadang-kadang sebuah ujaran hanya dapat diterjemahkan secara harfiah/literal ke dalam bahasa sasaran. Namun seorang penerjemah harus tetap berusaha untuk menghasilkan sebuah terjemahan idiomatik. Sebuah terjemahan yang berhasil menurut Larson (1984: 23) adalah bila pembaca bahasa sasaran tidak mengetahui/merasakan bahwa teks yang sedang dibacanya adalah sebuah terjemahan.

   Mangupa adalah sebuah upacara tradisional formal dan terinstitusi dalam masyarakat Mandailing yang bertujuan terutama untuk memberikan nasihat perkawinan kepada kedua mempelai. Upacara Mangupa dilakukan di ruang adat oleh datu pangupa, perangkat dalihan na tolu, kedua mempelai dan khalayak lain. Teks Mangupa disampaikan secara lisan dalam bentuk monolog dan dalam suasana bersemuka.Teks ini merupakan teks eksplanasi yang menyampaikan penjelasan fenomena secara berurutan. Menurut Lubis (2009), ideologi utama yang mendasari teks Mangupa adalah harapan akan kekuatan jasmani dan rohani, keutuhan dan keabadian perkawinan dan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan kedua mempelai. Teks Mangupa diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris pada tahun 2009 oleh Syahron Lubis. Metode mentransfer makna teks sumber ke dalam teks sasaran untuk mencapai penerjemahan yang akurat, terbaca dan berterima, ditemukan memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti afiksasi, kemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronomina, struktur frasa, pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufemisme. Juga ditemukan bahwa masyarakat Mandailing dan Inggris berbeda luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Disebabkan perbedaan struktur kedua bahasa, menerjemahkan frasa, kata majemuk dan kalimat dari teks sumber kedalam teks sasaran menghadapi masalah. Subjek kalimat, jumlah dan konjungsi yang sering implisit dalam teks sumber juga menyebabkan masalah penerjemahan.Pemakaian banyak kata arkais juga membuat kesulitan penerjemahan dan karena bahasa Mandailing tidak memiliki

  

kala (keterangan waktu), hal itu juga menyebabkan masalah penerjemahan ke

dalam bahasa Inggris yang memiliki keterangan waktu.

  Adanya perbedaan budaya di antara masyarakat Mandailing dan Inggris mengakibatkan timbulnya sejumlah istilah dan ungkapan budaya Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris dan oleh karena itu kata-kata tersebut harus dipinjam (tidak diterjemahkan) dengan memberikan penjelasan makna pada glosarium. Beberapa kata memiliki padanan tetapi nuansa budaya yang melekat pada kata-kata tersebut tidak dapat ditransfer ke dalam bahasa Inggris dan maknanya juga harus dijelaskan pada glosarium. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Mangupa anak dan menantu yang baru nikah merupakan puncak upacara adat dalam semua runtunan upacara adat dalam pernikahan, disamping itu juga upacara Mangupa dapat dilakukan pada acara syukuran seseorang yang baru sembuh dari penyakit, acara wisuda dan acara – acara syukuran lainnya, yang hingga sekarang masih tetap dijunjung tinggi serta diagungkan oleh masyarakat Batak khusunya di Tapanuli Selatan.

  Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa Mangupa itu adalah suatu manifestasi, suatu pernyataan kegembiraan serta kebanggaan hati terhadap yang diupa dengan jalan memberikan mereka sajian berupa makanan menurut ketentuan adat sambil menyampaikan pasu – pasu (doa restu) dan nasehat – nasehat sebagai pedoman hidup mereka serta kata – kata untuk mengkuatkan tondi mereka. Sasaran utama dalam mangupa adalah tondi. Tondi artinya roh atau

  

jiwa. Roh dan jiwa adalah sesuatu yang abstrak. Roh adalah ciptaan Yang Maha

Kuasa yang meniupkannya kedalam jasad manusia supaya dapat hidup.

  Di dalam adat, khusus dalam upacara Mangupa, justru tondi inilah yang selalu dimohonkan, agar tetap bersatu dan berpadu dengan badan seseorang. Ada ungkapan dalam adat yang menyatakan :

HORAS TONDI MADINGIN, PIR TONDI MATOGU

  Yang artinya: Agar tondi seseorang selalu dalam keadaan horas yaitu selamat dan nyaman bersemayam dalam diri dan semoga tondi kokoh dan kuat mengahadapi semua tantangan. Pada umumnya struktur Mangupa terdiri dari 4 tingkatan tata – tertib, yang pada masa sekarang, khusus di perantauan tidak dindahkan orang lagi, yaitu:

  1. Tahi harajaon (musyawarah adat) bila hadir raja – raja torbing balok dan raja panusunan, artinya bila upacara adat mangupa itu berlandaskan nabontar.

  2. Mempersembahkan sekapur sirih kepada yang akan diupa.

  3. Memberikan doa restu dan nasehat – nasehat kepada yang diupa.

  4. Menyise (membaca) arti dari bahan – bahan pangupaan.

2.7 Tiga Metafungsi Bahasa (Halliday, 1985, 1994, dan 2004)

  

Halliday memandang bahasa sebagai sumber untuk mengungkapkan

  makna. Bahasa merupakan sistem makna, yang dilengkapi dengan bentuk – bentuk yang digunakan untuk mewujudkan makna itu. Teorinya yang dikenal dengan Systemic Functional Linguitics (LSF) tidak lain adalah teori makna sebagai pilihan. Dengan teori ini, bahasa ataupun sistem semiotika lain dapat diinterpretasikan sebagai jaringan pilihan yang saling mengkait. Bahasa sendiri merupakan perangkat bagi ‘semiotic reality’ untuk hadir . Bahasa, dengan demikian, bukan sekadar memperhatikan realitas, tetapi sebagai kendaraan bagi kehadiran realitas itu sendiri sebagai makna yang dikandungnya. Kata (wordings) dengan demikian perangkat untuk ’mengada’ bagi reaalitas. Dengan kata lain bahasa adalah sistem semantik, sistem makna yang mengejawantah melalui kata – kata. Sistem makna ini mencakup butir – butir leksikal kosakata dan juga tatabahasa yang mengatur kata – kata itu agar dapat berfungsi untuk mewujudkan realitas (makna) sebagai tugas pokoknya (Halliday, 1985, 1994, dan 2004). Realitas tersebut menyangkut semua pengalaman yang dapat diserap pikiran manusia. Melalui kata realitas itu dikemas, disusun, diorganisasikan, dan dibagikan atau disimpan sendiri dalam memori yang tersembunyi dalam simbol- simbol bahasa. Mengutip Hjelmslev, Hasan (2009; 2) meringkas fenomena tersebut dengan ungkapan “the world to be put in the word” untuk menjelaskan bahwa pengalaman sebagai substansi menguntungkan keberadaannya pada bentuk, yakni bahasa, dan pengalaman manusia hanya bisa hidup dalam bahasa itu.

  Artinya teori sistemik bahasa ini merupakan teori pilihan pada makna dan menjadi sarana untuk menafsirkn serangkaian pilihan – pilihan pengungkapan makna dalam bentuk teks. Karena sifat sistematiknya, teori ini melandaskan analisisnya pada perspektif semiotika sosial, yang memandang bahasa selalu hadir sebagai teks. Teks bukanlah semata – mata bentuk kata atau kalimat. Ketika kita menyusun teks, bukanlah kata – kata kalimat yang menjadi fokus kita, melainkan makna yang ingin kita hadirkan melaluinya. Jadi wujud kata dan kalimat itu ditentukan oleh makna – makna yang menjadi sentral dari teks itu. “Teks itu harus dikodekan dalam sesuatu untuk dikomunikasikan ; tetapi sebagai sesuatu yang mandiri, teks itu pada dasarya adalah satuan makna “(Halliday & Hasan,1985:14).

  Dengan demikian, teks dapat dianggap sebagai sebuah satuan semantik. Dan pengaturan dan pilihan kata – kata dalam sebuah teks sebagai sumber semantic bertujuan untuk mengungkapkan tiga makna metafungsional sebagai komponen fundamental dari makna bahasa. Ketiga metafungsi makna itu adalah makna ‘ ideasional’ atau reflektif, makna ‘interpersonal’ atau aktif, dan kombinasi keduanya, makna tekstual, yang menjalinkan relevansi bagi kedua makna sebelumnya.

  Untuk lebih jelasnya metafungsi yang telah disebutkan di atas maka kita dapat menjelaskanya satu per satu yaitu:

1. Makna ideasional merujuk pada teori pengalaman manusia, a theory

  of human experience, yakni bahwa makna ini memandang bahasa

  sebagai wujud representasi pengalaman manusia baik terhadap dunia eksternalnya maupun mikrokosmisdalamalam bathiniahdan pikirannya (Halliday & Matthiessen, 2004:29-30). Karenanya, makna ini terbentuk atas dua komponen makna eksperiensial dan makna logis.

  Makna atau fungsi bahasa ideasional tidak lain merujuk pada muatan fungsi bahasa sebagai ekspresi dan aktivitas dan fenomena – fenomena yang ada dalam lingkungan kehidupan manusia. Perwujudan makna ini tertuang secara primer pada satuan gramatikal klausa. Klausa dalam mengemban fungsi pengalamannya mewujudkan diri sebagai kendaraan untuk mewakili pola – pola realitas. Melalui bahasa, dalam hal ini klausa, manusia membangun gambaran mental atau konseptual mengenai realitas. Mekanisme ini berjalan sebagai sarana untuk memahami apa yang berlangsung baik yang ada dalam dirinya maupun di luar dirinya. Dimensi realitas sebagai pengalaman mencakup segala sesuatu yang tertangkap dengan inderanya dan juga abstraksi, emosi, alur berpikir yang semuanya berlangsung dalam dirinya sendiri (Halliday, 1994:106).

  2. Makna Interpersonal membelah fungsi bahasa sebagai bentuk interaksi, atau proses berbagi. Bahasa selalu hadir bukan hanya sebagai simbol realitas, tetapi selalu terikatpada pesona sumber, baik penutur maupun penulis, dengan pesona penerima, pendengar ataupun pembaca. Tidak satu tekspun yang hadir tanpa melalui sumber, dan teks tidak akan menjadi teks ketika teks itu hanya diciptakan tanpa pembaca yang menjadi target. Mudahnya, makna interpersonal ini mengangkat bahasa wujud komunikasi, yang lebih bersifat interaktif dan personal.

  Makna antar-personal bahasa berhubungan dengan berbagai interaksi antar-individu yang dilakukan melalui bahasa, seperti memberi dan meminta informasi, menawarkan sesuatu, mengungkapkan keraguan, ataupun menyampaikan pertanyaan. Makna ini merupakan makna tindak bahasa yang ditujukan pada orang lain.

  3. Sementara Makna/fungsi tekstual bahasa berfokus pada bahasa sebagai sistem pengungkap kedua makna sebelumnya. Fungsi ini merujuk pada bahasa sebagai bentuk yang mewakili makna, baik ideasional maupun interpersonal. Orang yang ingin mengungkap tempat terindah, kemudian menyusun fonem atau ortografi,”surga”. Ketika orang lain mendengar dan tidak yakin dengan apa yang didengar, ia akan dapat mengungkapkan interpersonalitas sekaligus ideasionalitasnya, dengan mewujudkan dalam pertanyaan, surga?”. Di sini jelas bahwa tindak bertanya itu mewujudkan ‘keinginan’ pribadi untuk memperoleh informasi. Wujud ideasionalnya muncul dari kata “surga” yang merupakan representasi dari konsep yang disepakati komunitas yang berbahasa Indonesia. Fungsi tekstual ini menjadi sarana bagaimana mewujudkan makna – makna secara efektif dan efisiensi melalui sistem bahasa.

  Secara sederhana realisasi tiga metafungsi dalam tataran tatabahasa digambarkan dalam tabel 1, yang memperlihatkan metafungsi keempat, logis, yang berwujud sistem rekursif dan cenderung diterangkan dalam bahasa melalui metafungsi pengalaman. Karena asosiasinya secara sistemik dan struktural dengan makna pengalaman itulah, Halliday menyatukan metafungsi pengalaman dan logika dalam satu wadah, makna ideasional (Martin,1992:13).

  Komponen metafungsi bahasa ideasional, interpersonal, dan tekstual merepresentasikan organisasi bahasa dan hidup di dalam sistem semantik, leksikogramatika, dan fonologi/grafologi bahasa. Sistem semantik terdiri atas makna dalam teks, sedangkan sistem leksikogramtika terdiri atas pengkataan dalam sintaksis, morfologi, dan leksis, dan sitem fonologi/grafologi terdiri atas bunyi/tulisan dalam fonem/ grafem atau bunyi/huruf. Tata bahasa beroperasi melalui nosi klausa dengan 3 set pilihan – pilihan dibuat untuk menciptakan

  

klausa . Pilihan – pilihan tersebut dibuat oleh pencipta klausa melalui pilihan

  transitivitas, taksis, tema, dan modus. Sistem transitivitas, taksis, modus, dan tema direalisasikan dalam hubungan ideasional, tekstual dan interpersonal. Fungsi ideasional terdiri dari fungsi eksperensial dan logis direalisasikan oleh sistem klausa transitivitas dan fungsi logis direalisaskan oleh sistem klausa kompleks yaitu sistem taksis. Sementara itu fungsi tekstual direalisasikan dengan sistem tema-rema dan fungsi interpersonal direalisasikan dengan sistem modus.

  Transitivitas Taksis

  Klausa Tema

  Modus Gambar 2.7

  Perangkat Pilihan dalam Klausa Dalam tatabahasa Tradisional (TBT) kalimat, frasa dan kata adalah unit bahasa tulis sedangkan dalam tatabahasa sistemik fungsional (TLSF) klausa, grup dan kata adalah unit bahasa tulis dan lisan. TLSF berbicara tentang klausa dan klausa kompleks daripada mengenai kalimat. Kalimat adalah unit bahasa tulis, bukan diterapkan kepada bahasa lisan.

  Bila orang bicara, dia tidak bicara dalam kalimat (tidak kapital dan titik). Jika mentranskripsikan bahan bahasa dari rekaman video, orang menulis pesan direalisasikan secara gramatikal dalam klausa-klausa kompleks. Istilah ini dapat diterapkan baik kepada bahasa lisan maupun tulis.Itulah sebabnya TLSF cendrung menggunakan istilah klausa. Klausa didefinisikan sebagai unit gramatikal yang terbesar, dan klausa kompleks terdiri atas 2 atau lebih klausa yang berhubungan secara logika. Sebagai contoh:

  • merajuk. Teks di atas adalah 1 kalimat (diawali huruf besar dan diakhiri titik), namun secara unit gramatika terdiri atas 3 klausa seperti :

  Ibu mengajak ayah ke pesta, tetapi ayah menolaknya akibatnya ibu

  Ibu mengajak ayah ke pesta tetapi ayah menolaknya Klausa ini disebut Klausa Kompleks akibatnya ibu merajuk.

2.8 Makna Pengalaman

  Bahasa menjadi alat manusia untuk membangun konsep mengenai realitas dalam pikirannya. Manusia kemudian dapat memahami apa yang berlangsung di dalam dan di luar dirinya. Makna pengalaman sebagai bagian dari makna ideasional, bagaimana bahasa mewujudkan pengalaman tentang dunia maupun tentang dunia mikro dalam pikiran dan perasaan kita. Pengalaman – pengalaman itu kemudian diorganisasikan oleh manusia secara abstrak dalam pikirannya, dan kemudian mengejawantah dalam bentuk verbal. Tatabahasa memisahkan kedua jenis pengalaman itu; pengalaman luar yang berupa proses – proses dan aktivitas dunia luar , dan pengalaman dalam (bathin)-proses kesadaran (Halliday,1994;107). Proses luar dikategorikan sebagai proses material, yang merangkum segala kegiatan atau peristiwa yang dapat diobservasi oleh indera. Proses material mengacu pada proses atau aktivitas yang teramati, dan merupakan pengalaman ekternal bagi kesadaran manusia. Kalau proses relasional adalah proses of being dan having.Proses ini dalam bahasa Inggris direalisasikan dengan verba be dan selalu memiliki dua (2) partisipan tersebut.

  Proses relasi terbagi menjadi dua : atributif dan identifikasi (identifying). Proses relasi atributif adalah satu proses relasi yang memperlihatkan hubungan satu entitas, carrier dan characters/sifat yang melekatinya, mencakup sifat, klasifikasi atau properti deskriptifnya.yang disebut sebagai atribut. Proses relasi atributif adalah proses yang diwujudkan dengan “be” atau sinonimny dalam bahasa Inggris, yang fungsinya adalah untuk menunjukkan dua hal.

  Proses behavioral adalah proses perilaku yang mengkombinasikan prilaku fisiologi dan psikologi, gabungan antar proses mental dan material seperti breathing, couching, smiling , dreaming , dan staring. Partisipan utama proses ini disebut dengan petingkah laku, dan partisipan tambahannya dinamakan behaviour.

  Sebagai contoh dari proses behavioral sebagai berikut yang tertuang dalam bentuk tabel di bawah ini : Tabel 1

  Behaviour

  Hafiz Tertawa Petingkah laku Proses Behavioral Reysha Menangis Petingkah laku Proses Behavioral Disamping itu ada juga yang namanya Eksistensial lebih menekankan pada informasi mengenai keberadaan sesuatu. Proses ini hanya menyebutkan sisi ‘keberadaan” dari sebuah fenomena. Yang bisa berarti ‘ada’ atau ‘terjadi’. Proses ini merupakan bagian dari proses ‘being’ yang sekelas dengan proses attributif , dengan verba predikatif yang bersifat non-aksi ,berbeda dengan proses – proses yang lain. Sebagai contoh dapat kita lihat pada :

  Tabel 2

  Eksistensial

  Ada bayangan cahaya di kegelapan Existential Existential Sirkumstan There Are Guards along the night

  Proses Existential Eksistensial Circumstance Model pengalaman, sebagaimana tertafsirkan melalui sistem gramatikal transitivitas, merupakan salah satu wilayah dalam ruang yang kontinyu. Dengan analogi warna, tata bahasa mengungkapkan pengalaman seperti peta warna. Begitu juga dengan pengalaman manusia, masing – masing area warna itu dimetaforiskan sebagai kategori proses, yang masing – masing berkesinambungan membentuk lingkaran kategori proses, lihat gambar 1 (Halliday, 2004:172,1994: 108). Tampak disana, tiga proses utama yang dimaksud adalah proses material, mental, dan relasional, yang dibatasi oleh tiga jenis proses minor, verbal, eksistensial, dan prilaku (behavioral). Dalam tiap proses besar itu, terdapat sub kategori yang lebih kecil, seakan menjadi berkas – berkas warna dari tipe proses pokok tersebut. Proses material menerangkan proses doing, happening, dan

  

creating . Proses mental meliputi proses seeing, thingking, dan feeling. Terakhir,

proses relasional mewadahi proses attributive, identifying dan symbolizing. relational existential Having

  Having attribute identity existing symbo lizing verbal Happening

  World of abstract saying (being relations (being) saying created)

  (doing) (sensing) physical world of Creating thinking

world cons

changing material

  Doing (to) feeling acting seeing behaving mental behavioural

  Gambar : 2.8 Lingkaran Kategori Proses ( Halliday : 1994: 108) Penelitian ini hanya berfokus pada klausa – klausa yang mengalami pergeseran kategori makna pengalaman, sebagai fokus kajian dan mengkaji kemunculan variasi yang dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap kesetiaan makna dalam penerjemahan. Lingkaran proses Halliday tersebut digunakan sebagai sandaran untuk menilai tingkat variasi proses. Selain itu, penilaian juga didasarkan pada penambahan dan atau pengurangan unsur makna klausa yang meliputi partisipan, proses, dan sirkumstan yang diuraikan pada bagian Makna Pengalaman di atas. Sebagai contoh :

  Tabel 3

  Rangkuman Proses dan Partisipan Terkait

  No Proses Partisipan Partisipan komplemen Utama

  1 Material Actor Goal

  2 Mental Senser Phenomenon

  3 Relasional Carrier/token Attribute/value

  4 Verbal Sayer Verbiage

  5 Behavioral Behaver Behavior

  • 6 Existent Logikanya, ketika ada variasi pengemasan, tentu berimplikasi pada perubahan makna yang disampaikan, sebagaimana diungkapkan oleh Cloran (2000: 154), “Speaker contrue (interpret) experiential meaning and construct

  

interpersonal meaning simultaneously and cohesively by means of the facilitative

textual resources .” Ketika orang berbicara ia menyampaikan (menafsirkan) makna

  pengalaman dan sekaligus membangun makna pengalaman secara kohesif melalui sarana – sarana sumber tekstual.

  

Halliday mengkategorikan proses itu menjadi 6 proses besar material