Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris

(1)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM

PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

TESIS

Oleh

DIAN FAZDILAH NASUTION

097009007/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011

S

EK

O L A

H P

A S

C

A S A R JA N


(2)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM

PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIAN FAZDILAH NASUTION

097009007/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

Judul Tesis : PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN

BORU DALAM PERKAWINAN ADAT

MANDAILING DARI BAHASA MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

Nama Mahasiswa : Dian Fazdilah Nasution

Nomor Pokok : 097009007

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Syahron Lubis, M.A) (Dr. Muhizar Muchtar, M.S)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A, P.hD) (Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 23 Juni 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Syahron Lubis, M.A Anggota : 1. Dr. Muhizar Muchtar, M.S

2. Dr. Roswita Silalahi, M.Hum 3. Dr. Asmyta Surbakti, M.Si


(5)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. Tesis ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing. Kedua, untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks yang terikat dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data penelitian ini adalah teks marpokat haroan boru ini tertulis dalam BM (bahasa Mandailing) dan berbentuk prosa (21 paragraf) dan pantun (2 pantun). Data yang terdiri dari percakapan antara suhut, dan dalihan na tolu dalam marpokat haroan

boru dalam perkawinan adat Mandailing diambil dari buku yang ditulis oleh H.

Pandapotan Nasution yang diterbitkan tahun 2005 oleh FORKALA Prov. Sumatera Utara sebagai sumber data. Penelitian ini menekankan pada penerjemahan makna bukan bentuk. Sebelum proses penerjemahan dilakukan, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk kedua bahasa (Mandailing dan Inggris) yaitu analisis kontrastif dan kajian lintas budaya, hal ini dilakukan untuk mengetahui sistem kelinguistikan dan budaya kedua bahasa. Ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaannya seperti sistem pronominal, struktur frasa, pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufimisme. Juga ditemukan perbedaan yang luas pada budaya kedua bahasa meliputi agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Teks ini menerapkan beberapa teknik penerjemahan diantaranya diantaranya teknik penambahan, pengurangan, penyetaraan struktural, generalisasi, penerjemahan makna, penerjemahan literal dan parfrasa. Penerjemahan teks ini melalui beberapa proses tahapan yaitu analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf ke dua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir.

Kata Kunci: Penerjemahan Teks, Marpokat Haroan Boru, Perkawinan Adat Mandailing.


(6)

TRANSLATION OF TEXT MARPOKAT HAROAN BORU IN MANDAILING CULTURE MARRIAGE FROM MANDAILING LANGUAGE

TO ENGLISH LANGUAGE

ABSTRACT

The title of this thesis is “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. This study is conducted for two main purposes. First, to know the process and the translation of text of Marpokat Haroan Boru in Mandailing culture. Second, to apply appropiate techniques for the cultural text. The data of the descriptive-kualitative study is a written text of Marpokat Haroan Boru ceremony in Mandailing language, comprising 22 paragraphs and 2 verses. The data is taken from Adat Budaya Mandailing written by H. Pandapotan Nasution published in 2005 by FORKALA Prov. Sumatera Utara. This study emphasizes translation based on meaning, not literally. Before translation is done, firstly the researcher approaches the text by Contrastive analysis and Cross cultural analysis. This is aimed at finding out the differences of lingustic system and cultural aspects of Mandailing and English. It has been found out that Mandailingnese and English have more differences in linguistic structure such as, system of pronoun, structure of phrase, sentences patterns, meaning components, polysemy, synonymy and antonymy, specific and generic meaning, metaphor, idiom and euphemism. It has also been found out that Mandailingnese society and English society differ greatly in some cultural aspects such as religion and belief, family and marriage, type of society, gender and social manners. In translating the text, some translation techniques such as addition, omission, paraphrase, generalization, meaning translation, literal translation are apllied. The translation process of this text goes through several stages, analyzing text structure, transferring the meaning, writing first draft, analyzing the first draft and writing the second draft, evaluating the second draft, writing the third draft, reevaluating and writing the final draft.

Keywords: Translation of Text, Marpokat Haroan Boru, Mandailing Culture Marriage.


(7)

KATA PENGANTAR

Tesis ini berjudul Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam

Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Humaniora pada Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penelitian sebagai bahan rujukan penelitian teks selanjutnya khususnya yang berhubungan dengan teks-teks dalam bahasa Mandailing. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pakar dan pendidik bahasa dalam hal memperkaya khasanah kepustakaan linguistik bahasa Mandailing sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia. Serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam rangka upaya pembinaan dan pelestarian bahasa daerah.

Seandainya ada kesalahan maupun kekurangan dalam penulisan tesis ini, penulis mengharapkan masukan maupun saran yang konstruktif dari pembaca demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, 23 Juni 2011


(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari tesis ini tidak akan terwujud seperti ini tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, dengan tulus dan sepenuh hati penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada kedua orang tua penulis H. Drs. Ruslan Nasution dan Hj. Hafni Mutiara yang telah mendukung dan mendoakan hingga selesainya tesis ini.

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan dan arahan dari Pembimbing I, Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A dan Pembimbing II, Bapak Dr. Muhizar Muchtar, M.S. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih, semoga jasa baik tersebut menjadi amal ibadah sepanjang hayat.

Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun material dalam menyelesaikan teisi ini, terutama kepada Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc, (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku Direktur Sekolah Pascasarjana. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A, Ph.D dan Dr. Nurlela, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Selanjutnya kepada seluruh Dosen yang tidak bisa disebutkan satu persatu Program Studi Linguistik USU yang telah membekali ilmunya kepada penulis sejak


(9)

duduk di bangku kuliah hingga selesai tesis ini, terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan semoga menjadi amal ibadah. Tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf administrasi Sekolah Pascasarjana USU yang telah membantu dalam penyelesaian administrasi hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan, Mahasiswa/i Sekolah Pascasarjana angkatan 2009/2010, sungguh hari-hari yang menyenangkan bersama dalam menuntut ilmu di sini. Semoga Allah tetap mempersatukan kita dalam kasih sayang.

Akhir kata terima kasih penulis ucapkan untuk Adik-adikku tercinta Dewina Nasution, S.Psi, Akhmad Bajora dan Fauziah Nami Nasution, terima kasih atas dukungan dan kasih sayang kalian, semoga kita menjadi orang-orang yang sukses. Teristimewa Angga Ikranegara, S.IP yang telah mendukung penulis dalam berbagai keadaan untuk menyelesaikan studi dan tesis ini, semoga Allah meridhoi amal ibadah kita.

Medan, 23 Juni 2011 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Dian Fazdilah Nasution Tempat/Tgl Lahir : Medan, 10 Maret, 1987 Jenis kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah Berat/Tinggi Badan : 165 cm / 65 kg Kebangsaan : Indonesia Agama : Islam

Alamat Rumah : Jalan Antariksa Gg. Pipa III No. 11 C Karang Sari Polonia Medan (20157)

No. HP : 081283067890

Hobi : Mendengarkan musik, jalan-jalan, membaca, renang E-mail : dianfadh@yahoo.com

Prinsip hidup : Be Your Self being Confidence

Pendidikan Formal

2008 – 2011 Universitas Sumatera Utara (Magister Humaniora) Medan, 2004 – 2008 Universitas Sumatera Utara (Sastra Inggris), Medan 2001 – 2004 SMAN 1 Kota Langsa, NAD

1998 – 2001 SMPN 3 Kota Langsa, NAD

1992 – 1998 SDN 1 Kebun Baru, Kota Langsa, NAD Seminar and Workshop

1. Seminar Hasil Penelitian “Penerjemahan teks Marpokat Haroan Boru dalam perkawinan adat Mandaling dalam bahasa Mandailing ke dalam bahasa Inggris” sebagai Pemakalah/Pembicara (April, 2011).


(11)

2. International Seminar and Workshop “New method in teaching English as a foreign language” (March, 2011).

3. International Seminar on Translation and Other Neighboring Linguistic Disciplines (March, 2011).

4. International Conference on Translation and Multiculturalism “Found In Translation” (July, 2010).

5. Seminar Nasional “Penerjemahan” (Mei, 2010).

6. Selection of Youth Exchange Program by Purna Caraka Muda Indonesia (March, 2008).

7. International Seminar on Language Teaching and Translation in Functional Settings (May, 2011).


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK………. i

ABSTRACT……… ii

KATA PENGANTAR……… iii

UCAPAN TERIMA KASIH………. iv

RIWAYAT HIDUP……… vi

DAFTAR ISI………. vii

DAFTAR GAMBAR………. x

DAFTAR LAMPIRAN……….. xi

BAB I. PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang……… 1

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah……….. 6

1.3 Tujuan Penelitian……… 6

1.4 Manfaat Penelitian………. 7

BAB II. KAJIAN PUSTAKA………. 8

2.1 Bahasa, Budaya dalam Terjemahan……… 11

2.2 Bahasa (Teks dan Konteks) Menurut Halliday………….. 16

2.3 Analisis Kontrastif……….. 20

2.4 Kajian Lintas Budaya………. 37

2.5 Teori Penerjemahan……… 51

2.6 Proses Penerjemahan……….. 62

BAB III. METODE PENELITIAN……….. 68

3.1 Pendekatan………. 68

3.2 Data dan Sumber Data……… 69

3.3 Prosedur Penerjemahan……….. 70

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………. 76

4.1 Hasil……… 76

4.2 Proses Penerjemahan……….. 80

4.3 Analisis Struktur Teks……… 84


(13)

BAB V. PENUTUP………. 118

5.1 Simpulan………. 118

5.2 Saran………... 120


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Teks dan Konteks Sosial……… 17

2.2. Proses Penerjemahan………. 64

2.3. Proses Terjemahan………. 67


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Glosarium (Bahasa Indonesia)……….. 124 2. Glossary (English Version)……… 127 3. Surat Pernyataan……… 130


(16)

PENERJEMAHAN TEKS MARPOKAT HAROAN BORU DALAM PERKAWINAN ADAT MANDAILING DARI BAHASA

MANDAILING KE DALAM BAHASA INGGRIS

ABSTRAK

Tesis ini berjudul “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan Adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. Tesis ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing. Kedua, untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks yang terikat dengan budaya. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data penelitian ini adalah teks marpokat haroan boru ini tertulis dalam BM (bahasa Mandailing) dan berbentuk prosa (21 paragraf) dan pantun (2 pantun). Data yang terdiri dari percakapan antara suhut, dan dalihan na tolu dalam marpokat haroan

boru dalam perkawinan adat Mandailing diambil dari buku yang ditulis oleh H.

Pandapotan Nasution yang diterbitkan tahun 2005 oleh FORKALA Prov. Sumatera Utara sebagai sumber data. Penelitian ini menekankan pada penerjemahan makna bukan bentuk. Sebelum proses penerjemahan dilakukan, peneliti melakukan pendekatan terlebih dahulu untuk kedua bahasa (Mandailing dan Inggris) yaitu analisis kontrastif dan kajian lintas budaya, hal ini dilakukan untuk mengetahui sistem kelinguistikan dan budaya kedua bahasa. Ditemukan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaannya seperti sistem pronominal, struktur frasa, pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufimisme. Juga ditemukan perbedaan yang luas pada budaya kedua bahasa meliputi agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Teks ini menerapkan beberapa teknik penerjemahan diantaranya diantaranya teknik penambahan, pengurangan, penyetaraan struktural, generalisasi, penerjemahan makna, penerjemahan literal dan parfrasa. Penerjemahan teks ini melalui beberapa proses tahapan yaitu analisis struktur teks, transfer, penulisan draf pertama, analisis draf pertama dan penulisan draf ke dua, evaluasi draf kedua, penulisan draf ketiga, reevaluasi dan penulisan draf akhir.

Kata Kunci: Penerjemahan Teks, Marpokat Haroan Boru, Perkawinan Adat Mandailing.


(17)

TRANSLATION OF TEXT MARPOKAT HAROAN BORU IN MANDAILING CULTURE MARRIAGE FROM MANDAILING LANGUAGE

TO ENGLISH LANGUAGE

ABSTRACT

The title of this thesis is “Penerjemahan Teks Marpokat Haroan Boru dalam Perkawinan adat Mandailing dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris”. This study is conducted for two main purposes. First, to know the process and the translation of text of Marpokat Haroan Boru in Mandailing culture. Second, to apply appropiate techniques for the cultural text. The data of the descriptive-kualitative study is a written text of Marpokat Haroan Boru ceremony in Mandailing language, comprising 22 paragraphs and 2 verses. The data is taken from Adat Budaya Mandailing written by H. Pandapotan Nasution published in 2005 by FORKALA Prov. Sumatera Utara. This study emphasizes translation based on meaning, not literally. Before translation is done, firstly the researcher approaches the text by Contrastive analysis and Cross cultural analysis. This is aimed at finding out the differences of lingustic system and cultural aspects of Mandailing and English. It has been found out that Mandailingnese and English have more differences in linguistic structure such as, system of pronoun, structure of phrase, sentences patterns, meaning components, polysemy, synonymy and antonymy, specific and generic meaning, metaphor, idiom and euphemism. It has also been found out that Mandailingnese society and English society differ greatly in some cultural aspects such as religion and belief, family and marriage, type of society, gender and social manners. In translating the text, some translation techniques such as addition, omission, paraphrase, generalization, meaning translation, literal translation are apllied. The translation process of this text goes through several stages, analyzing text structure, transferring the meaning, writing first draft, analyzing the first draft and writing the second draft, evaluating the second draft, writing the third draft, reevaluating and writing the final draft.

Keywords: Translation of Text, Marpokat Haroan Boru, Mandailing Culture Marriage.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Melihat perkembangan berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan, terjemahan memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Bagaimana tidak, bahasa yang digunakan oleh masyarakat di suatu kelompok tertentu pastilah berbeda dengan kelompok masyarakat di belahan bumi lainnya. Di sinilah peran penting terjemahan untuk mentransfer ilmu pengetahuan tersebut ke berbagai bahasa di dunia, sehingga seluruh manusia di bumi ini mengetahui dan memahami temuan ilmu pengetahuan tersebut. Penerjemahan sangat penting untuk proses tukar menukar informasi dan hasil temuan. Tanpa penerjemahan, para calon ilmuwan atau mungkin bahkan para ilmuwan akan ketinggalan, tidak dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, apalagi mereka kurang mampu membaca dalam bahasa asing. Oleh sebab itu Hatim & Munday (2004) dalam bukunya Translation: an Advanced Resource Book mengatakan “begitu besar pengaruh sebuah karya terjemahan terhadap kehidupan manusia”.

Terjemahan bukan hanya sekedar menerjemahkan makna pada kata, kalimat, frasa maupun paragraf dari bahasa sumber (BSur) ke dalam bahasa sasaran (BSar) tetapi dalam prosesnya seorang penerjemah harus mampu mempertimbangkan faktor budaya yang ada di dalam sebuah bahasa. Terjemahan merupakan kegiatan lintas budaya (inter-cultural communication) yang sudah ada sejak dahulu dan dipraktekkan


(19)

manusia. Seperti yang diungkapkan oleh Newmark (1988: 7): “Translation has been instrumental in transmitting culture…ever since countries and languages have been in contact with each other”. Berbagai contoh dapat dikemukakan mengenai budaya yang mempengaruhi terjemahan. Orang Inggris akan menyebutkan Biscuits, Football,

Mummy, Rounders, and Sweets sherbet lemons sementara di Amerika mereka akan

menyebutnya Cookies, Soccer, Mommy, Baseball and Lemon Drops. Karena latar belakang budaya, ada beberapa konsep budaya di Barat yang tidak dikenal di budaya Timur atau sebaliknya. Misalnya tradisi masyarakat Batak yang menganjurkan kepada pengantin baru agar mempunyai banyak anak diungkapkan dengan peribahasa

Maranak sappulu onom, Marboru sappulu pitu (beranak laki-laki 16 orang dan

beranak perempuan 17 orang), tidak dikenal di budaya Barat. Perlu diketahui bahwa tidak semua bahasa dapat diterjemahkan dengan mudah seperti contoh di atas terjemahan tradisi/budaya atau ungkapan sebaiknya diikuti oleh penjelasan singkat keadaan sosial masyarakat tertentu, sehingga pembaca mudah memahaminya.

Menerjemahkan sebuah karya tidaklah mudah. Ini merupakan hal yang sulit bagi seorang penerjemah. Menurut Muchtar (2010: 2) “Budaya penerjemah akan mempengaruhi hasil translasi, khususnya struktur translasinya, itulah sebabnya ditemukan bahwa suatu ide yang sama tidak akan terealisasikan ke dalam struktur, khususnya tema yang sama dalam dalam bahasa yang berbeda”. Oleh sebab itulah penerjemah dituntut untuk kreatif dalam mencari padanan kata yang memiliki makna yang sama dengan BSurnya. Seorang penerjemah harus selalu memperdalam pengetahuannya mengenai kaedah atau tata BSur dan BSar serta menambah khasanah


(20)

perbendaharaan kata, padanan kata, kemiripan makna dll. Thatit Manon Andini (2007: 4) mengatakan “As a means of communication, the translation should be accurate, clear and natural and also should be there sameness in meaning, paralellism in form”. Namun perlu diingat bahwa tidak ada terjemahan yang sempurna, “ideal” atau “baik” (Newmark, 1988: 6).

Penerjemahan adalah sebuah proses pemindahan makna teks atau berita dari BSur ke BSar dengan stilistika dan konteks bahasa yang digunakan. Banyak kegiatan penerjemahan yang bisa dilakukan seperti menerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan, majalah, ensiklopedia, interpreting, kontrak jual beli, buku-buku kedokteran, hukum dan brosur pariwisata, naskah-naskah tua/sejarah, dan kegiatan lainnya. Melalui terjemahan kekayaan budaya Indonesia diperkenalkan kepada bangsa-bangsa lain yang pada gilirannya mampu menarik minat wisatawan manca negara untuk mengunjungi Indonesia. Sekali lagi dengan terjemahan mampu meningkatkan perekonomian negara dan mendorong perkembangan sektor pariwisata.

Indonesia dikenal sebagai negara multikultural dan multilingual karena dikenal dengan kekayaan dan keberagaman budayanya yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain. Sumatera Utara, salah satu provinsi terbesar di Indonesia. Terdiri dari berbagai suku dan etnis yang masih mempertahankan budaya tradisional. Salah satunya adalah suku Mandailing yang mendiami wilayah bagian Timur dari mulai Tapanuli Selatan (Padang Sidempuan) hingga Mandailing Natal (Panyabungan). Masyarakat Mandailing masih memegang teguh dan menjalankan adat istiadat dalam


(21)

kehidupan sehari-hari. Dalam masyarakat Mandailing ada beberapa peristiwa yang selalu diikuti dengan upacara adat tradisional, antara lain: memasuki rumah baru, kelahiran anak, perkawinan dan kematian. Acara-acara ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: upacara yang bersifat kegembiraan disebut dengan siriaon dan upacara yang bersifat kemalangan disebut siluluton (Nasution, 2005: 441). Upacara perkawinan dalam masyarakat Mandailing dilaksanakan dengan serangkaian upacara adat baik di rumah pengantin wanita (boru na ni oli) maupun pengantin pria (bayo

pangoli). Perhelatan perkawinan adat Mandailing berlangsung dengan sederet

upacara adat yaitu Mangaririt boru (menyelidiki keadaan perempuan sebagai calon isteri oleh pihak calon suami), Padamos hata (penentuan hari peminangan), Patobang

hata (upacara peminangan), Manulak sere (penyerahan kewajiban/syarat-syarat

perkawinan dari pihak calon suami), Upacara perkawinan, Mangalehan mangan

pamunan (memberi makan terakhir kepada calon isteri oleh orang tuanya sebelum

meninggalkan rumah orangtuanya), Horja pabuat boru (upacara pelepasan pengantin wanita), Horja (perhelatan perkawinan di rumah pengantin pria), dan Mangupa (upacara pemberian nasihat-nasihat perkawinan) (Nasution, 2005: 279-419).

Horja/Perhelatan perkawinan di rumah pengantin pria berlangsung dengan

sederet upacara adat yang tidak jauh berbeda dengan upacara adat perkawinan di rumah pengantin wanita. Diawali dari Marpokat haroan boru (mufakat menyambut pengantin wanita), Mangalo-alo boru (mengarak-arak pengantin keliling kampung), Pataon raja-raja adat (undangan kepada raja-raja), Panaek gondang (memasak santan sebelum gendang ditabuh pertama kalinya), kemudian barulah tiba


(22)

puncak upacara adat Mata ni horja, yaitu sebuah perhelatan besar upacara perkawinan di mana raja-raja dan dalihan na tolu akan manortor dan markobar (Nasution, 2005: 357-372).

Seperti yang telah dijelaskan di atas ada beberapa tahap dalam perkawinan adat Mandailing. Namun dalam penelitian ini peneliti hanya akan memfokuskan pada tahap horja haroan boru, tepatnya pada saat marpokat haroan boru. Marpokat

haroan boru adalah upacara adat di rumah orangtua bayo pangoli, di sini keluarga

mengundang sanak famili beserta dalihan na tolu (kahanggi, mora, dan anakboru) bermufakat untuk persiapan menjemput dan menerima boru na ni oli.

Teks marpokat haroan boru inilah sebagai kajiaan penelitian yang akan peneliti terjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Teks ini sangat terikat dengan budaya dan memiliki banyak ungkapan budaya yang menarik. Teks marpokat haroan boru ini bisa dikatakan sebagai teks budaya. Teks budaya itu sendiri menurut Wikipedia adalah naskah atau bahan tertulis yang mencerminkan suatu cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat atau orang yang berkembang dan diwariskan dari generasi ke generasi, terbentuk dari banyak unsur yang rumit, diantaranya sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Tidak mudah menerjemahkan teks yang terikat dengan budaya, perlu kesabaran, ketelitian, kepiawaian dan waktu luang untuk menerjemahkannya. Dengan diterjemahkannya teks ini kedalam bahasa Inggris, sebagai bahasa internasional di dunia, Tentunya peneliti berharap penelitian ini (hasil terjemahan) dapat dibaca


(23)

dan dipahami oleh seluruh pembaca di dunia bukan hanya penutur asli Mandailing, sehingga mereka memahami sedikit bahagian budaya dari suku Mandailing. Meskipun terjemahan/penerjemahan telah banyak memberi manfaat bagi manusia, pada kenyataannya di Indonesia khususnya Sumatera Utara terjemahan belum diminati sebanyak kajian-kajian interdisipliner lain. Padahal keberadaan kajian terjemahan mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap percepatan kemajuan suatu negara dan kelancaran komunikasi lintas budaya (Lubis, 2009: 2).

1.2 Batasan dan Rumusan Masalah

Penelitian ini dibatasi hanya pada teks percakapan marpokat haroan boru (bermufakat menerima kedatangan pengantin wanita di rumah pengantin pria) dalam perkawinan adat Mandailing yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Berdasarkan batasan di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah proses penerjemahan teks marpokat haroan boru dalam bahasa Mandailing ke dalam bahasa Inggris?

2. Teknik penerjemahan apa yang diterapkan untuk menerjemahkan teks tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini menelaah masalah yang muncul dalam proses penerjemahan teks budaya tradisional Mandailing. Sehingga penelitian ini bertujuan:


(24)

1. Untuk mengetahui proses dan hasil terjemahan dari teks percakapan marpokat

haroan boru dalam perkawinan adat Mandailing.

2. Untuk mengetahui dan menerapkan teknik terjemahan yang tepat pada teks budaya.

1.4 Manfaat Penelitian Teoritis:

1. Memperkaya khasanah penerjemahan dan terjemahan teks budaya.

2. Membuktikan teori yang menyatakan bahwa penerjemahan teks budaya selalu menghadapi banyak masalah.

Praktis:

1. Melengkapi tugas akhir (tesis) pada Sekolah Pascasarjana Program Linguistik konsentrasi Terjemahan.

2. Menambah pengalaman penulis sebagai Mahasiswa Magister Program Linguistik konsentrasi Terjemahan.

3. Memperkenalkan dan mempopulerkan salah satu teks masyarakat Mandailing kepada khalayak luas termasuk untuk tujuan peningkatan daya tarik wisatawan mancanegara terhadap budaya Indonesia.

4. Melestarikan teks budaya Mandailing yang mulai terkikis oleh perkembangan zaman dan pengaruh budaya lain.

5. Memperoleh terjemahan teks marpokat haroan boru budaya Mandailing kedalam bahasa Inggris yang akurat, dapat dipahami dan berterima.


(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian pustaka dimaksudkan untuk memberikan gambaran atau batasan tentang teori-teori yang dipakai sebagai landasan teori. Teori yang melandasi kajian terjemahan bahasa Mandailing-Inggris ini tidaklah bersifat tunggal tetapi plural dan bersifat eklektik. Ekletik bermaksud kajian ini menganut berbagai konsep acuan dan didasarkan atas berbagai teori sepanjang konsep dan teori tersebut memiliki relevansi terhadap substansi kajian. Pluralitas teori yang diterapkan tidak bisa dihindari mengingat hakikat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu dan kompleksitas fenomena itu sendiri. Terjemahan adalah bidang ilmu terapan (linguistik terapan) yang kajiannya melibatkan dua bahasa sehingga terjemahan tidak bisa dilepaskan dari konsep-konsep kebahasaan dan teori linguistik secara mikro maupun linguistik bandingan (analisis kontrastif). Pada hakikatnya terjemahan merupakan sebuah makna yang dikomunikasikan dalam BSur ke dalam BSar sesuai dengan makna yang terkandung di dalam BSur.

Sebelum memaparkan teori-teori yang relevan dengan penelitian ini. Terlebih dahulu peneliti telah melakukan kajian pustaka untuk mengetahui apakah sebelumnya penelitian ini sudah pernah dilakukan sebelumnya dan membantu menguatkan teori yang akan digunakan dalam penelitian ini. Disertasi “Penerjemahan Teks Mangupa dari Bahasa Mandailing ke dalam Bahasa Inggris” (2009) ditulis oleh Dr. Syahron Lubis M.A, menerjemahkan teks Mangupa dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa


(26)

Inggris. Dalam prosesnya peneliti menemukan beberapa temuan-temuan penting dimana dikatakan bahwa bahasa Mandailing dan bahasa Inggris memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti afiksasi, pemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronominal, struktur frasa, pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom, dan eufimisme. Dan juga ditemukan beberapa perbedaan yang cukup luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender pemakaian bahasa, dan sopan santun sosial. Hal ini menyebabkan sejumlah istilah dan ungkapan budaya Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris oleh karena itu kata-kata tersebut harus dipinjam (tidak diterjemahkan) dengan memberikan penjelasan makna pada glosarium. Sejumlah teknik penerjemahan telah digunakan untuk menghasilkan terjemahan yang baik diantaranya; transcreation, transformasi, penambahan, penghilangan, pengubahan, penciptaan, parafrase, restrukturisasi, generalisasi, modulasi, spesifikasi, dan penerjemahan harfiah.

“Kesepadanan dan Pergeseran dalam Teks Terjemahan Fiksi Halilian dari Bahasa Angkola ke dalam Bahasa Indonesia” (2010) oleh Rosmawaty, mendeskripsikan tipe kesepadanan makna dan jenis pergeseran makna. Disini ditemukan bahwa akibat adanya kesenjangan bahasa dan budaya, dalam proses pemadanan secara bersamaan terjadi penyesuaian beberapa pergeseran dari sistem linguistik dan sistem kultural (Angkola) ke sistem linguistik dan sistem sosio-kultural (Indonesia). Dua penelitian tadi sangat mendekati penelitian ini dan


(27)

teori-teori yang digunakan juga mendekati. Selain itu objek penelitian juga sama (bahasa Mandailing), sehingga peneliti menggunakannya sebagai konsep acuan kajian pustaka yang relevan.

Penelitian ini menggunakan landasan teori yang relevan dengan penerjemahan/terjemahan. Terjemahan tidak terlepas dari budaya, di mana budaya sangat mempengaruhi hasil dari sebuah terjemahan. Teks tradisional budaya Mandailing yaitu marpokat haroan boru sangat kental dengan budaya dan adat. Sehingga diperlukan sebuah kajian budaya yang relevan dengan terjemahan untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik. Oleh sebab itu penelitian ini meletakkan relevansi budaya terhadap terjemahan sebagai landasan teori yang utama. Kemudian diikuti oleh landasan teori lainnya yang mendukung proses terjemahan teks budaya tradisional ini. Analisis struktur teks (register, genre, dan ideologi), analisis kontrastif, kajian lintas budaya adalah landasan teori yang akan digunakan selanjutnya untuk membantu proses terjemahan teks budaya tradisional ini.

Penguasaan terhadap sistem bahasa sumber dan bahasa sasaran dan penguasaan terhadap ciri linguistik dan teksual kedua bahasa tersebut tidak selalu bisa menjamin seseorang dapat menghasikan terjemahan yang berkualitas. Melainkan dia harus mengetahui cara-cara mengatasi kesulitan-kesulitan masalah yang timbul (Silalahi, 2009: 81). Namun tetap dibutuhkan penguasaan terhadap keduanya.

Analisis struktur teks dilakukan untuk mengetahui jenis teks, ciri-ciri leksikal teks, konteks budaya dan ideologi yang mendasari terjadinya teks tersebut. Analisis kontrastif dilakukan untuk mengungkapkan sejauhmana sistem kelinguistikan BSur


(28)

(bahasa Mandailing) berbeda atau sama dengan sistem kelinguistikan BSar (bahasa Inggris). Setelah perbedaan dan persamaan struktur kedua bahasa teridentifikasi prosedur penerjemahan yang akan digunakan dapat dipersiapkan. Sedangkan kajian lintas budaya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana berbagai istilah dan ungkapan terikat budaya dalam BSur dapat atau tidak dapat ditransfer ke dalam BSar yang dilatarbelakangi budaya lain.

2.1 Bahasa, Budaya dalam Terjemahan

Budaya dibangun dari kesamaan faktor-faktor pembentuk yang disebut dengan komponen kebudayaan. Bahasa merupakan salah satu komponen budaya yang sangat penting. Bahasa merupakan mediasi pikiran, perasaan dan perbuatan. Bahasa menerjemahkan nilai dan norma, skema kognitif manusia, persepsi, sikap dan kepercayaan manusia tentang dunia para pendukungnya (Liliweri, 2001: 120). Bassnett (1998: 13-14) menggambarkan hubungan antara bahasa dan budaya sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan serta menyatakan bahwa bahasa merupakan “the heart within the body of culture” sehingga kelestarian ke dua aspek tersebut saling tergantung satu sama lainnya.

Gagasan yang menyatakan bahwa kandungan budaya tercermin dalam bahasa sudah lama dan sudah banyak diutarakan oleh para pakar seperti Sapir, Boas dan Bloomfield (dalam Yadnya, 2006: 8). Edward Sapir, misalnya, menyatakan bahwa kandungan setiap budaya tidak saja terungkap dalam bahasanya. Boas menunjukkan tidak hanya hubungan timbal balik antara pikiran dan bahasa tetapi juga antara bahasa


(29)

dan adat, antara bahasa dan perilaku etnis serta bahasa dan perubahan-perubahan yang terjadi dalam budaya. Bahkan Bloomfield menekankan bahwa sedemikian kuat hubungan budaya itu terhadap bahasa sehingga kekayaan atau kemiskinan suatu budaya tercermin dalam bahasanya. Sama halnya dengan penampilan fisik seseorang (orang yang satu berbeda dengan orang yang lainnya), begitu juga halnya dengan kebudayaan. Dalam masyarakat yang berbeda orang tidak saja berbicara dengan bahasa dan dialek yang berbeda tetapi mereka juga menggunakan bahasa tersebut dengan cara yang amat berbeda. Perbedaan cara bertutur inilah, mencerminkan nilai-nilai budaya yang berbeda atau paling sedikit tataran nilai-nilai yang berbeda. Pernyataan ini sangat sesuai dengan definisi kebudayaan yang diberikan Newmark (1988: 94) yakni the way of life and its manifestations that are peculiar to a community that uses a particular language as its means of expression”, yang mengisyaratkan bahwa masing-masing grup bahasa (language group) memiliki fitur spesifik sendiri secara budaya.

Suatu konsep dalam bahasa tertentu belum tentu dimiliki oleh bahasa lain seperti misalnya konsep namora natoras dalam bahasa Mandailing tidak akan ditemukan dalam bahasa Inggris. Selain itu tidak jarang konsep yang sama dalam satu bahasa memiliki linguistic sign yang berbeda seperti misalnya konsep “sepak bola” dalam bahasa Inggris (British) football tetapi dalam bahasa Inggris (Amerika) soccer. Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa konsep yang sama dimiliki oleh dua bahasa belum tentu dinyatakan dengan satu konsep atau dibedakan misalnya konsep rice dalam bahasa Inggris tidaklah dibedakan tetapi dalam bahasa Indonesia memiliki


(30)

beberapa alternatif “padi”, “gabah” atau “beras” dalam ranah budaya (bidang pertanian) dan “nasi” dalam bidang makanan. Contoh lain yang sering dikemukakan sebagai ilustrasi dalam Semantik adalah konsep “salju” yang tidak dikenal di Arab tetapi sangat dikenal dalam bahasa Eskimo. Contoh lain “Nafasnya berbau jengkol” di mana “berbau jengkol” diterjemahkan garlic smell. Sudah pasti di dalam kamus manapun tidak diketemukan “jengkol” = garlic atau sebaliknya garlic = “jengkol”. Dari sisi ini mungkin bisa dikatakan nyeleweng namun bagaimana kalau jengkol diterjemahkan secara akurat sebagai a kind of bean atau lebih tepat lagi, dengan istilah Latin Pithecolobium. Hal ini bisa menimbulkan pertanyaan apakah amanat yang dikandung oleh kata “jengkol” itu sampai dengan terjemahan yang tepat dengan

istilah bahasa Latin tersebut. Tentu saja makna ‘bau sekali’ pada kata bahasa Indonesia tersebut tidak tersampaikan dengan pemadanan melalui kata bahasa Latin itu.

Fishman (dalam Yadnya, 2006: 9) menyatakan bahwa hubungan bahasa dengan budaya bisa dilihat dalam tiga perspektif, yakni (1) sebagai bagian dari budaya, (2) sebagai indeks budaya, dan (3) sebagai simbolik budaya. Sebagai bagian dari budaya bahasa merupakan pengejawantahan prilaku manusia. Misalnya upacara, ritual, nyanyian, cerita, doa merupakan tindak tutur atau peristiwa wicara. Semua yang ingin terlibat dan memahami budaya tersebut harus menguasai bahasa karena dengan itu barulah mereka bisa berpartisipasi dan mengalami budaya tersebut. Sebagai indeks budaya bahasa juga mengungkapkan cara berfikir dan menata pengalaman penuturnya yang dalam bidang tertentu muncul dalam item leksikal dan


(31)

sebagai simbolik budaya bahasa menunjukkan identitas budaya etnis. Karena bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, maka, di satu sisi, penerjemahan tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan bentuk dan makna dan, di sisi lain, penerjemahan bisa juga dipahami sebagai proses berbahasa. Dalam pengertian ini penerjemah menggunakan bahasa tersebut untuk tujuan komunikasi (tulis) yakni mendeskripsikan ihwal budaya yang mencakup apa yang dilakukan manusia, apa yang diketahuinya, dan benda-benda yang dibuat dan digunakan sebagai manifestasi budaya. Konsekuensinya adalah penerjemahan tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan tetapi juga segi budaya. Oleh karena itu penerjemahan tidaklah semata-mata masalah mencari kata atau ungkapan lain yang memiliki makna yang sama tetapi menemukan cara yang sesuai untuk menyatakan sesuatu dalam bahasa lain. Pada akhirnya menjadikan kajian terjemahan tidak bisa dilepaskan dari pendekatan kebahasaan dan budaya. Implikasi budaya dalam terjemahan bisa muncul dalam berbagai bentuk berkisar dari lexical content dan sintaksis sampai ideologi dan pandangan hidup (way of life) dalam budaya tertentu. Oleh karena itu penerjemah harus menentukan tingkat kepentingan yang diberikan pada aspek-aspek budaya tertentu dan sampai sejauhmana aspek-aspek tersebut perlu atau diinginkan untuk diterjemahkan ke dalam bahasa sasaran.

Salah satu definisi kebudayaan paling populer diajukan oleh Tylor (dalam Croft, 1980: 531) yang menyatakan budaya sebagai seluruh buatan manusia yang mencakup ilmu pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, nilai-nilai moral, adat, dan kebiasaan maupun kemampuan lainnya yang diperoleh seseorang sebagai anggota


(32)

masyarakat. Hal senada diajukan oleh Pusch (1981: 3), yang menyatakan bahwa kebudayaan meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk nilai-nilai, kepercayaan, standar estetika, ekspresi linguistik, pola-pola berpikir, norma-norma bertingkah laku, dan gaya berkomunikasi. Khusus dalam konteks ilmu bahasa dan penerjemahan, Newmark (1988: 94) mendefinisikan budaya sebagai cara hidup dan manifestasinya yang khas pada setiap komunitas yang menggunakan sebuah bahasa yang unik sebagai media ekspresi. Definisi ini mengindikasikan bahwa setiap kelompok masyarakat yang memiliki bahasa tersendiri pasti memiliki kebudayaan tersendiri pula. Senada dengan Newmark, berbagai pakar ilmu bahasa dan penerjemahan lain juga menekankan hubungan erat antara bahasa dan budaya. Brown (1987: 123) menegaskan “A language is a part of a culture and a culture is a part of a language; the two are intricately interwoven such that one can not separate the two without losing the significance of either language or culture. Lotman (dalam James, 2002) mengatakan "No language can exist unless it is steeped in the context of

culture; and no culture can exist which does not have at its centre, the structure of natural language".

Definisi-definisi dan konsep budaya di atas memperlihatkan bahwa pemahaman interkultural tidak terpisahkan dari aktivitas penerjemahan. Selama melakukan aktivitasnya, penerjemah tidak hanya berhadapan dengan perbedaan-perbedaan morfologis, sintaksis, semantis tetapi juga perbedaan-perbedaan-perbedaan-perbedaan kultural antara BSur dan BSar. Bahkan, Nida (1964: 130) menyatakan perbedaan kultural antara BSur dan BSar bisa menimbulkan kesulitan yang lebih rumit dibandingkan


(33)

dengan perbedaan struktur bahasa. Sehubungan dengan itu, dapat disimpulkan bahwa dalam penerjemahan, pemahaman interkultural sama pentingnya dengan penguasaan kedua bahasa yang digunakan.

2.2 Bahasa (Teks dan Konteks) Menurut Halliday

Sehubungan dengan penggunaan teori linguistik untuk mendukung pelaksanaan penerjemahan ini, teori linguistik yang sesuai dengan penerjemahan adalah teori Linguistik Fungsional Sistemik (LFS). Makna sebuah teks akan dapat dipahami lebih mudah dan jelas bila ketiga konteks (situasi) register, genre (budaya), dan ideologi dalam teks tersebut dipahami. Teori LFS ini sangat sesuai dan dapat diaplikasikan untuk menganalisis keragaman makna yang terkandung dalam sebuah teks.

Berdasarkan pengalaman Malinowski, seorang antropolog Inggris di Trobian Island, Pasifik Barat (1923) meyakinkan sejumlah linguis bahwa bahasa adalah teks yang terikat kepada konteks. Malinowski menghadapi masalah ketika ia menerjemahkan peristiwa sosial verbal upacara adat penduduk Melanesia itu ke dalam bahasa Inggris untuk dipahami oleh pembaca berbahas dan berbudaya Inggris. Dia mencoba penerjemahan bebas dan hasilnya dapat dipahami pembaca tetapi dia gagal membuat pembaca memahami berbagai nilai budaya dan sosial yang melatari teks tersebut. Kemudian dia mencoba penerjemahan harfiah dan hasilnya adalah sebuah terjemahan lengkap dengan nilai sosial dan budayanya namun sayangnya teks tersebut tidak dipahami oleh pembaca yang berbudaya Inggris. Akhirnya dia memilih


(34)

terjemahan yang yang disertai komentar. Komentar tersebut dibuat untuk menghadirkan imaji situasi teks tersebut dengan cara “menjembatani” teks tersebut dengan lingkungannya baik lingkungan verbal maupun non-verbal. Dia menyebut lingkungan teks ini konteks situasi. Sejak itu dia percaya bahwa sebuah teks tidak akan dapat dipahami dengan baik bila konteks itu sendiri tidak dipahami (Hatim dan Mason, 1990: 36-37).

Larson (1984: 3) menyatakan bahwa penerjemahan semata-mata memperhatikan ketepatan makna tetapi lebih dari itu, seorang penerjemah harus memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut.

Dari contoh di atas, teks tidak terlepas dari konteks. Konteks itu sendiri “mengelilingi” teks atau teks itu berupa wadah untuk teks berfungsi. Konteks terdiri dari tiga lapisan yaitu konteks situasi (register), konteks budaya (genre) dan konteks ideologi.

Gambar 2.1. Teks dan Konteks Sosial

Ideologi

Budaya

Situasi


(35)

Gambar menunjukkan bahwa konteks yang paling dekat dengan bahasa atau yang paling konkrit adalah konteks situasi, diikuti oleh konteks budaya dan konteks ideologi. Ketiga konteks ini mengitari teks secara bertingkat atau berstrata. Konteks yang paling konkrit adalah konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi meskipun tidak sekonkrit konteks situasi tetapi tetap berfungsi menentukan bentuk dan makna teks. Dengan kata lain makna sebuah teks akan dipahami dengan pertama-tama memahami konteks situasi, kemudian memahami konteks budaya dan pemahaman terhadap budaya ditentukan ideologi.

Sebuah teks berfungsi dalam konteks situasi. Dengan kata lain setiap teks dibentuk oleh konteks situasi. Seorang penutur bisa berbicara ringkas atau panjang lebar dengan cara memaksa atau membujuk, tegas atau ragu-ragu, kasar atau halus, dengan bahasa umum atau teknis dan lain-lain, masing-masing pilihan ditentukan oleh konteks situasi. Konteks situasi terdiri atas tiga unsur yakni: field atau apa yang sedang dibicarakan; dalam situasi atau peristiwa apa partisipan terlibat, tenor atau siapa sedang berbicara atau siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut termasuk apa peran dan status mereka, mode atau bagaimana pembicaraan itu dilakukan, misalkan secara lisan atau tulisan.

Konteks budaya adalah kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan (Martin, 1986: 11-43). Teks merupakan produk interaksi verbal yang melibatkan dua partisipan yang memiliki tugas yang berbeda: penutur versus pendengar, atau penulis versus pembaca. Konteks budaya menetapkan langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan sosial sebuah teks. Langkah atau tahap-tahap itu disebut struktur


(36)

teks (generic/semantic structure). Berdasarkan tujuan sosialnya, teks dapat dikelompokkan ke dalam berbagai jenis seperti narasi, laporan, diskusi, argumentasi yang masing-masing memiliki struktur tertentu (Saragih, 2005: 199).

Ideologi menurut Simpson (1993) merupakan sebuah terminologi yang mengacu kepada cara di mana apa yang kita katakan dan pikirkan berinteraksi dengan masyarakat. Oleh karena itu, ideologi berasal dari asumsi, kepercayaan dan sistem nilai yang dimiliki bersama oleh kelompok masyarakat. Saragih (2005: 204) secara gamblang membatasi ideologi sebagai konstruksi atau konsep sosial yang menyatakan apa yang seharusnya dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan seorang sebagai anggota masyarakat. Dengan pengertian ideologi mencakup sistem nilai (yang dimiliki secara sadar atau tidak sadar), sudut pandang atau perspektif yang dianut oleh sebuah masyarakat.

Sejumlah faktor seperti kelas sosial, jenis kelamin, etnisitas dan generasi berperan menentukan ideologi. Berdasarkan pada pengertian ideologi yang dikemukakan oleh Simpson, ideologi menentukan bagaimana seseorang sebagai anggota masyarakat bertindak dan melakukan tindak verbal dengan anggota masyarakat lainnya sebagai penganut nilai-nilai yang sama. Dengan demikian hubungan teks dengan ideologi adalah teks merupakan realisasi ideologi dan ideologi dapat dijajaki di dalam teks (Saragih 2005: 204).


(37)

2.3 Analisis Kontrastif

Istilah analisis kontrastif atau contrastive analysis yang secara umum diartikan dengan analisis yang memperlihatkan perbedaan dan persamaan. Secara teoritis analisis kontrastif bertujuan untuk menemukan atau membuktikan persamaan maupun perbedaan dalam berbagai bentuk, karakteristik dan aspek kebahasaan antara bahasa-bahasa yang dibandingkan, sementara secara praktis kajian ini bertujuan untuk menemukan prinsip-prinsip kebahasaan yang bermanfaat untuk diterapkan untuk keperluan pengajaran, pembelajaran dan penerjemahan.

Analisis kontrastif dalam penerjemahan adalah aktivitas atau kegiatan yang mencoba membandingkan struktur BSur dengan struktur BSar. Perbedaan dan persamaan dua bahasa yang dihasilkan dapat digunakan sebagai dasar dalam menemukan persamaan dan perbedaan tersebut yang pada akhirnya membantu penerjemah dalam proses penerjemahan. Hal ini dikarenakan seorang penerjemah harus menguasai bahasa dan tata bahasa dari BSur maupun BSar.

Krisdalaksana (1993: 13) mengatakan “Analisis kontrastif adalah metode sinkronis dalam analisis bahasa untuk menunjukkan persamaan dan perbedaan antara bahasa-bahasa atau dialek-dialek untuk mencari prinsip yang dapat diterapkan dalam masalah praktis, seperti pengajaran bahasa dan terjemahan”. James (1986: 3) menambahkan “Analisis kontrastif adalah suatu upaya yang bertujuan untuk menghasilkan dua tipologi yang bernilai terbalik (yaitu kontrastif, bukan komparatif dan berlandaskan asumsi bahwa bahasa-bahasa dapat dibandingkan (maksudnya analisis kontrastif selalu berkaitan dengan pasangan (dua buah) bahasa). Bussman


(38)

(1996: 102) menyatakan analisis kontrastif merupakan “Lingusitics subdiscipline concerned with the synchronic, comparative study of two or more language varieties. Generally both differences and similarities are studied, although emphasis is usually placed on differences thought to lead to inference (i.e. negative transfer, the faulty application of structure form one’s native language to the second language. Dan Lubis (2009: 23) menjelaskan “Analisis kontrastif suatu upaya untuk membandingkan dua bahasa secara sinkronis yang bertujuan untuk mendeskripsikan perbedaan dan persamaan kedua bahasa dalam berbagai aspek”.

Secara keseluruhan uraian pengertian di atas menunjukkan bahwa analisis kontrastif bertujuan untuk memperoleh dan menghasilkan perbedaan-perbedaan sistem atau struktur antara dua bahasa, dan hasil yang diperoleh dapat dimanfaatkan untuk keperluan dalam pengajaran dan penerjemahan. Namun perlu ditekankan bahwa analisis kontrastif biasanya lebih terfokus pada pencarian perbedaan yang dapat menyebabkan terjadinya interferensi dari BSur ke BSar. Temuan tentang perbedaan dan persamaan di antara kedua bahasa digunakan untuk membantu pengajaran bahasa asing dan juga penerjemahan. Analisis kontrastif (Hoey dan Houghton, 1998) dapat memberikan penjelasan tentang kesulitan yang mungkin dihadapi dalam penerjemahan. Berikut analisis kontrastif antara bahasa Mandailing dengan bahasa Inggris (Lubis, 2009: 198-216).

2.3.1. Pronomina Persona

Kedua bahasa memiliki pronomina pertama tunggal yaitu I dalam BI dan au dalam BM, pronomina kedua tunggal yaitu you dalam BI dan ho dalam BM,


(39)

pronomina ketiga tunggal yaitu he, she, it dalam BI dan ia dalam BM. Kedua bahasa juga memiliki pronomina kedua jamak you dalam BI dan hamu dalam BM dan pronomina ketiga jamak yaitu they dalam BI dan halai dalam BM.

Sistem pronominal kedua bahasa memiliki banyak perbedaan, sebagai berikut: 1. Pronomina ketiga tunggal dalam BI dibedakan berdasarkan gender, he untuk

gender maskulin dan she untuk gender femnine dan it untuk non-manusia. 2. Pronomina kedua tunggal dan jamak you dalam BI memiliki bentuk yang

sama sedangkan dalam BM dibedakan yaitu ho dan hamu.

3. Pronomina kedua jamak homu dalam BM dapat digunakan sebagai pronomina kedua tunggal bentuk honorifik.

4. Pronomina persona dalam BI berubah bentuk sesuai fungsinya. Pronomina pertama tunggal I dalam fungsi subjektif berubah menjadi me dalam fungsi objektif, menjadi my sebagai ajektiva posesif, dan berubah menjadi my dalam fungsi posesif. Pronomina tunggal dan jamak kedua you tidak berubah dalam fungsi objektif, menjadi your sebagal ajektiva posesif dan menjadi yours dalam fungsi posesif. Pronomina tunggal ketiga he dalam fungsi subjectif berubah menjadi him dalam fungsi objektif, menjadi his sebagai ajektiva posesif dan menjadi his dalam fungsi posesif. Pronomina ketiga tunggal she dalam fungsi subjektif berubah menjadi her dalam fungsi objektif, menjadi

her sebagai ajektiva posesif dan menjadi hers dalam fungsi posesif.

Pronomina it dalam fungsi subjektif tidak berubah dalam fungsi objektif, menjadi its sebagai ajektiva posesif dan menjadi its dalam fungsi objektif.


(40)

Pronomina pertama we dalam fungsi subjektif berubah menjadi us dalam fungsi objektif, dan berubah menjadi urs dalam fungsi posesif. Pronomina ketiga jamak they dalam fungsi subjektif, berubah menjadi them dalam fungsi objektif, menjadi their sebagai ajetiva posesif dan berubah menjadi theirs dalam fungsi posesif.

5. Pronomina dalam BM tidak mengalami perubahan bentuk dalam ketiga fungsi tersebut.

2.3.2 Frasa

Kedua bahasa memiliki konstruksi frasa meskipun dalam jenis dan struktur yang tidak sama.

1. Pewatas dalam frasa nomina BI berada sebelum inti (the good day) sedangkan dalam BM pewatas berada setelah inti (ari na dengan).

2. Dalam BM partikel na muncul di antara inti dan pewatas (ari na denggan). 3. Struktur frasa verbal dalam BI lebih kompleks karena sebuah frasa verbal BI

dapat didahului satu atau lebih kata bantu (is being done), sedangkan frasa verbal BM, karena BM tidak memiliki kata bantu, strukturnya lebih sederhana. Sebuah frasa verbal BM pada umumnya hanya terdiri dari verba dan partikel negatif (ulang malua, ulang pasili-sili) atau dengan kata tugas (muda sorang, hatiha markuik, laho marpira).

4. Dalam struktur frasa ajektiva BI pewatas mendahului inti (very interesting, so

easy) sedangkan dalam BM pewatas berada setelah inti (tajom bariba, bontar gorsing).


(41)

5. Frasa ajektiva BM pada umumnya terdiri dari ajektiva sebagai inti dan didahului partikel na (na martua, na uli, na landit). Dalam BI ajektiva tidak didahului partikel.

6. Bila sebuah ajektiva memerlukan pewatas “sangat” maka ajektiva tersebut didahului partikel na dan diakhiri partikel an (na denggan an, na landit an). 7. Ajekltiva dapat diulang dalam BM untuk menghasilkan makna “frekuensi”

(jeges-jeges, pintar-pintar), untuk menghasilkan makna “pengurangan” (lambat-lambat, asok-asok).

8. Dalam BI adverbia cara umumnya dibentuk dengan menambahkan sufiks -ly kepada ajektiva seperti slow + -ly → slowly. Jadi sebuah frasa adverbial cara

dapat dibentuk dengan menambahkan adverbia kualitatif kepada adverbia cara seperti very quickly. Dalam BM sebuah ajektiva dapat berfungsi sebagai adverbial tanpa mengubah bentuk. Sebagai contoh, Babiat binatang na gogo “Harimau adalah hewan yang kuat”. Gogo dalam kalimat tersebut adalah ajektiva. Bila digunakan sebagai adverbia cara, tidak terjadi perubahan bentuk namun posisinya dalam kalimat berubah; berada di dekat verba (gogo mangan atau mangan gogo) atau berada sebelum pronominal/subjek seperti dalarn (gogo hamu mancari, ikhlas roha manjagit). Jadi sebuah frasa adverbial dalam BM dapat dibentuk dengan menambahkan sebuah adverbia kualitatif kepada adverbia seperti dalam tar lambat (ia ro), atau dengan menambahkan partikel na di depan adverbia dan menambahkan an pada akhir adverbia seperti no ipas an (ia kehe).


(42)

Hampir semua struktur frasa preporsional BI sama dengan struktur frasa preposisional BM kecuali struktur frasa yang mengacu kepada pelaku. Dalam BI frasa preposisional yang mengacu kepada pelaku menggunakan preposisi

by sebagai inti seperti dalam by my fasther, by his uncle tetapi dalam BM

tidak ditemukau preposisi yang bermakna pelaku. Jadi misalnya, kalimat BI

This shirt was bought by my uncle, dalam BM akan menjadi Baju on itabusi udangku. Jadi tidak ada preposisi yang bermakna “oleh” dalam BM.

2.3.3 Kalimat

Berdasarkan fungsinya, kalimat pada umumnya dibedakan menjadi kalimat deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif dan kalimat eksklamatif. Kedua BI dan BM memiliki keempat jenis kalimat tersebut namun karena teks yang digunakan sebagai data merupakan genre eksplanatif, tidak ditemukan kalimat interogatif dan ka1imat eksklamatif. Perbedaan dalam pola atau struktur kalimat BI dan BM adalah sebagai berikut:

1. Ciri utama urutan kata dalam kalimat BI adalah subjek (S) – verba (V) – objek (O) seperti Father drinks coffee. Dalam BM urutan kata bisa berpola SVO seperti dalam Horbo simaradang tua (S) na mamolus (V) ombun manyorop (O) “Kerbau yang bertuah menempuh embun tebal” dan dapat berpola VSK. Seperti dalam Habangma on (V) langkupa (S) na songgop tu Gunung Tua (K).

2. Kalimat yang berpola subjek-predikat dalam BI dapat dibentuk dengan subjek verba (The moon shines) dan bisa juga berpola subjek + to be +


(43)

nomina/ajektiva/adverbial (She is a student/beautiful/here). Dalam BM kalimat yang sama juga memiliki pola subjek-verba (Au ro tingon luai ni

Mandailing) tetapi karena BM tidak memiliki verba bantu, maka urutan kata

dalam kalimat untuk pola yang kedua hanya subjek + nomina/ajektiva/adverbial seperti dalam Halaklahi (N) si suan bulu (N): Ari (N) na lupa (A), Dongdong (N) di Barangtoru (K).

3. BM tidak memiliki kalimat yang berpola S-P-OTL-OL seperti dalam BI (Size

gave me a glass of water). Jadi tidak ada kalimat seperti Ia mangalehen au sagalas aek, tetapi Ia mangalehen sagalas aek baen di au, yang berpola

subjek-verba-objek-keterangan. 2.3.4 Komponen Makna

Tidak mudah membandingkan komponen makna yang dimiliki masing-masing kata secara lengkap dalam dua bahasa karena jumlah kata yang sangat banyak yang dimiliki oleh setiap bahasa. Bila ini dilakukan untuk setiap kata tentu akan memerlukan waktu yang sangat banyak. Namun karena penerjemahan adalah upaya pengalihan makna dari BSur ke dalam BSar pemahaman tentang komponen makna yang dimiliki oleh sebuah kata perlu agar tidak terjadi pengalihan makna yang salah atau kurang tepat. Ciri universal yang dimiliki oleh kata adalah terdapatnya lebih dari satu komponen makna.

Seperti diuraikan sebelumnya, membandingkan komponen makna dua kata yang dianggap sebagai berpadanan tentu memerlukan waktu yang sangat banyak,


(44)

meskipun jumlah kata yang dijumpai dalam sebuah teks bukan seluruh kosa kata yang dimiliki bahasa tersebut.

Dalam kajian ini dibandingkan sejumlah istilah kekerabatan yang ditemukan dalam teks marpokat haroan boru. Dalam teks tersebut ditemukan istilah-istilah kekerabatan seperti dalihan na tolu, suhut, kahanggi, anakboru, mora, namora

natoras. Istilah-istilah tersebut tidak memiliki padanan dalam BI karena semuanya

merupakan istilah budaya. Kata amang dalam BM dapat dipadankan dengan kata

father dalam BI. Contoh lain dalam BM komponen makna utama kata amang dan father tentu serupa. Namun dalam BM kata amang tidak hanya mengacu kepada

“suami ibu” tetapi meluas kepada anak laki-laki seorang ayah/ibu sebab dalam budaya Mandailing anak laki-laki dianggap adik dan ayah kita. Oleh karena itu orang Mandailing boleh memanggil anak laki-lakinya amang karena dalam hubungan kekerabatan anak laki-laki setara dengan ayah kita. Demikian pula kata inang, Anak perempuan kita boleh dipanggil inang, karena anak perempuan kita dianggap adik ibu kita sendiri. Dalam BI kata father dapat juga mengacu kepada pastor di dalam gereja. Dengan demikian komponen makna kata father dan amang dalam kedua bahasa tersebut tidak sama sedangkan komponen makna kata inang dalam BM lebih luas daripada mother yang menjadi padanannya dalam BI. Coba kita lihat lagi sejumlah nama benda berikut dalam BM, dan sejauh mana kata-kata tersebut memiliki padanan dalam BI dan bila berpadanan apakah memiliki komponen makna yang sama.


(45)

amak lampisan bulung salungsung

gulaen sale incor tali

haporas

Sira indahan

manuk aek na ian

horbo anduri pinggan pasu

Untuk kata-kata yang berada pada kolom sebelah kiri tentu tidak ditemukan padanannya dalam BI karena benda-benda tersebut berkaitan dengan budaya dan geografi. Sebagai contoh, amak dapat dipadankan dengan dengan mat, tetapi amak

lampisan adalah produk budaya Mandailing yaitu tikar yang dibuat berlapis sebagai

tempat duduk dalam acara-acara tertentu. Kata-kata pada kolom sebelah kanan, kecuali kata indahan, tentu saja memiliki komponen makna yang sama dalam BI. Kata sira berpadanan dengan salt, manuk dengan chicken, aek na lan dengan (fresh)

water, horbo dengan buffalo, anduri dengan window dan pinggan pasu dengan big plate. Kata indahan biasanya dipadankan dengan kata rice dalam BI namun kata rice

memiliki komponen makna yang sangat luas yang mencakup padi, beras ataupun

menir. Dalam BM kata indahan berarti hanya “nasi yang berasal dari beras sebagai hasil proses pemasakan”. Istilah untuk padi, beras dan menir masing-masing adalah

eme, danon, dan monis dalam BM. Jadi komponen makna rice dan indahan tidak

persis sama. 2.3.5 Polisemi

Salah satu ciri semesta kata ialah terjadinya perluasan makna. Pada mulanya sebuah kata hanya memiliki sebuah makna primer saja, kemudian seiring dengan


(46)

masa pemakaian kata tersebut, makna primer tadi berkembang menjadi makna-makna yang lain. Jadi polisemi ditemukan dalam kosakata setiap bahasa walaupun keragaman makna itu berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain.

BI dan BM dalam banyak hal adalah dua bahasa yang sangat berbeda. Misalnya dalam hal usia, BI jauh lebih tua daripada BM, jumlah penutur BI tidak sebanding dengan jumlah penutur BM, status BI tidak setara dengan BM dan lain- lain.

BI adalah bahasa yang telah berusia lebih dari satu milenium dan digunakan di seluruh dunia dengan status yang berbeda. Berdasarkan usianya yang sangat panjang tersebut, wajarlah sebuah kata dalam BI memiliki banyak makna. Sebagai contoh kata take memiliki 41 macam makna kata, kata make dan run masing-masing memiliki 22 macam makna yang berbeda. Contoh lain empat verba yang dalam BM yakni mambaen “membuat”, manjalahi mencari, jongjong ‘berdiri’, dan tubu ‘tumbuh’ dan dipadankan dengan kata BI yakni masing-masing make, find, stand, dan

grow dan dibandingkan berapa makna skunder yang dimiliki masing-masing kata

tersebut. Kata make dalam BI yang menjadi padanan kata mambaen memiliki 22 macam makna sedangkan BM hanya memiliki sebuah makna skunder yaitu ‘mengerjakan sawah’. Kata manjalahi yang menjadi padanan kata find dalam BI hanya memiliki sebuah makna sekunder yaitu ‘mencari nafkah’ sedangkan dalam BI terdapat 18 makna sekunder yang berbeda menurut kamus The Random House

Dictioriary of the English Language edisi ke 2 tahun 1987. Kata jonjong yang


(47)

yaitu “mendirikan rumah” seperti dalam pajonjong bagas “mendirikan rumah” dan “menegakkan/mempertahankan adat” seperti dalam pajonjong adat “menegakkan adapt/tradisi” sedangkan dalam BI terdapat sebanyak 41 buah makna sekunder. Kata

tubu “tumbuh” yang menjadi padanan kata grow dalam BM hanya memiliki dua buah makna sekunder yaitu “anak lahir” dan “sesuatu, seperti bisul, tumbuh pada bagian tertentu tubuh” sedangkan dalam BI terdapat 13 buah makna sekunder.

Untuk perbandingan terakhir mari kita ambil kata ajektiva bontar yang menjadi padanan kata white dalam BI. Dalam BM kata ini hanya memiliki sebuah makna sekunder yaitu ‘ikhlas’ sedangkan dalam BI terdapat 18 macam makna sekunder.

2.3.6 Sinonimi dan Antonimi

Ciri universal lain kosakata bahasa ialah bahwa pengguna bahasa memiliki lebih dari satu cara untuk mengungkapkan konsep atau makna yang sama. Ungkapan yang berbeda untuk konsep yang sama secara teknis disebut sinonim. Konsep “besar” dalam BI dapat diungkapkan dengan menggunakan ungkapan-ungkapan lain seperti

large, great, huge, enormous dan lain-lain. Dalam BM “sehat” dapat diungkapkan dengan menggunakan sekurang-kurangnya tiga ungkapan yaitu hiras, torkis, horas.

Antonim sebuah kata yang dapat ditemukan dalam kata-kata tertentu di setiap bahasa meskipun tidak setiap kata memiliki antonim. Dalam BI kata deep “dalam” dianggap antonim dengan kata shallow, kata far “jauh” dianggap antonim dengan

close ‘dekat’. Kata godang “besar” dalam BM dianggap antonim dengan kata menek “kecil”, kata tobang “tua” dianggap antonim dengan kata poso “muda”. Dengan


(48)

demikian keberadaan sinonim dan antonim tidak hanya ditemukan dalam BI tetapi juga dalam BM.

Sejumlah kata yang bersinonim tentu saja tidak selalu berasal dari bahasa yang sedang dibicarakan. Misalnya kata royal “berkaitan dengan raja” yang menjadi sinonim kata kingly dalam BI berasal dari bahasa Perancis, kata Fiannce “pacar” yang merupakan sinonim kata boy/girl friend juga berasal dari bahasa Perancis. BI sebagai bahasa yang telah berusia ribuan tahun dan telah bergaul dengan banyak bahasa lain bukan saja dengan bahasa-bahasa yang berasal dari rumpun yang sama tetapi juga dengan bahasa-bahasa tidak serumpun. Jumlah sinonim yang dimiliki kata-kata BI jauh lebih banyak dari sinonim kata BM. Kita ambil kata house “rumah” dalam BI. Kata house memiliki sekurang-kurangnya enam sinonim seperti home, dwelling,

abode, habitation, building sedangkan dalam BM hanya terdapat bagas dan inganan

yang bermakna sama dengan house, ini menunjukkan bahwa budaya orang Inggris dalam hal perumahan jauh lebih kaya daripada budaya orang Mandailing. Mari kita ambil lagi sebuah kata yang berkaitan dengan “hidup” dalam BI. Terdapat sekurang-kurangnya enam kata seperti live, abide, reside, dwell, exist, survive (Urdang, 1978: 190). Sedangkan dalam BM hanya terdapat dua kata yakni ngolu/mangolu dan

marhosa. Kata beautiful “cantik” dalam BI memiliki antonim paling tidak empat kata yaitu ugly, homely, unattractive, dan plain (Urdang, 1978: 30). Dalam BM kata deges “cantik” memiliki sebuah antonim saja yaitu jat ‘buruk’. Kata happy “gembira” dalam BI memiliki enam antonim yaitu sad, gloomy, unlucky, unfortunate (Urdang:


(49)

1978: 153) sedangkan dalam BM hanya terdapat dua kata yaitu marsak dan ibo (roha).

2.3.7 Makna Generik-Spesifik

Makna generik-spesifik tidak sama dengan hubungan makna dalam sinonim. Dalam sinonim hubungan makna adalah hubungan paralel atau setara. Dalam hubungan makna generik-spesifik hubungan yang ada adalah hubungan hirarkis atau hubungan atas-bawah. Bahwa sebuah kata generik seperti bunga memiliki sejumlah kata spesifik seperti ros, lili, angrek, kaktus, dahlia, cempaka dll adalah hal yang umum dalam bahasa namun bisa saja istilah generik untuk sejumlah istilah spesifik tidak ditemukan dalam bahasa tertentu. Kedua bahasa, BI dan BM tentu saja memilki istilah generik dan spesifik.

Kata fowl “unggas” dalam BI sebagai contoh sudah mencakup sejumlah makna seperti cock, hen, duck, eagle, owl, parrot dll. Dalam BM makna spesifik seperti manuk “ayam”, hitik “itik”, alihi “elang”, onggang “enggang”, balom “balam”, baro-baro “cucakrawa” dll dapat dijumpai, tetapi tidak ada kata yang memiliki makna generik. Bila kata manuk, hitik dibuang, kata burung berlaku sebagai makna generik untuk kata-kata yang lainnya. Kata animal dalam BI memiliki sejumlah makna spesifik seperti lion, tiger, elephant, deer, buffa1o, horse dll. Dalam BM istilah-istilah seperti itu ditemukan yaitu masing-masing singa, babiat, gaja,

hursa, horbo dan kudo tetapi tidak ditemukan istilah generik untuk istilah-istilah

spesifik tersebut. Makna-makna spesifik seperti tarutung “durian”, manggis “manggis”, lancat “langsat”, rambutan, jambu, salak, unte “jeruk” dll ditemukan


(50)

dalam BM tetapi sekali lagi tidak ada istilah generik untuk semua kata tersebut. Sementara dalam BI kata fruit digunakan sebagai istilah generiknya. Tumbuhan yang tergolong ke dalam jenis palem seperti harambir “kelapa”, bargot ‘‘pohon enau”, salak, sawit, tidak ditemukan makna generiknya dalam BM, sedangkan dalam BI makna generiknya adalah palm tree.

2.3.8 Metafora

Pemakaian metafora dalam bahasa adalah sesuatu yang wajar. Bila kita amati kosakata bahasa yang digunakan, sebahagian adalah metafora. Dahulu, pemakaian metafora dianggap sebagai penyimpangan dari bahasa biasa. Ternyata banyak ungkapan yang kita gunakan dalam berkomunikasi terdiri dari metafora. Metafora telah sangat sering digunakan pemakai bahasa sehingga kadang tidak menyadari lagi bahwa sebuah metafora sedang digunakan. Mendengarkan ungkapan ibu kota, anak

panah, mata pisau dalam B.Ind. tidak lagi dapat dirasakan bahwa metafora sedang

digunakan. Seandainya makna denotatif yang digunakan maka ungkapan-ungkapan di atas akan berbunyi seperti kota tempat pemerintah pusat, panah yang dilontarkan

dari busur, bagian yang tajam dari pisau yang tentu saja lebih rumit dan tidak

praktis.

Dalam kedua bahasa, BI dan BM dapat ditemukan banyak metafora baik yang tergolong ke dalam dead metaphor maupun yang tergolong ke dalam live metaphor. Contoh-contoh lain metafora mati dalam BM adalah baju bulu, bontar ni ate-ate, pir

tondi matogu. Dalam BI metafora mati adalah seperti from the bottom of my heart, the meat of coconut, footnote dan lain-lain Contoh metafora hidup lain datam BM


(51)

adalah haruaya ho amang “pohon beringin engkau anakku”, banir na bolak

parkolipan ko amang “pohon besar tempat berlindung kau amang”, mamolus dalan

matobang “menempuh jalan berkeluarga”. Dalam BI Love is blue dan She is the star

in our classroom merupakan metafora hidup.

Kita lihat pada contoh-contoh di atas bahwa metafora tidak hanya berkenaan dengan benda konkrit seperti the eye of the needle dalam BI atau ulu ni aek dalam BM tetapi bisa juga berkenaan dengan benda abstrak seperti Love is blind/blue dalam BI atau roha na incat/lapang dalam BM. Perbedaan penggunaan metafora yang dapat terjadi di antara dua bahasa adalah perbedaan wilayah pemakaian. Seperti telah kita lihat bahwa metafora tentang waktu banyak ditemukan dalam BI seperti Time is

money, I don’t have much time, Dont waste time, It will take much time, Time flies dan lain-lain. Sedangkan dalam BM sejauh ini belum ada metafora tentang waktu yang dapat ditemukan. Kalimat yang berarti “Pekerjaan itu memerlukan banyak waktu” dalam BI akan dinyatakan seperti It will take much time to complete the work, sedangkan dalam BM akan disampaikan seperti Na lambatan do mangkarejohon i karena dalam BM tidak ada konsep tentang waktu. Dalam BM metafora tentang tondi “semangat” lah yang banyak dijumpai seperti mago tondi, “hilang semangat”, lomos

tondi “cemas semangat”, mulak tondio tu badan “kembali semangat ke dalam tubuh”,

pir tondi “keras semangat”, ulang tondi murtandang-tandang “jangan semangat bersinggah-singgah”. Tondi yang merupakan benda abstrak melalui metafora, direalisasikan sebagai benda konkrit yang dapat hilang (mago), cemas (lomos), pulang (mulak), menjadi keras (pir), dan bersinggah-singgah (martandang-tandang).


(52)

2.3.9 Idiom

Karena idiom juga merupakan unsur bahasa yang dapat ditemukan dalam setiap bahasa, jadi dalam kedua bahasa, BI dan BM dapat ditemukan idiom, idiom dapat berbentuk frasa seperti pay attention to “memperhatikan”, keep an eye on “menjaga” (BI), martoruk ni abara “bersedia dengan rendah hati”, manjagit sere “menerima biaya pernikahan oleh pihak calon mempelai laki-laki”, maginjang roha “mencari perempuan lain oleh seorang laki-laki yang telah menikah” (BM). Juga dalam bentuk kalimat seperti it ‘s no use crying over spilt milk “tiada guna menangisi susu yang tumpah”, better late than never “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali”, to kill two birds with one stone “mendapat untung ganda dengan satu usaha” (BI), sayang logo sataon itinggang udan sadari (BM) “pekerjaan yang sudah lama dilakukan menjadi sia-sia karena masalah kecil”. Bukan hanya persamaan bentuk yang terdapat dalam idiom dalam kedua bahasa bahkan terdapat juga persamaan makna. Idiom BM better late than never bermakna sama dengan denggan an na

gonting pado na tos, dan to kill two birds with one stone bermakna sama dengan sanduruk dua marobo.

Di dalam BM tidak ditemukan idiom dalam bentuk frase verbal (verba diikuti preposisi atau adverbia) seperti to do away with “membunuh, to get together “berkumpul”, to run across “bertemu”. Dalam BM idiom dalam bentuk frasa biasanya terdiri dari verba diikuti nomina seperti manulak sere “menyerahkan biaya perkawinan kepada pihak mempelai perempuan”, mambayar utang “menunaikan kewajiban menantu laki-laki kepada mertua”, gabungan ajektiva dengan nomina


(53)

seperti tajom bariba “memihak kepada satu pihak (tidak adil)”, butong-butong babiat “mendapat penghasilan yang banyak pada satu saat tetapi tidak mendapat apa-apa dalam waktu yang lama”, dan gabungan dari dua verba seperti tangko binoto “kawin lari dengan sepengetahuan orang tua si gadis”, mangan modom “tidak mencari nafkah seperti biasa”.

2.3.10 Eufemisme

Kedua bahasa, BI dan BM menggunakan eufemisme untuk menghindari penyebutan yang terlalu langsung mengacu kepada makna yang dituju. Kata

matobang dalam BM digunakan sebagai eufemisme untuk menghindari pemakaian

kata marbagas yang dalam B.Ind. setara dengan “kawin”. Kata dongan marrosu yang secara harfiah bermakna “teman dekat/intim” digunakan sebagai pengganti

dadaboru/halaklahi yang dalam B.Ind. setara dengan “isteri/suami”. Ungkapan

tubuan anak/tubuan boru terdengar lebih halus daripada 1ahir/soran anak/boru.

Penyebutan kata-kata yang berkaitan dengan fungsi dan bagian tubuh adalah tabu dalarn kedua bahasa. Fungsi tubuh seperti “buang air besar dan kecil”, “bersenggama”, “organ seksual”, juga “air seni” dan “kotoran manusia”, tetapi fungsi tubuh yang lain seperti “batuk”, “bersin”, “makan”, “minum”, “menguap”, dan

lain-lain tidak dianggap tabu. Kata yang bermakna mati dalam kedua bahasa juga dianggap tabu lalu digunakan pass away dalam BI dan jumolo/maninggal dalam BM.


(1)

Lampiran 1

Glosarium (Bahasa Indonesia)

Boti ma Ungkapan Boti ma “demikianlah” merupakan ungkapan yang lazim dipakai sebagai tanda berakhirnya pembicaraan penutur dalam budaya masyarakat Mandailing sekaligus memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berbicara dalam sebuah acara pesta adat.

Daliha na tolu secara harfiah berarti “tungku yang tiga”, merupakan tiga komponen yang membentuk sistem kemasyarakatan Mandailing. Sistem sosial ini terbentuk dari hubungan perkawinan. Komponen yang pertama disebut kahanggi (bersaudara, semarga) pada dasarnya adalah orang-orang yang berasal daru satu nenek moyang, misalnya semua orang yang bermarga Lubis yang berasal dari nenek moyang Lubis. Komponen kedua yang disebut mora “mulia, terhormat” adalah pihak pemberi isteri (asal isteri). Mora tidak hanya terdiri dari orang-orang yang berasal dari satu marga saja. Misalnya Lubis bisa bermora kepada Nasution dan Rangkuti karena kedua marga ini telah memberi isteri kepada Lubis. Anak boru sebagai pihak ketiga adalah pihak penerima isteri. Misalnya seorang pria Nasution menikahi puteri Lubis, maka pihak Nasution menjadi anak boru Lubis. Sama halnya dengan mora, anak boru bisa berasal dari berbagai marga. Peran dalihan na tolu akan lebih jelas terlihat pada upacara-upacara tradisional seperti perkawinan, kematian, dan lain-lain.

Haroan Boru upacara adat di rumah orangtua bayo pangoli (pengantin pria), di sini keluarga mengundang dalihan na tolu (kahanggi, mora, dan anakboru) serta keluarga


(2)

dekat untuk bermufakat persiapan menjemput dan menerima boru na ni oli

(pengantin wanita).

Mangupa upacara pemberian nasihat, doa serta harapan-harapan dalam perkawinan.

Marbara kegiatan memagari hutan yang berada di kaki gunung sebagai tempat ternak peliharaan (sapi, kambing, atau kerbau).

Namora orang yang menjadi kepala dari kerabat dekat atau sepupu raja.

Natoras orang yang tertua dari kerabat dekat atau sepupu raja. Namora natoras

memiliki fungsi sebagai pendamping raja di dalam mengambil keputusan saat membahas atau menyelesaikan suatu peradatan.

Padang Bolak daerah yang terletak di Gunung tua, Tapanuli Selatan, dulu dikenal sebagai daerah peternakan karena memiliki daratan padang rumput yang sangat luas dan subur Namun kini sangat sedikit masyarakat yang masih mempertahankan kegemilangan ternak tersebut.

Pago-pago bendera atau umbul-umbul sebagai tanda perhelatan pesta perkawinan atau upacara adat.

Patobang Hata acara peminangan secara resmi dengan memberikan mas kawin atau

tuhor kepada pihak pengantin perempuan oleh pihak pengantin pria. Didampingi keluarga kedua belah pihak.

Santabi sapulu ungkapan permintaan maaf.

Suhut orang yang menjadi tuan rumah di dalam pelaksanaan upacara adat (yang punya hajatan).


(3)

(Mar) talaga bagian dari sebuah ruangan (tempat musyawarah) di dalam rumah yang dekat dengan pintu masuk yang dianggap sebagai tempat yang tidak terhormat bagi tamu yang dihormati.

Tapian Raya bangunan di tepian sungai sebagai tempat pemandian umum, namun sesuai dengan kondisi dan situasi di kota dimana tidak mungkin ditemui sungai, maka dilakukan dijalanan yang jaraknya tidak jauh dari rumah (tempat pesta berlangsung) biasanya kira-kira berjarak 300 m, disesuaikan dengan kemampuan pengantin untuk berjalan. Di tapian raya dilakukan beberapa serangkaian upacara adat seperti

berlangir (keramas) dengan menggunakan pangir (mangkok cembung yang berisi air, potongan jeruk purut dan 7 buah batu kerikil) yang dipercikan secara simbolis kepada ke dua pengantin serta prosesi adat penabalan gorar (gelar adat) kedua pengantin.

(J) uluan bagian dari sebuah ruangan (tempat musyawarah) yang berada diujung ruangan berhadapan dengan talaga sebagai tempat terhormat bagi tamu yang dihormati.

Uning-uningan bunyi-bunyian dari alat musik tradisional masyarakat Mandailing yaitu Gondang tunggu-tunggu dua yang terdiri dari 2 buah gondang topap dan 9 buah

gordang sambilan. Biasanya jika uning-uningan ini dibunyikan dibarengi dengan tarian tor-tor (tarian adat).


(4)

Lampiran 2

Glossary (English version)

Boti ma The expression of Mandailing culture indicates that the speech is over usually in traditional ceremony.

Dalihan na tolu the term dalihan na tolu literally means “a fireplace made of three stones”. It metaphorical symbolizes a triangle relationship among kahanggi, mora

and anak boru. Kahanggi consists of people who are descended from the same ancestor (marga); mora is one group of people from whom someone got his wife and

anak boru is another group of people to whom a wife is given. Schematically the relationship can be shown as follows. If X got his wife from Y, Y and his brothers were the mora of X and X was the anak boru of Yand if X gave a wife to Z, Z and his brothers were the mora of X and X was the anak boru of Z. Y was the mora of mora

of Z (mora ni mora) and Z was the anak boru of anak boru Y. This triangle relationship constitutes the foundation of social interaction in Mandailing society.

Haroan Boru traditional ceremony in the groom’s parents’ house. The parents invite

dalihan na tolu (kahanggi, mora and anak boru) and close relatives to reach an agreement on collecting the bride and how the arrival of the bride will be organized.

Mangupa a ceremony of giving advice to the newlyweds hoping that their marriage will given them children and be everlasting.

Marbara the activity of fencing the forest which is located in foothills for livestock such as cows, buffalos and goats.


(5)

Namotoras the oldest one of the cousin’s king. Namora Natoras as the king companion in making decisions in a traditional ceremony.

Padang Bolak the areas which is located in Gunung Tua, South Tapanuli, formerly known as livestock because the areas is vast and fertile grassland, but now very few people still engage in livestock breeding.

Pago-pago flags or banners which has a pole and stuck in the ground signifying that there is a wedding party or traditional ceremony taking place.

Patobang Hata wedding proposal ceremonies which involve giving the dowry to the bride side from the bridegroom side accompanied with the relatives.

Santabi Sapulu Expression of apology.

Suhut the people who become the host in Mandailing traditional ceremony.

(Mar) talaga part of a floor close to the entrance door which is regarded as a common area which is not a respectable place for receiving honorable guests.

Tapian Raya building on the banks of the river as a place of public baths. The bride and the groom bath by using pangir (bowl filled with water, lime and 7 pebbles) which is sprinkled symbolically on them then given great name to them. This is one of the series of ceremonies in the traditonal Mandailing wedding.

(J) uluan part of a floor away from the entrance door which is regarded as a respectable place for receiving certain guests.

Uning-uningan the sounds from Mandailing traditional musical instruments. The Mandailingnese call it Gondang tunggu-tunggu which consists of two large drums:


(6)

two gondang topap and nine gordang sambilan. The uning-uningan typically accompanies traditional Mandailing dance (tor-tor).