Variasi Eksperensial Teks Translasional Mangupa Bahasa Mandailing – Inggris

(1)

VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL

MANGUPA BAHASA MANDAILING – INGGRIS

TESIS

Oleh

SUSI MASNIARI NASUTION

127009041/LNG

117009008/LN

TESIS

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(2)

VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL

MANGUPA BAHASA MANDAILING - INGGRIS

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Linguistik pada Program Pascasarjana

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Oleh:

SUSI MASNIARI NASUTION

127009041/LNG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(3)

Judul Tesis : VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL MANGUPA BAHASA MANDAILING – INGGRIS

Nama Mahasiswa : Susi Masniari Nasution Nomor Pokok : 127009041

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Syahron Lubis, M.A.)

Ketua Anggota

(Asruddin B. Tou, M.A., Ph.D.)

Ketua Program Studi Dekan

(Prof.T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D.) (Dr. Syahron Lubis, M.A.)


(4)

Telah diuji pada Tanggal: 21 Juni 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Syahron Lubis, M.A.

Anggota : 1. Asruddin B. Tou, M.A., Ph.D. 2. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 3. Dr. Muhizar Muchtar, M.S.


(5)

PERNYATAAN

Judul Tesis

VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL

MANGUPA BAHASA MANDAILING – INGGRIS

Dengan ini Penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Program Studi Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah benar hasil karya penulis sendiri.

Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian teertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, Juni 2014 Penulis,


(6)

VARIASI EKPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL MANGUPA BAHASA MANDAILING - INGGRIS

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk mendeskripsikan variasi eksperensial teks translasional yang direalisasikan oleh dan di dalam teks

Mangupa bahasa Mandailing – Inggris. Kedua, mengungkapkan makna variasi

eksperensial teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional). Ketiga, mendeskripsikan faktor kontekstual yang mendorong terjadinya variasi eksperensial. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini berasal dari teks translasional bahasa Mandailing dengan Inggris oleh Syahron Lubis (2009), teks Mangupa yang terdiri 22 paragraf dan 37 pantun kemudian direalisasikan ke dalam bentuk satuan-satuan klausa menjadi 98 data klausa yang terdiri88 teks dan 10 pantun Mangupa. Analisis data didasarkan teori linguistik sistemik fungsional. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa 1) 61,22% data menunjukkan variasi keluasan makna pengalaman antara T1 dan T2 pada teks Mangupa adalah rendah, 2) makna variasi eksperensial rendah teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional) adalah suatu makna pengalaman yang direalisasikan dalam kategori aktivitas/ proses, variasi ini dikelompokkan berdasarkan kategori proses dari klausa – klausa dalam data, kategori proses ini mengalami variasi realisasi terutama dalam T2 yang disebabkan jarak budaya dan perbedaan sistem bahasa, 3) Faktor kontekstual yang mendorong variasi eksperensial rendah adalah perbedaan sistem bahasa dan budaya yang selanjutnya menyebabkan bergesernya makna yang diterjemahkan kadang-kadang tidak sepadan/sesuai dengan makna asli teks sumbernya (T1) seperti terdapat perubahan struktural maupun perubahan lainnya.

Kata kunci: Variasi Ekperensial, Linguistik Sistemik Fungsional, Translasi, Mangupa


(7)

THE EXPERIENTIAL VARIATION OF MANGUPA TRANSLATIONAL TEXT OF MANDAILING – INGGRIS

ABSTRACT

There are three objectives of this study. First, to describe the experiential variation of translational text fo and in Mangupa in Mandailing language into English. Second, to express the meaning of the experiential variation in context as the realization of the act of translational semiotic. Third, to describe the contextual factors suporting the experiential variation. The research methode used is descriptive qualitative method. The data taken from the translated text of Mangupa from Mandailing into English by Syahron Lubis. The data analysed are clauses consisting of 22 paragraphs and 37 traditional poetry. It classified into 98 clauses consisting of 88 texts and 10 traditional poetry. The theory used are systemic functional linguistics and translational approach. The result of study are : there are 61,22% experiential variation expressed low variation; the experiential variation realized by process, the cultural gap and difference of language system; contextual factors supporting the experiential variation caused by the shift occured in the translation process such as the structural shift.

Keywords: experiential variation, systemic functional linguistics, translational, mangupa.


(8)

THE SIMPLICITY IS THE BEST WAY TO GET A

SUCCESS

Tesis ini saya persembahkan kepada yang tersayang :

Papa dan Mama

Almarhum. H. Zulkifli Nasution

Almarhumah. Hj. Arbaiah Nasution

Suami dan Anak – anak

Zulham Effendi Sipahutar, SP

Muhammad Hafiz Al- Farizi Sipahutar

Muhammad Revy Al- Furqan Sipahutar


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan suatu limpahan karunia yang tidak terhingga atas rezky, kesehatan, kebahagiaan juga kesempatan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

Penulis merasa tanpa adanya dukungan moral maupun spritual dari beberapa pihak tentunya tesis ini tidak akan selesai dengan lebih baik dan jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin sekali menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar – besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&h, m.Sc, (CTM), Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Syahron Lubis ,M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A,PhD selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik di Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan segudang ilmu dan motivasi kepada para mahasiswa serta kontribusi yang besar terhadap kemajuan di bidang pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana yang memadai.

5. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Ketua Komisi (Pembimbing I) yang sangat berantusias telah memberikan dukungan, semangat, masukan baik kritikan maupun saran hingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.

6. Bapak Asruddin Barori Tou,M.A.,Ph.D, selaku Ketua Komisi (Pembimbing II) yang telah memberikan bimbingan, arahan, pandangan maupun saran terhadap kelengkapan isi tulisan tesis ini.

7. Bapak Prof. Amrin Saragjh, M.A.,Ph.D., Dr. Muhizar Muchtar,M.S., dan Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D., selaku penguji tesis ini yang telah banyak memberikan dukungan penuh baik ide – ide yang cemerlang, masukan, saran dan kritikan hingga tercapainya penulisan tesis ini.

8. Ibu Dr. Nurlela M. Hum., selaku Sekretaris Program Studi S2 Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan dalam urusan administrasi sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar.

9. Ibu Dra. Hayati Chalil, M.Hum., selaku Koordinator Konsentrasi Kajian Terjemahan Program Studi Magister Linguistik di Universitas Sumatera


(10)

Utara yang telah memberikan ketulusan hati ilmu yang sangat bermanfaat baik berupa ide, pandangan, saran, dan kritikan yang baik demi menunjang proses kesempurnaan tesis ini.

10.Seluruh dosen pengajar di Program Studi S2 Linguistik Konsentrasi Terjemahan di Universitas Sumatera Utara tanpa kecuali sebagai motor penggerak dunia yang berdasarkan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, baik dalam memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berguna dalam pengembangan ilmu pengetahuan secara keseluruhan maupun yang menyangkut terjemahan, dan tidak lupa juga kepada seluruh staf pegawai pada Program Studi Magister Linguistik maupun karyawan perpustakaan di Universitas Sumatera Utara yang telah mengabdikan diri dengan tulus dalam pelayanan administrasi kepada penulis hingga tercapainya tesis ini. 11.Seluruh teman seangkatan S2 Linguistik Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara yang saling memberikan semangat dan motivasi hingga terwujudnya tesis ini.

12.Kepada kedua orang tua Almarhum H. Zulkifli Nasution dan Almarhumah Hj. Arbaiah Nasution yang pertama sekali memberikan pendidikan dasar dan membentuk pribadi akhlak yang mulia kepada penulis serta segala bantuan moral dan material semoga jasa – jasa mereka mendapat ganjaran yang setinggi – tingginya dari Allah SWT.

13.Yang terakhir adalah yang teramat sayang dan sangat memberi arti bagi semangat hidup adalah suami yang tercinta, Zulham Effendi Sipahutar,SP atas segala bantuan moral dan material juga penghargaan yang luar biasa atas keizinan dan dukungan serta memberikan motivasi yang tinggi, begitu juga dengan ketiga anak tersayang Muhammad Hafiz Al – Farizi Sipahutar, Muhammad Revy Al – Furqan Sipahutar, dan Finanda Reysha Al – Farah Sipahutar atas motivasi , doa dan pengertian yang cukup besar yang diberikan demi prestasi akademik semoga Allah senantiasa memberkahi dan meridhoi kita semua. Amin ya rabbal alamin.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Allah SWT meridhoi.

Medan, April 2014 Penulis,


(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I

DATA PRIBADI

Nama : Susi Masniari Nasution,SS Tempat/tgl. Lahir : Medan, 07 Juni 1972

Alamat : Komp. Villa Permata Indah Blok G No. 16 Jl. Pertahanan , Medan – Patumbak

Pekerjaan : 1. Sebagai Dosen Tetap di Akademi Pariwisata Medan Hotel School-Medan.

2.Sebagai Staf Pengajar di L.Kursus Profesional IHT - Medan.

Alamat Kantor : Jln. A.H. Nasution Komp.Griya Milala Mas Blok No.1-3 Medan/ Jln. Sunggal No. 70 C - Medan.

Alamat Pos-El

Telp. Rumah/ Hp : 085358707505/ 082273098531 Status : Menikah

Nama Suami : Zulham Effendi Sipahutar,SP Nama Anak : 1. Muhammad Hafiz Al-Farizi

2. Muhammad Revy Al-Furqan 3. Finanda Reysha Al-Farah


(12)

II

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. Pascasarjana (S2) : Linguistik-USU/ Konsentrasi Kajian Terjemahan (2012) 2. Sarjana (S1) : Fakultas Sastra Inggris UISU

Medan (1991)

3. SLTA : SMA NEGERI I - Stabat / Kab.Langkat

4. SLTP : SMP NEGERI I – Tj. Selamat/ Kec.Pad.Tualang

5. SD : SD NEGERI I –Gardu Tj. Putus/ Kec..Padang Tualang


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

ABSTRAK... ii

ABSTRACT... iii

KATA PENGANTAR... iv

DAFTAR RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR SINGKATAN... xiii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR FIGURA... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar belakang... 1

1.2 Identifikasi Masalah... 10

1.3Pembatasan Masalah... 11

1.4Rumusan Masalah... 12

1.5Tujuan Penelitian... 12

1.6Manfaat Penelitian... 13

1.7Manfaat Teoretis... 13

1.8Manfaat Praktis... 14

1.9 Klarifikasi Makna Istilah... 15

BAB II KERANGKA TEORI... 19

2.1Pendahuluan... 19

2.2Teori Linguistik Systemic Functional (LSF)... 21

2.3Translasi... 24


(14)

2.5Variasi Makna Teks : Sekilas Konsepsi Translasi Berbasis

Translatic... 34

2.6Penerjemahan Teks Mangupa... 36

2.7Tiga Metafungsi Bahasa (Halliday 1985, 1994, dan 2004) 40 2.8Makna Pengalaman : sebuah Cabang dari Makna Ideasional 46 2.9Klausa... 54

2.10 Kajian Penelitian Terdahulu... 81

2.11 Kerangka Pikir... 85

2.12 Konstruk Analisis... 88

BAB III METODE PENELITIAN... 93

3.1Pendekatan... 93

3.2Data dan Sumber Data... 94

3.3Teknik Pengumpulan dan Analisis Data... 95

3.4Teknik Analisis Data... 96

BAB IV ANALISIS, PEMBAHASAN, DAN TEMUAN... 101

4. 1 Analisis... 101

4.1.1 Variasi Eksperensial Teks Translasional direalisasikan oleh dan di dalam teks Mangupa bahasa Mandailing – Inggris... 103

4.1.2 Makna Variasi Eksperensial Teks Translasional Dalam Konteksnya Sebagai Perealisasi Tindak Translasional (Tindak Komunikasi Semiotik Translasional )... 105

4.1.3 Faktor Kontekstual Pendorong Terjadinya Variasi Eksperensial ... 107

4.2 Pembahasan ... 109

4.2.1 Variasi Eksperensial Teks Translasional Direalisasikan Oleh Dan Didalam Teks Mangupa Mandailing – Inggris.. 109

4.2.2 Makna Variasi Eksperensial Teks Translasional Tersebut Dalam Konteksnya Sebagai Perealisasi Tindak Translasional (Tindak Komunikasi Semiotik Translasional)... 159


(15)

4.2.3 Faktor Kontekstual Yang Mendorong Terjadinya

Variasi Eksperensial... 181

4.3 Temuan ... 182

4.3.1 Variasi Eksperensial Teks Translasional Direalisasikan Oleh dan Didalam Teks Mangupa Bahasa Mandailing- Inggris... 182

4.3.2 Makna Variasi Eksperensial Teks Translasional Tersebut Dalam Konteksnya Sebagai Perealisasi Tindak Translasional (Tindak Komunikasi Semiotik Translasional)... 183

4.3.3 Faktor Kontekstual Yang Mendorong Terjadinya Variasi Eksperensial ... 184

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 185

5.1Simpulan... 188

5.2 Keterbatasan Penelitian... 184

5.3 Saran... 188

DAFTAR PUSTAKA... 191

LAMPIRAN – LAMPIRAN... 192

DATA PENELITIAN... 193

Analisis Data : VARIASI EKSPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL MANGUPA BAHASA MANDAILING – INGGRIS


(16)

DAFTAR SINGKATAN

T1 : Teks 1 Bahasa Mandailing T2 : Teks 2 Bahasa Inggris At. : attribute

Att. : Attributive Act. : actor Rel. : Relasional Phen. : phenomenon Cir. : circumstance Exis : existential Exist : existent Say. : sayer Sen :senser

KST : Komunikasi Semiotik Translasi KMP : Keluasan Makna Pengalaman


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.12 Parameter Penilaian Variasi KMP... 88 Tabel 4.2.2 (1) Keluasan Makna PengalamanVariasi Proses

T1 : T2... 178 Tabel 4.2.2 (2) Variasi Keluasan Makna Pengalaman Teks

dan Pantun Mangupa Bahasa Mandailing- Inggris... ... 179 Tabel 4.2.2 (3) Kategori Variasi Keluasan Makna Pengalaman


(18)

DAFTAR FIGURA

Gambar 2.3 9 Kebenaran (fakta atau substansi masalah)... 30 Gambar 2.7 Perangkat Pilihan Dalam Klausa... 45 Gambar 2.8 Lingkaran Kategori Proses (Halliday, 1994:108)... 50 Gambar 2.9 Sirkumstan Dalam Bahasa Inggris (Adaptasi dari

Halliday)... 81 Gambar 2.12 Konstruk Analisis Terapan Penelitian... 92 Gambar 3.4 Kerangka Mekanisme Pengerjaan Penelitian... 101


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Data Keseluruhan Teks Mangupa terdiri dari 22 paragraf dan 37 pantun, kemudian dirubah menjadi satuan – satuan klausa berjumlah 98 klausa.


(20)

VARIASI EKPERENSIAL TEKS TRANSLASIONAL MANGUPA BAHASA MANDAILING - INGGRIS

ABSTRAK

Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama. Pertama, untuk mendeskripsikan variasi eksperensial teks translasional yang direalisasikan oleh dan di dalam teks

Mangupa bahasa Mandailing – Inggris. Kedua, mengungkapkan makna variasi

eksperensial teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional). Ketiga, mendeskripsikan faktor kontekstual yang mendorong terjadinya variasi eksperensial. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini berasal dari teks translasional bahasa Mandailing dengan Inggris oleh Syahron Lubis (2009), teks Mangupa yang terdiri 22 paragraf dan 37 pantun kemudian direalisasikan ke dalam bentuk satuan-satuan klausa menjadi 98 data klausa yang terdiri88 teks dan 10 pantun Mangupa. Analisis data didasarkan teori linguistik sistemik fungsional. Berdasarkan analisis data diperoleh hasil bahwa 1) 61,22% data menunjukkan variasi keluasan makna pengalaman antara T1 dan T2 pada teks Mangupa adalah rendah, 2) makna variasi eksperensial rendah teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional) adalah suatu makna pengalaman yang direalisasikan dalam kategori aktivitas/ proses, variasi ini dikelompokkan berdasarkan kategori proses dari klausa – klausa dalam data, kategori proses ini mengalami variasi realisasi terutama dalam T2 yang disebabkan jarak budaya dan perbedaan sistem bahasa, 3) Faktor kontekstual yang mendorong variasi eksperensial rendah adalah perbedaan sistem bahasa dan budaya yang selanjutnya menyebabkan bergesernya makna yang diterjemahkan kadang-kadang tidak sepadan/sesuai dengan makna asli teks sumbernya (T1) seperti terdapat perubahan struktural maupun perubahan lainnya.

Kata kunci: Variasi Ekperensial, Linguistik Sistemik Fungsional, Translasi, Mangupa


(21)

THE EXPERIENTIAL VARIATION OF MANGUPA TRANSLATIONAL TEXT OF MANDAILING – INGGRIS

ABSTRACT

There are three objectives of this study. First, to describe the experiential variation of translational text fo and in Mangupa in Mandailing language into English. Second, to express the meaning of the experiential variation in context as the realization of the act of translational semiotic. Third, to describe the contextual factors suporting the experiential variation. The research methode used is descriptive qualitative method. The data taken from the translated text of Mangupa from Mandailing into English by Syahron Lubis. The data analysed are clauses consisting of 22 paragraphs and 37 traditional poetry. It classified into 98 clauses consisting of 88 texts and 10 traditional poetry. The theory used are systemic functional linguistics and translational approach. The result of study are : there are 61,22% experiential variation expressed low variation; the experiential variation realized by process, the cultural gap and difference of language system; contextual factors supporting the experiential variation caused by the shift occured in the translation process such as the structural shift.

Keywords: experiential variation, systemic functional linguistics, translational, mangupa.


(22)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terjemahan sebagai sarana komunikasi lintas budaya (inter-cultural

communication) telah ada sejak dahulu dikenal dan dipraktekan manusia. Konon

Christoper Colombus ketika ia berlayar dari Spanyol untuk menemukan benua Amerika pada abad XV membawa seorang penerjemah untuk menerjemahkan bahasa etnis daerah setempat (Moentaha, 2006:viii). Bronislaw Malinowski, seorang antropolog berkebangsaan Inggris yang sedang mengadakan penelitian di Trobriand Islands. Pasific Selatan pada tahun 1923 ingin agar masyarakat Inggris memahami hasil penelitiannya. Upaya yang dilakukannya ialah menerjemahkan hasil penelitian itu ke dalam bahasa Inggris (BI) (Katan, 1999).

Terjemahan juga sebagai “jembatan” yang menghubungkan dua masyarakat yang saling tidak memahami sejak dari masa silam hingga kini telah banyak berperan dalam berbagai bidang seperti agama, budaya, sastra, seni, politik, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Berbagai negara seperti Jepang, Malaysia dan Cina telah banyak melakukan penerjemahan untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari negara-negara maju yang pada gilirannya dapat meningkatkan perekonomian dan kemakmuran negara – negara tersebut (Syamsulhadi, 2005).


(23)

Indonesia yang didiami oleh ratusan sukubangsa menjadikan negara tersebut negara yang multikultural dan multilingual. Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keragaman budaya khas yang dimilki bangsa-bangsa lain. Namun sayang sekali budaya yang khas, beragam dan indah tersebut belum banyak dikenal dunia luar karena hambatan kebahasaan. Dalam era globalisasi, ketergantungan suatu negara kepada negara lain semakin tinggi, tidak cukup bila ilmu dan teknologi saja yang kita serap dari negara-negara maju melalui sarana penerjemahan. Kini saatnya (mungkin juga sudah tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara lain) kekayaan budaya Indonesia diperkenalkan kepada bangsa-bangsa lain melalui terjemahan agar negara ini lebih dikenal dan menarik perhatian bangsa-bangsa lain yang pada gilirannya akan menarik minat wisatawan manca negara untuk mengunjungi Indonesia.

Mandailing adalah sebuah daerah di Sumatera Utara yang memiliki dan mempertahankan budaya tradisional. Salah satu aspek budaya tradional Mandailing yang spesifik adalah pelaksanaan perkawinan. Perhelatan perkawinan tradisional Mandailing menempuh sederet upacara adat yaitu mangaririt boru

(menyelidiki keadaan perempuan sebagai calon isteri oleh pihak calon suami),

manulak sere (penyerahan kewajiban/ syarat – syarat perkawinan dari pihak calon

suami), mangelehen mangan pamunan (memberi makan terakhir kepada calon isteri oleh orang tuanya sebelum meninggalkan rumah orang tuanya), upacara pernikahan, horja pabuat boru (upacara pelepasan mempelai wanita), horja

(parhelatan perkawnan di rumah mempelai laki-laki) dan mangupa (upacara pemberian nasihat –nasihat perkawinan) (Nasution, 2005:279-419).


(24)

Mangupa sebagai puncak atau upacara terakhir dalam perkawinan Mandailing merupakan upacara yang sangat menarik. Mangupa dihadiri oleh perangkat dalihan na tolu (kahanggi, mora, dan anak boru) dan nasihat – nasihat perkawinan pada saat itu disampaikan oleh seorang datu pangupa.

Teks Mangupa merupakan teks adat pada suku Mandailing sebagai ungkapan rasa syukur ataupun berupa kata – kata nasihat dari petuah – petuah adat yang ditujukan kepada seseorang yang baru saja sembuh dari sakit yang begitu berkepanjangan yang bertujuan untuk mengembalikan semangat (tondi) pada orang sakit tersebut. Teks ini adalah sebagai makna syukur mengungkapkan kebahagiaan untuk keberkatan dalam acara perkawinan adat, wisuda, dan juga acara penting lainnya. Acara tradisi Mangupa ini sampai sekarang masih saja tetap dilakukan oleh masyarakat Mandailing di Sumatera Utara.

Penerjemahan Mangupa dilakukan oleh Lubis pada tahun 2009. Hasil penerjemahan ini sukar dicari padanannya di dalam bahasa Inggris disebabkan adanya kesenjangan unsur - unsur kebahasaan dan budaya di antara kedua bahasa ini. Sekilas baca, perbedaan konteks selalu mewarnai dalam pengalihan bahasa teks Mangupa, hal ini merupakan variasi – variasi yang tidak terhindarkan. Kemungkinan prosedur adaptasi harus dilakukan oleh penerjemah dengan mengubah sama sekali wujud kebahasaan yang tersurat dalam bahasa sumber. Kesulitan mengalihkan pesan dari suatu bahasa (bahasa sumber/BSu) ke dalam bahasa yang lain (bahasa sasaran/BSa) merupakan upaya mengganti teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran. Aktivitas ini merupakan suatu proses pemaknaan dari satu teks ke dalam teks yang lain agar


(25)

berwujud pesan/makna penerjemahan yang setara dalam bahasa sasaran. Aktivitas ini merupakan satu bentuk komunikasi yang melibatkan sistim semiotik, yang beroperasi dalam kontek sosial.

Penerjemahan melibatkan bahasa, yang mencakup segala tanda atau wujud representasi makna, kaidah – kaidah yang terdapat dalam bahasa sumber kemudian dimodifikasi menjadi rambu, simbol, dan sinyal demi tercapainya suatu kesepadanan makna dalam bahasa sasaran.

Berdasarkan pandangan para pakar dan praktisi terjemahan seperti Halliday (1956:82), Malinowski (1965:11-12), Catford (1965:20), Nida dan Taber (1969:12). Newmark (1981:7) dan Larson (1984:3) mempunyai kesamaan pandangan bahwa mendefinisikan penerjemahan (antarbahasa) adalah proses pengalihan makna teks sumber ke dalam teks sasaran secara akurat, dapat dipahami dan berterima bagi pemabaca terjemahan tersebut. Penerjemahan yang dimaksud dalam definisi ini adalah penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, bukan dalam bahasa yang sama (intralingual) dan bukan pula penerjemahan antar semiotika (intersemiotic translation). Penerjemahan secara akurat adalah hasil upaya penerjemah untuk menerjemahkan teks sumber secara jujur ; tidak menyimpang dari makna teks sumber ke makna lain; tidak menambah dan mengurangi makna teks sumber kecuali diharuskan oleh perbedaan sistem linguistik kedua bahasa atau untuk memenuhi tuntunan estetika bahasa. Terjemahan dapat dipahami apabila pembaca dengan mudah dapat memahami hasil terjemahan dan tidak merasa sedang membaca teks asing. Dengan kata lain terjemahan itu berterima karena pembaca teks tersebut merasakan bahwa gaya


(26)

bahasa (stilistika) dan konteks terjemahan sudah tepat dan secara kultural dapat dipahami dan diterima oleh pembaca seperti yang disampaikan Larson (1984:3) bahwa “ Translation consists of transferring the meaning of the source language into the receptor language. This is done by going from the first language to the

second language by way of semantic structure. It is meaning which is being

transferred and must be held constant. Only the form changes.” Penerjemahan

merupakan upaya pengalihan atau transfer makna (meaning/content) sebuah teks /berita (bukan kata demi kata) dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang sesuai dengan stilistika dan konteks bahasa itu digunakan.

Larson (1984) menegaskan berkali – kali bahwa maknalah yang ditransfer bukan bentuk. Ini didasarkan pada fakta bahwa tidak ada dua bahasa memiliki bentuk yang sama. Bahasa berbeda dalam keberadaan jenis kata, dalam struktur sintaktis dan lain-lain. Struktur makna bahasa lebih universal daripada struktur gramatika (Larson, 1984:26) Jadi di dalam “kepala” dua penutur bahasa yang berbeda (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) misalnya ada sebuah ide atau pikiran yang sama untuk mengetahui “ keadaan diri lawan bicaranya”. Penutur bahasa Inggris mengatakan How are you? Yang secara harafiah berarti ‘bagaimana keberadaan anda” sedangkan penutur bahasa Indonesia menyebutkan

Apa khabar ? yang secara harafiah berarti ‘berita apa yang anda miliki?’ Jadi

dengan jelas terlihat bahwa makna yang sama disampaikan dengan bentuk yang berbeda.

Penerjemahan merupakan kegiatan mengalihkan pesan dari BSu ke dalam BSa. Dalam proses pengalihan pesan tersebut, seorang penerjemah profesional


(27)

tentunya akan memperioritaskan kesepadanan makna (equivalence) dan tidak hanya terpaku pada kesejajaran formal semata (formal correspondence). Hal ini disebabkan adakalanya kesepadanan formal tidak mampu mentransfer pesan TSu ke dalam TSa dengan baik dan berterima (Hoed, 2006a:3).

Pengalihan/transfer makna (meaning/content) sebuah teks/berita (bukan kata demi kata) dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran yang sesuai dengan stilistika dan konteks bahasa itu digunakan.

Suatu hal yang perlu diperhatikan dalam penerjemahan, perbedaan budaya di antara kedua teks Mandailing dan Inggris dengan sejumlah istilah dan ungkapan budaya Mandailing yang tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris, oleh karena itu diperlukan kata – kata pinjaman (tidak diterjemahkan) untuk memberikan penjelasan makna pada glosarium, dan beberapa kata memiliki padanan tetapi nuansa budaya yang melekat pada kata – kata tersebut tidak di transfer ke dalam bahasa Inggris dan maknanya juga harus dijelaskan pada glosarium.

Sejalan dengan uraian diatas, penelitian ini mengkaji hasil terjemahan teks

Mangupa yang unik dan kaya akan khas budaya dari suku Mandailing.

Keunikannya dinilai dari makna istilah nasihat yang disampaikan oleh pemberi petuah – petuah agama, keluarga, teman, ataupun lainnya pada prosesi adat perkawinan. Ciri khas yang tampak pada acara Mangupa adalah adanya leksikon bahasa Mandailing pada makanan, yang terdiri atas beberapa macam/ jenis yang setiap jenisnya mengandung makna tersendiri. Kemudian adanya sekapur sirih yang disuguhkan kepada orang yang akan diupa, sebuah baskom untuk cuci


(28)

tangan, dan gelas berisi aek sitio – tio, serta ayam dan ikan yang ditutupi beberapa lembar daun pisang. Makna yang tersirat dibalik Mangupa inilah yang menjadi objek yang menarik untuk diteliti.

Pendekatan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) Halliday (1994) digunakan dalam penelitian ini untuk landasan teori dalam mengindentifikasi variasi penerjemahan yang melibatkan dua bahasa yang berbeda ini (Mandailing – Inggris). Secara langsung, variasi menggambarkan ciri – ciri khas dari kedua bahasa itu dari persfektif variasi ekperensial. Teori LSF selama ini hanya difungsikan untuk mendeskripsikan satu teks bahasa Inggris, dan sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah dingkat sebagai persfektif untuk memotret wujud dua bahasa yaitu lokal bahasa Mandailing dan hasil terjemahannya dalam bahasa Inggris. Jadi hasil kajian ini menjadi penelitian bahasa Mandailing – Inggris dari sudut pandang LSF.

Dalam persfektif LSF, teks Mangupa adalah bahasa dengan sistem semiotik yang memaparkan pengalaman, untuk memaparkan pengalaman manusia terdapat unsur – unsur yang penting yaitu proses, partisipan, dan sirkumstan. Proses merupakan kegiatan yang menjadi inti suatu pengalaman, partisipan

adalah orang atau benda yang melakukan kegiatan dalam klausa atau ujaran, sedangkan sirkumstan adalah rentang, lokasi, atau cara, sebab, lingkungan, penyerta, peran, masalah, dan sudut pandang yang memberi keterangan pada kegiatan inti dalam klausa atau ujaran.


(29)

T1 Songon on ma ikhlas ni roha muyu

Manjagit Pangupa on

Pa 1 Po Pa 2

T2 You May accept this pangupa

Pa 1 Po Pa 2

Seikhlas inilah hati kalian menerima pangupa ini - Keterangan

-Po : Proses

: -Pa : Partisipan 1

-Si : Sirkumstan

Data di atas memperlihatkan variasi perwujudan dari makna yang sebenarnya sama, T1 hadir dengan tiga elemen (Pa1, Po,Pa2), sementara T2 muncul dengan empat elemen (Pa1,Po,Pa2,Si) , hal ini terdapat adanya penambahan pada posisi T2 pada teks tersebut. Fenomena perwujudan variatif yang seperti ini akan dikaji secara mendalam. Selain itu, keluasan makna juga dilihat berdasarkan perubahan kategori proses yang digunakan dalam kedua teks, sebagaimana contoh berikut, yang memperlihatkan predikat dengan verba yang berbeda makna satu sama lain, T2 “manjagit” sementara T2”accept”. Perbedaan predikat tersebut menunjukkan adanya perubahan wujud makna yang diungkapkan oleh T1 dan T2. Sebagai sumber data primer contoh 2 :

T1 Di son pira manuk na nihobolan


(30)

T2 This Is a boiled egg for safe and sound

Pa Po Pa Si

- Inilah telur ayam rebus pelindung jiwa dan raga

Perubahan di atas memperlihatkan satu ruang terbuka bagi penerjemah untuk mengungkapkan makna yang ia tangkap dari teks sumber, tanpa harus selalu terpaku pada teks sumber sebagi rujukan yang ‘mutlak’harus ditaati. Penerjemah dengan penguasaan bahasa sasaran yang memadai dituntun untuk mengungkapkan makna itu sejalan dengan kaidah dan sifat yang berlaku dalam bahasa sasaran.

Fenomena ini menjadi fakta yang menarik untuk dikaji melalui penelitian penerjemahan, dengan perspektif yang berbeda –perspektif yang tidak melihat teks sumber sebagai determinan yang paling dominan dalam penciptaan makna teks terjemahan. Selain itu, kajian ini juga melibatkan bahasa lokal, bahasa Mandailing –satu bahasa yang masih kurang pengkajian, apalagi bila dihubungkan dengan kajian penerjemahan secara khusus. Kajian penerjemahan umumnya mengkaji bahasa – bahasa utama (bahasa nasional dan bahasa asing), dengan berbagai aspeknya. Dengan demikian, kajian bahasa lokal dari aspek penerjemahan ini dapat menjadi jalan masuk untuk mengangkat variasi kelokalan dalam pengkajian ilmiah, terutama pengkajian terjemahan dan linguistik.

Dengan pendekatan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) Halliday (1994), kajian penerjemahan yang melibatkan dua bahasa yang berbeda ini (Mandailing – Inggris) secara tidak langsung akan menggambarkan ciri – ciri khas dari kedua bahasa itu dari persfektif variasi eksperensial. LSF selama ini hanya


(31)

difungsikan untuk mendeskripsikan bahasa Inggris karena belum pernah diangkat sebagai persfektif untuk memotret wujud bahasa Indonesia, terlebih lagi untuk mengakaji bahasa lokal, khususnya bahasa Mandailing. Jadi, hasil kajian ini secara tidak langsung menjadi deskripsi awal bahasa Indonesia dan bahasa Mandailing dari sudut pandang LSF. Dengan alasan – alasan tersebut kajian ini dikatakan layak untuk dilakukan.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada deskripsi di atas, teridentifikasi permasalahan permasalahan sebagai berikut:

1. Terdapat variasi realisasi makna antara T1 dengan T2 terutama pada makna ideasional.

2. Variasi makna ideasional tersebut salah satu terlihat dari perubahan makna pengalaman.

3. Variasi realisasi makna pengalaman tersebut terjadi baik pada keluasan, kedalaman, maupun ketinggian.

4. Variasi keluasan makna pengalaman tampak dari penambahan dan pengurangan unsur makna pada tingkat kalimat.

5. Variasi keluasan makna pengalaman juga teridentifikasi dari perubahan jenis proses pada tingkat kalimat.

6. Variasi keluasan makna pengalaman, berdasarkan asumsi dan dukungan teori, dan selalu berpengaruh pada kesepadanan makna


(32)

terjemahan. Yang artinya kemunculan variasi itu akan menimbulkan berkurangnya derajat kesepadanan.

1.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada variasi eksperensial teks translasional

Mangupa bahasa Mandailing – Inggris dan secara spesifik teks Mangupa, sebagai

salah satu teks budaya Mandailing, dipiih sebagai objek penelitian.

Fokus utama dalam penelitian ini adalah variasi keluasan makna pengalaman dengan rincian topik sebagai berikut :

1. Variasi keluasan makna pengalaman antara T1 dengan T2. 2. Wujud variasi keluasan makna pengalaman.

3. Pengaruh variasi keluasan makna pengalaman terhadap kesepadanan makna.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan landasan pemikiran yang disajikan pada bagian sebelumnya, kajian ini memfokuskan pada rumusan masalah berikut :

1. Bagaimanakah variasi eksperensial teks translasional direalisasikan oleh dan di dalam teks Mangupa bahasa Mandailing – Inggris ?


(33)

2. Apakah makna variasi eksperensial teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translasional (tindak komunikasi semiotik translasional)?

3. Faktor kontekstual apakah yang mendorong terjadinya variasi eksperensial tersebut ?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui variasi eksperensial setiap klausa dari teks Mangupa oleh H. Pandapotan Nasution dan terjemahannya dalam bahasa Inggris oleh Syahron Lubis. Sebagai tujuan khusus dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, menjelaskan, dan membahas terhadap beberapa hal di bawah ini:

1. Mendeskripsikan variasi eksperensial teks translasional yang direalisasikan oleh dan didalam teks Mangupa bahasa Mandailing – Inggris.

2. Mengungkapkan makna variasi eksperensial teks translasional tersebut dalam konteksnya sebagai perealisasi tindak translational (tindak komunikasi semiotik translasional).

3. Mendeskripsikan faktor kontekstual yang mendorong terjadinya variasi eksperensial tersebut.


(34)

1.6 Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik pada tataran teoretis maupun praktis. Secara teori, diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap dua perkembangan disiplin ilmu, yaitu penerjemahan dan linguistik. Secara praktis, penelitian ini diharapkan memberikan manfaat kepada berbagai kalangan yaitu mahasiswa jurusan bahasa Inggris, guru, dan dosen bahasa Inggris, penerjemah, dan para peneliti.

1.7 Manfaat Teoretis

Hasil kajian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pemahaman teori – teori mengenai teori LSF Halliday dan aplikasinya dalam pengkajian penerjemahan. Dalam hal ini, hanya satu metafungsi bahasa saja, yakni makna ideasional, khususnya keluasan makna pengalaman, yang diberikan cukup mendalam untuk diterapkan sebagai alat untuk mempertajam dalam mengkaji penerjemahan. Hasil kajian ini berwujud teori variasi keluasan makna pengalaman dan implikasinya bagi kesepadanan makna dalam penerjemahan. Selain itu, hasil kajian juga memperlihatkan kajian bahasa lokal dengan teori LSF, sekaligus mengenalkan pengkajian penerjemahan yang melibatkan bahasa – bahasa lokal— satu fakta ilmiah yang sangat jarang ditemukan. Secara tidak langsung , hasil kajian ini memperlihatkan keunikan – keunikan sistem bahasa dari bahasa Mandailing dan bahasa Inggris khususnya.


(35)

1.8 Manfaat Praktis

Pada tataran praktis, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pengajaran kuliah penerjemahan. Selain itu, hasil kajian juga merupakan sumber acuan yang dapat dijadikan rambu – rambu tambahan bagi praktisi penerjemahan dalam melakukan pekerjaannya, terutama ketika mereka berhadapan dengan teks – teks, misalnya pada teks Mangupa. Pengkajian bahasa lokal diharapkan makin mengenalkan local genius kepada pengkaji bahasa, pemilik bahasa lokal, dan pemerhati budaya, sehingga mereka makin giat mengkaji, terus mencintai dan melestarikan nilai – nilai kelokalan, disamping itu kita juga dapat mempromosikan nilai – nilai budaya kita yang tinggi kepada dunia luar. Untuk Guru dan Dosen, hasil kajian ini dapat digunakan sebagai bahan pengajaran kuliah penerjemahan. Hasil penelitian ini dapat memberikan wawasan kepada guru dan dosen tentang analisis variasi ekpsperensial yang bermanfaat untuk pengajaran tata bahasa, analisis wacana, linguistik, dan translasi. Dengan mengkaji berbagai macam variasi, dosen atau guru akan mempermudah pemahaman siswa/ mahasiswa untuk mengimplementasikan pelajaran dan mata kuliah terkait.

1.9 Klarifikasi Istilah

Ada beberapa istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Untuk dapat memperjelas istilah yang digunakan dan untuk lebih memudahkan pembaca memahami maksud istilah tersebut, berikut ini diberikan penjelasan tentang istilah – istilah yang dipakai dalam pembahasan hasil penelitian ini.


(36)

1. Bahasa Inggris adalah bahasa Inggris baku yang digunakan oleh penutur bahasa Inggris di Kerajaan Inggris atau yang dikenal dengan British English.

2. Bahasa Mandailing adalah bahasa etnis yang digunakan oleh kelompok etnis Mandailing yang menetap di Mandailing, Kabupaten Mandailing Natal.

3. Budaya Inggris adalah budaya masyarakat Inggris yang menetap di Kerajaan Inggris.

4. Budaya Mandailing adalah budaya masyarakat Mandailing yang menetap di daerah Mandailing.

5. Translasi adalah istilah lain dari penerjemahan.

6. Penerjemahan adalah proses/pekerjaan pengalihan makna teks sumber ke dalam teks sasaran dalam dua bahasa yang berbeda.

7. Terjemahan adalah produk penerjemahan (teks yang merupakan hasil penerjemahan).

8. Padanan adalah kata atau unsur lain dalam teks sasaran yang maknanya dianggap setara dengan makna kata atau unsur lain dalam teks sumber. 9. Klausa adalah Satuan sintaksis berupa runtunan kata – kata berkonstruksi

predikatif, artinya di dalam konstruksi terdapat komponen, berupa kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat dan yang lain berfungsi sebagai subjek, objek, dan sebagai keterangan.


(37)

10.Struktur adalah istilah yang tidak terbatas pada bentuk formal bahasa seperti kalimat, frasa kata dan morfem tetapi juga aspek makna/ semantik bahasa.

11.Teks Sumber (Tsur) adalah teks yang akan atau sedang diterjemahkan. Dalam penerjemahan ini Tsar adalah teks hasil penerjemahan berbahasa Inggris.

12.Teks Sasaran (Tsar) adalah Teks yang menjadi target/ tujuan penerjemahan. Dalam penerjemahan ini Tsar adalah teks hasil penerjemahan berbahasa Inggris.

13.Bahasa Sumber (Bsur) adalah bahasa yang digunakan dalam Tsur. Dalam penerjemahan ini bahasa sumber adalah bahasa Mandailing yang digunakan di daerah Mandailing.

14.Bahasa Sasaran (Bsar) adalah bahasa yang digunakan dalam Tsar. Dalam penerjemahan ini bahasa sasaran adalah bahasa Inggris yang digunakan di Inggris.

15.Variasi Eksperensial adalah suatu perubahan pada unsur kategori proses yang merupakan hasil dari realisasi pengalaman – pengalaman manusia yang diwujudkan dalam bentuk klausa per klausa. Dengan kata lain, variasi di sini adalah suatu proses perubahan pada unsur – unsur proses dari klausa teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran (T1 ke T2). Proses perubahan itu terjadi pada unsur – unsur proses dalam setiap klausa seperti misalnya material, mental dan relasional, partisipan, verbal, serta wujud atau ekstensial.


(38)

16.Eksperensial (Experiential) adalah pengalaman, dalam hal ini eksperensial merupakan representasi pengalaman – pengalaman manusia, baik realitas luaran maupun dalaman diri manusia dari dalam diri manusia itu sendiri maupun dari luar yang diwujudkan dalam bentuk klausa per klausa. Dengan kata lain, variasi eksperensial di sini adalah suatu proses perubahan pada unsur proses utama (proses material, mental, dan relasional) maupun proses tambahan lainnya (tingkah laku, verbal, dan wujud atau ekistensial).

17.Mangupa. Istilah Mangupa sebutan yang lebih sering dikenal adalah upa – upa yang merupakan salah satu puncak atau acara terakhir pada upacara adat perkawinan suku Mandailing yang sangat menarik dan unik.

Mangupa adalah suatu manifestasi, suatu pernyataan kegembiraan serta

kebanggaan hati terhadap yang diupa dengan jalan memberikan mereka sajian berupa makanan menurut ketentuan adat sambil menyampaikan pasu – pasu (doa restu) dan nasehat – nasehat sebagai pedoman hidup mereka serta kata – kata untuk menguatkan tondi mereka. Sasaran utama dalam mangupa adalah tondi (semangat). Tondi artinya roh atau jiwa. 18.Teks Mangupa adalah sebuah teks lisan yang diucapkan pada upacara

perkawinan tradisional masyarakat Mandailing di daerah Mandailing yang mengandung nasihat, anjuran, doa kepada sang Pencipta serta harapan yang baik bagi kedua mempelai yang diupa-upa dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.


(39)

19.Pangupa adalah sejumlah benda seperti nasi, kepala kerbau, ayam, ikan, telur, ayam, garam dan lain – lain yang digunakan dalam upacara

mangupa yang memiliki makna tertentu dan melambangkan harapan

yang diinginkan dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat di Mandailing.


(40)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Pendahuluan

Pendahuluan (Translation Studies) merupakan sebuah disiplin ilmu yang multidisipliner. Penerjemahan berkaitan dengan/dan memrlukan kontribusi berbagai subdisiplin ilmu linguistik seperti semantik, sosiolinguistik, pragmatik, analisis wacana, kontrastif linguistik, kognitif linguistik, dan dengan disiplin lain seperti filsafat, rekayasa bahasa (language engineering), studi kebudayaan dan kesusasteraan (Hatim dan Munday, 2004:8). Oleh karena itu penelitian ini tidak dapat didasarkan pada satu teori saja akan tetapi pada sejumlah teori (eclectic) yang saling terkait dan mendukung.

Bahasa adalah bagian dari budaya. Ketika seorang penutur menggunakan bahasa sebagai sarana interaksi dengan penutur lain, sebagai sarana penyampai pikiran, gagasan, dan perasaan, ciri-ciri budaya penutur selalu terrefleksi dalam bahasanya. Oleh karena itu penelaahan bahasa apapun tidak akan memadai tanpa melihat budaya yang melatarbelakangi bahasa tersebut.

Bahasa digunakan dalam konteks. Bentuk dan makna bahasa yang sedang digunakan ditentukan oleh konteks. Sebagai contoh, dalam konteks yang tidak formal bahasa yang dipakai pun bahasa tidak resmi dan sebaliknya bila konteksnya formal pentur akan menggunakan bahasa resmi atau formal. Kajian


(41)

tentang relevansi bahasa dengan konteks: konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideologi juga perlu dilakukan untuk membantu upaya penerjemahan. Penerjemahan sebagai sebuah disiplin, yang merupakan sub-disiplin linguistik terapan (applied linguistic) tentu saja memiliki teori, metode, dan teknik. Teori, metode dan teknik apa yang akan diterapkan penerjemah dalam menerjemahkan sebuah teks ditentukan oleh tujuan penerjemahan yang telah ditetapkan perlu pula dilakukan sebelum penerjemahan dimulai.

2.2 Teori Linguistik Systemic Fungsional (LSF)

Teori – teori yang dipilih sebagai pemandu dalam pengkajian ini meliputi teori konsep penerjemahan, penerjemahan teks Mangupa, ekuivalensi dalam penerjemahan, konseptual translastic, tiga metafungsi Halliday, makna pengalaman dan sekilas tentang klausa. Setiap teori tersebut akan disajikan pada bagian – bagian berikut.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah LSFyang dikemukakan oleh Halliday. Penggunaan LSF dalam bahasa Indonesia didasarkan pada rujukan teks berbahasa Indonesia Sinar (2003, 2008, 2010) dalam bukunya” Teori dan Analisis Wacana: Pendekatan Sistemik Fungsional” dan Saragih (2006; 2007) dalam bukunya “Bahasa dalam konteks Sosial : Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana”.


(42)

LSF dikembangkan oleh M.A.K. Halliday, pakar linguistik dunia dari Inggris ( yang kini tinggal di Australia), dengan bahasa Inggris sebagai bahasa kajian. J.R. Martin, pakar linguistik dari Kanada mengembangkan dan memperkaya teori LSF dengan teori lanjutan, seperti teori genre dengan bahasa kajian bahasa Inggris. Selain bahasa Inggris, teori LSF telah diterapkan ke berbagai bahasa dalam mengkaji (suatu) aspek kebahasaan dalam berbagai bentuk, seperti maklah, tesis, dan disertasi. Aplikasi seperti itu telah dilakukan dalam bahasa Arab, Hindi, Jepang, Latin, Mandarin, Persia, Portugis , Prancis, Rusia, Spanyol, Swedia, Tagalog, dan Yunani. Sejumlah penelitian mengenai bahasa Indonesia berdasarkan teori LSF juga telah dilakukan. Namun, buku mengenai teori LSF secara utuh atau keseluruhan dalam dan dengan bahasa percontohan bahasa Indonesia belum dilakukan.

Aliran LSF yang diperkenalkan oleh Prof. M.A.K. Halliday dari Universitas Sydney, Australia, teorinya ini muncul dari gabungan teori antropologi Malinowski dan linguist J.R. Firth di Eropa yang sekaligus merupakan dosen Halliday di Universitas London. Halliday mengembangkan dua teori tersebut dengan menghubungkan bahasa dan konteks. Menurut Halliday (1978), bahasa adalah sistem arti, sistem bentuk, dan ekspresi. Hubungan arti dan ekspresinya adalah semantik yang direalisasikan dengan tata bahasa, Selanjutnya, tata bahasa diekspresikan fonologi (dalam bahasa lisan) atau grafologi (dalam bahasa tulisan). Hubungan antara arti dan bentuk adalah alamiah dan berkonstrual dengan konteks sosial. Dengan kata lain, konteks sosial menentukan dan ditentukan oleh teks. Dalam hal ini, teks dibatasi sebagai unit bahasa, unit arti atau


(43)

unit semantik yang fungsional dalam konteks sosial. Jadi teks bukanlah merupakan unit tata bahasa (seperti kata, frasa, klausa, paragraf, dan naskah). Dengan demikian, dalam satu konteks soal tertentu hanya teks tertentu saja yang dapat dihasilkan. Sebaliknya, dalam teks tertentu hanya konteks sosial tertentu yang dapat dirujuk. Konteks pemakaian bahasa dibatasi sebagai sesuatu yang berada di luar teks atau pemakaian bahasa.

Dengan pengertian fungsional, konteks linguistik mengacu pada unit linguistik yang mendampingi satu unit yang sedang dibicarakan. Contoh pada klausa: Carrisa ingin . berangkat nanti malam. Unit Carissa ingin....nanti malam merupakan konteks bagi unit berangkat ketika seseorang membicarakan kata

berangkat itu. Konteks linguistik adalah konteks internal karena berada di dalam

dan merupakan bagian dari teks yang dibicarakan.

Sedangkan konteks sosial adalah pemakaian bahasa dinterpretasikan berdasarkan konteks atau segala unsur yang terjadi di luar teks. Dengan kata lain, konteks sosial memotivasi pengguna atau pemakaian bahasa menggunakan struktur tertentu. Konteks sosial yang mempengaruhi bahasa terdiri dari atas

situasi (register), budaya (culture), dan ideologi (ideology) (Martin, 1985).

Konteks situasi mengacu pada kondisi dan lingkungan yang mendampingi atau sedang berlangsung ketika penggunaan bahasa berlangsung atau ketika interaksi antar pemakai bahasa terjadi. Menurut Halliday dan Hasan (1985) konteks situasi terdiri dari tiga unsur, yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode) of discourse. Ketiga unsur tersebut mengandung arti (1) medan,


(44)

yakni apa---what yang dibicarakan dalam interaksi, (2) pelibat, yakni siapa----who

yang terkait atau terlibat dalam interaksi, dan (3) sarana, yakni bagaimana----how

interkasi dilakukan.

Konteks budaya dibatasi sebagai aktivias sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Konteks budaya meliputi tiga hal yaitu (1) batasan kemungkinan tiga unsur konteks situasi, (2) tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan (3) tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial.

Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa yang seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan oleh seorang dala satu interkasi sosial. Dengan batasan ini, ideologi merupakan konsep atau gambar ideal yang diinginkan dan diidamkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas yang terdiri atas apa yang diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi (Saragih, 2006:6).

Bila melihat dari segi relevansinya dengan penelitian ini adalah bahwa teori fungsional ini berpijak pada konteks sosial dalam penganalisaan bahasa, tata bahasa yang berdasarkan LSF relevan untuk semua bidang yang terkait dengan pemakaian bahasa. Dalam berbagai bidang kegiatan, bidang, dan disiplin ilmu, bahasa memegang peran penting. Karena tujuan pemakaian bahasa menentukan tata bahasa tertentu. Peran LSF adalah mengeksplorasi dan mendeskripsi tata bahasa itu. Walaupun pemakaian bahasa sangat luas, kerelevanan tata bahasa berdasarkan LSF secara spesifik menurut Halliday (1994:xxix) mencakup beberapa hal, seperti : a) memahami hakiki dan fungsi bahasa, b) memahami


(45)

hakiki persamaan atau perbedaan sejumlah bahasa, c) Memahami perubahan bahasa dalam kurun tertentu, d) memahami perkembangan bahasa dan perkembangan bahasa manusia umunya, dsb.

2.3 Translasi

Translasi adalah istilah lain dari penerjemahan. Ada beberapa fenomena translasi(onal) baik secara intrinsik, teramati, dan terukur. Dari berbagai referensi dalam kajian translasi baik yang tersurat maupun tersirat pemakaian dan pengertian translasi (translation), Munday mengartikan translasi adalah peralihan bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dalam bentuk teks tulis ...as changing of an original written text in the original verbal language into a written text in a different verbal language. (Munday, 2001:5).

Berdasarkan definisi translasi tersebut, terlihat adanya kesepakatan bahwa translasi adalah suatu pekerjaan yang menyangkut keterkaitan antara dua bahasa atau lebih (multy-language) yang menekankan suatu kesamaan, yakni adanya ekuivalensi. Dalam penerjemahan, yang kemudian terjadi adalah transfer makna dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target language) dengan keakuratan pesan, keterbacaan, dan keberterimaan produk ( Nababan 2008).

Selain memperlakukan translasi sebagai proses Tou (2008), Savory (1968:13), Nida dan Taber (1969:12), Newmark (1988:32), Hurtmann dan Stork (1972;713), Wilss (1982:112), Larson (1984:3), dan Papegaajj dan Schubert (1988:11) juga berpandangan bahwa translasi berkaitan dengan bahasa (sandi


(46)

semiotik verbal atau kebahasaan), bukan dengan nonbahasa (sandi semiotik nonverbal atau nonkebahasaan). Dalam hal ini translasi secara hakiki dipandang sebagai persoalan fenomena kebahasaan. (Savory menggunakan ungkapan “verbal expressions” untuk mempresentasikan bahasa). Sebagian pengkaji translasi memaknai translasi dalam arti ini dan berdalil bahwa kajian/ teori translasi apapun harus mengacu pada kajian/teori bahasa.

Nida dan Taber (1982:12) mendefinisikan penerjemahan “Reproducing in the receptor language that natural equivalent of the source language massage,

first in term of meaning and second in term of style”. Artinya, penerjemahan

adalah mengungkapkan kembali pesan yang terkandung dalam BSu ke dalam BSa dengan menggunakan padanan yang wajar dan terdekat baik dari segi makna maupun gaya bahasa. Oleh karena itu, suatu hasil terjemahan ideal mampu dipahami dengan mudah dan terasa seperti TSa bukan hasil terjemahan karena penggunaan gaya bahasa yang equivalen (sepadan) dengan gaya Bsa. Untuk mendapatkan equivalensi makna antara BSu dan BSa, Nida menawarkan teknik penambahan atau pengurangan informasi yang kemudian dikenal dengan istilah

gain and loss in translation.

Dari ungkapan Nida di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa

pertama, menurut Nida, penambahan informasi dalam penerjemahan diperlukan

ketika adanya ambiguitas makna pada BSa, jika tidak diberikan informasi tambahan dikhawatirkan akan menimbulkan kesalahpahaman pembaca dalam memaknai TSu. Kedua, Penambahan informasi juga dibutuhkan mengingat


(47)

yang disebabkan oleh perbedaan signifikan gramatika kedua bahasa. Ketiga, amplikasi (penjelasan) yang juga merupakan penambahan informasi diperlukan untuk mengungkapkan makna implicit TSu menjadi makna eksplicit. Akan tetapi, disisi lain pengurangan dalam penerjemahan juga terkadang diperlukan untuk menghindari pemborosan dan kekakuan bahasa.

Menerjemahkan dua bahasa atau lebih yang perbedaanya tergolong signifikan, tentulah bukan hal yang mudah. Apalagi tidak ada kesepadanan yang mendekati seratus persen persis sama. Oleh karena itu, padanan tidak hanya berada pada tataran formal saja tetapi juga pada tataran informal yang mengkaji makna yang tersembunyi di balik TSu.

Bell (1991: 6) menyatakan penerjemahan sebagai peralihan (replacement) presentasi satu teks dalam satu bahasa dengan satu representasi teks yang

sepadan dalam bahasa yang kedua. Strauss (1998) menyebut kesepadan ini

dengan” an accurate and readable rendition,” Artinya , tujuan utama penerjemahan adalah menghadirkan suatu pesan secara akurat kepada pembaca bahasa sasaran.Ia mengutip Herbert M. Wofl yang menyatakan bahwa tujuan penerjemahan yang baik adalah “ to provide an accurate , and readable rendition

of the original that will capture as much of the meaning as possible,” Artinya,

tujuan utama penerjemahan adalah memberikan teks terjemahan yang akurat dan mudah terbaca seperti aslinya dengan menyampaikan makna yang ada secara maksimal Pembaca sasaran menjadi tolak ukur keberhasilan kegiatan penerjemahan. Teks terjemahan harus menghadirkan makna secara utuh dengan bentuk kebahasaan yang mudah dipahami oleh pembaca sasaran. Untuk itu,


(48)

seorang penerjemah harus memahami betul makna yang terkandung dalam teks asli dan memahami cara untuk menyampaikan makna itu untuk pembaca sasaran. Dengan demikian, teks asli memiliki otoritas mutlak yang maknanya harus dihadirkan secara utuh dalam teks sasaran. Pandangan diatas agak berbeda dengan dengan persfektif kaum fungsionalis yang lebih mengedepankan tujuan dari penerjemahan. Menurut mereka teks terjemahan yang tidak sejalan dengan tujuan yang diinginkan oleh pemangku kepentingan yang terlibat dinyatakan sebagai produk terjemahan yang gagal.

Nord (1997: 89-90) memberikan persyaratan pokok yang harus dipenuhi penerjemah untuk dapat menghasilkan ekuivalen antara teks sumber dan teks sasaran. Persyaratan tersebut meliputi :

1) Penafsiran penerjemah harus sama dengan “maksud” pengarang.

2) Penerjemahan harus dapat mengungkapkan maksud pengarang dengan sedemikian rupa hingga teks sasaran dapat mencapai fungsi yang sama dalam budaya sasaran sebagaimana pencapaian teks asli dalam budaya sumber.

3) Pembaca sasaran harus memahami dunia teks terjemahan sebagaimana pembaca teks sumber memahami dunia teks asli.

4) Efek yang ditimbulkan oleh teks sasaran terhadap pembaca sasaran harus sepadan dengan efek yang diakibatkan oleh teks asli terhadap pembacanya.


(49)

Dari persyaratan di atas, tampak lebih jelas lagi “titik idealis” dari pandangan Nord. Kriteria dan persyaratan itu agaknya dapat diberlakukan dalam semua jenis pekerjaan penerjemahan, bukan hanya dalam penerjemahan teks

Mangupa saja. Tetapi kriteria dan persyaratan “ kesempurnaan” karya terjemahan

yang diungkapkan Nord di atas tentu saja tidak harus dipenuhi secara mutlak oleh praktisi penerjemahan. Tentunya, ada perioritas yang mesti dipentingkan dan elemen suplemen yang dapat dikesmpingkan untuk sementara dalam penerjemahan teks mangupa. Tindakan semacam ini tidaklah mengurangi “pemenuhan fungsi” seorang penerjemah sebagai satu tahap awal untuk mencapai pemenuhan tugas “secara maksimal”.

Didalam penerjemahan, seorang penerjemah harus memahami makna teks secara keseluruhan dan menghadirkannya dalam bahasa lain secara utuh pula.” Keutuhan” dalam hal ini tentu saja tidak akan tercapai secara mutlak karena “ pemindahan makna dari teks sumber ke teks sasaran selalu menimbulkan

translation loss”, sebagaimana ungkapan Harvey dan Higgins (1992-24),” the

transfer of meaning from ST (source text) to TT (target text) is necessarily subject

to a certain degree of translation loss; that is, a TT will always lack certain

culturally relevant features that are present in the ST.” Pandangan ini

dimaksudkan agar penerjemah tidak bekerja keras untuk membela padanan sempurna yang tidak realistis, melainkan menerima situasi tersebut yang memang kadang tidak terhindahkan, dan berupaya meminimalkan derajat kehilangan itu. Penerjemah tidak akan mungkin menghadirkan makna teks secara sempurna disebabkan adanya kesenjangan elemen – elemen kebahasaan dan budaya diantara


(50)

bahasa – bahasa yang ada. Terkadang prosedur adaptasi harus dilakukan, dengan mengubah sama sekali kebahasaan yang tersurat dalam bahasa sumber. Langkah ini merupakan pilihan jalan yang harus ditempuh ketika seorang penerjemah berhadapan dengan situasi atau konsep yang diusung dalam pesan bahasa sumber yang sama sekali tidak dikenal dalam budaya yang menjadi konteks bahasa sasaran (Hatim dan Munday, 2004; 151). Ia kemudian mengkreasikan satu situasi yang dianggap sebagai padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai padanan. Karena itulah prosedur ini disebut sebagai padanan situasional. Hal ini dapat kita lihat pada judul film, novel, atau buku – buku.

Damono (2008; 04) menyatakan bahwa penerjemahan memiliki spektrum yang luas dan menempatkan penerjemah pada dua kutub opsi yang sangat berbeda satu sama lain. Di satu sisi, penerjemah dapat memilih untuk berupaya menghasilkan karya yang sama persis dengan aslinya. Di sisi lain, penerjemah dapat menjadi kegiatan kreatif yang dinamis.

Sebagai pedoman dalam pemadanan dan pengubahan, kita dapat memanfaatkan konsep dinamika penerjemahan oleh Newmark (1988). Menurut beliau, sebuah teks yang akan diterjemahkan dapat ditarik ke sepuluh arah dalam analisis, sebelum dialihkan, Newmark (1988: 4) menggambarkan proses penerjemahan suatu bahasa seperti berikut :


(51)

1 Penulis teks 5 Hubungan dalam Bahasa Sasaran

2 Norma Bahasa Sumber 6 Norma Bahasa Sasaran

3 Budaya Bahasa Sumber 7 Budaya Bahasa Sasaran

4 Latar dan Tradisi Bahasa Sumber 8 Latar dan Tradisi Bahasa Sasaran

9 Penerjemah ( Newmark, 1988 :4) Gambar : 2. 3

9 Kebenaran (fakta atau substansi masalah)

2.4 Ekuivalensi dalam Penerjemahan

Ekuivalensi lazim digunakan sebagai parameter yang digunakan dalam menilai kualitas sebuah teks terjemahan. Ekuivalensi atau padanan mengacu pada kesetaraan pesan/makna antara teks sumber dan teks sasaran. Beberapa ahli menagajukan konsep yang beragam mengenai ekuivalensi tersebut akan dibahas


(52)

satu per satu pada bagian ini. Konsep pertama datang dari Catford dengan gagasan ‘kesetaraan formal’ dan ‘padanan tekstualnya’.

Catford (1965:20) memandang pekerjaan penerjemah hanyalah sekedar ‘mengganti’ makna dari satu bahasa (bahasa sumber) dengan makna pada bahasa yang lain (bahasa sasaran), yang dapat berfungsi sepadan pada situasi yang berlaku. Menurutnya, target tersebut dapat dilakukan dengan persamaan formal (formal corresspondence) atau padanan tekstual (tekstual equivalence). Artinya ekuivalensi dalam penerjemahan merujuk pada persamaan makna antara teks sumber dan teks sasaran yang harus dapat berfungsi pada situasi yang serupa (Catford,1965: 27).

Persamaan bentuk merupakan bentuk representasi dari makna teks sumber yang teramat patuh pada bentuk lingual dalam bahasa sumber. Kategori bentuk dari TL sama persis dengan SL (misalnya kata kerja SL diterjemahkan dengan verba dalam TL. Padanan ini merupakan bentuk kepatuhan secara menyeluruh baik secara maknawi maupun lingual. Sebaliknya padanan tekstual tidak terlalu takluk pada bentuk, tetapi lebih kepada ekspresi yang dianggap sepadan dalam situasi tertentu. Catford (1965: 49) menyebut padanan tekstual ini dengan kriteria,

interchangeable in a given situation”. Artinya, kedua bentuk lingual sebuah teks

(dalam SL dan TL) secara umum dapat saling menggantikan dalam situasi tertentu sebagai konteks. Kategori padanan yang mengingatkan kita pada prosedur adaptasi yang menghasilkan “ situated equivalence” (Hatim dan Munday : 2004).


(53)

Teks terjemahan diciptakan dalam bingkai kondisi yang berlainan dengan bentuk – bentuk tulisan yang lebih bebas. Penerjemah harus berhadapan dan mengatasi sejumlah masalah yang tidak didapati dalam penulisan teks secara umum. Bingkai pembatas itu terkait dengan keharusan untuk menyelaraskan kode bahasa, nilai budaya , dunia dan persepsi tentangnya, gaya dan estetika, dan sebagainya (Hatim dan Munday, 2004:46).

Koller (dalam Hatim, 2001:27) memandang padanan sebagai proses yang dibatasi oleh pengaruh perbedaan bahasa, non –bahasa serta lingkungan/situasi antara SL/TL dan juga peran kondisi sejarah – budaya yang menjadi konteks penciptaan teks dan terjemahannya sekaligus kondisi ketika dua teks itu sampai ke pembaca. Relasi – relasi yang sepadan (equivalen) bersifat relatif terhadap ‘ikatan ganda’, pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak penerima. Satuan – satuan linguistik-tekstual dikatakan sepadan apabila sejalan dengan unsur – unsur teks sumber dilihat dari ‘kerangka - kerangka padanan’. Sejalan dengan konsep tersebut, Koller dalam (Hatim, 2001:28) merumuskan ”kerangka padanan” dan menyatakan bahwa padanan terjemahan dapat dicapai melalui salah satu tataran berikut :

a) Kata- kata BSu dan BSa memilki fitur ortografis dan fonologis yang serupa (padanan formal).

b) Kata – kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama (padanan referensial/ denotatif).


(54)

c) Kata – kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif)

d) Kata – kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau serupa pada masing – masing bahasa (padanan tekstual – normatif).

e) Kata – kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing – masing pembaca dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik).

2.5 Variasi Makna Teks : sekilas Konsepsi Translasi berbasis Translatics

Teks dimaknai oleh Halliday dan Hasan (1985,Tou:1992:14) sebagai kumpulan makna – makna yang diungkapkan/dikodekkan dalam kata – kata dan struktur. Ia adalah suatu proses dan hasil dari makna sosial dalam konteks situasi tertentu (ibid:15). Fenomena tersebut digambarkan secara rinci demikian.

Konteks situasi, tempat teks itu terbentang, dipadatkan dalam teks, bukan dengan cara berangsur – angsur, bukan pula dengan cara mekanis yang ekstrim, tetapi melalui sesuatu hubungan yang sistematis antara lingkungan sosial di satu pihak, dengan organisasi bahasa yang berfungsi di lain pihak (1985: 15-16)”.

Dari pengertian di atas, teks selalu hadir dalam variabel – variabel yang menentukan bentuk kehadirannya. Teks selalu ditentukan oleh konteks situasi yang berujud medan, pelibat, dan sarana, serta situasi sosial sebagai konteks budaya yang lebih besar lagi. Teks dalam hal ini merangkul teks sebagai teks yang ditulis oleh seorang pengarang dengan panduan pemikirannya, dan juga teks terjemahan yang kreasinya dipandu oleh teks sumber sebagai acuan.


(55)

Dalam perspektif yang demikian, Tou (2008:28) merangkum variabel – variabel yang menentukan wujudiah teks, yang meliputi semiotika konotatif (religi, ideologi, budaya, dan situasi) dan semiotika denotatif (wujud ekspresi baik verbal/nonverbal). Dengan banyaknya variabel – variabel yang mengikat kehadiran teks, amat sulit dua teks dapat hadir dengan makna yang sepadan tanpa mengalami transformasi apapun, terlepas dari berapapun besaran derajad skalanya, variasi atau perubahan akan menjadi keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam praktik pengugkapan makna melalui sistem semiotika.

Adanya sifat plastis dari makna pesan verbal, proses penerjemahan menjadi sangat relatif terhadap berbagai variabel yang melingkupi teks bahasa sumber dan juga faktor yang mengelilingi teks sasaran, termasuk pembaca tujuan yang dicanangkan sebagai target dalam proses tersebut. Keplastisan atau potensi perubahan dalam proses penerjemahan juga diungkapkan oleh Al-Zoubi dan Al- Hassnawi (2003:1) yang melihat perubahan itu sebagai “peralihan/ perubahan”(shift). Mereka berpandangan bahwa dalam praktiknya, penerjemah berhadapan dengan “a plethora of linguistic, stylistics and even cultural problems”. Dengan permasalahan (variabel) kebahasaan, stilistika, dan juga budaya, tindak penerjemahan selalu berada dalam kontinum kemungkinan yang akan menyebabkan sejumlah peralihan (shift) nilai – nilai linguistik, estetik dan intelektual dari teks sumber. Mereka kemudian mendefinisikan apa itu”peralihan” (shift) sebagai:

All the mandatory actions of the translator (those dictated by the structural


(56)

optional ones (those dictated by the his personal and stylistic preferences) to

which he resorts conciously for the purpose of natural and communicative

renditionof an SL text into another language (Al-Zoubi & Al-Hassnawi,2003:1).

Mereka memandang peralihan sebagai “mandatory actions” (tindakan wajib) yang dilakukan oleh penerjemah untuk mencapai tujuan penerjemahan yang luwes dan komunikatif dikarenakan oleh perbedaan sistem bahasa dan karena pilihan pribadi dan stilistika penerjemah.

Dengan mengacu pada kerelativan teks seperti di atas, kajian ini akan bertumpu pada konsep “variasi” yang bermaksud dilawankan dengan konsep padanan (equivalence) yang selama ini selalu menjadi wacana dominan dalam kajian penerjemahan, meskipun pada kenyataannya padanan sendiri masih ‘kontroversial’ , yang antara lain dibuktikan dengan berbagai sebutan padanan seperti ekuivalen dinamik, ekuivalen situasi, ekuivalen komunikasi, ekuivalen

semantik dan sebagainya. Sebutan padanan yang sangat variatif itu sebenarnya

sebuah klaim tidak langsung terhadap konsep lawannya, yakni variasi. Apabila dikaitkan dengan kerangka kesepadanan Koller yang membagi kerangka padanan menjadi lima, setiap padanan yang dapat dicapai pada satu kerangka,kemungkinan besar membuka variasi pada keempat kerangka yang lain. Misalnya, ketika pencipta teks 2 mewujudkan padanan formal dari teks satu, maka sangat mungkin bahwa padanan itu tidak sepadan (bervariasi) pada aspek referensial, konotatif, tekstual-normatif, dan pada aspek pragmatiknya. Demikian halnya, dengan pencapaian sebuah padanan lain, yang cendrung akan mengorbankan keempat


(57)

2.6 Penerjemahan Teks Mangupa

Teks Mangupa sebagai teks budaya klasik memiliki banyak istilah/ungkapan budaya yang memerlukan perhatian khusus.

Perbedaan antara bentuk (form) bahasa dan makna (meaning) dapat lebih jelas terlihat berdasarkan asumsi bahwa terdiri lapis bentuk (surface structure) dan lapis makna (deep structure).

Menurut Larson (1984: 3) pekerjaan penerjemahan mencakup pemahaman kosakata, struktur gramatika, situasi komunikasi dan konteks budaya bahasa sumber untuk menentukan maknanya dan selanjutnya makna tersebut direkonstruksi dengan menggunakan kosakata dan struktur gramatika yang sesuai dalam bahasa dan konteks budaya bahasa sasaran. Jadi sebuah penerjemahan tidak semata-mata memfokuskan perhatian pada ketepatan makna saja tetapi juga harus memperhatikan situasi komunikasi dan konteks budaya kedua bahasa tersebut. Pandangan ini sangat sejalan dengan pandangan teori LSF yang melihat bahasa sebagai suatu entitas yang terikat dengan konteks situasi dan konteks budaya seperti disebutkan terdahulu. Beliau juga mengatakan bahwa tidak mudah secara konsisten melakukan penerjemahan idiomatik. Kadang- kadang sebuah ujaran dapat diterjemahkan secara ideomatik tetapi kadang-kadang sebuah ujaran hanya dapat diterjemahkan secara harfiah/literal ke dalam bahasa sasaran. Namun seorang penerjemah harus tetap berusaha untuk menghasilkan sebuah terjemahan idiomatik. Sebuah terjemahan yang berhasil menurut Larson (1984: 23) adalah


(58)

bila pembaca bahasa sasaran tidak mengetahui/merasakan bahwa teks yang sedang dibacanya adalah sebuah terjemahan.

Mangupa adalah sebuah upacara tradisional formal dan terinstitusi dalam

masyarakat Mandailing yang bertujuan terutama untuk memberikan nasihat perkawinan kepada kedua mempelai. Upacara Mangupa dilakukan di ruang adat oleh datu pangupa, perangkat dalihan na tolu, kedua mempelai dan khalayak lain. Teks Mangupa disampaikan secara lisan dalam bentuk monolog dan dalam suasana bersemuka.Teks ini merupakan teks eksplanasi yang menyampaikan penjelasan fenomena secara berurutan. Menurut Lubis (2009), ideologi utama yang mendasari teks Mangupa adalah harapan akan kekuatan jasmani dan rohani, keutuhan dan keabadian perkawinan dan keselamatan dan kesejahteraan dalam kehidupan kedua mempelai. Teks Mangupa diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris pada tahun 2009 oleh Syahron Lubis. Metode mentransfer makna teks sumber ke dalam teks sasaran untuk mencapai penerjemahan yang akurat, terbaca dan berterima, ditemukan memiliki lebih banyak perbedaan daripada persamaan dalam struktur bahasa seperti afiksasi, kemajemukan, reduplikasi, pemenggalan kata, sistem pronomina, struktur frasa, pola-pola kalimat, komponen makna, polisemi, sinonim dan antonim, makna generik dan spesifik, metafora, idiom dan eufemisme. Juga ditemukan bahwa masyarakat Mandailing dan Inggris berbeda luas dalam sejumlah aspek kultural seperti agama dan kepercayaan, keluarga dan perkawinan, tipe masyarakat, ketimpangan gender, pemakaian bahasa dan sopan santun sosial. Disebabkan perbedaan struktur kedua bahasa, menerjemahkan frasa, kata majemuk dan


(59)

kalimat dari teks sumber kedalam teks sasaran menghadapi masalah. Subjek kalimat, jumlah dan konjungsi yang sering implisit dalam teks sumber juga menyebabkan masalah penerjemahan.Pemakaian banyak kata arkais juga membuat kesulitan penerjemahan dan karena bahasa Mandailing tidak memiliki

kala (keterangan waktu), hal itu juga menyebabkan masalah penerjemahan ke

dalam bahasa Inggris yang memiliki keterangan waktu.

Adanya perbedaan budaya di antara masyarakat Mandailing dan Inggris mengakibatkan timbulnya sejumlah istilah dan ungkapan budaya Mandailing tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris dan oleh karena itu kata-kata tersebut harus dipinjam (tidak diterjemahkan) dengan memberikan penjelasan makna pada glosarium. Beberapa kata memiliki padanan tetapi nuansa budaya yang melekat pada kata-kata tersebut tidak dapat ditransfer ke dalam bahasa Inggris dan maknanya juga harus dijelaskan pada glosarium.

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, Mangupa anak dan menantu yang baru nikah merupakan puncak upacara adat dalam semua runtunan upacara adat dalam pernikahan, disamping itu juga upacara Mangupa dapat dilakukan pada acara syukuran seseorang yang baru sembuh dari penyakit, acara wisuda dan acara – acara syukuran lainnya, yang hingga sekarang masih tetap dijunjung tinggi serta diagungkan oleh masyarakat Batak khusunya di Tapanuli Selatan.

Secara ringkas dapat dikatakan, bahwa Mangupa itu adalah suatu manifestasi, suatu pernyataan kegembiraan serta kebanggaan hati terhadap yang diupa dengan jalan memberikan mereka sajian berupa makanan menurut ketentuan adat sambil menyampaikan pasu – pasu (doa restu) dan nasehat –


(60)

nasehat sebagai pedoman hidup mereka serta kata – kata untuk mengkuatkan tondi mereka. Sasaran utama dalam mangupa adalah tondi. Tondi artinya roh atau

jiwa. Roh dan jiwa adalah sesuatu yang abstrak. Roh adalah ciptaan Yang Maha

Kuasa yang meniupkannya kedalam jasad manusia supaya dapat hidup.

Di dalam adat, khusus dalam upacara Mangupa, justru tondi inilah yang selalu dimohonkan, agar tetap bersatu dan berpadu dengan badan seseorang. Ada ungkapan dalam adat yang menyatakan :

HORAS TONDI MADINGIN, PIR TONDI MATOGU

Yang artinya: Agar tondi seseorang selalu dalam keadaan horas yaitu selamat dan nyaman bersemayam dalam diri dan semoga tondi kokoh dan kuat mengahadapi semua tantangan.

Pada umumnya struktur Mangupa terdiri dari 4 tingkatan tata – tertib, yang pada masa sekarang, khusus di perantauan tidak dindahkan orang lagi, yaitu:

1. Tahi harajaon (musyawarah adat) bila hadir raja – raja torbing balok dan raja panusunan, artinya bila upacara adat mangupa itu berlandaskan nabontar.

2. Mempersembahkan sekapur sirih kepada yang akan diupa. 3. Memberikan doa restu dan nasehat – nasehat kepada yang diupa. 4. Menyise (membaca) arti dari bahan – bahan pangupaan.


(61)

2.7 Tiga Metafungsi Bahasa (Halliday, 1985, 1994, dan 2004)

Halliday memandang bahasa sebagai sumber untuk mengungkapkan

makna. Bahasa merupakan sistem makna, yang dilengkapi dengan bentuk – bentuk yang digunakan untuk mewujudkan makna itu. Teorinya yang dikenal dengan Systemic Functional Linguitics (LSF) tidak lain adalah teori makna sebagai pilihan. Dengan teori ini, bahasa ataupun sistem semiotika lain dapat diinterpretasikan sebagai jaringan pilihan yang saling mengkait. Bahasa sendiri merupakan perangkat bagi ‘semiotic reality’ untuk hadir . Bahasa, dengan demikian, bukan sekadar memperhatikan realitas, tetapi sebagai kendaraan bagi kehadiran realitas itu sendiri sebagai makna yang dikandungnya. Kata (wordings) dengan demikian perangkat untuk ’mengada’ bagi reaalitas. Dengan kata lain bahasa adalah sistem semantik, sistem makna yang mengejawantah melalui kata – kata. Sistem makna ini mencakup butir – butir leksikal kosakata dan juga tatabahasa yang mengatur kata – kata itu agar dapat berfungsi untuk mewujudkan realitas (makna) sebagai tugas pokoknya (Halliday, 1985, 1994, dan 2004).

Realitas tersebut menyangkut semua pengalaman yang dapat diserap pikiran manusia. Melalui kata realitas itu dikemas, disusun, diorganisasikan, dan dibagikan atau disimpan sendiri dalam memori yang tersembunyi dalam simbol- simbol bahasa. Mengutip Hjelmslev, Hasan (2009; 2) meringkas fenomena tersebut dengan ungkapan “the world to be put in the word” untuk menjelaskan bahwa pengalaman sebagai substansi menguntungkan keberadaannya pada bentuk, yakni bahasa, dan pengalaman manusia hanya bisa hidup dalam bahasa itu.


(62)

Artinya teori sistemik bahasa ini merupakan teori pilihan pada makna dan menjadi sarana untuk menafsirkn serangkaian pilihan – pilihan pengungkapan makna dalam bentuk teks. Karena sifat sistematiknya, teori ini melandaskan analisisnya pada perspektif semiotika sosial, yang memandang bahasa selalu hadir sebagai teks. Teks bukanlah semata – mata bentuk kata atau kalimat. Ketika kita menyusun teks, bukanlah kata – kata kalimat yang menjadi fokus kita, melainkan makna yang ingin kita hadirkan melaluinya. Jadi wujud kata dan kalimat itu ditentukan oleh makna – makna yang menjadi sentral dari teks itu. “Teks itu harus dikodekan dalam sesuatu untuk dikomunikasikan ; tetapi sebagai sesuatu yang mandiri, teks itu pada dasarya adalah satuan makna “(Halliday & Hasan,1985:14). Dengan demikian, teks dapat dianggap sebagai sebuah satuan semantik. Dan pengaturan dan pilihan kata – kata dalam sebuah teks sebagai sumber semantic bertujuan untuk mengungkapkan tiga makna metafungsional sebagai komponen fundamental dari makna bahasa. Ketiga metafungsi makna itu adalah makna ‘ ideasional’ atau reflektif, makna ‘interpersonal’ atau aktif, dan kombinasi keduanya, makna tekstual, yang menjalinkan relevansi bagi kedua makna sebelumnya.

Untuk lebih jelasnya metafungsi yang telah disebutkan di atas maka kita dapat menjelaskanya satu per satu yaitu:

1. Makna ideasional merujuk pada teori pengalaman manusia, a theory

of human experience, yakni bahwa makna ini memandang bahasa


(63)

eksternalnya maupun mikrokosmisdalamalam bathiniahdan pikirannya (Halliday & Matthiessen, 2004:29-30). Karenanya, makna ini terbentuk atas dua komponen makna eksperiensial dan makna logis. Makna atau fungsi bahasa ideasional tidak lain merujuk pada muatan fungsi bahasa sebagai ekspresi dan aktivitas dan fenomena – fenomena yang ada dalam lingkungan kehidupan manusia.

Perwujudan makna ini tertuang secara primer pada satuan gramatikal klausa. Klausa dalam mengemban fungsi pengalamannya mewujudkan diri sebagai kendaraan untuk mewakili pola – pola realitas. Melalui bahasa, dalam hal ini klausa, manusia membangun gambaran mental atau konseptual mengenai realitas. Mekanisme ini berjalan sebagai sarana untuk memahami apa yang berlangsung baik yang ada dalam dirinya maupun di luar dirinya. Dimensi realitas sebagai pengalaman mencakup segala sesuatu yang tertangkap dengan inderanya dan juga abstraksi, emosi, alur berpikir yang semuanya berlangsung dalam dirinya sendiri (Halliday, 1994:106).

2. Makna Interpersonal membelah fungsi bahasa sebagai bentuk interaksi, atau proses berbagi. Bahasa selalu hadir bukan hanya sebagai simbol realitas, tetapi selalu terikatpada pesona sumber, baik penutur maupun penulis, dengan pesona penerima, pendengar ataupun pembaca. Tidak satu tekspun yang hadir tanpa melalui sumber, dan teks tidak akan menjadi teks ketika teks itu hanya diciptakan tanpa pembaca yang menjadi target. Mudahnya, makna interpersonal ini


(64)

mengangkat bahasa wujud komunikasi, yang lebih bersifat interaktif dan personal.

Makna antar-personal bahasa berhubungan dengan berbagai interaksi antar-individu yang dilakukan melalui bahasa, seperti memberi dan meminta informasi, menawarkan sesuatu, mengungkapkan keraguan, ataupun menyampaikan pertanyaan. Makna ini merupakan makna tindak bahasa yang ditujukan pada orang lain.

3. Sementara Makna/fungsi tekstual bahasa berfokus pada bahasa sebagai sistem pengungkap kedua makna sebelumnya. Fungsi ini merujuk pada bahasa sebagai bentuk yang mewakili makna, baik ideasional maupun interpersonal. Orang yang ingin mengungkap tempat terindah, kemudian menyusun fonem atau ortografi,”surga”. Ketika orang lain mendengar dan tidak yakin dengan apa yang didengar, ia akan dapat mengungkapkan interpersonalitas sekaligus ideasionalitasnya, dengan mewujudkan dalam pertanyaan, surga?”. Di sini jelas bahwa tindak bertanya itu mewujudkan ‘keinginan’ pribadi untuk memperoleh informasi. Wujud ideasionalnya muncul dari kata “surga” yang merupakan representasi dari konsep yang disepakati komunitas yang berbahasa Indonesia. Fungsi tekstual ini menjadi sarana bagaimana mewujudkan makna – makna secara efektif dan efisiensi melalui sistem bahasa.

Secara sederhana realisasi tiga metafungsi dalam tataran tatabahasa digambarkan dalam tabel 1, yang memperlihatkan metafungsi keempat, logis,


(1)

23. Dijujar Harambir poso

Mangihut saludang na tobang Tinggakon ma amang adat naposo

Madung sandang adat matobang

Artinya :

Dijolok kelapa muda Ikut terjatuh pelepah tua

Tinggalkanlah Amang adat orang muda

Sudah tersandang adat berkeluarga

24. Talduskon ma giring – giring

Laho mamasukkon golang – golang

Tinggalkon ma inang adat mabujing

Madung jujung adat matobang

Artinya :

Lepaskanlah kerincing

Ketika memasang gelang – gelang

Adat remaja biarlah terbuang Adat berkeluarga sudah dijunjung

25. Na jolo digorar ho si Dalian

Pabolohon anak tubu Horas do ho di hangoluan Lopus ho dapotan boru

Artinya :

Dahulu dinamai Engakau si Dalian


(2)

laki – laki

Sehat nian Engkau selalu dalam kehidupan

Sampai Engkau mendapat teman sehati

26. Na jolo digorar ho si Taing

Pabotohon anak dadaboru Magodang ho maginjang Sampe dapot dongan marrosu

Artinya :

Dahulu dinamai Engkau si Taing

Memberitahu kelahiran anak perempauan

Engkau kini telah besar dan jangkung

Hingga memperoleh teman rukun

27. Madung digorar ho amang

Sutan Pardomuan

Anso Pardomuan ni hula ho dongan – dongan

Digorar muse ho inang Namora Pardamean

Anso dame sude hula dongan

Artinya :

Sudah diberi namamu Amang Sutan Pardomuan

Agar Engkau menjadi tempat bertemu kerabat dan teman – teman

Engkau pun Inang diberinama Namora Pardamean

Agar semua kerabat dan teman merasa nyaman


(3)

Jigit – jigit di ari potang

Dipasahat di hamu gorar matobang

Manjagit nian tondi dohot pamatang

Artinya :

Bunyi gordang membahana Membuat orang terpesona Dititipkan kepada Kalian gelar berumah tangga

Semoga diterima jiwa dan raga

29. Nipadao sipanggago

Sian duru ni hauma

Gorar na sangap na martua ulang mago

Jana ulang tinggal malua

Artinya :

Dijauhkan rumput ilalang Dari tepi ladang

Gelar yang mulia yang bertuah jangan hilang

Jangan pula menjadi terbuang

30. Tangan siamun – siambirang

Ujungna marjari – jari lima Gogo hamu sumbayang

Tarkarejohon nian rukun na lima

Artinya :

Tangan kanan dan tangan kiri Di ujungnya lima jari – jari Rajinlah kalian sembahyang dan mengaji

Dapat pula nian menunaikan ibadah haji

31. Dongdong di Batangtoru


(4)

ari

Jongjong ma anakboru

Mangabin pangupa di naek ni mataniari

Artinya :

Kemiri di Batangtoru Tempat langkupa tonga hari Berdirilah anakboru

Mengangkat pangupa di saat naik matahari

32. Mare ma tondi muyu

Tondi sijanjang Tondi sijunjung

Semangat si andarohot Semangat siandarasi

Artinya :

Marilah semangat kalian Semangat sijanjang Semangat sijunjung Semangat si andarohot Semangat siandarasi

33. Ulang tondi tarkalimanman

Ulang tondi tarklimunmun Ulang tondi marjalang – jalang Ulang tondi martandang – tandang

Ulang tondi mandao – dao

Di son do bagasta parsarimpunan ni tondi

Artinya :

Janganlah semngat hilang Janganlah semangat melayang

Janganlah semangat melancong – lancong

Janganlah semangat bertandang – tandang


(5)

- hadang

Disini rumah tempat yang langgeng

34. Jarunjung obur – obur

Pasak sanggul simarjarunjung Horas hamu amang bope hamu inang

Sampe sayur matua-bulung

A rtinya :

Dari si Hepeng ke Melintang Membawa padi dengan pedati Selamatlah Engkau amang serta Engkau inang

Dari sekarang hingga nanti

35. Garang – garang giring –

giring

Di dangka ni ulasi

Tondi maranak mariring – iring

Markundang markuasi Halaklahi on ma martua Dadaboru na marharaton

Artinya :

Garang – garang giring – giring

Di cabang pohon ulasi

Semangat beranak beriring – iring

Markundang markulasi Laki – laki yang bertuah Perempuan yang mulia

36. Malos ma dingin – dingin

Obanon tu Sipogu

Horas ma tondi madingin Pir tondi matogu

Sayur matua – bulung Horas.... Horas....Horas !


(6)

Artinya :

Tanamlah betik di pekarangan Daun betik diperas menjadi obat

Semoga semangat sejuk dan nyaman

Semoga semangat sejuk dan nyaman

Semoga semangat keras dan kuat

Semoga panjang umur dan selamat

Selamat....Selamat...Selamat

37. Bariba tor bariba rura

Aek mardomu tu muara

Tarsongon on ma hata pangupa

Na tarpasahat tu hamu na dua

Artinya :

Bunga melati bunga cempaka Harum baunya tiada tara

Demikianlah dulu nasihat pangupa

Yang dapat ditipkan kepada kalian berdua