BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan - Mutu Pelayanan Kefarmasian di Klinik Telkom Medan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mutu Pelayanan Kesehatan

  Mutu pelayanan kesehatan adalah derajat dipenuhinya kebutuhan masyarakat atau perorangan terhadap asuhan kesehatan yang sesuai dengan standar profesi yang baik dengan pemanfaatan sumber daya secara wajar, efisien, efektif dalam keterbatasan kemampuan pemerintah dan masyarakat, serta diselenggarakan secara aman dan memuaskan pelanggan sesuai dengan norma dan etika yang baik (Azwar, 1994).

  Berdasarkan batasan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah kesesuaian pelayanan kesehatan dengan standar profesi dengan memanfaatkan sumber daya yang ada secara baik, sehingga semua kebutuhan pelanggan dan tujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal dapat tercapai (Bustami, 2011).

  Mutu pelayanan kesehatan bagi seorang pasien tidak lepas dari rasa puas terhadap pelayanan yang diterimanya, dimana mutu yang baik dikaitkan dengan kesembuhan dari penyakit, peningkatan derajat kesehatan, kecepatan pelayanan, lingkungan perawatan yang menyenangkan, keramahan petugas, kemudahan prosedur, kelengkapan alat, obat-obatan dan biaya yang terjangkau (Perry dan Patricia, 1994).

  Kualitas pelayanan yang diberikan oleh pasien walaupun merupakan nilai subjektif, tetapi tetap ada dasar objektif yang dilandasi oleh pengalaman masa lalu, pendidikan, situasi psikis waktu pelayanan, dan pengaruh lingkungan. Khususnya

  6

  

xix mengenai penilaian performance pemberi jasa pelayanan kesehatan terdapat dua elemen yang perlu diperhatikan yaitu teknis medis dan hubungan interpersonal. Hal ini meliputi penjelasan dan pemberian informasi kepada pasien tentang penyakitnya serta memutuskan bersama pasien tindakan yang akan dilakukan atas dirinya.

  Hubungan interpersonal ini berhubungan dengan pemberian informasi, empati, kejujuran, ketulusan hati, kepekaan, dan kepercayaan dengan memperhatikan privacy pasien (Hardjana, 2003).

  Robert dan Proverst (1990), menyatakan bahwa penilaian dimensi mutu pelayanan kesehatan dapat ditinjau dari penyelenggara pelayanan, penyandang dana penilaian mutu lebih terkait dengan dimensi kesesuaian mutu pelayanan yang diselenggarakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi mutakhir, dan atau otonomi profesi dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien. Bagi penyandang dana, penilaian mutu lebih terkait dengan dimensi efisiensi pemakaian sumber dana, kewajiban pembiayaan kesehatan, dan atau kemampuan pelayanan kesehatan, mengurangi kerugian penyandang dana pelayanan. Adapun mutu pelayanan bagi pasien, penilaian jasa pelayanan kesehatan lebih terkait pada ketanggapan petugas memenuhi kebutuhan pasien, kelancaran komunikasi petugas dengan pasien, empati dan keramahtamahan petugas dalam melayani pasien dalam kesembuhan penyakit yang diderita oleh pasien.

  Mengatasi perbedaan dimensi nilai mutu pelayanan kesehatan, telah disepakati bahwa penilaian mutu pelayanan seyogiyanya berpedoman pada hakekat dasar diselenggarakannya pelayanan kesehatan yaitu memenuhi kebutuhan dan tuntutan pemakai jasa pelayanan.

  7

  xx Penentuan kualitas suatu jasa pelayanan sangatlah kompleks, Zeithaml (1996), mengemukakan lima dimensi dalam menentukan kualitas jasa, yaitu:

1. Reliability (kehandalan), yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan yang sesuai dengan janji yang ditawarkan.

  2. Responsiveness (daya tanggap), yaitu respon atau kesigapan karyawan dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang cepat dan tanggap, yang meliputi: kesigapan karyawan dalam melayani pelanggan, kecepatan karyawan dalam menangani transaksi dan penanganan keluhan pelanggan/pasien. Assurance (jaminan), meliputi kemampuan karyawan atas pengetahuan terhadap produk/jasa secara tepat, kualitas keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan dan kemampuan dalam menanamkan kepercayaan pelanggan terhadap perusahaan. Dimensi kepastian atau jaminan ini merupakan gabungan dari dimensi: a.

  Kompetensi (Competence), artinya keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh para karyawan untuk melakukan pelayanan.

  b.

  Kesopanan (Courtesy), yang meliputi keramahan, perhatian, dan sikap para karyawan.

  c.

  Kredibilitas (Credibility), meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan kepada perusahaan, seperti reputasi, prestasi, dan sebagainya.

  4. Emphaty (Empati), yaitu perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti kemudahan untuk menghubungi perusahaan,

  8

  xxi kemampuan karyawan untuk berkomunikasi dengan pelanggan, dan usaha perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggannya. Dimensi empati ini merupakan penggabungan dari dimensi: a.

  Akses (Acces), meliputi kemudahan untuk memanfaatkan jasa yang ditawarkan.

  b.

  Komunikasi (Communication), merupakan kemanpuan melakukan komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada pelanggan atau memperoleh masukan dari pelanggan.

  c.

  Pemahaman kepada pelanggan (Understanding the Costumer), meliputi keinginan pelanggan.

  5. Tangibles (Bukti Langsung), meliputi penampilan fasilitas fisik seperti gedung dan ruangan front office, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan, komunikasi dan penampilan petugas.

2.2 Kepuasan Konsumen

  Kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang terjadi setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja dan harapan- harapannya (Kothler, 1999).

  Suatu pelayanan dinilai memuaskan bila pelayanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan dan harapan konsumen. Pengukuran kepuasan konsumen merupakan elemen penting dalam menyediakan pelayanan yang lebih baik, lebih efisien, dan lebih efektif. Apabila konsumen merasa tidak puas terhadap suatu pelayanan yang

  9

  xxii disediakan, maka pelayanan tersebut dapat dipastikan tidak efektif dan tidak efisien. Hal ini terutama sangat penting bagi pelayanan publik. Tingkat kepuasan konsumen terhadap pelayanan merupakan faktor yang penting dalam mengembangkan suatu sistem penyediaan pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan konsumen, meminimalkan biaya dan waktu serta memaksimalkan dampak pelayanan terhadap populasi sasaran (Sari, 2008).

  Kepuasan konsumen dapat mempengaruhi minat untuk kembali ke apotek yang sama. Hal ini akan merupakan promosi dari mulut ke mulut bagi calon konsumen lainnya yang diharapkan sangat positif bagi usaha apotek (Supranto, 2006).

  Kepuasan konsumen adalah merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat kepuasan konsumen yaitu kualitas pelayanan pada konsumen. Kepuasan konsumen adalah merupakan faktor penentu kesetiaan terhadap apotek (Sari, 2008).

  Menurut Tjiptono, dkk., (2001), kepuasan konsumen ditentukan oleh beberapa faktor: Sikap pendekatan petugas medis terhadap konsumen.

  • Prosedur yang tidak membingungkan konsumen.
  • Waktu tunggu yang tidak terlalu lama yang dirasakan oleh konsumen.
  • Keramahan petugas kesehatan terhadap konsumen.
  • Proses penyembuhan yang dirasakan konsumen.
  • Menurut Budiastuti (2002), kepuasan pasien terhadap jasa pelayanan yang diterima mengacu pada beberapa faktor antara lain:

  10

  xxiii a.

  Kualitas produk atau jasa Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas. Persepsi pasien terhadap kualitas produk atau jasa dipengaruhi oleh dua hal yaitu kenyataan kualitas produk atau jasa yang sesungguhnya dan komunikasi perusahaan.

  b.

  Kualitas pelayanan Kualitas pelayanan memegang peranan penting dalam industri jasa. Pelanggan dalam hal ini pasien akan merasa puas jika mereka memperoleh pelayanan yang baik atau sesuai dengan yang diharapkannya. Faktor Emosional

  Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap pasien memilih rumah sakit yang sudah mempunyai pandangan “rumah sakit mahal”, cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.

  d.

  Harga Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini mempengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. Sedangkan rumah sakit yang berkualitas sama tetapi berharga murah, memberi nilai yang lebih tinggi pada pasien.

  e.

  Biaya Mendapatkan produk atau jasa, pasien tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan atau tidak perlu membuang waktu untuk mendapatkan jasa pelayanan, cenderung puas terhadap jasa pelayanan.

  11

  xxiv

2.3 Pelayanan Kefarmasian

  Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat ke pasien yang mengacu kepada Pharmaceutical Care. Kegiatan pelayanan kefarmasian yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan yang komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup dari pasien (Permenkes RI, 2004).

  Pada penelitian Purwastuti, digolongkan pelayanan farmasi sebagai salah satu pelayanan penunjang medik terapeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti ruang operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien farmasi. Mereka mempunyai posisi yang cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk pelayanan saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya (Purwastuti, 2005).

  Sumber daya manusia untuk mengelola apotek adalah seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker harus: mampu menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik,

  • mampu mengambil keputusan yang tepat,
  • mampu berkomunikasi antar profesi,
  • mampu menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner,
  • mampu mengelola SDM secara efektif,
  • selalu belajar sepanjang karier,
  • membantu memberi pendidikan dan memberi peluang untuk meningkatkan
  • pengetahuan (Permenkes RI, 2004).

  12

  xxv

2.3.1 Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan

  xxvi

  Pengelolaan persediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, dan pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistem FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire first out).

  1. Perencanaan Dalam membuat perencanaan pengadaan sediaan farmasi perlu diperhatikan: a.

  Pola penyakit b.

  Kemampuan masyarakat c. Budaya masyarakat

  Pengadaan Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi.

  3. Penyimpanan a.

  Obat/bahan obat harus disimpan dalam wadah asli pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat dimana ini dipindahkan pada wadah lain, maka harus dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis informasi yang jelas pada wadah baru, wadah sekurang-kurangnya memuat nama obat, nomor batch dan tanggal kadaluarsa.

  b.

  Semua bahan obat harus disimpan pada kondisi yang sesuai, layak dan menjamin kestabilan bahan.

2.3.2 Pelayanan Resep

  I. Skrining Resep Apoteker melakukan skrining resep meliputi:

  13

  1. Persyaratan Administratif: Nama, SIP, dan alamat dokter

  • Tanggal penulisan resep
  • Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
  • Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien
  • Cara pemakaian yang jelas
  • Informasi lainnya
  • d.

  Kesesuaian farmasetik: bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian e.

  Pertimbangan klinis: adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat, dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya, bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

  II. Penyiapan Obat 1.

  Peracikan Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur, mengemas, dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar.

  2. Etiket Etiket harus jelas dan dapat dibaca.

  14

  xxvii

  3. Kemasan obat yang diserahkan Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.

  4. Penyerahan obat Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien.

  5. Informasi obat Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi.

  6. Konseling Apoteker harus memberikan konseling mengenai sediaan farmasi, pengobatan, dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah. Untuk penderita penyakit TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya, apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan.

  7. Monitoring penggunaan obat Setelah penyerahan obat kepada pasien, apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan penyakit kronis lainnya.

  15

  xxviii

2.4 Klinik

  xxix

  Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan dan dipimpin oleh seorang tenaga medis. Berdasarkan jenis pelayanannya, Permenkes RI (2011), membagi klinik menjadi: a.

  Klinik Pratama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar yang dipimpin oleh seorang dokter atau dokter gigi dengan jumlah tenaga medis minimal terdiri dari dua orang dokter dan/atau dokter gigi. Klinik Utama merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik atau pelayanan medik dasar dan spesialistik yang dipimpin oleh seorang dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang memiliki kompetensi sesuai dengan jenis kliniknya dengan jumlah tenaga medis minimal terdiri dari satu orang dokter spesialis dari masing-masing spesialisasi sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan (Permenkes RI, 2011).

2.4.1 Bangunan dan Ruangan Klinik

  Klinik diselenggarakan pada bangunan yang permanen dan tidak bergabung dengan tempat tinggal atau unit kerja lainnya. Bangunan klinik harus memperhatikan fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan dan kesalamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anak- anak dan orang lanjut usia. Bangunan klinik paling sedikit terdiri atas: a.

  Ruang pendaftaran/ruang tunggu b. Ruang konsultasi dokter c. Ruang administrasi

  16

  

xxx

d.

  Ruang tindakan e. Ruang farmasi f. Kamar mandi/wc g.

  Ruang lainnya sesuai kebutuhan pelayanan.

2.4.2 Penyelenggaraan Klinik

  Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rawat inap hanya dapat memberikan pelayanan rawat inap maksimal selama 5 (lima) hari dan klinik harus menyediakan: a.

  Ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan b. Tempat tidur pasien minimal 5 (lima) maksimal 10 (sepuluh) Tenaga medis dan keperawatan yang sesuai jumlah dan kualifikasinya d. Tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan dan/atau tenaga non kesehatan lain sesuai kebutuhan e.

  Dapur gizi f. Pelayanan laboratorium Klinik Pratama.

  Klinik dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium klinik dimana perizinan laboratorium klinik terintegrasi dengan perizinan kliniknya. Klinik juga menyelenggarakan pengelolaan dan pelayanan kefarmasian melalui ruang farmasi yang dilaksanakan oleh apoteker yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk itu. Apabila klinik berada di daerah yang tidak terdapat apoteker, maka pelayanan kefarmasian dapat dilaksanakan oleh tenaga teknis kefarmasian. Ruang farmasi hanya dapat melayani resep dari tenaga medis yang bekerja di klinik yang bersangkutan (Menkes RI, 2011).

  17 Klinik berkewajiban memberikan pelayanan yang aman, bermutu dengan mengutamakan kepentingan terbaik pasien sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan dan standar prosedur operasional (Permenkes RI, 2011).

2.5 Sejarah Klinik Telkom

  Fasilitas kesehatan telah dinikmati oleh jajaran di lingkungan Post en Telegraaf Dienst yang telah berdiri sejak tahun 1884. Pada saat itu, sebagai pegawai negeri, maka apabila seorang karyawan dan keluarga sakit, mereka dapat berobat ke rumah sakit. Dan pengobatan tersebut mendapat penggantian/restitusi dari pemerintah, yang

  Kondisi demikian terus berlangsung meski terjadi perubahan pada tahun 1906 menjadi Post Teelegraaf en Telefoon Dienst, dulu disebut PTT Dienst dan terus berlanjut ketika PTT Dienst ditetapkan sebagai perusahaan negara pada tahun 1931. Demikian halnya ketika pemerintah menerbitkan PERPU Nomor 240 tahun 1961 berubah menjadi PN Pos dan Telekomunikasi (PN POSTEL). Lapangan usaha PN POSTEL ternyata berkembang dengan pesat, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 dan 30 tahun 1965, PN Pos dan Telekomunikasi dipecah menjadi PN Pos & Giro dan PN Telekomunikasi (Telkom, 2006).

  Adanya pemisahan tersebut, maka dalam penanganan fasilitas kesehatan karyawan dan keluarga, PN Telekomunikasi lebih dapat berkonsentrasi untuk mengelola sendiri, agar para karyawan bila berobat dapat lebih efisien dalam waktu dan tenaga, sehingga dapat bertugas dengan optimal. Pengelolaan fasilitas kesehatan menjadi semakin berkembang, sejalan dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor: SK.76/U/1969 tanggal 20

  18

  xxxi Desember 1969, di mana pengelolaan kesehatan di lingkungan PN Telekomunikasi dilaksanakan oleh Seksi Kesehatan, dengan tugas utamanya adalah pengurusan klinik, pengobatan oleh dokter kontraktor, rumah obat kontraktor dan penyelesaian tagihannya (Telkom, 2006).

  Pada tahun 1983 status PN Telekomunikasi berubah menjadi Perusahaan Umum Telekomunikasi (PERUMTEL) dan melalui surat keputusan direksi PERUMTEL Nomor: SK.1046/KKP.081/PEG-33/85 tanggal 28 Juni 1985 tentang uraian tugas dan fungsi direktorat personalia dan tata usaha PERUMTEL yang merupakan penjabaran dari Keputusan MENPARPOSTEL Nomor: kerja PERUMTEL. Berdasarkan surat keputusan tersebut, pengelolaan kesehatan dilaksanakan oleh Bagian Kesehatan Pegawai (KESTEL), yang merupakan unit kerja di bawah sub direktorat administrasi kepegawaian (Telkom, 2006).

  Tugas bagian KESTEL ini lebih luas dari unit kesehatan sebelumnya, yaitu meliputi perencanaan, pengendalian dan pemeliharaan kesehatan karyawan, pensiunan dan keluarganya (kesehatan umum, gigi dan mulut, pengurusan peralatan kesehatan), penyelenggaraan poliklinik di kantor pusat, penyuluhan, promotif fisik dan higienis perusahaan dan keselamatan kerja (Telkom, 2006).

  Sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam tubuh PERUMTEL, maka pada tanggal 7 September 1990 terbit KD.10370/KP.081/PEG-34/90 tentang organisasi dan tata kerja direktorat personalia dan tata usaha. Pada masa ini pengelolaan kesehatan berada dibawah naungan sub direktorat administrasi kepegawaian dan ditangani langsung oleh bagian kesehatan dan keselamatan kerja, dengan tugas merencanakan dan melaksanakan pelayanan kesehatan umum dan gigi, pembinaan

  19

  xxxii kesehatan dan higienis perusahaan, administrasi umum dan pengawasan anggaran bagian serta mengembangkan kesehatan lingkungan dan keselamatan kerja (Telkom, 2006).

  Sebagai unit usaha pendukung, maka unit pengelola kesehatan terpisah dari Telkom, sehingga untuk mengelola layanan kesehatan ini maka dibentuklah yayasan kesehatan pegawai Telkom dengan keputusan direksi Telkom Nomor: KD.2/PS.160/SEK-30/98 tanggal 20 Januari 1998 tentang pembentukan yayasan kesehatan pegawai Telkom. Sejak tahun 2000 pengelolaan kesehatan untuk karyawan, pensiunan beserta keluarga, baik di divisi regional, divisi support dan

  20

  xxxiii