Mutu Pelayanan Kefarmasian Di Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan

(1)

MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI

PUSKESMAS KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

SKRIPSI

OLEH:

RATIH ANGGRAENI

NIM 081501069

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI


(2)

MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI

PUSKESMAS KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

RATIH ANGGRAENI

NIM 081501069

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI

PUSKESMAS KECAMATAN MEDAN DENAI

KOTA MEDAN

OLEH:

RATIH ANGGRAENI

NIM 081501069

Dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Unversitas Sumatera Utara

Pada tanggal: 24 Juli 2012

Pembimbing I, Panitia Penguji:

Drs. Wiryanto, M.S., Apt. Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt. NIP 195110251980021001 NIP 195111021977102001

Pembimbing II, Drs. Wiryanto, M.S., Apt.

NIP 195110251980021001

Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt. Drs. Ismail, M.Si., Apt. NIP 197802152008122001 NIP 19006141980031001

Drs. David Sinurat, M.Si., Apt. NIP 194912281978031002 Medan, Juli 2012


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah swt. yang telah memberikan karunia yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penelitian hingga akhirnya menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul Mutu Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan. Skripsi ini diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah menyediakan fasilitas kepada penulis selama perkuliahan di Fakultas Farmasi. Penulis juga mengucapan terima kasih kepada Bapak Drs. Wiryanto, M.S., Apt., dan Ibu Khairunnisa, S.Si., M.Pharm., Ph.D., Apt., yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Kepala Puskesmas se-Kecamatan Medan Denai Kota Medan yang telah memberikan izin dan fasilitas sehingga dapat mengerjakan dan menyelesaikan penelitian, kepada Ibu Dra. Juanita Tanuwijaya, M.Si., Apt., selaku ketua penguji, Bapak Drs. Ismail, M.Si., Apt., dan Bapak Drs. David Sinurat, M.Si., Apt., selaku anggota penguji yang telah memberikan saran untuk menyempurnakan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, terutama Ayahanda (alm.) Suroso, Ibunda Agusrina, serta kakak dan abang ipar yang telah mendoakan dan memberikan semangat dan kasih sayang yang tidak ternilai dengan apapun. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada


(5)

teman-teman mahasiswa/i Farmasi Klinis dan Komunitas 2008 yang selalu mendoakan dan memberi semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat menjadi kontribusi yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang farmasi.

Medan, 24 Juli 2012 Penulis


(6)

MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang. Puskesmas adalah salah satu organisasi pelayanan kesehatan yang pada dasarnya adalah organisasi jasa pelayanan umum. Sesuai pasal 54 ayat 1 UU No 36 tahun 2009, Puskesmas harus menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang ditunjang oleh pelayanan kefarmasian yang bermutu. Mutu pelayanan kefarmasian diukur dari tujuh indikator, yaitu rata-rata waktu penyiapan obat, rata-rata waktu penyerahan obat, persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep, persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep, persentase penggantian resep, persentase label yang lengkap, dan persentase pengetahuan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif prospektif yang dilakukan pada periode Maret-April tahun 2012. Sumber data penelitian adalah setiap resep yang masuk ke apotek puskesmas. Resep diambil secara acak sistematis dan dihitung menggunakan proporsi binomunal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata waktu penyiapan obat adalah 183 detik (20-600 detik). Rata-rata waktu penyerahan obat adalah 7 detik (2-80 detik). Persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep adalah 94,44% (81,72-100%). Persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep adalah 98,89% (97,56-100%). Persentase penggantian resep 1,94% (0,95-7,32%). Mayoritas label hanya mencantumkan nama pasien dan aturan pakai (232 resep; 64,44%). Mayoritas pasien mampu menjawab pertanyaan yang diajukan (276 pasien; 76,67%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai tidak memenuhi ketentuan dan kaidah profesi yang berlaku, karena kurang lengkapnya informasi yang diberikan oleh petugas pengelola obat kepada pasien, adanya pengurangan jumlah obat yang diberikan kepada pasien, kurang lengkapnya label yang diberikan pada kemasan obat, terbatasnya jumlah petugas pengelola obat, serta tidak adanya tenaga apoteker di Puskesmas.


(7)

SERVICE QUALITY OF PHARMACEUTICAL IN THE PRIMARY HEALTH CARE OF MEDAN DENAI DISTRICT IN MEDAN

ABSTRACT

Qualified health services is one of the necessary basic needs of everyone. Community Health Center is one of the health care organization which is essentially a public service organization. Accordance with the Act No. 36 of 2009 section 54 subsection 1, health center must organize the efforts of individual health and public health efforts are supported by qualified pharmacy service. Pharmacy service quality is measured from seven indicators, which are the average time of drugs preparation, the average time of drugs delivery, the percentage amount of drug delivered as prescribed, the percentage drug type given as prescribed, the percentage of prescription replacement, the percentage of complete label, and the percentage of patient’s knowledge. This study aims to determine the quality of pharmacy services at Medan Denai District Health Center in Medan.

Research was carried out as a prospective descriptive study and conducted in March-April of 2012. Source of research data was prescription received by pharmacy health centre. Prescriptions were taken randomly and systematically calculated using the proportion binomunal.

The results showed that the average time of drug preparation was 183 seconds (20-600 seconds). Average delivery time was 7 seconds (2-80 seconds). The average of amount of drug delivered as prescribed was 94.44% (from 81.72 to 100%). The percentage type of drug delivered as prescribed was 98.89% (from 97.56 to 100%). Percentage of prescription replacement was 1.94% (from 0.95 to 7.32%). The majority of labels simply lists the name of patients and the rules of use (232 prescriptions; 64.44%). The majority of patients were able to answer the questions raised (276 patients; 76.67%).

The study concluded that the quality of pharmacy services at Medan Denai District Health Center was not fulfillment of the requerements and rules of the profession applicable, because the lack of information provided by officials managing drug to the patient, a reduction in the amount of drug given to the patient, less complete label provided on the packaging of drugs, and the absence of pharmacists in health centre.

Keywords: quality, pharmaceutical services, primary health care, Medan Denai


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

PENGESAHAN SKRIPSI ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... .... x

DAFTAR GRAFIK ... .... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... .... xii

BAB I PENDAHULUAN ... .... 1

1.1Latar Belakang ... .... 1

1.2Perumusan Masalah ... .... 3

1.3Tujuan Penelitian ... ... 4

1.4Manfaat Penelitian ... ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Pelayanan Kesehatan ... ... 5

2.2 Pelayanan Kefarmasian ... .... 6

2.2.1 Perencanaan Obat ... .... 7

2.2.2 Permintaan Obat ... .... 8

2.2.3 Penerimaan Obat ... .... 8


(9)

2.2.5Distribusi Obat ... ... 13

2.2.6 Pengawasan Obat ... ... 14

2.2.7 Monitoring dan Evaluasi Obat ... ... 15

2.3 Puskesmas ... ... 16

2.4 Mutu Pelayanan ... ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... .. 20

3.1 Jenis Penelitian ... ... 20

3.2 Sumber Data Penelitian ... 20

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ... ... 21

3.4 Teknik Pengambilan Data ... 21

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... ... 24

4.1 Gambaran Umum Kecamatan Medan Denai ... ... 24

4.2 Gambaran Umum Puskesmas di Kecamatan Medan Denai ... ... 24

4.3 Indikator Mutu Pelayanan Farmasi ... ... 26

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... ... 33

5.1 Kesimpulan ... ... 33

5.2 Saran ... ... 33

DAFTAR PUSTAKA ... ... 35


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Tenaga Kesehatan di Kecamatan Medan Denai ... ... 24 Tabel 4.2. Rata-rata Jumlah Resep yang Masuk Setiap Bulan pada

Masing-masing Puskesmas ... ... 25

Tabel 4.3. Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kecamatan Medan Denai ... 25 Tabel 4.4. Rata-rata Waktu Penyiapan Obat di Masing-masing

Puskesmas ... 27 Tabel 4.5. Rata-rata Waktu Penyerahan Obat di Masing-masing


(11)

DAFTAR GRAFIK

Halaman Grafik 4.1. Waktu Penyiapan Obat (detik) vs Resep ... ... 27 Grafik 4.2. Waktu Penyerahan Obat (detik) vs Resep ... ... 28


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Tabel Pengumpulan Data ... ... 37 Lampiran 2. Surat Jalan dari Dinas Kesehatan Kota Medan ... ... 38 Lampiran 3. Surat Keterangan Penelitian ... ... 39


(13)

MUTU PELAYANAN KEFARMASIAN DI PUSKESMAS KECAMATAN MEDAN DENAI KOTA MEDAN

ABSTRAK

Pelayanan kesehatan yang bermutu merupakan salah satu kebutuhan dasar yang diperlukan setiap orang. Puskesmas adalah salah satu organisasi pelayanan kesehatan yang pada dasarnya adalah organisasi jasa pelayanan umum. Sesuai pasal 54 ayat 1 UU No 36 tahun 2009, Puskesmas harus menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang ditunjang oleh pelayanan kefarmasian yang bermutu. Mutu pelayanan kefarmasian diukur dari tujuh indikator, yaitu rata-rata waktu penyiapan obat, rata-rata waktu penyerahan obat, persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep, persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep, persentase penggantian resep, persentase label yang lengkap, dan persentase pengetahuan pasien. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif prospektif yang dilakukan pada periode Maret-April tahun 2012. Sumber data penelitian adalah setiap resep yang masuk ke apotek puskesmas. Resep diambil secara acak sistematis dan dihitung menggunakan proporsi binomunal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata waktu penyiapan obat adalah 183 detik (20-600 detik). Rata-rata waktu penyerahan obat adalah 7 detik (2-80 detik). Persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep adalah 94,44% (81,72-100%). Persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep adalah 98,89% (97,56-100%). Persentase penggantian resep 1,94% (0,95-7,32%). Mayoritas label hanya mencantumkan nama pasien dan aturan pakai (232 resep; 64,44%). Mayoritas pasien mampu menjawab pertanyaan yang diajukan (276 pasien; 76,67%).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai tidak memenuhi ketentuan dan kaidah profesi yang berlaku, karena kurang lengkapnya informasi yang diberikan oleh petugas pengelola obat kepada pasien, adanya pengurangan jumlah obat yang diberikan kepada pasien, kurang lengkapnya label yang diberikan pada kemasan obat, terbatasnya jumlah petugas pengelola obat, serta tidak adanya tenaga apoteker di Puskesmas.


(14)

SERVICE QUALITY OF PHARMACEUTICAL IN THE PRIMARY HEALTH CARE OF MEDAN DENAI DISTRICT IN MEDAN

ABSTRACT

Qualified health services is one of the necessary basic needs of everyone. Community Health Center is one of the health care organization which is essentially a public service organization. Accordance with the Act No. 36 of 2009 section 54 subsection 1, health center must organize the efforts of individual health and public health efforts are supported by qualified pharmacy service. Pharmacy service quality is measured from seven indicators, which are the average time of drugs preparation, the average time of drugs delivery, the percentage amount of drug delivered as prescribed, the percentage drug type given as prescribed, the percentage of prescription replacement, the percentage of complete label, and the percentage of patient’s knowledge. This study aims to determine the quality of pharmacy services at Medan Denai District Health Center in Medan.

Research was carried out as a prospective descriptive study and conducted in March-April of 2012. Source of research data was prescription received by pharmacy health centre. Prescriptions were taken randomly and systematically calculated using the proportion binomunal.

The results showed that the average time of drug preparation was 183 seconds (20-600 seconds). Average delivery time was 7 seconds (2-80 seconds). The average of amount of drug delivered as prescribed was 94.44% (from 81.72 to 100%). The percentage type of drug delivered as prescribed was 98.89% (from 97.56 to 100%). Percentage of prescription replacement was 1.94% (from 0.95 to 7.32%). The majority of labels simply lists the name of patients and the rules of use (232 prescriptions; 64.44%). The majority of patients were able to answer the questions raised (276 patients; 76.67%).

The study concluded that the quality of pharmacy services at Medan Denai District Health Center was not fulfillment of the requerements and rules of the profession applicable, because the lack of information provided by officials managing drug to the patient, a reduction in the amount of drug given to the patient, less complete label provided on the packaging of drugs, and the absence of pharmacists in health centre.

Keywords: quality, pharmaceutical services, primary health care, Medan Denai


(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pemerintah belum sepenuhnya dapat menyelenggarakan pembangunan kesehatan yang efektif, efisien, dan bermutu sesuai dengan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik. Sistem informasi kesehatan menjadi lemah setelah menerapkan kebijakan desentralisasi. Data dan informasi kesehatan untuk perencanaan tidak tersedia tepat waktu. Sistem Informasi Kesehatan Nasional (Siknas) yang berbasis fasilitas sudah mencapai tingkat kabupaten/kota, namun belum dimanfaatkan. Proses desentralisasi yang semula diharapkan mampu memberdayakan daerah dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, dalam kenyataannya belum sepenuhnya berjalan dan bahkan memunculkan euforia di daerah yang mengakibatkan pembangunan kesehatan terkendala (Depkes RI, 2009a).

Jaminan mutu (Quality Assurance) dalam pengelolaan dan pelayanan obat di Puskesmas merupakan suatu hal yang perlu dilakukan karena obat yang diinventariskan di Puskesmas menyerap dana yang cukup besar yaitu lebih kurang 30-40% dari anggaran pembangunan kesehatan di masing-masing kabupaten/kota. Latar belakang pendidikan petugas di kamar obat Puskesmas sangat beragam mulai dari tenaga apoteker, asisten apoteker, perawat, dan lain-lain (Depkes RI, 2002).


(16)

Visi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas adalah tercapainya kecamatan sehat. Kecamatan sehat mencakup 4 indikator utama, yaitu lingkungan sehat, perilaku sehat, cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, dan derajat kesehatan penduduk. Misi pembangunan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas adalah mendukung tercapainya misi pembangunan kesehatan nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri dalam hidup sehat. Untuk mencapai visi tersebut, Puskesmas menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat sehingga perlu ditunjang dengan pelayanan kefarmasian yang bermutu. Oleh karena itu, Puskesmas harus menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan upaya kesehatan masyarakat yang ditunjang oleh pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) yang bermutu sesuai dengan UU No 36 tahun 2009 pasal 54 ayat 1 (Depkes RI, 2006 dan 2009).

Mutu pelayanan kefarmasian diukur dari tujuh indikator, yaitu rata-rata waktu penyiapan obat, rata-rata waktu penyerahan obat, persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep, persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep, persentase penggantian resep, persentase label yang lengkap, dan persentase pengetahuan pasien (Jamil, 2006).

Pelayanan publik oleh aparatur pemerintah Indonesia masih memiliki banyak kelemahan dan belum mampu memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Kenyataan ini diperoleh dari pengaduan atau keluhan masyarakat dan dunia usaha yang disampaikan melalui surat pembaca maupun media pengaduan lainnya. Beberapa contoh pengaduan masyarakat seperti tentang prosedur pelayanan dan mekanisme kerja terlalu birokratis, tidak transparan, fasilitas terbatas, sarana dan prasarana pelayanan tidak menjamin kepastian, termasuk


(17)

hukum, waktu, dan biaya. Selain itu, masih banyak praktek pungutan liar dan tindakan-tindakan yang berindikasikan penyimpangan dan korupsi (Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara RI, 2004).

Puskesmas sebagai unit pelaksana teknis tingkat pertama, dalam implementasi program masih menghadapi masalah antara lain implementasi Puskesmas kurang berorientasi pada masalah dan kebutuhan kesehatan masyarakat setempat (Depkes RI, 2004a).

Kota Medan memiliki 39 Puskesmas Induk (13 Puskesmas Rawat Inap dan 26 Puskesmas Rawat Jalan) dan 41 Puskesmas Pembantu (Pustu) yang terletak di 21 Kecamatan se-Kota Medan. Kecamatan Medan Denai memiliki 1 Puskesmas Rawat Inap dan 3 Puskesmas Tidak Rawat Inap (Dinkes Kota Medan, 2010). Dengan jumlah ini tentunya mutu pelayanan kefarmasian yang diperoleh setiap Puskesmas berbeda. Penting untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas. Apabila mutu pelayanan kefarmasian sudah sesuai dengan peraturan, maka harus dipertahankan. Namun, apabila belum sesuai, harus ditingkatkan menjadi lebih baik sesuai peraturan yang berlaku. Peneliti tertarik mengambil sampel Puskesmas yang berada di Kecamatan Medan Denai karena belum pernah ada penelitian mengenai mutu pelayanan farmasi di Puskesmas Kecamatan Medan Denai. Selain itu, akses pengambilan data mudah dan daerah Kecamatan Medan Denai sudah menjadi bagian dari keseharian peneliti.


(18)

Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan.

1.4Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini sangat bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengalaman peneliti serta bahan untuk penerapan ilmu yang sudah didapat selama kuliah, khususnya mata kuliah pelayanan kefarmasian.

2. Penelitian ini sangat bermanfaat bagi manajemen pelayanan Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan di Puskesmas dan sebagai bahan masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Medan dalam rangka pembinaan Puskesmas.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelayanan Kesehatan

Kesehatan berarti lebih dari sekedar tanpa penyakit, sebagaimana dinyatakan dalam definisi WHO tentang kesehatan: sehat adalah suatu keadaan yang baik dari fisik, mental, dan sosial, dan tidak hanya sekedar tanpa penyakit atau kecacatan. Kesehatan dapat terwujud apabila tersedia sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia dan lingkungan hidup yang bebas polutan, patogen, dan gangguan fisik yang mengancam kehidupan dan kesehatan, karena kesehatan juga mencakup kesejahteraan dan rasa aman. Lingkungan hidup dan pekerjaan yang kurang memadai berkaitan dengan masalah-masalah fisik maupun psikososial dapat mengganggu kesehatan. Kekerasan dan alienasi tidak hanya berhubungan dengan prospek pekerjaan yang jelek, tetapi juga dengan kepadatan berlebihan, perumahan yang tidak memadai, pelayanan-pelayanan yang tidak mencukupi dan kekurangan penyediaan sarana rekreasi, tempat bermain, dan perkembangan anak. Pemahaman yang semakin baik terhadap keterkaitan ini telah mengarahkan pada konsep lingkungan yang membawa kesehatan, yang tidak hanya meminimalkan risiko penyakit, tetapi mendorong pemenuhan kebutuhan personal serta komunitas, harga diri, dan rasa aman (Widiati, 2001).

Keselamatan pasien merupakan upaya yang harus diutamakan dalam penyediaan pelayanan kesehatan. Pasien harus memperoleh jaminan keselamatan selama mendapatkan perawatan atau pelayanan di lembaga pelayanan kesehatan,


(20)

yakni terhindar dari berbagai kesalahan tindakan medis (medical error) maupun kejadian yang tidak diharapkan (adverse events) (Koentjoro, 2007).

Tujuan pembangunan kesehatan adalah tercapainya hidup sehat bagi setiap penduduk untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu kesejahteraan umum. Peranan obat dalam upaya kesehatan sangat besar dan merupakan suatu unsur penting dengan biaya cukup besar (Anief, 2007).

Standar pelayanan kesehatan harus dapat memenuhi 10 karakteristik standar, yaitu valid, menunjukkan efektifitas biaya, dapat dikembangkan (reproducible), reliabel, representatif, dapat diterapkan (applicable), fleksibel, jelas (clear), didokumentasikan dengan baik, dan dikaji ulang secara berkala (Koentjoro, 2007).

2.2 Pelayanan Kefarmasian

Pelayanan kefarmasian pada saat ini telah berubah paradigmanya dari orientasi obat kepada pasien yang mengacu pada asuhan kefarmasian (pharmaceutical care). Sebagai konsekuensi perubahan orientasi tersebut, apoteker/asisten apoteker sebagai tenaga farmasi dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat berinteraksi langsung dengan pasien (Depkes RI, 2006).

Pada penelitian Purwastuti, John Griffith (2002) menggolongkan pelayanan farmasi sebagai salah satu pelayanan penunjang medik terapeutik bersama-sama dengan kegiatan lain seperti ruang operasi, instalasi gawat darurat, dan rehabilitasi medik. Pada saat ini, pasien menghadapi beraneka ragam pilihan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan farmasi. Mereka mempunyai posisi yang


(21)

cukup kuat sehingga dalam memilih pelayanan tidak hanya mempertimbangkan aspek produk pelayanannya saja, tetapi juga aspek proses dan jalinan relasinya (Purwastuti, 2005).

Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian di Puskesmas adalah apoteker (Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Kompetensi apoteker di Puskesmas sebagai berikut:

-mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu,

- mampu mengambil keputusan secara professional,

-mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal, maupun bahasa lokal, dan

-selalu belajar sepanjang karier baik pada jalur formal maupun informal, sehingga ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu baru (up to date). Sedangkan asisten apoteker hendaknya dapat membantu pekerjaan apoteker dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian tersebut (Depkes RI, 2006).

2.2.1 Perencanaan Obat

Perencanaan merupakan suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk menentukan jenis dan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan obat di Puskesmas. Perencanaan kebutuhan obat untuk Puskesmas setiap periode dilaksanakan oleh pengelola obat dan perbekalan kesehatan di Puskesmas (Kementrian Kesehatan RI, 2010).


(22)

2.2.2 Permintaan Obat

Sumber penyediaan obat di Puskemas berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Obat yang disarankan tersedia di Puskesmas adalah obat esensial yang jenisnya telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dengan merujuk pada Daftar Obat Esensial Nasional. Selain itu, sesuai dengan kesepakatan global maupun Keputusan Menteri Kesehatan No. 085 tahun 1989 tentang Kewajiban Menuliskan Resep dan Menggunakan Obat Generik di Pelayanan Kesehatan Milik Pemerintah dan Permenkes RI No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah, maka hanya obat generik saja yang disarankan tersedia di Puskesmas (Kementrian Kesehatan, 2010).

2.2.3. Penerimaan Obat

Petugas penerima obat bertanggung jawab atas pemeriksaan fisik, penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan, dan penggunaan obat berikut kelengkapan catatan yang menyertainya. Petugas penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat yang diserahterimakan, meliputi kemasan, jenis dan jumlah obat, bentuk sediaan obat sesuai dengan isi dokumen (LPLPO), dan ditandatangani oleh petugas penerima serta diketahui oleh Kepala Puskesmas. Petugas penerima dapat menolak apabila terdapat kekurangan dan kerusakan obat. Setiap penambahan obat, dicatat dan dibukukan pada buku penerimaan obat dan kartu stok (Kementrian Kesehatan RI, 2010).


(23)

2.2.4 Penyimpanan Obat

Penyimpanan obat adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima agar aman (tidak hilang) dan terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia sehingga mutunya tetap terjamin. Aturan dalam penyimpanan obat meliputi: persyaratan gudang, pengaturan penyimpanan obat, tata cara penyusunan obat, dan pengamatan mutu.

1. Persyaratan gudang

a. Luas minimal 3x4 m2 dan atau disesuaikan dengan jumlah obat yang disimpan.

b. Ruangan kering dan tidak lembab. c. Memiliki ventilasi yang cukup.

d. Memiliki cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai pelindung untuk menghindarkan adanya cahaya langsung dan berteralis.

e. Lantai dibuat dari semen/tegel/keramik/papan (bahan lain) yang tidak memungkinkan bertumpuknya debu dan kotoran lain. Harus diberi alas papan (palet).

f. Dinding dibuat licin dan dicat warna cerah.

g. Hindari pembuatan sudut lantai dan dinding yang tajam. h. Gudang digunakan khusus untuk penyimpanan obat. i. Mempunyai pintu yang dilengkapi kunci ganda.

j. Tersedia lemari/laci khusus untuk narkotika dan psikotropika yang selalu terkunci dan terjamin keamanannya.


(24)

a. Obat di susun secara alfabetis untuk setiap bentuk sediaan. b. Obat dirotasi dengan sistem FEFO dan FIFO.

c. Obat disimpan pada rak.

d. Obat yang disimpan pada lantai harus di letakan di atas palet. e. Tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk. f. Sediaan obat cairan dipisahkan dari sediaan padatan.

g. Sera, vaksin, dan supositoria disimpan dalam lemari pendingin. h. Lisol dan desinfektan diletakkan terpisah dari obat lainnya.

Untuk menjaga mutu obat, perlu diperhatikan kondisi penyimpanan seperti kelembaban, sinar matahari, temperatur/panas, kerusakan fisik, kontaminasi, dan adanya pengotoran.

3. Tata Cara Penyusunan Obat

a. Penerapan sistem FEFO dan FIFO.

b. Pemindahanharus hati-hati supaya obat tidak pecah/rusak.

c. Golongan antibiotik harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya matahari, dan disimpan di tempat kering.

d. Vaksin dan serumharus dalam wadah yang tertutup rapat, terlindung dari cahaya, dan disimpan dalam lemari pendingin (suhu 4 – 8o C). Kartu temperatur yang ada harus selalu diisi setiap pagi dan sore.

e. Obat injeksi disimpan dalam tempat yang terhindar dari cahaya matahari langsung.

f. Bentuk dragee (tablet salut) disimpan dalam wadah tertutup rapat dan pengambilannya menggunakan sendok.


(25)

g. Untuk obat dengan waktu kadaluarsa yang sudah dekat supaya diberi tanda khusus, misalnya dengan menuliskan waktu kadaluarsa pada dus luar dengan mengunakan spidol.

h. Penyimpanan obat dengan kondisi khusus, seperti lemari tertutup rapat, lemari pendingin, kotak kedap udara, dan lain sebagainya.

i. Cairan diletakkan di rak bagian bawah. j. Kondisi penyimpanan beberapa obat.

- beri tanda/kode pada wadah obat,

- beri tanda semua wadah obat dengan jelas,

- apabila ditemukan obat dengan wadah tanpa etiket, jangan digunakan, - apabila obat disimpan di dalam dus besar maka pada dus harus

tercantum: jumlah isi dus, kode lokasi, tanggal diterima, tanggal kadaluarsa, nama produk/obat, dan

- beri tanda khusus untuk obat yang akan habis masa pakainya pada tahun tersebut, jangan menyimpan vaksin lebih dari satu bulan di Puskesmas. 4. Pengamatan mutu

Setiap pengelola obat perlu melakukan pengamatan mutu obat secara berkala setiap bulan. Pengamatan mutu obat dilakukan secara visual.

a. Tablet

- Terjadi perubahan warna, bau dan rasa, serta lembab.

- Kerusakan fisik seperti pecah, retak, sumbing, gripis, dan rapuh. - Kaleng atau botol rusak, sehingga dapat mempengaruhi mutu obat. - Untuk tablet salut, disamping informasi di atas, juga basah dan lengket


(26)

- Wadah yang rusak. b. Kapsul

- Cangkangnya terbuka, kosong, rusak, atau melekat satu dengan lainnya. - Wadah rusak.

- Terjadi perubahan warna baik cangkang ataupun lainnya. c. Cairan

- Cairan jernih menjadi keruh, timbul endapan. - Cairan suspensi tidak bisa dikocok.

- Cairan emulsi memisah dan tidak tercampur kembali. d. Salep

- Konsistensi warna dan bau berubah (tengik). - Pot/tube rusak atau bocor.

e. Injeksi - Kebocoran

- Terdapat partikel untuk sediaan injeksi yang seharusnya jernih sehingga keruh atau partikel asing dalam serbuk untuk injeksi.

- Wadah rusak atau terjadi perubahan warna. Laporkan perubahan yang terjadi kepada Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota untuk diteliti lebih lanjut.

Jangan menggunakan obat yang sudah rusak atau kadaluarsa. Hal ini penting untuk diketahui terutama penggunaan antibiotik yang sudah kadaluarsa karena dapat menimbulkan resistensi mikroba. Resistensi mikroba berdampak terhadap mahalnya biaya pengobatan. Obat dapat berubah menjadi toksik


(27)

selama penyimpanan. Beberapa obat dapat terurai menjadi substansi-substansi yang toksik (Kementrian Kesehatan RI, 2010).

2.2.5 Distribusi Obat

Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan/pasien. Sistem distribusi yang baik harus:

- menjamin kesinambungan penyaluran/penyerahan, - mempertahankan mutu,

- meminimalkan kehilangan, kerusakan, dan kadaluarsa, - menjaga ketelitian pencatatan,

- menggunakan metode distribusi yang efisien dengan memperhatikan peraturan perundangan dan ketentuan lain yang berlaku, dan

- menggunakan sistem informasi manajemen (Pengurus Pusat IAI, 2011).

Tujuan distribusi dan pelayanan obat adalah:

a. terlaksananya distribusi obat yang berdaya guna dan berhasil guna dengan penyebarannya yang merata, teratur, serta dapat diperoleh bagi yang membutuhkan pada saat diperlukan,

b. terjamin mutu obatnya serta ketepatan, kerasionalan, dan efesiensi penggunaan obat, dan


(28)

Dalam pemberian obat, perlu dipertimbangkan masalah-masalah seperti berikut:

a. efek apa yang dikehendaki, lokal atau sistemik,

b. onset bagaimana yang dikehendaki, yang cepat atau yang lambat, c. duration bagaimana yang dikehendaki, yang lama atau yang pendek, d. apakah obatnya tidak rusak di dalam lambung atau di usus,

e. rute relatif aman mana yang mau digunakan, melalui mulut, suntikan, atau melalui dubur,

f. melalui jalan mana yang menyenangkan bagi dokter atau pasien (sukar menelan atau takut disuntik), dan

g. obat mana yang relatif murah (Anief, 2007).

2.2.6 Pengawasan Obat

Pemerintah bertanggung jawab atas pengendalian dan pengawasan obat, sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah dan peraturan perundang-undangan. Pemerintah perlu membina upaya-upaya dibidang obat agar tercapai tujuan dan sasaran pembangunan dibidang obat. Unsur-unsur kebijakan obat nasional terdiri dari:

a. penilaian, pengujian, dan pendaftaran, b. konsepsi daftar obat esensial,

c. pengadaan dan produksi, d. distribusi dan pelayanan,

e. penandaan, promosi, informasi, dan penyuluhan, f. pemeliharaan mutu,


(29)

g. pengamanan peredaran dan penggunaan, h. obat tradisional,

i. sistem informasi obat,

j. peraturan perundang-undangan, k. penelitian dan pengembangan, dan l. pengembangan dan tenaga (Anief, 2007).

2.2.7 Monitoring dan Evaluasi Obat

Pelayanan kefarmasian di Puskesmas perlu melakukan monitoring dan evaluasi kegiatan secara berkala. Monitoring merupakan kegiatan pemantauan terhadap pelayanan kefarmasian dan evaluasi merupakan proses penilaian kinerja pelayanan kefarmasian itu sendiri. Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan memantau seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian mulai dari pelayanan resep sampai kepada pelayanan informasi obat kepada pasien sehingga diperoleh gambaran mutu pelayanan kefarmasian sebagai dasar perbaikan pelayanan kefarmasian di Puskesmas selanjutnya. Hal-hal yang perlu dimonitor dan dievaluasi dalam pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah:

- Sumber Daya Manusia (SDM),

-pengelolaan sediaan farmasi (perencanaan, dasar perencanaan, pengadaan, penerimaan, dan distribusi),

-pelayanan farmasi klinik (pemeriksaan kelengkapan resep, skrining resep, penyiapan sediaan, pengecekan hasil peracikan, dan penyerahan obat yang disertai informasinya serta pemantauan pemakaian obat bagi penderita


(30)

-mutu pelayanan (tingkat kepuasan konsumen) (Depkes RI, 2006).

Manajemen obat di Puskesmas bertujuan agar dana yang tersedia dapat digunakan dengan sebaik-baiknya dan berkesinambungan guna memenuhi kepentingan masyarakat yang berobat ke Puskesmas (Depkes RI, 2003).

2.3 Puskesmas

Puskesmas merupakan unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja. Secara nasional, standar wilayah kerja Puskesmas adalah satu kecamatan. Apabila di satu kecamatan terdapat lebih dari satu Puskesmas, maka tanggung jawab wilayah kerja dibagi antar-Puskesmas dengan memperhatikan keutuhan konsep wilayah, yaitu desa/kelurahan atau dusun/rukun warga (RW) (Depkes RI, 2006).

Tolak ukur penyelenggara upaya kesehatan masyarakat tingkat pertama adalah Puskesmas yang didukung secara lintas sektoral dan didirikan sekurang-kurangnya satu di setiap kecamatan. Puskesmas bertanggung jawab atas masalah kesehatan di wilayah kerjanya. Terdapat tiga fungsi utama Puskesmas, yakni:

- pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan, - pusat pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan, dan - pusat pelayanan kesehatan tingkat dasar.

Sekurang-kurangnya ada enam jenis pelayanan tingkat dasar yang harus dilaksanakan oleh Puskesmas, yakni:

- promosi kesehatan,


(31)

- perbaikan gizi,

- kesehatan lingkungan,

- pemberantasan penyakit menular, dan - pengobatan dasar (Depkes RI, 2004).

2.4 Mutu Pelayanan

Apoteker adalah profesional terakhir yang berinteraksi dengan pasien, terutama pasien yang berobat jalan. Apoteker harus bekerja sama dengan dokter dalam memberikan informasi kepada pasien mengenai obatnya dan memberikan arahan demi berhasilnya terapi obat yang diberikan. Penyuluhan kepada pasien, terutama yang tergolong kurang cerdas ataupun tidak dapat baca dan tulis adalah merupakan kewajiban apoteker sebagai drug informer. Dalam hal pemberian terapi yang rasional dan optimal, kerjasama antara dokter dan apoteker sangat diperlukan (Zaman, 2002).

Goetsch dan Davis (1994) mengatakan bahwa kualitas/mutu merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan (Tjiptono, 2001). Organisasi yang peduli terhadap mutu memiliki sistem nilai yang mendukung terwujudnya lingkungan yang kondusif untuk menerapkan perbaikan mutu yang berkesinambungan. Budaya mutu dalam organisasi tersebut meliputi tata nilai, tradisi, prosedur, dan harapan yang mendukung terwujudnya upaya-upaya perbaikan mutu (Koentjoro, 2007).


(32)

Agar dapat tersusun sistem manajemen mutu dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan, langkah-langkah yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

a. persiapan,

b. pembakuan sistem,

c. pengendalian dan pembinaan agar sistem yang dibakukan berjalan dengan baik,

d. perbaikan sistem berkesinambungan, dan

e. penilaian dan surveilan terhadap berjalannya keseluruhan sistem manajemen mutu, melalui pengukuran kinerja, surveilan kepuasan pelanggan, audit, dan tinjauan manajemen (Koentjoro, 2007).

Prasarana dan sarana yang harus dimiliki Puskesmas untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian adalah sebagai berikut:

- papan nama “apotek” atau “kamar obat” yang dapat terlihat jelas oleh pasien,

- ruang tunggu yang nyaman bagi pasien,

- peralatan penunjang pelayanan kefarmasian, antara lain timbangan gram dan miligram, mortir-stamper, gelas ukur, corong, rak alat-alat, dan lain-lain,

- tersedia tempat dan alat untuk mendisplai informasi obat bebas dalam upaya penyuluhan pasien, misalnya untuk memasang poster, tempat brosur, dan majalah kesehatan,

- tersedia sumber informasi dan literatur obat yang memadai untuk pelayanan informasi obat, antara lain: Farmakope Indonesia edisi


(33)

terakhir, Informasi Spesialite Obat Indonesia (ISO), dan Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI),

- tersedia tempat dan alat untuk melakukan peracikan obat yang memadai, - tempat penyimpanan obat khusus, seperti lemari es untuk supositoria,

serum dan vaksin, dan lemari terkunci untuk penyimpanan narkotika sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku,

- tersedia kartu stok untuk masing-masing jenis obat atau komputer agar pemasukan dan pengeluaran obat termasuk tanggal kadaluarsa obat dapat dipantau dengan baik, dan

- tempat penyerahan obat yang memadai, yang memungkinkan untuk melakukan pelayanan informasi obat.

Untuk mengukur kinerja pelayanan kefarmasian tersebut, harus ada indikator yang digunakan. Indikator yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat keberhasilan pelayanan kefarmasian di Puskesmas adalah:

a. tingkat kepuasan konsumen: dilakukan dengan survei berupa angket melalui kotak saran atau wawancara langsung,

b. dimensi waktu: lama pelayanan diukur dengan waktu (yang telah ditetapkan),

c. prosedur tetap (protap) pelayanan kefarmasian: untuk menjamin mutu pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan, dan


(34)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian deskriptif prospektif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang melakukan deskripsi mengenai fenomena yang ditemukan, baik yang berupa faktor resiko maupun efek atau hasil, dan prospektif adalah penelitian dengan mengikuti subjek untuk meneliti peristiwa yang belum terjadi (Sastroasmoro, 2008).

3.2 Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian adalah setiap resep yang masuk ke apotek Puskesmas. Resep diambil secara acak sistematis dan dihitung menggunakan proporsi binomunal (binomunal proportions) (Lemeshow, dkk, 1997).

(

)

(

N

)

Z p

(

p

)

d N p p Z n − + − − = − − 1 . 1 1 . 2 2 1 2 2 2 1 α α Keterangan:

N = jumlah populasi

n = jumlah resep minimal yang diperlukan

2 1−α

Z = derajat kepercayaan p = proporsi resep

d = limit dari error atau presisi absolute dengan persen kepercayaan yang diinginkan 95%; N = 5000;

2 1−α

Z = 1,96; p = 0,5;


(35)

( ) ( )(

)(

)

(

0,05

) (

5000 1

) ( ) ( )(

1,96 0,5 1 0,5

)

360

5000 5 , 0 1 5 , 0 96 , 1 2 2 2 = − + − − = n resep

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – April 2012 di Puskesmas Kecamatan Medan Denai Kota Medan yang terdiri dari 1 Puskesmas Rawat Inap, yaitu Puskesmas Bromo bertempat di Jalan Rotari dan 3 Puskesmas Tidak Rawat Inap, yaitu Puskesmas Tegal Sari bertempat di Jalan Srikandi no. 4 Komplek Puskesmas, Puskesmas Medan Denai bertempat di Jalan Jermal XV, dan Puskesmas Desa Binjai di Jalan HM Nawi Harahap Blok 2 no. 2.

3.4 Teknik Pengambilan Data

Peneliti mengadopsi teknik pengambilan data yang telah dilakukan oleh Linarni Jamil tahun 2006 pada penelitiannya tentang Mutu Pelayanan Farmasi di Kota Padang, yaitu:

a. rata-rata waktu penyiapan obat

Pengukuran dilakukan mulai resep masuk ke loket sampai nama pasien dipanggil, hal ini berhubungan dengan waktu tunggu pasien.

b. rata-rata waktu penyerahan obat

Pengukuran dilakukan mulai dari nama pasien dipanggil sampai pasien meninggalkan loket, hal ini berhubungan dengan adanya informasi atau kelengkapan informasi yang diberikan.


(36)

resep. Pengukuran ini dapat menggambarkan tingkat kecukupan obat di kamar obat/apotek.

d. persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep

Pengukuran dilakukan dengan mengamati apakah obat yang diserahkan kepada pasien cukup jumlah jenis sesuai yang dimaksudkan dalam resep. Pengukuran ini dapat menggambarkan tingkat kecukupan obat di kamar obat/apotek.

e. persentase penggantian resep

Pengukuran dilakukan dengan mengamati berapa banyak jenis obat dalam resep yang diganti baik oleh petugas maupun oleh penulis resep karena alasan obat tidak tersedia atau habis.

f. persentase label yang lengkap

Pengukuran dilakukan dengan mengamati kelengkapan label dari ditulisnya nomor urut resep, tanggal, nama pasien, aturan pakai, serta cara pakai/peringatan lain dengan nilai setiap item 1 dan nilai maksimal 5. Nilai 1 diperoleh apabila hanya mencantumkan aturan pakai pada label. Nilai 2 diperoleh apabila mencantumkan aturan pakai dan nama pasien. Nilai 3 diperoleh apabila mencantumkan aturan pakai, nama pasien, dan cara pakai/peringatan lain. Nilai 4 diperoleh apabila mencantumkan aturan pakai, nama pasien, cara pakai/peringatan lain, dan tanggal. Nilai 5 diperoleh apabila mencantumkan aturan pakai, nama pasien, cara pakai/peringatan lain, tanggal, dan nomor urut resep.

g. persentase pengetahuan pasien

Pengukuran ini dimaksud untuk melihat apakah ada diberikan informasi kepada pasien tentang obat yang diterimanya sehubungan dengan aturan pakai,


(37)

cara pakai, dan peringatan lainnya dan seberapa jauh informasi yang diberikan tersebut dapat diterima/dimengerti oleh pasien, dan diberikan nilai pada setiap pertanyaan. Pertanyaan yang diajukan kepada pasien mengenai bagaimana aturan pakai, cara pakai, dan peringatan lain. Nilai diberikan antara 1 sampai 3. Nilai 1 diberikan apabila pasien hanya dapat menjawab 1 pertanyaan dengan benar. Nilai 2 diberikan apabila pasien dapat menjawab 2 pertanyaan dengan benar. Nilai 3 diberikan apabila pasien mampu menjawab 3 pertanyaan dengan benar.


(38)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Umum Kecamatan Medan Denai

Kecamatan Medan Denai terletak di wilayah Tenggara Kota Medan yang berbatasan sebelah utara dengan Kecamatan Medan Tembung, sebelah selatan dengan Kecamatan Medan Amplas, sebelah barat dengan Kecamatan Medan Kota dan Kecamatan Medan Area, dan sebelah timur dengan Kabupaten Deli Serdang. Kecamatan Medan Denai memiliki luas area 9,05 km2. Jarak antara Ibukota Medan dengan Kecamatan Medan Denai adalah 9 km (BPS Medan, 2010).

Tabel 4.1 Tenaga Kesehatan di Kecamatan Medan Denai (BPS Medan, 2010) Tenaga Kesehatan Jumlah

Dokter ahli 15

Dokter umum 79

Dokter gigi 14

Bidan 39

Apoteker/Sarjana Farmasi 6

DIII Farmasi/Asisten Apoteker 104

Perawat 72

4.2 Gambaran Umum Puskesmas di Kecamatan Medan Denai

Kecamatan Medan Denai memiliki 1 Puskesmas Rawat Inap, yaitu Puskesmas Rawat Inap Bromo dan 3 Puskesmas Tidak Rawat Inap, yaitu Puskesmas Tegal Sari, Puskesmas Medan Denai, dan Puskesmas Desa Binjai.


(39)

Tabel 4.2 Rata-rata Jumlah Resep yang Masuk Setiap Bulan pada Masing-masing Puskesmas

Puskesmas Rata-rata Jumlah Resep Setiap Bulan

Rawat Inap Bromo 1900

Tegal Sari 1100

Medan Denai 1400

Desa Binjai 500

Tabel 4.3 Tenaga Kesehatan di Puskesmas Kecamatan Medan denai (BPS Medan, 2010)

Tenaga Kesehatan Jumlah

Dokter umum 11

Dokter gigi 6

Bidan 21

Apoteker/Sarjana Farmasi 1 DIII Farmasi/Asisten Apoteker 4

Perawat 33

Berdasarkan Tabel 4.3, data dari BPS Medan tahun 2010 yang merupakan data paling baru menyatakan bahwa di Puskesmas Kecamatan Medan Denai terdapat 1 apoteker, namun ketika dilakukan penelitian pada tahun 2012 tidak ditemukan tenaga apoteker. Penanggung jawab apotek dilakukan oleh asisten apoteker. Hal ini tentu saja sangat tidak sesuai dengan ketentuan PP 51 tahun 2009.


(40)

4.3Indikator Mutu Pelayanan Farmasi a. rata-rata waktu penyiapan obat

Berdasarkan 360 resep yang diperoleh, rata-rata waktu penyiapan obat adalah 183 detik (3,03 menit) dengan interval waktu 20-600 detik. Waktu penyiapan obat tidak melebihi standar yang ditetapkan, yaitu 10 menit per pasien (Biro Kepegawaian Depkes RI, 2000).

Lamanya waktu penyiapan obat tergantung pada jenis obat yang diminta dalam resep. Waktu penyiapan obat jadi (sediaan tunggal) lebih cepat daripada waktu penyiapan obat racikan (serbuk). Walaupun begitu, tidak dibedakan antara waktu penyiapan obat jadi (sediaan tunggal) dan obat racikan (serbuk) karena waktu yang dihasilkan tidak melebihi standar waktu yang ditetapkan. Rata-rata waktu penyiapan obat di Puskesmas Kecamatan Medan Denai lebih lambat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Linarni Jamil (2006), yakni 71 detik dengan interval waktu 23-149 detik.

Sebanyak 137 resep (38,06%) mempunyai rata-rata waktu penyiapan obat melebihi rata-rata dari jumlah keseluruhan waktu penyiapan obat 360 resep (dapat dilihat pada Grafik 4.1). Hal ini disebabkan karena jumlah petugas pengelola obat tidak sebanding dengan banyaknya jumlah resep yang harus dilayani sehingga pasien menunggu terlalu lama.


(41)

Grafik 4.1 Waktu Penyiapan Obat (detik) vs Resep

Tabel 4.4 Rata-rata Waktu Penyiapan Obat di Masing-masing Puskesmas

Puskesmas

Rata-rata Waktu Penyiapan Obat

Interval Waktu Resep

Rawat Inap Bromo 185 detik 40-576 detik 142

Tegal Sari 233 detik 20-600 detik 82

Medan Denai 153 detik 28-153 detik 105

Desa Binjai 138 detik 28-356 detik 31

Berdasarkan Tabel 4.4, dapat disimpulkan bahwa di Puskesmas Tegal Sari memiliki rata-rata waktu penyiapan obat yang paling lama, lalu Puskesmas Rawat Inap Bromo, Puskesmas Medan Denai, dan Puskesmas Desa Binjai.

b. rata-rata waktu penyerahan obat


(42)

Rata-rata waktu penyerahan obat di Puskesmas Kecamatan Medan Denai lebih cepat dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Linarni Jamil (2006), yakni 13 detik dengan interval waktu 2-33 detik.

Hal ini disebabkan karena pasien tidak diberi informasi lengkap tentang obat yang diterimanya sehingga pasien bisa saja salah menggunakan obat, melakukan aktivitas yang tidak boleh dilakukan selama terapi, mengkonsumsi makanan dan minuman yang dapat menyebabkan interaksi obat, atau sembarangan menyimpan obat. Ketika menyerahkan obat, perlu disertakan juga informasi mengenai obat dan penggunaannya, bahaya terputusnya atau tidak teraturnya penggunaan obat, cara penyimpanan obat, juga tentang kemungkinan interaksi dengan obat lain atau makanan, terutama obat bebas yang digunakan pasien. Perlu diingatkan obat yang mempengaruhi kemampuan mengendarai kendaraan, pejalan kaki dalam jalan ramai, koordinasi berfikir, dan orang yang menjalankan mesin. Pasien diingatkan untuk menyimpan obat jauh dari jangkauan anak-anak (Anief, 2007).


(43)

Tabel 4.5 Rata-rata Waktu Penyerahan Obat di Masing-masing Puskesmas

Puskesmas

Rata-rata Waktu Penyerahan Obat

Interval Waktu Resep

Rawat Inap Bromo 5 detik 2-80 detik 142

Tegal Sari 7 detik 2-30 detik 82

Medan Denai 8 detik 2-40 detik 105

Desa Binjai 10 detik 2-60 detik 31

Berdasarkan Tabel 4.5, dapat disimpulkan bahwa di Puskesmas Desa Binjai memiliki rata-rata waktu penyerahan obat yang paling lama, lalu Puskesmas Medan Denai, Puskesmas Tegal Sari, dan Puskesmas Rawat Inap Bromo.


(44)

Berdasarkan 360 resep yang diperoleh, persentase jumlah obat yang diserahkan sesuai resep adalah 94,44% dengan interval 81,72-100%. Persentase ini lebih rendah dibandingkan penelitian Linarni Jamil (2006), yakni 95,4% dengan interval 94-100%.

Dari 4 Puskesmas yang diambil datanya, terdapat Puskesmas yang mengurangi jumlah obat, terutama obat penurun panas, yang tertulis dalam resep 9 tablet tetapi yang diberikan 6 tablet. Alasan yang diberikan oleh petugas pengelola obat adalah karena biasanya panas akan turun dalam dua hari sehingga obat akan tersimpan di rumah dalam waktu yang cukup lama, bisa saja sampai lewat tanggal kadaluarsa dan ketika pasien sakit panas, maka obat yang disimpan tadi diminumnya tanpa melihat tanggal kadaluarsa. Hal ini tentu saja sangat membahayakan kesehatan dan keselamatan pasien.

Selama pengurangan jumlah obat tidak untuk obat yang harus habis diminum seperti antibiotik, tidak masalah apabila terjadi pengurangan jumlah obat. Untuk obat antipiretik seperti yang dikemukakan di atas, memang tidak berakibat fatal bagi pasien, mengingat obat antipiretik diminum hanya jika suhu badan naik dan segera menghentikan pengobatan jika suhu badan stabil, tetapi bisa berakibat penyalahgunaan dokumentasi.

d. persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep

Berdasarkan 360 resep yang diperoleh, persentase jumlah jenis obat yang diserahkan sesuai resep adalah 98,89% dengan interval 97,56-100%. Dibandingkan dengan penelitian Linarni Jamil (2006), yakni 100%, persentase ini lebih rendah. Hal ini disebabkan karena tidak adanya komunikasi 2 arah antara penulis resep dan petugas pengelola obat tentang obat apa saja yang tersedia dan


(45)

tidak tersedia, misalnya penulis resep meresepkan obat tetes telinga sementara obat tersebut tidak tersedia di Puskesmas. Petugas pengelola obat menuliskan resep obat yang tidak tersedia agar pasien dapat membeli sendiri. Kondisi seperti ini mengharuskan pasien mengeluarkan biaya sendiri/tambahan.

e. persentase penggantian resep

Berdasarkan 360 resep yang diperoleh, persentase penggantian resep 1,94% dengan interval 0,95-7,32%. Penggantian obat yang terjadi misalnya alopurinol diganti dengan piroksikam. Dibandingkan dengan penelitian Linarni Jamil (2006), persentase penggantian resep adalah 0%. Ini menunjukkan bahwa persentase penggantian resep di Puskesmas Kecamatan Medan Denai lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan di Puskesmas Kota Padang.

Hal ini disebabkan karena lamanya waktu tunggu obat. Sebagian unit pengelola obat kabupaten/kota saat ini kurang berfungsi sehingga pengadaan obat menjadi tidak efisien dan tidak sesuai dengan kebutuhan, baik jumlah, jenis, maupun waktunya (Herman, dkk, 2007).

f. persentase label yang lengkap

Berdasarkan 360 resep yang diperoleh, persentase label bernilai 1 adalah 30,28% dengan jumlah sampel 109 resep, bernilai 2 adalah 64,44% dengan jumlah sampel 232 resep, bernilai 3 adalah 5,28% dengan jumlah sampel 19 resep, bernilai 4 dan bernilai 5 adalah 0%.

Terdapat beberapa Puskesmas yang langsung menulis aturan pakai, nama dan cara/waktu pakai/peringatan pada kemasan kantong plastik bening menggunakan spidol. Terdapat juga Puskesmas yang menulis aturan pakai pada sepotong kertas


(46)

Untuk sediaan botol dan salep, langsung ditulis dengan spidol pada kemasannya tanpa menempelkan label. Sedangkan untuk sediaan suspensi antibiotik, semua Puskesmas memberi tanda batas air yang akan dicampurkan pada sediaan suspensi kering antibiotik langsung pada kemasan botol dengan menggunakan spidol. Hal ini dikarenakan tidak adanya tanda batas air yang harus ditambahkan pada kemasan botol, yang ada hanya petunjuk berapa ml yang harus ditambahkan. Puskesmas juga tidak menyediakan sendok takaran dosis untuk setiap pasien dengan resep suspensi kering antibiotik. Untuk memudahkan pasien, petugas pengelola obat berinisiatif langsung memberi tanda pada kemasan botol menggunakan spidol dan tentu saja sudah diukur sebelumnya.

Tidak lengkapnya label dapat berakibat tertukarnya obat dan pasien tidak mengetahui apa nama obat yang diminumnya. Penyerahan obat kepada pasien harus diberi etiket yang dilekatkan pada wadah/pengemas yang tertera:

- nama pasien (sebagai pengganti bila dikehendaki dengan nomor), - aturan pakai, dan

- paraf yang membuat (asisten apoteker atau apoteker).

Untuk obat yang melalui mulut masuk perut disebut sebagai obat dalam, memakai etiket kertas berwarna putih dan bagi obat luar yaitu untuk kulit, mata, hidung, telinga, dubur, vagina, injeksi, obat kumur yang tidak ditelan digunakan etiket kertas berwarna biru (Anief, 2007).

g. persentase pengetahuan pasien

Berdasarkan 360 resep yang diperoleh, persentase pengetahuan pasien bernilai 1 adalah 0%, bernilai 2 adalah 23,33% (84 pasien), dan bernilai 3 adalah 76,67% (276 pasien). Hampir semua pasien mampu menjawab pertanyaan yang


(47)

diajukan. Hal ini disebabkan karena pasien sudah sering menerima obat dengan jenis yang sama dan sudah dijelaskan terlebih dahulu oleh dokter yang memberikan resep.


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa mutu pelayanan kefarmasian di Puskesmas Kecamatan Medan Denai tidak memenuhi ketentuan dan kaidah profesi yang berlaku, karena kurang lengkapnya informasi yang diberikan oleh petugas pengelola obat kepada pasien, adanya pengurangan jumlah obat yang diberikan kepada pasien, kurang lengkapnya label yang diberikan pada kemasan obat, terbatasnya jumlah petugas pengelola obat, serta tidak adanya tenaga apoteker di Puskesmas.

5.2 Saran

a. Disarankan untuk meningkatkan mutu pelayanan farmasi di Puskesmas, terutama terhadap aspek pelayanan obat. Petugas pengelola obat dapat memberikan informasi yang lengkap tentang obat yang diberikan kepada pasien, tidak mengurangi jumlah obat, dan memberikan label yang lengkap pada setiap kemasan obat.

b. Disarankan adanya penempatan tenaga apoteker minimal 1 apoteker di masing-masing Puskesmas sebagai pemenuhan ketentuan PP 51 tahun 2009, sehingga dapat diadakannya proses konseling agar pasien lebih menguasai tentang obat yang dikonsumsinya, efek samping obat, makanan apa saja yang boleh dan tidak boleh dimakan selama mengkonsumsi obat, interaksi obat, serta dapat menerapkan pola hidup yang sehat.


(49)

c. Disarankan agar diupayakan usaha peningkatan kecepatan pelayanan dengan cara menambah jumlah petugas dan mengatur jadwal petugas dengan cara menempatkan lebih banyak petugas pada saat peak hour.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (2007). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 6, 51-54, 144, 151. Badan Pusat Statistik Kota Medan. (2010). Kota Medan Dalam Angka 2011.

Medan: Badan Pusat Statistik Kota Medan.

Biro Kepegawaian Departemen Kesehatan RI. (2000). Standar Waktu Pelaksanaan Tugas di Puskesmas. Jilid II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departeman Kesehatan RI. (2002). Daftar Tilik Jaminan Mutu (Quality Assurance) Pelayanan Kefarmasian di Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departeman Kesehatan RI. (2003). Materi Pelatihan Pengelolaan Obat di Kabupaten/Kota. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (2004a). Keputusan Mentri Kesehatan RI Nomor: 128/MENKES/SK/II/2004. Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (2004). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (2006). Pedoman Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (2008). Modul Tot Pelayanan Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (2009a). Sistem Kesehatan Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan RI. (2009). Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tentang Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.

Dinas Kesehatan Kota Medan. (2010). Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Medan 2010. Medan: Dinas Kesehatan Kota Medan.

Herman, M.J., Rini, S.H., dan Martuti, B. (2007). Analisis Situasi Pengelolaan Obat Publik di Beberapa Kabupaten/Kota. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 10(4): 283-290.


(51)

Jamil, L., dan Mubasysyir, H. (2006). Mutu Pelayanan Farmasi di Puskesmas Kota Padang. Tesis Magister Kebijakan dan Manajemen Pelayanan Kesehatan. Gadjah Mada University.

Kementrian Kesehatan RI. (2010). Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Materi Pelatihan Manajemen Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara RI. (2004). Keputusan MENPAN Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004. Tentang Pedoman Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah. Jakarta: Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara RI.

Koentjoro, T. (2007). Regulasi Kesehatan di Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset. Halaman 7, 27, 68-70, 90.

Lemeshow, S., Hosmer, D.W., Klar, J., dan Lwanga, S.K. (1997). Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 46-55.

Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia. (2011). Pedoman Cara Pelayanan Kefarmasian yang Baik (CPFB)/GPP. Jakarta: Ikatan Apoteker Indonesia.

Purwastuti, C.R. (2005). Analisis Faktor-faktor Pelayanan Farmasi yang Memprediksi Keputusan Beli Obat Ulang dengan Pendekatan Persepsi Pasien Klinik Umum di Unit Rawat Jalan RS Telogorejo Semarang. Tesis Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Diponegoro Semarang. Sastroasmoro, S. (2008). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi

Ketiga. Jakarta: Sagung Seto. Halaman 93-95.

Tjiptono, F., dan Anastasia, D. (2001). Total Quality Management. Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi Offset. Halaman 4.

Widiati, S., dan Hari, K. (2001). Planet kita, Kesehatan Kita. Laporan Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman 8.

Zaman, N., dan Joenoes. (2002). ARS Prescribendi Resep yang Rasional. Surabaya: Airlangga University Press. Halaman 164.


(52)

Lampiran 1. Tabel Pengumpulan Data N o Wak tu Peny iapa n Obat (1) Wak tu Peny erah an Obat (2) Jumlah Obat (3) Jumlah Jenis Obat (4) Peng ganti an Rese p (5) Label (6) Penge tahua n Pasien (7) Le ng kap Tidak Lengk ap Le ng kap Tidak Lengk ap

1 2 3 4 5 1 2 3

Keterangan:

(6) Nilai 1: mencantumkan aturan pakai pada label Nilai 2: mencantumkan aturan pakai dan nama pasien Nilai 3: mencantumkan aturan pakai, nama pasien, dan cara

pakai/peringatan lain

Nilai 4: mencantumkan aturan pakai, nama pasien, cara pakai/peringatan lain, dan tanggal

Nilai 5: mencantumkan aturan pakai, nama pasien, cara pakai/peringatan lain, tanggal, dan nomor urut resep.

(7) Nilai 1: mampu menjawab tentang aturan pakai

Nilai 2: mampu menjawab tentang aturan pakai dan cara pakai

Nilai 3: mampu menjawab tentang aturan pakai, cara pakai, dan peringatan lain.


(53)

(54)

(55)

(56)

(57)

(58)

(59)

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)