BAB I Pendahuluan - Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang (1978 – 1998)

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Masalah Indonesia kaya akan multi etnik, budaya, bahasa dan agama, hal ini

  2 disebabkan akan luasnya wilayah (5.180.053 Km ) dari Indonesia itu sendiri.

  Kebudayaan tradisional banyak mengangkat daya tarik wisatawan bahkan tidak

  

  jarang masyarakat itu sendiri yang menjadi sorotan. enurut Koentjaraningrat hampir semua kebudayaan di Indonesia mempunyai nilai historiografi tradisional yang cukup tinggi. Kebudayaan Hindu beserta kesustraan Hindu masuk ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi hanya dalam lapisan-lapisan dan lingkungan masyarakat teratas. Jika banyak masyarakat kebudayaan asli Indonesia, maka jangan heran apa bila ada juga masyarakat budaya Indonesia dari luar, seperti orang Tionghoa.

  Kebanyakan orang Indonesia asli telah banyak bergaul dengan orang Tionghoa Indonesia; tetapi sebagian besar, belum mengenal golongan penduduk ini dengan sewajarnya. Orang Tionghoa yang ada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari satu daerah di Tiongkok, tetapi dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung. Setiap imigran datang ke Indonesia membawa kebudayaan mereka masing-masing bersama dengan perbedaan bahasa. Masyarakat keturunan Tionghoa yang datang ke Indonesia khususnya ke Tangerang ada 4 yaitu, Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton. Masyarakat 1 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, cet.ke-20, Jakarta: Djambatan, 2004, hal. 21. keturunan ini banyak berdatangan pada kira-kira abad ke-16 sampai abad ke-19.

  Setelah perpindahan ini maka mulai terjadi percampuran budaya Tionghoa dengan Betawi atau Sunda di daerah tersebut. Percampuran perkawinan antara pemuda Tionghoa dengan wanita pribumi inilah maka muncul masyarakat Tionghoa Benteng. Kata “Benteng” sendiri diambil pada masa setelah pemberontakan masyarakat Tionghoa terhadap penguasa VOC di Batavia pada tahun 1740 (peristiwa kali Angke), yang dimana sebagian besar masyarakat Tionghoa yang ada di Tangerang tinggal di sekitar benteng Belanda di luar kota Batavia, dan mereka selalu disebut dengan istilah Tionghoa Benteng.

  Selama berlangsungnya gelombang-gelombang imigrasi dari 1850 sampai 1930, suku Hakka adalah yang paling miskin dari antara para perantau Tionghoa.

  Mereka bersama-sama orang Teo-Chiu dipekerjakan di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber-sumber mineral sehingga sampai sekarang orang Hakka masih banyak yang terpuruk dalam kemiskinan. Sejak akhir abad ke-19, orang Hakka mulai bermigrasi ke Jawa Barat, karena tertarik oleh perkembangan Kota Jakarta dan karena dibukanya daerah Priangan bagi pedagang Tionghoa.

  Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri bukan langsung dari Tiongkok itu sendiri, melainkan berasal dari perpaduan antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat Betawi atau bahkan Sunda. Mereka ini pada awalnya banyak mendiami daerah Jakarta Utara. Akan tetapi banyak dari mereka tergusur dan pindah ke daerah selatan Jakarta, seperti di pinggiran sungai Cisadane. Kerumitan yang selalu menghantui masyarakat Tionghoa Benteng ini adalah masalah kewarganegaraan. Dalam zaman Kolonial semua orang Tionghoa secara yuridis diakui sebagai suatu golongan yang dikenakan sistem hukum perdata yang berbeda dengan orang Indonesia pribumi, ialah hukum Timur Asing. Pada tahun 1955, waktu Konferensi Asia-Afrika ke-1 di Bandung. Pemerintah Republik Indonesia mengadakan perjanjian dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk mengakhiri keadaan ini, sehingga orang Tionghoa di Indonesia dapat memilih menjadi salah satu, ialah warga negara RRT atau warga negara Indonesia (WNI), mereka juga harus bisa membuktikan di muka pengadilan bahwa ia lahir di Indonesia (hal ini agar mencegah pelarian masyarakat Tionghoa akibat perang saudara komunis dengan nasionalis Tiongkok), dan kemudian menyatakan di depan pengadilan melepaskan kewarganegaraan Tiongkok. Ratifikasi perjanjian tersebut, baru selesai tahun 1960, sedangkan untuk implementasinya ditentukan waktu dua tahun. Setelah tragedi Gerakan 30 September (G30S), pada tahun 1969 perjanjian Dwi kewarganegaraan dibatalkan. Yang memegang surat pernyataan Dwi kewarganegaraan menjadi stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) bila tidak menyatakan keinginan menjadi WNI. Pada tahun 1978 peraturan menteri kehakiman mewajibkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) bagi warga Tionghoa. Pada tahun 1983 keputusan menteri kehakiman, menegaskan bahwa SBKRI hanya wajib bagi mereka yang mengambil surat pernyataan Dwi kewarganegaraan lalu menyatakan menjadi WNI. Jadi bagi WNI tunggal dan keturunannya (yang telah menyatakan menjadi WNI tunggal sebelum tahun 1962 dan yang keturunan mereka, serta semua orang Tionghoa yang lahir setelah tahun 1962) tidak diperlukan SBKRI. Pada tahun 1992, keputusan menteri kehakiman, menegaskan bahwa anak-anak keturunan dari Tionghoa pemegang

  SBKRI cukup menyertakan SBKRI orang tua sebagai bukti mereka adalah WNI. Pada tahun 1996, keluar keputusan Presiden (Keppres) yang menyatakan Penyertaan SBKRI tidak diberlakukan lagi. Namun keputusan ini tidak banyak yang mengetahui karena kurangnya sosialisasi, hal ini banyak berdampak pada masyarakat Tionghoa Benteng. Mereka yang tidak tahu akan adanya peraturan tersebut mengalami pergusuran tempat tinggal, sepanjang sungai Cisadane di Tangerang dikarenakan masyarakat Tionghoa Benteng tidak mampu menunjukkan bahwa mereka sah sebagai WNI. Rumah-rumah mereka dihancurkan, dan dijadikan sebagai pabrik-pabrik di sepanjang Sungai Cisadane tersebut.

  Pada kerusuhan 1998, banyak masyarakat Tionghoa yang menjadi korban pembantaian masyarakat pribumi karena dianggap masyarakat Tionghoalah yang telah menghancurkan perekonomian Indonesia melalui perdagangannya. Hal ini ditandai dengan adanya pelecehan terhadap wanita-wanita Tionghoa, pembantaian besar-besaran dan pengerusakan ruko-ruko atau rumah orang dari suku Tionghoa. Masyarakat Tionghoa yang mempunyai perekonomian tinggi bisa melarikan diri ke luar negeri, tapi yang menengah kebawah akan menjadi korban pembantaian masyarakat. Masyarakat Tionghoa Benteng sendiri banyak yang menjadi korban dalam kerusuhan itu, dikarenakan menjadi pelampiasan amukan masyarakat terhadap perekonomian Indonesia yang ambruk.

I.2 Rumusan Masalah

  Rumusan masalah skripsi ada sebagai berikut : Bagaimana kondisi Masyarakat Tionghoa Benteng sebelum dan sesudah

  SBKRI ?

  • Apa usaha Masyrakat Tionghoa Benteng dalam menghadapi SBKRI ?
  • Bagaimana dampak kerusuhan 1998 terhadap masyarakat Tionghoa Benteng?

  I.3 Ruang Lingkup Masalah

  Batasan waktu dari penulisan ini adalah dari tahun 1978 hingga tahun 1998. Tahun 1978 dipilih sebagai batasan awal, karena pada tahun tersebut merupakan tahun diberlakukannya SBKRI.Sedangkan tahun 1998 dipilih menjadi batasan akhir karena pada masa ini terjadi kerusuhan besar-besaran yang mengakibatkan pembantaian etnis terhadap masyarakat Tionghoa terutama masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang.

  Tangerang menjadi titik perhatian utama karena disinilah secara spasial merupakan tempat Masyarakat Tionghoa Benteng itu sendiri tinggal, dan mereka masih menganggap bahwa Tangerang merupakan kota leluhur mereka setelah datang dari Tiongkok.

  I.4 Tujuan dan Manfaat

  Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini sendiri antara lain; 1. Untuk menjelaskan gambaran umum tentang dampak SBKRI.

  2. Untuk menjelaskan latar belakang Masyarakat Tionghoa Benteng itu sendiri dan gejolak didalamnya.

  3. Untuk mengetahui aktifitas latar belakang dari permasalahan kewarganegaraan yang sah bagi masyarakat keturunan.

  Adapun manfaat yang akan didapatkan dalam penulisan ini, diantaranya adalah:

  1. Menambah wawasan masyarakat tentang kewarganegaraan dan akibat jika terjadi diskriminasi rasial.

  2. Menjadi penjelasan bagi kalangan umum tentang masyarakat Tionghoa Benteng.

  3. Memberikan pemahaman seputar permasalahan dalam kewarganegaraan di Indonesia.

I.5 Tinjauan Pustaka

  Buku-buku yang menjadi pedoman bagi penulis dalam penulisan ini ada 4 buku. Buku yang pertama adalah, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia karya Koentjaraningrat. Buku ini mempunyai bab-bab keragaman kebudayaan masyarakat Indonesia yang salah satunya juga termasuk masyarakat Tionghoa. Di buku tersebut juga dijelaskan tentang bagaimana masyarakat dari Tiongkok mulai bermigrasi ke Indonesia dan mulai bergabung dengan masyarakat pribumi.

  Penulis juga memakai buku kedua yang ditulis oleh Teguh Setiawan, Cina

  

Muslim dan Runtuhnya Republik Indonesia . Buku ini juga banyak bercerita

  tentang masyarakat Tionghoa, dan cenderung tentang masyarakat Tionghoa Benteng. Di buku ini diceritakan bagaimana kisah hidup masyarakat Tionghoa khususnya Tionghoa Benteng, yang menjadi suatu komunitas eksklusif di Tangerang walaupun bisa dikatakan masyarakat ini masih termarjinalkan.

  Etnis Cina : Dalam Potret Pembauran di Indonesia , menjadi buku penulis

  ketiga yang ditulis oleh Abdul Baqir Zein. Di buku ini, penulis mendapatkan suatu pandangan khusus terhadap masyarakat Tionghoa akan proses diterimanya mereka di masyarakat Indonesia. Di buku ini juga diceritakan perjuangan mereka dari tanah kelahiran hingga sampai proses mendetail akan eksistensi mereka di dalam masyarakat.

  Karangan Susan Blackburn, yang berjudul Jakarta : Sejarah 400 Tahun, juga menjadi buku panduan keempat penulis. Memang jika ditilik dari judul dan sebagian besar isi merupakan sejarah Kota Jakarta, tetapi hal yang penulis dapat adalah adanya informasi tentang pemukiman Tionghoa di Jakarta dulunya.

  Bahkan Batavia jaman dulu mempunyai pemukiman masyarakat Tionghoa yang paling besar pada saat itu. Buku ini menjadi sumber informasi penulis akan pentingnya kota besar Jakarta yang menjadi pijakan pertama masyarakat Tionghoa di Jawa.

I.6 Metode Sejarah

  Penelitian yang dilakukan penulis bersifat deskriptif. Perlu dilakukannya metode-metode penelitian yang diperlukan, sesuai dengan kaidah penulisan

  

  ilmiah. Seperti yang telah diketahui, penulisan penelitian sejarah enurut Louis Gottschalk ada 4 langkah, langkah pertama adalah Heuristik. Yaitu proses pengumpulan dan menemukan sumber-sumber sejarah yang terkait. Bahan-bahan sumber sejarah yang diambil penulis berupa buku-buku yang berkaitan dengan masyarakat etnis Tionghoa terutama masyarakat Tionghoa Benteng, penulis melakukan pencarian pustaka di perpustakaan Kota Tangerang dan di Klenteng 2 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1999, hal.

  44.

  Boen Tek Bio. Selain itu penulis juga melakukan penelitian yang dilakukan langsung ke lapangan, untuk mengumpulkan sumber-sumber melalui wawancara yang dilakukan kepada Tjin Eng sebagai narasumber utama. Narasumber dipilih karena mempunyai akses yang cukup luas dalam membantu penulis mencari sumber-sumber penelitian. Langkah kedua adalah Kritik, yaitu proses dalam pemeriksaan keotentikan sumber-sumber yang telah didapat, agar dapat diketahui sumber-sumber ini merupakan sejatinya kebenaran. Pada proses dalam penulisan skripsi, penulis telah melakukan 2 jenis kritik, yaitu : kritik ekstern dan kritik intern. Langlah ketiga yaitu Interpretasi, yaitu proses untuk menafsirkan fakta, membandingkannya untuk diceritakan kembali. Tahap-tahap yang dilakukan penulis pada penelitian ini adalah, seleksi untuk memilih mana yang relevan dan mana yang penting. Serialisasi, yaitu mengurutkan dan merangkai fakta-fakta.

  Kronologi, yaitu menyusun fakta berdasarkan urutan waktu. Imajinasi, yaitu mencari jalinan dari berbagai pengalaman yang didapat dari fakta tersebut.

  Langkah keempat adalah Historiografi. Merupakan proses menceritakan rangkaian fakta dalam bentuk suatu tulisan yang bersifat ilmiah. Dalam penelitian ini, objek yang menjadi bahan penulis adalah masyarakat Tionghoa Benteng. Dimana yang dibahas adalah kehidupan masyarakat Tionghoa Benteng dalam kehidupan dan usaha-usahanya agar mendapatkan kewarganegaraan secara sah pada tahun berlakunya SBKRI yaitu 1978 sampai dicabutnya SBKRI 1998. Maka penulis memberikan judul penulisan penelitian ini adalah “Masyarakat Tionghoa

  Benteng di Tangerang (1978-1998)”.