BAB I PENDAHULUAN - Barongsai Pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng Di Klenteng Boen Hay Bio Kota Tangerang: Kajian Terhadap Pertunjukan Dan Makna Gerak

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Tiongkok adalah salah satu Negara di dunia yang terkenal dengan beragam kebudayaannya, salah satunya adalah seni pertunjukan barongsai. Barongsai adalah salah satu jenis seni pertunjukan yang terpusat pada olah gerak tubuh (tari dan bela diri atau akrobatik), menggunakan kostum singa, dan gerakannya mengikuti hentakan ritme yang dihasilkan oleh pemain musik. Pertunjukan barongsai sering ditampilkan dalam upacara-upacara hari besar maupun peristiwa-peristiwa penting pada kebudayaan suku Tionghoa.

  Tiongkok dikenal memiliki akar kebudayaan yang tinggi. Demikian juga dengan barongsai yang telah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Tarian pertama mengenai tarian barongsai bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ketiga sebelum masehi. Kesenian barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.

  Istilah barongsai di Indonesia berasal dari dua kata, yakni barong dan sai/say. Kata

  barong berasal dari bahasa Jawa yang artinya topeng, mirip dengan kesenian barong asal

  Jawa dan Bali. Kata Sai/Say berasal dari dialek Hokkien yang bermakna singa. Sehingga ketika digabungkan, maknanya memiliki arti Topeng Singa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), barongsai adalah “Tarian masyarakat Cina yang memakai kedok dan kelengkapan sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu bagian kepala dan satu bagian ekor) dan dipertunjukan pada perayaan-perayaan hari besar masyarakat Tionghoa”. Adapun menurut bahasa Mandarin, istilah barongsai disebut dengan 舞狮 Wǔ Shī , yang memiliki 2 arti 舞 Wǔ (tari)sedangkan 狮 Shī (singa), jadi apabila digabungkan, maknanya memiliki arti Tarian Singa. Tarian ini terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara lebih natural dan mirip singa. Sementara jenis satu lagi adalah Singa Selatan yang memiliki sisik serta sejumlah kaki yang bervariasi antara dua dan empat. kepala singa selatan juga dilengkapi tandi sehingga kadangkala mirip binatang bernama Kilin.

Gambar 1.1 Kilin

  Sumber: Kilin adalah binatang dalam legenda, yang merupakan ciptaan dari imajinasi manusia belaka. Kilin bertubuh rusa, tubuhnya diselubungi oleh sisik, kepalanya tumbuh tanduk panjang, di atas tanduknya ada gumpalan daging. Kakinya seperti kaki kuda, ekornya seperti ekor sapi. Kilin dianggap sebagai makhluk yang memiliki sifat moral baik. Raja-raja selalu menganggapnya sebagai lambang kedamaian dan kemakmuran. Selain itu, di Tiongkok masih ada legenda “Kilin mengirim anak”. Rakyat menganggap Kilin sebagai simbol yang dapat memberikan anak dan di lain pihak juga mengekspresikan harapan dan doa agar mendapatkan seorang anak laki-laki, dan keluarga akan berjaya dan sejahtera selamanya.

  Gerakan dua jenis singa ini juga berbeda,Singa Selatan lebih menonjolkan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak mengikuti tabuhan gong dan tambur.

  Sementara Singa Utara cenderung lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki. Satu gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa memakai amplop berisi uang yang disebut Lay See. Di atas amplop biasanya ditempeli sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi singa. Proses Lay See ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian Singa.

  Barongsai di mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi.

  Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan lainnya. Salah satunya di kota Tangerang tepatnya di Pecinaan Benteng Tangerang. Di sana terdapat kelenteng yang mempunyai komunitas barongsai. Kelenteng Boen Hay Bio yang berada di Jalan Raya Serpong, Desa Cilenggang, Kabupaten Tangerang merupakan satu dari tiga Kelenteng tertua di Tangerang yang menjadi tonggak eksistensi warga China Benteng, khususnya di wilayah Tangerang. Dua Klenteng lainnya yaitu Boen San Bio di kawasan Pasar Baru, dan Boen Tek Bio yang terletak di kawasan Pasar Lama, Kota Tangerang, juga memiliki komunitas perkumpulan barongsai.

  Seperti halnya wilayah Tangerang yang lain, Kota Tangerang Selatan juga memiliki tempat yang menyimpan sejarah serta budaya masyarakat Tionghoa. Tempat yang dimaksud adalah Klenteng Boen Hay Bio yang terletak di Jalan Pasar Lama Serpong, Desa Cilenggang, Tangerang.

  1 Klenteng Boen Hay Bio adalah sebagai Wihara tertua yang ada di daerah Serpong.

  Usia klenteng tersebut diperkirakan sudah mencapai tiga ratus tahun. Berdasarkan penuturan pengurus, Wihara Boen Hay Bio dibuat tahun 1694 sebagai tempat ibadah umat Budha. Tanggal 24 bulan keenam penanggalan Cina diperi ngati sebagai „Hari Jadi‟ klenteng. Pada saat itu, biasanya klenteng dipadati pengunjung yang datang untuk berdoa. Ulang tahun klenteng juga kerap dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti pertunjukan barongsai, gambang kromong, hingga pertunjukan lenong.

  Barongsai yang dimainkan adalah barongsai dari Perkumpulan Barongsai Boen Hay 1 Bio, pemain barongsai adalah masyarakat asli keturunan cina, mereka merupakam

  Wihara (BahWihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil. Klenteng adalah rumah ibadah penganut taoisme, maupun konfuciusisme. Tetapi di Indonesia, karena orang yang ke wihara/kuil/klenteng umumnya adalah etnis Tionghoa, maka menjadi agak sulit untuk dibedakan, karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme, Taoisme, dan Konfuciusisme. Sumber (http://id.wikipedia.org/wiki/Wihara) penduduk asli Pecinan Benteng Tangerang yang dominan masih beragama Budha. Yang unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah dialek Sunda bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina di kota Medan, yang masih memakai bahasa Hokkian dalam percakapan sehari-hari.

  Dalam memainkan permainan barongsai, dibutuhkan kejelian dan ketangkasan yang tentunya di dapat dari hasil latihan yang rutin serta tanggap dalam mengenal medan atau arena tempat bermain, dikarenakan permainan barongsai harus dapat dilakukan di segala medan, ataupun arena, atau bahkan dilapangan dan juga di tempat yang luasnya amat minimalis. Dalam perkembangan sekarang ini barongsai sudah banyak jenis permainannya yang dipadupadakan dengan kesenian bela diri Wushu, dan menjadikan gerakan-gerakan yang dilakukan menjadi indah dan serasi dengan musik terdengar dari alat musik barongsai. Itupun sebenarnya keserasian permainan juga di dapat dari hasil latihan yang serius dan disiplin yang tinggi serta pengenalan tentang budaya Tionghoa pada umunya.

  Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan berniat untuk melakukan suatu penelitian yang memfokuskan pada kajian terhadap pertunjukan dan makna gerak barongsai di pecinan benteng kota Tangerang. Dengan demikian penulis membuat judul penelitian ini yaitu : Barongsai Pada Kebudayaan Masyarakat Pecinaan

  

Benteng Di Klenteng Boen Hay Bio Kota Tangerang: Kajian Terhadap Pertunjukan

Dan Makna Gerak.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana makna pertunjukkan Barongsai di etnis Pecinan Benteng di Kota

  Tangerang? 2. Bagaimana makna gerakan singa pada seni pertunjukkan Barongsai?

  1.3 Tujuan Penelitian

  Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.

  Untuk mengetahui dan memahami pertunjukan Barongsai dalam kehidupan Masyarakat Tionghoa di kota Tangerang 2. Untuk mengetahui apa nilai-nilai makna gerakan pada seni pertunjukkan Barongsai.

  1.4 Manfaat Penelitian

  Sesuai dengan latar belakang perumusan masalah dan tujuan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

  Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman yang menyeluruh tentang pertunjukan dan makna gerakan singa pada seni pertunjukan Barongsai, menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan,dan bidang pertunjukan. Juga bertujuan untuk meluaskan wawasan seseorang mengenai hasil budaya berbagai bangsa dan menambah pemahaman tentang nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya-karya tersebut. Serta dapat menggunakan pemahaman tersebut sebagai salah satu rujukan bagi peneliti lain yang sejenis fokusnya pada objek yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

  Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum, masyarakat Tionghoa Benteng kota Tangerang secara khusus dapat memahami pertujukkan barngsai dan apa nilai-nilai dari gerakan-gerakan seni pertunjukkan barongsai tersebut

  Dan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumber informasi, khasanah wacana kepustakaan serta dapat dipergunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.5 Batasan masalah.

  Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup penelitian, dengan hanya memfokuskan pada pertunjukkan, dan makna gerakan singa pada seni pertujukan Barongsai di Pecinaan Benteng kota Tangerang.

  Data yang diperoleh adalah dari tinjauan kepustakaan dan wawancara dengan sumber yang terkait dalam penelitian.