Barongsai Pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng Di Klenteng Boen Hay Bio Kota Tangerang: Kajian Terhadap Pertunjukan Dan Makna Gerak

(1)

SKRIPSI

BARONGSAI PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA

BENTENG DI KLENTENG BOEN HAY BIO KOTA TANGERANG:

KAJIAN TERHADAP PERTUNJUKAN DAN MAKNA GERAK

(

格朗市 舞狮 表演 意

的研究)

Yìnní dān gé lǎng shì wǔ shī biǎoyǎn yìyì de yánjiū

DISUSUN

O

L

E

H

NAMA : ANNISA SYLVIANA

NIM : 100710022

PROGRAM STUDI SASTRA CINA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

Abstract

The title of this thesis is “Barongsai pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di

Klenteng Boen Hay Bio di Kota Tangerang: Kajian terhadap Pertunjukan dan Makna Gerak”.

The aim of this thesis is to describe the performance of Barongsai in Chinese society in Tangerang and to describe the meaning of the lion dance of Barongsai. The method of this thesis is describtive qualitative. The theory used in this thesis to show the performance of Barongsai is performance theory. To describe to meaning of the Barongsai movement is semiotic theory. The result of this thesis shows that the Barongsai performance using costumes to look like a lion, full of history and symbol, performed in Chinese new year, and a lot of acrobatic movements. The meaning of Barongsai movements symbolizing luck, bravery, and purity.


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke khadirat Allah SWT dengan rahmat, Hidayah, Nikmat serta PertolonganNYA, penulis dapat, menyelesaikan skripsi ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra pada Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul “BARONGSAI PADA KEBUDAYAAN MASYARAKAT TIONGHOA BENTENG DI KLENTENG BOEN HAY BIO KOTA TANGERANG: KAJIAN TERHADAP PERTUNJUKAN DAN MAKNA GERAK “.

Penyusunan skripsi ini tentu jauh dari kesempurnaan, hal ini disebabkan keterbatasan ilmu yang penulis miliki dan kurangnya pengalaman penulis. Maka dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritikan serta sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk kesempurnaan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis, untuk itulah penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada:

1. Dr. H. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara Medan, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A, Pembantu Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A, berkat bantuan dan fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu Budaya Universita Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. T. Thyrhaya Zein, M.A., selaku ketua Program Studi Sastra Cina Fakultas


(4)

3. Ibu Dra. Nur Cahaya Bangun, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs.Fadlin,M.A, selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberi arahan

kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Ibu Yang Yang, M.A atau 杨杨 老师, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberi

arahan serta dengan tabah dan ikhlas membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi yang menggunakan bahasa mandarin.

6. Bapak Peng Pai, M.A atau 澎 湃 老 师, selaku Dosen pengajar yang telah memberikan ilmunya dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi yang menggunakan bahasa mandarin.

7. Ibu Sheyla Silvia Siregar, S.S., M.Si, selaku dosen Pengganti Pembimbing II yang telah membantu penulis dalam hal menyelesaikan skripsi yang berbahasa mandarin.

8. Bapak dan Ibu Staf pengajar Program Studi Sastra Cina Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

9. Seluruh narasumber yang telah membantu penulis dalam proses penelitian sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

10.Ayahanda dan Ibunda tercinta, Jufrial Agusti S.E dan Sri Mahdarina, yang banyak memberikan pertolongan kepada penulis baik moril maupun materil sehingga skripsi ini selesai.


(5)

Rafdi, Yazid Hafidz dan Farhan Shihab, yang telah memberi motivasi dan semangat kepada penulis dalam memikirkan dan menyelesaikan skripsi ini.

12.Teman terbaik dari kecil hingga dewasa Maria Maya Sari Manurung yang telah memberi semangat dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Teman-teman Sastra China angkatan 2010, terkhusus untuk Joy, Acen, Angel, Monik, Pucan, Amel, James, Anas serta Alumni dan Mahasiswa Sastra China Univeritas Sumatera Utara yang telah membantu, memberi semangat, serta saling bertukar pikiran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi sarjana ini.

14.Teman-teman Teater „O‟ USU, Abangda Muhammad Ihsannuddin Nst, Abangda Rendy Novrizal , Abangda Joko Syahputra , Abangda Syahriski Fahri Abda Sinaga, Kakanda Tri Utari Ismayuni serta anggota Teater „O‟ dari angkatan 18 hingga 22 yang lainnya. Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan, masukan serta semangat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

15.Teman-teman dan Adik-adik yang penulis sayangi, Panji Villiberto Sirait, Adeg Syahputra, Muhammad Savrizal, Amy Mauliddya, Agung Qosym Yus, Cherly Fikka, Indira Ginanti, Novita Handayani, Agustina Fernandez SimangunsongRicky Yudistira, Lisa Andriani, Lestari Rahmadani Ghuci, Suryana, dan Wahyu Maulana yang telah membantu, memberi semangat serta mendoakan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan semua tulisan-tulisan penulis hingga terselesaikanlah skripsi ini.

16.Teman-teman KOTAK Medan (Komunitas Teater Kampus) yang sudah mendukung dan memberi semangat kepada penulis. Dan teman-teman ART Jakarta (Arisan


(6)

Teater Jakarta) yang sudah membantu penulis pada saat penelitian berlangsung, sehingga penulis dapat menemukan lokasi penelitian.

Semoga Allah SWT selalu memberikan anugerah dan keridhaanNya kepada kita semua, Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, Januari 2015

Penulis


(7)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Kilin...2

Gambar 1.2 Anjing...35

Gambar 1.3 Barongsai...37

Gambar 1.4 Barongsai...45

Gambar 1.5 Gerakan Singa Utara...45

Gambar 1.6 Gerakan Singa Selatan...47

Gambar 1.7 Gerakan Melompat di Tiang Pancang...49

Gambar 1.8 Gerakan Penghormatan...50

Gambar 1.9 Lompat Singa...52

Gambar 1.10 Gerakan Gembira...52

Gambar 1.11 Gerakan Wushu Pada Pertunjukan Barongsai...54

Gambar 1.12 Jurus Wushu...54

Gambar 1.13 Barongsai...55


(8)

Daftar Isi

ABSTRAK...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...vi

Bab I Pendahuluan 1.1Latar Belakang Masalah...1

1.2Rumusan Masalah...6

1.3Tujuan Masalah...6

1.4Manfaat Penelitian...6

1.4.1 ManfaatTeoritis...6

1.4.2 Manfaat Praktis...7

1.5Batasan Masalah...7

Bab II Tinjauan Pustaka, Konsep, dan Landasa Teori 2.1 Kajian Pustaka...8

2.2 Konsep...9

2.2.1 Kebudayaan...9

2.2.2 Kota Tangerang dan Pecinaan Benteng...10

2.2.3 Sejarah Klenteng Boen Hay Bio...13

2.2.4 Pertunjukan Barongsai...14

2.2.5 Tarian dan Gerakan...14

2.3 Landasan Teori...16

2.3.1 Teori Semiotik...16

2.3.2 Teori Pertunjukan...17

Bab III Metode Penelitian 3.1 Metode Penelitan...18

3.1.1 Studi Kepustakaan...19

3.1.2 Penelitian Lapangan...20

3.1.3 Metode Penelusuran Data Online...21

3.1.4 Kerja Laboraturium ...22

3.1.5 Lokasi Penelitian...22

Bab IV Gambaran Umum 4.1 Asal-uaul Tangerang disebut Kota Benteng...24

4.2 Sejarah Singkat Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang ...25

4.3 Kebudayaan Masyarakat Tionghoa di Kota Tangerang...28

Bab VPertunjukan Barongsai Pada Masyarakat Tionghoa Bengteng di Kota Tangerang 5.1 Sejarah Barongsai...32


(9)

5.1.2Mitos Barongsai...38

5.2 Makna Gerakan Singa Pada Pertunjukan Barongsai...40

5.2.1 Sejarah Munculnya Gerakan Singa...41

5.2.2 Gerakan Singa...44

5.2.3 Penampilan Gerakan Singa...48

Bab VI Kesimpulan dan Saran 6.1 Kesimpulan...56

6.2 Saran...57

Daftar Pustaka...68


(10)

Abstract

The title of this thesis is “Barongsai pada Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di

Klenteng Boen Hay Bio di Kota Tangerang: Kajian terhadap Pertunjukan dan Makna Gerak”.

The aim of this thesis is to describe the performance of Barongsai in Chinese society in Tangerang and to describe the meaning of the lion dance of Barongsai. The method of this thesis is describtive qualitative. The theory used in this thesis to show the performance of Barongsai is performance theory. To describe to meaning of the Barongsai movement is semiotic theory. The result of this thesis shows that the Barongsai performance using costumes to look like a lion, full of history and symbol, performed in Chinese new year, and a lot of acrobatic movements. The meaning of Barongsai movements symbolizing luck, bravery, and purity.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tiongkok adalah salah satu Negara di dunia yang terkenal dengan beragam kebudayaannya, salah satunya adalah seni pertunjukan barongsai. Barongsai adalah salah satu jenis seni pertunjukan yang terpusat pada olah gerak tubuh (tari dan bela diri atau akrobatik), menggunakan kostum singa, dan gerakannya mengikuti hentakan ritme yang dihasilkan oleh pemain musik. Pertunjukan barongsai sering ditampilkan dalam upacara-upacara hari besar maupun peristiwa-peristiwa penting pada kebudayaan suku Tionghoa.

Tiongkok dikenal memiliki akar kebudayaan yang tinggi. Demikian juga dengan

barongsai yang telah dikenal sejak ribuan tahun lalu. Tarian pertama mengenai tarian

barongsai bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ketiga sebelum masehi. Kesenian barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.

Istilah barongsai di Indonesia berasal dari dua kata, yakni barong dan sai/say. Kata

barong berasal dari bahasa Jawa yang artinya topeng, mirip dengan kesenian barong asal


(12)

ketika digabungkan, maknanya memiliki arti Topeng Singa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995), barongsai adalah “Tarian masyarakat Cina yang memakai kedok dan kelengkapan sebagai binatang buas (singa), dimainkan oleh dua orang (satu bagian kepala dan satu bagian ekor) dan dipertunjukan pada perayaan-perayaan hari besar masyarakat Tionghoa”. Adapun menurut bahasa Mandarin, istilah barongsai disebut

dengan 舞狮Wǔ Shī , yang memiliki 2 arti 舞Wǔ tari sedangkan 狮 Shī (singa),

jadi apabila digabungkan, maknanya memiliki arti Tarian Singa. Tarian ini terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara lebih natural dan mirip singa. Sementara jenis satu lagi adalah Singa Selatan yang memiliki sisik serta sejumlah kaki yang bervariasi antara dua dan empat. kepala singa selatan juga dilengkapi tandi sehingga kadangkala mirip binatang bernama Kilin.

Gambar 1.1 Kilin

Sumber: www.google.com

Kilin adalah binatang dalam legenda, yang merupakan ciptaan dari imajinasi manusia belaka. Kilin bertubuh rusa, tubuhnya diselubungi oleh sisik, kepalanya tumbuh tanduk panjang, di atas tanduknya ada gumpalan daging. Kakinya seperti kaki kuda, ekornya seperti ekor sapi. Kilin dianggap sebagai makhluk yang memiliki sifat moral baik.


(13)

Raja-raja selalu menganggapnya sebagai lambang kedamaian dan kemakmuran. Selain itu, di Tiongkok masih ada legenda “Kilin mengirim anak”. Rakyat menganggap Kilin sebagai simbol yang dapat memberikan anak dan di lain pihak juga mengekspresikan harapan dan doa agar mendapatkan seorang anak laki-laki, dan keluarga akan berjaya dan sejahtera selamanya.

Gerakan dua jenis singa ini juga berbeda,Singa Selatan lebih menonjolkan gerakan

kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak mengikuti tabuhan gong dan tambur. Sementara Singa Utara cenderung lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki. Satu gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa memakai amplop

berisi uang yang disebut Lay See. Di atas amplop biasanya ditempeli sayuran selada air

yang melambangkan hadiah bagi singa. Proses Lay See ini berlangsung sekitar separuh

bagian dari seluruh tarian Singa.

Barongsai di Indonesia mengalami masa maraknya ketika zaman masih adanya perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan. Setiap perkumpulan Tiong Hoa Hwe Koan di berbagai daerah di Indonesia hampir dipastikan memiliki sebuah perkumpulan barongsai. Perkembangan barongsai kemudian berhenti pada tahun 1965 setelah meletusnya Gerakan 30 S/PKI. Karena situasi politik pada waktu itu, segala macam bentuk kebudayaan Tionghoa di Indonesia dibungkam. Barongsai dimusnahkan dan tidak boleh dimainkan lagi.

Perubahan situasi politik yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1998 membangkitkan kembali kesenian barongsai dan kebudayaan Tionghoa lainnya. Salah satunya di kota Tangerang tepatnya di Pecinaan Benteng Tangerang. Di sana terdapat kelenteng yang


(14)

mempunyai komunitas barongsai. Kelenteng Boen Hay Bio yang berada di Jalan Raya Serpong, Desa Cilenggang, Kabupaten Tangerang merupakan satu dari tiga Kelenteng tertua di Tangerang yang menjadi tonggak eksistensi warga China Benteng, khususnya di wilayah Tangerang. Dua Klenteng lainnya yaitu Boen San Bio di kawasan Pasar Baru, dan Boen Tek Bio yang terletak di kawasan Pasar Lama, Kota Tangerang, juga memiliki komunitas perkumpulan barongsai.

Seperti halnya wilayah Tangerang yang lain, Kota Tangerang Selatan juga memiliki tempat yang menyimpan sejarah serta budaya masyarakat Tionghoa. Tempat yang dimaksud adalah Klenteng Boen Hay Bio yang terletak di Jalan Pasar Lama Serpong, Desa Cilenggang, Tangerang.

Klenteng Boen Hay Bio adalah sebagai Wihara1 tertua yang ada di daerah Serpong.

Usia klenteng tersebut diperkirakan sudah mencapai tiga ratus tahun. Berdasarkan penuturan pengurus, Wihara Boen Hay Bio dibuat tahun 1694 sebagai tempat ibadah umat Budha. Tanggal 24 bulan keenam penanggalan Cina diperingati sebagai „Hari Jadi‟ klenteng. Pada saat itu, biasanya klenteng dipadati pengunjung yang datang untuk berdoa. Ulang tahun klenteng juga kerap dimeriahkan dengan berbagai atraksi seperti pertunjukan barongsai, gambang kromong, hingga pertunjukan lenong.

Barongsai yang dimainkan adalah barongsai dari Perkumpulan Barongsai Boen Hay Bio, pemain barongsai adalah masyarakat asli keturunan cina, mereka merupakam

1

Wihara (Bahasa Sansekerta: Vihara) adalah rumah ibadah umat Buddha. Wihara adalah rumah ibadah agama Buddha, bisa juga dinamakan kuil. Klenteng adalah rumah ibadah penganut taoisme, maupun konfuciusisme. Tetapi di Indonesia, karena orang yang ke wihara/kuil/klenteng umumnya adalah etnis Tionghoa, maka menjadi agak sulit untuk dibedakan, karena umumnya sudah terjadi sinkritisme antara Buddhisme, Taoisme, dan


(15)

penduduk asli Pecinan Benteng Tangerang yang dominan masih beragama Budha. Yang unik dari masyarakat Cina Benteng adalah bahwa mereka sudah berakulturasi dan beradaptasi dengan lingkungan dan kebudayaan lokal. Dalam percakapan sehari-hari misalnya, mereka sudah tidak dapat lagi berbahasa Cina. Logat mereka bahkan sudah dialek Sunda bercampur Betawi. Ini sangat berbeda dengan masyarakat Cina di kota Medan, yang masih memakai bahasa Hokkian dalam percakapan sehari-hari.

Dalam memainkan permainan barongsai, dibutuhkan kejelian dan ketangkasan yang tentunya di dapat dari hasil latihan yang rutin serta tanggap dalam mengenal medan atau arena tempat bermain, dikarenakan permainan barongsai harus dapat dilakukan di segala medan, ataupun arena, atau bahkan dilapangan dan juga di tempat yang luasnya amat minimalis. Dalam perkembangan sekarang ini barongsai sudah banyak jenis permainannya yang dipadupadakan dengan kesenian bela diri Wushu, dan menjadikan gerakan-gerakan yang dilakukan menjadi indah dan serasi dengan musik terdengar dari alat musik barongsai. Itupun sebenarnya keserasian permainan juga di dapat dari hasil latihan yang serius dan disiplin yang tinggi serta pengenalan tentang budaya Tionghoa pada umunya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam dan berniat untuk melakukan suatu penelitian yang memfokuskan pada kajian terhadap pertunjukan dan makna gerak barongsai di pecinan benteng kota Tangerang. Dengan demikian penulis

membuat judul penelitian ini yaitu : Barongsai Pada Kebudayaan Masyarakat Pecinaan

Benteng Di Klenteng Boen Hay Bio Kota Tangerang: Kajian Terhadap Pertunjukan Dan Makna Gerak.


(16)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana makna pertunjukkan Barongsai di etnis Pecinan Benteng di Kota

Tangerang?

2. Bagaimana makna gerakan singa pada seni pertunjukkan Barongsai?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dan memahami pertunjukan Barongsai dalam kehidupan

Masyarakat Tionghoa di kota Tangerang

2. Untuk mengetahui apa nilai-nilai makna gerakan pada seni pertunjukkan

Barongsai.

1.4 Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang perumusan masalah dan tujuan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya, maka manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pemahaman yang menyeluruh tentang pertunjukan dan makna gerakan singa pada seni pertunjukan


(17)

Barongsai, menjadi sumber dan pengetahuan bagi penulis pada bidang kebudayaan,dan bidang pertunjukan. Juga bertujuan untuk meluaskan wawasan seseorang mengenai hasil budaya berbagai bangsa dan menambah pemahaman tentang nilai-nilai budaya yang terkandung dalam karya-karya tersebut. Serta dapat menggunakan pemahaman tersebut sebagai salah satu rujukan bagi peneliti lain yang sejenis fokusnya pada objek yang sama.

1.4.2 Manfaat Praktis

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Tionghoa secara umum, masyarakat Tionghoa Benteng kota Tangerang secara khusus dapat memahami pertujukkan barngsai dan apa nilai-nilai dari gerakan-gerakan seni pertunjukkan barongsai tersebut

Dan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai sumber informasi, khasanah wacana kepustakaan serta dapat dipergunakan sebagai referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.5 Batasan masalah.

Dalam penelitian ini, penulis membatasi ruang lingkup penelitian, dengan hanya memfokuskan pada pertunjukkan, dan makna gerakan singa pada seni pertujukan Barongsai di Pecinaan Benteng kota Tangerang.

Data yang diperoleh adalah dari tinjauan kepustakaan dan wawancara dengan sumber yang terkait dalam penelitian.


(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

Pada bab ini, penulis memaparkan tentang penelitian peneliti sebelumnya, yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada skripsi ini, konsep yang digunakan dalam penelitian ini, serta landasan teori yang digunakan sebagai dasar penulis untuk melakukan penelitian.

2.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah, menyelidiki atau

mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 1198). Pustaka adalah kitab-kitab;

buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003: 912). Penulis menemukan

beberapa jurnal, skripsi yang isinya berkaitan dengan judul penelitian ini. Adapun buku dan jurnal dan skripsi yaitu:

1. Yudisthira Siahaan, 2008. Dalam skripsi “Kajian musikal dan fungsi pertunjukan

barongsai pada perayaan Cap Go Meh masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maiterya, komplek perumahan Cemara Asri, Medan. Menguraikan tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai dalam bidang musikal.

2. Nandita Erisca, 2008 Universitas Indonesia. Dalam skripsi “Sejarah perkembangan

masyarakat cina di pulau jawa”. Menguraikan tentang asal muasal masuknya masyarakat cina di pulau jawa. Dengan membaca ini penulis dapat lebih mudah


(19)

mengetahui bagaimana masuknya masyarakat cina dipulau jawa khususnya di kota Tangerang.

3. Bintang Hanggoro Putra, 2009 Universitas Negeri Semarang. Dalam jurnal

“Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina”. Menguraikan tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai. dengan membaca ini penulis dapat memahami lebih luas apa itu makna pertujukan barongsai.

2..2 Konsep

Konsep menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:588) adalah gambaran mental

dari suatu obyek, proses, ataupun yang ada diluar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal yang lain. Peneliti akan menggambarkan objek yang diteliti yaitu gambaran berupsa pengertian-pengertian yang berkaitan dengan penelitian.

.2.2.1 Kebudayaan

Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatkanya dengan belajar dan yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupanan masyarakat.


(20)

Setiap kelompok masyarakat mempunyai bentuk - bentuk kebudayaan yang berciri

khas tertentu atau disebut juga Cultural Universal. Unsur kebudayaan ada tujuh

(Koentjaraningrat,1982:2), yaitu:

1. Bahasa. 2. Sistem Pengetahuan 3. Organisasi Sosial 4. Sistem Peralatan.dan

Teknologi 5. Sistem Mata Pencaharian. 6. Sistem Religi. 7. Kesenian.

Setiap manusia dilahirkan ke dalam suatu kebudayaan yang bersifat kompleks. Kebudayaan itu kuat sekali pengaruhnya terhadap cara hidup serta cara berlaku yang akan diikuti selama manusia itu hidup.

2.2.2 Kota Tangerang dan Pecinan Benteng

Kota Tangerang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Banten, Indonesia tepat di sebelah barat kota Jakarta, serta dikelilingi oleh Kabupaten Tangerang di sebelah utara dan barat. Tangerang merupakan kota terbesar di Provinsi Banten serta ketiga terbesar di kawasan perkotaan Jabotabek setelah Jakarta. Kota Tangerang terdiri atas 13 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah 104 kelurahan. Dahulu Tangerang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Tangerang, kemudian ditingkatkan statusnya menjadi kota administratif, dan akhirnya ditetapkan sebagai kotamadya pada tanggal 28 Februari 1993. Sebutan “Kotamadya” diganti dengan “Kota” pada tahun 2001.

Tangerang adalah pusat manufaktur dan industri di pulau Jawa dan memiliki lebih


(21)

kota ini. Tangerang memiliki cuaca yang cenderung panas dan lembap, dengan sedikit hutan atau bagian geografis lainnya. Kawasan-kawasan tertentu terdiri atas rawa-rawa,

termasuk kawasan di sekitar Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Dalam beberapa

tahun terakhir, perluasan urban Jakarta meliputi Tangerang, dan akibatnya banyak

penduduk yang berpindah ke Jakarta untuk kerja, atau sebaliknya. Banyak kota-kota satelit

kelas menengah dan kelas atas sedang dan telah dikembangkan di Tangerang, lengkap

dengan pusat perbelanjaan, sekolah swasta dan mini market. (Tangerang.go.id)

Pemerintah bekerja dalam mengembangkan sistem jalan tol untuk mengakomodasikan

arus lalu lintas yang semakin banyak ke dan dari Tangerang. Tangerang dahulu adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat yang sejak tahun 2000 memisahkan diri dan menjadi

bagian dari provinsiBanten. (Tangerang.go.id)

Tangerang juga memiliki jumlah komunitas Tionghoa yang cukup signifikan, banyak

dari mereka adalah campuran Cina Benteng. Mereka didatangkan sebagai buruh oleh

kolonial Belanda pada abad ke 18 dan 19, dan kebanyakan dari mereka tetap berprofesi

sebagai buruh dan petani. Budaya mereka berbeda dengan komunitas Tionghoa lainnya di Tangerang, ketika hampir tidak satupun dari mereka yang berbicara dengan aksen Mandarin, mereka adalah pemeluk Taoisme yang kuat dan tetap menjaga tempat-tempat ibadah dan pusat-pusat komunitas mereka. Secara etnis, mereka tercampur, namun


(22)

Tangerang, kebanyakan sekarang telah dikembangkan menjadi kawasan sub-urban2 seperti Lippo Village. (Tangerang.go.id)

Nama "Cina Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai tempat pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan.

Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik. Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga China Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Pada tanggal 13 Juni 1946 saat itu hubungan warga China Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrem. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelo pok pemuda China Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat China Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan

2


(23)

itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy dan tentara Kolonial Belanda.

Saat itu, semua etnis China Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.

2.2.3 Sejarah Klenteng Boen Hay Bio

Klenteng Boen Hay Bio berdiri sekitar tahun 1694 yang terletak di kawasan Pasar Lama, Serpong Kota Tangerang. Di dalam klenteng tersebut terdapat benda kuno dan bersejarah, seperti patung Singa / Ciok Say. Klenteng Boen Hay Bio disebut sebagai wihara tertua yang ada di daerah Serpong. Usia klenteng tersebut diperkirakan sudah mencapai tiga ratus tahun. Berdasarkan penuturan pengurus, Wihara Boen Hay Bio dibuat sebagai tempat ibadah umat Budha. Tanggal 24 bulan keenam penanggalan Cina diperingati sebagai „hari jadi‟ klenteng.

Klenteng Boen Hay Bio tidak hanya dikenal sebagai tempat religious. Disana juga bisa berkunjung untuk belajar Bahasa Mandarin. Kegiatan tersebut merupakan salah satu agenda rutin bakti sosial yang diadakan oleh pengurus wihara. Arsitektur Klenteng Boen Hay Bio dihiasi ornamen khas tanah Tiongkok. Di atas pintu gerbang kuil terdapat


(24)

kepiting raksasa. Dalam budaya Cina kepiting dipercaya dapat melindungi dan mengusir roh jahat.

Ada juga hiasan naga yang melilit dua tiang utama.Di bagian kiri dan kanan klenteng terdapat menara lima tingkat untuk membakar kertas mantra. Pengunjung juga bisa menjumpai tambur raksasa yang biasanya ditabuh saat acara tertentu.

2.2.4 Pertunjukan Barongsai

Pertunjukan barongsai adalah pertunjukan yang menampilkan gerakan tari, meskipun sebagian juga mengelompokkannya ke dalam seni bela diri ataupun akrobatik. Pada pembahasan ini terlebih dahulu akan dibahas fungsi barongsai dalam perspektif tari. Substansi tari adalah gerak. Gerak adalah pengalaman fisik yang paling elementer dalam kehidupan manusia. Gerak ini tidak hanya terdapat dalam denyutan-denyutan di seluruh tubuh manusia untuk tetap dapat bertahan hidup, namun gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala pengalaman emosional manusia. Gerakan ekspresif itu disebut dengan tari.

Menurut pola garapannya, awalnya pertunjukan barongsai merupakan jenis tarian tradisional. Disebut sebagai tari tradisional karena barongsai telah mengalami perjalanan sejarah yang lama dan selalu menjadi hiburan untuk rakyat. Maka dari itu, Barongsai dapat diklasifikasi sebagai tarian rakyat.


(25)

Sejarah singa dianggap sebagai pelindung dalam kebanyakan adat orang Asia terutama bagi mereka yang keturunan Cina. Tarian singa menjadi adat di negara Cina, Taiwan, Jepang, Korea dan Thailand. Setiap negara tersebut mempunyai gerakan dan bentuk tarian yang berbeda. Namun tarian ini lebih terkenal sebagai warisan masyarakat Cina, karena tercatat sejarahnya kurang lebih 1,000 tahun lalu. Dua tarian singa yang amat populer ialah "Tarian Singa Utara" dan "Tarian Singa Selatan".

Tarian singa Utara adalah berasal dari bagian utara Cina yang menggunakan tarian ini sebagai hiburan di kalangan kerajaan. Kostum singa tersebut menggunakan warna merah, jingga, hijau dan kuning untuk kostum singa betina. Tarian Singa Utara ini lebih kepada gerakan akrobatik dan bertujuan sebagai hiburan.

Tarian Singa Selatan menjadi lambang yang mempunyai ciri-ciri yang berkaitan dengan alam sekitar. Tarian ini selalu dipertunjukkan dalam upacara adat ataupun upacara untuk membuang roh-roh jahat. Tarian Singa Selatan menggunakan berbagai warna.

Pada bagian kepala, mempunyai mata yang lebih besar daripada Singa Utara, dan mempunyai cermin serta sebatang tanduk tepat di atas kepalanya. Sedangkan mata Singa Selatan memiliki warna yang berpadu antara warna hitam dan putih. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan sifat singa yang garang.

Gerakan antara Singa Utara dan Singa Selatan juga berbeda. Bila Singa Selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur, gerakan Singa Utara cenderung lebih lincah dan penuh


(26)

dinamika. Satu gerakan utama dari tarian barongsai adalah gerakan singa memakan

amplop berisi uang yang disebut dengan istilah “Lay See”. Di atas amplop tersebut

biasanya ditempeli dengan sayuran selada air yang melambangkan hadiah bagi sang singa.

Proses memakan “Lay See” ini berlangsung sekitar separuh bagian dari seluruh tarian

singa

2.3 Landasan Teori

Secara etimologi, teori berasal dari bahasa yunani Theoria yang berarti kebetulan

alam atau realita. Teori diartikan sebagai kumpulan konsep yang telah teruji keterandalannya, yaitu melalui kompetensi ilmiah yang dilakukan dalam penelitian.

Teori adalah landasan dasar keilmuan untuk mengkaji maupun menganalisis berbagai fenomena dan juga sebagai rujukan utama dalam memecahkan masalah penelitian di dalam ilmu pengetahuan

.

2.3.1 Teori Semiotik

Secara etomologis istilah semiotika berasal dari kata yunani yaitu semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefenisikan sebagai suatu yang berdasarkan konvensi sosial yang terbangun sebelumnya yang dapat mewakili sesuatu yang lain. Tanda pada awalnya dimaknai sebagai sesuatu hal yang menunjuk adanya hal lain (Seto. 2011.8).


(27)

Secara terminologis semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Seto. 2011.8 )

2.3.2 Teori Pertunjukkan

Saat pertunjukan barongsai dimainkan, masyarakat Tionghoa sebagai pemilik kebudayaan sudah pasti akan berkumpul untuk menyaksikannya, mereka berkumpul untuk mengambil makna pertunjukan tersebut, yakni mengusir roh jahat dan kesialan, serta mengundang keberuntungan dan nasib baik. Masyarakat non-Tionghoa pun banyak yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan Barongsai, ini dikarenakan mereka ingin melihat pertunjukan yang sifatnya menghibur mereka.

Richard Schechner (dalam Sal Murgianto, 1995: 161) mengungkapkan bahwa pertunjukan adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang. Sebuah pertunjukan memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar pertunjukan meliputi: (1) Persiapan

bagi pemain maupun penonton, (2) Pementasan, (3) Aftermath, yakni apa-apa saja yang

terjadi setelah pertunjukan selesai. Singer (dalam Sal Murgianto, 1995:165) menjelaskan bahwa setiap pertunjukan memiliki: (1) Waktu pertunjukan yang terbatas. (2) Awal dan akhir, (3) Acara kegiatan yang terorganisir, (4) Sekelompok pemain, (5) Sekelompok penonton, (6) Tempat pertunjukan, (7) Kesempatan untuk mempertunjukkannya.


(28)

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seni pertunjukkan barongsai memenuhi setiap syarat seperti yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peranan yang amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang berbagai variabel sosial, jadi tidak bertujuan menguji hipotesis atau membuat suatu generalisasi, tetapi membangun teori (Bungin, 2008: 68-69).

Sejalan dengan itu Miles dan Huberman (2007: 15) mengungkapkan bahwa kejernihan sangat dituntut dalam prosedur analisis kualitatif, suatu tanggung jawab yang mensyarakatkan banyak struktur. Data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan


(29)

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa seni pertunjukkan barongsai memenuhi setiap syarat seperti yang telah diuraikan sebagai suatu pertunjukan bagi masyarakat Tionghoa.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam penelitian yang dilakukan, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian, dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Penelitian kualitatif merupakan penelitian eksplorasi dan memainkan peranan yang amat penting dalam menciptakan hipotesis atau pemahaman orang tentang berbagai variabel sosial, jadi tidak bertujuan menguji hipotesis atau membuat suatu generalisasi, tetapi membangun teori (Bungin, 2008: 68-69).

Sejalan dengan itu Miles dan Huberman (2007: 15) mengungkapkan bahwa kejernihan sangat dituntut dalam prosedur analisis kualitatif, suatu tanggung jawab yang mensyarakatkan banyak struktur. Data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan


(30)

rangkaian angka, yang dapat dikumpulkan dalam aneka cara (observasi, wawancara, intisari dokumen, dan rekaman).

Metode-metode yang dilakukan oleh penulis dalam pengerjaan skripsi ini adalah: studi kepustakaan, penelitian lapangan, metode transkripsi, metode penelusuran data

online, dan kerja laboratorium. Untuk lebih jelas lagi, kelima metode ini akan dijelaskan selanjutnya.

3.1.1 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan sebagai landasan dalam hal penelitian, yakni dengan mengumpulkan sumber bacaan untuk mendapatkan pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti. Sumber-sumber bacaan ini dapat berupa buku, ensiklopedia, jurnal, buletin, artikel, maupun laporan penelitian sebelumnya. Dengan melakukan studi kepustakaan ini penulis akan dapat melakukan cara yang efektif dalam melakukan penelitian lapangan dan penyusunan skripsi ini. Dan juga, melalui studi kepustakaan ini, penulis juga akan mendapat masukan tentang apa yang sudah dan belum diteliti.

Penulis kemudian mengadakan penelusuran kepustakaan untuk memperoleh pengetahuan awal mengenai apa yang akan diteliti. Dalam hal ini, penulis mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh sarjana Etnomusikologi, yaitu Yudisthira Siahaan, 2008, dalam skripsi “Kajian Musikal dan Fungsi Pertunjukan Barongsai pada Perayaan Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maiterya, Komplek Perumahan

Cemara Asri, Medan”. Menguraikan tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai


(31)

pertunjukan barongsai.

Serta penulis juga mempelajari skripsi yang sudah pernah ditulis oleh sarjana Sastra

Cina, yaitu Nandita Erisca, 2008 Universitas Indonesia. Dalam jurnal “Sejarah

Perkembangan Masyarakat Cina di Pulau Jawa”. Menguraikan tentang asal muasal masuknya masyarakat cina di pulau jawa. Dengan membaca ini penulis dapat lebih mudah mengetahui bagaimana masuknya masyarakat cina dipulau jawa khususnya di kota Tangerang.

Dan juga penulis membaca sebuah jurnal yang di tulis oleh Bintang Hanggoro Putra, 2009 Universitas Negeri Semarang. Dalam jurnal “Fungsi dan Makna Kesenian Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina”. Menguraikan tentang fungsi dan makna pertunjukan barongsai. dengan membaca ini penulis dapat memahami lebih luas apa itu makna dari pertujukan barongsai.

Di samping itu penulis juga mendapatkan informasi dari dari beberapa buku seperti William Y.K. Lee (2004) dan Sylvia Lim, Ellen Conny (2010). Informasi yang diperoleh dari buku-buku tersebut adalah berupa pengetahuan tentang pertunjukan barongsai, asal-usulnya, serta makna pertunjukan.

Untuk melengkapi wawasan pengetahuan penulis dalam menulis skripsi ini, penulis juga melakukan studi kepustakaan terhadap topik-topik lain yang berhubungan dengan penelitian ini, seperti pengetahuan tentang sejarah. Selanjutnya hasil yang didapat dari penelusuran kepustakaan tersebut akan digunakan sebagai pembahasan informasi dalam penulisan skripsi ini.


(32)

3.1.2 Penelitian Lapangan

Penelitian lapangan dilakukan agar penulis dapat mengetahui secara keseluruhan mengenai objek yang diteliti. Dengan melakukan penelitian lapangan, penulis dapat terlibat langsung dengan objek yang sedang diteliti dan mendapat lebih banyak informasi melalui interaksi tersebut. Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan dan mendapatkan data melalui perekaman terhadap jalannya latihan pertunjukan barongsai secara keseluruhan.

Selain melakukan perekaman, penulis juga melaksanakan wawancara dengan informan kunci. Saat wawancara berlangsung, penulis menggunakan kamera ponsel

BlackBerry 8520 untuk mendokumentasikan detail-detal kecil yang dianggap penting.

Penulis merekam jalannya wawancara dengan menggunakan perangkat kamera Samsung

P6200.

3.1.3 Metode Penelusuran Data Online

Perkembangan internet yang sudah semakin maju pesat serta telah menjawab berbagai kebutuhan masyarakat saat ini memungkinkan para akademisi, mau ataupun

tidak, menjadikan media online seperti internet sebagai salah satu medium atau ranah

yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari informasi teoritis maupun data-data primer ataupun sekunder yang diinginkan oleh peneliti untuk kebutuhan penelitian. Sehubungan dengan itu, mau ataupun tidak, kita harus

menciptakan metode untuk memanfaatkan data online yang begitu banyak tersebar di


(33)

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat banyak tambahan pengetahuan dan informasi seputar barongsai. Penulis merasa sangat terbantu karena bahan referensi secara tekstual tentang pertunjukan barongsai sendiri sangatlah terbatas, melalui

penelusuran online, penulis mendapatkan banyak sekali bahan acuan dan gambaran

umum seputar pertunjukan barongsai.

3.1.4 Kerja Laboratorium

Dalam kerja laboratorium, dimulailah proses pengkajian terhadap semua data-data yang telah didapat. Setelah semua data yang diperoleh dari lapangan dan bahan dari studi kepustakaan terkumpul, langkah selanjutnya dilakukan pengolahan data dan penyusunan

tulisan. Pada hasil rekaman, dilakukan 3pentranskripsian dan selanjutnya dikaji. Pada

akhirnya, dara-data hasil olahan dan kajian disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

3.1.5 Lokasi Penelitian

Tempat yang dipilih penulis sebagai lokasi penelitian adalah Klenteng Boen Hay Bio

yang berada di Jalan Raya Serpong, Desa Cilenggang.Seperti halnya wilayah Tangerang

yang lain, Kota Tangerang Selatan juga memiliki tempat yang menyimpan sejarah serta budaya masyarakat Tionghoa. Tempat yang dimaksud adalah Klenteng Boen Hay Bio yang terletak di Jalan Pasar Lama Serpong, Desa Cilenggang, Tangerang. Kawasan tersebut juga

3

Pentranskripsian adalah proses, cara, atau pengamatan terhadap suatu objek Sumber://ArtiKata.com//Definisi pentranskripsian


(34)

sebagai kawasan tertua yang menjadi tempat wisata bagi masyarakat luar Tangerang, dikarenakan kawasan Pasar Lama Serpong terdapat banyak bangunan-bangunan tua peningggalan sejarah. Di daerah kawasan Kota Tangerang Selatan juga terdapat sebuah pemukiman yang mana terdapat masyarakat asli keturunan Tionghoa yaitu daerah pemukiman Pecinan Benteng, kebudayaan masyarakatnya sudah tercampur dengan budaya-budaya betawi dari daerah Kota Tangerang dari sinilah penulis tertarik meniliti didaerah tersebut. Selain daripada itu Tangerang juga termasuk kota tempat tinggal keluarga penulis, maka dari itu penulis memilih kota tersebut sebagai tempat penelitian.


(35)

BAB VI

GAMBARAN UMUM

4.1 Asal –usul Tangerang disebut Kota “Benteng”

Pada awalnya dimulai pada tanggal 1 Juni 1660 sesuai dengan arsip VOC oleh

F. De Haan, bahwa Sultan Banten telah membangun kerajaan besar di sebelah Barat sungai Untung Jawa. Untuk mengisi wilayah itu Sultan Banten memindahkan enam ribu

penduduk dan mengangkat Raden Sena Pati dan Kyai Demang sebagai penguasa di

daerah itu yang tertulis pada Dag Register tertanggal 20 Desember 1668. Lalu karena dicurigai akan merebut kekuasaan maka mereka dipecat dan digantikan, karena rasa sakit hatinya Kyai Demang mencoba mengadu domba Banten dengan VOC. Namun usahanya gagal dan ia terbunuh di Kademangan.

Dalam Dag Register tanggal 4 Maret 1680 dijelaskan bahwa penguasa Tangerang pada masa itu adalah Keaij Dipattij Soera Dielaga. Kyai Soeradilaga dan putranya meminta perlindungan kompeni dan ia beserta 143 tentaranya diberikan tempat di


(36)

perbatasan pagar kompeni. Pada pertempuran melawan Banten ia berhasil memukul mundur pasukan Banten, dan atas jasanya itu ia di beri gelar kehormatan lalu semenjak itu pula Tangerang menjadi kekuasaan kompeni, sesuai dengan perjanjian yang ditanda tangani pada tanggal 17 April 1684. Banten kehilangan hak dalam wilayah Tangerang dan wilayah Untung Jawa atau Tangerang menjadi milik kompeni. Lalu kompeni mendirikan benteng dan juga pos-pos keamanan guna mencegah perlawanan dari Banten, benteng ini terbuat dari batu bata yang didapat dari Bupati Tangerang Aria Soetadilaga I.

Ketebalan benteng ini adalah 20 kaki atau lebih. Setelah benteng selesai dibangun personilnya menjadi 60 orang Eropa dan 30 orang hitam. Yang dikatakan orang hitam adalah orang-orang Makasar yang direkrut sebagai serdadu VOC. Benteng ini kemudian menjadi basis VOC dalam menghadapi pemberontakan dari Banten. Kemudian pada

tahun 1801, diputuskan untuk memperbaiki dan memperkuat pos atau benteng itu,

dengan letak bangunan baru 60 roeden dan menghadap ke tenggara, tepatnya terletak

disebelah timur Jalan Besar pal 17. Orang-orang pribumi pada waktu itu lebih mengenal bangunan ini dengan sebutan "Benteng". Sejak saat itu, Tangerang terkenal dengan

sebutan Benteng. Benteng ini sejak tahun 1812 sudah tidak terawat lagi, bahkan menurut

"Superintendant of Publik Building and Work" tanggal 6 Maret 1816

menyatakan: ...Benteng dan barak di Tangerang sekarang tidak terurus, tak seorangpun

mau melihatnya lagi. Pintu dan jendela banyak yang rusak bahkan diambil orang untuk kepentingannya. (Tangerang.go.id)


(37)

4.2 Sejarah Singkat Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang

Nama "China Benteng" berasal dari kata "Benteng", nama lama kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng Belanda di kota Tangerang di pinggir sungai Cisadane, difungsikan sebagai post pengamanan mencegah serangan dari Kesultanan Banten, benteng ini merupakan Benteng terdepan pertahanan Belanda di pulau Jawa. Masyarakat Cina Benteng telah beberapa generasi tinggal di Tangerang yang kini telah berkembang menjadi tiga kota/kabupaten yaitu, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan.

Warga Cina Benteng sempat bersitegang dengan penduduk pribumi setelah Proklamasi Kemerdekaan. Pada 23 Juni 1946, rumah-rumah etnis Tionghoa di Tangerang diobrak-abrik.

Penduduk yang didukung oleh kaum Republik menjarah rumah-rumah warga Cina Benteng. Bahkan meja abu, yang merupakan bagian dari ritual penghormatan leluhur tionghoa, ikut dicuri. Kemarahan penduduk pribumi dipicu seorang tentara NICA dari etnis Tionghoa menurunkan bendera Merah Putih dan menggantinya dengan bendera Belanda. Rosihan Anwar dalam Harian Merdeka 13 Juni 1946 menulis pada saat itu hubungan warga Cina Benteng dan pribumi mengalami kemunduran paling ekstrim. Terlebih setelah Poh An Tuy, kelompok pemuda Cina Benteng pro-NICA, mengirim pasukan bersenjata dan mengungsikan masyarakat Cina Benteng yang selamat ke Batavia. Namun akhirnya kerusuhan pro-kemerdekaan itu berhasil diredam oleh koalisi antara tentara Poh An Thuy dan tentara Kolonial Belanda.


(38)

Saat itu, semua etnis Cina Benteng nyaris terusir, dan ketika kembali, mereka tidak lagi mendapatkan tanah mereka dalam keadaan utuh. Tanah-tanah para tuan tanah diserobot pribumi. Atau, mereka mendapati rumah-rumah, yang mereka tinggalkan telah rata dengan tanah. Kini mereka kembali terancam kehilangan rumah mereka karena ambisi pemerintah kota. Kampung itu terletak di DAS Ciliwung, dan memang melanggar peraturan daerah. Namun, mereka telah ada di situ sebelum peraturan daerah itu dibuat.

Secara ekonomi, masyarakat tradisional Cina Benteng hidup pas-pasan sebagai petani, peternak, nelayan, buruh kecil, dan pedagang kecil.

4

Ny Jo Siang Ing (39) yang tinggal di Jalan Raya Serpong,Desa Cilenggang, RT 02 RW 03 Kabupaten Tangerang misalnya, setiap hari harus bangun pagi-pagi untuk membawa dagangan kue ke pasar.

Fenomena Cina Benteng, kata 5Suma Mihardja, merupakan bukti nyata betapa

harmonisnya kebudayaan Cina dengan kebudayaan lokal. Lebih dari itu, keberadaan Cina Benteng seakan menegaskan bahwa tidak semua orang Cina memiliki posisi kuat dalam bidang ekonomi. Dengan keluguannya, mereka bahkan tak punya akses politik yang mendukung posisinya di bidang ekonomi. Beliau lebih melihat fenomena Cina Benteng sebagai contoh dan bukti nyata proses pembauran yang terjadi secara alamiah. Masyarakat Cina Benteng hampir tidak pernah mengalami friksi dengan etnis lainnya. Kenyataan ini membuat Suma yakin, persoalan sentimen etnis lebih bernuansa politis yang dikembangkan oleh orang-orang yang punya kepentingan politik.

4


(39)

Realitas Cina Benteng yang tinggal di pusat kekuasaan politik dan ekonomi menunjukkan, masyarakat etnis Cina sesungguhnya sama dengan etnis lainnya. Ada yang punya banyak uang, tetapi ada pula yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi mereka, wajar kalau perayaan Tahun Baru Imlek menjadi pengharapan agar rezeki di tahun baru ini lebih baik dari tahun sebelumnya. Wajar pula bahwa meski sudah berakulturasi begitu dalam, mereka tetap membeli bunga sedap malam dan bersembahyang di kelenteng-kelenteng.

4.3 Kebudayaan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tanngerang

Sukubangsa Tionghoa di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang ( Hokkien ), Tengnang ( Tiochiu ), atau

Tongnyin ( Hakka ). Dalam bahasa Mandarin mereka disebut ( 唐人 Táng rén "orang

Tang" ). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Tiongkok selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara

orang Tiongkok utara menyebut diri mereka sebagai orang Han ( 漢人 Hàn rén,"orang

Han").

Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Tiongkok sendiri menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok.


(40)

Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari daratan Tiongkok ke Nusantara dan sebaliknya.

Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Tionghoa atau Zhonghua dalam bahasa mandarin, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Tionghoa di Indonesia.

Istilah Zhonghua setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan

dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti kerajaan dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Istilah ini sampai terdengar oleh orang asal Tiongkok yang bermukim di Hindia Belanda yang ketika itu dinamakan “Orang Cina”.

Sekelompok orang asal Tiongkok yang anak-anaknya lahir di Hindia Belanda, merasa perlu mempelajari kebudayaan dan bahasanya. Pada tahun 1900, mereka mendirikan

sekolah di Hindia Belanda, di bawah naungan suatu badan yang dinamakan "Tjung Hwa

Hwei Kwan", yang bila lafalnya diindonesiakan menjadi中 会馆( Tiong Hoa Hwe Kwan ) THHK .

THHK dalam perjalanannya bukan saja memberikan pendidikan bahasa dan kebudayaan Tionghoa, tapi juga menumbuhkan rasa persatuan orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda, seiring dengan perubahan istilah "Cina" menjadi "Tionghoa" di Hindia


(41)

Belanda. Di daerah kawasan Pasar Lama tepat di Kabupaten Tangerang, Banten, telah lama dikenal sebagai tempat komunitas Tionghoa ( Ci Ben ) berkumpul. Konon mereka telah mendiami kawasan ini secara turun temurun sejak tahun 1700-an.

Kesenian yang berkembang di Kota Tangerang, terdiri dari beberapa jenis antara lain Kilin, Peking Say, Lang Say, Samujie, dan Barongsai, tetapi yang lebih sering dimainkan adalah barongsai, ini dikarenakan barongsai lebih banyak yang meminati. Kesenian yang menampilkan Singa Batu model dari Cieh Say ini ada bermacam macam, dimana yang utama mengikuti dua aliran, yaitu Aliran Utara dan Selatan yang dimaksud adalah sebelah Utara Sungai Yang Zi, bentuknya garang, badannya tetap, mulutnya persegi seperti yang kita lihat di kelompok Istana Kekaisaran di Beijing, sedangkan aliran selatan adalah terdapat di sebelah Selatan Sungai Yang Zi, bentuknya lebih bervariasi, lebih luwes, tapi kurang gagah. Aliran Selatan, pada umumnya berada di kelenteng-kelenteng Indonesia, khususnya di Kota Tangerang, termasuk bentuk singa ini, sama sekali tidak mirip dengan wujud singa sebenarnya, tetapi diambil dari Anjing Say yang pada waktu itu dipelihara Kaisar dan hanya di Istana saja, karena dianggap suci.

Klenteng Boen Hay Bio, tempat ibadah klenteng sudah ada di Indonesia sejak 400 tahun sang lalu. Tempat ibadah ini merupakan tempat ibadah tiga agama etnis Tionghoa, yaitu Buddha, Khonghucu, dan Tao. Akan tetapi, dalam praktiknya tidak pernah ada fanatisme terhadap salah satu dari tiga agama tersebut. Dengan kata lain, dalam prakteknya ketiga agama tersebut dilakukan bersamaan.


(42)

Gambang Kromong Kesenian tempo dulu unsur pribumi dengan unsur Tionghoa dalam dunia musik Betawi, dapat kita lihat dalam orkes gambang kromong, yang tampak pada alat-alat musiknya. Sebagian alat seperti gambang kromong, kemor, kecrek, gendang, kempul, slukat, gong enam dan gong kecil adalah unsur pribumi, sedangkan sebagian lagi berupa alat musik gesek ala Tionghoa yakni kongahyan, tehyan, dan skong. Dalam lagu-lagu yang biasa dibawakan orkes tersebut, rupanya bukan saja terjadi pengadaptasian, bahkan pula pengadopsian lagu-lagu Tionghoa yang disebut pobin, seperti Pobin Mano Kongjilok, Bankinhiva, Posilitan, Caicusiu dan sebagainya. Biasanya disajikan secara instrumental. Terbentuknya orkes gambang kromong tidak dapat dilepaskan dari Nie Hu-kong, seorang pemimpin golongan Tionghoa.


(43)

BAB V

PERTUNJUKAN BARONGSAI PADA MASYARAKAT TIONGHOA BENTENG DI KOTA TANGERANG

5.1 Sejarah Barongsai

Barongsai adalah tarian tradisional Cina dengan menggunakan kostum yang menyerupai singa. Barongsai memiliki sejarah ribuan tahun. Catatan pertama tentang tarian ini bisa ditelusuri pada masa Dinasti Chin sekitar abad ke tiga sebelum masehi.

”Barongsai” yang dikenal dengan 舞狮WǔShī dalam bahasa mandarin merupakan tari tradisional rakyat Cina yang sudah ada sejak abad 3 SM. Hal ini berhubungan dengan

kisah mitologi yang berkembang pada masa Dinasti Tang (618 – 906). Suatu ketika salah

seorang raja bermimpi bertemu dengan mahluk yang menyelamatkanya. Keesokan hari sang raja bertanya kepada salah seorang menterinya dan menceritakan bentuk mahluk yang hadir dalam mimpinya. Menteri mangatakan bahwa mahluk itu adalah singa yang datang dari Barat (India). Raja kemudian memerintahkan agar menteri membuat replika


(44)

mahluk yang menyelamatkan hidupnya. Sejak saat itu singa menjadi simbol keberuntungan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Walaupun singa bukan binatang asli negara Cina, kreasi bentuknya digunakan sebagai hadiah bagi kaisar dari generasi ke generasi. Ragam hias bentuk singa pun tidak terlau banyak muncul dalam ragam hias Cina tradisional karena ragam ini diperkenalkan oleh pengaruh Buddhisme yang masuk ke Cina sebagai simbol pembela kebenaran dan penjaga bangunan suci.

Biasanya barongsai dipentaskan pada kesempatan pesta atau perayaan tradisional

Cina, misalnya Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh. Tarian ini biasanya ditampilkan

sebagai sebuah tarian yang diiringi oleh tabuhan kendang dan genderang, juga simbal, alat-alat musik khas Cina. Barongsai berbentuk seekor singa, yang berkepala besar sekali, dengan mulut menganga, gigi lancip dan taring besar serta mata yang melotot keluar, kelihatan menyeramkan. Tapi wajah dan kepala singa dihias indah, sehingga malah berkesan lucu. Tubuh singa bersisik-sisik, dan pada bagian belakang terdapat ekor yang kecil. Satu Barongsai dimainkan oleh dua orang, bagian kepala dan bagian badan. Dua orang ini memang harus sangat kompak sehingga barongsai benar-benar kelihatan menari, dengan indah dan lincah. Tidak jarang barongsai dipentaskan dalam gerak akrobatik yang memukau sekaligus mendebarkan. Inilah yang menambah daya tarik barongsai. Selain diiringi genderang dan simbal, barongsai juga sering dipentaskan dengan iringan letupan petasan, yang memekakkan telinga. Petasan dipercayai dapat menakut-nakuti serta menghalau roh jahat, dan sekaligus membawa keberuntungan dan kemakmuran.

Kesenian barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi


(45)

serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.

Tarian Singa terdiri dari dua jenis utama yakni Singa Utara yang memiliki surai ikal dan berkaki empat. Penampilan Singa Utara kelihatan lebih natural dan mirip singa ketimbang Singa Selatan yang memiliki sisik serta jumlah kaki yang bervariasi antara

dua atau empat „Kilin‟.

5.1.1 Jenis-jenis Barongsai

Dalam penampilan tarian singa (barongsai), ada dua jenis singa yang terkenal, yakni Tarian Singa Utara dan Tarian Singa Selatan. Berikut ini adalah deskripsi serta perbedaan dari keduanya.

1. Singa Utara.

Bentuk Singa Utara sering diidentikkan dengan bentuk anjing pug Peking. Mengapa demikian, hal ini disebabkan karena pada zaman dahulu kala, sosok singa yang sebenarnya sangatlah jarang dapat dilihat oleh bangsa Cina pada saat itu kecuali orang-orang yang tinggal dalam lingkungan kerajaan. Para seniman zaman dulu menggunakan sosok pug Peking mungkin dikarenakan anjing jenis ini sering disebut

sebagai Shizi Gou (獅子狗) atau Anjing Singa. Nama ini diberikan kepada jenis anjing

ini kemungkinan karena ditemukannya kemiripan sosok antara patung-patung singa yang menjaga gerbang istana dengan anjing pug. Jenis anjing pug ini diyakini telah lama eksistensinya di negeri Cina, seperti ditemukannya gambar anjing ini pada


(46)

tembikar-tembikar dalam kuburan-kuburan dari Dinasti Tang hingga Dinasti Han. Fakta lain terdapat pada sebuah buku berisikan sejarah anjing pug Cina, menyatakan bahwa pihak kerajaan sering mengadakan kontes tahunan anjing, kontes ini dimenangkan oleh pemilik yang dapat mengembangbiakkan anjingnya menyerupai figur singa. Seringkali pejabat-pejabat istana dan pembantunya mengawinsilangkan anjing pug dengan anjing jenis lainnya untuk mendapatkan penampilan menyerupai singa demi memperoleh penghargaan dan gelar bergengsi (Lee, 2000).

Gambar 1.2 Singa Utara

Sumber: www.google.com

Yang menjadikan Singa Utara ini menarik adalah gerakan-gerakan yang ditampilkan, yakni gerakan akrobatik menggunakan meja, kursi, bola raksasa, papan jungkat-jungkit, dan kawat. Pada umumnya Singa Utara dipertunjukkan untuk tujuan hiburan saja dan tidak untuk memberikan berkah. Jenis singa ini memiliki versi jantan dan betina, yang dibedakan melalui warna pita yang dikenakan di puncak kepalanya, warna merah untuk jantan dan warna biru atau hijau untuk betina. Terkadang ditampilkan pula sosok bayi Singa Utara yang dimainkan oleh satu orang saja.


(47)

Bahan untuk kostum badan Singa Utara adalah rami, nilon, dan benang. Material-material lain dijahit dan dilapiskan pada kain untuk memberikan kesan bulu dan rambut singa, kemudian diwarnai dengan warna kuning. Warna kuning ini tidak hanya menggambarkan warna bulu singa saja, namun juga merupakan simbol warna Kekaisaran, karena pada awal mula kemunculannya pertunjukan Singa Utara hanya ditampilkan di kalangan kerajaan. Bagian kepala Singa Utara awalnya terbuat dari kayu, namun kemudian digantikan oleh bahan yang lebih ringan, yaitu bambu atau rotan kemudian dilapisi dengan kertas. Nantinya pertunjukan Singa Utara ini dapat dikenal oleh seluruh dunia akibat jasa para pemain Tim Opera atau Tim Kesenian Akrobat Cina yang selalu mengikutsertakan pertunjukan Singa Utara dalam setiap pertunjukan mereka ketika melakukan perjalanan keliling dunia.

2. Singa Selatan

Jenis yang kedua adalah jenis yang paling populer, yakni Singa Selatan. Dua singa

yang terkenal dari jenis Singa Selatan ini adalah Singa Fat San/Fo Shan (佛山) dan

Singa Hok San/He Shan (鹤山), dinamakan demikian berdasarkan daerah keduanya

diciptakan. Sebenarnya terdapat ada lagi jenis singa yang lain, namun dikarenakan

kebanyakan orang Tionghoa beremigrasi dari Provinsi Guangdong (Kwangtung – 廣東

省) maka hanya kedua jenis ini lah yang dikenal di luar Cina. Kedua jenis singa ini biasa

ditampilkan oleh tim kung-fu dan para praktisi kung-fu pada suatu ketika menyebut pertunjukan Singa Selatan sebagai “tarian yang istimewa” karena berdasarkan fakta

bahwa singa adalah simbol keagungan. Tiap wihara ataupun asosiasi yang memiliki timnya sendiri akan memanggil seorang guru/master Tari Barongsai untuk mengajar


(48)

bibit-bibit muda dapat menampilkannya pada perayaan-perayaan hari besar ataupun kegiatan lainnya, sembari mengajar tentang gerakannya, tugas dari sang master ini adalah mengajarkan tentang kebudayaan Tionghoa.

Adapun bentuk singa selatan tidak menyerupai anjing pug, melainkan menyerupai singa pada umumnya. Hanya saja dengan imajinasi masyarakat Tionghoa yang memberi berbagai warna cerah contohnya (merah) pada bentuk rupa singa selatan, ini dikarenakan

dalam kepercayaan masyarakat Tionghoa warna merah6 adalah warna keberuntungan

bagi mereka.

Gambar 1.3 Singa Utara

Sumber: www.google.com

Gerakan-gerakan yang terdapat pada Singa Utara adalah gerakan-gerakan binatang. Ketika menirukan gerakan binatang, sebagian besar praktisi akan meniru gerakan kucing. Bahkan ada beberapa pelatih yang mewajibkan murid-murid mereka untuk mempelajari

6

Warga Tionghoa identik dengan warna merah, terbukti setiap peringatan imlek selalu didominasi dengan warna merah. Mulai dari dekorasi rumah, lampion hingga kertas angpao semuanya serba merah. Warna merah atau yang dalam bahasa Cina disebut dengan hong memang sudah menjadi pilihan utama masyarakat Cina sejak dahulu kala. Filosofi warna merah adalah menggambarkan keadaan yang terang dan ceria dalam kehidupan masyarakat Cina itu sendiri. Warna merah juga melambangkan kemakmuran, semangat hidup dan keberuntungan. Dalam budaya Cina, merah berhubungan dengan lima elemen utama, arah dan empat musim. Merah dikaitkan dengan musim panas, api dan arah Selatan.


(49)

gerakan kucing terlebih dahulu sebelum mereka diajari gerakan tarian singa. Cara ini biasa dilakukan oleh mereka yang beraliran Singa Hok San. Pemilihan jenis singa apa yang akan dipakai oleh sebuah sekolah atau asosiasi tergantung pada aliran Kung Fu apa yang mereka anut. Sebagai contoh, penganut aliran Kung Fu Hung Gar biasanya meggunakan Singa Fat San, sementara penganut aliran Choy Li Fut dan Bangau Putih akan menggunakan Singa Hok San. Perlu dicatat bahwa ini adalah keputusan yang general dan bukan sebuah keputusan baku yang harus selalu diikuti. Di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Indonesia, dan Taiwan, jenis Singa Hok San lebih sering ditampilkan, sementara di negara-negara seperti Hong Kong, Amerika Serikat, dan Kanada, jenis Singa Fat San lah yang sering ditampilkan.

5.1.2 Mitos Barongsai

Pertunjukan Barongsai sudah tidak lagi sesulit untuk ditemukan. Hampir di setiap tempat kita pernah melihat ada pertunjukan seni khas Tionghoa ini, terlebih lagi pada waktu menjelang Imlek. Pemain barongsai kurang lebih 15 orang dan mengunakan alat musik Simbal (cai-cai), Gong (Nong), dan Tambur. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, kehadiran barongsai dapat mengusir aura-aura yang buruk dan membawa keberuntungan. Tak heran pertunjukan ini sering dibawakan dengan beragam tema yang diperuntukkan sesuai dengan momennya seperti event pernikahan atau buka tempat usaha baru.

Barongsai telah ada sejak 1500 tahun yang lalu. Pertunjukan seni ini bermakna untuk mengusir hal-hal buruk yang akan terjadi. Asal mula dibuatnya Barongsai terdiri dari


(50)

berbagai macam versi, namun yang paling terkenal adalah versi Nian atau monster. Menurut cerita rakyat, pada masa Dinasti Qing, ada monster yang sering menggangu penduduk di satu wilayah China. Perbuatan sang monster membuat para penduduk merasa resah dan ketakutan. Hingga pada suatu waktu muncul seekor singa (barongsai) yang mampu menghalau monster tersebut. Ia mampu mengalahkan monster dan membuatnya pergi ketakutan.

Setelah beberapa waktu kemudian, monster tadi hendak melakukan balas dendam dan berniat mengganggu para penduduk lagi. Namun singa yang mampu mengalahkan sang monster sudah tidak ada dan tidak dapat ditemui. Akhirnya masyarakat setempat sepakat membuat kostum barongsai seperti yang sering kita lihat sekarang untuk menakut-nakuti sang monster. Dan mereka berhasil menyingkirkan sang monster dengan kemampuan mereka sendiri.

Dalam mitologi Tionghoa, nian (Hanzi tradisional: 獸; bahasa Tionghoa: 兽;

Pinyin: nián shòu) adalah sejenis mahluk buas yang hidup di dasar laut atau di gunung.

Sekali pada saat musim semi, atau sekitar tahun baru Imlek, ia keluar dari

persembunyiannya untuk mengganggu manusia, terutama anak-anak. Nian tidak menyukai bunyi-bunyian ribut dan warna merah.

Dalam tradisi Imlek, warga Tionghoa mengenakan pakaian dan mendekorasi peralatan dengan warna merah, membakar petasan dan mementaskan tarian singa (barongsai)

untuk menakut-nakuti nian. Ada juga warga yang menempelkan Duilian di kertas merah

untuk mencegah Nian agar tidak kembali.


(51)

nian. Istilah untuk menyebut hari raya Imlek, Guò Nián ( Hanzi tradisional: 過 ;

bahasa Tionghoa: 过 ; Pinyin: Guò Nián) juga berarti mengusir atau melewati nian. Versi lain dari cerita ini adalah :

Dahulu kala sebelum Masehi, ada sebuah Desa kecil di tengah pengunungan di daerah Cina. Di desa tersebut penduduknya sehari-hari bekerja sebagai petani pir setiap musim dingin didesa tersebut penduduknya selalu diganggu oleh seekor binatang . Binatang tersebut dikenal dengan sebutan Niang.

Niang merusak tanaman dan juga memakan manusia. Di awal musim dingin setiap keluarga berkumpul untuk makan malam bersama yang disebut dengan Hui Lou, yaitu makan masakan yang berkuah dengan api di tengah.Tujuan dari makan malam ini adalah untuk berkumpul bersama saling melindungi dan menakutkan-nakutkan Niang.Tahun berganti tahun, akhirnya para penduduk desa menemukan ide untuk membuat binatang tandingan yang palsu untuk menakutkan Niang.

Akhirnya mereka menemukan bentuk binatang Liong dan Sir Ce (Singa). Setiap menjelang musim dingin, penduduk desa selalu memainkan kedua binatang tersebut dengan bola api yang menjadi sasaran dikejar tujuannya agar Niang melihatnya dan takut. Konon hal tersebut dilakukan hingga Niang tidak lagi datang ke desa-desa. Dan peristiwa tersebut menjadi turun temurun hingga hari ini. Kesenian barongsai diperkirakan masuk di

Indonesia pada abad-17, ketika terjadi migrasi besar dari Cina Selatan.

5.2 Makna Gerakan Singa Pada Pertunjukan Barongsai


(52)

Singa sebenarnya bukan hewan asli dari Cina. Keberadaannya di Cina diawali ketika singa dijadikan sebagai hadiah yang diberikan oleh pemimpin negeri lain kepada kaisar pada

masa dinasti Han. Dalam Sebuah kitab pada masa dinasti Han akhir (25 SM – 220 M)

berjudul Kitab Han Akhir Hou Han Shu 侯漢暑 dikatakan bahwa pada tahun 87 M,

sekelompok orang yang hidupnya di Asia Tengah yaitu menghadiahkan singa kepada kaisar Han begitu juga dengan Persia. Sejak itulah baru ada singa di Cina. Kabarnya kaisar pada masa itu sangat menyukai singa sehingga singa-singa itu kemudian dipelihara di kebun binatang kerajaan.

Walaupun singa bukanlah asli Cina, namun singa sangat dihormati oleh masyarajat Cina. Singa dianggap sebagai hewan yang melambangkan keberuntungan, hewan pemberani yang disegani dan ditakuti oleh hewan-hewan jinak maupun hewan-hewan buas.

Ada sebuah catatan di Loyang 咯扬 ibukota pada masa dinasti Han yang mengatakan:

群呀狮子,引导其前 Qun Ya Shizi, Yindao Qi Qian” yang berarti “dari sekelompok setan, singa mengiring mereka di depan. Jadi pada masa dinasti Han pun singa sudah dikenal sebagai hewan yang berani.

Sebagai lambang keberanian dan ketakutan, dahulu gambar singa disulamkan pada jubah-jubah para pejabat militer. Selain dianggap sebagai hewan yang berani, singa juga dianggap sebagai hewan yang suci. Hal ini dibuktikan dengan adanya lukisan atau gambar singa sedang ditunggangi oleh Buddha atau para pendeta Buddha.

5.2.1 Sejarah Munculnya Gerakan Singa


(53)

Setelah masa kedinastiaan Han barulah dikenal gerakan singa di Cina. Ada beberapa pendapat yang menyebutkan tentang asal mula gerakan singaa di Cina, antara lain:

Ada yang mengatakan gerakan singa mulai pada masa dinasti-dinasti utara dan selatan, bahkan ada yang mengatakan bahwa gerakan singa baru ada di Cina pada masa dinasti Tang. Dari dua pendapat mengenai asal mula munculnya gerakan singa di atas. Penulis memilih pendapat pertama yang mengatakan bahwa gerakan singa telah ada di Cina sejak masa dinasti-dinasti utara dan selatan, karena masa dinasti-dinasti utara dan selatan lebih dulu ada daripada masa dinasti Tang.

Berdasarkan catatan kitab Song Song Shu 暑 dinasti Song 420-479 pada periode

dinasti-dinasti utara dan selatan yang berjumlah 76 gulungan, kaisar Song Wen 文 pada

tahun ke 23 pemerintahannya (tahun 446 M) bulan kelima mengirimkan pasukannya ke

negara Champa di bawah pimpinan Zong Que untuk menaklukan negeri itu. Ketika

telah tiba di Champa yang mana negeri itu dipimpin oleh kaisar Lin Yi, Zong Que

kemudian membagi pasukannya dalam beberapa regu dan menyuruh pasukannya untuk menyusup ke daerah lawan lalu menyerang mereka. Tentara lawan yang mendapat serangan tiba-tiba seperti itu tidak dapat berbuat apa-apa kemudian mundur.

Walaupun tentaranya kalah, Lin Yi tidak mau menyerah dan ia ingin membuat

pembalasan. Ia lalu mengumpulkan gajah-gajah yang ada di negaranya, setiap tentara

menunggangi seekor gajah. Meraka kemudian menyerang Zong Que dan pasukannya.

Karena terkejut Zong Que dan pasukannya tidak dapat memberikan perlawanan dan

mereka pun lari menyembunyikan diri. Zong Que ingin membalas kekalahannya dan


(54)

bahwa singa adalah hewan yang paling ditakuti oleh hewan-hewan lain dan ia pikir gajah pun mungkin juga akan taku pada singa. Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk membuat singa-singa palsu karena mereka tidak membawa singa.

Beberapa malam mereka membuat singa-singa palsu dari kayu dalam jumlah yang besar. Singa-singa palsu itu mempunyai kepala, mulut, dan gigi yang besar serta tubuhynya terbuat dari kain yang diwarnai dengan lima atau enam warna. Setiap singa dipanggul oleh dua orang serdadu, satu di depan dan satu di belakang. Singa-singa dan paara serdadu didalamnya kemudian bersembunyi di dalam semak belukar. Selain membuat singa-singa

palsu, Zong Que juga telah membuat jebakan-jebakan yang besar dan dalam di sekeliling

daerah pertahanan pasukan Lin Yi.

Setelah semua persiapan dirasa cukup, Zong Que dan sebagian pasukannya menyerang

daerah pertahanan Lin Yi, ternyata pasukan Lin Yi telah siap sedia. Zong Que dan

pasukannya mundur sehinnga pasukan gajah mengejar mereka. Ketika pasukan gajah sedang mengejar tiba-tiba dari dalam semak belukar bermunculan singa-singa palsu. Masing-masing singa dengan kepala dan mulutnya yang besar memperlihatkan gigi-giginya yang besar dan juga memainkan cakar-cakarnya sambil lompat-lompat layaknya singa asli. Gajah-gajah itu sangat terkejut dan ketakutan sehingga mereka lari tunggang-langgang. Para serdadu yang berada di atas gajah berjatuhan dan kemudian

mereka ditangkap oleh pasukan singa-singa palsu yang dipimpin Zong Que.

Gajah-gajah yang lari ketakutan itu lalu berjatuhan ke dalam perangkap yang telah

dipersiapkan oaeh pasukan singa-singa palsu Zong Que. Akhirnya, baik serdadu maupun


(55)

memperoleh kemenangan, sejak itulah gerakan singa di kenal.

Gerakan singa yang semula dikenal hanya di bidang militer kemudian menyebar ke tengah-tengah masyarakat. Masyarakat makin yakin bahwa singa sungguh merupakan hewan pemberani dan pembawa keberuntungan.

Ada pula cerita rakyat yang berkembang di antara masyarakat suku bangsa Miao yang

tinggal di barat daya Cina mengenai asal mula ditarikannya gerakan singa ini pada waktu

tahun baru. Di daerah ini terdapat sebuah mitos mengenai tahun baru. Konon, di daerah ini setiap akhir tahun selalu muncul seekor binatang buas yang mengganggu kesejahteraan masyarakat.

Masyarakat tidak dapat melawannya sehingga merekan selalu ketakutan menjelang tahun baru. Kemudian datanglah Buddha debgab menunggangi seekor singa mengejar binatang itu. Begitu melihat singa yang ditunggangi Buddha, binatang buas itu langsung melarikan diri dan tidak pernah datang kedaerah itu lagi.

Sejak itulah setiap tahun baru masyarakat suku ini membuat singa palsu dan menarikannya dengan maksud untuk menakut-nakuti binantang buas itu, agar tidak datang lagi. Selain itu juga untuk mengucapkan terima kasih atas berkat Buddha, di sana dibuat patung Buddha menunggangi singa sedang mengejar binatang buas yang telah mengganggu kesejahteraan rakyat.

5.2.2 Gerakan Singa

Pada saat tampil jenis singa ini biasanya terdiri dari dua atau tiga ekor yang menggambarkan ayah, ibu dan anak. Pada saat menari singa ini selalu mengikuti alunan


(56)

ritme hentakan musik, misalnya jika hentakan musik cepat, maka singa berlari berputar-putar menggaruk-garuk badannya, melompati bangku, dan menaiki tangga.

Selain itu jika hentakan musik lambat, maka singa bergerak dengan lembut seolah-olah singa yang sedang bermalas-malasan.

Gambar 1.4 Barongsai

Sumber: Dokumentasi Pribadi Klenteng Boen Hay Bio

Di dalam kesenian barongsai ada dua jenis barongsai yang biasa dimainkan. Adapun

dua jenisnya yaitu, singa utara dan singa selatan. Pada kedua jenis ini, telah dipaparkan di

bab sebelumnya tentang bentuk dan jenisnya, tetapi pada bagian gerakan terlihat jelas perbedaan kedua singa tersebut. Pada singa utara cenderung lebih lincah dan penuh dinamika karena memiliki empat kaki, sedangkan pada singa selatan terkenal dengan gerakan kepalanya yang keras dan melonjak-lonjak seiring dengan tabuhan gong dan tambur.


(57)

Sumber: Dokumentasi Pribadi Klenteng Boen Hay Bio

Wei wei menjelaskan bahwa setiap gerakan yang ditampilkan dalam pertunjukan barongsai memiliki maknanya sendiri. Gerakan-gerakan barongsai tidaklah selalu sama dari awal

hingga akhir, 7Wei wei juga menjelaskan setiap langkah barongsai bukanlah gerakan yang

dilakukan asal-asalan. Setiap gerakan barongsai menampilkan gerakan antara lain gembira兴

奋 (Xīngfèn), penghormatan尊 (Zūnzhòng).

Tetapi pada zaman sekarang, umumnya gerakan-gerakan yang sering ditampilkan, tidaklah menurut jenis gerakan singa utara atau selatan. Seringkali dapat ditemukan, setiap

pertunjukan barongsai yang biasa kita lihat sebagai tontonan gratis pada acara-acara besar

masyarakat Tionghoa, gerakan yang di pertunjukkan adalah gabungan antara gerakan singa utara dan singa selatan.

Tidak seperti pada zaman dinasti-dinasti terdahulu, dimana barongsai masih menjadi

tontonan yang jarang ditemukan. Pada zaman itu setiap pertunjukan barongsai dan gerakan tidak di gabungkan dengan gerakan lain. Misalnya, apabila disuatu acara besar mereka memakai singa utara, maka yang ditampilkan adalah gerakan-gerakan khusus singa utara.

7


(58)

Begitu juga sebaliknya, apabila disuatu acara besar tersebut mereka memakai singa selatan, maka yang ditampilkan adalah gerakan-gerakan khusus singa selatan.

Pada gerakan barongsai, yang biasa di pertunjukan pada masa ini, tidak hanya gabungan antara gerakan singa selatan dan utara. Melainkan juga gabungan antara, gerakan-gerakan akrobatik dan gerakan-gerakan yang sering dipakai pada seni bela diri wushu. Pada

gerakan-gerakan barongsai, gerakan wushu sangatlah berpengaruh. Karena gerakan yang di

pertunjukkan tidak hanya gerakan hewan singa seperti biasanya. Melainkan gerakan-gerakan frontal atau berbahaya.

Tarian tradisional Tionghoa menyerupai singa ini memang sangat menghibur. Gerakannya yang atraktif kerap mengundang kekaguman penonton. Agar gerakannya bisa memukau para penonton, para pemainnya harus berlatih dengan keras dan disiplin tinggi. Seperti yang dilakukan klub penari barongsai Boen Hay Bio. Jelang Imlek, latihan dilakukan lebih intensif agar gerakan semakin mantap.

Sebagian besar pemain barongsai menekuni kungfu dan wushu. Karenanya tak heran badan mereka sangat ringan saat melompat. Itu belum cukup. Para pemain juga harus bisa menyesuaikan dengan musik dan gerakan pemain lain. Tapi semua kemampuan itu belum seberapa. Paling berbahaya adalah gerakan melompat di tiang pancang. Untuk bisa melakukan gerakan itu, setidaknya butuh satu hingga dua jam sekali latihan.


(59)

Sumber: Dokumentasi Pribadi Klenteng Boen Hay Bio

5.2.3 Penampilan Gerakan Singa

Penampilan tarian singa di Tangerang oleh sebagian masyarakat Tangerang sering

disebut dengan nama samsi-sai. Hal ini dikarenakan tari-tarian tradisional Cina yang sering

ditampilkan di Tangerang adalah tarian Singa Selatan. Biasanya dalam penampilan gerakan

singa selalu diikuti oleh liong atau naga dan merupakan mitologi dalam masyarakat

Tiongkok. Kemunculan liong dalam mitologi masyarakat Tiongkok terjadi karena sering

meluapnya aliran sungai yang menyebabkan banjir. Banjir ini sangat menyengsarakan rakyat pada saat itu dan dewa-dewa pun mendengar kesulitan ini. Untuk membantu rakyat, salah satu dewa mengutus seekor ular besar (naga) untuk mengatasi bahaya banjir. Semenjak diutusnya naga tersebut banjir yang selalu terjadi dapat dicegah. Sebagai ungkapan rasa terima kasih masyarakat karena terhindar dari bencana banjir maka diciptakanlah tarian naga. Tarian ini juga dimaksudkan sebagai penolak bala dan mengusir


(60)

pengaruh buruk yang ada di suatu wilayah.

Dibawah ini penulis akan menguraikan arti-arti dari gerakan-gerakan singa, yang biasa dimainkan.

Penghormatan

a) Sikap Awal

Pada setiap pembukaan pertunjukkan barongsai terdapat gerakan penghormatan, yang dilakukan adalah merundukkan badan. Sehingga kepala dan punggung sejajar. Sedangkan

pada akhir pertunjukkan yang dilakukan adalah membuka pentup kepala barongsai hingga

terlihat jelas wajah pemain kepada setiap penonton, lalu merunduk seperti yang dilakukan pada sikap awal pertunjukkan.

Pada tarian singa terdapat gerakan yang mempunyai arti penghormatan kepada para penonton atau kepada pemilik rumah. Gerakan ini biasa dilakukan di awal pertunjukkan

dan di akhir pertunjukkan. Pada gerakan ini pemain barongsai selalu menunjukkan

wajahnya pada saat gerakan penghormatan awal dan penghormatan akhir dilakukan dan merunduk sebagai tanda hormat.


(61)

Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis

Gerakan ini adalah gerakan wajib pada setiap pertunjukkan barongsai. Itu dikarenakan gerakan tersebut adalah sebagai tanda ucapan terima kasih atas kesempatannya melihat pertunjukkan tarian singa. Ini juga sebagai pelajaran etika kepada setiap para pemain

barongsai agar dapat saling meghormati satu sama lain. Sebab saling menghormati adalah

salah satu cara untuk dapat mendekatkan diri kita agar bisa diterima di masyarakat tertentu hingga pertunjukkan dapat berjalan dengan lancar pada akhir acara nantinya.

Lompat Singa

a) Sikap awal:

Berdiri tegak kemudian mengambil sikap siap berlari dengan kecepatan tertentu. Jarak pengambilan awalan bisa bervariasi beberapa langkah atau banyak langkah tergantung ketinggian penanda tiang yang ada. Setelah mendekati penanda tiang segera melakukan tolakan dengan menumpu pada kedua kaki.


(62)

Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis

Lompatan singa ini biasanya dilakukan pada saat pertunjukkan barongsai pada

acara-acara besar. Seperti acara tahun baru Cina atau ajang festival barongsai dan pada event-event tertentu. Pada gerakan ini terdapat alur cerita, sehingga gerakan tidak asal-asalan dilakukan, melainkan setiap gerakan mempunyai arti besar. Tiang-tiang pancang yang digunakan adalah besi padat yang sangat berat, biasanya besi yang

digunakan adalah besi impor dari Singapore, ini dikarenakan besi tidak cepat memuai

karena panas dan tidak mudah patah karena sering di gunakan.

Alur cerita yang dipakai pada gerakan ini adalah, cerita rakyat yang dahulu biasa di dongengkan pada anak-anak keturunan Tionghoa. Tentang seekor singa yang kelaparan lalu singa tersebut mencari makan ke puncak gunung. Tiang-tiang tersebut menjadi simbol sebagai gunung-gunung yang didaki oleh singa. Biasanya pada ujung tiang akan diletakkan sayur-sayuran sebagai simbol makanan yang telah ditemukan oleh singa di puncak gunung.


(1)

非常感谢老师 在 大学的最 学 段里里毕 段给自 的指导 最初的定

题 到资料收集 到写 修改 到论文定稿 她们给了 耐心的指导和无私的

了指导 们的毕 论文 她们 了自 的休息时间 她们的 种无私奉献的敬 精

人钦佩 在 向她们表示 诚挚的谢意 时 感谢 的 庭给 很大的鼓励和

学在 四 来给自 的指导和 是他们教会了 知识 教会了 如何学

教会了 如何做人 是由于他们 才能在 方面 得显著的 在 向他们

表示 由衷的谢意

在论文 将 之 的心情无法 静 开始 入课题到论文的 利

多少 敬的师长 学 朋 给了 无言的 在 接 诚挚的谢意!


(2)

参考文献

[1] Cahyono Agus. 2000. Pemanfaatan Tari Barongsai Untuk Pariwisata. Semarang: Skripsi Sarjana. Universitas Negri Semarang.

[2] Erisca Nandita. 2008. Sejarah Perkembangan Masyarakat Cina di Pulau Jawa. Jakarta: Jurnal. Universitas Indonesia.

[3] Hadari Nawawi. 1994. Metode Penelitian Ilmiah. Jakarta : Rineka Cipta

[4] Murgianto Sal. 1996. Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas Dan Arti Pertunjukan. MSPI

[5] Ningsih Imelda. 2001. Barongsai dan Masyarakat Cina di Kota Medan. Medan: Skripsi Sarjana Antropologi. Universitas Sumatera Utara

[6] Nazir Muhammad. 1986. Metode Penelitian. Bandung : Remaja Rosdakarya. [7] Siahaan Yudisthira. 2008. Kajian Musikal dan Fungsi Pertunjukkan Barongsai pada Perayaan Cap Go Meh Masyarakat Tionghoa di Maha Vihara Maitreya, Komplek Perumahan Cemara Asri Medan. Medan : Skripsi Sarjana. Univeritas Sumatera Utara.

[7] Takari Muhammad. 2013. Seni, Fungsi, Perubahan dan Makna. Medan: Bartong Jaya.

[8] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka


(3)

[10] www.indonesian.cri.cn/chinaabc/chapter19/chapter190102.htm


(4)

列表

Ardelia

地址 Desa Cilenggang Kabupaten Kota Tangerang

生日期 : 格朗 2000 1 13 日

教育 : SMP

工 : 学生在舞狮 会的球员 Boen Hay Bio

Wei Wei

地址 : A Kadir Pasar V Tionghua No: 295 Tandam Stabat

生日期 : 棉兰 1984 1 1 日 教育 : SMA

工 舞狮的教

Ny. Jo Siang Ing

地址 : Desa Cilenggang Kabupaten Kota Tangerang

生日期 : 格朗 1975 5 25日 教育 : SMA

工 母亲的

Suma Mihardja

地址 : Komp Prosida Pasar Baru Kota Tangerang


(5)

教育 S-1


(6)

通知单

1.1 画………10

1.2 画………....11

1.3 画………....17

1.4 画………17

1.5 画………19

1.6 画………20

1.7 画………21

1.8 画………...22

1.9 画………23

1.10 画………..24

1.11 画………..24