BAB II - Masyarakat Tionghoa Benteng di Tangerang (1978 – 1998)

BAB II Asal Mula Datangnya Masyarakat Tionghoa ke Indonesia . II.1 Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Pulau Jawa Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Indonesia sudah lama diketahui,

  sebelum bangsa Eropa masuk pun sudah banyak pedagang Tionghoa yang datang untuk berdagang di Nusantara. Para pedagang ini, berdagang ke Indonesia dan menetap, yang tentunya bisa berbulan-bulan lamanya di Nusantara menunggu

  

  perubahan angin musim. Pada abad ke-14 ditemukan sumber yang menyatakan adanya perkampungan orang-orang Tionghoa Islam di Muara Sungai Brantas Kiri atau yang sekarang sering disebut Kali Porong. Pada awal abad ke-18, ketika Surabaya berada dibawah kekuasaan Mataram, di antara keraton dan benteng Kompeni terdapat sebuah pasar yang luas yang sekarang disebut daerah Pasar Beras. Di tempat inilah orang Tionghoa menjual hasil bumi terutama beras, dengan harga yang murah. Mereka bertempat tinggal di sebuah perkampungan di sebelah utara keraton dan di luar benteng Kompeni. Perkampungan ini diperkirakan menjadi awal dari perkampungan Tionghoa di Surabaya.

  Lama sebelum VOC muncul, orang Tionghoa sudah berdagang di Jayakarta, beberapa bahkan sudah menetap di wilayah tersebut cukup lama untuk menanam tebu dan menyuling arak yang terkenal di kalangan pelaut yang datang.

  Ketika VOC mulai menjejakan kakinya di wilayah ini, perusahaan tersebut 3 Andjarwati Noordjanah, Komunitas Tionghoa di Surabaya (1910-1946), Semarang: Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah, 2004, hal. 1.

  

  menjalin hubungan baik dengan orang Tionghoa. Pada sensus penduduk Batavia tahun 1673 yang dilakukan oleh VOC, orang Tionghoa justru lebih banyak dari pada orang Belanda dengan kisaran 2.747 jiwa. Sedangkan orang Belanda hanya berkisar 2.024 jiwa. Orang Belanda di Batavia sangat bergantung pada tenaga kerja Tionghoa dan barang-barang yang dibawa dari Asia Timur, barang-barang

  

  ini dibawa oleh kapal-kapal Jung Tiongkok. Pada tahun 1625, armada Tiongkok yang berdagang di Batavia memiliki minimal tonase yang sama besar dengan seluruh armada VOC yang kembali ke Eropa.

  Pada awal kedatangan ke Semarang, masyarakat Tionghoa banyak tinggal di daerah Gedung Batu, Simongan. Tempat yang terletak di tepi sungai Semarang itu merupakan lokasi strategis karena berada di teluk yang menjadi bandar besar dengan nama Pragota. Pemberontakan Tionghoa terhadap pendudukan Belanda pada 1740, rupanya menjalar hingga ke Semarang. Orang Tionghoa yang selamat melarikan diri ke arah Timur, hingga tiba di Semarang dan kembali melakukan perlawanan namun berhasil ditumpas oleh Belanda. Sejak saat itu, semua warga Tionghoa yang berada di Semarang dipindahkan ke tempat yang dikenal dengan nama Pecinan. Hal tersebut bertujuan agar Belanda dapat lebih mudah mengawasi agar tidak terjadi lagi pemberontakan. Di Semarang ada sebuah kelenteng yang bernama Sam Po Kong, yang merupakan bukti peninggalan dari laksamana Besar Tiongkok Cheng Ho yang beragama Islam pada pada masa Dinasti Ming.

  Masyarakat Tionghoa yang datang ke Jawa adalah para pedagang dan secara bertahap menjadi pemukim mapan di sepanjang pantai Utara Jawa. Mereka 4 5 Susan Blackburn, Jakarta : Sejarah 400 Tahun, Jakarta: Masup Jakarta, 2011, hal. 28.

  Ibid., hal. 33. menjadikan Jawa sebagai batu lompatan menuju Timur Tengah. Ketika Belanda datang ke Pulau Jawa, interaksi masyarakat Tionghoa dan pribumi telah berjalan baik. Masyarakat Tionghoa tidak hanya terkonsentrasi di kota-kota pelabuhan, tapi juga di desa-desa dan menjalin hubungan timbal balik tanpa konflik.

  Berpindahnya kekuatan Dinasti Ming ke selatan pada abad ke-17 karena dipaksa mundur oleh orang Manchu itulah menjadi salah satu faktor penyebab banyak masyarakat Tionghoa yang berpindah, antara lain ke Jawa melalui Taiwan, sehingga penduduk Tionghoa di Jawa pun meningkat.Selain itu ada

  

  empat pola migrasi masyarakat Tiongkok, yang pertama pola Huashang atau perdagangan. Hal ini sudah terjadi sejak lama tentunya, karena pada masa abad ke-14 pun masyarakat Tionghoa sudah banyak melakukan perdagangan di Nusantara khususnya Pulau Jawa. Para saudagar dan pedagang ini, selalu membuat basis-basis sistem ekonomi di tempat mereka tinggal. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menjadi tuan tanah, dan membuka banyak lahan swasta atau pertambangan di luar dari naungan Pemerintah Kolonial Belanda. Kebanyakan para pedagang tersebut memperkerjakan sanak saudara mereka, agar lebih mudah dalam memantau kondisi pekerjaan dan ongkos yang lebih murah. Kebanyakan yang menjadi pedagang dan saudagar ini adalah orang- orang Tionghoa Hokkian, mereka merupakan pedagang terdidik dari Tiongkok.

  Sektor perdagangan yang mereka kuasai adalah, hasil bumi, pertanian, kelontong, menjadi tukang kredit, dan rentenir. Selain itu mereka juga menjadi perantara,

6 Teguh Setiawan, Cina Muslim dan Runtuhnya Republik Bisnis, Jakarta: Republika, 2012, hal. 61.

  antara kelompok pribumi yang menjadi produsen hasil perkebunan dengan para eksportir Belanda atau India.

  Yang kedua adalah pola Huagong atau kuli/ buruh. Pola ini mulai berlangsung di Indonesia pada akhir abad ke-19, dan orang-orang Tionghoa ini dibawa oleh bangsa Eropa khususnya Belanda. Sebab Belanda sangat membutuhkan tenaga kerja untuk dipekerjakan di perkebunan melalui sistem kontrak. Setelah kontrak selesai, masyarakat Tionghoa yang menjadi tenaga kerja tersebut kembali ke Tiongkok dan menceritakan tentang Indonesia dan hal itu menyebabkan bertambahnya migrasi masyarakat Tionghoa ke Indonesia. Selain itu pembangunan dan impian akan hidup lebih layak di Indonesia, menyebabkan banyak dari masyarakat Tiongkok yang miskin bermigrasi ke Indonesia. Kebanyakan yang menjadi buruh Tionghoa di Indonesia adalah orang Hakka dan Teo Chiu, mereka adalah petani tanpa tanah, pekerja miskin di perkotaan, dan para pengangguran yang tidak mempunyai harapan hidup di negara asal. Para kuli Tionghoa ini tersebar ke beberapa tempat di Indonesia seperti, Kalimantan khususnya Singkawang, Sumatera Timur dan, Jawa.

  Yang ketiga adalah pola Huaqiao, merupakan pola perantau yang hampir sama dengan pola Huagong, hanya saja jenis individu perantau yang berbeda.

  Pada pola Huagong para perantau adalah yang tidak mampu dan bekerja kasar seperti buruh dan kuli, maka dalam pola Huaqiao para perantau cenderung lebih profesional. Para perantau ini kebanyakan bekerja sebagai guru, jurnalis, koki, akuntan dan jenis profesi lainnya. Para perantau ini selain mencari kehidupan yang lebih baik di luar Tiongkok, mereka juga mempunyai ambisi yang harus dijalankan keluar dari wilayah Tiongkok. Ambisi ini untuk meningkatkan kesadaran akan kebesaran budaya Tionghoa dan berfungsi untuk menunjukan tujuan nasionalisme itu sendiri. Mereka datang dengan kesadaran dan tekad untuk hidup jauh di luar tanah kelahiran, tapi tidak ingin melepaskan keterkaitan dengan tanah leluhur. Mereka berusaha memelihara bahasa, adat-istiadat, dan mengaktifkan pengajaran tentang Tionghoa kepada anak-anak mereka. Mereka mendorong emansipasi dan kemajuan kepada warganya, mendukung pemerintahan negeri yang pernah mereka tinggali. Dengan kehadiran migrasi Tionghoa yang lebih profesional, maka kedudukan orang Tionghoa pada masa pemerintahan kolonial Belanda sangatlah penting di sektor administrasi. Tidak heran dalam strata sosial pada masa kolonial Belanda, orang Tionghoa menempati urutan kedua setelah orang Belanda atau orang kulit putih.

  Pola yang keempat adalah Huayi, yang bisa diartikan terlahir untuk menjadi warga negara setempat. Huayi merupakan pola migrasi yang mempunyai visi yang sama, yaitu mencari kehidupan baru yang lebih baik di luar wilayah Tiongkok tetapi misi mereka berbeda yaitu tidak mengikuti ajaran atau kebudayaan asli bangsa Tiongkok. Bisa dikatakan para perantau Tionghoa tersebut, akan berbaur menjadi satu dengan negara yang ditempati. Pola Huayi, disebabkan diskrimasi etnis atau atau peperangan dalam negeri, sehingga pola huayi dekat dengan alasan politis. Di Indonesia, mereka adalah generasi yang kesekian peranakan Tionghoa. Mereka relatif tidak bisa berbahasa Tionghoa dan telah sepenuhnya menjadi modern dan menyatu dengan masyarakat di negara yang mereka tinggali. Di Indonesia pola ini tidak banyak terjadi, karena sampai sekarang masih banyak masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia yang mempertahankan kebudayaan dan keyakinan para leluhur. Pola ini bahkan lebih banyak terjadi di Amerika Serikat, Australia dan Inggris, yang masyarakat keturunan Tionghoanya lebih mempunyai sisi pemikiran barat yang modern dan telah meninggalkan adat-istiadat leluhur.

II.2 Perbauran Masyarakat Tionghoa Dengan Masyarakat Pribumi di Jawa.

  Setiap imigran yang datang ke suatu negara, pastinya harus menghadapi persoalan klasik, yaitu adaptasi dan bisa berbaur dengan masyarakat lokal atau pribumi. Hal ini tak terlepas dari masyarakat keturunan Tionghoa. Dalam prosesnya, integrasi antara masyarakat Tionghoa dengan masyarakat peribumi banyak mengalami hambatan. Baik dari segi bahasa, kebudayaan, bahkan pandangan sosial terhadap kedua belah pihak.

  alentijn pada abad ke-18,

  orang-orang Tionghoa sangat pintar, sopan, giat dan penurut, serta sangat berjasa bagi Batavia. Mereka tidak hanya berdagang dalam segala macam hal barang kebutuhan tapi juga barang-barang yang membutuhkan ilmu teknik seperti pandai besi, tukang kayu, pembuat kursi. Banyak hal yang mereka lakukan di Batavia baik dari segi jasa bahkan perkebunan, mereka membangun kota tersebut menjadi kota yang sangat pesat perkembangannya. Bahkan Valentijn menyimpulkan “jika tidak ada orang Tionghoa, Batavia akan sangat sepi dan kehilangan banyak kebutuhannya”. VOC pada masa abad ke-18 mulai merangkul masyarakat 7 Susan Blackburn, op cit., hal. 34.

  Tionghoa, dengan memberikan gelar Kapiten dan Letnan kepada para pemimpin masyarakat Tionghoa tersebut. Pemimpin-pemimpin masyarakat Tionghoa yang mendapatkan gelar tersebut, akan membuat perayaan yang sangat meriah. Bagi orang Tionghoa pengangkatan ini berarti menandakan hubungan yang setara dengan orang Belanda, selain itu mereka juga menganggap gelar ini setara dengan mereka jika diangkat sebagai pejabat kekaisaran Tiongkok. Pada tragedi pembantaian masyarakat Tionghoa oleh VOC pada tahun 1740 yang disebabkan represi VOC terhadap harga gula dan mengakibatkan bangkrutnya pabrik gula yang mempunyai banyak buruh orang Tionghoa. Selain itu penetapan harga arak yang ditetapkan dengan sewenang-wenang oleh VOC, mengakibatkan banyak pedagang Tionghoa mendapat kerugian dan mengakibatkan pemberontakan oleh masyarakat Tionghoa. Setelah kejadian tersebut banyak orang Tionghoa mulai beragama Islam untuk meleburkan dirinya dengan masyarakat pribumi. Dikarenakan setelah tragedi tersebut, masyarakat Tionghoa tidak lagi menjadi anak emas bagi VOC, sehingga banyak masyarakat Tionghoa berusaha mencari perlindungan kepada masyarakat pribumi.

  Salah satu cara perbaurannya dengan pekawinan campuran dan masuk agama Islam, hal ini diyakini dapat membantu mereka untuk mendapatkan perlindungan dari pihak pribumi. Selain itu banyak masyarakat Tionghoa telah Muslim, mengganti namanya dengan nama yang bersifat Indonesia, agar menjadi

  

  suatu penanda peleburan mereka terhadap masyarakat pribumi. Orang Belanda banyak menjuluki orang Tionghoa Muslim ini dengan istilah Geschoren Chinees 8 Ong Hok Ham, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, Jakarta: Komunitas Bambu, 2005, hal. 7. atau yang berarti orang Tionghoa yang dicukur, karena salah satu penanda orang Tionghoa itu telah menjadi Muslim adalah dengan mencukur kuncirnya yang menjadi salah satu ciri khas laki-laki Tionghoa pada masa itu. Pada 1766, Jumlah masyarakat Tionghoa yang beragama Islam semakin lebih banyak, sehingga kepemimpinan pribumi terhadap kaum ini mulai susah dipantau. Maka diangkatlah seorang kapitein Tionghoa Muslim, yang bertugas memimpin

  

  masyarakat ini. Kapitein Tionghoa Muslim yang terakhir adalah Kapitein Mohammad Japar yang meninggal pada tahun 1827. Selain itu hal ini juga untuk memudahkan mereka mendekati para bangsawan pribumi. Dengan masuk Islam dan membuat jasa-jasa bagi kaum bangsawan, yang pada akhirnya mereka akan

  

  diangkat kedalam golongan ningrat. Seperti contoh Kapitein Tionghoa beragama Islam di Yogyakarta, Kapitein Tan Djien Sing yang diangkat sebagai Raden Toemenggoeng Setjodiningrat dan diangkat menjadi bangsawan keraton Yogyakarta.

  Masyarakat Tionghoa di Indonesia bukan merupakan masyarakat homogen. Dilihat dari segi kebudayaan, orang-orang Tionghoa terbagi atas

  peranakan dan totok. Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal

  di Indonesia dan sudah berbaur dengan masyarakat pribumi. Mereka mampu secara fasih berbahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian. Sedangkan totok adalah pendatang atau imigran baru yang datang dari Tiongkok, umumnya masih sangat fasih berbahasa Tiongkok. Akan tetapi seiring waktu, imigran yang datang mulai menurun bahkan sudah berhenti. Tionghoa peranakan sudah banyak 9 10 Ibid., hal. 7.

  Ibid., hal. 8. mengalami perbauran dengan masyarakat pribumi dan keturunan totok pun sudah menjadi peranakan. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan. Dalam hal adat-istiadat, Masyarakat Tionghoa totok lebih kuat memegang tradisi nenek moyangnya dari pada masyarakat Tionghoa peranakan. Sedangkan masyarakat Tionghoa peranakan, nilai tradisi dari nenek moyangnya telah meluntur akibat dari proses asimilasi kepada masyarakat pribumi Indonesia. Namun disaat tertentu kekhasannya sebagai orang Tionghoa akan muncul juga. Biasanya terjadi pada acara-acara yang memang mengikuti pola kebudayaan atau penanggalan Tiongkok seperti kelahiran, pernikahan, kematian. Sedangkan pada masa penanggalan Tiongkok seperti Tahun baru Tiongkok atau Imlek.

  Proses asimilasi Masyarakat Tionghoa di Indonesia dengan masyarakat pribumi, sering menemui penghalang-penghalang yang telah diciptakan orang Tionghoa secara sadar atau tidak sadar. Keunggulan masyarakat Tionghoa pada selama masa penjajahan, baik dari segi hukum maupun pangsa ekonomi telah membuat kenyataan yang menyakitkan bagi sebagian masyarakat pribumi di Indonesia. Selain itu masyarakat pribumi juga sering menganggap masyarakat Tionghoa itu sebagai bangsa lain, bukan merupakan suku. Masyarakat Tionghoa cenderung hidup berkelompok dan tetap berpegang teguh terhadap kebudayaan negeri leluhur mereka. Sisi eksklusif diri inilah yang membuat adanya kesenjangan sosial antara masyarakat pribumi dengan masyarakat Tionghoa.

  Setelah diberi kedudukan oleh Belanda, masyarakat Tionghoa mendominasi perekonomian di Hindia Belanda. Tidak jarang pejabat-pejabat dari kalangan masyarakat Tionghoa melakukan penindasan terhadap masyarakat pribumi dan menghalang-halangi golongan pengusaha nasional atau pribumi. Pada awal abad ke-20, terjadilah perpecahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Sebagian orang Tionghoa peranakan merasa nyaman dengan konsesi yang mereka dapatkan dari Pemerintahan Kolonial Belanda, kebanyakan dari mereka tidak menyukai gerakan nasionalis Indonesia. Mereka takut derajat kewarganegaraan mereka akan turun, jika Pemerintahan Republik Indonesia terbentuk menggantikan Pemerintahan Kolonial Belanda. Salah satu orang Tionghoa yang sangat mendukung kekuasaan

11 Pemerintah Kolonial Belanda adalah H.H. Kan, seorang tuan tanah yang sangat

  kaya. Ia belajar di sekolah Belanda di Batavia. Selain itu dia H.H. Kan juga merupakan pendiri dan ketua Chung Hwa Hui (CHH), sebuah partai Tionghoa yang mendukung gerakan barat dalam dewan perwakilan atau sering disebut

  

Volksraad. Kan dan partai Chung Hwa Hui cukup berpengaruh di dalam

  Volksraad. Lobi yang dilakukannya cukup kuat untuk mendirikan lebih banyak lagi sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa. Dimana bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dan banyak anak-anak Tionghoa yang dimasukkan ke dalam sekolah- sekolah anak Eropa. Selain itu, penghapusan hukum-hukum diskriminatif dan memperluas hak-hak politik bagi orang Tionghoa, juga merupakan hasil kerja lobi partai Chung Hwa Hui terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Pada tahun 1918, Kan memasukkan laporan yang mendukung status quo. Sampai tahun 1941, Kan masih mendukung pemerintahan Belanda, Kan menyatakan dengan jelas untuk menentang setiap perubahan kebijakan yang menentang Belanda. Kan juga 11 Leo Suryadinata, Pemikiran Politik Etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002, Jakarta: LP3ES Indonesia, 2005, hal. 5. banyak mengkritik partai-partai yang menentang Belanda dan yang mendukung

  

  kemerdekaan Indonesia. ahkan kan mengatakan dengan sangat jelas “Ini adalah perkara hidup mati rakyat di sini. Kita harus berjuang bersama Belanda dan pemerintahan Belanda harus ditegakkan di negara ini”.Di samping ada orang Tionghoa yang berpihak pada Belanda, ada juga yang berlandaskan nasionalisme

   Tiongkok. Gerakan aliran ini terlihat jelas pada surat kabar Sin Po yang

  didirikan pada tahun 1910. Aliran orientasi nasionalisme Tiongkok ini menyerukan anti kolonialisme, hampir sama seperti gerakan nasionalisme Indonesia. Walau pun bisa dikatakan antikolonialisme di Indonesia, namun mereka tidak memiliki kesamaan dengan nasionalisme Indonesia karena menganggap bahwa Tiongkok adalah tanah air mereka. Bagi para pendukung aliran Sin Po, negara Tiongkok adalah pelindung mereka dan semua masyarakat Tionghoa perantauan. Bagi mereka, masyarakat Tionghoa peranakan akan selalu dapat hidup kalau mereka mempunyai ikatan dengan Negeri Tiongkok. Kaum ini menganjurkan persatuan antara kaum peranakan Tionghoa dengan kaum Tionghoa totok, selain itu menuntut status hukum sama dengan orang Eropa bagi kaum masyarakat Tionghoa lokal serta pendidikan adat dan tradisional Tionghoa terhadap anak-anak kaum peranakan Tionghoa. Padahal tidak semua masyarakat Tionghoa yang seperti itu, bahkan ada yang sangat mendukung nasionalisme bangsa seperti Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Sekelompok orang Tionghoa yang pro-Indonesia juga ada, mereka merupakan kalangan masyarakat Tionghoa yang menganggap bahwa masyarakat Tionghoa di Indonesia harus menjadi 12 Leo Suryadinata, Negara Dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES Indonesia.

  2002, hal. 34. 13 Leo Suryadinata, 2005, op cit., hal. 4.

  Indonesia. Pada tahun 1932, seorang jurnalis Tionghoa peranakan Liem Koen Hian dan pengacara yang juga Tionghoa peranakan Ko Kwat Tiong, mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Aliran partai ini menganut nasionalisme kebangsaan Indonesia, Indonesia bagi Liem Koen Hian yang menjadi presiden pertama partai, merupakan Tanah Air dan negeri bagi setiap insan yang telah lama tinggal di Indonesia dari generasi ke generasi. PTI giat menganjurkan akan identitas politik Indonesia, kepada setiap masyarakat Tionghoa di Jawa. Akan tetapi kegiatan ini hanya dijalani oleh sebagian kecil dari masyarakat Tionghoa itu sendiri, Sebagian besar masih memperkuat identitas Tiongkoknya. Orang Tionghoa banyak memberikan kontribusi yang berbeda-beda terhadap kehidupan di Jawa pada masa awal abad ke-20. Keuntungan yang diberikan Belanda terhadap Masyarakat Tionghoa telah banyak disalah gunakan. Oportunisme semacam ini adalah ciri khas dari orang yang hanya mementingkan uang, perdagangan, dan bisnis. Bagi sebagian besar masyarakat Tionghoa yang pro Tiongkok atau pun pro Belanda, gerakan nasionalis Indonesia seakan-akan tidak pernah ada. Mereka juga berpikir tidak ada alasan untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi kemerdekaan Indonesia.

  Penjajahan Belanda di Indonesia telah banyak menimbulkan perbedaan ras. Akibat perbedaan dan sisi eksklusif yang didapatkan masyarakat Tionghoa pada masa Belanda, maka tidak heran banyak warga Tionghoa hidup menyendiri, terpisah dari pribumi lainnya. Adat-istiadat, rumah sekolah Tionghoa sendiri dan perkumpulan sosial dan olah raga sendiri atas pengaruh ekonomi yang lebih baik.

  Banyak rakyat Indonesia asli berpendapat, bahwa merekalah yang berjuang dan berkorban untuk mencapai Indonesia merdeka. Masyarakat Indonesia asli umumnya tidak dapat membedakan Masyarakat Tionghoa totok dengan masyarakat Tionghoa peranakan yang telah menjadi warga negara Indonesia. Bagi kebanyakan rakyat asli Indonesia, masyarakat Tionghoa baik totok maupun yang peranakan adalah sama saja, karena bagi masyarakat Indonesia, masyarakat Tionghoa merupakan sosok penguasa lapangan ekonomi di Indonesia. Oleh sebab itu banyak individu-individu di Indonesia meminta kepada pemerintah Indonesia memperlindungi ekonomi nasional dan memberi kesempatan bagi pengusaha nasional memperoleh kedudukan yang layak dalam perekonomian masyarakat.

  Akan tetapi tidak selamanya perbauran masyarakat Tionghoa di Jawa mengalami hambatan. Nilai-nilai kebudayaan antara masyarakat Indonesia di Jawa dengan masyarakat Tionghoa peranakan di Jawa, bukan yang dari luar Jawa, karena pada batas-batas tertentu ada perbedaan situasi dan kondisi di tiap daerah.

  Banyak nilai-nilai sosial budaya yang sama di kalangan masyarakat Jawa dan masyarakat Tionghoa, seperti misalnya pandangan tentang hakekat hidup.

  Tempat tinggal masyarakat Tionghoa di Jawa kebanyakan mempunyai wilayah tempat tinggal bersama, atau bisa dikatakan masyarakat Tionghoa lebih banyak memilih hidup berkelompok dengan etnisnya. Bagi Masyarakat keturunan Tionghoa hal ini sudah biasa, karena etnis asing yang lain pun seperti itu seperti contoh etnis India dan Arab. Setelah tahun 1930, pola hidup berkelompok ini bukan lagi menjadi suatu hal yang asing, tapi sudah menjadi hal yang lumrah. Kehidupan masyarakat etnis Tionghoa yang hidup berkelompok pada masa itu, telah memberikan cikal bakal adanya Chinatown di Indonesia, seperti yang terjadi di Amerika Serikat. Pada perbaurannya, mulai terbentuk komunitas-komunitas masyarakat Tionghoa itu sendiri. Setiap komunitas masyarakat Tionghoa, mulai terbentuk. Seperti contoh dengan Masyarakat Tionghoa Benteng di Kota Tangerang, yang sudah menjadi suatu ikon hasil proses asimiliasi yang cukup lama.

II.3 Terbentuknya Masyarakat Tionghoa Benteng.

  Masyarakat Tionghoa pada awalnya tinggal di pesisir pantai Batavia, atau lebih tepatnya Jakarta Utara pada masa kini. Pelabuhan Sunda Kelapa yang menjadi salah satu pelabuhan ternama di kawasan Batavia, dan menjadi salah satu saingan pelabuhan Banten, menjadikan kawasan utara Batavia ini cukup ramai untuk ditinggali oleh masyarakat pada umumnya, tidak terkecuali masyarakat Tionghoa. Pada awal pembangunan Batavia. Banyak sekali masyarakat Tionghoa yang tinggal di daerah ini. Kedatangan orang Tionghoa untuk pertama kali ke Tangerang terjadi pada tahun 1407, tepatnya berada di muara sungai Cisadane yang sekarang bernama Teluk Naga. Kejadian ini telah tercatat dalam kitab sejarah Sunda yaitu Tina layang Parahyangan. Pemimpin daerah tersebut pada waktu itu adalah Sanghyang Anggalarang dari Kerajaan Parahyangan yang pusat pemerintahannya berada disekitar Kota Tangerang. Tangerang sendiri berasal dari kata Tangren dalam bahasa mandarin yang berarti orang dari dinasti Tang. Inilah yang merupakan gelombang pertama kedatangan masyarakat Tionghoa ke Tangerang. Gelombang kedua diperkirakan berawal dari pemberontakan Tionghoa pada VOC tahun 1740 di Batavia. Pemberontakan yang dipimpin Kapitein Nie Hoe Kong, direspon dengan sangat keji oleh Gubernur Jenderal VOC Adrian Valkenier. Kurang lebih 10 ribu orang tewas, sementara ratusan lainnya terluka.

  Nie Ho Kong yang merupakan kapitein Tionghoa memimpin pelarian ke Jawa Tengah dan sampai Solo. Kapitein Tionghoa yang lain yaitu Ma Uk memimpin rombongan pelarian menyusuri pantai utara Tangerang dan berhenti di wilayah yang sekarang dinamai seperti nama sang kapitein, yaitu Mauk. Sedangkan rombongan yang lainnya menyusuri sungai Cisadane, sebagian berhenti di Sewan, Neglasari, dan wilayah-wilayah sekitar. Mereka yang belum aman di Sewan dan Neglasari, melanjutkan perjalanan lebih ke pedalaman Tangerang, hingga mencapai tanah yang tidak ditinggali yaitu Karawaci. Nama Benteng pada Tionghoa Benteng sendiri berasal dari benteng Belanda yang berada di Tangerang, dibuat untuk mengantisipasi pemberontakan Masyarakat Tionghoa dan serangan Kesultanan Banten.

  Perjanjian Damai 10 Juli 1659 antara Kesultanan Banten dan VOC, menyebutkan bahwa tapal batas Kesultanan Banten dan VOC adalah sungai Cisadane. Sebelah timur sungai Cisadane masuk wilayah VOC dan sisi barat sungai merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Hal ini jugalah membuat para pelarian Tionghoa yang telah sampai di Karawaci, untuk menyeberangi sungai Cisadane dan menetap di sisi barat sungai yang menjadi kekuasaan Kesultanan Banten. Itulah yang dilakukan oleh leluhur dari masyarakat Tionghoa Benteng yang ada di daerah Tangerang seperti, Panongan, Tigaraksa, Curug, Legok, Balaraja, dan lainnya. Para pelarian Tionghoa yang telah menyeberang ke daerah kekuasaan Kesultanan Banten, dilindungi oleh Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin.

  Bermukim di wilayah tanpa penduduk dan diberi kebebasan membangun pemukiman, mengolah lahan, dan membangun persawahan. Hampir tidak ada gangguan atau intervensi dari anggota keamanan Kesultanan. Mereka yang telah tiba di sisi barat sungai, mendapat perlindungan penuh dari prajurit Kesultanan Banten yang Memang biasa berpatroli ke wilayah itu untuk melakukan pengintaian. Dari sisi barat sungai Cisadane terutama di daerah Panongan, prajurit Banten bisa mengontrol garis dan zona demarkasi, juga untuk melihat pergerakan tentara VOC yang di sisi timur sungai Cisadane. Pemukiman awal di daerah sisi barat sungai Cisadane, banyak melakukan kegiatan bercocok tanam dan beternak untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Hampir seluruh hasil panen, padi dan sayuran juga ternak dikonsumsi oleh mereka. Ada juga yang disisihkan untuk dibawa keluar daerah, bisa ditukar dengan garam atau gula. Selain itu, dengan dibangunnya benteng Belanda disebelah timur Cisadane, mulai banyak penyebutan terhadap masyarakat Tionghoa yang mayoritas bermukim disekitar Cisadane dengan sebutan Tionghoa Benteng. Sebutan ini akibat dari banyaknya masyarakat Tionghoa yang bermukim dekat dengan Benteng Belanda tersebut.

  Kesultanan Banten pada akhirnya terus melemah, dan akhirnya berhasil dikalahkan oleh VOC dengan di tandai dihancurkannya Istana Surosan. Sultan Banten yang memerintah pada saat itu, Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainul Mutaqin diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yaitu Herman Willem Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.

  Jatuhnya Kesultanan Banten membuat Masyarakat Tionghoa Benteng merasa terancam dan hidup tanpa perlindungan. Ancaman pencurian, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan menghantui mayoritas masyarakat Tionghoa Benteng. Apalagi kalau mereka membawa hasil bumi ke luar kampung.

  VOC yang telah memberlakukan sistem mata uang, untuk menarik semua elemen masyarakat ke dalam ekonomi pasar. Dalam perjalanan ke luar kampung pun bukan tanpa bahaya, ancaman perampokan di tengah jalan juga menghantui mereka. Maka ditemukan solusi untuk menjamin keamanan mereka, dengan menyewa jawara sebagai pengaman. Yang dimaksud jawara adalah individu yang mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengamanan. Jawara menjamin keselamatan pemukiman mereka dan mengawal mereka apa bila akan melakukan perjalanan ke luar kampung untuk menjual hasil bumi. Daerah yang menjadi perhatian penjualan mereka adalah pasar Curug dan Cikupa.

  Adanya jawara ini bukan tidak serta merta munculnya perdamaian di Pemukiman masyarakat Tionghoa Benteng.Terkadang para jawara ini pun melakukan intimidasi terhadap masyarakat Tionghoa Benteng dengan memerintahkan anak buahnya untuk meneror mereka. Masyarakat Tionghoa Benteng pun melakukan banyak upaya untuk mengamankan diri sendiri, karena merasa dirugikan oleh para jawara tersebut. Tapi usaha itu selalu digagalkan oleh para jawara tersebut, karena takut tidak akan mendapatkan uang keamanan dari pemukiman masyarakat ini. Banyak daerah di Tangerang yang masyarakat Tionghoa Benteng mengalami hal ini, seperti Panongan, Cengklong dan Kosambi.

  Lambat laun para jawara ini juga bukan merupakan solusi yang tepat bagi keamanan masyarakat Tionghoa. Di saat penjagaan longgar, orang dari luar kampung akan masuk, dan kemudian mereka akan mencuri atau merampok, bahkan hanya sekadar buat mencari masalah. Cerita perampokan dan diselingi pemerkosaan, juga kerap menghantui masyarakat ini.

  Setelah kejatuhan Kesultanan Banten, Belanda mendirikan pemukiman Tionghoa di Tegal Pasir atau yang sekarang bernama Kali Pasir. Pemukiman ini cukup dekat dengan pusat Kota Tangerang, Belanda menamakan perkampungan Tionghoa itu dengan nama Petak Sembilan. Perkampungan ini dengan seiring waktu cukup berkembang dan menjadi pusat perdagangan di Kota Tangerang.

  Masyarakat Tionghoa Benteng, merupakan hasil bentukan perpaduan kebudayaan Tiongkok dengan pribumi. Ciri-ciri fisik masyarakat Tionghoa Benteng sendiri, tidak seperti masyarakat Tionghoa pada umumnya. Suku Tionghoa di Indonesia pada umumnya berkulit putih, tapi masyarakat Tionghoa Benteng mempunyai kulit yang hitam gelap, mereka pun tidak memiliki mata yang sipit. Maka hal ini sangat sulit membedakan dengan pribumi apa bila dilihat secara sepintas saja.