BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. - Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang. Kewenangan pemerintah untuk mengatur bidang pertanahan tumbuh dan

  mengakar dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 kemudian ditunaskan secara kokoh dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang

1 Pokok Agraria (UUPA).

  Secara Konstitusional Undang-Undang Dasar 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) telah memberikan landasan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran

  2 rakyat.

  Pada dasarnya UUPA bertujuan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum Agraria yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan rakyat ini serta menciptakan ketertiban rakyat tani dan kepastian hukum

  3 dalam hal penguasaan dan pengusahaan atas hak- hak Agraria.

  Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengatur antara lain hak atas tanah yang dalam pasal 6 UUPA disebutkan tanah tersebut mempunyai fungsi sosial yang mengkehendaki supaya hak atas tanah yang dipunyai oleh seseorang atau badan 1 Muhammad Yamin, Abd.Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Bandung : Penerbit Mandar Maju, 2010, hal 1. 2 Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Bandung : Alumni, 1993, hal 1. 3 Muhammad Yamin,Abd.Rahim, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria. Medan: Pustaka Bangsa Press,2004, hal 15.

  1 hukum tidak boleh dipergunakan secara semata-mata untuk kepentingan pribadi dengan sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat ataupun dengan mentelantarkan tanah tersebut sehingga tidak ada manfaatnya dan akan

  4 merugikan masyarakat.

  UUPA masih sangat memerlukan berbagai peraturan pelaksanaan lainnya namun peraturan pelaksanaan tersebut sangat lambat pembuatannya. Politik Agraria

  5 belum dijalankan dan belum dibuat penjabaran dari dasar hukumnya.

  Politik Agraria adalah suatu kebijaksanaan yang dianut oleh suatu pemerintah Negara dengan ruang lingkup tanah dengan tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atau tanah tersebut hanya dipandang sebagai produksi semata-mata tanpa menghiraukan kesengsaraan yang diderita oleh rakyat dalam suatu

6 Negara.

  Hanya saja politik agrarian di Indonesia harus dapat mewujudkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa untuk mencapai sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat serta harus dapat mengamalkan Pancasila sebagai asas kerohanian Negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, termasuk

  7 yang dijabarkan di dalam UUPA khususnya ketika membicarakan hak atas tanah.

  Hak atas tanah yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria adalah adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat 4 5 K Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1977 , hal 16.

  Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Yogyakarta : Gama Media, 1999, hal 118. 6 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia) Jilid I, Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2004, hal 46. 7 Zaidar, Dasar Filosofi Hukum Agraria Indonesia, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2006, hal 76. diberikan kepada dan dijumpai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

  

8

dengan orang-orang lain serta badan hukum.

  Tanah dalam perspektif hubungannya dengan orang dan badan hukum yang memerlukan jaminan kepastian hukum akan haknya. Yang dimaksud kepastian hukum tidak lain adalah kepastian akan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah yang bersangkutan, yaitu perlindungan terhadap hubungan hukumnya serta perlindungan terhadap pelaksanaan kewenangan haknya. Dalam hubungan dengan tanah, kepastian hukum berkaitan dengan kepastian mengenai letak dan batas-batas tanah yang telah dilekati hak dimaksud. Hal ini berarti bahwa setiap hak tanah dituntut kepastian mengenai subyek, obyek serta pelaksanaan kewenangan hak.

  Ketika tidak ada kepastian hukum hak atas tanah maka masih terjadi masalah

  9 pertanahan.

  Masalah pertanahan saat sekarang ini cukup mendapat perhatian dan boleh dikatakan menjadi salah satu isu nasional yang dapat menjadi bahan pembicaraan dari berbagai kalangan masyarakat, baik kalangan masyarakat awam maupun kalangan masyarakat intelektual termasuk di dalamnya masalah tanah yang dilihat dari teritorialnya yaitu di pedesaan dan perkotaan. Masalah pertanahan di perkotaan pada dasarnya disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan akan tanah, sementara di lain pihak luas tanah yang tersedia tidak bertambah, sehingga timbul konflik penguasaan 8 B.F. Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Jakarta : PT Toko Gunung Agung Tbk, cetakan kedua, Juni, 2005, hal 5. 9 Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Rangkaian Tulisan dan Materi Ceramah, Bandung : Mandar Maju,2007, hal 75.

  dan penggunaan tanah yang tidak jarang diselesaikan melalui jalan kekerasan. Perbincangan tentang masalah pertanahan ini juga dapat kita lihat dalam berbagai media maupun forum, seperti berbagai pendapat maupun kasus yang dimuat dalam media cetak maupun elektronik, pembicaraan dalam forum diskusi, sambung rasa maupun forum-forum seminar yang semuanya dimaksudkan untuk menata dan

  10 mengatasi permasalahan yang timbul dalam bidang pertanahan.

  Sifat dari suatu sengketa pada umumnya adalah berawal adanya suatu pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lainnya atas suatu kesempatan atau prioritas atau adanya suatu ketetapan yang berakibat merugikan dirinya dan hingga pada akhirnya penyelesaian sengketa tersebut senantiasa harus memperhatikan/selalu mendasarkan kepada peraturan yang berlaku,

  11

  menegakkan keadilan serta penyelesaian tersebut diusahakan harus tuntas. Seperti halnya dengan sengketa hak atas tanah perkebunan.

  Sengketa hak atas tanah perkebunan adalah bagian dari sengketa hak atas tanah secara umum, yang melibatkan berbagai persoalan yang melatarbelakangi timbulnya sengketa tersebut. Setiap sengketa tanah perkebunan memerlukan cara penyelesaiannya, baik dengan cara litigasi maupun non litigasi. Penyelesaian dengan cara non litigasi adalah penyelesaian yang mempunyai spesifikasi yakni penyelesaian

  10 Hasim Purba,dkk, Sengketa Pertanahan dan Alternatif Pemecahan, Studi Kasus di Sumatera Utara, Medan : CV. Cahaya Ilmu, 2006, hal 1. 11 Rusmadi Murad,Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Bandung : Penerbit Alumni, 1991, hal 28. untuk mendapat kepastian hukum dengan cara murah, efisien, lebih cepat dan

  12 menguntungkan kedua belah pihak.

  Pada umunya suatu sengketa hak atas tanah meliputi beberapa macam antara lain mengenai status tanah, siapa-siapa yang berhak, bantahan terhadap mengenai bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar pemberian hak atau pendaftaran dalam

  13

  buku tanah dan sebagainya. Salah satu sengketa hak atas tanah yang menyangkut dalam hal ini yang menjadi obyek penelitian adalah sengketa tanah yang terjadi pada areal perkebunan PT.Perkebunan Nusantara II (PTPN II).

  PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II), sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bergerak dibidang usaha perkebunan yang areal tempat usahanya sebagian besar berada di Sumatera Utara. Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, maka status hak atas tanah yang dikuasai dan diusahakannya dengan ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 40

  14 Tahun 1996, adalah Hak Guna Usaha (HGU). Sementara ditinjau dari sejarahnya

  PT Perkebunan Nusantara II merupakan gabungan dari bekas PT Perkebunan II dan

  15 bekas PT Perkebunan IX.

  12 Solih Muadi, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Dengan Cara Litigasi Dan Non Litigasi , Jakarta :Prestasi Pustakaraya, 2010, hal 8. 13 Ali Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak atas Tanah.

  

Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah , Jakarta : Prestasi Pustaka, 2003,

hal 29. 14 15 Hasim Purba,dkk, Op.Cit, hal 84.

  Bahan Ekspos Kepala BPN Propinsi Sumatera Utara selaku Ketua Panitia B “Plus” tanggal

  10 April 2001 di Jakarta, Penyelesaian Masalah Tuntutan/Garapan Pada Areal PTPN II, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Utara Medan 2001, hal.1 & hal 2.

  Dalam pembicaraan mengenai tanah PTPN II, pada zaman dahulu dalam operasional pengusahaannya adalah penanaman komoditi tembakau atau yang terkenal dengan tembakau Deli. Dalam kultur penanamannya, pernah diberlakukan tanaman sela berupa padi dan palawija setelah panen tembakau sebelum dihutankan dan dirotasi kembali penanaman tembakau berikutnya. Orang yang melakukan penanaman tersebut adalah penduduk di sekitar perkebunan yang disebut Rakyat Penunggu sedangkan tanah bekas panen tembakau yang diolah Rakyat Penunggu dalam satu musim tersebut dinamakan tanah jaluran.

  Sejak perkebunan kolonial beroperasi sampai runtuhnya pemerintah Belanda di Sumatera Timur, Rakyat Penunggu tetap memperoleh tanah jaluran. Tanah jaluran tersebut ada yang berpendapat merupakan satu perwujudan dari hak ulayat dari pada hukum yang terdapat khususnya di Sumatera Timur. Namun setelah kekuasaan Belanda runtuh kemudian digantikan Jepang peluang Rakyat Penunggu untuk

  

16

  mendapat tanah jaluran mulai terganggu. Sehingga rakyat penunggu telah merasa hak hidup mereka telah dihilangkan sebab sesuai akta konsesi hak-hak rakyat tersebut yaitu hak ulayatnya telah tercermin di dalamnya dengan disebutnya hak dari rakyat penenggal (penunggu) atas tanah jaluran dimana mereka berhak menanami tanah

  17

  jaluran itu dengan tanaman pokok setelah selesai panen tembakau. Penggabungan

  16 Budi Agustono, Muhammad Osmar Tanjung dan Edy Suhartono, Badan Perjuangan ,Bandung : Yayasan

  Rakyat Penungggu Indonesi vs PTPN II Sengketa Tanah di Sumatera Utara Akatiga, Juli, 1997, hal 2 & hal 3. 17 AP Parlindungan, Kapita Selekta Hukum Agraria, Bandung : Alumni, 1981, hal 154.

  Negara Sumatera Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia menimbulkan

  18 akibat-akibat langsung bagi perjuangan Agraria.

  Awal penggarapan terhadap areal perkebunan di Sumatera Timur ini terjadi sejak pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dimana pada saat itu pemeritah penduduk Jepang dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai akibat perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia yang menimbulkan keadaan darurat dalam soal persediaan pangan, sehingga banyak rakyat mengusahakan tanah-tanah perkebunan. Maka sejak saat itu penggarapan atas areal perkebunan di Sumatera

19 Timur mulai berkembang.

  Tanah garapan ialah hubungan antara penggarap dengan sebidang tanah Negara baik berdasarkan surat-surat keputusan (bukan pemberian hak atas tanah), surat izin, atau surat-surat lain, maupun yang tidak berdasarkan sesuatu surat

  20

  pemberian termasuk dalam pengertian garapan ini. Dalam UUPA tidak mengatur adanya tanah garapan karena tanah garapan bukan status hak atas tanah. Dalam peraturan Perundang-Undangan terdapat istilah tanah garapan yaitu tanah tanpa ijin

  21 pemilik/kuasanya dan pendudukan tanah tidak sah.

  Akibat kekurangan pangan di Sumatera Timur ini memaksa banyak tanah- tanah perkebunan dialihkan kepada penggunaan-penggunaan lain. Pembukaan lahan baru meluas di beberapa tempat. Tanah-tanah dimaksud diberikan kepada petani yang 18 19 Karl J Pelzer, Sengketa Agraria,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1991, hal 74. 20 Bahan Ekspos Kepala BPN Propinsi Sumatera Utara, Op.Cit, hal 2. 21 Murad, Rusmadi, Op.Cit, hal 112.

  B.F. Sihombing, Op.Cit, hal 80. tidak mempunyai tanah. Dengan demikian banyak tanah-tanah perkebunan yang telah

  22 digarap, baik oleh masyarakat maupun buruh-buruh perkebunan itu sendiri.

  Pemanfaatan tanah kosong untuk tanaman pangan dimana tanah yang sudah diperoleh penguasaannya tetapi belum dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya wajib dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk menanami tanah kosong dengan tanaman pangan dengan terlebih dahulu membuat atau menandatangani perjanjian dan perjanjian tersebut dapat diputuskan sewaktu-waktu apabila pihak perusahaan sebagai pemilik membutuhkan tanah tersebut dan kepada penggarap wajib mengembalikan dan menyerahkan kembali tanah yang dipinjami tersebut kepada perusahaan dalam keadaan baik dan tidak menuntut ganti rugi atau kompensasi dalam bentuk apa pun. Perjanjian tersebut ditandatangani untuk jangka waktu 1 (satu) tahun dan dapat dilanjutkan lagi atau diperpanjang untuk waktu yang

  23 sama berdasarkan persetujuan tertulis dari perusahaan.

  Perubahan pemerintahan Jepang kearah pembentukan pemerintah baru telah memungkinkan rakyat-rakyat petani untuk menduduki tanah-tanah perkebunan milik Belanda yang ditinggalkan oleh pemiliknya dan menjadi terlantar. Tanah-tanah perkebunan terlantar tersebut kemudian kembali diduduki oleh rakyat petani sebagai bukti nyata kehendak rakyat petani untuk memiliki tanah, karena tanah adalah alat

  24 produksi mereka. 22 Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan, Studi tanah Perkebunan di Sumatera Timur, Medan : USUpress, 2005, 60. 23 24 D Soetrisno, Tata Cara Perolehan Tanah Untuk Industri¸ Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004, hal 29.

  Noer Fauzi, Petani dan Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia ,Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1999,hal 56. Berapa luas tanah perkebunan yang diduduki rakyat beserta berapa jumlah orang yang menduduki tidak dapat diketahui dengan pasti. Agar tidak terjadinya penggarapan secara liar secara terus menerus sekaligus memberikan kepastian hukum hak-hak atas tanah oleh rakyat dan perkebunan maka dikeluarkan Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 kemudian diubah dan ditambah dengan Undang- Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956 tentang penyelesaian pemakaian tanah

  25 perkebunan oleh rakyat.

  Untuk mengatasi semakin meningkatnya pemakaian tanah-tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, maka oleh pemerintah dengan Undang-Undang Nomor

  51 Prp Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya, yang dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 ditetapkan menjadi Undang-Undang. Karena tanah pada saat itu dibutuhkan, pemerintah Jepang terpaksa mengeluarkan beberapa instruksi penggunaan tanah, terutama tanah-tanah pertanian,

  26

  antara lain:

  a. Agar tanah-tanah pertanian ditingkatkan produksinya terutama tanaman pangan untuk kepentingan perang.

  b. Hutan-hutan boleh digarap untuk perkebunan, tanpa memperdulikan akibatnya terhadap lingkungan.

  25 Chadidjah Dalimunthe, Politik Agraria Nasional Terhadap Hak – Hak Atas Tanah, Medan: Yayasan Pencerhan Mandailing, 2008, hal 18. 26 Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan Permasalahannya, Medan : Universitas Sumatera Utara,2005, hal 81. c. Tanah-tanah perkebunan yang diterlantarkan (karena rotasi) bebas untuk digarap rakyat untuk pertanian pangan, sehingga penggarapan tanah-tanah perkebunan ini sampai dengan sekarang susah diatasi. Rotasi dimaksudkan disini merupakan pemakaian tanah secara bergiliran yang dipraktekkan pada perkebunan tembakau, dimana lahan untuk menanam tembakau ini tidak dapat dipergunakan secara terus menerus tapi harus bergiliran dengan arti bahwa yang tidak dapat giliran untuk ditanami, lahannya dihutankan dulu dengan tujuan agar tanahnya subur kembali. Lahan yang dihutankan inilah yang dianggap sebagai lahan yang diterlantarkan oleh pihak perusahaan perkebunan.

  Selama orde baru yang lalu banyak tanah ulayat yang diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan yang membutuhkan tanah yang luas, seperti perkebunan besar dan pengusahaan hutan.

27 Sebagai konsekuensi dari model pembangunan kapitalis di masa Orde Baru, maka jumlah dan kualitas sengketa tanah di Indonesia mengalami perubahan.

  Perubahan yang menyolok adalah struktur konflik yang berubah dari konflik horizontal menjadi konflik vertikal dimana Negara Orde Baru berperan aktif sebagai aktor di dalam konflik yang terjadi. Salah satu konflik yang terjadi adalah penggarapan masyarakat atas tanah perkebunan yang tidak diusahai (tanah kosong).

  28

  27 Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Jakarta : Universitas Trisakti, 2003, hal 61. 28 Dianto Bachriadi, Tanah dan Bangunan. Pembangunan Konflik Pertanahan dan Perlawanan Petani , Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal 70.

  Kalau dikaji makna dan fungsi sosial akan tanah sebagaimana diatur dalam

  pasal 6 UUPA, para petani berani menggarap tanah-tanah milik perkebunan itu, misalnya oleh karena terlantar dan tidak dirawat, dengan demikian para petani telah menjalankan fungsi sosial atas tanah,yang mengandung arti bahwa hak atas apapun yang pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya. Maka layak apabila pemerintah turut memperhatikan nasib pada petani penggarap sehingga jika pemilik tanah telah lama menelantarkan tanah perkebunan atau sudah tidak terurus maka pemberian hak atas tanah bagi penggarap yang telah turun

  29 temurun adalah bijaksana.

  Jika diperhatikan, kejadian terhadap penyerobotan tanah perkebunan dengan status Hak Guna Usaha selalu didasarkan pada alasan – alasan : 1)tanahnya diterlantarkan; 2)sudah menjadi perkampungan; 3)sudah sejak nenek moyang kami mengerjakan tanah ini atau tanah ulayat; 4)kami adalah pensiunan karyawan dari perusahaan atau ahli waris dari perusahaan diatas HGU tersebut. Dengan alasan- alasan itu rakyat putuslah hubungan Hak Guna Usaha dengan pemeganganya , sungguh pun belum berakhir jangka waktunya. Sebagaimana diatur dalam Pasal 34 UUPA, yang menyebut Hak Guna Usaha hapus karena; a)jangka waktunya berakhir; b)dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir, karena sesuatu syarat tidak dipenuhi; c)dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir; d) dicabut untuk kepentingan umum; e)diterlantarkan; f)tanahnya musnah dan karena

29 Sudaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Jakarta : Sinar Grafika, 1994, hal.41.

  orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha tidak lagi memenuhi

  30 syarat sebagai WNI dan badan hukum Indonesia.

  Begitu banyaknya lahan-lahan dari Hak Guna Usaha yang ditanami sehingga menjadi bagian dari okupasi liar yang juga kadangkala para pemegang Hak Guna Usaha tidak mampu mengusir para okupan liar dari lahan mereka ataupun karena dilalaikan sehingga keadaan telah menimbulkan komplikasi hukum. Perundingan selalu mengalami kegagalan, oleh karena antara orang yang mempunyai suatu hak dengan orang tidak mempunyai hak tetapi diberikan hak. Keadaan ini diperburuk lagi dengan munculnya organisasi-organisasi yang mengaku pembela petani, tetapi dalam banyak hal hanyalah kaum manipulator dan spekulator yang sama sekali tidak

  31 mengusahakan tanah tersebut.

  Ada berbagai macam masalah tanah di areal PT Perkebunan Nusantara II antara lain seperti tuntutan masyarakat adat, tuntutan garapan rakyat dan tuntutan perumahan pensiunan karyawan serta perubahan tata ruang akibat perkembangan

  32

  kota. Pensiunan karyawan perkebunan juga merupakan kelompok yang berharap untuk mendapat sebagian asset perusahaan agar dapat menikmati hari tua di atas pondok atau perumahan yang pernah dihuninya sewaktu aktif sebagai karyawan. Apalagi disebutkan uang pensiunan para karyawan ada yang tidak memadai dan

  33 sampai sekarang belum pernah diberi santunan.

  30 31 Muhammad Yamin, Abd Rahim, Op.Cit, hal 188. 32 AP Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Bandung : Mandar Maju, 1993, hal34.

  , Daftar penyelesaian Tuntutan/Garapan Rakyat di atas areal PT Perkebunan Nusantara II Medan : Badan Pertanahan Nasional Sumatera Utara. 33 Muhammad Yamin dan Abd Rahim Lubis, Op.Cit, hal 217.

  34 PT Perkebunan Nusantara II memiliki sekitar 43 (empat puluh tiga) kebun

  seperti kebun Sei Semayang, Sei Glugur, Sei Mencirim, Tanjung Morawa I Bangunsari 2, Tanjung Morawa II/Ujung Serdang I dan sebagainya termasuk diantaranya adalah kebun Helvetia yang juga merupakan bagian areal kebun PT Perkebunan Nusantara II yang lokasinya berada di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Langkat, Kota Binjai dan Kabupaten Serdang Bedagai. Pada tahun 2002 ada keputusan Pemerintah Pusat dalam hal ini kepada Badan Pertanahan Nasional yang dituangkan dalam Surat Keputusan Nomor 42/HGU/BPN/2002 tanggal 29 November 2002 tentang Pemberian Perpanjangan Jangka Waktu Hak Guna Usaha Atas Tanah Terletak Di Kabupaten Deli Serdang, Propinsi Sumatera Utara yang memberikan penyelesaian terhadap permasalahan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha kepada PTPN II sekaligus menyelesaikan masalah tuntutan rakyat berupa pengeluaran sebagian areal HGU PTPN II untuk didistribusikan kepada rakyat, khususnya yang berlokasi di Kabupaten Deli Serdang termasuk pada areal Kebun Helvetia.

  SK KBPN No 42/HGU/BPN/2002 memberikan perpanjangan Hak Guna Usaha PT Perkebunan Nusantara II dengan luas tanah seluruhnya 14.503,1100 Ha (empat belas ribu lima ratus tiga koma satu satu nol nol hektar) dan sebagian tanah- tanah perkebunan yang tidak diberi perpanjangan Hak Guna Usaha pada daftar lampiran Surat Keputusan Nomor 42/HGU/BPN/2002 seluas 3.353,5900 Ha (tiga ribu tiga ratus lima puluh tiga koma lima sembilan nol nol hektar) menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, akan tetapi di dalam Surat Keputusan tersebut bahwa 34 Daftar Lampiran Keputusam Kepala Badan Pertanahan Nasional, tanggal 29 November

  2002, Nomor 42/HGU/BPN/2002, tentang Pemberian Jangka Waktu Hak Guna Usaha Atas Tanah terletak di Kabupaten Deli Serdang .

  Pemerintah Pusat telah menyerahkan penyelesaian tersebut kepada Gubernur Sumatera Utara baik dalam pengaturan, penguasaan, pemilikan, pemanfaatan dan penggunaan tanah tersebut untuk selanjutnya diproses sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku setelah memperoleh ijin pelepasan asset dari Menteri yang berwenang.

  Pada kebun Helvetia, permasalahan pertanahan sama dengan yang terjadi pada areal PT Perkebunan Nusantara II pada umumnya. Luas areal PTPN II Kebun Helvetia berdasarkan daftar lampiran SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002 adalah 1.322,2900 Ha sesuai dengan hasil pengukuran yang digambarkan dalam Peta Pendaftaran Nomor 59/1997 tanggal 24 November 1997,sedang yang diterbitkan HGU nya adalah 1.128,3500 Ha terdiri dari seluas 1.029,7300 Ha, yang diberikan tahap pertama berdasarkan SK Nomor 58/HGU/BPN/2000 dan seluas 98.6200 Ha yang diberikan tahap kedua berdasarkan SK Nomor 42/HGU/BPN/2002, sementara areal yang tidak diperpanjang/dikeluarkan dari areal yang dimohonkan HGU nya seluas 193,9400 Ha dengan perincian tuntutan rakyat adalah 0,32 Ha, Garapan Rakyat seluas 0,97 Ha, dan Perumahan Pensiunan Karyawan seluas 27,78 Ha.

  Namun tuntutan/garapan yang direkomendasikan untuk diperpanjang HGU nya seluas 98,6200 Ha.

  Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, dari sekian banyak persoalan hukum yang menyangkut permasalahan pertanahan di Indonesia khususnya yang menyangkut lahan Eks HGU PTPN II pada Kebun Helvetia maka penulis ingin mengangkat tentang “Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah

  Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : atas adanya SK KBPN No 42/HGU/BPN/2002”.

  B. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana perkembangan penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia?

  2. Bagaimana bentuk penyelesaian garapan yang dilakukan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia?

  3. Apa hambatan-hambatan hukum dalam penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia?

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan pada rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian diatas adalah:

  1. Untuk mengetahui perkembangan penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia.

  2. Untuk mengetahui bentuk penyelesaian garapan yang dilakukan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia.

  3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan hukum dalam penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian yang dilakukan penulis yaitu;

  1. Secara teoritis

  Penelitian ini diharapakan dapat memberikan suatu sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum pada umumnya dan hukum pertanahan pada khususnya terutama mengenai penyelesaian tanah garapan.

  2. Secara praktis

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi yang berkepentingan seperti bagi masyarakat pada umumnya dan bagi para pemerintah yang berkompeten dalam menangani suatu perkara pertanahan termasuk perkara penyelesaian tanah garapan yang hingga saat ini belum dapat terselesaikan dengan tuntas. Selain itu penelitian juga diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan masukan bagi praktisi hukum, advokat, mahasiswa dan masyarakat umum.

E. Keaslian Penelitian

  Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan sebelumnya pada perpustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, menunjukan bahwa penelitian dengan beberapa judul tesis yang berhubungan dengan judul topik dalam tesis ini antara lain:

  1. Tesis Saudari Natal Ria Argentina br Surbakti (077011051), dengan judul: “Analisis yuridis terhadap penyelesaian konflik pertanahan di areal tanah garapan” (Studi di Kantor Pertanahan Kabupaten Langkat).

  2. Tesis Saudara Elfachri Budiman (027005061), dengan judul: ”Tinjauan hukum terhadap pengeluaran areal Hak Guna Usaha dan Pelepasan Asset Negara atas Tanah yang dikuasai oleh PT. Perkebunan Nusantara II”.

  3. Tesis Saudara Yan Sumekar (057011094), dengan judul: “Tinjauan hukum atas permasalahan tanah bekas Hak Guan Usaha (HGU) antara PTPN III dengan masyarakat penggarap di Deli Serdang”.

  4. Tesis Saudari Vivi Duma Sari (087011130), dengan judul: “Peralihan Hak Guna Usaha sekaligus dilakukan alih fungsi penggunaaan tanah”.

  Dengan demikian hasil penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggunjawabkan. Dalam hal ini peneliti bertanggungjawab sepenuhnya bila dikemudian hari ditemukan plagiat atau duplikasi dengan penelitian yang telah ada sebelumnya.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

  Menurut Burham Ashofa, teori hukum itu adalah suatu serangkaian asumsi, konsep, defenisi dan prosposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep.

  35 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau pendapat mengenai suatu

  kasus maupun persoalan yang kemudian dikaitkan dalam suatu teori dan menjadi bahan perbandingan.

36 Apabila dikaitkan dengan identifikasi masalah yang diteliti dalam tesis ini

  maka penelitian ini menggunakan teori Validitas dan Keberlakuan Hukum. Prof Meuwissen berpendapat bahwa teori Validitas dan Keberlakuan Hukum adalah yang 35 Burham Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 2007, hal 19. 36 M. Solly lubis, Filsafat dan Penelitiano,Bandung : Mandar Maju, 1994, hal. 80.

  mempersyaratkan validitas suatu norma hukum, dalam arti keberlakuan suatu kaidah

  37

  hukum, jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Keberlakuan sosial atau faktual. Pada kenyataannya kaidah hukum diterima dan diberlakukan oleh masyarakat umumnya, termasuk dengan menerima sanksi jika ada orang yang tidak menjalankannya.

  2. Keberlakuan yuridis. Bahwa aturan hukum tersebut dibuat melalui prosedur yang benar dan tidak bertentangan dengan peraturan lainnya terutama dengan peraturan yang lebih tinggi.

  3. Keberlakuan moral. Kaidah hukum tersebut tidaklah boleh bertentangan dengan nilai-nilai moral, misalnya kaidah hukum tersebut tidak boleh melanggar hak asasi manusia atau bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum alam.

  Fungsi validitas suatu aturan hukum sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui eksistensi dari suatu aturan hukum.

  2. Untuk mengetahui tingkat penerimaan masyarakat dari suatu aturan hukum.

  3. Untuk mengetahui tingkat kesadaran hukum dari para penegak hukum terhadap kaidah hukum yang bersangkutan

  4. Untuk mengetahui apakah aturan huku tersebut memang dimaksudkan sebagai aturan hukum yang mengikat secara hukum.

  5. Untuk mengetahui apakah akibat hukum jika suatu aturan hukum tidak diikuti oleh masyarakat. 37 Munir Fuady, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta : Kencana, 2013, hal

  6. Untuk mengetahui apakah perlu dibuat suatu aturan hukum yang baru yang mengatur berbagai persoalan manusia.

  7. Bagi seorang lawyer, jaksa atau polisi untuk memprediksi kemungkinan kewenangan kasus yang sedang ditanganinya.

  8. Untuk mengetahui apakah ada ikatan-ikatan nonhukum dari suatu aturan hukum, misalnya ikatan moral, ikaan agama, dan lain-lain. Ikatan nonhukum ini tidak pernah diakui oleh para penganut hukum positivisme.

2. Kerangka Konsepsi

  Konsep adalah kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus. Sedangkan pola konsep adalah serangkaian konsep yang

  38 dirangkaikan dengan dalil-dalil hipotesis dan teoritis.

  Suatu kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta, sedangkan konsep

  39

  merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut. Suatu konsep juga dituntut untuk mengandung suatu arti. Sesuatu bunyi yang dikeluarkan oleh manusia tetapi tidak mengandung pesan apa-apa kepada orang lain tidaklah

  40 dapat disebut konsep.

  Konsep-konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asa dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk 38 39 Amiruddin dan Zainal Asikin,Op.Cit , hal 2. 40 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta :Universitas Indonesia, 2008, hal 132.

  

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT Citra Adtya Bakti, cetakan ketiga,1991,hal 306. konsep merupakan salah satu dari hal – hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum. Konsep adalah suatu konstruksi mental yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran kita. Untuk keperluan analistis, konsep itu dibedakan dari konsepsi. Konsepsi bisa disebut sebagai penggunaan suatu istilah secara perorangan, maka konsep tidak lagi ditangkap secara dan bersifat perorangan melainkan sudah diangkat menjadi istilah dan pengertian yang tidak personal. Konsep

  41 merupakan suatu konstruksi abstrak dari konsepsi-konsepsi.

  Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka ada beberapa konsep dasar yaitu: a. Garapan ialah hubungan antara penggarap dengan sebidang tanah Negara baik berdasarkan surat-surat keputusan (bukan pemberian hak atas tanah), surat izin, atau surat-surat lain, maupun yang tidak berdasarkan sesuatu surat

  42 pemberian termasuk dalam pengertian garapan ini.

  b. Penggarap ialah orang atau badan hukum, instansi pemerintah yang

  43 mempunyai garapan.

  c. Penyelesaian sengketa tanah garapan merupakan salah satu kebijakan Pemerintah di bidang pertanahan yang kewenangan pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sebagai pelaksanaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan dalam rangka menyiapkan konsepsi, kebijakan dan system pertanahan 41 Nasional yang utuh dan terpadu serta pelaksanaan Tap MPR Nomor 42 Ibid , hal 307. 43 Rusmadi Murad, Op.Cit, hal 112.

  Ibid IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

44 Alam.

G. Metode Penelitian

  Dalam bahasa Belanda Metode adalah Methoda dan dalam bahasa Inggris

  45 Method yang artinya cara yang dirancang sebaik-baiknya untuk mencapai sesuatu.

  Metode adalah jalan atau cara untuk memikirkan dan memeriksa sesuatu menurut rencana tertentu, menyangkut cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi

  46 sasaran ilmu yang bersangkutan.

  Penelitian merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif yang melatih kita untuk selalu sadar bahwa di dunia ini banyak yang kita tidak ketahui dan

  47 apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak.

  Metode penelitian ilmiah merupakan realisasi dari rasa ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. Seseorang akan yakin bahwa ada sebab bagi setiap akibat dari gejala yang tampak dan dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Oleh karena itu perlu bersifat objektif, karena kesimpulan yang diperoleh hanya akan dapat ditemukan bila dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan data yang

  48 dikumpulkan melalui prosedur yang jelas, sistematis dan terkontrol.

  44 45 Ibid , hal 109.

  Ircham Machhfoedz, Sujiyatini dan Hesty Widyasih, Kamus Penelitian istilah – istilah KTI Skripsi dan Tesis , Yogyakarta :Fitramaya, cetakan kedua, 2007, hal 51. 46 47 M Marwan dan Jimmy, Kamus Hukum, Surabaya :Reality Publisher, 2009, hal 434. 48 Amiruddin dan Zainal, Op.Cit, hal 19.

  Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2009 hal. 7.

1. Sifat dan Jenis Penelitian

  Penelitian ini bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan serta menganalisa peraturan Perundang- Undangan yang berkaitan pada tujuan penelitian ini. Tujuan dalam penelitian deskriptif adalah untuk menggambarkan secara tepat sifat – sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan frekuensi atau penyebaran suatu gejala atau frekuensi adanya hubungan tertentu antara gejala dan gejala lain

  49

  dalam masyarakat. Maksud utama analisis terhadap bahan hukum adalah mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan Undang-Undang secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam

  50 praktik dan putusan-putusan hukum.

  Jenis penelitian hukum yang digunakan adalah yuridis normatif dan yuridis empiris. Penelitian yuridis normatif adalah pendekatan terhadap permasalahan yang

  51

  dirumuskan berdasarkan ketentuan Perundang-Undangan, sebab tidak setiap pasal dalam peraturan Perundang-Undangan misalnya mengandung kaidah hukum, ada Pasal-Pasal yang hanya merupakan batasan saja sebagaimana lazimnya ditemukan pada bab ketentuan-ketentuan umum dari Perundang-Undangan tersebut. Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah untuk melihat penerapan hukum di lapangan (Law in

  action

  ). Menurut Soerjono Soekanto penelitian yuridis empiris ini terdiri atas 49 Kontjaraningrat, Metode – metode penelitian masyarakat, Jakarta : PT Gramedia, cetakan keempat, 1981, hal 42. 50 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Bayumedia Publishing, cetakan keempat, 2008, hal 310. 51 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif , Jakarta :Rajawali Pers, cetakan ketiga, 1990, hal 70. penelitian identifikasi hokum dan penelitian efektifitas hukum. Pendekatan yuridis empiris ini digunakan untuk melihat efektifitas hukum dilapangan dalam menyelesaikan penguasaaan atas tanah dan penerapan peraturan Perundang- Undangan di bidang Pertanahan antara lain Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 dan Implemantasi Peraturan Peundang-Undangan.

2. Sumber data Penelitian

  Pada penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam (ilmu) penelitian digolongkan data sekunder

  52

  yang meliputi bahan hukum primer, sekunder dan tertier (bahan penunjang).

  53 Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup:

  1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:

  a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

  b. Undang-Undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian soal pemakaian tanah oleh rakyat. Kemudian diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1956

  c. Undang-Undang Nomor 51 Prp 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya.

  d. SK KBPN No 42/HGU/BPN/2002 52 Ibid , hal 28. 53 Ibid , hal 39.

  2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai hukum primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,hasil karya dari kalangan hukum tentang penyelesaian tanah garapan pada areal Eks HGU PTPN II.

  3. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks, kumulatif dan seterusnya.

  3. Teknik dan Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini, teknik dan pengumpulan data yang dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Studi dokumen.

  Penelitian ini menggunakan bahan yang merupakan hasil dari penelitian kepustakaan yang diperoleh melalui Peraturan Perundang-Undangan, buku- buku/literatur, majalah serta bahan-bahan yang berhubungan dengan judul.

  b. Pedoman Wawancara.

  Penelitian ini dilakukan dengan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara (Interview). Informan yang dijadikan sebagai sumber data dalam pernelitian ini yaitu Badan Pertanahan Nasional, PT Perkebunan Nusantara II Kebun Helvetia dan Penggarap.

  4. Analisis Data

  Analisis data adalah suatu proses mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode dan mengategorikannya hingga kemudian mengorganisasikan dalam suatu bentuk pengelolaan data untuk menemukan tema dan hipotesis kerja

  54 yang diangkat menjadi teori substantif.

  Untuk menemukan teori dari data tersebut maka menggunakan metode kualitatif adalah penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta norma-norma yang

  

55

hidup dan berkembang dalam masyarakat.

  Setiap penelitian haruslah selalu disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis. Hal ini disebabkan karena adanya hubungan timbal balik antara teori dengan kegiatan-kegiatan pengumpulan data, konstruksi data, pengelolahan data dan analisis

  56 data.

  54 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung :PT Remaja Rosdakarya, 1993, hal 103 55 56 Zainuddin Ali,Op.Cit, hal 105.

  Ronny Hanitijo Soemitro,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990,hal 41.

Dokumen yang terkait

Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

2 74 151

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Sistem Outsourcing Pada Industri Jasa Perbankan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PPU-9/2011

0 0 11

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Aspek Hukum Mediasi Perbankan Dalam Penyelesaian Kredit Macet (Studi Pada Pt. Bank Sumut)

0 0 14

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Pidana Atas Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Bebas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 51/Pid. Sus.K/2013/Pn.Mdn)

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Tinjauan Yuridis Hak – Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah Berdasarkan Ketentuan Pmna/Kepala Bpn Nomor 5 Tahun 1999 Dikaitkan Dengan Putusan Mk Nomor 35/Puu-X/2012

0 1 20

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Sistem Pengupahan Terhadap Kepuasan Karyawan Panen Di PTPN III Kebun Tanah Raja

1 1 6

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Berhak Atas Tanah Dalam Hal Ganti Rugi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Atas Penyitaan Jaminan Atas Tanah Hak Milik Yang Berada Dalam Kawasan Hutan Di Daerah Kabupaten Padang Lawas Utara

0 0 24

Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/BPN/2002

1 1 7

BAB II PERKEMBANGAN PENYELESAIAN TANAH GARAPAN PADA AREAL EKS HGU PTPN II KEBUN HELVETIA A. Masa Pemerintahan Belanda - Hambatan-Hambatan Hukum Dalam Penyelesaian Tanah Garapan Pada Areal Eks HGU PTPN II Kebun Helvetia : Atas Adanya SK KBPN Nomor 42/HGU/B

0 1 15