BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gigi Sulung Anterior - Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior Pada Anak Usia 1-4 Tahun Di Tk/Paud Dan Posyandu Kecamatan Medan Petisah Dan Medan Tuntungan

  b) Memberikan informasi kepada orang tua atau wali dan pihak sekolah anak agar lebih mengawasi anak-anaknya saat bermain dan memotivasi anak agar lebih memperhatikan pola bermainnya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gigi Sulung Anterior

  Gigi sulung atau gigi desidui merupakan gigi yang pertama sekali tumbuh di dalam rongga mulut seseorang. Nama lain gigi sulung adalah gigi susu atau gigi sementara. Jumlah gigi sulung anterior adalah 12, dimana pada rahang atas dan rahang bawah, masing-masing mempunyai empat gigi insisivus dan dua gigi kaninus. Gigi sulung anterior ini akan diganti dengan gigi permanen yang berada di bawahnya

  17 dari sekitar usia enam tahun.

  Gigi sulung anterior harus dijaga agar tidak terjadi kehilangan gigi secara dini karena gigi ini memainkan peranan yang penting di dalam rongga mulut anak sebelum diganti dengan gigi permanen. Fungsi gigi sulung anterior yang penting adalah sebagai penjaga ruang agar gigi permanen yang akan tumbuh nanti mempunyai ruangan yang cukup sehingga tidak terjadi maloklusi. Gigi sulung anterior penting dalam fungsi pengucapan terutama untuk anak-anak yang baru belajar berbicara, dan juga penting dalam fungsi mastikasi sehingga anak-anak dapat mengunyah makanan secara efisien. Penampilan muka anak yang bagus dapat dijaga

  17 oleh gigi sulung anterior karena gigi ini berfungsi sebagai pendukung bibir.

  17 Gambar 1. Gigi sulung anterior

2.1.1 Usia Erupsi Gigi Sulung Anterior

  Gigi sulung anterior akan mulai erupsi sejak sekitar usia 6 bulan. Gigi insisivus sentralis rahang bawah merupakan gigi sulung anterior yang paling cepat

  17 erupsi.

  

17

Tabel 1. Usia erupsi gigi sulung anterior Gigi Sulung Gigi Sulung Usia Erupsi Usia Erupsi Anterior Rahang Anterior Rahang (Bulan) (bulan) Atas Bawah

  Insisivus Sentralis 7,5 Insisivus Sentralis

  6 Insisivus Lateralis

  9 Insisivus Lateralis

  7 Kaninus

  18 Kaninus

  16

  2.2 Definisi Trauma Gigi

  Trauma pada gigi merupakan perpindahan energi secara akut ke gigi dan jaringan pendukung sekitarnya yang dapat menyebabkan fraktur, dislokasi gigi atau

  3 patah pada jaringan pendukungnya.

  2.3 Prevalensi Trauma Gigi Sulung Anterior

  Prevalensi trauma gigi sulung ternyata tinggi di seluruh dunia walaupun regio

  5

  oral hanya mencakup 1% dari seluruh area badan. Trauma pada gigi sulung

  6,18,19 merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius dan sering diabaikan.

  Pada setiap negara, terdapat prevalensi trauma gigi yang berbeda bahkan hasil yang berbeda juga dapat diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan di negara

  11

  yang sama. Hasil dari beberapa penelitian yang telah dilakukan di Brazil menunjukkan prevalensi trauma gigi sulung pada anak bervariasi dari sekitar 9,4%

  5-7 hingga 36,8 % (Tabel 2).

  Di Asia, prevalensi trauma gigi sulung dapat menjadi sangat tinggi, hal ini terbukti dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bhayya DP dan Shyagali TR di India mengenai prevalensi trauma gigi sulung pada anak usia 4-6 tahun yang

  1 mendapat hasil yang cukup tinggi yaitu 76,13% (Tabel 2).

  Prevalensi trauma gigi sulung cukup bervariasi, ini mungkin disebabkan oleh peneliti menggunakan metode penelitian yang berbeda. Faktor lingkungan, budaya dan kebiasaan penduduk yang berbeda di setiap negara juga dapat mempengaruhi

  5,11

  hasil prevalensi yang didapatkan melalui penelitian. Penelitian tentang prevalensi trauma gigi sulung yang telah dilakukan di dunia ini terutama di Asia ternyata masih kurang (Tabel 2).

  1,5-7,20

  Tabel 2. Prevalensi trauma gigi sulung di beberapa wilayah di dunia Peneliti Negara Tahun Usia Besar Prevalensi

  (Tahun) Sampel Asia Zadik Israel 1976 5 965 11,1% Bhayya DP dan Shyagali TR India 2013 4 - 6 1500 76,13% Afrika Otuyemi dkk. Nigeria 1996 1 – 5 1401 30,8% Hargreaves dkk. Afrika 1999 1 – 5 1466 15%

  Selatan Eropa Carvalho dkk. Belgia 1998 3 – 5 750 18% Amerika Utara

  Serikat Amerika Selatan Bijella dkk. Brazil 1990 1 - 6 576 30,2% Mestrinho dkk. Brazil 1998 1 – 5 1853 15% Cunha dkk. Brazil 2001 0 – 3 1654 16,3% Kramer dkk. Brazil 2003 0 – 6 1545 35,5% Granville-Garcia dkk. Brazil 2006 1 – 5 2651 36,8% Oliveira dkk. Brazil 2007 ½ – 5 892 9,4% Granville-Garcia AF dkk. Brazil 2010 1 - 5 820 20,1%

  2.4 Usia Rentan Trauma pada Gigi Sulung

  Trauma pada gigi sulung paling sering terjadi pada usia 1 – 3 tahun, karena koordinasi motorik anak pada usia ini masih dalam perkembangan dan belum stabil

  2,4,8

  sehingga sering terjatuh atau tertabrak saat belajar berjalan atau berlari. Literatur

  

Dental Traumatology juga menyatakan bahwa pada anak usia 1 – 3 tahun, sering

  2 terjadi injuri luksasi terhadap gigi dan jaringan lunak sekitarnya akibat terjatuh.

  Penelitian yang dilakukan oleh Kovacs M dkk. mendapat hasil yang serupa yaitu frekuensi trauma yang paling tinggi pada gigi sulung adalah pada anak usia 1 - 2

  4 tahun.

  Gigi sulung yang paling sering mengalami trauma adalah gigi anterior rahang

  6,7,12

  atas terutama insisivus satu. Trauma gigi pada umumnya hanya terjadi pada satu gigi saja, kecuali kasus trauma yang disebabkan oleh kecelakaan dapat menyebabkan

  5,6,12 trauma gigi pada beberapa gigi.

  

2.5 Tipe Trauma Gigi yang Paling Sering Terjadi pada Gigi Sulung

  Trauma luksasi lateral dan fraktur enamel merupakan tipe trauma yang lebih

  1,4,7,12

  sering terjadi pada gigi sulung. Menurut penelitian yang dilakukan di Romania oleh Kovacs M dkk., ternyata tipe trauma yang paling sering terjadi pada gigi sulung adalah luksasi lateral. Hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan di Norwegian yang menyatakan luksasi lateral merupakan tipe trauma yang

  4 paling sering, diikuti dengan injuri kontusi gigi.

  Penelitian di Korea terdapat hasil yang berbeda yaitu tipe trauma yang paling

  4

  sering terjadi pada gigi sulung adalah fraktur enamel. Hasil ini serupa dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Bhayya DP dan Shyagali TR di India dan juga penelitian yang dilakukan oleh Granville-Garcia AF dkk. di Brazil. Kedua penelitian ini melaporkan fraktur mahkota gigi yang mengenai enamel adalah tipe trauma yang

  1,7 paling sering, lalu diikuti fraktur mahkota yang mengenai enamel dan dentin.

2.6 Etiologi dan Faktor Predisposisi Trauma Gigi Anterior pada Anak- anak

  Etiologi terjadinya trauma gigi yang paling umum adalah terjatuh, hal ini

  1,11-13

  dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Anak-anak dari 0-6 tahun sering terjatuh ketika berjalan, bermain, bersepeda atau akibat kegiatan olahraga sehingga

  11,18

  mengakibatkan trauma pada gigi sulung. Lokasi anak-anak sering terjatuh adalah

  1,7,18

  di rumah, sekolah, taman bermain. Trauma gigi juga dapat terjadi akibat

  1,11,16 kekerasan fisik, injuri yang disebabkan binatang atau kecelakaan lalu lintas.

  Salah satu faktor predisposisi trauma gigi anterior adalah faktor anatomi rongga mulut pasien seperti overjet yang lebih besar daripada 3mm, protrusi gigi anterior atas, inadequate lip coverage , anterior open bite dan hubungan molar mesial

  1,7,11 step . Kekurangan proteksi yang sesuai seperti mouthguard atau faceguard ketika

  melakukan kegiatan olahraga,anak yang hiperaktif, obesitas dan anak yang mengalami penyakit seperti Epilepsy, Cerebral Palsy juga merupakan faktor

  7,11,20 predisposisi yang dapat menambah risiko terjadinya trauma pada gigi anterior.

  Kondisi tertentu seperti ada karies gigi yang tinggi dan kebiasaan buruk seperti

  3 bernafas dari mulut juga merupakan faktor predisposisi trauma gigi anterior.

  Injuri iatrogenik terhadap gigi akibat prosedur pemberian anestesi umum juga merupakan faktor predisposisi yang dapat menambah risiko terjadinya trauma pada

  11

  gigi anterior. Trauma pada gigi dapat terjadi ketika prosedur endotracheal

  intubation yang merupakan prosedur dimana satu endotracheal tube akan

  dimasukkan ke dalam trachea pasien melalui mulut dengan bantuan

  21,22 laryngoscope (Gambar 2).

  23 Gambar 2. Endotracheal intubation Faktor predisposisi trauma gigi anterior yang lain adalah faktor jenis kelamin.

  Pada umumnya, laki-laki lebih cenderung mengalami trauma gigi dibandingkan

  16

  dengan perempuan. Menurut penelitian Bhayya DP dan Shyagali TR di India dan juga penelitian Bijella dkk. di Brazil, menunjukkan bahwa trauma gigi sulung lebih

  1,20

  banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Hasil penelitian tersebut ternyata tidak selalu benar, karena menurut beberapa penelitian yang lain, terdapat hasil distribusi trauma gigi sulung pada pasien laki-laki dan perempuan yang

  4,18,20

  tidak berbeda signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Ozen B dkk. di Turki mendapatkan hasil yang berbeda juga, yaitu trauma gigi lebih sering terjadi pada

  12

  anak-anak perempuan daripada laki-laki pada kelompok usia 2-7 tahun. Hasil berbeda pada beberapa penelitian ini mungkin disebabkan kegiatan yang dijalankan

  1,12 oleh pasien anak di tempat itu berbeda dengan tempat yang lain.

  Faktor usia juga sangat berpengaruh dalam terjadinya trauma gigi, frekuensi terjadinya trauma gigi berbeda seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan anak.Dalam kelompok anak berusia enam tahun kebawah, usia yang paling sering terjadi trauma gigi adalah usia 1-2 tahun, karena anak sering terjatuh pada usia ini. Frekuensi trauma gigi pada usia 4-5 tahun mengalami sedikit kenaikan, hal ini karena anak pada usia tersebut berpartisipasi dalam kegiatan olahraga dan menjadi lebih aktif.Pada anak yang lebih dewasa, frekuensi trauma gigi yang tertinggi terjadi pada usia 11-12 tahun, hal ini disebabkan karena anak-anak pada usia ini telah berpartisipasi dalam kegiatan olahraga tertentu dan mereka merasa percaya diri dengan kemampuan mereka sehingga mereka terdorong untuk menjadi lebih baik

  4 dalam kegiatan tersebut. Ini akan meningkatkan risiko terjadinya trauma gigi.

  Setelah usia 12 tahun, frekuensi trauma gigi menjadi semakin menurun, hal ini mungkin disebabkan karena mereka lebih mengerti cara untuk melindungi diri sendiri

  12

  dari terjadinya trauma gigi. Frekuensi trauma gigi paling rendah pada anak usia 18 tahun dibandingkan dengan anak yang berusia lebih muda karena kemungkinan mereka mulai kurang tertarik dalam kegiatan olahraga atau waktu untuk berolahraga

  4 telah berkurang(Gambar 3).

  4 Gambar 3. Distribusi Trauma Gigi Berdasarkan Usia

  Faktor predisposisi yang seterusnya adalah faktor sosial ekonomi. Menurut Hamilton dkk., anak-anak dari kelas sosial ekonomi yang rendah lebih cenderung

  20 mengalami trauma gigi dibandingkan dengan kelas sosial ekonomi yang tinggi.

2.7 Kerugian Akibat Trauma Gigi Sulung

  Trauma gigi sulung pada anak akan membawa dampak yang negatif kepada pasien dan orang tuanya karena dapat mengakibatkan rasa sakit dan mempengaruhi

  3,4

  estetik pasien sehingga menurunkan kualitas hidup mereka. Anak mungkin akan mengalami kesulitan ketika meminum minuman yang dingin maupun

  14

  hangat. Trauma gigi dapat menyebabkan trauma psikologi yang akan mengubah personalitas anak terutama pada anak yang mengalami perubahan dentofasial akibat trauma gigi karena mereka sering dipermalukan dan cenderung tidak diterima oleh teman-temannya sehingga kepercayaan diri mereka menurun dan tidak mau

  7,11-14 bergaul.

  Kehilangan fungsi pengunyahan dan fungsi fonetik akan terjadi jika gigi

  4

  sulung anterior anak mengalami kehilangan secara prematur. Nekrosis pulpa, diskolorisasi gigi dan mungkin disertai abses dapat terjadi setelah trauma pada gigi sulung, juga resorpsi internal dan resorpsi eksternal seperti ankilosis gigi sulung juga

  11,16 dapat terjadi.

  Trauma pada gigi sulung dapat mengganggu benih gigi permanen. Masalah pada gigi permanen yang dapat terjadi adalah hipoplasia enamel, hipokalsifikasi gigi, dilaserasi koronal dan akar gigi, impaksi gigi, erupsi gigi permanen yang terganggu

  2,4,16 bahkan resorpsi benih gigi permanen.

  Trauma gigi sulung yang terjadi pada pasien anak akan menambah beban kepada orang tua mereka karena perawatan untuk trauma pada gigi merupakan

  5 sesuatu yang sulit, mahal dan cenderung membutuhkan perawatan seumur hidup.

  Orang tua harus meminta izin tidak masuk kerja agar dapat membawa anaknya ke dokter gigi dan mereka mungkin akan berasa sedih terhadap trauma gigi yang dialami

  14 anaknya sehingga kualitas hidup mereka juga dapat terganggu.

2.8 Tindakan Orang Tua Terhadap Trauma Gigi

  Trauma pada gigi sulung dapat membawa banyak kerugian, tetapi ternyata masih ada banyak orang tua yang tidak membawa anaknya yang mengalami trauma

  2,6

  ke dokter gigi. Penelitian Oliveira LB dkk. di Brazil menunjukkan bahwa hanya terdapat enam orang pasien anak (7,1 %) yang mengalami trauma gigi telah menerima perawatan.Menurut studi epidemiologi, pada negara maju maupun pada negara berkembang, perawatan terhadap trauma gigi sering tidak dilakukan. Di Inggris, hanya 10 – 15% dari total pasien yang mengalami trauma gigi menerima perawatan, sedangkan di Finlandia, hanya 25% pasien telah menerima perawatan. Di Brazil, perawatan trauma gigi sering diabaikan.Kondisi ini mungkin disebabkan orang tua tidak tahu kerugian yang akan terjadi akibat trauma gigi, oleh karena itu edukasi harus diberikan kepada masyarakat agar masalah trauma pada gigi sulung ini

  6 tidak diabaikan sehingga perawatan yang akurat dapat diberikan.

2.9 Klasifikasi Trauma Gigi Menurut World Health Organization

  Menurut World Health Organization (WHO), trauma gigi secara garis besar diklasifikasikan menjadi empat tipe, yaitu kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa; kerusakan pada jaringan periodontal; kerusakan pada tulang pendukung; serta kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut. Masing-masing tipe trauma tersebut akan dibagi menjadi tipe yang lebih rinci lagi.

  11

  2,8

2.9.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa

  Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa meliputi tujuh tipe yaitu : 1.) Infraksi enamel (retak mahkota) adalah fraktur yang tidak sempurna pada enamel tanpa kehilangan struktur gigi.

  2.) Fraktur enamel (uncomplicated crown fracture)merupakan fraktur pada mahkota gigi yang hanya mengenai lapisan enamel saja. 3.) Fraktur enamel-dentin (uncomplicated crown fracture)adalah fraktur pada mahkota gigi yang mengenai enamel gigi dan dentin tanpa melibatkan pulpa. 4.)Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture)adalah fraktur yang mengenai enamel, dentin dan pulpa. 5.) Fraktur mahkota-akar yang tidak kompleks (uncomplicated crown-root

  

fracture )adalah fraktur yang melibatkan enamel, dentin, dan sementum tetapi tidak

melibatkan pulpa.

  6.) Fraktur mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root fracture )adalah fraktur yang melibatkan enamel, dentin, sementum, dan pulpa. 7.) Fraktur akar (root fracture)adalah fraktur yang melibatkan dentin, sementum, dan pulpa.

  Gambar 4. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa

  2

  2,8

2.9.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

  Kerusakan pada jaringan periodontal terbagi enam tipe, yaitu : 1.) Konkusio adalah trauma yang mengenai jaringan pendukung gigi yang menyebabkan gigi lebih sensitif terhadap tekanan dan perkusi tanpa adanya kegoyangan, perubahan posisi atau pendarahan pada daerah sulkular.

  2.) Subluksasi adalah kegoyangan gigi tanpa disertai perubahan posisi akibat trauma pada jaringan pendukung gigi. 3.) Luksasi ekstrusi merupakan pelepasan sebagian gigi keluar dari soketnya sehingga mahkota gigi terlihat lebih panjang. 4.) Luksasi lateral adalah perubahan letak gigi yang terjadi karena pergerakan gigi selain ke arah aksial, yaitu ke arah labial, palatal, ataupun lingual,hal ini menyebabkan kerusakan atau fraktur pada soket alveolar gigi tersebut.

  5.) Luksasi intrusi adalah pergerakan gigi ke dalam tulang alveolar, keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan atau fraktur soket alveolar sehingga mahkota gigi akan terlihat lebih pendek.

  6.) Avulsi adalah pergerakan seluruh gigi keluar dari soketnya.

  Gambar 5. Kerusakan pada jaringan periodontal

  2

  24 Kerusakan pada tulang pendukung meliputi delapan tipe, yaitu :

2.9.3 Kerusakan pada Tulang Pendukung

  1.) Kominusi soket alveolar rahang atas adalah hancurnya soket alveolar rahang atasbersamaan dengan adanyaluksasi intrusi atau luksasi lateral gigi. 2.) Kominusi soket alveolar rahang bawah adalah hancurnya soket alveolar rahang bawahbersamaan dengan adanyaluksasi intrusi atau luksasi lateral gigi. 3.) Fraktur dinding soket alveolar rahang atas adalah fraktur yang melibatkan tulang kortikal bagian labial atau lingual rahang atas. 4.) Fraktur dinding soket alveolar rahang bawah adalah fraktur yang melibatkan tulang kortikal bagian labial atau lingual rahang bawah. 5.) Fraktur prosesus alveolaris rahang atas adalah fraktur yang mengenai tulang kortikal labial dan lingual rahang atas, dengan atau tanpa melibatkan soket alveolaris gigi.

  6.) Fraktur prosesus alveolaris rahang bawah adalah fraktur yang mengenai tulang kortikal labial dan lingual rahang bawah, dengan atau tanpa melibatkan soket alveolaris gigi.

  7.) Fraktur rahang atas adalah fraktur yang melibatkan dasar rahang atas dan prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket gigi. 8.) Fraktur rahang bawah adalah fraktur yang melibatkan dasar rahang bawah dan prosesus alveolaris dengan atau tanpa melibatkan soket gigi.

  Gambar 6. Kerusakan pada tulang pendukung

  24

  25 Kerusakan pada gingiva atau jaringan lunak rongga mulut terdiri dari tiga tipe,

2.9.4 Kerusakan pada Gingiva atau Jaringan Lunak Rongga Mulut

  yaitu : 1.) Laserasi adalah suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan kaca. Luka tersebut berupa robeknya jaringan epitel dan subepitel.

  2.) Kontusio merupakan luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa disertai sobeknya daerah mukosa.

  3.) Abrasi adalah luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan atau goresan suatu benda sehingga terdapat permukaan berdarah atau lecet.

2.10 Pemeriksaan Pasien dan Diagnosis Trauma gigi

  Secara umum, hal-hal yang harus dilakukan pada pasien anak yang mengalami trauma gigi adalah anamnesis yang bertanya kepada pasien tentang riwayat kesehatan medis dan dental secara teliti, pemeriksaan klinis ekstraoral dan intraoral seperti palpasi, perkusi dan adanya mobiliti gigi serta pemeriksaan

  

8,24

  penunjang seperti pemeriksaan radiografi. Dalam proses menegakkan diagnosis, ada baiknya dokter gigi mencatat semua data yang berhubungan dengan penyakit anak dalam rekam medis yang nantinya berfungsi sebagai data untuk dokter gigi

  24,26 dalam melakukan perawatan selanjutnya dan juga untuk penggunaan medikolegal.

  Pada keadaan yang memungkinkan, sebaiknya foto pada regio gigi yang terkena

  26,27 trauma diambil untuk rekam medis.

  Sebelum memulai pemeriksaan, harus diingat bahwa manajemen perilaku pasien anak-anak yang kecil tidak mudah, ditambah lagi rasa sakit akibat dari terjadinya trauma gigi, hal ini akan menyebabkan pasien anak berasa lebih takut dan

  2

  gelisah terhadap perawatan gigi. Dokter gigi harus menenangkan dan mengontrol emosi pasien anak yang takut dahulu, lalu membersihkan muka dan rongga mulut dengan air atau larutan salin. Air atau deterjen ringan dapat digunakan untuk membersihkan luka pada jaringan lunak. Langkah ini dapat menenangkan pasien agar mereka merasa lebih nyaman dan ini akan sangat menguntungkan dalam

  27 pemeriksaan-pemeriksaan yang akan dilakukan nanti.

2.10.1 Pertimbangan Kondisi Darurat Medis

  Selain hanya fokus pada keadaan trauma gigi yang terjadi, dokter gigi harus memberikan perhatian terhadap kondisi darurat medis pasien terlebih dahulu. Status pasien kompromis medis tidak hanya mengganggu hasil perawatan gigi, tetapi juga akan mengakibatkan kondisi yang mengancam nyawa jika rujukan medis tidak dapat dilakukan dengan segera, hal ini terutama terjadi pada pasien yang mengalami trauma berat seperti trauma oleh karena kecelakaan lalu lintas. Klinisi harus mengingat bahwa status kompromis medis dapat disebabkan oleh trauma maupun oleh penyakit

  24 Status medis pasien dapat dievaluasi dengan melakukan pemeriksaan dan menanyakan riwayat kesehatan medis pasien, seperti penyakit sistemik, riwayat alergi, riwayat rawat inap belakangan ini dan apakah pernah terjadi kondisi tidak sadar, jika

  24,27

  ada berapa lama. Klinisi harus memastikan saluran pernafasan dan sirkulasi pasien tidak terganggu. Tanda-tanda vital yaitu tekanan darah, kadar nadi dan kadar

  24 nafas juga harus diperiksa.

  28 Tabel 3. Parameter tanda vital untuk anak-anak Usia Tekanan Darah Kadar Nadi Kadar Nafas (mmHg) (kali/menit) (kali/menit)

  

0-3 Bulan (65-85) / (45-55) 100-150 35-55

  (70-90) / (50-65) 90-120 30-45

  3-6 Bulan 6-12 Bulan (80-100) / (55-65) 80-120 25-40

1-3 Tahun (90-105) / (55-70) 70-110 20-30

  

3-6 Tahun (95-110) / (60-75) 65-110 20-25

6-12 Tahun (100-120) / (60-75) 60-95 14-22 >12 Tahun (110-135) / (65-85) 55-85 12-18

  Fragmen gigi atau gigi yang alvulsi mungkin akan teraspirasi sehingga menyebabkan obstruksi sebagian atau total pada saluran pernafasan. Tanda-tanda yang menunjukkan kemungkinan terjadinya aspirasi benda asing adalah batuk, sianosis, dispnea dan demam. Pasien yang diduga mengalami obstruksi saluran pernafasan sebagian harus dilakukan rujukan medis secepat mungkin agar pemeriksaan radiografi thorax dapat dilakukan secepat mungkin untuk melihat

  24 apakah telah terjadi aspirasi benda asing.

  Setelah kejadian traumatis, pasien mungkin akan mengalami syok yang umumnya disebabkan oleh hipovolemia akibat dari pendarahan yang berat. Tanda- tanda terjadinya syok adalah penurunan temperatur badan, warna kulit yang pucat, perspirasi, hipotensi, takikardia dan perubahan status mental. Kondisi pendarahan ini jarang terjadi pada fraktur wajah, tetapi jika terjadi hal tersebut merupakan kondisi

  24 yang berbahaya. Dalam mengevaluasi keadaan neurologis pasien pasca trauma, klinisi harus bertanya apakah pasien mengalami pingsan setelah trauma, pusing, sakit kepala, kejang, amnesia serta nausea dan mual, karena keadaan ini merupakan gejala-gejala

  24,27

  yang menunjukkan kemungkinan telah terjadinya traumatic brain injury. Pada pasien yang mempunyai kesulitan dalam komunikasi dan aktivitas motorik yang tidak normal, juga harus diduga telah terjadinya injuri pada otak. Rujukan medis harus dilakukan segera mungkin pada pasien yang diduga mengalami traumatic brain

  24 injury agar perawatan darurat medis dapat dilakukan.

  Pada pasien pasca trauma, jika ditemukan kondisi cairan serebrospinal yang jenih keluar dari hidung (rhinorrhea) atau keluar dari telinga (otorrhea), harus diduga telah terjadi fraktur tulang kraniofasial. Kondisi ini merupakan kondisi darurat dan

  24 rujukan medis harus dilakukan secepat mungkin.

  Biasanya, pemeriksaan kondisi medis yang teliti akan dilakukan oleh dokter umum, tetapi dokter gigi haruslah cukup waspada terhadap potensi masalah medis ini sehingga harus mempersiapkan dahulu rujukan medis yang tepat tanpa penundaan. Evaluasi trauma gigi yang telah terjadi pada pasien dapat dilakukan jika tidak

  

24

ditemukan kondisi medis yang berbahaya.

2.10.2 Pertimbangan Kondisi Darurat Dental

2.10.2.2 Riwayat Pasien

  Beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan trauma gigi yang telah terjadi pada pasien anak dapat ditanyakan kepada pasien dan orang tua pasien. Pertanyaan tersebut adalah dimana trauma gigi terjadi, kapan trauma gigi terjadi dan bagaimana

  16,24,27 trauma gigi terjadi.

  Klinisi dapat bertanya kepada pasien dan orang tua pasien bahwa dimana

  24

  trauma gigi tersebut terjadi untuk mengetahui lokasi kejadian trauma. Lokasi kejadian sangat penting dalam menentukan kemungkinan terjadinya kontaminasi bakteri terutama pada kasus trauma yang mempunyai luka pada jaringan lunak seperti laserasi dan abrasi pada jaringan lunak sehingga harus mempertimbangkan pemberian

  27,29,30 oleh terjatuh di taman permainan akan lebih terkontaminasi daripada terjatuh di rumah, karena bakteri banyak terdapat di tempat yang kotor, misalnya bakteri

  

Clostridium tetani banyak terdapat dari tanah, jika bakteri ini masuk ke dalam tubuh

  30 pasien melalui luka yang telah ada dapat mengakibatkan tetanus.

  Panjangnya rentang waktu antara terjadi trauma gigi sampai dibawa ke dokter gigi untuk melakukan perawatan gigi dapat diketahui dengan memberikan pertanyaan

  16,24

  kepada pasien mengenai kapan trauma gigi tersebut terjadi. Faktor waktu ini sangat penting dalam menentukan rencana perawatan dan prognosis pada trauma gigi

  24,27,29

  yang telah terjadi. Pada kasus luksasi gigi, prognosis akan menjadi buruk jika perawatan tertunda, hal ini disebabkan reposisi gigi yang luksasi akan menjadi

  24,29

  susah. Pada pasien anak yang lebih dewasa yang mengalami trauma avulsi pada gigi permanen muda, prognosis yang paling baik adalah langsung dilakukan reimplantasi gigi yang telah avulsi, sedangkan prognosis akan menjadi lebih buruk jika waktu gigi avulsi berada diluar soket alveolar itu lebih lama dan ditambah lagi cara penatalaksanaan gigi avulsi tidak benar seperti tidak menyimpan gigi tersebut

  8,27,29

  dalam medium yang sesuai. Durasi masa yang panjang diantara saat terjadi terpaparnya pulpa akibat trauma dan perawatan dental, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi atau nekrosis pulpa sehingga perawatan yang lebih invasif harus dilakukan, misalnya walaupun pada kasus pulpa yang terkena sangat sedikit yang pada awalnya cukup dengan perawatan direct pulp capping, tetapi karena perawatan gigi ditunda sehingga perawatan yang diindikasi adalah pulpotomi

  24 agar dapat menyingkirkan jaringan pulpa yang telah mengalami infeksi.

  Pertanyaan mengenai bagaimana trauma gigi terjadi akan sangat membantu dalam menentukan etiologi trauma pada gigi seperti trauma gigi disebabkan pasien terjatuh, mengalami kekerasan fisik, digigit binatang, kecelakaan

  1,11,16,24

  lalu lintas atau penyebab lain. Pasien yang digigit binatang mempunyai risiko

  30

  untuk terkena tetanus. Tetanus merupakan penyakit infeksi bakteri yang dapat mengakibatkan kondisi yang serius dan bahaya, bahkan dapat menyebabkan kematian,

  30,31

  oleh karena itu, profilaksis tetanus harus diberikan. Mekanisme terjadinya trauma dapat memprediksi injuri yang mungkin telah terjadi pada daerah tersebut dan menilai

  24,27,29

  keparahan injuri yang telah terjadi. Misalnya, trauma pada pipi mungkin akan menyebabkan fraktur zigoma, gangguan sendi temporomandibular (TMJ) atau fraktur

  24

  gigi pada daerah tersebut. Fraktur mahkota atau fraktur mahkota akar pada regio

  27,29

  premolar dan molar mungkin akan terjadi setelah terbentur pada dagu. Trauma yang disebabkan oleh terjatuh dapat menyebabkan fraktur tulang alveolar mandibular

  24 atau maksila.

  Pertanyaan lain yang dianjurkan adalah tentang keadaan oklusi gigi setelah trauma, jika pasien mengeluh bahwa mempunyai gangguan saat oklusi setelah terjadinya trauma, dapat menunjukkan bahwa telah terjadinya luksasi gigi, fraktur alveolar, fraktur rahang atau fraktur pada regio kondilar. Respon gigi terhadap stimulasi dingin dan panas juga dapat ditanyakan kepada pasien, jika pasien mengeluh bahwa giginya ngilu saat meminum air dingin atau panas, ini menunjukkan

  27,29

  bahwa kemungkinan telah terpaparnya dentin atau pulpa. Apakah immunisasi telah dilakukan dapat ditanyakan kepada pasien untuk dapat menentukan keperluan

  16,24 untuk memberikan profilaksis tetanus.

  Dokter gigi dapat menanyakan kepada pasien tentang pengalaman trauma gigi sebelumnya, karena jawaban ini dapat membantu menjelaskan hasil pemeriksaan radiografi yang tidak wajar seperti gigi yang seharusnya telah terjadi penutupan akar yang sempurna tetapi akar gigi tersebut masih dalam keadaan terbuka. Ini disebabkan karena jika telah terjadi trauma gigi sebelumnya, mungkin gigi tersebut telah

  16,29 mengalami nekrosis sehingga pertumbuhan dan pembentukan akar berhenti.

2.10.2.3 Pemeriksaan Klinis

  Pemeriksaan klinis yang mencakup pemeriksaan ekstraoral dan intraoral akan dilanjutkan dengan teliti.Pemeriksaan ekstraoral dapat dilakukan dengan observasi dan palpasi. Kejadian trauma sering disertai luka pada jaringan fasial. Akibat trauma yang terjadi pada pasien seperti asimetris wajah, profil wajah pasien menjadi datar atau perubahan tinggi dan lebar wajah dapat ditemukan dengan observasi. Perubahan dapat dilakukan terhadap skeletal fasial untuk membantu mendeteksi fraktur

  24,27 tulang.

  Pemeriksaan intraoral terbagi atas pemeriksaan jaringan lunak dan pemeriksaan jaringan keras. Observasi jaringan lunak dapat dilaksanakan saat dilakukan pemeriksaan intraoral untuk mengevaluasi tanda-tanda terjadinya laserasi atau luka tembus pada pasien. Klinisi juga harus melakukan pemeriksaan terhadap jaringan periodonsium untuk mendeteksi pendarahan yang mengindikasikan kemungkinan telah terjadi fraktur mahkota-akar, pergeseran gigi atau fraktur alveolar. Ekimosis di daerah sublingual menandakan bahwa fraktur mandibular mungkin telah

  24

  terjadi. Palpasi mukosa oral seperti lidah dan gingiva yang cedera sangat penting

  8,24

  untuk menemukan benda asing yang terpendam di jaringan lunak intraoral. Fraktur

  24 maksilaris dapat ditemui dengan palpasi segmen yang goyang dan edema wajah.

  Pemeriksaan jaringan keras intraoral pada kasus trauma gigi, harus diperhatikan tulang alveolar terutama pada bagian yang dekat dengan gigi yang mengalami trauma karena kemungkinan tulang alveolar di bagian tersebut telah fraktur. Fraktur tulang alveolar yang melalui mukosa dapat ditemui dengan cara observasi, sedangkan dengan memperhatikan hematoma dan palpasi akan dapat menemukan fraktur tulang alveolar yang ditutup dengan mukosa. Tanda-tanda fraktur tulang alveolar yang lain adalah sakit, maloklusi dan mobiliti segmen fraktur. Pada fraktur tulang alveolar harus dilakukan pemeriksaan radiografi untuk mengetahui

  24 tingkat keparahannya.

  Selama melakukan pemeriksaan gigi terhadap pasien yang mengalami trauma, harus memperhatikan hal-hal yang telah terjadi seperti kehilangan gigi, perubahan posisi gigi, mobiliti gigi, fraktur gigi dan respon gigi yang abnormal terhadap

  24,27

  perkusi. Evaluasi yang lebih lanjut harus dilakukan jika telah terjadinya kerusakan gigi akibat trauma untuk menentukan apakah trauma hanya berupa retak enamel atau

  24

  telah mengenai pulpa. Klinis harus mengingat bahwa enamel gigi sulung lebih tipis yaitu hanya sekitar 1 mm, oleh karena itu jika terjadi fraktur gigi melebihi ukuran ini,

  32 mengindikasikan bahwa telah terjadi fraktur gigi yang mengenai bagian dentin gigi. Pasien yang mengeluh giginya menjadi sensitif selama meminum air dingin atau selama menghirup udara dengan mulut, sedangkan pasien tidak mengalami kerusakan pada struktur gigi, harus diduga infraksi enamel telah terjadi. Menegakkan diagnosis infraksi enamel dapat dibantu dengan transilluminasi yang menggunakan cahaya fiber optik untuk melihat retak pada gigi dengan lebih jelas (Gambar 7). Sumber cahaya diletak di atas sulkus gingiva sejajar dengan permukaan gigi untuk

  24,26 menyinari mahkota gigi sehingga posisi retak dapat ditemui.

  Gambar 7. Retak gigi ditemukan oleh transilluminasi dengan

  24

  cahaya fiber optik Mobiliti gigi dapat diperiksa dengan cara menggerakkan gigi dengan menggunakan dua alat, biasanya yang digunakan adalah ujung pegangan kaca mulut

  (Gambar 8). Cara melakukan pemeriksaan adalah meletakkan salah satu alat pada permukaan fasial gigi dan satu lagi di permukaan palatal gigi, seterusnya gigi akan digerakkan ke semua arah secara horizontal. Hasil pemeriksaan dicatat berdasarkan derajat mobiliti masing-masing, “0” menandakan tidak ada mobiliti; “1” menandakan terdapat pergerakan horizontal kurang daripada 1 mm; “2” menandakan terdapat pergerakan horizontal lebih daripada 1 mm; sedangkan “3” menandakan terdapat

  24 pergerakan horizontal lebih daripada 1 mm dan dapat ditekan ke arah soket gigi.

  Pergerakan gigi ke arah aksial mengindikasikan bahwa kemungkinan telah terjadi

  29

  putusnya suplai pembuluh darah. Klinisi harus mampu membedakan apakah yang

  24

  goyang tersebut adalah gigi atau segmen tulang alveolar di sekitarnya. Fraktur

  29 tulang alveolar ditandai dengan terjadinya mobiliti beberapa gigi.

  Gambar 8. Pemeriksaan mobiliti gigi dengan cara menggerakkan gigi dengan menggunakan

  24

  dua alat Perkusi gigi dapat dimulai dengan penyentuhan gigi dengan jari, lalu diikuti dengan perkusi ringan dengan menggunakan ujung jari, jika pasien tidak merasa sakit maka tes perkusi dapat dilanjutkan dengan menggunakan ujung pegangan kaca mulut. Gigi yang sensitif terhadap tes perkusi merupakan tanda telah terjadinya kerusakan ligamen periodontal yang merupakan tanda dari fraktur tulang alveolar, fraktur akar

  24 gigi ataupun nekrosis pulpa disertai abses periradikular akut.

  Vitalitas pulpa tergantung pada integritas suplai darah ke pulpa, sedangkan hasil tes vitalitas pulpa tergantung pada kesehatan dan integritas nervus sensori intrapulpal. Pulpa dianggap mempunyai vaskularisasi yang sempurna jika nervus tersebut dapat distimulasi dengan termal atau listrik, setelah terjadinya trauma pada daerah oral gigi-geligi di regio tersebut harus dilakukan tes vitalitas pulpa sesegera

  24,26

  mungkin. Tes vitalitas pulpa akan diulang pada saat follow up untuk memastikan kondisi pulpa tidak menjadi lebih buruk atau menghindari hasil false negatif yang mungkin terjadi saat tes vitalitas pulpa yang pertama kali dilakukan sebelumnya. Kondisi ini karena gigi mungkin akan mengalami parastesi sementara setelah terkena trauma sehingga didapati hasil false negatif dari tes vitalitas pulpa. Pada kasus trauma gigi, terutama gigi yang mengalami pendarahan atau cedera pada jaringan lunak, tes

  26

  vitalitas pulpa disarankan ditunda. Dalam penentuan vitalitas pulpa gigi yang benar harus dilakukan follow up dalam jangka waktu yang direncanakan dan dibantu

  24,26

  dengan pemeriksaan radiografi. Gigi dapat dikatakan masih vital jika ditemukan

  26

  terjadinya kalsifikasi saluran akar dari hasil pemeriksaan radiografi. Tes vitalitas

  24 pulpa yang dapat dilakukan adalah tes termal dan tes listrik.

2.10.2.4 Pemeriksaan Radiografi

  Pemeriksaan radiografi harus dilakukan pada gigi yang mengalami trauma

  16,27

  untuk mengevaluasi keparahan injuri gigi. Unsur-unsur dari hasil rontgen foto yang harus diperhatikan oleh klinisi pada kasus trauma gigi sulung adalah status pembentukan akar, kemungkinan terjadinya fraktur mahkota atau akar, jarak antara lokasi fraktur pada mahkota dengan pulpa, abnormalitas pulpa seperti kalsifikasi pulpa atau resorpsi internal, kemungkinan terjadinya fraktur intraalveolar akar, kemungkinan fraktur tulang alveolar, keparahan luksasi, ketebalan ligamen periodontal, tanda resorpsi akar dan hubungan antara gigi sulung dengan benih gigi

  2,24,26

  permanen di bawahnya. Teknik oklusal lebih baik untuk melihat luksasi lateral, fraktur akar pada bagian tengah dan apikal, serta fraktur tulang alveolar. Teknik periapikal dapat digunakan untuk melihat kondisi pergeseran gigi dan juga fraktur

  24,26,27 akar pada bagian servikal.

  Setiap gigi yang terkena trauma harus dilakukan rontgen foto sekurang-

  26

  kurangnya satu kali. Menurut beberapa studi klinis, rontgen foto bahkan harus dilakukan beberapa kali pada regio trauma untuk mendeteksi pergeseran gigi dan

  24,27

  melihat fraktur akar dengan lebih jelas. Pemeriksaan radiografi dengan menggunakan teknik oklusal sebanyak satu kali dan teknik periapikal sebanyak tiga kali dikatakan cukup untuk melihat keparahan trauma yang terjadi pada regio

  27

  insisivus. Radiografi panoramik harus dilakukan jika diduga fraktur sendi

  26 temporomandibular (TMJ) telah terjadi.

  Benda asing yang berada dalam otot orbikularis oris tidak mungkin dapat lunak harus dilakukan ketika terjadi luka robek pada bibir untuk mendeteksi fragmen

  27 gigi atau benda asing.

2.11Diagnosis Trauma Gigi

  Fraktur di bawah margin gingiva (-

  Fraktur mengenai dentin (-)

  Fraktur mengenai pulpa (-) Fraktur mengenai pulpa (+)

  Mobiliti (+) Mobiliti (-) Fraktur mengenai dentin (+)

  Mahkota- Akar yang Kompleks Mobiliti (+) Mobiliti (-)

  Mahkota-Akar yang Tidak Kompleks Fraktur

  Enamel- Dentin - Pulpa Fraktur

  

Fraktur

Enamel-

Dentin

Fraktur

  Infraksi Enamel Fraktur Enamel

  Fraktur mengenai pulpa (-)

  ) Kehilangan struktur gigi (-) Kehilangan struktur gigi (+) Fraktur mengenai pulpa (+)

  Berdasarkan semua hasil pemeriksaan klinis dan radiografi yang telah didapat, maka diagnosis dan rencana perawatan dapat dilakukan dengan benar.

  27 Diagnosis untuk trauma gigi dapat dibantu dengan diagram di bawah.

  Fraktur Alveolar Avulsi Fraktur (+)

  Luksasi Ekstrusi Fraktur Akar

  Luksasi Intrusi Luksasi Lateral

  Mahkota- Akar Konkusio Subluksasi

  (+) Fraktur Mahkota Fraktur

  Retrusi Intrusi Fraktur di bawah margin gingiva

  Fraktur akar dari hasil rontgen foto (-) Protrusi /

  1 Gigi Fraktur akar dari hasil rontgen foto (+)

  33 Trauma Gigi Sulung Gigi keluar seluruhnya dari soket gigi Pergeseran (+) Pergeseran (-) Beberapa gigi bergerak saat dipalpasi

  Gambar 9. Diagram diagnosis trauma gigi

  Perkusi (+ Sakit ) Perkusi (- Sakit )

2.12Pertimbangan Khusus untuk Anak-anak.

  Prinsip pemeriksaan pasien anak adalah sama pada orang dewasa, tetapi terdapat beberapa pertimbangan khusus yang harus diperhatikan pada pasien anak. Saat mengevaluasi keparahan trauma gigi sulung, hal yang paling penting untuk dilakukan adalah mengevaluasi kerusakan benih gigi permanen yang mungkin telah terjadi akibat trauma. Klinisi juga harus memperhatikan apakah trauma pada anak itu

  24 merupakan akibat kekerasan pada anak.

  Orang tua atau wali anak sebaiknya harus berada di samping anak selama dilakukan perawatan karena selain untuk mendapatkan izin untuk melakukan perawatan hal tersebut juga akan memberikan dukungan psikologi kepada pasien anak selama menerima perawatan.Gigi insisivus sulung lebih mudah mengalami kegoyangan setelah trauma karena tulang alveolar anak tidak sekuat tulang alveolar orang yang lebih dewasa, ditambah lagi resorpsi gigi sulung secara fisiologis yang mengurangi rasio mahkota-akar sehingga gigi akan goyang atau mengalami alvulsi walaupun hanya mengalami trauma yang ringan. Kondisi ini sangat bergantung pada

  24 usia pasien anak.

  Anak kecil pada umumnya mempunyai rahang yang lebih kecil sehingga klinisi harus mempertimbangkan ukuran film yang digunakan. Pada saat radiografi periapikal dilakukan, dapat digunakan film ukuran 0 yaitu film yang kecil untuk

  34

  pasien anak (Gambar 10). Pasien anak yang tidak kooperatif dapat dilakukan radiografi ekstraoral dengan menggunakan film oklusal (Gambar 11). Kerjasama

  24 orang tua untuk mendukung pasien anak akan sangat membantu (Gambar 12). Gambar 10. Ukuran film yang bervariasi yang dapat digunakan.

  Film ukuran 0 dapat digunakan pada pasien anak

  34

  yang mempunyai rahang yang kecil Gambar 11. Radiografi ekstraoral Gambar 12. Kerjasama orang tua saat dengan menggunakan melakukan rontgen foto

  24

  24

  film oklusal terhadap pasien anak

2.13 Perawatan Trauma Gigi

  Rencana perawatan untuk trauma gigi sulung harus dilakukan berdasarkan beberapa pertimbangan, seperti keparahan injuri yang telah terjadi, kemampuan

  2,8 kooperatif, keadaan oklusi, kondisi kesehatan dan pertumbuhan pasien anak.

  Prinsip rencana perawatan adalah menghindari segala tindakan yang dapat merusak

  2,7,8 atau memperparah kerusakan yang telah terjadi pada benih gigi permanen.

  2.13.1 Kerusakan pada Jaringan Keras Gigi dan Pulpa 8,25

  Infraksi enamel tidak membutuhkan perawatan. Perawatan menghaluskan struktur gigi yang kasar dapat dilakukan pada kasus fraktur enamel saja, tetapi jika terjadi kehilangan struktur enamel yang banyak, gigi dapat direstorasi dengan resin

  8,24,25

  komposit. Pada kasus fraktur enamel-dentin, jika fragmen gigi terutama fragmen gigi yang besar masih dalam kondisi yang baik dan dapat diadaptasi ke gigi dengan

  24,25 akurat, perawatan yang akan dilakukan adalah melekatkan kembali fragmen gigi.

  Perawatan lain yang dapat dilakukan adalah merestorasi struktur gigi yang hilang

  8,16,24 dengan menggunakan bahan seperti glass ionomer cement dan resin komposit.

  Tidak ada kesepakatan yang pasti untuk penatalaksanaan fraktur mahkota

  24

  yang kompleks. Perawatan yang dipilih harus berdasarkan kondisi pasien dan

  25

  bertujuan untuk mempertahankan vitalitas pulpa. Perawatan yang dapat dilakukan

  8,24 adalah direct pulp capping, pulpotomi, pulpektomi dan ekstraksi.

  Perawatan untuk fraktur mahkota-akar yang kompleks maupun tidak kompleks tergantung pada lokasi fraktur. Gigi akan dilakukan restorasi jika fraktur hanya melibat sebagian kecil dari akar gigi dan fragmen yang tertinggal dalam soket gigi cukup stabil. Pada kasus pulpa belum terpapar, gigi tersebut akan dirawat seperti fraktur enamel-dentin. Gigi yang mengalami fraktur mahkota-akar dengan pulpa yang terpapar akan dilakukan perawatan endodontik jika gigi tersebut masih dapat

  25 direstorasi, sedangkan untuk gigi tidak dapat direstorasi akan dilakukan pencabutan.

  Pada kasus fraktur akar, jika fragmen koronal tidak mengalami pergeseran maka perawatan tidak diperlukan, tetapi jika fragmen koronal mengalami pergeseran perawatan yang dapat dilakukan adalah repositioning dan splinting. Perawatan alternatif adalah ekstraksi fragmen koronal sedangkan fragmen apikal akan

  2 ditinggalkan di dalam soket gigi.

  2.13.2 Kerusakan pada Jaringan Periodontal

  Konkusio dan subluksasi tidak memerlukan perawatan, cukup dengan hanya

  2

  melakukan observasi dan follow up. Perawatan gigi luksasi ekstrusi tergantung pada

  Ekstrusi minor, yaitu ekstrusi kurang daripada 3mm pada gigi sulung yang masih imatur, dapat dilakukan repositioning atau tidak melakukan tindakan pada gigi tersebut agar reposisi spontan dapat terjadi. Gigi akan dicabut jika terjadi ekstrusi atau mobiliti yang parah, sudah hampir waktunya gigi sulung tanggal, pasien anak

  2,8 tidak dapat kooperatif atau gigi sulung tersebut telah terbentuk sempurna.

  Pada kasus trauma luksasi lateral yang tidak terjadi gangguan oklusal gigi akan dibiarkan agar reposisi spontan dapat terjadi; pada kasus terdapat gangguan oklusal gigi yang minor akan dilakukan grinding; sedangkan pada kasus luksasi lateral yang terjadi gangguan oklusal gigi yang lebih parah akan dilakukan reposisi. Reposisi gigi dapat dilakukan setelah pemberian anestesi lokal. Gigi akan diekstraksi jika terjadi pergeseran mahkota gigi ke arah labial yang parah atau sudah hampir

  2,8

  waktunya gigi sulung tanggal. Risiko terjadinya nekrosis pulpa lebih tinggi pada gigi sulung yang memerlukan repositioning dibandingkan dengan gigi yang dibiarkan

  8 untuk reposisi spontan.

  Gigi yang mengalami trauma luksasi intrusi akan dibiarkan untuk reposisi spontan jika apeks gigi bergeser ke arah labial atau keluar dari plat tulang labial, tetapi jika apeks gigi bergeser ke arah benih gigi permanen maka gigi akan diekstraksi.Pada kasus gigi sulung yang avulsi tidak dilakukan replantasi karena

  2,8 berpotensi merusak benih gigi permanen.