Keragaan Beberapa Varietas Pak Choi (Brassicarapa L.ssp.Chinensis (L.)) pada Konsentrasi Larutan Hara Yang Berbeda dengan Metode Hidroponik Terapung

  

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Pak Choi

  Menurut USDA (2013), klasifikasi tanaman pak choi, sebagai berikut: Kingdom: Plantae; Subkingdom: Tracheobionta; Subdivisi: Spermatophyta; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Dicotyledonae; Subkelas: Dilleniidae; Ordo: Capparales; Famili: Brassicaceae; Genus: Brassica; Spesies: Brassica rapa L. ssp. chinensis (L.)

  Daun tanaman pak choi bertangkai, berbentuk agak oval, berwarna hijau tua dan mengkilap, tidak membentuk kepala, tumbuh agak tegak atau setengah mendatar, daunnya, berwarna putih atau hijau tua, gemuk dan berdaging, tanaman ini tingginya 15-30 cm. Bunganya berwarna kuning pucat. Tanaman ini ditanam dengan benih langsung atau dipindah-tanam dengan kerapatan tinggi, umumnya sekitar 20-25

  2

  tanaman/m , dan kultivar kerdil ditanam dua kali lebih rapat (Rubatzky and Yamaguchi, 1998).

  Menurut Thompson and Kelly (1957), ciri-ciri tanaman pak choi adalah daunnya lebih pendek daripada daun petsai dengan permukaan daun halus dan tangkai berdaging tebal pada pangkalnya. Helai daun membulat seperti sendok sehingga sering disebut sawi sendok, bentuk daun oval, berwarna hijau cerah atau hijau keputihan pada pak choi putih. Tabel 1. Kandungan gizi per 100 gram pak choi segar

  Zat gizi %AKG

  • Energi 13 kal
  • Lemak 2 kal

  Total Lemak 0 g

  0 % Lemak Jenuh 0 g 0 %

  Lemak Trans

  • Kolesterol 0 g

  0 %

  Sodium 65 g

  3 %

  Total Karbohidrat 2 g 1 %

  Serat Pangan 1 g 4 %

  • Gula 1 g

  Vitamin A

  89 %

  Vitamin C

  75 %

  Kalsium

  11 %

  Zat Besi

  4 %

  Sumber: Nutrition Data (2013)

  Dari mulai pembibitan, pak choi membutuhkan waktu 40-80 hari hingga matang panen. Pemanenan dilakukan dengan cara dipetik menggunakan tangan atau memotong bagian tajuk tepat di atas permukaan tanah. Daun-daun dan akar yang rusak dibuang, dan hasil panen dikemas (Dimson, 2001).

  Syarat Tumbuh

  Kebanyakan dari varietas pak choi menghendaki suhu yang dingin untuk

  o

  pertumbuhannya, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 15-20

  C. Tetapi ada beberapa varietas yang dapat beradaptasi pada suhu yang lebih tinggi (Elzebroek and Wind, 2008). Tanaman pak choi umumnya dibudidayakan di dataran tinggi dengan ketinggian 1000 m dpl, beriklim sejuk dan lembab. Kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan tanaman ini adalah 6 - 7 (Rukmana 1994).

  Varietas

  Menurut Rubatzky and Yamaguchi (1998) keragaman morfologis dan periode kematangan cukup besar pada berbagai varietas pak choi, hal itu terlihat dari bentuk warna daun mulai dari hijau pudar hingga hijau tua. Perbedaan ini juga terlihat pada umur panen dan daya adaptasi dari tiap varietas.

  Hasil penelitian Dimson (2001) menyebutkan di Arizona varietas pak choi yang banyak ditanam adalah ‘Joi Choy’. Varietas ini dipilih karena memiliki karakteristik warna daun hijau tua dan batang putih bersih yang digemari oleh masyarakat dan memiliki daya adaptasi yang luas.

  Di Indonesia, pak choi yang tersedia di pasaran umumnya memiliki daya adaptasi yang luas (dapat ditanam di dataran rendah sampai tinggi) dan memiliki

  Hidroponik

  Hidroponik (hydroponic) berasal dari kata hidro yang berarti air dan ponus yang berarti daya. Dengan demikian, hidroponik memiliki arti memberdayakan air.

  Hidroponik juga didefinisikan sebagai soilless culture atau budidaya tanaman tanpa media tanah. Metode bercocok tanam secara hidroponik ini berbeda dengan metode bercocok tanam didalam rumah kaca (greenhouse), meskipun banyak budidaya hidroponik dilakukan didalam rumah kaca. Penggunaan rumah kaca dalam sistem hidroponik lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor tertentu seperti ekosistem yang lebih mudah dikendalikan dan keterbatasan lahan. Adapun teknik hidroponik terdiri dari: NFT (Nutrient Film Technic), Ebb and Flow, Floating hydroponic,

  

Aeroponic , DFT (Deep Flow Technic ), dan DFT plus Aerator

(Buyung and Silalahi, 2012).

  Hidroponik awalnya ditujukan untuk pertumbuhan tanaman dalam sistem air, tetapi sekarang mencakup semua sistem yang menggunakan larutan hara dengan atau tanpa penambahan media inert (pasir, kerikil, rockwool, vermikulit) untuk dukungan mekanis. Terdapat empat sistem yang berbeda dalam hidroponik, yaitu kultur pasir, sistem terbuka agregat, teknik selaput hara dan sistem hidroponik mengapung. Pada sistem terbuka agregat, bibit dipindah tanamkan ke bak-bak atau kantung-kantung plastik yang diisi dengan substrat yang relatif inert dan diairi secara individu dengan larutan hara, menggunakan sistem tetes. Media dapat disterilkan kembali dengan uap (Harjadi, 1989).

  Menurut Nelson (1978), pemilihan media tanam yang baik didasarkan pada empat kriteria sebagai berikut : (1) dapat menjadi tempat penyimpanan hara untuk tidak menghalangi terjadinya pertukaran udara antara akar dengan atmosfer di atas media dan (4) mempunyai kemampuan daya dukung mekanis untuk tanaman.

  Sayuran daun hidroponik biasanya dipanen bersama dengan akarnya. Untuk pengemasan akar yang terlalu panjang dirapikan atau dililit pada akar yang lebih pendek. Pemanenan tanaman dengan akar yang masih melekat dapat menjaga daya simpan lebih lama, tanaman tetap segar hingga 2 sampai 4 minggu jika disimpan pada suhu yang sangat rendah dan kelembaban yang tinggi. Dengan teknologi budidaya tanpa tanah ini, tanaman lebih bersih dan tidak perlu dicuci lagi (KCES, 2012).

  Metode Terapung

  Sistem hidroponik terapung merupakan yang paling populer, sistem hidroponik lainnya bahkan belum dilaporkan hingga tahun 1991. Sistem terapung ini menggunakan styrofoam yang mengapung di atas larutan hara dengan terdapat lubang pada styrofoam sebagai tempat peletakan tanaman. Sistem hidroponik ini dapat bekerja dengan baik untuk tanaman berhari pendek dan berakar dangkal seperti selada dan sawi, dimana tanaman-tanaman tersebut dapat tumbuh dengan baik pada kondisi kelembaban yang tinggi pada zona perakarannya (Tyson, et al. 2010).

  Pada hidroponik terapung akar tanaman direndam dalam air yang telah mengandung larutan hara yang dibutuhkan tanaman. Pergantian larutah hara untuk sayuran daun dilakukan hanya pada tiap pergantian tanaman, umumnya 30-35 hari (Resh, 2004).

  Kendala utama dalam metode hidroponik terapung ini adalah terendamnya berkurang. Untuk mengatasi ketersediaan oksigen ini dapat dilakukan dengan cara penggunaan aerator.

  Menurut Hanum (2008) keuntungan dari metode hidroponik terapung ini adalah:

  1. Jika aliran listrik mati selama seharipun, pertumbuhan tanaman tidak terpengaruh

  2. Pemakaian listrik sangat sedikit hanya untuk menjalankan pompa pada saat mengisi air ke kolam dan menjalankan aerator

3. Perawatan instalasinya relatif mudah dan murah karena tidak memerlukan pompa air khusus, timer, selang polyethylene, dan lain-lain.

  Sedangkan kekurangannya adalah membutuhkan biaya awal yang cukup tinggi untuk membuat kolam penanaman, dan kemungkinan kebocoran yang juga besar.

  Larutan Hara

  Tanaman membutuhkan elemen-elemen penting untuk menyokong pertumbuhan dan perkembangannya. Elemen-elemen tersebut antara lain: hara makro nitrogen (N), fosfor (P), potasium (K), magnesium (Mg), kalsium (Ca), sulfur (S), dan hara mikro besi (Fe), mangan (Mn), boron (B), tembaga (Cu), seng (Zn), molibdenum (Mo), dan klorin (Cl). Sebagai tambahan, hidrogen (H), oksigen (O

  2 ),

  dan karbon (C) yang merupakan hara esensial yang terdapat di udara dan air. Hara makro dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan dengan hara mikro (Resh, 2004). Dalam sistem hidroponik, unsur-unsur hara tersebut ditambahkan dalam bentuk pupuk bersamaan dengan air.

  Menurut Sutiyoso (2003), bahan kimia untuk pupuk tanaman hidroponik 1.

  Kemurnian dan daya larut tinggi dan tidak ada endapan yang akan menyumbat sistem irigasi

2. Memiliki proporsi tertentu sesuai kebutuhan jenis tanaman, fase pertumbuhan dan sasaran produksi.

  Larutan hara memiliki tiga hal utama yang harus diperhatikan yaitu komposisi, pH dan EC. Kualitas larutan hara sangat ditentukan oleh suhu larutan, pH larutan dan konduktivitas listrik (EC). Pada saat suhu larutan tinggi, jumlah oksigen yang terkandung dalam larutan akan menurun cepat (Morgan, 2000). Soepardi (1983) menambahkan pH merupakan hal yang harus diperhatikan karena berhubungan dengan mudah tidaknya Ca dan Mg dipertukarkan, kelarutan alumunium dan unsur-unsur mikro, ketersediaan fosfor dan kegiatan jasad mikro.

  Selain pH, faktor lain yang mempengaruhi kualitas larutan hara, yaitu kepekatan larutan yang dapat diketahui dengan mengukur kemampuan larutan untuk menghantarkan listrik yang terkandung di dalam larutan ke akar tanaman. Konduktivitas listrik (electrical conductivity) merupakan alat pengukur kadar garam dalam larutan hara. Konduktivitas listrik memberi indikasi mengenai larutan hara yang terkandung pada larutan dan yang diserap oleh suatu tanaman. EC meter hanya dapat mengukur jumlah total garam terlarut, tetapi tidak dapat membedakan antara garam-garam yang berada di dalam larutan. Perubahan nilai konduktivitas listrik dipengaruhi oleh evaporasi dari larutan hara, transpirasi tanaman dan laju absorbsi ion hara mineral oleh akar (Kristianti, 1997).