Parenting Stres pada Orang Tua dalam Merawat Anak Tunagrahita di SLB ABC Taman Pendidikan Islam (TPI) Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Parenting stress
2.1.1. Definisi stres
Stres merupakan suatu persepsi atau pengalaman individu terhadap
perubahan yang berasal dari stressor yang terlihat sebagai ancaman (Potter &
Perry, 2005; National Safety Council, 2003). Stressor merupakan kebutuhan
fisiologis, psikologis, sosial, lingkungan, perkembangan, spiritual, atau kultural
yang tidak terpenuhi baik berasal dari dalam diri individu atau di luar diri individu
(Potter & Perry, 2005). Lestari (2014) menyatakan bahwa stres dalam psikologi
stres berarti sebagai suatu proses yang dijalani seseorang ketika berinteraksi
dengan lingkungannya. Cronin dan Becher (2015) berpendapat bahwa stres adalah
pengalaman seseorang yang secara umum bersifat negatif atau tidak disenangi
yang terjadi dari tuntutan lingkungan. Lazarus (1976 dalam Nasir & Muhith,
2011) menyatakan bahwa stres bersifat individual. Maka dapat disimpulkan
bahwa stres adalah suatu pengalaman yang menekan diri individu terhadap
perubahan lingkungan yang tidak disenangi atau ketidakmampuan untuk
memenuhi tuntutan yang ada.
2.1.2. Jenis-jenis stres
Stres memiliki dua jenis, yaitu stres baik dan stres buruk (National Safety

Council, 2003; Nasir & Muhith, 2011). Stres baik disebut juga eustres apabila
seseorang mencoba memenuhi tuntutan dengan sesuatu yang positif sehingga
berdampak baik dan menjadi situasi menyenangkan serta termotivasi. Sedangkan

8
Universitas Sumatera Utara

9

stres buruk atau distress apabila seseorang merespon suatu tuntutan dengan
sebuah ancaman sehingga mengakibatkan marah, tegang, bingung, cemas, dan
merasa bersalah. Distress dapat berupa akut dan kronik. Distress akut memiliki
sumber stres yang cukup kuat dan dapat hilang dengan cepat, sedangkan distress
kronis terjadi akibat sumber stres yang tidak terlalu kuat dan dapat terjadi selama
berminggu-minggu, berbulan-bulan, dan bertahun-tahun.
Nasir dan Muhith (2011) menerangkan bahwa stres juga terbagi menjadi 4
jenis, yaitu frustasi, konflik, perubahan, dan tekanan. Frustasi ialah perasaan
sesorang yang terhambat untuk mencapai suatu jalan yang akan dilalui. Konflik
ialah kondisi pada dua atau lebih perilaku yang saling bertentangan di mana kedua
perilaku saling memberatkan atau butuh diwujudkan. Perubahan yaitu kondisi

yang diterima tidak semestinya sehingga membutuhkan penyesuaian. Tekanan
yaitu sebuah harapan atau tuntutan besar pada seseorang untuk melakukan
perilaku tertentu.
2.1.3. Definisi parenting stress
Deater-Deckard (2004 dalam lestari, 2014) menyatakan bahwa parenting
stress merupakan serangkaian proses yang membawa pada kondisi psikologis
yang tidak disukai dan reaksi psikologis yang muncul dijadikan sebagai upaya
beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua. Menurut Abidin (1995
dalam Ahern, 2004) parenting stress merupakan sebagai kecemasan dan
ketegangan yang melampaui batas dan secara khusus berhubungan dengan peran
orang tua dan interaksi antara orang tua dengan anak.

Universitas Sumatera Utara

10

Model stres pengasuhan Abidin ( 1982 dalam Ahern, 2004) mengemukakan
bahwa stres menjadi alasan kearah tidak berfungsinya pengasuhan orang tua
terhadap anak, sehingga intinya menjelaskan pada ketidaksesuaian respon orang
tua dalam menanggapi konflik dengan anak-anak mereka. parenting stress dapat

terjadi hanya dalam memenuhi kebutuhan peran sebagai orang tua terhadap anak.
Akan tetapi parenting stress yang dialami orang tua juga dapat dikarenakan
kehidupan sosial dan lingkungan orang tua, tanggung jawab sebagai orang tua,
dan kehidupan sehari-hari (Cronin & Becher, 2015). Maka dapat dikatakan bahwa
parenting stress adalah situasi penuh tekanan dalam tugas mengasuh anak dan
beradaptasi dengan tuntutan peran sebagai orang tua.
2.1.4. Penyebab dan akibat parenting stress
Penyebab dan akibat parenting stressmerupakan hubungan yang berkaitan.
Pendekatan untuk melihat penyebab dan akibat parenting stress dapat dilihat dari
dua pendekatan yang utama, yaitu teori P-C-R (parent- child- relationship) dan
teori daily hassles(Lestari, 2012). Teori P-C-R menegaskan bahwa parenting
stress bersumber dari ranah orang tua, ranah anak, dan ranah hubungan orang tuaanak. Ranah orang tua (parent) yaitu segala aspek parenting stress yang muncul
dari pihak orang tua. Ranah anak (child) yaitu segala aspek parenting stress yang
muncul dari perilaku anak. Ranah hubungan orang tua-anak (relationship) yaitu
segala aspek parenting stress yang bersumber dari hubungan orang tua-anak.
Ranah pada orang tua yang dapat memicu parenting stress,misalnya mudah
mengalami

simptom


depresi,

kelekatan

terhadap

anak,kekakuan

dalam

menjalankan peran orang tua, merasa tidak kompeten,terisolasi sosial, hubungan

Universitas Sumatera Utara

11

dengan pasangan yang kurang harmonis, dankesehatan yang buruk. Sebaliknya
ranah anak juga dapat memicuparenting stress, misalnya kemampuan beradaptasi
anak yang rendah,kurang penerimaan terhadap orang tua, suka menuntut atau
menyusahkan,suasana hati yang buruk, mengalami kekacauan pikiran, dan

kurangmemiliki kemampuan untuk memperkuat orang tua. Ranah relasiorang tuaanak yang memicu parenting stress adalah derajat konflik yangmuncul dalam
interaksi orang tua-anak (Lestari 2012).
Lestari (2012) menegaskan bahwa ketiga ranah parenting stress tersebut
pada akhirnya akan menyebabkan penurunan kualitas dan efektivitas perilaku
pengasuhan oleh orang tua. Penurunan kualitas pengasuhan ini pada akhirnya
akan meningkatkan problem emosi dan perilaku anak, misalnya perilaku agresi,
pembangkangan, kecemasan, dan kesedihan yang kronis. Dengan demikian
pendekatan P-C-R memperlihatkan adanya saling mempengaruhi antara orang tua
dan anak atau disebut dua arah. Teori P-C-R diperluas dan dilengkapi oleh teori
daily hassles, yaitu terdapat juga parenting stress yang bersifat stres sehari-hari
atau mingguan sehingga tidak sampai menimbulkan gangguan psikologis (Lestari
2012).
2.1.5. Aspek – aspek parenting stress
Model ini tentang pengasuhan orang tua yang dicerminkan dalam aspekaspek teori Abidin (dalam Abidin, 1989; Ahern, 2004; ) meliputi:
a.

The parent distress (distress orang tua)

parenting stress disini menunjukkan distress orang tua sebagai sebuah
fungsi dalam memecahkan permasalahan yang secara langsung dihubungkan


Universitas Sumatera Utara

12

dengan peran orang tua dalam pengasuhan anak. Tingkat parenting stress ini
berhubungan dengan karakteristik individu yang mengalami gangguan. Beberapa
indikator yang menunjukkan distress orang tua ialah feelings of competence,
social isolation, restriction imposed by parent role, relationships with spouse,
health of parent, dan parent depression.
Feelings of competence (perasaan dari memiliki kemampuan), yaitu orang
tua diliputi oleh tuntutan dari perannya dan kekurangan perasaan akan
kemampuannya dalam merawat anak. Hal ini dihubungkan dengan kurangnya
pengetahuan orang tua dalam hal perkembangan anak dan keterampilan
manajemen anak yang sesuai. Selanjutnya, social isolation (perasaan isolasi
sosial), yaitu orang tua merasa terisolasi secara sosial dan ketidakhadiran
dukungan emosional dari teman sehingga meningkatkan kemungkinan tidak
berfungsinya pengasuhan orang tua dalam bentuk mengabaikan anaknya.
Restriction imposed by parent role (adanya pembatasan pada kebebasan
pribadi orang tua), yaitu orang tua melihat dirinya sebagai hal yang dikendalikan

dan yang dikuasai oleh kebutuhan dan permintaan anaknya. Berhubungan dengan
hilangnya penghargaan terhadap identitas diri yang sering diekspresikan.
Seringkali, adanya kekecewaan dan kemarahan yang kuat yang dihasilkan oleh
frustasinya. Kemudian relationships with spouse (hubungan dengan pasangan
suami/istri), yaitu adanya konflik antar hubungan orang tua yang mungkin
menjadi

sumber

stres

utama.

Konflik

utamanya

mungkin

melibatkan


ketidakhadiran dukungan emosi dan material dari pasangan serta konflik
mengenai pendekatan dan strategi manajemen anak.

Universitas Sumatera Utara

13

Health of parent (kesehatan orang tua), yaitu sampai taraf tertentu,
efektivitas proses pengasuhan orang tua terhadap anak dapat mempengaruhi
kondisi kesehatan orang tua. Parent depression (depresi orang tua), yaitu orang
tua mengalami beberapa gejala depresi ringan hingga menengah dan rasa bersalah
(kecewa), yang mana pada suatu waktu dapat melemahkan kemampuannya untuk
menangani tanggung jawabnya terhadap pengasuhan. Permasalahan ini secara
khas dihubungkan dengan tingkatan depresi meliputi keluhan hilangnya energi.
b.

The difficult child (perilaku anak yang sulit)

parenting stress disini digambarkan dengan adanya perilaku anak yang

sering terlibat dalam mempermudah pengasuhan atau malah lebih mempersulit
karena orang tua merasa anaknya memiliki banyak karakteristik tingkah laku yang
mengganggu. Perilaku anak yang sulit memiliki beberapa indikator yang menjadi
stres orang tua yaitu child adaptability, child demands, child mood,dan
districtability.
Child adaptability (penyesuaian diri anak), yaitu anak menunjukkan
karakteristik perilaku yang membuat anak sulit untuk diatur. Stres orang tua
berhubungan dengan tugas pengasuhan orang tua yang lebih sulit dalam
ketidakmampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan perubahan fisik dan
lingkungan. Child demands (tuntutan anak), yaitu anak lebih banyak permintaan
terhadap orang tua berupa perhatian dan bantuan. Umumnya anak- anak sulit
melakukan segala sesuatu secara mandiri dan mengalami hambatan dalam
perkembangannya. Child mood (suasana hati anak), yaitu orang tua merasa
anaknya kehilangan perasaan akan hal- hal positif yang biasanya merupakan ciri

Universitas Sumatera Utara

14

khas anak yang bisa dilihat dari ekspresinya sehari- hari. Districtability, yaitu

orang tua merasa anaknya menunjukkan perilaku yang terlalu aktif dan sulit
mengikuti perintah.
c.

The

parent-child

dysfunctional

interaction

(tidak

berfungsinya

interaksi orang tua-anak)
parenting stress disini menunjukkan interaksi antara orang tua dan anak
yang tidak berfungsi dengan baik yang berfokus pada tingkat penguatan dari anak
terhadap orang tua serta tingkat harapan orang tua terhadap anak. Indikator yang

menunjukkan tidak berfungsinya interaksi orang tua dan anak ialah child
reinforced parent, acceptability of child to parent, dan Attachment.
Child reinforced parent (anak memberi penguatan pada orang tua), yaitu
orang tua merasa tidak ada penguatan yang positif dari anaknya. interaksi antara
orang tua dengan anak tidak menghasilkan perasaan yang nyaman terhadap
anaknya. Acceptability of child to parent (hal yang dapat diterima dari anak oleh
orang tua), yaitu stres pengasuhan orang tua karena karakteristik anak seperti
intelektual, fisik, dan emosi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orang
tua sehingga lebih besar dapat menyebabkan penolakan orang tua. Attachment
(kedekatan/kasih sayang), yaitu orang tua tidak memiliki kedekatan emosional
dengan anaknya sehingga mempengaruhi perasaan orang tua.
2.1.6. Faktor yang mempengaruhi parenting stress
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Johnston dan koleganya (2003)
menunjukkan bahwa faktor- faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan
sebagai faktor penentu parenting stress yaitu child behavioral problem, family

Universitas Sumatera Utara

15

cohesion, family income, dan maternal psychological well being. Child behavioral
problems menggambarkan perilaku anak yang bermasalah. Hal ini dapat
mempengaruhi parenting stress yaitu dengan adanya perasaan orang tua terhadap
penerimaan anak, perasaan terisolasi, dan perasaan terhadap kemampuan mereka
untuk menjalankan peran orang tua. Kategori yang diukur dalam masalah perilaku
anak ialah perilaku menarik diri, permasalahan sosial, cemas dan depresi,
gangguan pemusatan perhatian, gangguan proses berpikir, agresif, jahat, dan
keluhan-keluhan somatik.
Family cohesion merupakan bentuk perhatian yang diberi oleh keluarga.
Perhatian dalam hal ini ialah berbagai rasa tanggung jawab, pertolongan, dan
dukungan interpersonal di rumah. Dukungan keluarga dalam mengasuh anak
dapat meningkatkan rasa percaya orang tua dalam merawat anaknya, namun jika
tidak ada dukungan keluarga akan membuat perasaan terisolasi dan mudah untuk
mengalami stres. Family income meliputi status sosial ekonomi, dukungan
keluarga, dan sumber daya coping yaitu coping skills.
Maternal psychological well being merupakankesejahteraan psikologis yang
meliputi aspek perasaan terisolasi dan penerimaan. Jika seorang ibu sedang
menderita permasalahan psikologis berat, ibu mungkin tidak memiliki sumber
daya pribadi yang cukup tersedia untuk orang lain atau anaknya. Keadaan ini
meningkatkan perasaan terisolasi dan pengurangan perasaan akan kemampuan
dalam

keterampilan

pengasuhan,

sehingga

mempengaruhi

kesejahteraan

psikologis.

Universitas Sumatera Utara

16

Johnston dan koleganya (2003) juga mengungkapkan potensi demografik
lain seperti psikososial dan faktor biologis sebagai prediktor parenting stress yaitu
meliputi maternal age, jaringan sosial dan dukungan, problem solving dan coping
skills, religious affiliation, sumber daya komunitas, status dan kepuasan
pernikahan, pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, kesehatan anak, maternal
culpability.

Sedangkan Lestari (2012) menyatakan faktor-faktor yang dapat

mendorong timbulnya stres dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan yaitu individu,
keluarga, dan lingkungan.
Pada tingkatan pertama yaitu individu. Faktor individu dapat bersumber
dari pribadi orang tua maupun anak. Pribadi orang tua dapat berupa kesehatan
fisik, mental, dan emosi orang tua . Hal ini dapat menjadi faktor yang mendorong
timbulnya parenting stress. misalnya sakit yang dialami orang tua dan
berlangsung dalam jangka panjang. Sedangkan dari pihak anak, faktor–faktor
individu yang dapat mendorongparenting stress dapat berupa masalah kesehatan
fisik dan problem perilaku. Adapun parenting stress yang terjadi sehari–hari
sering kali disebabkan oleh problem perilaku anak. Anak Tunagrahita biasanya
sangat sulit diatur, suka membangkang, sering menimbulkan kekacauan bahkan
kerusakan. Orang tua yang menghadapi anak yang demikian akan mudah
mengalami parenting stress.
Keluarga adalah faktor kedua yang dapat mempengaruhi parenting stress.
Hal ini berkaitan terhadap masalah keuangan dan struktur keluarga. Aspek ini
juga dapat berupa pengasuhan anak yang dilakukan sendiri tanpa keterlibatan
pasangan atau karena menjadi orang tua tunggal. Selain itu hubungan yang penuh

Universitas Sumatera Utara

17

dengan konflik, baik antarpasangan maupun antara orang tua-anak, sangat
berpotensi menimbulkan parenting stress.Lingkungan juga dapat menjadi faktor
stres pengasuhan dengan melihat situasi lingkungan. Kondisi stres dapat
berlangsung dalam jangka pendek, situasional atau aksidental. Namun, bila tidak
segera diatasi atau dikelola dengan baik, kondisi stres ini dapat berlangsung dalam
jangka panjang juga.
2.2. Pengasuhan pada anak Tunagrahita
Pengasuhan adalah kata yang memiliki makna merawat (Lestari, 2012).
Maka dalam hal ini pengasuhan dari orang tua adalah sama dengan perawatan
yang diberikan orang tua. Keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial, dan
keterbatasan fungsi mental lainnya yang dimiliki anak Tunagrahita terus terjadi
sepanjang hidupnya (Somantri, 2007). Hal ini tentu dapat menjadi stressor bagi
orang tua dalam merawat anaknya. Pengasuhan dari orang tua juga akan
dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya ialah kondisi anak (Supartini,
2004).
Orang tua yang memiliki anak Tunagrahita akan mengalami perasaan yang
berbeda antara ayah dan ibu. Perasaan orang tua akan mempengaruhi perawatan
yang akan diberikan kepada anak. Seorang ayah akan mengalami perasaan
mourning. Perasaan mourning adalah ditinggal harapan untuk memiliki bayi yang
sempurna. Keadaan ini dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, langsung setelah
kelahiran anak akan mengalami shock. Kedua, disorganisasi emosi yaitu bapak
menyalahkan dokter, dirinya, bahkan Tuhan. Ketiga, reorganisasi emosi yaitu
mengintegrasikan reaksi intelektual dan emosional dalam merawat anak,

Universitas Sumatera Utara

18

menghargai, menerima, dan mencintai anak. Sedangkan pada seorang ibu, reaksi
emosi turun naik adalah hal yang sering dialami sepanjang kehidupan anak.
Walaupun berbagai perasaan dari orang tua, namun anak Tunagrahita harus
memiliki kesempatan untuk mendapatkan pengasuhan yang baik (Setiono, 2011).
Merawat anak Tunagrahita tidak sama dengan merawat anak yang normal.
Perawatan pada anak Tunagrahita bertujuan untuk meningkatkan keterampilan,
perkembangan anak dan menangani tingkah laku anak dengan cara yang
konstruktif dan tidak menyakiti. Walaupun orientasi orang tua terus untuk
merawat anak, akan tetapi sebagai orang tua juga perlu untuk memiliki
kesempatan hidup, belajar, bekerja, dan menikmati hidup dalam komunitasnya
(Setiono, 2011).
Setiono (2011) menjelaskan bahwa pembelajaran yang penting bagi orang
tua dalam merawat anak disabilitas termasuk Tunagrahita ialah menjalin relasi
yang positif dengan anak, yaitu dengan cara menyediakan waktu untuk
berkomunikasi, berinteraksi, dan menunjukkan afeksi. Kemudian mengajari anak
keterampilan dan tingkah laku baru. Orang tua juga mendorong tingkah laku anak
dengan tingkah laku yang dikehendaki. Orang tua juga dapat menangani tingkah
laku anak yang tidak dikehendaki.
2.3. Tunagrahita
2.3.1. Definisi Anak Tunagrahita
Tunagrahita adalah sebuah istilah untuk menyebut anak yang mempunyai
kemampuan intelektual di bawah rata-rata dan tidak mampu melakukan
keterampilan adaptif, dan istilah yang sering digunakan dalam kepustakaan asing

Universitas Sumatera Utara

19

untuk menyatakan keadaan Tunagrahita ini adalah Retardasi mental atau mental
retardation (Somantri, 2007). Hallahan dan Kauffman (1994, dalam Mangunsong
1998) mengutip pernyataan American Association on Mental Retardation
[AAMR] untuk batasan Tunagrahita yaitu:
“keterbelakangan mental menunjukkan adanya keterbatasan
dalam fungsi yang mencakup fungsi intelektualyang dibawah ratarata, dimana berkaitan dengan keterbatasan pada dua atau lebih
dari keterampilan adaptif seperti komunikasi, merawat diri
sendiri, keterampilan sosial, kesehatan dan keamanan, fungsi
akademis, waktu luang, dll. Keadaan ini tampak sebelum usia 18
tahun”.
Maka dapat disimpulkan bahwa Tunagrahita adalah suatu kondisi seorang
anak yang memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata dan disertai oleh
ketidakmampuan dalam melakukan keterampilan adaptif yang terjadi pada masa
perkembangan. Fungsi intelektual dapat diketahui dengan melakukan tes
intelegensi

sedangkan keterampilan adaptif dapat diketahui dengan melihat

kemampuan anak dalam menyesuaikan diri di lingkungannya (Mangunsong,
1998).
Anak tunagrahita berkaitan dengan konsep Mental Age (MA). Mental Age
adalah kemampuan mental yang dimiliki oleh seorang anak pada usia tertentu.
Seorang anak yang memiliki MA lebih rendah dari umurnya (Cronology Age)
dapat diindikasikan memiliki kemampuan kecerdasan di bawah rata-rata. Maka
anak Tunagrahita selalu memiliki MA yang lebih rendah daripada umurnya (CA)
secara jelas (Somantri, 2006). Mental Age yang rendah akan sulit untuk mandiri
walaupun umurnya (CA) sudah dalam kategori dewasa sehingga masih dalam
tanggung jawab orang tua.

Universitas Sumatera Utara

20

2.3.2. Klasifikasi Tunagrahita
Tunagrahita dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan atau
intelegensi dan berdasarkan tingkat dukungan/bimbingan yang diperlukan oleh
anak Tunagrahita. Klasifikasi Tunagrahita berdasarkan tingkat keparahan atau
intelegensi memiliki 4 kategori yang dinyatakan AAMR (Mangunsong, 1998;
Somantri, 2006). Kategori tersebut ialah ringan, sedang, berat, dan sangat berat.
Pengklasifikasian ini berdasarkan tingkat IQ anak.
a.

Tunagrahita ringan

Pada anak Tunagrahita ringan, tingkat IQ yang dimiliki ialah sebesar 55
sampai 68. Tingkat Tunagrahita ringan ini masih dapat dididik dalam membaca,
menulis dan berhitung sederhana. Anak Tunagrahita ringan masih dapat dilatih
untuk mendapat penghasilan bagi dirinya sendiri seperti dalam bidang pertanian,
peternakan, dan pekerjaan rumah tangga. Namun mereka tidak dapat melakukan
penyesuian sosial secara mandiri seperti membelanjakan uangnya dengan lugu,
tidak dapat merencanakan masa depan, dan suka berbuat kesalahan. Fisik anak
Tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan dan akan terlihat seperti normal
lainnya.
b.

Tunagrahita sedang

Pada anak Tunagrahita ringan, tingkat IQ yang dimiliki ialah sebesar 36-51.
Anak Tunagrahita sedang sangat sulit dalam belajar menulis, membaca, dan
berhitung. Namun mereka masih dapat dilatih menulis hal-hal yang sederhana
seperti nama dan alamat rumahnya. Anak Tunagrahita ringan dapat mencapai
keterampilan seperti anak normal umur 7 tahun

Universitas Sumatera Utara

21

c.

Tunagrahita berat

Pada anak Tunagrahita ringan, tingkat IQ yang dimiliki ialah sebesar 20-35.
Anak Tunagrahita berat, pada masa prasekolah tidak dapat atau kurang untuk
berkomunikasi. Anak Tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara
total seperti berpakaian, mandi, makan, dal lain-lain sepanjang hidupnya. Tanda
fisik yang sering menyertai anak Tunagrahita berat ialah lidah yang menjulur ke
luar dan mengeluarkan air liur, kondidsi kepala lebih besar dari normalnya, dan
lemah.
d.

Tunagrahita sangat berat

Pada anak Tunagrahita ringan, tingkat IQ yang dimiliki dibawah 20. Anak
Tunagrahita sangat berat ini membutuhkan perawatan total dan memiliki
kemampuan seperti anak normal yang berusia dibawah 3 tahun. Anak Tunagrahita
sangat berat biasanya disertai oleh kerusakan otak dan kelainan fisik seperti
hydrocepalus, mongolism, dan lain-lain.
Klasifikasi anak Tunagrahita berdasarkan tingkat dukungan/bimbingan yang
diperlukan oleh anak Tunagrahita memiliki 4 tingkatan, yaitu intermittent, limited,
extensive, dan pervasive(AAMR, 1992 dalam Mangunsong, 1998). Anak
Tunagrahita pada tahap intermittenttidak selalu memerlukan bimbingan.
Bimbingan hanya bersifat jangka pendek dan hanya diperlukan selama masa
transisi masa kehidupannya seperti krisis dalam masalah medis dan kehilangan
pekerjaan. Pada anak Tunagrahita tahap limited , mereka memerlukan bimbingan
secara konsisten, yaitu hanya pada saat tertentu saja dan tidak seperti yang
intermittent seperti bimbingan transisional menjelang anak memasuki masa

Universitas Sumatera Utara

22

dewasa. Anak Tunagrahita pada tahap extensivememerlukan bimbingan secara
regular dalam suatu lingkungan dalam waktu yang tidak ditentukan. Sedangkan
tahap pervasivememerlukan bimbingan dengan intensitas yang tinggi.
2.3.3. Etiologi Tunagrahita
Proses pengkajian penyebab tunagrahita, menurut Lumbantobing (2010)
perlu diperhatikan predisposisi genetik, faktor lingkungan, dan waktu terjadinya
pemaparan. Beberapa penyebab Tunagrahita dapat dicegah dan diobati. Namun
ada beberapa penyebab yang tidak dapat diobati. Menurut Lumbantobing (2010),
beberapa penyebab Tunagrahita yang dapat dicegah atau diobati ialah terjadi
asfiksia lahir, trauma lahir, dan jejas lahir. Pada keadaan kehamilan yang tidak
dikontrol, bimbingan persalinan yang tidak adekuat, dan fasilitas persalinan tidak
memadai dapat menyebabkan jejas pada otak dan Tunagrahita. Oleh karena itu
peningkatan kemampuan membimbing persalinan dan pengelolaan masa
kehamilan yang baik dapat mengurangi risiko asfiksia, trauma lahir, dan
tunagrahita.
Penyebab selanjutnya yang dinyatakan Lumbantobing (2010) ialah infeksi
pada bayi dan anak. Beberapa infeksi yang terjadi pada bayi dan anak dapat
mengakibatkan ensepalopati. Keadaan enselopati ini dapat menjadi tunagrahita.
Malnutrisi pada masa bayi juga dapat mengganggu atau merusak pertumbuhan
dan fungsi sistem susunan saraf. Malnutrisi banyak terjadi pada masyarakat
kelompok ekonomi lemah. Kemudian defisiensi Yodium dapat mengakibatkan
Tunagrahita yang berat. Anemia dengan defisiensi besi juga dapat mengakibatkan
terlambatnya perkembangan psikososial. Serta ikterus berat pada bayi baru lahir

Universitas Sumatera Utara

23

dapat mengakibatkan kerusakan otak dan Tunagrahita. Namun penyebab dari
Tunagrahita adalah multifaktor (Lumbantobing, 2010).
2.3.4. Karakteristik anak Tunagrahita
Anak Tunagrahita dapat didiagnosis dari indikator kecurigaan oleh
profesional atau keluarga. Hal ini karena ada beberapa tanda perilaku awal yang
menandakan gangguan kognitif. Tanda perilaku tersebut ialah tidak berespon
terhadap kontak, kontak mata buruk selama proses pemberian makan, kurang
aktivitas yang spontan, tidak berespon terhadap suara dan gerakan, iritabilitas, dan
makan lambat (Crocker, 1983 dalam Wong, 2008)
Menurut Somantri (2007), karakteristik anak Tunagrahita meliputi
keterbatasan inteligensi, keterbatasan sosial, dan keterbatasan fungsi mental
lainnya.

Keterbatasan

inteligensi

berarti

tidak

mampu

atau

terbatas

kemampuannya untuk mempelajari informasi dan keterampilan-keterampilan
menyesuaikan diri dengan masalah dan situasi kehidupan, belajar, berpikir
abstrak, kreatif, berpikir kritis, menghindari kesalahan, mengatasi kesulitan, dan
merencanakan masa depan. Effendi (2006) mejelaskan bahwa akibat keterbatasan
inteligensi, anak Tunagrahita ringan mencapai prestasi tertinggi dalam bidang
membaca, menulis, dan berhitung hanya sampai setara dengan anak normal kelas
III-IV SD.
Musen, Conger, dan Ragan (1974 dalam Efendi, 2006) menyatakan bahwa
fungsi

intelegensi memiliki

beberapa

tahap

untuk mendapatkan

suatu

pengetahuan. Tahapan tersebut ialah pesepsi, ingatan, pengembangan ide
penilaian, dan penalaran. Kondisi anak Tunagrahita mengalami gangguan pada

Universitas Sumatera Utara

24

salah satu atau lebih pada proses tersebut sehingga anak Tunagrahita tidak dapat
berprestasi sesuai dengan usianya (Efendi, 2006).
Keterbasan sosial yang terjadi pada tunagrahita dapat dilihat dari kesulitan
dalam mengurus diri sendiri dalam masyarakat. Keterbatasan dalam sosial lainnya
seperti bergantung sangat besar pada orang tua, cenderung berteman dengan anak
yang lebih muda usianya, tidak mampu memikul tanggung jawab sosial, dan
mudah dipengaruhi. Maka anak tunagrahita sangat penting untuk terus dibimbing
dan diawasi.
Keterbatasan mental lainnya dapat berupa tidak dapat membedakan sesuatu
yang baik dan buruk serta yang benar dan salah. Anak tunagrahita tidak dapat
diberi tugas dengan waktu yang lama mereka memerlukan waktu yang lama untuk
bereaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Selain itu, anak tunagrahita memiliki
keterbatasan dalam bahasa karena kurang berfungsi sistem pusat pengelolaan
perbendaharaan kata. Hal ini menjadi dasar untuk mengajarkan anak dengan
sering mengulang kata-kata yang konkret dan pendekatan yang konkret
2.3.5. Dampak ketunagrahitaan pada orang tua
Permasalahan dan tingkah laku pada orang tua yang memiliki anak
Tunagrahita berbeda-beda. Somantri (2007) menyebutkan 6 perasaan yang dapat
dialami orang tua yang memiliki anak Tunagrahita. Pertama, Perasaan
melindungi anak secara berlebihan. Hal ini dapat berupa proteksi biologis dan
perubahan emosi yang tiba-tiba. Akibatnya orang tua menimbulkan reaksi
menolak kehadiran anak dengan memberi sikap dingin, menolak dengan
rasionalisasi yaitu menahan anaknya di rumah dengan mendatangkan orang yang

Universitas Sumatera Utara

25

terlatih untuk mengurusnya. Selain itu orang tua akan merasa berkewajiban untuk
memelihara tetapi melakukan tanpa memberi kehangatan dan memeliharanya
dengan berlebihan sebagai kompensasi terhadap perasaan menolak.
Kedua, merasa bersalah dengan melahirkan anak. Perasaan bersalah ini
menimbulkan praduga yang berlebihan dalam hal merasa ada yang tidak beres
dengan urusan keturunan hingga timbulnya depresi, merasa kurang mampu
mengasuhnya hingga menghilangkan kepercayaaan diri sendiri dalam mengasuh
anaknya. Ketiga, Kehilangan kepercayaan akan mempunyai anak yang normal.
Keempat, terkejut dan kehilangan kepercayaan diri. Kelima,banyak tulisan yang
menyatakan bahwa orang tua berdosa. Hal ini menyebabkan depresi namun tidak
selalu ada. Keenam, merasa bingung dan malu.

Universitas Sumatera Utara