Tinjauan Kriminologi Terhadap Tindak Pidana Incest (Studi Putusan Nomor : 1349 Pid.Sus 2015 PN.Mdn)

BAB II
PENGATURAN INCEST DALAM BERBAGAI PERATURAN HUKUM

A. Hubungan Seksual Sedarah (Incest) ditinjau dari Kitab UndangUndangHukum Pidana(KUHP)
Anak mempunyai kedudukan strategis dalam bangsa, negara, masyarakat
maupun keluarga. Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bagi bangsa,
negara, masyarakat ataupun keluarga. Oleh karena kondisinya sebagai anak, maka
perlu perlakuan khusus agar dapat tumbuh dan berkembang sacara wajar baik
fisik, mental dan rohaninya. Untuk itu anak perlu dihindarkan dari perbuatan
pidana yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental dan rohaninya
tersebut. Menyadari kenyataan demikian di samping norma sosial, moral/etika;
dan norma hukum juga memberikan perlindungan demikian khusus diberikan
kepada anak, karena kalau dilakukan terhadap orang dewasa tidak dikualifikasi
sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum. Akan tetapi apabila dilakukan
terhadap anak itu menjadi tindak pidana. 34
Adapun perlindungan yang diberikan kepada anak oleh KUHP adalah
sebagai berikut: 1. Pasal 287 KUHP, melarang orang bersetubuh dengan
perempuan yang belum genap berusia 15 (lima belas) tahun. Baik
persetubuhan itu dilakukan atas dasar suka sama suka antara pelakunya.
Akan tetapi pasal ini tidak mengatur larangan bersetubuh dengan anak
yang belum dewasa.


34

Darwan Prinst, Op.Cit, Hal. 98.

Universitas Sumatera Utara

2. Pasal 294 KUHP, melarang orang berbuat cabul dengan anaknya sendiri
atau anak pelihara atau orang yang belum dewasa, anak pungut, anak
pelihara yang berada di bawah pengawasannya.
3. Pasal 295 KUHP, melarang orang memudahkan perbuatan cabul oleh
anaknya, anak tirinya atau anak angkatnya yang belum dewasa, atau oleh
anak yang berada di bawah pengawasan dengan orang lain. Juga dilarang
memudahkan perbuatan cabul oleh orang dewasa dengan anak yang belum
dewasa. 35
Untuk pasal 287 KUHP kurang tepat untuk pengaturan incest. Sedangkan
bagi pasal 294 ayat (1) dan pasal 295 ayat (1) butir (1) masih relevan mengatur
incest. Kasus incest bukanlah kasus perkosaan biasa, melainkan juga menyangkut
kepercayaan, kelangsungan sebuah keluarga, masa depan anak, dan kondisi
psikologi yang terbentuk. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika Undangundang Indonesia memperlakukan pelaku incest sama dengan korban perkosaan

biasa. Pertanggungjawaban pidananya terhadap pelaku incest, menurut KUHP
hanya relevan dengan pasal 294 ayat (1) dan pasal 295 ayat (1) butir (1). Dalam
kedua pasal ini tidak dikenal pidana penjara dan denda paling sedikit/
minimalnya, hanya mengenal pidana penjara paling banyak /maksimal saja, yaitu:
7 (tujuh) tahun pada pasal 294 ayat (1) dan 5 (lima) tahun pada pasal 295 ayat (1)
butir (1)
Pengaturan mengenai kejahatan incest dalam KUHP berada di dalam pasal
294 ayat (1) :

35

Ibid, Hal.99-100

30

Universitas Sumatera Utara

Melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tiri, anak angkat, anak
dibawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum
dewasa, yang pemeliharanya, pendidikan atau pengawasannya diserahkan

dengannya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa
dengan pidana penjara paling lama 7 tahun.
Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat beberapa unsur, yaitu:
1. Unsur Subjektif Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri
pelaku. Unsur subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur “barang siapa”.
Barang siapa dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa
terkecuali dan dalam hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki
hubungan dekat.
2.Unsur Objektif Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri
atas:
a. Perbuatan manusia, berupa:
1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan yang
mendiamkan atau membiarkan.
b. Akibat (Result) perbuatan manusia:
Akibat

tersebut

membahayakan


atau

merusak,

bahkan

menghilangkan

kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances) Pada umumnya, keadaan tersebut
dibedakan antara lain:
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan

Universitas Sumatera Utara

2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum Sifat dapat dihukum
berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan si pelaku dari hukuman.

Adapun sifat melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan
hukum, yakni berkenaan dengan larangan atau perintah. 36
Barda Nawawi Arif berpendapat bahwa bertolak dari pemikiran, pidana
pada hakekatnya hanya merupakan alat untuk mencapai tujuan, maka
pertamatama

merumuskan

tentang

tujuan

pemidanaan.

Dalam

mengidentifikasikan tujuan pemidanaan, bertolak dari keseimbangan dua sasaran
pokok, yaitu “perlindungan masyarakat” dan “perlindungan/pembinaan individu
pelaku tindak pidana”. Bertolak dari keseimbangan dua sasaran pokok itu, maka
syarat pemidanaan menurut konsep juga bertolak dari pokok pemikiran

keseimbangan monodualistik antara kepentingan individu; antara faktor objektif
dan faktor subjektif. Oleh karena itu, syarat pemidanaan juga bertolak dari 2 pilar
yang sangat fundamental di dalam hokum pidana yaitu “asas legalitas”
(yangmerupakan “asas kemasyarakatan”) dan “asas kesalahan/asas cupabilitas”
(yang merupakan “asas kemanusiaan”). Dengan perkataan lain, pokok pemikiran
mengenai pemidanaan berhubungan erat dengan pokok pemikiran mengenai
tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seperti telah dikemukakan diatas.
Aspek lain dari perlindungan masyarakat adalah perlindungan terhadap korban
dan pemulihan keseimbangan nilai yang terganggu di dalam masyarakat. Untuk
memenuhi aspek ini konsep menyediakan jenis sanksi berupa “pembayaran ganti
kerugian” dan “pemenuhan kewajiban adat”. Kedua jenis sanksi ini dimasukkan
36

Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta:Sinar Grafika, 2005,

Hal. 9

Universitas Sumatera Utara

sebagai jenis pidana tambahan, karena dalam kenyataan sering terungkap, bahwa

penyelesaian masalah secaara yuridis formal dengan menjatuhkan sanksi pidana
pokok saja kepada terdakwa belum dirasakan oleh warga masyarakat sebagai
suatu penyelesaian masalah secara tuntas 37.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, tindak pidana incest merupakan
tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh anggota keluarga yang memiliki
hubungan darah dengan korbannya, dalam hal ini pelaku adalah seorang ayah dan
korban adalah anak kandungnya. Jika tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga merupakan tindak kekerasan seksual dalam hal ini tindak pidana inses
yang dilakukan oleh ayah terhadap anak kandungnya, hal ini akan lebih sulit
untuk dilaporkan atau disentuh oleh hukum karena mengingat bahwa pelaku
tindak pidana merupakan salah satu dari orang tua si anak. Bentuk perlindungan
yang dapat diberikan kepada anak korban kekerasan seksual dalam hal ini incest,
misalnya:
a.Memberikan penyediaan rumah aman ketika pelaku adalah ayah
kandung atau tempat tinggal yang sama dengan pelaku, rumah aman
disediakan bekerjasama dengan pemerintah
b. Memberikan bimbingan konseling keagamaan
c. Melakukan pemeriksaaan psikologis
d. Mendampingi dalam hal pemeriksaan kesehatan dan visum et
refertum

e. Mengupayakan anak untuk tetap bisa bersekolah dan diterima
kembali disekolah
37 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru), (Semarang: Kencana Prenada Media Group, 2008) hal. 29.

Universitas Sumatera Utara

f. Melakukan pendampingan mulai dari kepolisian,kejaksaan sampai ke
pengadilan.
Pengaturan yang spesifik mengatur mengenai incest ada dalam pasal
RUU KUHP di bagian bab delik kesusilaan yakni dalam pasal 490,497 dan 498.
Pasal 490: (1) “Persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang
mempunyai hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping
sampai derajat ketiga, dipidana pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun. (2) Jika, dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18
tahun dan belum kawin maka dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan
paling singkat 3 tahun”. 38
Pasal

497:


(1)

“melakukan perbuatan

cabul dengan anak

kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling
lama 12 tahun”.
(2) Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan
dengan anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang
dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu
rumah tangganya atau dengan bawahannya, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(3) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 12 (dua belas) tahun:
a.

pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan bawahannya atau dengan


orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga; atau

38

Lihat Pasal 490 RUU KUHP.

Universitas Sumatera Utara

b.

dokter,

guru,

pegawai,

pengurus,

atau


petugas

pada lembaga

pemasyarakatan, lembaga negara tempat latihan karya, rumah pendidikan, rumah
yatim dan atau piatu, rumah sakit jiwa, atau panti sosial yang melakukan
perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke lembaga, rumah, atau panti
tersebut. 39
Pasal

498 ayat

memudahkanorang

lain

(1):

Setiap

melakukan

orang

perbuatan

yang menghubungkan
cabul

atau

atau

persetubuhan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 497 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun. 40
Dengan pengaturan yang demikian ini, dapat dikemukakan bahwa
kejahatan inses dalam KUHP telah mengalami perubahan. Perubahan itu ialah
ditambahkannya “cara persetubuhan” sebagai delik baru terkait dengan kejahatan
inses, yang di dalam Pasal 294 KUHP belum dimasukkan. Ditambahkannya
elemen “persetubuhan” dalam kejahatan inses akan memberikan perubahan yang
signifikan bagi mengantisipasi kejahatan inses yang biasanya hanya di kenakan
dengan cara-cara pencabulan.
Pasal 490 mengenai incest ini juga menunjukkan bahwa RUU KUHP
secara tegas melarang perbuatan-perbuatan inses baik yang dilakukan karena
hubungan sedarah juga dalam hubungan relasi yang bersifat khusus, baik yang
dilakukan dengan memenuhi unsur unsur paksaan, tanpa kehendak, tanpa
persetujuan dari salah satu pihak juga dalam inses yang terjadi melalui
persetujuan dari dua belah pihak (by consent)

39

Lihat Pasal 497 RUU KUHP
Lihat Pasal 498 RUU KUHP.

40

Universitas Sumatera Utara

Disamping itu dengan adanya pengaturan sanksi pidana minimal. akan
membatasi jaksa maupun hakim dalam penuntutan dan dalam memberikan
putusan. Kebebasan para penegak hukum tersebut menjadi terbatasi, sehingga
penjatuhan hukuman terhadapa pelaku inses tidak akan dapat terlalu ringan atau
terlalu berat. Penjatuhan sanksi pidana akan disesuaikan dengan pembuktian
fakta-fakta melalui alat bukti yang dikemukakan dalam persidangan. Selain itu
pembatasan sanksi hukum minimal ini diharapkan dapat memberikan rasa
keadilan dalam kehidupan manusia baik bagi pelaku, korban, maupun masyarakat.
Namun bila di telisik lebih jauh rumusan mengenai kejahatan inses dalam
RUU KUHP memiliki beberapa kelemahan.
Pertama, dalam Pasal 490 RUU KUHP defenisi inses yang ada mengalami
penyempitan makna sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses
melalui persetubuhan ialah jika hubungan antara korban dan pelaku memiliki
hubungan sedarah dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga. Kedua,
Pasal 490 juga hanya menegaskan bahwa kejahatan inses terjadi jika
ada Persetubuhan yang dilakukan terhadap seseorang yang mempunyai hubungan
sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping sampai derajat ketiga. Tanpa
merujuk lebih lanjut mengenai apakah persetubuhan dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, ancaman kekerasan, dan sebagainya (dengan cara perkosaan). Hal ini
justru akan menurunkan derajat kejahatan inses. Karena haruslah dipisahkan
besar pertanggungjawaban pelaku inses yang dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, misalnya kejahatan inses dengan cara perkosaan harus dibedakan
dengan inses yang dilakukan dalam konteks persetubuhan tanpa kekerasan
(perkosaan) terutama terkait dengan status anak sebagai korban.

Universitas Sumatera Utara

Kedua jika RUU KUHP konsisten maka rumusan persetubuhan tersebut
jika di kaitkan dengan pasal perkosaan sudah jelas-jelas masuk dalam kategori
perkosaan. Sehingga dalam pasal 490 RUU KUHP tersebut ada dua kejahatan
dengan pemberatan yang dilakukan oleh pelaku yakni pertama adalah kejahatan
perkosaan, kedua, perkosaan tersebut di lakukan terhadap anak dan ketiga adalah
perbuatan tersebut justru di tujukan kepada orang yang memiliki relasi atau
hubungan darah dengan pelaku.
Ketiga, rumusan Pasal 490 RUU KUHP menyatakan bahwa jika
persetubuhan dilakukan dengan perempuan yang belum berumur 18 tahun
dan belum kawin maka dipidana pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling
singkat 4 tahun, Rumusan seperti ini akan memiliki konsekwensi yang
penting. Masih tidak jelas apa pertimbangan dari para perumus RUU KUHP
memasukkan kata “belum kawin”. Sebaiknya istilah belum kawin di hilangkan
saja.
Keempat rumusan Pasal 497 menyatakan bahwa melakukan perbuatan
cabul dengan anak kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
tahun dan paling lama 12 tahun. Rumusan ini juga mengalami penyempitan
makna sehingga apa yang dimaksud dengan kejahatan inses melalui pencabulan
hanyalah terbatas dengan anak kandungnya saja atau dengan anak tirinya, anak
angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk
diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu rumah tangganya atau dengan
bawahannya. berbeda dengan hubungan yang diatur dalam Pasal 490 RUU
KUHP yakni hubungan sedarah dengannya dalam garis lurus atau kesamping
sampai derajat ketiga. Pasal 497 RUU KUHP juga menyamakan korban yang

Universitas Sumatera Utara

berstatus anak dan orang dewasa, dimana tidak adanya pembedaan pidana bagi
pelaku. seharusnya bagi korban yang masih berstatus anak perlu pidana
pemberatan bagi pelaku. 41
Apabila dicermati perihal pertanggungjawaban pidana pelaku incest
menurut RUU KUHP tersebut, masih terdapat kelemahan yang mungkin dapat
menjadi hambatan saat diberlakukan, yaitu:
1. Adanya unsur “yang diketahuinya” dalam Pasal 489 ayat (1) sebagai
unsur yang harus dipenuhi guna dapatnya pelaku dipertanggungjawabkan pidana.
Hal ini disisi lain dapat dijadikan alasan bagi pelaku untuk mengelak dari tuntutan
hukum telah melakukan incest dengan alasan ia tidak mengetahui bahwa yang
disetubuhinya masih anggota keluarga sedarah, sehingga bila unsur pengetahuan
terdakwa tersebut tidak dapat dibuktikan, maka hakim akan memberikan putusan
bebas bagi terdakwa. 42
2. Adanya penentuan pelaku dalam Pasal 489 ayat (2), yaitu dilakukan
oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 tahun dan belum
kawin. Unsur ini jika dicermati, maka akan berakibat apabila pelakunya adalah
seorang perempuan, terhadapnya justru tidak dapat dipertanggungjawabkan
menurut Pasal 489 ayat (2) tersebut. 43

41

Supriadi Widodo Edyyono Tindak Pidana Incest Dalam RUU KUHP Januari 17, 2016.

Opini
42

Lamintang dan Theo Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar
Norma Kesusilaan Dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika,2009) Hal. 109.
43
Ibid, Hal. 110.

Universitas Sumatera Utara

B. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Jo Undang-Undang No. 35 Tahun 2015 Peraturan Pengganti PerUndangUndangan No. 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jo UndangUndang No 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak.
Dalam hal korban tindak pidana adalah seorang anak, maka Indonesia
telah memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai segala
bentuk perlindungan terhadap anak. Pada ketentuan pasal 1 angka (1) ditentukan
tentang batasan usia dari seorang anak, yaitu “Anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”.
Bentuk perlindungan hukum terhadap anak menurut Undang-undang
No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 59
Pemerintah dan lembaga Negara lainnya berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan
terisolasi, anak terekspoitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yag menjadi korban penyalahgunaan markotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan
dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 64
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan
hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab
pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hakhak anak;
b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. Penyediaan sarana dan prasaana khusus;
d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak
yang berhadapan dengan hukum;
f. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga; dan
g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.

Universitas Sumatera Utara

(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :
a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;
b.Upaya perlindungan dari pemberian identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi;
c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental, maupun sosial; dan d. Pemberian aksesibilitas untuk
mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.
Pasal 66
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 merupakan
kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan melalui :
a.
Penyebarluasan
dan/atau
sosialisasi
ketentuan
peraturan
perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja,
lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan
eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. (3) Setiap
orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh,
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 67
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza)
sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, dan terlibat dalam produksi dan
distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang dengan sengaja menempatkan, membiarkan,
melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan,
produksi dan distribusi napza sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 68 (1) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan,
penjualan, dan perdagangan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal
59 dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan,
perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
(3) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan,
penjualan, atau perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 69
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual
dilakukan melalui upaya :

Universitas Sumatera Utara

a. Penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,
menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Pasal 71
(1) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan
penelantaran sebagaimana dalam pasal 59 dilakukan melalui
pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah
dan masyarakat.
(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,
menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah, dan
penelantaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas mengenai perlindungan terhadap
anak dari segala bentuk kekerasan, secara khusus mengenai ketentuan pidana
terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak diatur dalam ketentuan pasal 81
ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
yaitu “ setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang
lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling
singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah). 44
Pasal 81 ayat (1) memberikan ancaman terhadap orang yang melakukan
kekerasan seksual, yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Setiap orang
b. Dengan sengaja
c. Melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan
d. Memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya

44

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak.

Universitas Sumatera Utara

e. Atau dengan orang lain
f. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3
tahun
g. Denda paling banyak Rp.300.000.000,00 dan paling sedikit Rp.60.000.000,00
Kemudian dari rumusan ancaman pidana yang diberikan oleh pasal 81 ayat
(1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Setiap orang.
Dalam ketentuan pasal ini yang menjadi subyek hukum yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya adalah manusia secara individu atau
orang perseorangan.hal ini ditegaskan dengan penggunaan “setiap orang”. Dalam
hal tindak pidana inses yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandungnya,
penggunaan kata “setiap orang” belum tepat mengenai sasaran terhadap ayah
sebagai pelaku, karena “setiap orang” pada ketentuan ini bersifat umum.
b. Perbuatan pidana.
Dalam rumusan pada poin (b) , poin (c), poin (d), dan poin (e) dapat dijelaskan
bahwa apabila pelaku dengan sengaja atau dengan maksud dan berkehendak
melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan
hubungan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, maka pelaku tersebut
bisa dijerat dengan ketentuan pidana pada pasal ini.
c. Sanksi Pidana
1) Lama pidana
Lama pidana yang diberikan oleh pasal 81 ayat (1) Undang-undang Nomor 23
Tahun 2002 adalah pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3

Universitas Sumatera Utara

tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 dan paling sedikit
Rp.60.000.000,00. Di dalam ketentuan ancaman pidana ini juga tidak terdapat
pemberatan pidana, mengingat bahwa pelaku adalah orang tua.
Kehadiran Undang-undang No 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
memberikan angin segar bagi para aktivis hukum dalam memberikan
perlindungan terhadap anak. Namun, Undang-Undang ini belum dapat berjalan
secara efektif. Untuk itu dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang No. 23
tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang No. 35 tahun
2014. Perubahan Undang-undang ini berguna untuk mempertegas pemberatan
sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak sehingga
menimbulkan efek jera bagi pelaku. Tidak hanya itu perubahan undang-undang
ini juga bertujuan untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban
maupun anak pelaku kejahatan. Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi
Anak korban maupun anak pelaku kejahatan di kemudian hari agar tidak menjadi
pelaku kejahatan yang sama.
Adapun yang menjadi pemikiran sehingga menyebabkan lahirnya UndangUndang ini adalah:
a. Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap
warganya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi
manusia;

b. Bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

Universitas Sumatera Utara

c. Bahwa anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangann bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib
dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia;

d. Bahwa dalam rangka meningkatkan perlindungan terhadap anak perlu
dilakukan penyesuaian terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang No.
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 45
Bentuk perlindungan yang telah ada dalam UU No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan yang
diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi dalam
beberapa Pasal, misalnya:
1. Pasal 59 UU No. 23 tahun 2002 diubah menjadi:
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga Negara lainnya berkewajiban
dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan Khusus kepada Anak.
(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berkonflik dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika,
dan zat adiktif lainnya;
f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban kejahatan terorisme;
l. Anak penyandang disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
45

Undang-Undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Universitas Sumatera Utara

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi
orang tuanya 46
Secara khusus perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual
sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j diatas dan Pasal 69 UU No.23
tahun 2002 tentang Pelrindungan Anak sebagaimana telah diubah dalam Pasal
69A sebagaimana berikut:
“Perlindungan Khusus bagi anak korban kejahatan seksual sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:
a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan;
b. Rehabilitasi sosial;
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan
d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan
mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang
pengadilan.” 47
2) Sistem perumusan pidana
Sistem perumusan pidana pada ketentuan pasal 81 ayat (1) adalah kumulatif
(penjara dan denda).Sistem perumusan kumulatif menyebabkan pidana berupa
pidana penjara serta pidana denda dapat dijatuhkan secara bersamaan.
Pada kenyataannya, pengaturan mengenai larangan untuk melakukan
kekerasan seksual dalam Undang-Undang 35 Tahun 2014 tidak membuat
berkurangnya kasus kekerasan terhadap anak. Bahkan kasus kekerasan seksual
semakin bertambah, pelakunya banyak dilakukan oleh anak dan cara
melakukannya

sangat

sadis.

Menyikapi

hal

tersebut,

Presiden

segera

mengeluarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 dengan alasan utama untuk mengatasi

46

Ibid Hal. 15
Ibid Hal16

47

Universitas Sumatera Utara

kondisi darurat kekerasan seksual, terutama yang dialami oleh anak.Materi
muatan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 pada intinya mengubah dua pasal, yaitu
a). Pasal 81 yang menyebutkan:
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah);
(2)Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula
bagi setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain;
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, orangorang yang mempunyai hubungan keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersamasama,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1);
(4)Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku
yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidanasebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D;
(5)Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun;
(6)Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman
identitas pelaku;
(7)Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan chip;
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersamasama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
(9)Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.
Pasal 82 yang berbunyi :
(1)Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah);
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersamasama,

Universitas Sumatera Utara

pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan (3) 48
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah
diubah melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 20l4 tentang Perubahan atas
Und.ang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang salah
satu perubahannya menitikberatkan pada pemberatan sanksi pidana terhadap
pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Namun, perubahan Undang-Undang
tersebut belum menurunkan tingkat kekerasan seksual terhadap anak secara
signifikan. 49
Oleh karena itu, Negara perlu mengambil langkah-langkah yang optimal
dan komprehensif dengan tidak hanya memberikan pemberatan sanksi pidana,
juga menerapkan bentuk pencegahan (preventif) dengan memberikan tindakan
berupa kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi bagi
pelaku kekerasan seksual terhadap anak.
Perlindungan Anak diatas sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ketentuan
yang diatur dalam UU No.35 tahun 2014 hanya sedikit perubahan yang terjadi
dalam beberapa Pasal, misalnya:
Pasal 81
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya
atau dengan orang lain.

48

PP NO 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang no 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak
49
Undang-Undang No. 17 Tahun 2016Tentang Penetapan PeraturanPemerintah
PenggantiUndang-Undang No. 1 Tahun 2016 Tentang PerubahanKeduaatas Undang-Undang No.
23 Tahun2002 TentangPerlindungan Anak MenjadiUndang-Undang, Penjelasan Umum.

Universitas Sumatera Utara

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
bersama-sama, pidananya ditambah I 13 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang
pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76D.
(5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksuddalam Pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari1 (satu) orang, mengakibatkan luka
berat,gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati,
seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10(sepuluh) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun.
(6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksudpada ayat (1), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5),pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa
pengumuman identitas pelaku.
(7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud padaayat (4) dan ayat (5) dapat
dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi
elektronik.
(8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama
dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
(9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak. 50
C. Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga.
Setiap bentuk kekerasan dalam lingkup rumah tangga merupakan bentuk
pelanggaran hak asasi manusia dan martabat manusia. Kebanyakan korban dari
kekerasan dalam rumah tangga adalah perempuan dan anak. Sebagai makhluk
yang lemah sudah sepantasnya perempuan dan anak mendapatkan perlindungan
hukum dari Negara dan juga masyarakat. Sebagian besar kasus kekerasan
terhadap anak dan perempuan dalam rumah tangga jarang sekali terungkap

50

Undang-Undang No. 17 Tahun 2016Tentang Penetapan PeraturanPemerintah
PenggantiUndang-Undang No. 1 Tahun 2016 Tentang PerubahanKeduaatas Undang-Undang No.
23 Tahun2002 TentangPerlindungan Anak MenjadiUndang-Undang

Universitas Sumatera Utara

dikarenakan mindset pelaku kekerasan yang pada umumnya dilakukan oleh
lakilaki sebagai kepala keluarga menganggap bahwa hal tersebut merupakan
urusan rumah tangganya dan ia sebagai kepala keluarga berhak atas apapun yang
terjadi di dalam urusan rumah tangganya.
Dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga menjelaskan bahwa kekerasan dalam Rumah
Tangga adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga”.
Kemudian muncul pertanyaan, siapa saja yang termasuk dalam lingkup
Rumah Tangga? Dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan yang termasuk ke dalam
lingkup Rumah Tangga adalah:
1. Suami, isteri, dan anak;
2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau
3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut.
Dalam ketentuan Pasal 46 disebutkan bahwa “Setiap orang yang
melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau
denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).

Universitas Sumatera Utara

Kemudian dari rumusan ancaman pidana yang diberikan oleh pasal 46
Undang-Undang No.23 tahun 2004 tetang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Setiap orang Dalam ketentuan pasal ini yang menjadi subjek hukum yang harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya adlaah manusia secara individu atau
orang perseorangan. Hal ini ditegaskan dengan penggunaan “setiap orang”. Dalam
hal tindak pidana hubungan seksual sedarah/incest yang dilakuan oleh orangtua
terhadap anak kandungnya , penggunaan kata “setiap orang” belum tepat
mengenai sasaran terhadap ayah sebagai pelaku, karena “setiap orang” pada
ketentuan ini bersifat umum.
2. Perbuatan pidana Dalam ketentuan pasal ini, yang merupakan perbuatan pidana
atau perbuatan yang dilarang oleh hukum adalah melakukan perbuatan seksual di
dalam lingkup rumah tangga. Yang berarti bahwa apabila terjadi kekerasan
seksual yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak kandungnya (tindak
pidana incest/inses/hubungan seksual sedarah) maka sudah dapat dijerat dengan
ketentuan pidana pada pasal ini.
3. Sanksi pidana
a. Lama pidana yang diberikan oleh Pasal 46 Undang-undang No. 23 tahun 2004
adalah pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp
36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah). Tidak ada rumusan pidana khusus
dalam ketentuan ini, yang berarti bahwa pidana penjara bisa aja dijatuhkan dalam
rentang waktu 1 hari sampai 12 tahun. Kemudian di dalam ketentuan ancaman
pidana ini, juga tidak terdapat pemberatan pidana, mengingat bahwa pelaku
adalah orangtua.

Universitas Sumatera Utara

b. Sistem perumusan pidana Sistem perumusan pidana dalam pasal 46 ini adalah
Alternatif (penjara atau denda). Sistem perumusan alternatif menyebabkan pidana
yang bisa dijatuhkan hanya salah satu diantara penjara maupun denda.

Universitas Sumatera Utara