Perubahan Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Nias di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat Tahun 1965-1995

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Suku Nias menamakan dirinya Ono Niha atau “ anak manusia “ dan tanah
tumpah darahnya kepulauan Nias yang di sebut “ Tano Niha “. Wilayah tano niha
merupakan tempat yang terpencil, terisolasi dan jauh dari peradaban suku lain. 1
Suku Nias pada saat itu merasa bahwa hanya mereka penghuni dan penguasa
muka bumi ini tanpa ada manusia lain. Hal tersebut menimbulkan bahwa manusia dan
pimpinannya menjadi bersifat egois, emosional dan sulit berkembang. Budaya Suku
Nias dan peradabannya berkembang dengan sendirinya yang disebut local genius
(orang pintar yang mengetahui tata cara disuatu daerah dan dianggap orang lain yang
tidak melaksanakannya tidak beradat).2 Mereka memiliki kebiasaan yang turun
temurun dalam berbagai kehidupan seperti bercocok tanam, berburu, membangun
rumah, dan mendirikan banua ( kampong ) dan lain-lain. Yang keseluruhannya ini
diatur dan ditata dalam tatanan kehidupan yang di sebut Fondrako 3atau hukum dasar.

1

Eduard Fries, Sejarah Pulau Nias, ombolata: zendingsdrukkerij, 1919, hlm. 11
Ibid., hlm. 28

3
Fungsi dan kekuasaan dari Fondrako adalah mengatur dan menetapkan ketentuanketentuan hukum tata tertib kehidupan masyarakat yang di tuangkan dalam bentuk adat-istiadat.
serta mengatur dan menetapkan sanksi-sanksi ( ancaman hukuman ) bagi siapa yang melanggar
ketentuan-ketentuan dari hukum itu sendiri. S. Mendrofa, 1981. Fondrako Ono Niha . Jakarta: PT
BPK Gunung Mulia hal 48.
2

Universitas Sumatera Utara

Fondrako mendasari aturan-aturan kebiasaan lainnya yang menjadi hukum yang
harus di patuhi.
Pada masa sebelum kedatangan orang Belanda tahun 1866, orang Nias
terpecah menjadi beberapa kesatuan setempat yang otonom disebut Ori.4 Setiap Ori
merupakan gabungan dari beberapa Banua5 dan tiap Banua dihuni oleh bagian-bagian
dari beberapa Mado.6 Setiap Ori dikepalai oleh seorang Tuheneri7 dan tiap Banua
dipimpin oleh seorang Salawa. Pada zaman Belanda semua Ori diseluruh Nias dan
pulau-pulau disekitarnya dipersatukan menjadi Afdeling Nias di bawah seorang
Assisten Residen. 8
Desa Tumori ini merupakan salah satu desa adat yang sangat memegang teguh
tradisi dan aturan yang berlaku dalam Banua. Seiring dengan perkembangan waktu

desa ini mengalami perubahan, penulis akan menguraikannya pada bab-bab
selanjutnya.

4

Ori merupakan istilah gabungan dari beberapa kampung. Pemimpin ori di pilih berdasarkan
garis keturunan leluhurnya, yang bertugas untuk menjamin keteraturan dan ketenangan dalam
masyarakat.
5
Banua atau desa merupakan dasar dari sebuah masyarakat. Setiap Banua yang otonom
dianggap oleh penduduknya cerminan dari dunia atas. Semua kegiatan dalam sebuah banua,
termasuk upacara dari agama lama, adat, kepemimpinan, pembuatan rumah dan lain-lain untuk
memperoleh berkat (howu-howu).
6
Dalam menentukan Mado atau marga dalam masyarakat Nias, ditentukan dari garis
keturunan ayah (laki-laki) yang disebut Patrilineal.
7
Tuhenori adalah istilah yang di pakai untuk menyebut pemimpin dalam beberapa
kampung. Persyaratan untuk menjadi Tuheneri antara lain; memiliki wibawa atau kharisma,
kedewasaan, memiliki harta dan memiliki kepintaran.

8
Tuhoni Telaumbanua, Salib dan Adu, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, hlm 48-52.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu bukti peninggalan di Desa Tumori ini yang masih bisa kita lihat
hingga sekarang adalah rumah adatnya yang masih asli yang telah berusia hingga
ratusan tahun. Hal ini ditambah lagi dengan batu peniggalan yang melambangkan
kebesaran seorang Balugu atau pemimpin dalam Banua yang disebut dengan Gowe
(batu kebesaran/kehormatan)
Perubahan yang terjadi dimasyarakat juga tidak terlepas dari peran para
pemimpin, baik formal maupun informal didalam kolektifitas sosial. Ini terjadi antara
pemimpin dengan yang dipimpin (pengikut). Peran pemimpin dalam mengarahkan
dan mempengaruhi pengikutnya menuju pada tujuan kolektif atau membentuk
kelakuan masyarakat berdasarkan nilai-nilai tertentu.
Status pemimpin pada masyarakatnya mempunyai fungsi atau peran,
mengawasi agar tujuan bersama dapat tercapai khususnya dalam masyarakat.
Pemimpin merupakan “agen of change” yang paling efektif. Kemampuan pemimpin
membawa pengikutnya akan membuahkan hasil keikutsertaan masyarakat dengan
kesadaran penuh untuk ikut serta membangun daerahnya, bukan hanya partisipasi

semu karena ada paksaan.9 Dalam konteks kedaerahan sebutan pemimpin, baik itu
yang dipilih oleh masyarakatnya maupun pimpinan yang di dapat karena keturunan,
memiliki dasar-dasar kepemimpinan yang secara historis diakui oleh masyarakat.

9

D. Kenan Purba dan J.D. Purba, Sejarah Simalungun, Jakarta; Bina Budaya Simalungun,
1995, hal. 64

Universitas Sumatera Utara

Untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat tradisional Nias di Desa Tumori,
persyaratannya telah ditentukan oleh masyarakat melalui wadah musyawarah yang
disebut Fondrako. Persyaratan tersebut antara lain: harus tinggi bosi10 dalam
masyarakat, berkecukupan untuk membantu masyarakat, berjiwa sosial, kuat fisik
untuk melaksanakan tugas dan berasal dari golongan pemimpin atau yang telah
berjasa. Disisi lain, pemimpin yang diakui masyarakat berasal dari dalam masyarakat
itu sendiri, kariernya dimulai dari bawah ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga tidak
ada pemimpin yang disebut “ lompat pagar “.11 Dengan demikian masyarakat yang
dipimpinya loyal kepadanya dan mendapat dukungan dari masyarakat.

Kedudukan dan kebesaran tercermin dari sebutan mereka “ Salawa “, (tinggi)
atau Si’ulu ( yang di atas ). Sedangkan rakyat biasa di sebut Sihono ( si seribu ), Sato
( umum ). Selanjutnya lapisan Si’ulu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu; Balo
Zi’Ulu ( yang memerintah ) dan Si’Ulu ( kebanyakan ). Sato dapat dibagi menjadi
dua golongan yaitu; Si’Ila ( cerdik, pandai, dan pemuka rakyat ) dan Sato (rakyat
kebanyakan).
Harta milik para Si’ulu menandai kedudukan mereka. Rumah yang besar,
tutup kepala paling tinggi dan duduk ditempat paling tinggi saat upacara Si’ulu. Hal
diatas diperoleh melalui warisan. Pembuatan emas permata, dan perhiasan serta

10

Bosi atau derajat merupakan adalah tolak ukur dalam masyarakat Nias. Semakin tinggi bosi
seseorang, semakin tinggi rasa hormat dan kedudukannya dalam masyarakat tersebut. S. Mendrofa,
1981. Fondrako Ono Niha . Jakarta: PT BPK Gunung Mulia hal 60.
11

Eduard Fries, Sejarah Pulau Nias, ombolata: zendingsdrukkerij, 1919, hlm. 67

Universitas Sumatera Utara


kepemilikan rumah yang besar, menjadikan para Si’ulu dapat mempertahankan
kedudukan. Benda-benda tersebut berfungsi sebagai “ pemberitahuan “ kepada orang
lain mengenai kedudukan tinggi mereka sekaligus sebagai penghubung antara Si’ulu
dan leluhur mereka.
Dimasa lalu masyarakat Nias dibagi dalam beberapa tingkatan (stratifikasi)
yaitu :
1. Masyarakat Nias terbagi menjadi yang diatas ( si’ulu ) yang pada
dasarnya keturunan para pendiri Desa.
2. Pemuka agama ( Ere ).Ere terbagi atas beberapa bagian, yaitu; Ere
Huhuo (ahli pidato), Ere Hoho (ahli bercerita atau ahli menuturkan
cerita dan mitos secara sangat puitis), Ere Maena (ahli untuk
memimpin tarian tradisinal yang di sebut maena), Ere Nadu (ahli
agama asli atau ahli dalam memimpin upacara yang berhubungan
dengan Adu), Ere Boro Nadu (imam tertinggi dan pembuat hukum).
Seorang Ere tidak harus berasal dari keturunan dan kelompok tertentu,
namun dia (laki-laki atau perempuan) di terima sebagai seseorang
yang berkuasa dan terhormat.
3. Rakyat biasa atau rakyat kebanyakan ( Ono Mbanua ).


Universitas Sumatera Utara

4. Budak ( sawuyu ) yang dahulu milik kaum ningrat dan tinggal diluar
Desa.12 Sawuyu juga dibagi dalam tiga golongan yaitu;
1. Binu ( orang yang menjadi budak kerena kalah perang atau di culik ).
2. Sondara Hare ( orang yang menjadi budak karena tidak dapat
membayar hutang ).
3. Holito ( orang yang menjadi budak setelah di tebus orang setelah di
jatuhi hukuman mati ).13
Dalam masyarakat Nias di desa Tumori, ketika Si’ulu meninggal dunia maka
dalam upacara pemakamannya harus mengorbankan puluhan hingga ratusan kepala
manusia. (tergantung dari bosi atau derajatnya). Hal ini dilakukan sebagai suatu
kehormatan dan sejalan dengan kepercayaan masyarakat Nias yang bersifat animisme
dan dinamisme. Dari semua golongan budak, Binu adalah yang paling buruk. Karena
dari kalangannyalah yang dipilih untuk dikorbankan pada upacara yang memerlukan
korban manusia.
Seiring

dengan


perkembangan

waktu,

pada

tahun

1965

struktur

kepemimpinan dalam masyarakat Nias mengalami perubahan drastis. Inilah yang
menarik buat saya, dimana kepemimpinan tradisional yang sudah turun temurun bisa
berubah. Peneliti ingin mengkaji tentang hal ini. Apa saja faktor yang mengakibatkan
perubahan tersebut.
12

Eduard Fries, Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia , 1988,


hlm 48
13

Ibid.,hal 49

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis terarik untuk meneliti kepemimpinan
Tradisional

tersebut

dengan

judul

:

“PERUBAHAN


KEPEMIMPINAN

TRADISIONAL MASYARAKAT NIAS DI DESA TUMORI KECAMATAN
GUNUNGSITOLI BARAT TAHUN 1965-1995”. Alasan penulis memilih tahun
1965 karena pada tahun tersebut Struktur Kepemimpinan Masyarakat Nias berubah,
dengan dihapuskannya Tuhenori dan bergantinya peranan Si’ulu, menjadi Kepala
Desa ( satua banua ). Hal ini membawa kelegaan pada sebagian besar masyarakat
Nias tentang adanya stratifikasi sosial yang sangat jauh pada masa itu yang dianggap
sebagai jarak antara kelas Si’ulu dan Sawuyu ( budak ). Peneliti membatasi penelitian
tahun 1995 karena, kebijakan dalam memilih pemimpin tradisional di Gunungsitoli
Barat mulai diubah. Pada awalnya yang dapat menduduki posisi ini adalah para kaum
atau keturunan Si’ulu. Akan tetapi sejak tahun 1995 memilih pemimpinnya tidak
diharuskan dari keturunan Si’ulu. Semua golongan masyarakat yang mengerti dan
memahami tentang adat, serta dapat mempertanggungjawabkan tugasnya sebagai
pemimpin yang baru dapat dipilih sebagai pemimpin.
B. Perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis mengemukakan rumusan
masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Struktur Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Nias di Desa
Tumori kecamatan Gunungsitoli Barat sebelum Tahun 1965.


Universitas Sumatera Utara

2. Bagaimanakah Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Nias di Desa Tumori
kecamatan Gunungsitoli Barat Periode 1965-1995.
3. Bagaimana proses perubahan Kepemimpinan Tradisional Desa Tumori dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Untuk mencapai suatu sasaran tertentu maka selalu berpegang pada tujuan. Di
mana tujuan itulah yang merupakan gambaran dari masalah yang di teliti. Dalam hal
ini yang menjadi tujuan penulisan adalah :
1. Untuk menjelaskan Struktur Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Nias di
Desa Tumori kecamatan Gunungsitoli Barat Sebelum Tahun 1965.
2. Untuk menjelaskan Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Nias di Desa
Tumori kecamatan Gunungsitoli Barat Periode 1965-1995.
3. Untuk menjelaskan proses Perubahan Kepemimpinan Tradisional di Desa
Tumori dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang kepemimpinan
tradisional masyarakat Nias di Desa Tumori kecamatan Gunungsitoli Barat.
2. Penulisan ini diharapkan menambah referensi dan khasanah ilmu sebagai
bahan rujukan untuk penelitian terkait selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

3. Penulisan ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan pembaca secara
khusus tentang struktur kepemimpinan tradisional di Desa Tumori dan secara
umum tentang kepemimpinan tradisional di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka
Penelitian memerlukan landasan teoritis yang akan membantu memberikan
dasar pokok bagi kelanjutan proses penelitian. Landasan teoritis akan di peroleh
melalui riset yang rutin terhadap kepustakaan yang relevan dengan topik atau objek
penelitian. Dengan demikian penelaah studi kepustakaan merupakan kegiatan mutlak
dalam proses penelitian. Dalam hal ini dikemukakan beberapa buku yang mendukung
konsep, hipotesa dan teori sehubungan dengan objek yang di teliti.
Eduard Fries dalam Sejarah Perjuangan Masyarakat Nias (1988),
menjelaskan dalam laporan penelitian perjuangan masyarakat Nias dalam melawan
Belanda. Bagaimana struktur kepemimpinan tradisional pada masa itu dan peran
Si’ulu sebagai pemimpin. Laporan penelitian ini juga menjelaskan tentang adat
istiadat dan peraturan-peraturan yang diatur dalam Fondrako. Penulis menggunakan
laporan penelitian tersebut, untuk mengetahui konsep kepemimpinan pada masa itu.
Hal ini untuk menambah referensi penulis tentang Perubahan Kepemimpinan
Tradisional Masyarakat Nias Di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat.

Universitas Sumatera Utara

Tuhoni Telaumbanua, dkk dalam Salib dan Adu (1865) menjelaskan
bagaimana perjumpaan Misionaris dari Jerman yang membawa agama kristen pada
masyarakat Nias. Dalam proses yang cukup memakan waktu yang cukup lama,
akhirnya mengalami perubahan disebagian besar masyarakat Nias. Dimana awalnya
masyarakat Nias yang sangat kuat kepercayaannya dengan hal-hal yang berbau
animisme dan dinamisme mulai meninggalkan hal tersebut dan beralih dan percaya
pada agama kristen. Penulis menggunakan buku ini untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi perubahan yang terjadi pada Kepemimpinan Tradisional
Masyarakat Nias di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat.
Masykur

Ar.

dalam

Sistem

Kepemimpinan

Masyarakat

Pedesaan

Jambi(1983) menjelaskan gambaran umum kepemimpinan dalam masyarakat
pedesaan, dan pola-pola kepemimpinan dalam masyarakat baik dalam bidang sosial,
ekonomi, agama dan pendidikan. Penulis menggunakan buku tersebut untuk
mengetahui pola dan konsep Perubahan kepemimpinan Tradisional Masyarakat Nias
di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat.
Kartini Kartono dalam Pemimpin dan Kepemimpinan (2000) menjelaskan
tentang konsep, teori, model, tipe, dan contoh pemimpin dan kepemimpinan, serta
bagaimana cara untuk mencapai kepemimpinan tersebut agar dapat menjadi
pemimpin yang berhasil. Penulis menggunakan buku tersebut untuk memahami
konsep, teori, Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Nias di Desa Tumori
Kecamatan Gunungsitoli Barat.

Universitas Sumatera Utara

Soerjono Soekanto dalam Perubahan Teori Sosiologi Sosial (1980)
menjelaskan tentang kehidupan masyarakat, bentuk-bentuk perubahan sosial, faktorfaktor yang menyebabkan perubahan kehidupan masyarakat tradisional. Perubahan
sosial tersebut tentunya disebabkan oleh adanya faktor yang menunjang dan
mempengaruhi setiap individu dalam masyarakat. Penulis menggunakan buku ini
untuk dapat memahami Perubahan yang terjadi pada Kepemimpinan Tradisional
Masyarakat Nias di Desa Tumori Kecamatan Gunungsitoli Barat.
Sairun dalam Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia ditinjau dari
Perspektif Antropologi (2002) menjelaskan tentang perubahan yang terjadi pada
masyarakat indonesia bagaimana dan perilaku bagaimana yang dapat menimbulkan
berbagai perubahan dan berakibat pada dinamika sosial, sehingga memiliki hubungan
dengan masalah yang dikaji.

E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode sejarah agar proses
penelitian dapat di lakukan secara efektif. Hal ini karena metode sejarah dapat
diterapkan kearah pembahasan disiplin maupun sebagai sarana untuk memastikan
fakta-fakta yang ada. Adapun metode sejarah yaitu meliputi: heuristik, verifikasi,

Universitas Sumatera Utara

interpretasi dan historiografi.14 Melalui metode ini di tentukan langkah-langkah
sebagai berikut.
Langkah pertama adalah heuristik yaitu tahap mencari dan mengumpulkan
sumber-sumber yang relevan dengan topik atau judul penelitian berupa data atau
fakta-fakta baik secara tulisan maupun lisan.
Dalam

langkah

ini

penulis

melakukan

penelitian

pustaka

dengan

mengumpulkan sumber-sumber berupa sumber tertulis yang diperoleh melalui bukubuku, artikel-artikel, arsip-arsip yang berhubungan dengan topik penelitian yang di
kaji. Sumber-sumber ini diperoleh dari Museum Pusaka Nias, Perpustakaan Daerah,
Perpustakaan USU, koleksi personal dan arsip-arsip serta laporan yang di miliki oleh
pemerintah kelurahan-kelurahan yang terdapat di kawasan Nias. Penulis juga
melakukan penelitian lapangan berupa wawancara dengan beberapa informan yang
dapat memberikan keterangan dalam penelitian ini sebagai informasi.
Langkah yang kedua dilakukan adalah kritik sumber atau verifikasi. Proses ini
adalah merupakan langkah penulis untuk menggiring hasil tulisan menjadi “objektif”
dan sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Kritik terbagi menjadi dua yaitu; Kritik
ekstern adalah penyelidikan terhadap sumber yang diperoleh dengan meneliti keadaan
luar dari sumber-sumber yang digunakan, apakah sumber yang di gunakan otentik
atau tidak.
14

Louis Gottchalk, Mengerti Sejarah, (terj. Nugroho Notosusanto), Jakarta: UI Press, 1985,

hlm 32.

Universitas Sumatera Utara

Kritik intern adalah menyelidiki isi dari sumber yang di peroleh. Dalam hal
ini, sumber-sumber yang telah terkumpul dikaji, yang merupakan fakta historis yang
meliputi isi, bahasa, situasi dan lain sebagainya.
Tahapan selanjutnya adalah interpretasi atau penafsiran sejarah yang sering
disebut analisis sejarah. Dalam tahapan ini, data yang diperoleh telah dianalisis
sehingga melahirkan suatu analisis baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari
objek yang diteliti. Dengan kata lain, tahapan ini dilakukan dengan menyimpulkan
kesaksian atau data-data dari informasi yang dapat dipercaya dari bahan-bahan yang
ada.
Tahapan yang terakhir adalah historiografi, yaitu merupakan pemaparan atau
penulisan laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan atau bisa juga disebut
penyusunan kesaksian atau sumber-sumber yang dapat dipercaya menjadi kajianyang
menarik dan berarti, secara kronologis dan rasional.

Universitas Sumatera Utara