Analisis Musikal, Tekstual dan Fungsi Nanga-Nanga Mehumasa Pada Masyarakat Simeulue di Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten Simeulue

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada masyarakat pedesaan, yang umumnya dalam suasana peradaban
masyarakat tradisional, terdapat berbagai media sosial dan budaya sebagai sarana
efektif saling berinteraksi. Media ini telah sejak lama tumbuh dan berkembang
bersama masyarakatnya dan menjadi media sosialisasi nilai-nilai antar warga
masyarakat, bahkan dari generasi ke generasi. Media ini dikenal sebagai media
rakyat.
Media sosial adalah wahana komunikasi atau pertukaran informasi yang
telah terpola dalam kehidupan sosial suatu komunitas masyarakat. Media sosial
menuntut keterlibatan secara fisik individu dalam proses komunikasi (Sigman,
1990:124). Media sosial menggunakan komunikasi tatap muka dalam bentuk
komunikasi antarpersonal maupun komunikasi kelompok. Di sini proses
keterlibatan anggota menjadi sangat penting. Media rakyat ini digambarkan
sebagai media yang murah, mudah, bersifat sederajat, dialogis, sesuai, dan sah
dari

segi

budaya,


bersifat

setempat,

lentur menghibur

dan

sekaligus

memasyarakat, juga sangat dipercaya oleh kalangan masyarakat pedesaan yang
kebetulan menjadi kelompok sasaran utama (Oepen, 2007:88).
Media rakyat sering muncul dalam bentuk kesenian daerah atau
kebudayaan tradisonal daerah. Kesenian atau budaya daerah digunakan sebagai
wahana untuk memperkenalkan dan memberikan pesan-pesan pembangunan
kepada masyarakat pedesaan. Karena warga masyarakat pedesaan masih
menyukai dan membutuhkan budaya atau kesenian tradisional sebagai sebuah
1
Universitas Sumatera Utara


bentuk hiburan maka media ini juga menjadi sarana yang sangat tepat sebagai
media

tranformasi

nilai-nilai,

termasuk

pesan-pesan

pembangunan

dari

pemerintah. Pesan-pesan pembangunan disisipkan secara implisit dan kreatif
sehingga terasa menyatu dengan media rakyat (Yuni Setyaningsih, 2000).
Ada banyak macam media rakyat yang selama ini tumbuh dan
berkembang di dalam masyarakat, namun banyak pula yang hilang karena

ditinggalkan penggemarnya, dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan
perkembangan zaman. Pemilihan media rakyat yang bisa digunakan untuk
menyebarluaskan ide-ide pembangunan adalah sangat penting untuk mendukung
efektivitas pesan. Pilihan hendaknya dijatuhkan pada media rakyat yang paling
disukai oleh sebagian besar masayarakat setempat (Colleta dan Kayam,
2008:235). Media rakyat dalam bentuk seni rakyat (folk culture) diyakini dapat
lebih mudah digunakan sebagai sarana menyebar luaskan informasi pembangunan
karena media tersebut telah ada dan dekat dalam kehidupan masyarakat setempat.
Dengan media rakyat, masyarakat akan ikut serta merasa memiliki atau terlibat
dalam pembuatannya, sehingga memungkinkan tersampaikannya pesan-pesan
kebudayaan secara lebih efektif. Induksi nilai-nilai yang sifatnya evolutif dan
menyatu dengan masyarakat dapat membuat masyarakat merasa tidak dipaksa
untuk mengadopsi nilai-nilai baru.
Upaya penyebaran informasi kebudayaan yang disampaikan melalui media
melalui media yang ada bagi setiap masyarakat bangsa berbeda-beda disebabkan
oleh struktur dan sistem masyarakat yang berbeda pula. Bagi masyarakat bangsa
yang sudah linier dalam arti pengertian berbagai masalah sudah diketahui dan

2
Universitas Sumatera Utara


dimiliki oleh bagian terbesar anggota masyarakat, komunikasi melalui media
massa modern akan lebih menguntungkan, namun bagi masyarakat yang
mempunyai struktur dan sistem sosial yang majemuk, penyebaran informasi
melalui media massa masih memerlukan upaya dengan media tradisional yang ada
dalam masyarakatnya (Rogers, 1971:165).
Dalam komunikasi tradisional di pedesaan, penggunaan pertunjukan
rakyat sebagai media komunikasi mempunyai potensi besar untuk mencapai
rakyat banyak, terutama sekali karena media tersebut memiliki daya tarik yang
sangat kuat dan berakar di tengah-tengah masyarakat. Media tradisional
merupakan alat komunikasi yang sudah lama digunakan di suatu tempat (bersifat
lokal) yaitu sebelum kebudayaannya tersentuh oleh teknologi modern dan sampai
sekarang masih digunakan di daerah itu. Media ini akrab dengan massa khalayak,
kaya akan variasi, dengan segera tersedia, dan berbiaya rendah. Media ini dengan
segala kelebihannya memiliki potensi yang dimiliki oleh pertunjukan rakyat dan
sangat efektif untuk menyampaikan pesan-pesan komunikasi, apalagi ketika
dikhususkan pada saat otonomi daerah seperti yang terjadi di Indonesia ini
diberlakukan. Demikian pula yang terjadi di Desa Salur, Kabupaten Simeulue,
Provinsi Aceh.
Kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa Salur umumnya adalah bertani.

Ada yang bercocok tanam di ladang, ada pula yang menjadi nelayan. Dalam
kenyataannya sebagian besar masyarakat lebih memilih bertani di sawah.
Pertanian padi menjadi salah satu mata pencaharian pokok masyarakat Simeulue.
Sebagai mata pencaharian yang telah ada secara turun-temurun, penelusuran

3
Universitas Sumatera Utara

kearifan masyarakat Simeulue juga dapat dilihat melalui aktivitas petani dalam
membangun daerahnya. Kelompok petani Simeulue khususnya di Desa Salur
menjadikan kesenian Nanga-nanga mehumasa sebagai media komunikasi
sekaligus media hiburan.
1

Nanga-nanga mehumasa merupakan suatu genre nyanyian rakyat dalam

hal ini berupa nyanyian ajakan bekerja kepada masyarakat yang umumnya bekerja
sebagai petani atau bercocok tanam. Nyanyian ini teridiri dari syair pantun
menggunakan bahasa daerah yang dapat disajikan secara solo hingga 20 orang
pemain dengan menggunakan instrument kedang (gendang) sebagai pengring,

nyanyian ini juga dapat disajikan daam berbagai tema salah satu tema yang sering
diangkat dalam nyanyian ini yaitu mehumasa. Mehumasa dalam Simeulue berarti
―bekerja‖, ini merupakan salah satu tema pembangunan dalam karya satra lisan
nanga-nanga, yaitu ajakan bekerja serta nasehat kepada masyarakat Simeulue
yang umumnya bekerja sebagai petani atau bercocok tanam.
Menurut informan, dulunya nanga-nanga mehumasa ini sering dijumpai
dikalangan para petani. biasanya pada saat waktu senggang sembari menjaga
sawah, mereka saling bergantian bernanga-nanga untuk mengisi waktu santai,
namun disisi lain nanga-nanga mehumasa ini juga disajikan pada suatu upacara
kenduri padi atau yang dikenal oleh masyarakat Simeulue dengan sebutan upacara
Mangan Ulun Tinafa, dipengehujung acara tersebut kemudian ditampilkan
beberapa kesenian daerah baik itu nyanyian rakyat,maupun tari tarian, salah
satunya nanga-nanga mehumasa yang merupakan sebuah genre nyanyian rakyat

1

wawancara dengan bapak Rajuman dan Ali Umar

4
Universitas Sumatera Utara


simeulue berupa syair pantun yang berfungsi dan mennggunakan instrumen
tradisonal kedang (gendang) sebagai pengiring.
Sehubungan dengan nyanyian rakyat Jan Harold Brunvand (Danandjaja,
2007:141) menyatakan bahwa nyanyian rakyat adalah salah satu genre folklor
yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan di antara kolektif
tertentu dalam bentuk tradisional serta banyak mempunyai varian. Nyanyian
berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media.
Sering kali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh penggubah nyanyian
profesional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa).
Walaupun demikian, identitas folkloritasnya masih dapat kita kenali karena masih
ada varian folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission).
Setiap nyanyian rakyat, kata-kata dan lagu merupakan dwitunggal yang
tidak dapat terpisahkan. Teks nyanyian rakyat selalu dinyanyikan oleh informan
dan jarang sekali yang hanya disajakkan (recite). Namun, teks yang sama tidak
selalu dinyanyikan dengan lagu yang sama. Sebaliknya, lagu yang sama sering
digunakan untuk menyanyikan beberapa teks nyanyian rakyat yang berbeda.
Secara musikal, nanga-nanga mehumasa ini mengutamakan komunikasi
tekstual dibandingkan musikalnya. Secara etnomusikologis, dapat dikategorikan
sebagai musik yang logogenik,2 yakni lebih mengutamakan sajian teks

2

Logogenik adalah sebuah penajian music dalam konteks kebudayaan yang
mengutamakan teks atau lirik, sehingga berkaitan erat dengan seni sastra dan bahasa. Di dalam
kebudayaan masyarakat Sumatera Utara, sebagai contoh dalam budaya Angkola dan Mandailing
dikenal musik onang-onang dan jeir, dalam kebudayaan Pesisir dikenal sikambang, di dalam
masyarakat Melayu ditemukan syair, gurindam, nazam, sinandong, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Sebaliknya terdapat pula sajian musik melogenik, yaitu mengutamakan sajian musik itu
sendiri dalam bentuk ritme, melodi, harmoni, atau gabungan keseluruhannya. Dalam tekik sajian
demikian, unsur teks (lirik) lagu tidak diutamakan. Di dalam kebudayaan masarakat Sumatera
Utara, sajian seperti ini contohnya adalah gordang sambilan, gordang tano (Angkola dan

5
Universitas Sumatera Utara

dibandingkan melodi atau ritmenya. Tujuan utama adalah memberikan nasehat
serta ajakan dalam bekerja pada masyarakat yang umumnya berprofesi sebagai
petani. Berikut adalah penggalan syair nanga-nanga mehumasa.
sira-sira oi sikandong
anyungkulan merafara-rafa

bekame ata sao hampong
Sumani mahea mebak tinafa

sira-sira oi sikadung
pagi hari berkicau-kicau
berkemas orang suatu kampung
segera pergi menuju sawah

Angaya umela merafa-rafa
umela tek detak bulung bano
Summani mahea mehumasa
Aifak itanifuha lahal fano

jika kudengar berkicau-kicau
kudengar dari atas daun talas
segera kita pergi bekerja
agar jangan datang sengsara

Mangengkek bajak alek cangkur
Supayo mananam satiok tahun

Aifak Malibu ita basukur
mangafen doa rajaki toron

membuat bajak dengan cangkul
untuk ditanam setiap tahun
jangan lupa kita bersyukur
sertakan doa rezekipun turun

Syair di atas berbentuk syair pantun berupa nasehat serta ajakan bekerja
kepada masyarakat yang berprofesi sebagai petani atau bercocok tanam . Bila
melihat tujuan komunikasi dalam syair diatas, terdapat nilai-nilai yang
membangun semangat para petani untuk mewujudkan perekonomian yang lebih
baik di daerahnya Apabila dikaitkan dengan konteks kebudayaan di mana ia
hidup, maka nanga-nanga mehumasa memiliki guna dan fungsi. Di antara guna
nanga-nanga mehumasa adalah belajar dapat pembelajaran serta nasehat-nasehat
yang terkandung dalam syairnya. Lebih jauh, fungsi nanga-nanga mehumasa
adalah sebagai ajakan dan semangat kepada masyarakat petani dalam bekerja
dengan tujuan membangun perekonomi yang lebih baik di daerahnya, selain itu
untuk menjaga kontinuitas generasi manusia, menjaga hubungan manusia dengan
Mandailing), ensambel genderang sipitu-pitu (Pakpak dan Dairi), gondang sabangunan (Batak

Toba), dan lain-lainnya.

6
Universitas Sumatera Utara

manusia, juga dengan alam, dan termasuk manusia dengan Tuhan, yang di dalam
konsep masyarakat Simeulue yang berpegang kepada ajaran Islam adalah menjaga
hubungan horizontal yang disebut hablum minannas dan hubungan vertikal yang
diistilahkan dengan hablum minallah. Fungsi lainnya dari nanga-nanga
mehumasa adalah melestarikan kebudayaan Simeulue, memperkuat identitas
kebudayaan, sebagai sarana komunikasi, hiburan, dan lain-lainnya.
Selain itu tidak hanya sekedar terciptanya perubahan sikap, pendapat, atau
perilaku individu atau kelompok, melainkan perubahan masyarakat atau
perubahan sosial (A.S. Achmad, 1997). Untuk itu, diperlukan berbagai sarana
yang bisa memerankan posisi yang sangat penting tersebut, termasuk penggunaan
media rakyat tradisional seperti nanga-nanga mehumasa. Di sini, pemerintah
diharapkan

memiliki

tanggapan

yang

positif

untuk

memelihara

dan

mempertahankan setiap media rakyat ini bukan sekadar digunakan untuk fungsi
hiburan masyarakat saja, tetapi dapat dimanfaatkan secara lebih optimal dalam
tujuan pembangunan nasional di negara kita.
Menurut pengalaman penulis Nanga-nanga Mehumasa ini pada tahun
2009 khususnya diajang Festival Nandong akbar disajikan dalam bentuk seni
pertunjukan., pertunjukan budaya, dan sejenisnya. Para pelaku seni menyajikan
nanga-nanga memakai pakaian adat Simeulu dan mengiringi nyanyian
menggunakan instrumen kedang (gendang)

Perkembangan ini adalah sebagai

salah satu tujuan sosialisasi nanga-nanga Mehumasa di dalam masyarakat,
memperkuat identitas kebudayaan Simeulue yang memiliki ciri khasnya, dan juga

7
Universitas Sumatera Utara

berfungsi sebagai media rakyat dalam membangun perekonomian daerah yang
lebih baik.
Berdasarkan pengalaman diatas penulis juga melihat pelaku kesenian
nanga-nanga umumnya berumur 40 sampai 60 tahun. Hal ini menimbulkan
asumsi bahwa kesenian tradisional nanga-nanga tidak banyak diminati oleh
kalangan generasi muda DiSimeulue bahkan bisa hilang dari keberadaannya dan
akan berdampak buruk pula pada pelestarian seni tradisional yang di miliki oleh
kabupaten Simeulue.
Pemahaman akan aspek-aspek diatas akan memberikan suatu pemahaman
makna-makna yang terkandung dalam tradisi nanga-nanga mehumasa. maknamakna tersebut terpendam dalam masyarakat, seniman, adat-istiadatnya, dan
kebudayaan musikalnya. Berdasarkan aspek-aspek yang telah diuraikan di atas,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang tradisi Nanga-nanga
mehumasa pada masyarakat Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten
Simeulue, Provinsi Aceh.
Hal ini juga sangat relevan untuk dikaji secara etnomusikologi sebagai
bidang keilmuan yang penulis pelajari selama empat tahun terakhir ini di
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara
Medan. Etnomusikologi adalah studi musik dalam konteks budayanya. Para
etnomusikolog biasanya melakukan pendekatan musik sebagai proses sosial untuk
memahami tidak hanya apa musik tapi mengapa: apa artinya praktik musik dan
khalayak,

dan

bagaimana

makna

yang

disampaikan

musik

tersebut.

Etnomusikologi sangat interdispliner. Para ilmuwan yang bekerja di lapangan

8
Universitas Sumatera Utara

etnomusikologi ini mungkin saja berasal dari pelatihan musik, kajian pertunjukan,
cerita rakyat (folklor), tari, ilmuwan antropologi budaya, studi budaya, studi etnik,
studi gender, studi kawasan, atau bidang lainnya di bidang ilmu-ilmu humaniora
atau sosial. Namun para etnomusikolog memiliki landasan yang koheren dalam
pendekatan dan metodenya, seperti berikut: (1) melakukan penelitian lapangan
etnografi dan penelitian sejarah musik; (2) mengambil pendekatan global untuk
musik (terlepas dari daerah asal, gaya, atau genre musik); (3) memahami musik
sebagai praktik sosial (melihat musik sebagai aktivitas manusia yang dibentuk
oleh konteks budayanya).
Etnomusikolog juga berperan dalam budaya masyarakat. Bermitra dengan
komunitas musik yang mereka pelajari, etnomusikolog dapat mempromosikan dan
mendokumentasikan musik tradisi atau berpartisipasi dalam proyek-proyek yang
melibatkan kebijakan budaya, penyeselaian konflik, pengobatan, pemrograman
seni, atau komunitas musik. Etnomusikolog juga dapat bekerja di museum,
festival budaya, rekaman lebel, dan lembaga lain yang mempromosikan apresiasi
musik dunia. Dengan demikian, kerja keilmuwan yang penulis lakukan adalah
sesuai dengan uraian mengenai apa itu etnomusikologi.
Melalui hal-hal yang telah penulis fokuskan dalam penelitian tradisi
nanga-nanga, maka akan dapat menjelaskan kepada kita tentang struktur melodi
nanga-nanga dan makna teks nanga-nanga mehumasa Di Simeulue Desa Salur.
Berdasarkan latar belakang masalah dan beberapa alasan yang menarik penulis di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: menganalisis fungsi, struktur musik

9
Universitas Sumatera Utara

dan makna yang terkandung dalam syair nanga-nanga mehumasa pada
masyarakat Simeulue Desa Salur.
Berdasarkan penelitian diatas maka penulisan memfokuskan dan
menuliskannya dengan karya ilmiah etnomusikologis dengan 3 perhatian utama,
yakni fungsi, tekstual dan musikal
Oleh karenanya, salah satu upaya untuk pelestarian kesenian, dalam hal ini
penulis selaku putra daerah Simeulue dan mahasiswa etnomusikologi tingkat
akhir membuat penelitian ini kedalam skripsi berjudul: Analisis Musikal,
Tekstual Dan Fungsi Nanga-nanga Mehumasa pada Masyarakat Simeulue, di
Desa Salur, Kecamatan Teupah Barat, Kabupaten Simeulue Aceh.

1.2 Pokok Permasalahan
Banyak aspek keilmuan secara etnomusikologis yang dapat dikaji melalui
keberadaan budaya nanga-nanga mehumasa ini. Untuk itu, perlu ditentukan
pokok masalah agar lebih terfokusnya studi yang penulis lakukan. Adapun pokok
permasalahan pada penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana struktur musikal nanga-nanga mehumasa di Desa Salur
Kabupaten Simeullue, Aceh?
2. Bagaimana bentuk dan makna tekstual nanga-nanga mehumasa di Desa Salur
kabupaten Simeulue, Aceh?
3. Bagaimana fungsi nanga-nanga mehumasa di Desa Salur kabupaten
Simeulue, Aceh?

10
Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Berikut tujuan yang ingin dicapai penulis, yaitu:
1. Mengetahui dan menganalisis struktur musikal nanga-nanga mehumasa ?
2. Mengetahui dan menganalisis bentuk serta makna tekstual nanga-nanga
Mehumasa?
3. Mengetahui fungsi dan menganalisis fungsi nanga-nanga mehumasa?

1.3.2 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pembaca pada
umunya, yaitu:
1. Sebagai bahan dokumentasi terhadap kesenian di Kabupaten Simeulue.
2. Sebagai data yang memperkaya khasanah keilmuan tentang budaya Simeulue.
3. Sebagai bahan perbandingan dan masukan untuk penelitian yang berkaitan
selanjutnya.
4. Sebagai sarana memperluas pengetahuan tentang nanga-nanga di Simeulue.
5. Sebagai syarat ujian untuk mendapatkan gelar sarjana di Departemen
Etnomusikologi, FIB, USU.

1.4 Konsep dan teori
1.4.1 Konsep
Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari
peristiwa konkret (KBBI, Balai Pustaka, 1991). Nanga-nanga mehumasa

11
Universitas Sumatera Utara

merupakan nyanyian vokal yang isinya berbentuk syair pantun berupa nasehat dan
ajakan bekerja pada masyarakat yang bekerja sebagai petani atau bercocok tanam,
nyanyian ini menggunakan bahasa daerah dan iringi intrumen gendang tradisional
Simeulue.
Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,
perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (KBBI,
Balai Pustaka, 1991). Dengan demikian, kata analisis dalam tulisan ini berarti hasil
penguraian objek penelitian. Melodi dan teks nanga-nanga mehumasa yang didapat
akan diuraikan agar memperoleh pengertian dan pemahaman makna tentang nangananga mehumasa.

Tekstual adalah sesuatu yang berkaitan dengan isi karangan, menurut
Echols dan Shadily (1986:380). Kemudian Christine Ammer (1973:369)
mengemukakan tentang musik vokal, yakni sebagai berikut. "Text : In vocal
music, the word. A text need not consist of whole words, it may consist of
nonsense or other syllables (solmization, vocalization) also called lyrics. "
Artinya: Teks khususnya dalam musik vokal berarti kata-kata. Sebuah teks tidak
hanya terdiri dari kata-kata dalam susunan keseluruhannya, ia dapat saja terdiri
dari suku kata yang tidak punya arti atau suku-suku kata lain (seperti solmisasi,
vokalisasi), teks juga disebut dengan lirik.
Selanjutnya Merriam (1964:187) mengemukakan tentang salah satu
sumber yang paling jelas untuk mempelajari tata tingkah laku manusia dalam
salah satu kebudayaan yang berkaitan dengan musik adalah teks nyanyian.
Dengan demikian yang dimaksud dengan tekstual adalah suatu lirik atau kata-kata

12
Universitas Sumatera Utara

yang di dalamnya mempelajari tentang tata tingkah laku manusia yang berkaitan
dengan musik.
Musikal merupakan segala hal yang mengandung unsur musik. Dan dalam
penulisan ini pengertian musikal adalah segala hal di dalam nanga-nanga
mehumasa yang mengandung unsur musik termasuk struktur musik nanga-nanga
mehumasa.
Struktur adalah unsur serapan dari bahasa Inggris yaitu structure. Kata ini
memiliki arti sebagai: susunan, bangunan dan kerangka (Echols dan Shadily
1978:563). Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur musikal yang dimaksud
adalah merujuk kepada dua aspek yaitu struktur melodi dan struktur teks atau
lirik. Struktur melodi lebih khusus merujuk kepada melodi lagu yang dinyanyikan,
yang terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, nada dasar, formula melodi, interval
yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.
Sementara untuk teks atau lirik mencakup genre sastranya. Kemudian kata-kata
ini disusun oleh baris, bait, rima atau sajak, makna-makna (denotatif dan
konotatif), interyeksi, struktur intrinsik, dan lain-lainnya.

1.4.2 Teori
Teori merupakan asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar
sesuatu kesenian atau ilmu pengetahuan. Teori juga merupakan pendapatpendapat atau aturan-aturan untuk melakukan sesuatu (Kamus Umum Bahasa
Indonesia, 1991:154-155).

13
Universitas Sumatera Utara

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori yang sesuai
dengan topik yang akan penulis angkat. Untuk melihat nanga-nanga tergolong ke
dalam bagian nyanyian tradisional atau nyanyian rakyat yang bagaimana, penulis
mengambil teori Brunvand. Ia membagi nyanyian rakyat menjadi tiga bagian,
yakni:
1. Nyanyian rakyat yang berfungsi (functional folk song ) adalah nyanyian yang
kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting dan cocok
dengan irama di dalam aktivitas tertentu.
2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris (lirycal folk song) adalah nyanyian rakyat
yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru si penyanyi
tanpa menceritakan kisah yang bersambung (koheren).
3. Nyanyian rakyat yang bersifat berkisah (narative folk song) adalah nyanyian
rakyat yang menceritakan suatu kisah (Danandjaya, 1984:146-152).
Dari keterangan di atas, nanga-nanga Mehumasa dapat dikategorikan ke
dalam nyanyian rakyat yang bersifat berfungsi. Secara khusus nyanyian ini dapat
befungsi mewujudkan semangat mebangun perekonomian masyarakat Simeulue
yang umumnya bekerja sebagai petani atau bercocok tanam.
Setiap kebudayaan musik dunia memiliki sistem-sistem musik yang
berbeda. Karena kebudayaan musik dunia dikerjakan dengan cara yang tidak sama
oleh setiap pendukung kebudayaan (Nettl, 1977:3). Sistem-sistem musik tersebut
dapat berupa teori, penciptaan, pertunjukan, pendokumentasian, penggunaan,
fungsi, pengajaran, estetika, kesejarahan, dan lain-lain.

14
Universitas Sumatera Utara

Salah satu sistem yang terlihat jelas dalam suatu kebudayaan musik dunia
adalah pengajarannya yang diwariskan dari mulut ke mulut (oral tradition) (Nettl
1973:3). Dengan demikian pewarisan kebudayaan melalui mulut ke mulut dapat
menciptakan hasil kebudayaan musik yang berbeda dari setiap generasi. Hal ini
tentu dapat dijadikan sebagai hal yang menarik untuk diteliti dan harus diketahui
tentang materi-materi lisan dan variasi ragam musik yang menggunakan istilahistilah ideal dari suatu kebudayaan musik itu sendiri.

1.4.2.1 Teori weighted scale
Untuk menganalisis melodi di dalam Nanga-nanga mehumasa, penulis
menggunakan teori weightedscale oleh William P Malm. Teori weighted scale
adalah sebuah teori yang mengkaji keberadaan melodi berdasarkan kepada
delapan unsurnya. Kedelapan unsur melodi itu menurut Malm (1977:15), adalah:
(1) tangga nada; (2) nada pusat atau nada dasar; (3) wilayah nada); (4) jumlah
nada; (5) penggunaan interval; (6) pola cadensa; (7) formula melodi; dan (8)
kontur.
Dalam menganalisis teks-teks yang dinyanyikan, penulis menggunakan
teori William P. Malm. Ia menyatakan bahwa dalam musik vokal, hal yang sangat
penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Apabila
setiap nada dipakai untuk setiap silabel atau suku kata, gaya ini disebut silabis.
Sebaliknya, bila satu suku kata dinyanyikan dengan beberapa nada disebut
melismatik. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan
hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta sangat

15
Universitas Sumatera Utara

membantu melihat reaksi musikal bagi sebuah kata yang dianggap penting dan
pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam terjemahan Takari 1993:15)

1.4.2.2 Teori Semiotik
Untuk mengetahui dan mendalami dari teks nanga-nanga mehumasa,
penulis menggunakan teori semiotik. Istilah kata semiotik ini berasal dari bahasa
Yunani, semeioni. Panuti Sudjiman dan van Zoest (bakar 2006:45-51)
menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang
yang lebih besar. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang
dikomunikasikan.
Selain teori yang telah disebutkan di atas, penulis juga menggunakan
pendekatan transkripsi yang mengacu pada Nettl yang mengatakan ada dua
pendekatan utama untuk mendeskripsikan musik yaitu:
(1) Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan
(2) Kita dapat menuliskan apa yang kita dengar tersebut ke atas kertas lalu
mendeskripsikan apa yang kita lihat.
Dalam penelitian ini, untuk dapat mentranskripsikan atau menuliskan
sebuah musik dalam bentuk simbol-simbol notasi membutuhkan pengetahuan
tentang beberapa hal, diantaranya ritem (organisasi musik di dalam waktu) dan
meter (skema waktu dalam musik). Cara-cara yang akan digunakan untuk
mentranskripsikan musik adalah sebagai berikut:
(1)

Belajar memainkan alat musik yang akan ditranskripsikan.

(2)

Peniruan bunyi dengan cara bernyanyi atau menirukan secara bernyanyi.

16
Universitas Sumatera Utara

1.4.2.3 Teori Fungsional
Sebagai tambahan penelitian ini, peneliti ingin melihat fungsi apa yang
terdapat pada nanga-nanga mehumasa. Untuk itu digunakan teori fungsi, baik
dalam antropologi maupun etnomusikologi.
Dalam disiplin antropologi Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi
sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu
hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan
demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya
dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu
bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial
masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau
konsistensi internal, seperti yang diuraikannya berikut ini.
By the definition here offered ‗function‘ is the contribution which
a partial activity makes of the total activity of which it is a part.
The function of a perticular social usage is the contribution of it
makes to the total social life as the functioning of the total social
system. Such a view implies that a social system ... has a certain
kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We
may define it as a condition in which all parts of the social system
work together with a sufficient degree of harmony or internal
consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither
be resolved not regulated (1952:181).

17
Universitas Sumatera Utara

Selaras dengan pandangan Radcliffe-Brown, nanga-nanga Mehumasa ini
bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Simeulue.
Pertunjukan nanga-nanga mehumasa adalah salah satu bahagian aktivitas yang
bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada saatnya akan
berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya, yaitu
masyarakat Simeulue. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat
harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh
berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Simeulue, misalnya
lingkungan kepulauan dan maritim, daerah penerapan syariat Islam, masyarakat
yang merujuk pada adat, dan lain-lainnya.
Secara etnomusikologis, kajian mengenai fungsi musik dalam masyarakat
ini, selalu didekati dengan teori uses and functions dari Allan P. Merriam yang
dalam bukunya The Anthropologhy of Music (1964:223-226) menguraiakan
contoh sepuluh fungsi musik yaitu; (1) fungsi pengungkapan emosional, (2)
fungsi pengungkapan estetika, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5)
fungsi perlambangan, (6) fungsi reaksi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan
norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara keagamaan, (9)
fungsi kesinambungan kebudayaan, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.
Secara lugas, Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua
istilah, yaitu penggunaan dan fungsi.

Menurutnya, membedakan pengertian

penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para ahli etnomusikologi pada
masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini. Jika kita berbicara tentang
penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan (the ways) musik

18
Universitas Sumatera Utara

dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau
sebagai bahagian daripada pelaksanaan adat istiadat, sama ada ditinjau dari
aktivitas itu sendiri mahupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain (1964:210).
Lebih jauh Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan
fungsi sebagai berikut.
Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it
may or may not also have a deeper function. If the lover uses song
to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the
continuity and perpetuation of the biological group. When the
supplicant uses music to the approach his god, he is employing a
particular mechanism in conjunction with other mechanism as such
as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function
of music, on the other hand, is enseparable here from the function of
religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a
sense of security vis-á-vis the universe. ―Use‖ them, refers to the
situation in which music is employed in human action; ―function‖
concerns the reason for its employment and perticularly the broader
purpose which it serves. (1964:210).
Dari kutipan di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian
penggunaan dan fungsi musik berasaskan kepada tahap dan pengaruhnya dalam
sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi
bahagian dari situasi tersebut. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi
yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang menggunakan

19
Universitas Sumatera Utara

nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa
dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan
manusia yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah
tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia. Jika
seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka
mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa,
mengorganisasikan

ritual

dan

kegiatan-kegiatan

upacara.

―Penggunaan‖

menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; sedangkan
―fungsi‖ berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama
tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayaninya. Dengan
demikian, selaras dengan Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan
dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan
konsistensi internal budaya.

1.4.2.4 Teori Etnosains
Meneurut Ahimsa Putra (1985), etnosains dan/atau etnometodologi
merupakan teori baru dalam dunia ilmu sosial, khususnya di Indonesia meskipun
kedua pendekatan tersebut telah berkembang sejak dekade 1960-an. Perspektif
etnosains ada di dalam antropologi, sedangkan etnometodologi berada dalam
lingkup kajian sosiologi. Etnosains dan etnometodelogi mempunyai kesamaan
dalam penggunaan prefiks etno, atau folk, yaitu pendekatan yang dilakukan
peneliti dari kacamata orang-orang yang terlibat di dalamnya. Maka, sebenarnya

20
Universitas Sumatera Utara

etnosains dan etnometodologi bukanlah barang baru bagi antropologi karena
sudah sejak lama metode verstehen dikenal.
Etnosains muncul dan berangkat dari tradisi-tradisi antropologi yang
mempunyai tujuan akhir ―to grasp the native‘s point of view, his relation to life to
realize his vision of his world‖ (Malinowsky). Kemudian diikuti oleh Murdock
yang menyusun suatu sistem data dari ratusan kebudayaan untuk memudahkan
usaha tersebut yang disebut Human Relation Area Files, yang mana menurut
Goodenough, di situ ada tiga masalah pokok, yaitu (1) ketidaksamaan data
etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat di kalangan ahli antropologi
sendiri. Akibatnya terjadi kepincangan data dalam etnogafi mereka sehingga
menyulitkan usaha-usaha untuk menemukan prinsip-prinsip kebudayaan lewat
studi perbandingan; (2) seberapa jauh data yang tersedia benar-benar dapat
diperbandingkan, mengingat para antropolog menggunakan metode yang berbedabeda dalam menempatkan data tersebut; (3) diperlukan kriteria lagi yang rupanya
antara antropologi terdapat perbedaan. Pada masa berikutnya pemikiran
Goodenough yang menekankan hakikat kebudayaan pada aspek – aspek
pengetahuan kognitif manusia juga menjadi warna tersendiri dalam kajian
antropologi kontemporer termasuk di dalamnya etnosains. Penekanan pengertian
kebudayaan sebagai sistem pengetahuan, menurut penulis akan memudahkan
antropologi dalam melukiskan kebudayaan, yaitu dengan memakai model dalam
fonologi dalam ilmu linguistik. Di dalam fonologi dikenal istilah fonemik
(penulisan bunyi bahasa dengan memakai cara si pemakai bahasa) dan fonetik
(penulisan bunyi bahasa dengan simbol universal yang telah disepakati oleh ahli

21
Universitas Sumatera Utara

bahasa). Analog dengan hal di atas kemudian dalam antropologi dikenal istilah
emik dan etik yang akan memudahkan dalam pelukisan kebudayaan serta
membuat kajian-kajian kebudayaan menjadi kompatible dengan studi komparasi.
Dari hal-hal tersebutlah kemudian muncul studi-studi Etnosains. Etnosains sendiri
oleh Sturtevant didefinisikan sebagai suatu ―system of knowledge and cognition
typical of given cultures.‖

1.5 Metode Penelitian
Metode adalah cara atau jalan yang berhubungan dengan upaya ilmiah,
maka metode menyangkut masalah cara kerja yang akan penulis lakukkan, yaitu:
cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan (Koentjaraningrat 1985:7). Dengan demikian dalam tulisan ini
penulis menerapkan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
Peneletian yang bersifat deskriptif akan menggambarkan secara tepat sifat suatu
individu, keadaan, gejala atau frekwensi adanya hubungan tertentu antara satu
gejala dengan gejala lainya dalam masyarakat. Sedangkan pendekatan yang
bersifat kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses yang dilakukan peneliti
dalam mendapatkan data dan informasi mengenai suatu masalah dalam kondisi
aspek kehidupan tertentu pada objeknya.
Menurut

Bruno Nettl (1964: 62-64) dalam penelitian etnomusikologi

terdapat dua cara kerja yaitu field work (kerja lapangan) dan desk work (kerja
laboratorium). Dengan demekian untuk menjawab permasalahan dalam penelitian

22
Universitas Sumatera Utara

serta untuk mendapat hasil akhir yang diinginkan, penulis menggunakan kedua
cara kerja tersebut.

1.5.1 Kerja Lapangan (Field Work)
Kerja lapangan yang akan dilakukan oleh penulis adalah dengan cara turun
langsung pada objek yang akan diteliti dan dalam mendapatkan informasi serta
data-data yang berkaitan penulis melakukan berbagai macam cara sebagai berikut:

1.5.1.1 Studi Pustaka
Pada tahap ini penulis dituntut untuk mendapatkan konsep dan teori serta
informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat
melakukaan penelitian dan penulisan skripsi nantinya. Sehingga diperlukan
membaca tulisan-tulisan ilmiah, situs internet, buku, dan informasi lain yang
berkatitan dengan objek yang akan diteliti.

1.5.1.2 Observasi
Nurkancana (1986:142) mengatakan, ―observasi adalah suatu cara untuk
mengadakan penilaian dengan jalan mengadakan pengamatan secara langsung dan
sistematis. Data-data yang dieperoleh dalam obsevasi itu dicatat dalam suatu
catatan observasi. Kegiatan pencatatan hal ini adalah merupakan bagian dari pada
kegiatan pengamatan‖.
Dalam tahap ini peneliti melakukan berbagai pengamatan pada saat proses
kegiatan yang diteliti berlangsung. Sehingga peneliti belajar tentang prilaku dan

23
Universitas Sumatera Utara

makna dari prilaku tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Marshall (1995)
―through observation, the researcher learn about behavior and the meaning
attached to those behavior.” Artinya melalui observasi atau pengamatan, seorang
peneliti melihat langsung dan belajar mengenai prilaku dan makna-makna dari apa
yang diamatinya tersebut.

1.5.1.3 Wawancara
Terdapat tiga jenis wawancara yaitu wawancara berfokus (focused
interview), wawancara bebas (free interview), wawancara sambil lalu (casual
interview) (koentjaraningrat, 1986:139). Sebelum melakukan ketiga cara dalam
wawancara tersebut, tentu saja penulis harus menyiapkan daftar pertanyaan yang
perlu ditanyakan pada saat mewawancarai informan sesuai dengan topik
penelitian. Selain daftar pertanyaan keahlian dalam melakukan teknik wawancara
agar informan menjawab dengan leluasa juga sangat diperlukan bagi seorang
peneliti.

1.5.1.4 Dokumentasi
Untuk

merekam

data

hasil

penelitian

dan

wawancara

penulis

menggunakan Canon 600D dan smartphone Sony M2 dual dalam pengambilan
gambar maupun perekaman video dan Audio.

24
Universitas Sumatera Utara

1.5.2 Kerja Laboratorium (Desk Work)
Data-data yang telah terkumpul baik dalam bentuk rekaman, gambar dan
catatan selanjutnya akan diolah kembali dalam tahap kerja laboratorium. Sehingga
hasil kerja ini memperlihatkan apakah penulis mencari data tambahan atau justru
sebaliknya membuang data yang tidak diperlukan.

1.6 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Salur, yang merupakan ibukota dari
Kecamatan Teupah Barat Kabupaten Simeulue, Aceh. Pemilihan lokasi ini karena
menimbang penyajian budaya Nanga-nanga mehumasa masih banyak diketahui
dan dapat di sajikan oleh masyarakat didesa Salur, Kecamatan Teupah Barat,
Simeulue, Aceh sehingga lebih memudahkan penulis untuk mendapatkan
informasi dan data-data tekait kesenian Nanga-nanga.
Gambar 2.1
Peta Kabupaten Simeulue

25
Universitas Sumatera Utara