Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kesejahteraan pada Lanjut Usia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Kota Salatiga T1 462010017 BAB IV

39

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Lokasi Penelitian
Penelitian ini dimulai pada bulan Juni tepatnya pada tanggal 13
Juni 2014 sampai tanggal 15 Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Panti
Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Salatiga. Panti Werdha Sosial
Salib Putih berada di jalan Raya Salatiga, Kopeng Km. 4 Salatiga
sedangkan Panti Werdha Mandiri berada di Jalan Merbabu No. 4
Salatiga. Alasan peneliti memilih untuk melakukan penelitian di kedua
panti ini karena sebelumnya belum ada yang pernah meneliti tentang
gambaran kesejahteraan pada Lanjut Usia di Panti Werdha Sosial dan
Mandiri Salib Putih Salatiga.
Panti Werdha Sosial Salib Putih memiliki satu ibu asrama, lima
orang pekerja yaitu tiga orang pekerja harian yang dibantu oleh dua
lanjut usia yang tinggal di panti, satu Dokter dan satu Perawat. Panti
Werdha Sosial memiliki 30 kamar tidur, satu ruang makan, enam
kamar mandi, satu aula, dua dapur, dan dua gudang sebagai tempat
penyimpanan barang. Jumlah para lanjut usia yang tinggal di panti 6

orang laki-laki dan 15 orang perempuan.
Panti Werdha Mandiri memiliki satu ibu asrama, lima orang
pekerja harian, dan satu orang tukang kebun. Panti Werdha Mandiri

40

memiliki enam kamar tidur, satu aula, dan satu dapur. Jumlah
penghuni lansia laki-laki 10 orang dan perempuan 5 orang.
Kisaran umur lansia yang diambil sebagai partisipan di Panti
Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Salatiga berumur 64 tahun
sampai 86 tahun.
Dalam menunjang kehidupan selama berada di Panti Werdha
Sosial, lansia dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti kamar yang
di dalamnya terdapat tempat tidur, lemari, meja, pakaian, serta
peralatan mandi, sedangkan di Panti Werdha Mandiri, lansia
dilengkapi dengan berbagai fasilitas seperti kamar yang di dalamnya
terdapat tempat tidur, lemari, meja, pakaian, kamar mandi dalam dan
perlengkapan mandi yang diberikan sebulan sekali. Selain kamar,
fasilitas yang diberikan bagi lansia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri
adalah makan tiga kali dalam sehari, pelayanan rohani dan pelayanan

kesehatan.
Pelayanan kesehatan di Panti Werdha Sosial berupa posyandu
dari Puskesmas Tegalrejo untuk lansia yang dilakukan satu bulan
sekali di minggu pertama setiap hari Jumat pukul 09.00 WIB dan dari
yayasan akan diperiksa oleh dokter jika ada yang mengeluh sakit,
sedangkan di Panti Werdha Mandiri pelayanan kesehatannya
dilakukan seminggu sekali dengan mendapat kunjungan dari dokter
dan perawat yang ditugaskan dari Rumah Sakit Daerah Salatiga dan
yayasan.

41

Adapun kondisi fisik dari setiap lansia yang berbeda-beda, ada
lansia yang mengalami sakit dan harus bed rest. Sedangkan penyakitpenyakit diderita misalnya sakit kepala karena kecapekan, batuk dan
flu karena dingin, dan pegal-pegal di tubuh. Dari segi mobilitas
terdapat lansia yang mandiri dan terdapat juga lansia yang harus
dibantu.
Pelayanan rohani juga dilakukan di Panti Werdha Sosial oleh para
lanjut usia dan pihak panti. Dilakukan setiap pagi pada pukul 07.3008.00 WIB kecuali hari Rabu karena ada kegiatan senam lansia.
Disamping itu para lansia juga mendapat kunjungan dari Pendeta

setiap hari Sabtu, para lansia mendapatkan bimbingan rohani dan
bertukar pendapat (sharing), sedangkan di Panti Werdha Mandiri
pelayanan rohaninya dilaksanakan setiap hari Kamis pukul 09.3010.00 WIB dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan setiap hari Sabtu
pukul 09.30-10.00 WIB yang dilaksanakan oleh para penghuni panti
tersebut.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para lansia berbeda-beda
diantaranya membersihkan kamar masing-masing, menyapu halaman
sekitar, membersihkan kaca, dan melakukan aktivitasnya masingmasing. Terkadang ada beberapa lansia yang masih mengikuti
kegiatan PKK, kerja bakti di gereja dan mengikuti ibadah di gerejagereja tertentu.

42

Para lansia yang masuk ke Panti Werdha Sosial merupakan
titipan dari gereja dan dari Dinas Sosial sedangkan lansia yang masuk
ke Panti Werdha Mandiri merupakan titipan dari gereja dan keluarga
yang mampu.
Wawancara dilakukan secara terpisah. Proses wawancara ini
sangat bergantung pada situasi, kondisi dan terutama pada kesiapan
riset partisipan. Proses berjalan lancar dan para riset partisipan dapat
memberikan informasi dengan jelas kepada peneliti.


4.2. Gambaran Umum Riset Partisipan

Tabel 4.1 Karakteristik Lansia
N
o

Nama

Umur

Riwayat
Pekerjaan

1

Mbah Y

67 tahun


Petani

2

Mbah S

85 tahun

Petani

3

Mbah S

86 tahun

Pengrajin
batik
canting


4

Mbah T

68 tahun

Buruh

5

Mbah Y

64 tahun

Buruh

6

Oma D


79 tahun

Wiraswasta

Agama

Kristen
Protestan
Kristen
Protestan
Kristen
Protestan
Kristen
Protestan
Kristen
Katolik
Kristen
Protestan

Asal


Salatiga
Salatiga
Solo
Magelang
Magelang
Aceh

Lama
tinggal
di
panti

5
tahun
7
tahun
26
tahun
20

tahun
1
tahun
1
tahun

43

4.2.1.

Gambaran Lansia I
Nama Mbah Y berusia 67 tahun. Tinggal di Panti Werdha

Sosial selama 5 tahun. Beragama Kristen Protestan dan berasal
dari Salatiga. Dulu Mbah Y bekerja sebagai seorang petani. Saat
ini Mbah Y. sudah tidak memiliki saudara dan keluarga terdekat
lagi.
Ciri-ciri Fisik Mbah Y bertubuh kecil dengan tinggi badannya
sedang sekitar ±150cm, kulit sawo matang, rambut berwarna putih
dikonde. Sifat Mbah Y ialah tenang, bijaksana, ramah, dan

bersahabat.
Mbah Y mengatakan bahwa ia tidak bersekolah dan buta
huruf, jadi jika ada pertanyaan yang tidak ia mengerti mohon
dijelaskan terlebih dahulu. Selama wawancara Mbah Y dapat
berkomunikasi secara baik.
Mbah Y sudah tidak memiliki keluarga sejak ia kecil, di saat
itu juga mbah Y sudah mulai tinggal di panti asuhan dan
berkelanjutan sampai sekarang di panti werdha sosial Salatiga.
Dengan demikian ia merasa tidak kesepian tetapi senang karena
di panti sendiri memiliki banyak teman yang seumuran sehingga
bisa menghabiskan waktu untuk bercerita bersama.
Kegiatan sehari-hari yang dilakukan Mbah Y adalah bersihbersih, merapikan tempat tidur, menyapu di halaman dan
mengikuti kegiatan keagamaan yaitu ibadah pagi bersama para

44

penghuni panti lainnya, berdoa, ke gereja, dan jika memiliki waktu
luang Mbah Y menyempatkan dirinya untuk menyanyi lagu-lagu
rohani.
Wawancara dilakukan pada tanggal 20 Juni 2014 pada pukul

10.00 WIB di Aula Panti Werdha Salib Putih. Saat dilakukan
wawancara riset partisipan sangat ceria dan santai dalam
menjawab setiap pertanyaan, walaupun ada beberapa pertanyaan
yang kurang dimengerti.

4.2.2.

Gambaran Lansia II
Nama Mbah S berusia 85 tahun. Tinggal di Panti Werdha

Sosial selama 7 tahun. Beragama Kristen Protestan dan berasal
dari Salatiga. Dulu Mbah S bekerja sebagai seorang petani. Saat
ini Mbah S masih memiliki keluarga yaitu adik. Mbah S tidak
memiliki anak dari pernikahan baik itu pertama dan kedua. Suami
Mbah S sudah meninggal 8 tahun yang lalu.
Ciri-ciri fisik Mbah S agak gemuk dengan tinggi badan sekitar
±155cm, kulit sawo matang, rambut berwarna putih dikonde, dan
suka menyirih. Sifat Mbah S. ialah kalem, tenang, ramah dan suka
tersenyum.
Mbah S adalah orang yang mandiri. Selalu melakukan
aktifitasnya sendiri tanpa dibantu. Kegiatan sehari-hari yang
dilakukan Mbah S adalah bersih-bersih, mengikuti ibadah pagi

45

yang diadakan oleh panti dan menyempatkan diri untuk mengikuti
ibadah pada setiap hari minggu.
Wawancara dilakukan pada tanggal 22 Juni 2014 pada pukul
10.05 WIB di kamar Mbah S Saat dilakukan wawancara riset
partisipan selalu tersenyum, sambil mengunyah sirih dan selalu
santai dalam menjawab setiap pertanyaan.

4.2.3.

Gambaran Lansia III
Nama Mbah S berusia 86 tahun. Tinggal di Panti Werdha

Sosial selama 26 tahun. Beragama Kristen Protestan dan berasal
dari Solo. Dulu Mbah S bekerja sebagai seorang pengrajin batik
canting. Saat ini Mbah S sudah tidak memiliki sanak saudara dan
keluarga lagi.
Ciri-ciri Fisik Mbah S tubuh kurus dengan tinggi badan sekitar
±155cm, kulit sawo matang, rambut berwarna putih dikonde, dan
cerewet. Sifat Mbah S ialah periang, banyak bicara, suka
menolong dan orangnya ramah.
Mbah S adalah salah satu mbah yang membantu para
pekerja lainnya untuk melayani mbah-mbah di Panti Werdha
Sosial. Mbah S adalah orang yang ceria, suka bercerita dan dia
adalah orang yang ramai.

46

Mbah S juga menjadi salah satu orang kepercayaan Ibu
asrama untuk menyimpan uang, menerima surat dan menyambut
tamu pada saat ada yang berkunjung.
Sebelumnya Mbah S pernah sakit dibagian jari telunjuk.
Timbul nanah secara tiba-tiba. Namun sekarang sudah sembuh
sehingga Mbah S dapat melakukan segala aktifitasnya dengan
baik dan tanpa gangguan apapun.
Wawancara dilakukan pada tanggal 24 Juni 2014 pada pukul
10.00 WIB di aula Panti Werdha Sosial. Saat dilakukan
wawancara riset partisipan selalu tersenyum, walaupun terkadang
merasa bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh
peneliti.

4.2.4.

Gambaran Lansia IV
Nama Mbah T berusia 68 tahun. Tinggal di Panti Werdha

Sosial selama 20 tahun. Beragama Kristen Protestan dan berasal
dari Magelang. Dulu Mbah T bekerja sebagai seorang buruh di
suatu pabrik. Saat ini Mbah T masih memiliki suami dan anakanak serta cucu-cucu yang seminggu sekali datang untuk
menjenguk Mbah T dan suami.
Ciri-ciri Fisik Mbah T tubuh kurus dengan tinggi badan sekitar
±150cm, kulit sawo matang, rambut berwarna putih dan hitam
dikonde. Mbah T juga adalah salah satu mbah yang membantu

47

para pekerja lainnya untuk melayani mbah-mbah di Panti Werdha
Sosial. Sifat Mbah T ialah tenang, pendiam, dan bersahabat.
Mbah T dan suami tidak tinggal di dalam Panti Werdha Sosial
namun tinggal di luar Panti Werdha Sosial, di rumah yang telah
disiapkan oleh Panti Werdha Sosial. Setiap bulannya Mbah T
mendapat subsidi beras dan uang dari panti untuk kehidupan
keluarganya. Mbah T merasa senang tinggal di Panti Werdha
Sosial Salatiga.
Wawancara dilakukan pada tanggal 26 Juni 2014 pada pukul
09.38 WIB di teras depan Panti Werdha Sosial. Saat dilakukan
wawancara riset partisipan tetap untuk tersenyum dan menjawab
pertanyaan walaupun terlihat sedang memikirkan jawaban yang
akan dijawab.

4.2.5.

Gambaran Lansia V
Nama Mbah Y berusia 64 tahun. Tinggal di Panti Werdha
Mandiri selama 1 tahun. Beragama Kristen Katolik dan berasal
dari Magelang. Dulu Mbah Y bekerja sebagai seorang buruh di
suatu pabrik. Saat ini Mbah Y masih memiliki keluarga dan anakanak serta cucu-cucu. Mereka selalu mengunjungi Mbah Y. jika
tidak memiliki kesibukkan.
Ciri-ciri Fisik Mbah Y agak gemuk dengan tinggi badan sekitar
±155cm, kulit sawo matang, rambut lurus berwarna putih dan

48

hitam diikat. Mbah Y adalah orang yang kalem, tenang, dan suka
tersenyum.
Mbah Y merasa senang tinggal di Panti Werdha Mandiri
Salatiga karena Mbah Y bisa melakukan segala aktifitas yang
diinginkan seperti ke Gereja, bertemu dengan teman-temannya.
Jika tidak sibuk biasanya Mbah Y menghabiskan waktunya
dengan membaca buku di kamarnya.
Wawancara dilakukan pada tanggal 28 Juni 2014 pada pukul
10.25 WIB di aula Panti Werdha Mandiri Saat dilakukan
wawancara riset partisipan selalu tersenyum, walaupun terkadang
merasa bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh
peneliti.

4.2.6.

Gambaran Lansia VI
Nama Oma D Berusia 79 tahun. Tinggal di Panti Werdha

Mandiri selama 1 tahun. Beragama Kristen Protestan dan berasal
dari Aceh. Dulu Oma D Bekerja sebagai seorang wiraswasta suka
menjahit dan memasak. Jika Oma D tidak sibuk, biasanya Oma D
selalu membantu para pekerja di dapur seperti membersihkan dan
memotong sayur untuk dimasak.
Saat ini Oma D hanya memiliki seorang anak laki-laki yang
tinggal di Kudus, Jawa Tengah. Biasanya dia sering mengunjungi
Oma D jika liburan. Oma D tidak merasa kesepian karena Oma D

49

juga memilki teman dekat yang selalu membantu Oma D jika
kesusahan.
Ciri-ciri Fisik Oma D Kurus dan tinggi badan sekitar ±160cm,
kulit sawo matang, rambut lurus berwarna putih dan hitam
dikonde. Oma D adalah orang yang banyak bicara, aktif dalam
kegiatan Gereja, suka membantu dan suka tersenyum.
Wawancara dilakukan pada tanggal 30 Juni 2014 pada pukul
11.25 WIB di aula Panti Werdha Mandiri Saat dilakukan
wawancara riset partisipan merasa sangat senang dan mau
menceritakan segala informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
Namun ada beberapa pertanyaan yang membuat Oma D
meneteskan air mata karena Oma D sempat menceritakan
tentang kehidupan keluarganya.

50

4.3. Hasil Penelitian
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa gambaran kesejahteraan
pada lansia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih adalah
baik, hal ini didukung oleh:
4.3.1. Penerimaan diri (Self Acceptance)
Menurut Keyes, Ryff dan Singer (dalam Papalia, Olds,
Feldman dan Gross, 2004), mengatakan bahwa individu yang
memiliki kesejahteraan yang baik adalah individu yang memiliki
penerimaan diri yang baik. Jika individu mempunyai penilaian diri
yang baik, maka individu tersebut memiliki sikap yang positif
tentang dirinya, mengakui dan menerima banyak aspek dari diri
sendiri termasuk bagus dan tidaknya kualitas dirinya, dan berpikir
positif tentang masa lalu.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa individu
memiliki sikap positif terhadap dirinya, menikmati hidup dan tetap
bersyukur atas apa yang sudah didapat. Pernyataan riset
partisipan Lansia 1 dan Lansia 2 sebagai berikut:

“Arti ya mba. Yah, saya ini kan sudah tua. Nikmati saja
hidup ini, apapun itu baik dan buruknya tetap bersyukur saja
sama Tuhan Yesus. Yang penting hidup secara baik dan
menjaga kesehatan agar tetap sehat.”L1-15

51

“Iya mbak, Mbahkan sudah tua. Yah bersyukur saja
kepada Tuhan Yesus karena masih diberikan kesehatan dan
kekuatan dalam menjalani keseharian mbah disini..”L2-10

Riset partisipan juga tidak merasa kesepian karena dapat
tinggal dengan teman-teman yang sebaya, seiman, dan dapat
melakukan

segala aktifitas yang diinginkan. Seperti yang

dinyatakan oleh riset partisipan Lansia 1 dan Lansia 3 sebagai
berikut:

“Gak mba, disini malah rame. Ada temannya banyak dan
seumuran, jadi bisa cerita-cerita juga. Trus kalau gak ada
kerjaan nanti duduk-duduk dikamar sambil nyanyi-nyanyi
sama mbah yang lain. Saya suka sekali nyanyi.” L1-13

“Gak toh mba, disini banyak temennya. Semuanya
beragam, kristen juga. Jadinya enak disini.” L3-13

Berbeda

dengan

riset

partisipan

Lansia

6

yang

mengungkapkan bahwa walaupun riset partisipan tidak merasa
kesepian, namun ada beberapa lansia yang tidak disukai karena
beberapa alasan. Ini seperti yang dinyatakan oleh riset partisipan
Lansia 6 sebagai berikut:

52

“Kesepian sih enggak ya, disini rame banyak teman yang
seiman walaupun terkadang ada yang menyebalkan.” L6

“Ya itu, ada yang suka omong banyak dan suka tipu-tipu.
Oma gak suka orang seperti itu. Nanti kalau udah ngomong,
oma pergi, oma tinggalin masuk kamar aja.”L6

4.3.2.

Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations
with Others)
Menurut Keyes, Ryff dan Singer (dalam Papalia, Olds,

Feldman dan Gross, 2004) mengatakan bahwa pada dimensi ini,
kesejahteraan dipandang dari interaksi yang terjadi pada seorang
individu dengan orang lain yang ada disekitarnya. Individu
dikatakan memiliki kesejahteraan yang baik jika individu tersebut
memiliki interaksi yang positif dengan orang lain. Interaksi positif
tersebut antara lain memiliki kehangatan dan kepercayaan
dengan orang lain, terkait dengan kesejahteraan orang lain,
memiliki empati, kasih sayang dan keintiman, serta mengerti,
memberi dan menerima dalam hubungan antar manusia.
Dalam penelitian ini, riset partisipan Lansia 2 menyatakan
bahwa hubungan yang dijalin tidak ada masalah, selama
hubungan tersebut sesuai dengan tuntunan Tuhan Yesus.

53

Pernyataan yang dinyatakan oleh riset partisipan Lansia 2 yaitu
sebagai berikut:

“Baik-baik saja mba, tidak ada masalah. Selama kami
hidup dengan tuntunan Tuhan Yesus maka semuanya akan
menjadi baik-baik saja.” L2-11

Ada juga pernyataan yang diungkapkan oleh riset partisipan
Lansia 3 bahwa jika ingin memiliki hubungan yang baik dengan
orang sekitar maka perlu adanya perlakuan yang baik pula. Hal ini
akan menunjukkan bagaimana hubungan antara sesama itu akan
menjadi positif. Pernyataan yang dinyatakan oleh riset partisipan
Lansia 3 yaitu sebagai berikut:

“Yang pasti jika kita berlaku baik, maka semuanya juga
akan melakukan hal yang sama. Tetapi sebaliknya kalau kita
memiliki masalah pastinya yang lain tidak senang dengan
kita. Jadi mba, saya tidak mau ada masalah dengan yang
lainnya. Nurut aja apa kata ibu asrama, dengerin aja apa
maunya mbah-mbah, trus bantu-bantu deh sama ibu-ibu yang
kerja disini. Dengan begitu saya rasa hubungan saya dengan
mereka akan baik-baik saja.” L3-15

54

Pernyataan yang berbeda yang diungkapkan oleh riset
partisipan Lansia 5 bahwa hubungan dengan orang-orang dalam
asrama baik-baik saja walaupun ada sesuatu yang tidak
diinginkan terjadi. Ini pernyataan yang dinyatakan oleh riset
partisipan Lansia 5 sebagai berikut:

“Baik-baik saja mba, disini saya tidak mau cari masalah
soalnya saya orangnya menurut aja. Kalau misalnya ada
masalah, saya simpan sendiri saja, gak enakkan sama yang
lain. Tapi, sejauh ini hubungan saya dengan semuanya baikbaik saja mba.” L5

4.3.3.

Otonomi (Autonomy)
Menurut Keyes, Ryff dan Singer (dalam Papalia, Olds,

Feldman dan Gross, 2004) mengatakan bahwa pada dimensi
otonomi ini seseorang yang kesejahteraannya baik, terlihat dari
kemandiriannya dalam menghadapi sesuatu. Mereka

lebih

cenderung menjadi orang yang memiliki otonomi yang baik
sehingga dapat melakukan pengambilan keputusan berdasarkan
diri sendiri, tidak tergantung, dapat menahan tekanan sosial untuk
berpikir dan membuat keputusan di jalan yang tepat, dapat
mengatur perilaku dan menilai diri sendiri dari standarnya sendiri.

55

Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa riset
partisipan mengetahui tentang apa yang ingin dilakukan dan
menyadari mana yang benar dan salah. Jika ada hal yang salah,
secara langsung riset partisipan memberitahu bahwa hal itu tidak
baik untuk dilakukan. Pernyataan ini diungkapkan oleh riset
partisipan Lansia 1 sebagai berikut:

“Kalau ada yang salah barulah saya bilang ojo ngono kui,
gak baik. Tuhan Yesus melarang kita melakukan hal-hal yang
yang tidak baik.” L1-27

“Kalau masalah sih jarang yah mba, tapi biasanya kurang
sependapat. Biasanya mbah-mbah di sini tidak terlalu terus
terang, suka menyimpannya sendiri jika mereka punya
masalah dengan mbah yang lain. Nanti saya bilang, ya
sudahlah buat apa dipikirkan yang ada nanti kita sakit.
Dibiarkan saja, orangnya memang begitu.”L3-24

4.3.4.

Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery)
Menurut Keyes, Ryff dan Singer (dalam Papalia, Olds,

Feldman dan Gross, 2004) bahwa ketika seseorang dapat
menguasai lingkungan, ia mampu melihat peluang-peluang yang
ada dan akan berdampak positif bagi kehidupan orang tersebut.

56

Seseorang yang mempunyai penguasaan lingkungan yang tinggi
akan mempunyai rasa penguasaan dan kompetensi didalam
mengatur lingkungan, dapat mengontrol dan mempersiapkan
aktivitas eksternal, membuat sesuatu menjadi efektif dengan
menggunakan peluang yang ada dan dapat memilih atau
membuat kebutuhan seseorang dengan tepat dan sesuai.
Dalam penelitian ini riset partisipan mengetahui bahwa jika
lingkungan itu bersih maka yang tinggal pun akan tetap sehat.
Dalam mewujudkan hal itu riset partisipan mencoba untuk
membagi waktunya melakukan aktivitas disekitar lingkungan
tersebut. Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan Lansia
3 dan Lansia 4 sebagai berikut:

“Penting yo mba, karena lingkungan bersih itu bisa
membuat kita sehat.” L3-17

“Iya mba, lingkungan itu harus kita jaga. Kalau kotor
dibersihkan. Kalau ada yang tidak beres yah kita bereskan.”
L3-18

57

“Penting

sekali

mba,

semuanya

tergantung

kita.

Bagaimana cara membersihkan lingkungan yang kotor.
Lingkungan

yang

bersih

membuat

kita

terhindar

dari

penyakit.”L4-14

“Iya mba. Kalau saya ada yang kotor saya bersihkan
biasanya dirumah itu banyak daun yang jatuh, setidaknya
sebelum saya berangkat ke panti saya nyapu-nyapu sebentar.
Biar kelihatan rumah itu dirawat dan diurus.”L4-15

4.3.5.

Tujuan Hidup (Personal Life)
Menurut Keyes, Ryff dan Singer (dalam Papalia, Olds,

Feldman dan Gross, 2004) mengatakan bahwa individu yang
memiliki kesejahteraan yang baik adalah orang yang mempunyai
tujuan dan sasaran hidup, merasa menjadi pemimpin, merasakan
arti dari kehidupan sekarang dan masa lalu dan memegang
kepercayaan bahwa hidup memiliki arti.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa riset
partisipan mengalami perubahan yang berarti dalam hidupnya
pada waktu dulu maupun sekarang. Riset partisipan menyadari
bahwa hidup yang dijalani memiliki makna tertentu. Riset
partisipan juga mengetahui bahwa hidupnya sekarang sudah
menua sehingga tidak ada banyak hal yang bisa dilakukan seperti

58

pada waktu muda. Riset partisipan juga merasakan bahwa hidup
di panti werdha jauh lebih mensejahterakan hidupnya dibanding
pada waktu dulu. Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan
Lansia 1 dan Lansia 2 sebagai berikut:

“Baik-baik saja mba asty, saya kan dari kecil sudah hidup
di panti asuhan. Lalu saya keluar untuk cari uang sendiri.
Saya mau merasakan bagaimana mendapatkan uang itu
seperti apa. Karena dulu juga saya masih muda, tapi kalau
sekarang saya sudah tua. Mau buat apa lagi, saya ke panti
werdha ini saja. Disini saya dilayani dengan baik dan
makanan juga sudah ada.” L1-32

“Banyak perubahan mba. Dulu kan mbah menikah tapi
tidak memiliki anak. Suami mbah yang pertama meninggal
lalu mbah nikah lagi. jadi dulu mbah tinggal bersama saudara
dari suami mbah. Mengurus rumah, bersih-bersih dan
sebagainya. tapi sekarang disini lebih menyenangkan, lebih
enak. Karena semuanya sudah tersedia. Mbah suka disini,
karena

ada

temannya,

ibu

asrama

yang

baik.

Dapat

pemeriksaan dari ibu dokter. Jadi, mbah senang berada
disini. Trus mbah juga bisa ke gereja, kadang sendiri kadang
bersama mbah-mbah yang lain.”L2-28

59

4.3.6.

Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Menurut Keyes, Ryff dan Singer (dalam Papalia, Olds,

Feldman dan Gross, 2004) mengatakan bahwa pertumbuhan
pribadi yang dimaksud adalah mempunyai rasa untuk terus
berkembang, memaknai pertumbuhan dan perkembangan diri
sendiri, terbuka pada semua pengalaman yang baru, menyadari
potensi diri, melihat peningkatan diri dan perilaku setiap waktu
serta, mengubah jalan jika melihat peluang baru yang lebih efektif.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa setelah riset
partisipan mengikuti kegiatan keagamaan, riset partisipan dapat
mengetahui bagaimana hidup ini berjalan dan semua yang dijalani
adalah tuntunan dan kepedulian dari Tuhan Yesus, sehingga riset
partisipan merasa bahwa hidup ini perlu untuk disyukuri.
Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan Lansia 3 dan
Lansia 6 sebagai berikut:

“Hidup ini memiliki arti mba, tergantung kita yang
menjalaninya. Jika kita menjalaninya sesuai dengan perintah
Tuhan Yesus berarti hidup ini akan memiliki arti yang luar
biasa. Tetap bersyukur untuk setiap nafas kehidupan yang
sudah Tuhan berikan. Dan selalu mendekatkan diri kepada
Tuhan.” L3-14

60

“Oma merasa Tuhan Yesus itu baik, walaupun sekarang
Oma disini gak punya keluarga dekat tapi Oma masih
diberikan kesempatan sama Tuhan Yesus untuk

bisa

bertahan hidup di panti ini. Oma senang karena hidup Oma
disini lebih menyenangkan dari sebelumnya karena disini
Oma bisa ke gereja dan bertemu dengan teman-teman baru.”
L6-10

Dari

penelitian

tersebut

juga

terdapat

faktor-faktor

yang

mempengaruhi kesejahteraan lansia yang tinggal di panti werdha,
sebagai berikut:
a)

Faktor Pengalaman Hidup
Menurut Andrew & Robinson (dalam Syamsudin, 2008)
mengatakan bahwa faktor pengalaman hidup dan interpretasinya
individu terhadap pengalaman hidupnya menjadi suatu pengaruh
pada penilaian individu terhadap kehidupannya secara umum.
Dalam penelitian ini riset partisipan mengungkapkan bahwa
hidup yang dijalaninya adalan pemberian dari Tuhan Yesus yang
patut untuk disyukuri dan apa yang telah diterimanya adalah
berkat yang diberikan dari Tuhan Yesus. Pernyataan ini
diungkapkan oleh riset partisipan Lansia 6 sebagai berikut:

61

“Yah itu mba, Oma itu senang kalau berdoa. Oma merasa
hidup ini karena pemberian dari Tuhan Yesus, makanya Oma
tetap mengucap syukur dan berterima kasih karena Tuhan
Yesus masih memberikan kehidupan kepada Oma sampai
sekarang. Kalau oma lagi mau makan sesuatu dari luar dan
gak punya uang biasanya Oma berdoa semoga Tuhan Yesus
memberikan berkat buat Oma, nanti kalau Oma ketemu sama
teman-teman gereja Oma, tiba-tiba mereka kasih Oma uang
walaupun hanya 5.000-10.000, itu saja Oma sudah senang
sekali.”L6-19

Berbeda dengan Lansia 4 yang mengungkapkan bahwa ia
mengucap syukur karena masih memiliki keluarga yang utuh.
Berbeda dengan para lansia yang lain yang tidak memiliki
keluarga lagi. Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan
Lansia 4 sebagai berikut:

“Pengalaman yang menyenangkan, menurut saya adalah
disaat saya diberi kesempatan oleh Tuhan Yesus untuk bisa
hidup sampai dengan sekarang ini bersama suami. Karena
yang saya lihat simbah-simbah disini sudah tidak memiliki
keluarga dan saudara lagi mba, kasian.”L4-27

62

b) Faktor Dukungan Sosial
1.

Kerekatan Emosional (Emotional Attachment)
Menurut Weiss (Cutrona dkk,1994 : 371) dalam artikel
Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, Mpsi, (2002), mengemukakan
bahwa jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan
seseorang memperoleh kerekatan (kedekatan) emosional
sehingga menimbulkan rasa aman bagi yang menerima.
Orang yang menerima dukungan sosial semacam ini merasa
tentram, aman dan damai yang ditunjukkan dengan sikap
tenang dan bahagia. Sumber dukungan sosial semacam ini
yang paling sering dan umum adalah diperoleh dari pasangan
hidup atau anggota keluarga/teman dekat/sanak keluarga
yang akrab dan memiliki hubungan yang harmonis. Bagi
lansia adanya orang kedua yang cocok, terutama yang tidak
memiliki pasangan hidup, menjadi sangat penting untuk dapat
memberi dukungan sosial atau dukungan moral (moral
support).
Dalam penelitian ini riset partisipan mengungkapkan
bahwa orang terdekat adalah orang-orang yang disekitarnya
yang sudah dianggap sebagai saudara dan keluarganya.
Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan Lansia 3
sebagai berikut:

63

“Semuanya mba, saya dekat dengan semua. Kalau
tidak dekat berarti mereka adalah musuh saya. Tapi
semuanya yang ada disini adalah saudara dan keluarga
saya.” L3-20

Berbeda dengan Lansia 6 yang mengungkapkan bahwa
orang terdekat tidak hanya orang-orang yang ada disekitar
panti tetapi orang diluar panti pun bisa menjadi sahabat yang
bisa membantu. Pernyataan ini diungkapkan oleh riset
partisipan Lansia 6 sebagai berikut:

“Semuanya mba, pokoknya baik-baik. Tapi oma
punya teman dekat dia tinggal di rumah, dia juga oma
punya teman gereja. Dia baik dan oma pikir kita berdua
sama dan sejalan.”L6-20

2.

Integrasi Sosial (Sosial Integration)
Menurut Weiss (Cutrona dkk,1994 : 371) dalam artikel
Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, Mpsi, (2002), mengemukakan
bahwa Jenis dukungan sosial semacam ini memungkinkan
lansia untuk memperoleh perasaan memiliki suatu kelompok
yang memungkinkannya untuk membagi minat, perhatian
serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara

64

bersama-sama.

Sumber

dukungan

semacam

ini

memungkinkan lansia mendapatkan rasa aman, nyaman
serta merasa memiliki dan dimiliki dalam kelompok. Adanya
kepedulian oleh masyarakat untuk mengorganisasi lansia dan
melakukan kegiatan bersama tanpa ada pamrih akan banyak
memberikan dukungan sosial. Mereka merasa bahagia, ceria
dan dapat mencurahkan segala ganjalan yang ada pada
dirinya untuk bercerita atau mendengarkan ceramah ringan
yang sesuai dengan kebutuhan lansia. Hal itu semua
merupakan dukungan sosial yang sangat bermanfaat bagi
lansia.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa riset
partisipan

selalu

menghabiskan

mengikuti

waktunya

kegiatan-kegiatan

yang

kegiatan.

untuk
disiapkan

Riset

partisipan

beribadah,

mengikuti

oleh

panti,

dengan

demikian lansia yang tinggal tidak merasa jenuh dan bosan
tetapi

merasa

senang

dan

dapat

mengekspresikan

keinginannya dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang ada.
Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan Lansia 5
sebagai berikut:

“Suka mba ya itu, ke gereja. Ikut ibadah lansia, misa,
gereja setiap hari minggu. Saya merasa senang.” L5-15

65

Berbeda halnya dengan Lansia 4 yang mengungkapkan
bahwa kegiatan-kegiatan itu ada, namun terkadang ia sendiri
tidak bisa mengikutinya karena memiliki tanggung jawab
untuk membantu para simbah-simbah di panti. Pernyataan ini
diungkapkan oleh riset partisipan Lansia 4 sebagai berikut:

“Kadang kalau bisa ikut ya saya ikut, tapi kalau gak
bisa ya sudah, berarti saya harus kerja. Seperti rebus air
dan menyiapakan sarapan.”L4-18

3.

Adanya Pengakuan (Reanssuarace of Worth)
Menurut Weiss (Cutrona dkk,1994 : 371) dalam artikel
Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, Mpsi, (2002), mengemukakan
bahwa pada dukungan sosial jenis ini lansia mendapat
pengakuan

atas

kemampuan

dan

keahliannya

serta

mendapat penghargaan dari orang lain atau lembaga.
Sumber dukungan sosial semacam ini dapat berasal dari
keluarga atau lembaga/instansi atau perusahaan/organisasi
dimana sang lansia pernah bekerja. Karena jasa, kemampuan
dan keahliannya maka ia tetap mendapat perhatian dan
santunan dalam berbagai bentuk penghargaan. Uang pensiun
mungkin dapat dianggap sebagai salah satu bentuk dukungan
sosial juga, bila seseorang menerimanya dengan rasa syukur.

66

Bentuk lain dukungan sosial berupa pengakuan adalah
mengundang para lansia pada setiap event / hari besar untuk
berpartisipasi

dalam

perayaan

tersebut

bersama-sama

dengan para pegawai yang masih berusia produktif. Contoh:
Setiap hari besar TNI maka para mantan pejabat yang telah
pensiun/memasuki masa lansia biasa diundang hadir dalam
upacara atau pun resepsi yang diadakan oleh Instansi
tersebut.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa riset
partisipan banyak mengikuti kegiatan, semuanya tidak terikat
tetapi memiliki kebebasan untuk mengikuti kegiatan tersebut.
Riset partisipan tidak terlalu menginginkan untuk memegang
satu peranan tertentu atau menjadi penanggung jawab, tetapi
dengan mengikuti kegiatan tertentu saja riset partisipan sudah
merasa

puas.

Pernyataan

ini

diungkapkan

oleh

riset

partisipan Lansia 5 dan Lansia 6 sebagai berikut:

“Gak mba, biasa saja. Senangnya jadi anggota biar
bisa diatur, saya kan orang penurut.”L5-17

“Gak mba, oma ikut saja. Yang penting oma datang
dan merasa senang mengikutinya.”L6-24

67

4.

Ketergantungan

yang

dapat

diandalkan

(Realible

Realiance)
Menurut Weiss (Cutrona dkk,1994 : 371) dalam artikel
Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, Mpsi, (2002), mengemukakan
bahwa dalam dukungan sosial jenis ini, lansia mendapat
dukungan sosial berupa jaminan bahwa ada orang yang
dapat diandalkan bantuannya ketika lansia membutuhkan
bantuan tersebut. Jenis dukungan sosial jenis ini pada umum
berasal dari keluarga. Untuk lansia yang tinggal di lembaga,
misalnya pada Sasana Werdha ada petugas yang selalu siap
untuk membantu para lansia yang tinggal di lembaga
tersebut, sehingga para lansia mendapat pelayanan yang
memuaskan.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa riset
partisipan dapat melakukan segala hal secara mandiri tanpa
bantuan orang lain. Dukungan pun diberikan baik itu dari
keluarga, orang-orang panti maupun orang-orang dari luar
yang sedang berkunjung ke panti. Hal ini membuat riset
partisipan merasa bahwa ia terlindung dan tidak merasa
sendiri karena ada orang-orang disekitarnya. Pernyataan ini
diungkapkan oleh riset partisipan Lansia 1, Lansia 3, dan
Lansia 6 sebagai berikut:

68

“Biasa saja mba, ya kalau bilang untuk saya tolong
maka saya akan membantu tapi kalau gak ya gak saya
tolong kan saya gak tau apa yang mau ditolong. Biasanya
juga minta bantuan dari mbah S. dan Ibu asrama.”L1-31

“O, iya. Saya disini suka kerja, bantu-bantu mbahmbah disini dan membantu para pekerja ibu-ibu juga.
Nanti masak air untuk minum dan mandi para mbah-mbah
disini,

menyiapkan

makanan,

mencuci

piring,

dan

mengantarkan makanan ke kamar mbah-mbah.”L3-16

“Ada. Yang pasti anak oma itu, walaupun jauh. Sama
orang

panti

biasanya

para

pekerja,

mereka

suka

perhatikan oma. Tanya oma mau kemana? Hati-hati yaa.
Begitu.”L6-25

5.

Bimbingan (Guidance)
Menurut Weiss (Cutrona dkk,1994 : 371) dalam artikel
Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, Mpsi, (2002), mengemukakan
bahwa dukungan sosial jenis ini adalah berupa adanya
hubungan

kerja

atau

pun

hubungan

sosial

yang

memungkinkan lansia mendapatkan informasi, saran, atau
nasehat yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan

69

mengatasi permasalahan yang dihadapi. Jenis dukungan
sosial jenis ini bersumber dari guru, alim ulama, pamong
dalam masyarakat, figur yang dituakan dan juga orang tua.
Dalam penelitian ini peneliti menemukan bahwa riset
partisipan mendapatkan bimbingan dari pendeta. Hal ini
membuat lansia untuk dapat menjalani kehidupan ini sebaik
mungkin dan bisa melaksanakan segala aktifitas dengan baik.
Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan Lansia 3 dan
Lansia 5 sebagai berikut:

“Sering mba, saya selalu didoakan agar tetap sehat
dan tetap kuat dalam menjalani kehidupan saya di panti
ini.”L3-32

“Iya mba, selalu itu. Kalau pada waktu ibadah lansia
itu pastor selalu memberikan cerita yang akan menolong
kita untuk tetap yakin pada hidup kita ini. Semuanya yang
kita lakukan pasti Tuhan Yesus akan menolong.” L5-19

70

6.

Kesempatan

untuk

mengasuh

(Opportunity

for

Nurturance)
Menurut Weiss (Cutrona dkk,1994 : 371) dalam artikel
Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, Mpsi, (2002), mengemukakan
bahwa Suatu aspek penting dalam hubungan interpersonal
akan perasaan dibutuhkan oleh orang lain. Jenis dukungan
sosial ini memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan
bahwa orang lain tergantung padanya untuk memperoleh
kesejahteraan.
Ada riset partisipan di panti yang tidak hanya tinggal
untuk menjalani masa tuanya namun juga menyempatkan
dirinya untuk melayani dan membantu lansia yang lain di
panti

tersebut.

Sehingga

riset

partisipan

mendapat

kepercayaan tidak hanya oleh lansia-lansia yang lain tetapi
oleh para pekerja dan Ibu asrama. Hal ini juga membuat
lansia-lansia yang lain merasa bahwa jika mereka tidak bisa
melakukan sesuatu hal tentu ada yang bisa mereka mintai
tolong. Pernyataan ini diungkapkan oleh riset partisipan
Lansia 3 dan Lansia 4 sebagai berikut:

“Cita-cita ya, yah saya disini berharap saya diberikan
kekuatan dan kesehatan oleh Tuhan Yesus agar saya
tetap dan senantiasa melayani mbah-mbah disini, disaat

71

mereka membutuhkan saya dan ingin mendapatkan
pertolongan saya, sebelum saya dipanggil oleh Tuhan
Yesus.”L3-33

“Apa ya mba? Saya inikah sudah tua, harapannya
semoga saya tetap diberikan kesehatan dan kekuatan
agar tetap bisa selalu menolong dan melayani simbahsimbah disini sama semoga saya bisa selalu melihat
anak-anak

saya

dan

cucu-cucu

saya

dan

selalu

menunggu mereka untuk selalu datang berkunjung ke
sini.”L4-26

4.4. Deskripsi Penemuan
4.4.1.

Merasa kebutuhan di panti belum sepenuhnya tercukupi,
contohnya makanan yang disiapkan dari panti. Namun hal
tersebut bukan menjadi masalah, oleh karena itu riset
partisipan merasa untuk tetap mengucap syukur dan
berterimakasih atas berkat yang didapat karena semua yang
diperoleh merupakan pemberian dari Tuhan Yesus.

4.4.2.

Riset partisipan juga mengetahui bahwa ia siap jika suatu
saat nanti akan dipanggil oleh Tuhan. Hal ini terjadi karena
kehidupannya sudah tua dan tidak akan lama lagi, sehingga

72

sisa-sisa kehidupan mereka ini akan mereka jalani sebaikbaiknya.
4.4.3.

Para lansia juga mendapatkan haknya, seperti perkunjungan
dari dokter dan perawat yang datang untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan. Walaupun para lansia sudah tua
namun kesehatan para lansia perlu untuk diutamakan.

4.4.4.

Merasa puas, senang, dan sejahtera untuk tinggal di panti
karena di panti para lansia bisa mendapatkan tempat untuk
tinggal, fasilitas seperti makanan, pakaian dan memiliki teman
yang sebaya. Para lansia juga merasa terlindungi karena
banyak

orang-orang

yang

datang

berkunjung

untuk

memberikan sumbangan, sehingga para lansia mengetahui
bahwa banyak orang di sekitarnya yang peduli.
4.4.5.

Lansia juga mengetahui bahwa pengalaman masa lalu
sebenarnya lebih menyenangkan karena bisa melakukan
segala hal, bisa mencari uang sendiri, namun semuanya itu
hanya bersifat sementara. Kenyataannya kehidupan ini terus
berjalan dan masa tua pun harus diterima dan tetap dijalani
dengan penuh syukur.

73

4.5. Pembahasan
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwa kesejahteraan
lansia di panti sudah baik. Riset partisipan yang tinggal di Panti
merasa bahwa mereka sudah puas dan sejahtera untuk tinggal di
Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salatiga. Hal ini terbukti dengan
adanya 6 dimensi kesejahteraan lansia yaitu:
4.5.1.

Penerimaan Diri (Self Acceptance)
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa enam Lansia

menyadari terhadap sikap positif yang dimilikinya sehingga lansia
dapat menikmati hidupnya dan bersyukur atas apa yang sudah
dimilikinya. Lansia yang tinggal di Panti Werdha Sosial dan
Mandiri tidak merasa kesepian karena dapat tinggal dengan
teman sebaya, seiman dan bisa melakukan segala aktifitas yang
diinginkan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh
Perlmutter dan Hall (1992) bahwa Panti dapat memberikan hal
positif bagi penghuninya dan membuat lansia untuk bisa
berinteraksi dengan teman sebaya yang dapat meningkatkan
semangat hidup, aktivitas sosial dan kepuasan tempat tinggal.

4.5.2.

Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relations With
Others)
Menurut lansia menjalani hubungan yang baik antar sesama

baik itu orang-orang disekitar panti ataupun penghuni panti adalah

74

dengan tidak menimbulkan masalah. Lansia menyadari bahwa
hubungan yang dijalani menunjukkan hubungan yang positif
dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori dari Ryff (1995),
yang mengungkapkan bahwa hubungan yang positif adalah
kemampuan dari individu menjalin hubungan yang baik dengan
orang lain disekitar. Individu yang tinggi dalam dimensi ini akan
mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan
dari orang lain. Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi
hubungan positif dengan orang lain akan terisolasi, merasa
frustasi

dalam

berkeinginan

membina

untuk

hubungan

berkompromi

interpersonal,

dalam

tidak

mempertahankan

hubungan dengan orang lain.

4.5.3.

Otonomy (Autonomy)
Lansia memiliki otonomi yang baik dikarenakan lansia secara

bebas dapat menentukan mana yang baik dan tidak baik dalam
suatu hal dan bisa menentukan untuk mengikuti atau tidak suatu
kegiatan yang diadakan oleh panti. Lansia juga melarang jika ada
yang tidak benar dalam melakukan suatu hal.

Seperti yang

dijelaskan oleh Keyes, Ryff & Singer dalam Papalia, Olds,
Feldman & Gross (2004), bahwa orang yang memiliki otonomi
yang baik dapat melakukan pengambilan keputusan berdasarkan
diri sendiri, tidak tergantung, dapat menahan tekanan sosial untuk

75

berpikir dan membuat keputusan di jalan yang tepat, dapat
mengatur perilaku dan menilai diri sendiri.

4.5.4.

Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)
Lansia menyadari bahwa lingkungan yang bersih itu sangat

penting. Lingkungan yang bersih tergantung pada diri sendiri.
Adanya kesadaran dari diri lansia maka secara tidak langsung
muncullah aktifitas-aktifitas yang dapat dilakukan setiap hari oleh
lansia. Seperti yang dijelaskan oleh Ryff (dalam Lopez & Snyder,
2004)

dikutip oleh Novalia, (2011), bahwa penguasaan

lingkungan melibatkan kemampuan individu dalam mengatur dan
mengubah lingkungan melalui aktifitas fisik dan mental. Individu
yang sehat mental dan matang adalah individu yang memiliki
kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kondisi psikis dirinya, mampu berpartisipasi dalam
aktivitas di luar diri dan

memanipulasi serta

mengontrol

lingkungan sekitarnya yang kompleks. Sebaliknya menurut Ryff &
Keyes (1995), individu yang rendah dalam dimensi ini merasa sulit
untuk mengatur hidup sehari-hari, merasa tidak mampu untuk
mengubah atau meningkatkan situasi di sekelilingnya, tidak peduli
pada sekitar dan kehilangan kontrol diri.

76

4.5.5. Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Lansia mengetahui bahwa hidup yang dijalaninya memiliki
makna tertentu yaitu, adanya perubahan dalam hidupnya dari dulu
hingga sekarang. Lansia juga merasakan hidup di Panti Werdha
lebih mensejahterakan dibanding di rumah sebelumnya dan juga
bisa melakukan segala aktifitas yang diinginkan. Hal ini membuat
lansia untuk tetap bersyukur kepada Tuhan atas apa yang sudah
didapat.
Tujuan

hidup

Lansia

adalah

siap

untuk

menghadapi

kematian. Merasa bahwa hidup ini sudah tua sehingga rasa takut
akan Tuhan juga ditunjukkan dalam keseharian lansia seperti,
mengikuti ibadah, ke Gereja, dan mengikuti kegiatan kerohanian
lainnya. Hal ini sesuai dengan teori Ryff dalam Lopez & Snyder
(dikutip oleh Novalia, 2010), bahwa individu yang dapat berfungsi
secara positif adalah individu yang memiliki tujuan, intensi, dan
arahan yang dapat memberikan kontribusi pada kebermaknaan
hidupnya. Individu yang tinggi dalam dimensi ini dikarakteristikkan
sebagai individu yang memiliki tujuan dalam hidup dan mampu
memberi makna pada hidupnya baik masa sekarang maupun
masa lalu. Menuut Ryff, 1995 (dikutip oleh Fivin, 2013) yang
menjelaskan bahwa dimensi ini dapat dioperasionalkan dalam
tinggi rendahnya pemahaman individu akan tujuan dan arah
hidupnya. Orang yang sejahtera secara psikologis adalah orang

77

yang menemukan makna hidupnya. Sedangkan McGregor & Little
(1998)

dan

Compton

(2000),

(dalam

jurnal

Sarvatra),

mengungkapkan bahwa agama memberikan arti pada tiap
individu. Agama juga dapat menghilangkan kecemasan yang ada
dan rasa takut akan kematian.

4.5.6.

Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)
Lansia menyadari bahwa hidup yang dijalaninya memiliki arti,

merasa bersyukur untuk setiap kesempatan hidup yang diberikan
oleh Tuhan. Lansia juga berpikir positif dengan cara meluangkan
waktu untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang diinginkan agar
tidak merasa bosan untuk tinggal di Panti. Sesuai dengan teori
Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004 (dikutip oleh Novalia, 2010)
bahwa tercapainya fungsi positif yang optimal tidak hanya
digambarkan ketika individu sudah berhasil mencapai suatu
kriteria

tertentu,

tetapi juga

ketika dirinya menumbuhkan,

mengembangkan, dan meluaskan potensi atau fungsi dirinya.
Individu yang tinggi dalam dimensi ini memiliki pandangan bahwa
dirinya selalu berkembang, terbuka pada pengalaman baru,
memiliki kemampuan untuk merealisasikan potensi diri, mampu
melihat perkembangan diri dan perilakunya sepanjang waktu, dan
melakukan

perubahan

dengan

cara-cara

tertentu

yang

merefleksikan pengetahuan diri. Namun sebaliknya, menurut Ryff

78

dan Keyes (1995), mengatakan bahwa individu yang rendah
dalam dimensi ini merasa bahwa hidup akan berhenti (stagnation),
kehilangan kemampuan untuk meningkatkan diri sepanjang
waktu, merasa jenuh dan merasa bahwa hidupnya tidak menarik
lagi, dan merasa tidak mampu untuk membangun sikap atau
perilaku baru.

Dari

hasil

penelitian

juga

terdapat

faktor-faktor

yang

mempengaruhi kesejahteraan lansia yang tinggal di Panti Werdha,
yaitu:

a.

Faktor Pengalaman Hidup
Lansia mengungkapkan bahwa hidup yang dijalaninya perlu
untuk disyukuri dan untuk bisa hidup sampai dengan sekarang itu
merupakan suatu anugerah terbesar dari Tuhan. Tidak hanya itu,
lansia juga bersyukur untuk setiap berkat yang diterimanya baik
dari orang sekitar maupun orang lain. Hal ini sesuai dengan teori
Andrew & Robinson, 1991 (dikutip dalam Ika, 2007) bahwa
pengalaman

hidup

dialami

individu

pada

suatu

tahapan

kehidupannya, sepertievaluasi terhadap keluarga, tempat tinggal,
pekerjaan, atau komunitas dan apa yang dirasakan individu
tentangpengalaman

hidupnya

mempengaruhi

terhadap kepentingansecara umum.

penilaiannya

79

b.

Faktor Dukungan Sosial
Kerekatan emosional (Emotional Attachment) yang dialami
oleh lansia yaitu lansia merasa hubungan yang dijalani dengan
seluruh anggota panti sudah baik, menganggap bahwa seluruh
anggota panti merupakan keluarga dan saudara. Tidak hanya
anggota panti, melainkan orang-orang diluar panti juga bisa
menjadi orang terdekat dari lansia. Sesuai dengan teori Weiss
(Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri
Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa seseorang memiliki kerekatan
(kedekatan) emosional sehingga menimbulkan rasa aman,
tentram, dan damai yang ditunjukkan dengan sikap tenang dan
bahagia. Secara umum hal ini didapat dari pasangan hidup atau
anggota keluarga/teman dekat/sanak keluarga yang akrab dan
memiliki hubungan yang harmonis. Adanya orang ke dua,
terutama yang tidak memiliki pasangan hidup, menjadi sangat
penting untuk dapat memberi dukungan sosial atau dukungan
moral (moral support).
Integrasi sosial (Sosial Integration) juga dialami oleh lansia
yang tinggal di Panti Werdha, dimana lansia meluangkan
waktunya untuk mengikuti berbagai kegiatan baik yang disediakan
oleh Panti maupun kegiatan di luar Panti seperti bersih-bersih,
mengikuti ibadah yang disediakan oleh Panti, kegiatan PKK, ke
Gereja, dan membantu lansia lainnya yang sedang membutuhkan

80

pertolongan. Dengan mengikuti kegiatan yang ada, lansia tidak
merasa jenuh dan bosan untuk tinggal di Panti sehinga bisa
mengeskpresikan apa yang diinginkan.
Hal ini juga didukung oleh teori dari Higgins (1989) yang
mengatakan bahwa panti juga memberikan kesempatan lansia
untuk mengambil peran dalam aktifitas sehari-hari seperti
memasak atau yang lainnya, tingkat kepuasan mereka terhadap
panti akan lebih tinggi, karena kualitas pengalaman di panti juga
dapat ditingkatkan dengan memberikan tanggung jawa dan
kebebasan melakukan kegiatan sehari-hari kepada penghuni
seperti layaknya rumah sendiri. Kemudian menurut teori dari
Weiss (Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri
Kuntjoro,

M.Psi

(2002) bahwa

jenis dukungan

sosial

ini

memungkinkan lansia untuk memperoleh perasaan memiliki suatu
kelompok yang memungkinkannya untuk berbagi minat, perhatian
serta melakukan kegiatan yang sifatnya rekreatif secara bersamasama. Hal ini akan membuat lansia merasa aman, nyaman, serta
merasa memiliki dan dimiliki dalam kelompok. Disamping itu
lansia juga merasa bahagia, ceria, dan dapat mencurahkan
segalan ganjalan yang ada pada dirinya untuk bercerita atau
mendengarkan ceramah ringan yang sesuai dengan kebutuhan
lansia. Hal itu semua merupakan dukungan sosial yang sangat
bermanfaat bagi lansia.

81

Adanya pengakuan (Reanssuarace of Worth) juga dialami
oleh lansia dimana lansia yang membantu lansia lainnya akan
mendapatkan sebuah penghargaan seperti ucapan terimakasih
dan lainnya. Tidak hanya itu, lansia yang tinggal juga mendapat
kepercayaan dari Ibu asrama maupun penghuni Panti lainnya
karena bisa diandalkan dan dipercaya untuk melakukan suatu
tugas ditanggungjawabkan. Berbeda dengan lansia lainnya yang
dengan

kemandiriannya

dapat

melakukan

kegiatan

yang

diinginkan tanpa bantuan orang lain, sehingga orang lain pun tidak
merasa kesusahan. Disamping itu ada juga lansia yang merasa
sudah cukup dengan hanya mengikuti kegiatan tertentu sebagi
anggota atau pengikut dibanding menjadi bagian dalam organisasi
atau suatu kegiatan tertentu. Sesuai dengan teori Weiss (Cutrona
dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi
(2002) bahwa lansia yang mendapat pengakuan atas kemampuan
dan keahliannya serta mendapatkan penghargaan dari orang lain
atau lembaga merupakan salah satu bentuk dari dukungan sosial.
Sumbernya dukungannya bisa berasal dari keluarga atau
lembaga/instansi.
Ketergantungan yang dapat diandalkan (Realible Realince)
yaitu dimana lansia merasa bahwa pertolongan akan diberikan
jika ada yang meminta bantuannya, namun sebaliknya jika tidak
ada yang meminta maka lansia akan merasa biasa saja.

82

Semuanya dilakuakan karena lansia merasa bahwa diri mereka
masih bisa melakukan hal-hal tersebut secara mandiri. Dukungan
dan bantuan pun juga diberikan antar sesama lansia, orang diluar
panti maupun keluarga. Hal inilah yang membuat lansia merasa
terlindung dan merasa bahwa ada orang masih memperdulikan
mereka. Sesuai dengan teori Weiss (Cutrona dkk, 1994:371)
dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa
dukungan sosial jenis ini membuat lansia untuk mendapatkan
dukungan berupa jaminan bahwa ada orang yang dapat
diandalkan bantuannya ketika lansia membutuhkan bantuan
tersebut. Jenis dukungan ini umumnya berasal dari keluarga dan
lembaga. Hal ini jugalah yang membuat lansia untuk merasa puas
tinggal di Panti.
Bimbingan (Guidance) pun diterima dan didapat oleh para
lansia dari Pendeta dan Pastor. Pendeta dan Pastor selalu
mendukung, berbagi cerita, memberi bimbangan dan tuntunan
serta doa untuk lansia yang ditemui agar tetap bersyukur dalam
menjalani kehidupan ini dan tetap untuk diberi kesehatan dan
kekuatan untuk setiap lansia yang ditemui. Sesuai dengan teori
(Cutrona dkk, 1994:371) dalam artikel Drs. H. Zainudin Sri
Kuntjoro, M.Psi (2002) bahwa adanya hubungan sosial yag
memungkinkan lasia mendapatkan informasi, saran, atau nasehat
yang diperlukan dalam memenuhi kebutuhan dan mengatasi

83

setiap permasalahan yang dihadapi. Secara umum bersumber
dari guru, alim ulama, pamong dalam masyarakat, figur yang
dituakan dan juga orang tua.
Kesempatan untuk mengasuh (Opportunity for Nurturance)
juga dialami oleh lansia yaitu adanya rasa kepercayaan yang
diberikan baik itu dari penghuni Panti maupun Ibu asrama. Lansia
yang tinggal di Panti tidak hanya ingin menjalani kehidupannya di
Panti namun lansia juga membagi waktunya untuk melayani dan
menolong sesama lansia lainnya. Merasa hidupnya harus tetap
diberi kesehatan dan kekuatan agar tetap melayani lansia lainnya
yang berada di Panti. Sesuai dengan teori Weiss (Cutrona dkk,
1994:371) dalam

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanjut Usia Memilih Tinggal di Panti Werdha Salib Putih Salatiga

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanjut Usia Memilih Tinggal di Panti Werdha Salib Putih Salatiga T1 462011053 BAB I

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanjut Usia Memilih Tinggal di Panti Werdha Salib Putih Salatiga T1 462011053 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanjut Usia Memilih Tinggal di Panti Werdha Salib Putih Salatiga

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kesejahteraan pada Lanjut Usia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Kota Salatiga T1 462010017 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kesejahteraan pada Lanjut Usia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Kota Salatiga T1 462010017 BAB II

0 0 25

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kesejahteraan pada Lanjut Usia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Kota Salatiga T1 462010017 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kesejahteraan pada Lanjut Usia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Kota Salatiga

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Gambaran Kesejahteraan pada Lanjut Usia di Panti Werdha Sosial dan Mandiri Salib Putih Kota Salatiga

0 0 54

Kesehatan Spiritual Lanjut Usia Di Getasan Dan Panti Wredha Salib Putih Salatiga Tugas Akhir - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesehatan Spiritual Lanjut Usia di Getasan dan Panti Wredha Salib Putih Salatiga

1 1 40