ekonomi politik internasional ACFTA dala

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
Memasuki abad ke-21 arus globalisasi telah merambah seluruh dunia, hal ini
terutama berkaitan dengan sektor ekonomi. Sektor ekonomi tersebut tentu saja
melibatkan pihak-pihak dari berbagai negara, baik pemerintah dengan pemerintah,
pemerintah dengan swasta, ataupun swasta dengan swasta. Kerja sama dalam bidang
ekonomi tersebut terutama melibatkan unsur ekspor-impor yang pada setiap negara
memberikan bea masuk barang luar negeri yang berbeda-beda.
Hal tersebut menciptakan adanya niatan untuk menyeragamkan bea masuk
antar negara, sehingga saling menguntungkan satu sama lain. Ini membuat WTO,
induk perdagangan dunia menginisiasi adanya penyeragaman bea masuk, reduksi
biaya, dan bahkan adanya perdagangan bebas dunia. Semua hal tersebut tercantum
dalam rencana perjanjian Doha round two. Akan tetapi rancangan perjanjian tersebut
tidak kunjung diratifikasi oleh anggota-anggota WTO yang mengikutinya, hal ini
menimbulkan deadlock dalam rencana mengadakan perdagangan bebas zona dunia.
Hal ini membuat masing-masing negara mengambil inisiatif sendiri untuk
mengadakan perjanjian masalah perdagangan bebas dengan negara lain baik antar
negara maupun kawasan ekonomi dengan suatu negara. Salah satunya adalah
perjanjian antara ASEAN dan Cina, yang terprogram dalam ACFTA. ASEAN terdiri

dari sepuluh negara yaitu Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, Vietnam,
Kamboja, Laos, Brunei Darussalam, Myanmar, dan Indonesia, dengan adanya
perjanjian tersebut tentu saja akan berdampak terhadap perekonomian negara-negara
tersebut.

Salah satu Negara ASEAN tersebut adalah Indonesia, tentu saja adanya
perjanjian yang dilakukan oleh ASEAN dengan Cina otomatis membuat Indonesia
ikut dalam perjanjian tersebut karena status mereka sebagai anggota ASEAN. Hal ini
tentu saja menarik mengingat ekonomi Indonesia sebenarnya belum pulih benar dari
krisis ekonomi yang menimpa pada tahun 1998, dan hal ini berdampak pada stabilitas
ekonomi mereka yang amat bergantung pada hasil perdagangan mereka. Ini akan
menimbulkan pertanyaan seberapa siapkah Indonesia menghadapi perdagangan bebas
zona ASEAN – Cina ini. Hal inilah yang membuat kami tertarik unuk menulis
makalah mengenai masuknya Indonesia ke dalam zona perdagangan bebas ASEAN –
Cina.

1.2. PERUMUSAN MASALAH
a) Bagaimana pengaruh ACFTA terhadap perekonomian Indonesia?
b) Apa saja dampak ACFTA terhadap pemerintah Indonesia?


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengaruh ACFTA terhadap perekonomian Indonesia
Dalam hal ini, terdapat dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA yang
diberlakukan oleh Indonesia.

a) Dampak Negatif
Pertama, serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan
kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja
Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan
data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan
mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008.
Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan
mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan
sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang
terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala
modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan
mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis
Indonesia, 9/1/2010).

Kedua, pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan
harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah
usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja.

Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15%
hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade
Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi
perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan
bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan
banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya
pedagang tekstil. Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing?
Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.”
Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu
sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya
murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya,
produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
Ketiga, karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan
lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti
jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor,
sedangkan sektor- sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan

dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
Keempat, jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin
produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan
Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke
Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor
Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang
sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan
yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat
digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi
untuk menggerakkan ekonominya.

Kelima, peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM
dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya,
ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja
baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja
jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.

b) Dampak Positif
Pertama, ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil
dari investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara

yang tidak menjadi peserta ACFTA.
Kedua, dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal
ini di motivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen
maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas
dari kualitas sumber yang diproduksi.
Ketiga, ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010
secara agregat, namun disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas
laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut,
karena dengan adanya ACFTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang
lebih murah dan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula
(pemaparan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR
di Gedung DPR RI, Rabu (20/1). Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah
atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan
perbankan dan telekomunikasi. BUMN tersebut membutuhkan impor barang modal
yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya ke pasar Cina.
2.2 Dampak ACFTA terhadap pemerintah Indonesia

Segala sesuatu memang akan memberi dampak positif dan negarif. Begitu
juga dengan ACFTA. Dampak kesepakatan ini memang memiliki implikasi yang
cukup luas di bidang ekonomi, industri dan perdagangan.

Dari sisi konsumen atau masyarakat, kesepakatan ini memberikan angin segar
karena membuat pasar dibanjiri oleh produk-produk dengan harga lebih murah dan
banyak pilihan. Dengan demikian akan berdampak pada meningkatnya daya beli
masyarakat sehingga diharapkan kesejahteraan pun dapat ditingkatkan. Namun,
kesepakatan tersebut justru membuat industri lokal gelisah. Hal ini dikarenakan
industri lokal dinilai belum cukup siap menghadapi serbuan produk-produk China
yang berharga murah. Produk-produk dalam negeri masih memiliki biaya produksi
yang cukup tinggi sehingga harga pasaran pun masih sulit ditekan. Keadaan ini
dikhawatirkan akan memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) dikarenakan
ditutupnya perusahaan dalam negeri akibat kalah bersaing.
Masalah yang paling dikhawatirkan adalah pengaruh ACFTA terhadap
keberlangsungan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang berkonsentrasi pada pasar
dalam negeri. Tentu UKM tersebutlah yang paling parah terkena imbas dengan
membanjirnya produk-produk China. Produk-produk China yang menguasai pasar
Indonesia dapat ditampilkan sebagai berikut:

Berdasarkan chart di atas, bisa dilihat produk-produk China berupa mainan
anak dan alat rumah tangga marak dibeli oleh masyarakat. Hal ini merupakan
tantangan berat bagi UKM yang memproduksi barang-barang tersebut, untuk terus
melanjutkan usahanya.

Dampak ACFTA juga akan merambah ke sektor pertanian. Mengingat begitu
lancarnya hubungan ekspor-impor pertanian antara Indonesia dengan negara-negara
ASEAN dan China. Data menunjukkan trade balance (neraca perdagangan) produk
pertanian dengan ASEAN-Cina pada Januari 2010, Indonesia masih meraih surplus
US$ 2,2 miliar. Nilai surplus terbesar diperoleh dari sektor perkebunan, seperti
minyak kelapa sawit dan turunannya, karet SIR 20, minyak dan lemak dari sayuran,
karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat (pecah, setengah pecah, dan mentah), serta
gaplek iris dan kering sebesar US$ 2.756 miliar.
Secara lebih rinci, nilai ekspor Indonesia ke China adalah:
1. Sektor komoditas primer sektor perkebunan, kontribusi terbesar disumbang
karet US$ 6,152 miliar, kakao US$ 1,269 miliar, kopi US$ 991 juta, dan
kelapa US$ 901 juta.

2. Sektor perkebunan olahan, sumbangan terbesar adalah minyak sawit (US$
14,11 miliar) dan karet (US$ 1,485 miliar).
3. Subsektor tanaman pangan, kontribusi terbesar disumbang gandum (US$
252 juta) dan ubi kayu (US$ 36 juta).
4. Subsektor hortikultura disumbang buah, kacang-kacangan, dan tumbuhan
awetan (US$ 170 juta). 5. Subsektor peternakan disumbang susu (US$ 187
juta) dan lemak (US$ 377 juta).

Sementara nilai impor Indonesia dari China sebagai berikut :
1. Impor terbesar terjadi pada subsektor hortikultura, seperti bawang putih
segar, buah apel, pir, serta kwini Mandarin segar, dan komoditas buah
lainnya sebesar US$ 434,4 juta;
2. Subsektor pangan berupa benih gandum dan gandum lainnya, gula kasar,
kacang kupas, dan komoditas pangan lain sebesar US$ 109,53 juta;
3. Subsektor peternakan yang umumnya berupa impor binatang hidup US$
17,947 juta (Tempo, 19 Januari 2010).

Kebijakan Indonesia Menghadapi ACFTA
`Berbagai kebijakan memang harus dibuat agar dampak ACFTA tidak
menggerus perekonomian Indonesia. Hal yang paling krusial adalah dalam menekan
harga produk lokal sehingga dapat bersaing dengan produk-produk murah dari China.
Inilah mengapa perlunya menciptakan biaya produksi rendah.

Biaya produksi rendah bagi industri dalam negeri dapat diciptakan dengan
pertama, menurunkan suku bunga pinjaman bank. Suku bunga pinjaman yang
diterapkan di Indonesia adalah sebesar 13,6 persen. Suku bunga tersebut dianggap
terlalu tinggi dan membebani para pengusaha, terutama pengusaha UKM. Bunga
yang relatif tinggi memberikan keengganan bagi perusahaan maupun perorangan

untuk meminjam uang karena biayanya dianggap masih mahal. Implikasi bunga
pinjaman yang tinggi lainnya adalah akan menyebabkan sektor manufaktur sulit
bersaiang. Bunga pinjaman tersebut akan membebani ongkos kapital sehingga
menaikkan biaya produksi. Dan selanjutnya seperti yang telah disebutkan di atas
yakni membuat biaya produksi tinggi dan memaksa harga produk pun menjadi lebih
mahal. Dengan demikian diperlukan penurunan suku bunga pinjaman agar
meringankan beban biaya produksi dan juga mendorong pembukaan usaha-usaha
baru agar terbuka kesempatan kerja yang lebih luas.
Kedua, memperbaiki infrastruktur. Infrastruktur memang tak dipungkiri
merupakan variabel yang sangat krusial dalam memacu roda perekonomian. Bahkan
Kwiek Kian Gie mengatakan, secara ekonomi makro ketersediaan dari jasa pelayanan
infrastruktur mempengaruhi marginal productivity of private capital, sedangkan
dalam konteks ekonomi mikro, ketersediaan jasa pelayanan infrastruktur berpengaruh
terhadap pengurangan biaya produksi. Penurunan kinerja infrastruktur berimplikasi
pada terhambatnya distribusi barang dan jasa yang menyebabkan kenaikan biaya
angkut, sehingga biaya produksi meningkat. Hal inilah mengapa perbaikan
infrastruktur akan sangat menekan biaya produksi.
Selain kedua kebijakan tersebut, di sektor pertanian diperlukan fokus dalam
pengembangan


komoditas

berbasis

keunggulan

komparatif

dan

kompetitif.

Keunggulan di sektor perkebunan perlu mendapat perhatian khusus. Diperlukan
pengembangan produk-produk perkebunan bernilai tambah berupa olahan. Sehingga

ekspor komoditas perkebunan tidak lagi berupa bahan mentah, namun mempunyai
nilai tambah yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi.

Diharapkan dengan kebijakan-kebijakan yang sistematis dan terarah, momen
ACFTA dapat memberikan efek laju pertumbuhan ekonomi yang cepat dan

memunculkan daya saing produk lokal yang unggul, murah, dan memiliki pasar yang
luas. Langkah-langkah yang sudah dilakukan oleh Tim tersebut antara lain :
1. Meningkatkan efektivitas pengamanan pasar dalam negeri dari penyelundupan
dan pengawasan peredaran barang dalam negeri melalui peningkatan
pemberlakukan sejumlah instrumen yang sesuai dengan disiplin perjanjian
internasional, seperti standar mutu, HaKI dan perlindungan konsumen, serta
mencegah dumping dan lain-lain.
2. Meningkatkan efektivitas pengawasan terhadap penerbitan dan pemanfaatan
dokumen surat keterangan asal (SKA) untuk ekspor dan impor.
3. Melakukan penguatan pasar ekspor, seperti Trade Promotion Center.
4. Peningkatan promosi penggunaan produk dalam negeri.
5. Penanganan issue domestik lainnya, seperti pembenahan tata ruang dan
pemanfaatan lahan, infrastuktur dan energi, perluasan akses pembiayaan,
perbaikan pelayanan publik, dan lain-lain.
Pemerintah juga akan mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan demi
kelancaran pelaksanaan pembicaraan ulang dengan pihak-pihak terkait.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang
maupun jasa yang diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal
januari 2010. Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China
mendominasi perekonomian semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen
indonesia mewarnai perang industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah
bersaing. ACFTA dipandang terlalu agresif untuk melakukan liberalisasi ekonomi
Indonesia yang menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam. ACFTA
menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun hal
ini tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasi akan
keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri
negara ini.
Dengan adanya ACFTA mau tidak mau Indonesia harus mengikutinya sebab
perjanjian ini telah diratifikasi oleh seluruh anggota ASEAN, termasuk Indonesia.
Perjanjian perdagangan bebas zona ASEAN – Cina ini tentu berdampak besar
terhadap perekonomian dan kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia. Dalam hal
ini pemerintah Indonesia dan masyarakatnya sebenarnya masih belum siap untuk
menghadapi perdagangan bebas dengan Cina.

3.2 Saran
Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan
kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh
cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik,
jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor
dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO). Seperti yang kita ketahui
barang-barang impor dari China telah mencemari sektor perdagangan di Indonesia,
barang-barang dari China harganya lebih murah dan lebih berkualitas dari barangbarang lokal, oleh sebab itu pemerintah juga seharusnya membatasi jumlah barang
impor untuk melindungi barang-barang produksi lokal.
UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing
produk yang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan
keringanan terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha. Pemerintah
harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku lokal untuk berbagai
sektor infrastruktur.

BAB IV
DAFTAR REFERENSI

Anggraini.

2010.

“Dampak

ACFTA

terhadap

Perekonomian

Indonesia”.

http://www.scribd.com/documents/25830743. Diakses tanggal 4 November
2012.
Isnawati.“Serbuan

Produk

China

Tidak

pengaruhi

UMKM”.

http://suaramerdeka.com/rsssm/index.php/news. Diakses tanggal 4 November
2012
Prabowo,D. dan S.Wardoyo.2004. AFTA Suatu Pengantar. Cetakan I. Yogyakarta:
BPFE-Yogyakarta

MAKALAH
EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL
INDONESIA DALAM MENGHADAPI PERDAGANGAN BEBAS
ZONA ACFTA

Oleh :

1. Brian Anardy

F1D009013

2. Denif Harsaswanto

F1D009030

3. Mara Hasayangan

F1D009039

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
PURWOKERTO
2012