Hubungan Spiritualitas Orang Tua Terhadap Perilaku Adaptif Anak Retardasi Mental di Sekolah Luar Biasa E Negeri Kecamatan Sei Agul Medan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Spiritualitas
Spiritualitas (spirituality) merupakan suatu yang dipercayai oleh seseorang
dalam hubungannya dengan kekuatan tertinggi (Tuhan), yang menimbulkan suatu
kebutuhan serta kecintaan terhadap adanya Tuhan, dan permohonan maaf atas
segala kesalahan yang pernah diperbuat. Walaupun ada perkembangan dalam
menentukan definisi baku, spiritualitas tetap merupakan konsep yang sangat
subjektif, personal dan bahkan individualistik (Coyle, 2002 dalam Young dan
Koopsen, 2007).
Taylor (2002 dalam Young dan Koopsen, 2007) menyatakan bagi banyak
orang, spiritualitas mewakili hakikat hidup paling vital yang memberi daya baik
bagi pikiran maupun tindakan. Bagi orang lain, spiritualitas merupakan
kepercayaan pada daya yang bekerja menopang alam semesta dan lebih berkuasa
daripada diri sendiri. Mickley et al (1992 dalam Hamid 2009) menguraikan
spiritualitas sebagai suatu yang multidimensi ekstensi dan dimensi agama.
Dimensi ekstensial berfokus pada tujuan dan arti kehidupan, sedangkan dimensi
agama lebih berfokus pada hubungan seseorang dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Stoll (1989, dalam Hamid 2009) selanjutnya menguraikan bahwa spiritualitas
sebagai konsep dimensi yaitu dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal

sebagai hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi dengan menuntun
kehidupan seseorang, sedangkan dimensi horizontal adalah hubungan dengan

8
Universitas Sumatera Utara

9

orang lain dan dengan lingkungan. Terdapat hubungan yang terus menerus antara
dua dimensi tersebut.
2.1.1. Karakteristik Spiritualitas
Terdapat beberapa karakteristik spiritualitas yang meliputi hubungan
dengan diri sendiri, hubungan dengan alam, hubungan dengan orang lain dan
hubungan dengan Tuhan.
a.

Hubungan dengan diri sendiri.
Maksudnya adalah kekuatan dari dalam diri dan atau self reliance. Hal ini

meliputi pengetahuan diri yakni siapa diri, apa yang dilakukan, dan sikap percaya

pada diri sendiri, percaya pada kehidupan atau masa depan, ketenangan pikiran,
harmoni atau keselarasan dengan diri sendiri. Kekuatan yang timbul dari diri
seseorang membantunya menyadari makna dan tujuan hidupnya, sebagai
pengalaman yang positif, kepuasaan hidup, optimis terhadap masa depan, tujuan
hidup yang semakin jelas ( Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).
b. Hubungan dengan alam
Harmoni yang mengambarkan hubungan seseorang dengan alam yang
meliputi minat dan ketertarikan terhadap tanaman, pohon, margasatwa dan iklim,
kesenangan dan keinginan menikmati pemandangan alam, melakukan meditasi,
yoga, retret serta melindungi alam (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995).

Universitas Sumatera Utara

10

c.

Hubungan dengan orang lain
Meliputi cinta kasih, harapan dan motivasi, keadaaan yang harmonis dan


tidak harmonis dengan orang lain. Keadaan yang harmonis atau suportif
mencakup berbagai waktu, pengetahuan dan dukungan secara timbal balik,
mengasuh anak, orang tua dan orang sakit, menyakini kehidupan dan kematian
(mengunjungi dan melayat dan lain-lain). Sedangkan keadaan yang tidak
harmonis mencakup konflik dengan orang lain dan resolusi yang menimbulkan
ketidakharmonisan dalam waktu lama dengan friksi dan keterbatasan asosiasi
(kozier, Erb,Blais & Wilkinson, 1995).
Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan
kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan
kesepian, keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya. Dengan
demikian apabila seseorang mengalami kekurangan ataupun mengalami stress
maka orang lain dapat memberi bantuan psikologis dan sosial (Charm & Charm,
2000).
d. Hubungan dengan Ketuhanan
Meliputi agama dan tidak agamais yang terdiri dari berdoa, meditasi,
perlengkapan keagamaan, menyatu dengan alam dan partipasi dalam kegiatan
agama (kozier, Erb,Blais & Wilkinson, 1995).
Berbeda dari kozier, Erb, Blais & Wilkinson (1995) Dyson dalam young
(2007) mengartikan bahwa lingkungan/alam adalah segala sesuatu yang berada
disekitar diri seseorang.


Universitas Sumatera Utara

11

Dyson dalam young dan Koopsen (2007) menjelaskan Tiga faktor yang
berhubungan dengan spiritualitas, yaitu :
a. Diri sendiri
Jiwa seseorang dan daya jiwa merupakan hal yang fundamental dalam
eksplorasi atau penyelidikan spiritualitas
b. Sesama
Hubungan seseorang dengan sesama sama pentingnya dengan diri sendiri.
Kebutuhan untuk menjadi anggota masyarakat dan saling ketergantungan
telah lama diakui sebagai bagian pokok pengalaman manusiawi
c. Tuhan
Pemahanan tentang Tuhan dan hubungan manusia dengan Tuhan secara
tradisional dipahami dalam kerangka hidup keagamaan. Akan tetapi,
dewasa ini telah dikembangkan secara lebih luas dan tidak terbatas. Tuhan
dipahami sebagai daya yang menyatukan, prinsip hidup atau hakikat
hidup. Kodrat Tuhan mungkin mengambil berbagai macam bentuk dan

mempunyai makna yang berbeda bagi satu orang dengan yang lain.
Manusia mengalami Tuhan dalam banyak cara seperti dalam suatu
hubungan, alam, musik, seni, dan hewan peliharaan.
Young dan Koopsen (2007) juga menjelaskan bahwa proses penuaan
adalah suatu langkah yang penting dalam perjalanan spiritual dan pertumbuhan
spiritual

seseorang.

Orang-orang

yang

memiliki

spiritualitas

berjuang

mentransendensikan beberapa perubahan dan berusaha mencapai pemahaman

yang lebih tinggi tentang hidup mereka dan maknanya.

Universitas Sumatera Utara

12

2.1.2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Spiritulitas
Diantara banyak faktor yang mempengaruhi spiritualitas seseorang , faktor
– faktor yang paling penting adalah pertimbangan tahap perkembangan, keluarga
etnik dan budaya, agama dan pengalaman hidup ( Taylor, Lilis & LeMone, 1997
dalam Hamid, 2009).
1). Pertimbangan tahap perkembangan
Oleh karena spiritualitas berhubungan dengan kekuasaan nonmaterial,
seseorang harus memiliki beberapa kemampuan berfikir abstrak sebelum mulai
mengerti spiritualitas dan menggali suatu hubungan dengan Tuhan Yang Maha
Kuasa. Hal ini bukan berarti bahwa spiritualitas tidak memiliki makna bagi
seseorang. David heller (1985) menemukan bahwa individu mempunyai persepsi
tentang Tuhan dan bentuk doa yang berbeda menurut usia, jenis kelamin, agama
dan kepribadian individu (Taylor, Lilis &LeMone, 1997 dalam Hamid, 2009).
Tema utama yang diuraikan tentang Tuhan mencakup gambaran Tuhan

yang bekerja melalui kedekatan dengan manusia dan saling keterikatan dengan
kehidupan,

mempercayai

bahwa

Tuhan

terlibat

dalam

perubahan

dan

pertumbuhan diri serta transformasi yang membuat dunia tetap segar, hidup dan
berarti, meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa cemas
dalam menghadapi kekuasaan Tuhan. pengalaman hidup biasanya mempengaruhi

dan menyempurnakan spiritualitas seseorang. Dengan bertambahnya usia,
individu cenderung berfikir tentang kehidupan setelah kematian mendorong

Universitas Sumatera Utara

13

beberapa individu untuk memeriksa dan membenarkan kembali keyakinan
spiritualnya (Taylor, Lilis &LeMone, 1997 dalam Hamid, 2009).
2). Keluarga
Keluarga memainkan peranan penting dalam perkembangan spiritualitas
individu. Tidak begitu banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan dan agama
tapi lebih dari itu individu belajar tentang Tuhan, kehidupan dan diri sendiri dari
tingkah laku keluarganya. Karena keluarga adalah dunia pertama individu
memiliki pengalaman , pandangan terhadap dunia diwarnai oleh pengalaman
dengan keluarganya (Taylor, Lilis & LeMone, 1997 dalam Hamid, 2009).
3). Etnik dan budaya
Tradisi agama berbeda antara setiap kelompok etnik dan budaya. Ada
beberapa yang jelas antara tradisi spiritual barat dan timur. Budaya dan agama
seseorang memiliki banyak aturan yang menjadi dasar pendekatan agama yaitu

melakukan sesuatu, menjadi seseorang atau menjalani cobaan untuk keselarasan
(Taylor, Lilis & LeMone, 1997 dalam Hamid, 2009).
Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual
keluarga. Individu belajar pentingnya menjalankan kegiatan keagamaan. Perlu
diperhatikan, apapun tradisi agama atau sistem kepercayaan yang dianut individu,
tetap saja pengalaman spiritualitas unik bagi setiap individu (Hamid, 2009).

Universitas Sumatera Utara

14

4). Agama
Beberapa karakteristik agama umum antara lain sebagai dasar otoritas dan
sumber kekuatan, suatu bagian dari kitab suci atau ayat-ayat suci, antara kode etik
yang membatasi benar dan salah, suatu psikologi dan identitas sehingga melekat
erat pada suatu kelompok dan dunia yang dibatasi oleh agama, cita-cita atau
penghargaan serta beberapa ide tentang kematian (Murray and Zentner, 1989
dalam Taylor, Lilis &LeMone, 1997).
5). Pengalaman hidup
Pengalaman hidup baik positif maupun yang negatif mempengaruhi

spiritualitas seseorang, dan sebaiknya dipengaruhi oleh bagaimana seseorang
mengartikan secara spiritualitas kejadian atau pengalaman tersebut. Begitu pula
pengalaman hidup yang menyenangkan dapat menimbulkan orang merasa
bersyukur dan ada pula yang merasa tidak perlu bersyukur (Taylor, Lilis &
LeMone, 1997).
2.1.3. Kompetensi yang didapat dari Spiritualitas yang berkembang
Tischler (2002) mengemukakan terdapat 4 kompetensi yang didapat dari
spiritualitas yang berkembang, yaitu :
a. Kesadaran pribadi (personal awareness), yaitu bagaimana seseorang
mengatur dirinya sendiri, self-awareness, emotional self awareness,
penilaian diri yang positif, harga diri, mandiri, dukungan diri, kompetensi
waktu, aktualisasi diri

Universitas Sumatera Utara

15

b. Keterampilan pribadi (personal skills), yaitu mampu bersikap mandiri,
fleksibel, mudah beradaptasi, menunjukkan performa kerja yang baik
c. Kesadaran sosial (social awareness), yaitu menunjukkan sikap sosial yang

positif, empati , altruisme
d. Keterampilan sosial (social skills), yaitu memiliki hubungan yang baik
dengan teman kerja dan atasan, menunjukkan sikap terbuka terhadap orang
lain (menerima orang baru), mampu bekerja sama, pengenalan yang baik
terhadap nilai positif, baik dalam menanggapi kritikan
seseorang dengan spiritualitas yang berkembang akan memiliki komponenkomponen diatas. Sebagai contoh, pada sisi kesadaran sosial, orang –orang
yang spiritualnya baik memperlihatkan sikap sosial yang lebih positif, lebih
empati, dan menunjukkan altruisme yang besar. Mereka juga cenderung untuk
merasa lebih puas dengan pekerjaannya.
2.2. Konsep Retardasi Mental
Retardasi mental adalah suatu gangguan aksis II, didefinisikan sebagai
fungsi intelektual yang dibawah rata-rata bersama dengan kurangnya perilaku
adaptif , dan terjadi sebelum usia 18 tahun. (DSM-IV-TR , 2000).
Retardasi mental atau tunagrahita merupakan suatu kondisi terjadi
keterbelakangan mental (mental retardation) atau mengalami hambatan mental
(mental handicap). Retardasi mental adalah gangguan yang ditandai dengan
fungsi intelektual yang berfungsi di bawah rata-rata (IQ kira-kira 70 atau lebih
rendah) yang bermula sebelum umur 18 tahun desertai defesit perilaku adaptif

Universitas Sumatera Utara

16

(fungsi adaptif adalah kemampuan individu secara efektif menghadapi kebutuhan
hidup untuk berdikari yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya (Sebastian,
2002).
Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam beberapa referensi
disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, febleminded, mental
subnormal, tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut sama, yakni menunjuk
kepada seseorang yang memiliki kecerdasaan mental dibawah normal. The
American Association on Mental Deficiency mengatakan bahwa seseorang
dikategorikan tunagrahita atau retardasi mental apabila kecerdasannya secara
umum dibawah rata-rata dan mengalami kesulitan penyesuaian sosial dalam setiap
fase perkembangannya (Efendi, 2006).
2.2.1. Penyebab Retardasi Mental
Terdapat banyak penyebab cacat mental, seperti penyakit yang diderita
semasa kehamilan, kerusakan dalam metabolisme, penyakit pada otak dan
perawatan yang tidak sesuai. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memaparkan bahwa 30% dari anak-anak yang cacat mental serius disebabkan oleh
ketidaknormalan genetik, seperti down syndrom, 25% disebabkan oleh cerebrum
palsy, 30% disebabkan oleh meningitis dan masalah pranatal sedangkan 15%
sisanya belum dapat ditemukan (Muhammad, 2008).
Grossman (1983) dalam Muhammad (2008), memaparkan 9 faktor yang
menjadi penyebab timbulnya cacat mental : penyakit yang disebabkan minuman
keras, trauma, metabolisme atau pola makan yang tidak baik dan penyakit dalam
otak, pengaruh saat masa kehamilan yang tidak diketahui, kromosom yang

Universitas Sumatera Utara

17

abnormal, gangguan semasa kehamilan, gangguan psikiatris dan pengaruh
Iingkungan.
Anak yang mengalami retardasi mental dapat disebabkan beberapa faktor
diantara faktor genetik atau juga kelainan dalam kromosom, faktor ibu selama
hamil dimana terjadi gangguan dalam gizi atau penyakit pada ibu seperti rubella,
atau adanya virus lain atau juga faktor setelah lahir dimana dapat terjadi
kerusakan otak apabila terjadi infeksi seperti terjadi meningitis, ensefalitis, dan
lain-lain (Hidayat, 2005).
Etiologi retardasi mental menggambarkan pengaruh kait-mengkait antara
faktor bakat (turunan) dan faktor lingkungan. Menurut Lumbantobing (2006)
penyebab atau yang dicurigai sebagai penyebab retardasi mental (RM) antara
faktor bakat (turunan) dan faktor lingkungan. Dalam mengkaji etiologi retardasi
mental perlu disimak 3 faktor berikut, yaitu:
1). Predisposisi genetik, termasuk kepekaan yang dipengaruhi oleh faktor genetik
terhadap agens atau faktor ekologis.
2). Faktor lingkungan yang dapat mengganggu organisme yang sedang tumbuh,
misalnya keadaan nutrisi, radiasi, dan juga keadaan lingkungan psikososial.
3). Waktu terjadinya pemaparan, saat terjadinya pemaparan dapat memengaruhi
beratnya kerusakan.

Universitas Sumatera Utara

18

2.2.2. Diagnosa Retardasi Mental
Retardasi mental ialah kelainan fungsi intelektual yang subnormal, terjadi
pada masa perkembangan dan berhubungan dengan satu atau lebih gangguan dari
(1). Maturasi, (2). Proses belajar, (3). Penyesuaian diri secara sosial. Kelainan ini
dapat merupakan suatu gejala yang berhubungan dengan banyak penyebab, akan
tetapi dapat pula dianggap sebagai suatu disease entity (Latief et al, 2007).
Diagnosis didasarkan atas:
a. Riwayat perkembangan terlambat (dapat disertai atau tanpa kelainan
jasmani, atau akibat kerusakan otak) yang dapat terjadi mulai saat anak
dilahirkan atau mula-mula berkembang normal lalu terhambat akibat
kelainan yang mengganggu otak.
b. Observasi klinis mengenai fungsi sekarang, termasuk prestasi dalam
pelajaran, keterampilan motorik dan kematangan emosional dan sosial.
c. Pemeriksaan psikologis.
WHO memakai pembagian atas dasar IQ, yaitu boderline (IQ 68-85), mild
( IQ 53-67), moderate (IQ 36-51), severe (IQ 20-35), profound (IQ kurang
dari 20). Sebenarnya IQ bukan satu-satunya patokan untuk diagnosis atau
penentuan beratnya kelainan. Pemeriksaan ini hanya berguna dalam
menolong klinis atau petunjuk terhadap kapasitas adaptif tingkah laku
penderita.
Retardasi mental dapat juga dilihat dari sudut (Latief et al, 2007):
a. Tanpa gangguan tingkah laku.

Universitas Sumatera Utara

19

b. Dengan gangguan tingkah laku sebagai akibat langsung kerusakan organik
dalam otak.
c. Dengan gangguan tingkah laku reaktif yang merupakan akibat tindakan
keluarga dan masyarakat yang menolak anak, sehingga gangguan tingkah
laku yang terjadi merupakan akibat defensif dari perasaan frustasi,
ketakutan dan kegelisahan didalam diri anak. Dalam banyak hal anak lebih
dilumpuhkan karena gangguan emosional daripada retardasi mentalnya.
d. Dengan psikosis.
2.2.3. Klasifikasi Retardasi Mental
Klasifikasi retardasi mental menurut PPDGJ-III (dalam Maslim, 2013) ada
4 tingkatan yaitu: ringan, sedang, berat dan sangat berat:
1). Retardasi mental ringan
Anak retardasi mental ringan ditentukan dengan menggunakan tes IQ baku yang
tepat, maka IQ berkisar antara 50 – 69. Pemahaman dan penggunaan bahasa
cenderung terlambat pada berbagai ringkat, dan masalah kemampuan berbicara
yang mempengaruhi pekembangan kemandirian dapat menetap sampai dewasa.
Walaupun mengalami keterlambatan dalam kemampuan bahasa tetapi sebagian
besar dapat mencapai kemampuan berbicara untuk keperluan sehari-hari.
Kebayakan juga dapt mandiri penuh dalam merawat diri sendri dan mencapai
keterampilan praktis dan keterampilan rumah tangga, walaupun tingkat
perkembangannya agak lambat daripada normal. Kesulitan utama biasanya
tampak dalam pekerjaan sekolah yang bersifat akademik, dan banyak masalah

Universitas Sumatera Utara

20

khusus dalam membaca dan menulis. Keadaan lain yang menyertai seperti
autisme, gangguan perkembangan lain, epilepsi, gangguan tingkah laku, atau
disabilitas fisik dapat ditemukan dalam berbagai proporsi. Bila terdapat gangguan
demikian, maka harus diberi kode diagnosis sendiri.
2). Retardasi mental sedang
Anak retardasi mental sedang memiliki IQ biasanya berada dalam rentang 35 –
49. Umumnya ada profil kesenjangan (discrepancy) dari kemampuan, beberapa
dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi dalam keterampilan visuo-spasial dari
pada tugas-tugas yang tergantung pada bahasa, sedangkan yang lainnya sangat
canggung namun dapat mengadakan interaksi sosial dan percakapan sederhana.
Tingkat perkembangan bahasa anak retardasi mental bervariasi mulai dari dapat
mengikuti

percakapan

sederhana sampai

ada juga

yang

hanya dapat

berkomunikasi seadanya untuk kebutuhan dasar mereka. Autisme masa kanak
atau gangguan perkembangan pervasif lainnya terdapat pada sebagian kecil kasus,
dan mempunyai pengaruh besar pada gambaran klinis dan tipe penatalaksanaan
yang dibutuhkan. Epilepsi, disabilitas neurologik dan fisik juga lazim ditemukan
meskipun kebanyakan penyandang retardasi mental sedang mampu berjalan tanpa
bantuan. Kadang-kadang terdapat gangguan jiwa lain, tetapi karena tingkat
perkembangan bahasanya yang terbatas sehingga sulit menegakkan diagnosis dan
harus tergantung dari informasi yang diperoleh dari orang lain yang mengenalnya.

Universitas Sumatera Utara

21

3). Retardasi mental berat
IQ anak retardasi mental berat biasanya berada dalam rentang 20 sampai 34. Pada
umumnya mirip dengan retardasi mental sedang dalam hal : 1. Gambaran klinis,
2. Terdapat etiologi organik dan Kondisi yang menyertainya 3.Tingkat prestasi
yang rendah. Kebanyakan penyandang retardasi mental berat menderita gangguan
motorik yang mencolok atau defisit lain yang menyertainya, menunjukkan adanya
kerusakan atau penyimpangan perkembangan yang bermakna secara klinis dari
susunan saraf pusat.
4). Retardasi mental sangat berat
IQ retardasi mental sangat berat biasanya dibawah 20. Pemahaman dan
penggunaan bahasa terbatas, paling banter mengerti perintah dasar dan
mengajukan permohonan sederhana. Keterampilan visuo-spasial yang paling
dasar

dan sederhana tentang memilih dan mencocokan mungkin yang tepat

penderita mungkin dapat sedikit ikut melakukan tugas praktis dan rumah tangga.
Biasanya ada disabilitas neurologik dan fisik lain yang berat yang mempengaruhi
mobilitas, seperti epilepsi dan hendaya daya lihat dan daya dengar. Sering pada
gangguan perkembangan pervasif dalam bentuk sangat berat khususnya autisme
yang tidak khas (atypical autism), terutama pada penderita yang dapat bergerak.
Lumbantobing (2006) mengatakan bahwa ada pakar yang mengklasifikasi
retardasi mental atas 2 kelompok, yaitu: 1) retardasi mental patologik, yang
gangguan mentalnya berat dan 2). retardasi mental subkultural, fisiologik atau
familial, yang gangguan mentalnya kurang berat .

Universitas Sumatera Utara

22

Seorang pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada
penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak. Dari penilaian tersebut
dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita mampu didik, anak retardasi
mental (tunagrahita) mampu latih dan anak tunagrahita mampu rawat.
1). Anak retardasi mental / tunagrahita mampu didik
Anak retardasi mental mampu didik adalah anak retardasi mental yang tidak
mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki
kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya
tidak maksimal. Kemampuan yang dikembangkan pada anak retardasi mental
mampu didik antara lain 1. Membaca, menulis, mengeja dan berhitung. 2.
Menyesuaikan diri dan tidak mengagantungkan diri pada orang lain 3.
Keterampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari.
Kesimpulannya, anak retardasi mental mampu didik berarti anak retardasi mental
yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan
pekerjaan
2). Anak retardasi mental / tunagrahita mampu latih
Anak retardasi mental mampu latih adalah anak retardasi mental yang memiliki
kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti
program yang diperuntukkan bagi anak retardasi mental mampu didik. Oleh
karena itu, beberapa kemampuan anak retardasi mental mampu latih yang perlu
diberdayakana, yaitu 1.belajar Mengurus diri sendiri , misalnya : makan, pakaian,
tidur, atau mandi sendiri, 2. Belajar menyesuaiakan di lingkungan rumah atau

Universitas Sumatera Utara

23

sekitarnya 3. Mempelajari kegunaan ekonomi di rumah, dibengkel kerja
(sheltered workshop), atau di lembaga khusus. Kesimpulannya, anak retardasi
mental mampu latih berarti anak retardasi mental yang hanya dapat dilatih untuk
mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari, serta melakukan
fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
3). Anak retardasi mental / tunagrahita mampu rawat (idiot)
Anak retardasi mental mampu rawat (idiot) adalah anak retardasi mental yang
memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri
sendiri atau sosialisasi. Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat
membutuhkan orang lain. Dengan kata lain, anak retardasi mental mampu rawat
adalah anak retardasi mental

yang membutuhkan perawatan sepenuhnya

sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain
(Patton, 1991 dalam Mohammad, 2006)
2.3. Konsep Perilaku Adaptif
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktifitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Atmodjo,
2003). Perilaku adaptif diartikan sebagai suatu kemampuan perserta didik untuk
dapat mengatasi secara efektif terhadap keadaan – keadaan yang tengah terjadi
dalam masyarakat lingkungannya. Perilaku adaptif secara khusus merupakan
kemampuan berperilaku merespon tuntutan lingkungan, melalui komposisi
beberapa aspek perilaku dan fungsinya dengan melibatkan salah satu kemampuan
penyesuaian dirinya terhadap lingkungan. Beberapa kombinasi yang terlibat

Universitas Sumatera Utara

24

dalam keseluruhan proses penyesuaian meliputi aspek-aspek : intelektual, fisik,
gerak, motivasi diri, sosial dan sensori (Smith, et al., 2002 ; Patton, et al., 1986 ;
Kelly & Vergason, 1978 dalam Delphie, 2002). Sedangkan perilaku maladaptif
adalah setiap perilaku yang mempunyai dampak merugikan bagi individu dan /
masyarakat.
Heber ( 1961) mendefenisikan perilaku adaptif merupakan keefektifan
individu untuk menyesuaikan kepada tuntutan sosial terhadap lingkungannya yang
dapat dicerminkan dalam kematangan (maturasi), belajar, penyesuaiaan sosial
(Smith, Patton dan Ittenbach, 1994).
Perilaku adaptif (menyesuaikan diri) didefenisikan sebagai “keefektifan
atau tingkat dimana setiap individu memenuhi standard kebebasan pribadi dan
tanggung jawab sosial yang disesuaikan dengan usia dan kelompok kultur/
budaya” (Grossman, 1983 dalam Smith, Patton dan Ittenbach, 1994).
Luksason (1992) menyederhanakan defenisi perilaku adaptif

ke yang

lebih fungsional. Bergerak dari konsep, perilaku adaptif merupakan suatu
kesatuan umum yang dispesifikasikan menjadi 10 aspek keterampilan adaptif
yang sangat spesifik “ komunikasi, perawatan diri, tempat tinggal, keterampilan
sosial, pemanfaatan komunitas, pengarahan diri, kesehatan dan keselamatan,
kecakapan akademik fungsional, keluangan waktu, dan pekerjaan ( AAMR, 1992
dalam Smith, Patton dan Ittenbach, 1994). Greenspan dan Greenfield telah
menggambarkan perilaku adaptif sebagai suatu gabungan utama dari intelegensia
praktis dan sosial (Smith, Patton & Ittenbach, 1994)

Universitas Sumatera Utara

25

Berdasarkan hasil penelitian dari Greenspan’s (1997 dalam delphie, 2002)
berkaitan dengan keterampilan praktis, keterampilan konseptual dan keterampilan
sosial, maka pengertian perilaku adaptif mengalami perubahan pandangan semula
perilaku adaptif hanya bersifat komponen pelengkap yang dianggap kalah
pentingnya dengan kemampuan intelektual sekarang perilaku adaptif justru sama
pentingnya dengan kemampuan intelektual dalam menentukan apakah seorang
individu termasuk sebagai tunagrahita atau bukan. Bidang perilaku adaptif yang
menjadi perhatian untuk di observasi meliputi:
1). Menolong diri sebagai bentuk penampilan pribadi : makan, minum, menyuap,
berpakaian, pergi ke WC, berpatut diri, dan memelihara kesehatan diri.
2). Perkembangan fisik, meliputi keterampilan gerak ( gross dan fine motor).
3). Komunikasi, meliputi bahasa reseptif dan bahasa ekspresif
4).

Keterampilan

sosial,

meliputi

keterampilan

bermain,

keterampilan

berinteraksi, berpartisipasi dalam kelompok, bersikap ramah-tamah dalam
pergaulan, perilaku seksual, tanggung jawab terhadap diri sendiri, kegiatan
memanfaatkan waktu luang, dan ekspresi emosi.
5). Fungsi kognitif, meliputi pengetahuan akademik dasar ( seperti pengetahuan
tentang warna), membaca, menulis, fungsi-fungsi : pengenalan terhadap angka,
waktu, uang dan pengukuran.

Universitas Sumatera Utara

26

6). Memelihara kesehatan dan keselamatan diri, meliputi mengatasi luka,
berkaitan dengan masalah kesehatan, pencegahan kesehatan, keselamatan diri,
memelihara diri secara praktis
7). Keterampilan berbelanja, meliputi penggunaan uang, berbelanja, kegiatan di
bank dan cara mengatur pembelanjaan
8). Keterampilan domistik, meliputi membersihkan rumah, memelihara dan
memperbaiki barang-barang yang ada dirumah, cara membersihkan atau mencuci,
keterampilan dapur, dan menjaga keselamatan rumah tangga.
9).

Orientasi

lingkungan,

meliputi

keterampilan

melakukan

perjalanan,

memanfaatkan sumber-sumber lingkungan, penggunaan telepon, menjaga
keselamatan lingkungan.
10). Keterampilan vokasional, meliputi kebiasaaan berkerja serta perilakunya,
keterampilan mencari pekerjaan, penampilan diri sebagai karyawan/pekerja,
pekerja sosial dalam pekerjaan, dan menjaga keselamatan kerja (Smith et al , 2002
dalam delphie 2002).
Berdasarkan defenisi tersebut diatas, maka karakteritik anak dengan
hendaya perkembangan atau anak retardasi mental meliputi :
a). Mempunyai dasar secara fisiologis, sosial dan emosional sama seperti anakanak yang tidak menyadang retardasi mental
b). Selalu bersifat eksternal locus of control sehingga mudah sekali melakukan
kesalahan (expectancy for filure)

Universitas Sumatera Utara

27

c). Suka meniru perilaku yang benar dari orang lain dalam upaya mengatasi
kesalahan-kesalahan yang mungkin ia lakukan (outerdirectedness)
d). Mempunyai perilaku yang tidak dapat mengatur diri sendiri
e). Mempunyai permasalahan berkaitan dengan perilaku sosial (sosialbehaviorl)
f). Mempunyai masalah berkaitan berkaitan dengan karakteristik belajar
g). Mempunyai masalah dalam bahasa dan pengucapan
h). Mempunyai masalah dalam kesehatan fisik
i). Kurang mampu untuk berkomunikasi
j). Mempunyai kelainan pada sensori dan gerak
k). Mempunyai masalah berkaitan dengan psikiatrik, adanya gejala-gejala depresif
menurut hasil penelitian dari Meins tahun 1995 (Smith, et al, 2002 dalam Delphie
2002).
Berbeda dari AAMD yang menjelaskan perilaku adaptif dan karakteristik
anak retardasi mental diatas AAMR (Luckasson, 1992 dalam Delphie, 2002)
menyebutkan : Spesifikasi perilaku non adaptif ditentukan dengan melihat adanya
dua atau lebih “kelainan” yang dilakukannya terhadap 10 bidang keterampilan
adaptif, yakni : komunikasi, bina diri, melakukan kegiatan sehari-hari dirumah,
keterampilan sosial, kemampuan menggunakan peralatan yang ada dirumah,
mengatur diri – sendiri, menjaga kesehatan dan keselamatan diri, kemampuan
akademik, pekerjaan dan cara menggunakan waktu luang.

Universitas Sumatera Utara

28

Grossman (AAMD, 1983 dalam Delphie, 2002) mengemukakan bahwa
hambatan dalam perilaku adaptif didefenisikan sebagai keterbatasan –
keterbatasan yang secara signifikan dalam ketidakefektipan individu untuk
menemukan standar kematangan, belajar, pribadi yang mandiri, dan atau
tanggungjawab yang diharapkan pada tingkat seusianya, serta kelompok budaya
tertentu yang ditentukan oleh asesmen klinis dan umumnya menggunakan skala
penilaian yang terstandar. Ini berarti bahwa ketidakmampuan dalam penyesuaian
(maladaptif) mengimplikasikan seseorang yang tidak memiliki kemampuan untuk
memenuhi tuntutan perilaku yang dikehendaki masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

29

Tabel 2.1 Pembagian dan Spesifikasi Area Perilaku Adaptif
Perawatan diri


Makan dan minum



Berpakaian



Toilet



Hygiene

Perkembangan fisik


Kemampuan motorik kasar



Kemampuan motorik halus

Komunikasi


Kemampuan berbicara



Kemampuan memahami

Kemampuan sosial

Kesehatan dan keselamatan


Pengobatan pada luka dan masalah
kesehatan



Pencegahan

terhadap

kesehatan


Keamanan diri



Perawatan praktis

Kemampuan Rumah Tangga


Membersihkan rumah



Memelihara dan mempertahankan
perabot



Merawat pakaian



Kemampuan berinteraksi



Kemampuan di dapur



Partisipasi kelompok



Keamanan rumah



Aktivitas rekreasi



Kemampuan bermain

Fungsi kognitif


Waktu



Uang



Pengukuran

masalah

Orientasi komunitas


Memanfaatkan sumber masyarakat



Keamanan masyarakat



Kemampuan berjalan

Kemampuan kerja


Kebiasaan kerja



Kemampuan mencari kerja



Keamanan kerja

Sumber : Bruinkins, R, H, Thurlow & Gilman (1987). Adaptive Behavior And
Mental Retardation dalam Smith, Patton & Ittenbach, 1994.

Universitas Sumatera Utara

30

Universitas Sumatera Utara