Gambaran Risiko Trombosit Berdasarkan Caprini Skor Pada Pasien Kanker Di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik

4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Dasar Hemostasis
Hemostasis berasal dari kata haima yang berarti darah dan stasis yang

berarti berhenti, merupakan proses kompleks yang berlangsung secara terus
menerus dalam mencegah kehilangan darah secara spontan, serta menghentikan
perdarahan akibat kerusakan sistem pembuluh darah. Setiap kerusakan endotel
pembuluh darah merupakan rangsangan yang poten untuk pembentukan bekuan
darah. Proses yang terjadi secara lokal berfungsi untuk menutup kebocoran
pembuluh darah, membatasi kehilangan darah yang berlebihan dan memberi
kesempatan untuk perbaikan pembuluh darah. Terdapat beberapa mekanisme
kontrol dari proses hemostasis antara lain sifat antikoagulan dari sel endotel
normal,adanya inhibitor faktor koagulan aktif dalam sirkulasi dan produksi enzim
fibrinolitik untuk melarutkan bekuan(Riddle,2007)
Permeabilitas, fragilitas dan vasokonstriksi merupakan sifat yang dimiliki

oleh pembuluh darah. Peningkatan permeabilitas mengakibatkan keluarnya darah
dari pembuluh darah berupa peteki, purpura dan ekimosis yang besar. Peningkatan
fragilitas pembuluh darah memungkinkan terjadinya ruptur yang menimbulkan
petekie, purpura(terutama pada kulit dan mukosa), ekimosis yang besar serta
perdarahan hebat pada jaringan yang lebih dalam. Vasokonstriksi dapat
mengakibatkan obstruksi yang bersifat parsial maupun total, iskemia dan akhirnya
berbentuk trombus. Vasokonstriksi ini bersifat dibawah kontrol lokal (suhu, pH,
pCO2), neural (saraf simpatis) dan humoral. Factor humoral yang mengendalikan
vasokonstriksi terutama substansi yang dilepas oleh trombosit seperti epinefrin,
norepinefrin, ADP(adenosine difosfat), kinin dan tromboksan. Produksi degradasi
fibrin yang dilepas sewaktu system fibrinolysis bekerja pada fibrin dapat
memodulasi vasokonstriksi.(suharti,2009)
Pembuluh darah yang normal dilapisi oleh sel endotel. Sel endotel yang
utuh bersifat antikoagulan dengan menghasilkan inhibitor trombosit, inhibitor

5

bekuan darah. Sel endotel ini dapat terkelupas oleh berbagai rangsangan seperti
asidosis, hipoksia, endotoksin, oksidan, sitokin dan shear stress. Endotel
pembuluh darah yang tidak utuh akan bersifat prokoagulan dengan menyebabkan

vasokonstriksi lokal, menghasilkan factor koagulasi (tromboplastin, factor von
illebrand, activator dan inhibitor protein C, inhibitor activator plasminogen tipe
1), terbukanya jaringan ikat subendotel (serat kolagen, serat elastin dan membrane
basalis) yang menyebabkan aktivasi dan adhesi trombosit serta mengaktifkan
factor XI dan XII(furie,2008).
Bila sel endotel terkelupas, kolagen maupun membrane basalis subendotel
menarik trombosit untuk membentuk sumbat hemostatik primer, sehingga
menghentikan keluarnya darah dari pembuluh darah. Peristiwa lain akibat
terkelupasnya endotel dapat menyebabkan terbentuknya sumbat hemostatik
primer terjadi pada tempat yang sama dan dalam periode waktu yang lama, otot
polos atau sel lain akan berdiferensiasi dan berimigrasi ke intima. Setelah sumbat
hemostatik primer terbentuk, proses selanjutnya adalah peristiwa reparasi otot
polos atau sel lain dari media mengalami diferensiasi, selanjutnya bermigrasi dan
akhirnya membentuk sel endotel baru yang bersifat nontrombogenik. Bila
pembentukan sumbat trombosit primer terjadi secara berlebihan, akan terbentuk
suatu thrombus besar yang dapat menghentikan aliran darah, yang akhirnya dapat
menyebabkan kerusakan organ akibat iskemia. Suatu senyawa akan dilepas
selanjutnya akan menarik makrofag yang memakan kolesterol maupun materi
yang lain, sehingga terbentuklah plak aterosklerotik(Suharti,2009).
Trombosit dalam proses hemostasis berperan sebagai penambal kebocoran

dalam system sirkulasi dengan membentuk sumbat trombosit pada daerah yang
mengalami kerusakan. Trombosit bukanlah sel lengkap tetapi fragmen kecil sel
yang dilepaskan dari tepi luar sel sumsum tulang yang sangat besar yang dikenal
sebagai megakariosit. Satu megakariosit biasanya memproduksi sekitar 1000
trombosit. Megakariosit berasal dari sel punca tak berdiferensiasi yang sama
dengan yang menghasilkan turunan eritrosit dan leukosit. Trombosit pada
hakikatnya adalah vesikel yang terlepas yang mengandung sebagian sitoplasma
megakariosit terbungkus dalam membrane plasma(sherwood,2009).

6

Struktur trombosit terdiri atas zona perifer, zona solgel dan zona organela.
Zona perifer terdiri atas glikokalik, suatu membran ekstra yang terletak di bagian
paling luar, didalam nya terdapat membran plasma dan lebih dalam lagi terdapat
sistem kanal terbuka.
Zona solgel terdiri atas mikrotubulus, mikrofilamen, sistem tubulus padat
(berisi nukleotida adenine dan kalsium). Selain itu juga terdapat trombositenin
suatu protein penting untuk fungsi kontraktil.
Zona organela terdiri atas granula padat, mitokondria, granula dan
organela(lisosom dan reticulum endoplasmik). Granula padat berisi dan

melepaskan nukleotida adenine, serotonin, katekolamin dan factor trombosit.
Sedangkan granula berisi dan melepaskan fibrinogen, PDGF(platelet derived
growth factor), enzim lisosom. Terdapat tujuh faktor trombosit yang telah
diidentifikasi dan diketahui ciri-cirinya. Dua diantaranya dianggap penting yakni
faktor trombosit 3(membrane fosfolipoprotein trombosit) dan faktor trombosit
4(Suharti,2007).
Agar dapat membentuk sumbat trombosit maka trombosit harus
mengalami beberapa tahap reaksi yaitu aktivasi trombosit, adhesi trombosit pada
daerah yang mengalami kerusakan, aggregasi trombosit dan reaksi granulasi.
Trombosit akan teraktivasi jika terpapar dengan berbagai protein koagulan yang
dihasilkan oleh sel endotel yang rusak. Adhesi trombosit pada jaringan ikat
subendotel terjadi melalui interaksi antara reseptor glikoprotein membrane
trombosit dengan protein subendotel terutama faktor von willebrand sedangkan
aggregasi trombosit terjadi melalui interaksi antar reseptor trombosit dengan
fibrinogen sebagai mediator. Degranulasi trombosit akan melepaskan berbagai
senyawa

yang terdapat

dalam


granul

sitoplasma

trombosit) serotonin,

katekolamin, histamine, ADP, ATP, siklik AMP, ion kalsium dan kalium, faktor
trombosit 3 dan 4, B-tromboglobulin, PDGF, plasminogen, fibrinogen, protein
plasma, tromboksan A2). Senyawa-senyawa ini akan menstimulasi aktivasi dan
aggregasi trombosit lebih lanjut hingga menghasilkan sumbat trombosit yang
stabil, mengaktifkan membrane fosfolipid dan memfasilitasi pembentukan
komplek protein koagulasi yang terjadi secara berurutan(Oesman,2007).

7

Gambar 2.1 Proses Koagulasi
Seperti pada gambar proses pembekuan darah terdiri dari serangkaian
reaksi enzimatik yang melibatkan protein plasma yang disebut sebagai faktor
pembekuan darah, fosfolipid dan ion kalsium. Faktor pembekuan beredar dalam

darah sebagai prekursor yang akan diubah menjadi enzim bila diaktifkan. Enzim
ini akan mengubah prekursor selanjutnya menjadi enzim. Jadi mula-mula faktor
pembekuan darah bertindak sebagai substrat dan kemudian sebagai enzim. Proses
pembekuan darah dimulai melalui dua jalur yaitu jalur intrinsik yang dicetuskan
oleh adanya kontak faktor pembekuan dengan permukaan asing yang bermuatan
negative dan melibatkan faktor XII, faktor XI, faktor IX, faktor VIII, high
molecular eight kininogen (HMK), pre kalikrein (PK) dan ion kalsium serta jalur

ekstrinsik yang dicetuskan oleh tromboplastin jaringan dan melibatkan faktor VII,
ion kalsium. Rangkaian reaksi koagulasi ini akan membentuk thrombin dan
mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin yang tidak larut. Fibrin
sebagai hasil akhir dari proses pembekuan darah akan menstabilkan sumbatan
trombosit(Riddle,2007).

8

Pembekuan darah merupakan proses autokatalitik dimana sejumlah kecil
enzim yang terbentuk pada tiap reaksi akan menimbulkan enzim dalam jumlah
besar pada reaksi selanjutnya. Oleh karena itu perlu ada mekanisme kontrol untuk
mencegah aktivasi dan pemakaian faktor pembekuan darah secara berlebihan

yaitu melalui aliran darah, mekanisme pembersihan seluler dan inhibitor alamiah.
Aliran darah akan menghilangkan dan mengencerkan faktor pembekuan darah
yang aktif dari tempat luka yang selanjutnya faktor pembekuan darah yang aktif
ini akan dibersihkan dari sirkulasi darah oleh hati. Dalam keadaan normal plasma
darah mengandung sejumlah protein yang dapat menghambat enzim proteolitik
yang disebut sebagai inhibitor seperti antitrombin alfa 2 makroglobulin, alfa 1
antitripsin, C1 esterasi inhibitor, protein C, protein S. inhibitor ini berfungsi untuk
membatasi reaksi koagulasi agar tidak berlangsung secara berlebihan sehingga
pembentukan fibrin hanya terbatas disekitar daerah yang mengalami cedera.
Antitrombin akan menghambat aktivitas faktor XIIa, faktor XIa, faktor Xa, faktor
IXa, faktor VIIa, plasmin dan kalikrein. Protein C yang diaktifkan oleh thrombin
dengan kofaktor trombomodulin akan memecah F.Va dan faktor VIIIa menjadi
bentuk yang tidak aktif dengan adanya kofaktor protein S. Alfa 1 antitripsin akan
berperan dalam menginaktifkan thrombin, faktor XIa, kalikrein dan HMK. C1
inhibitor akan menghambat komponen pertama dari sistem komplemen, faktor
XIIa, faktor Xia dan kalikrein (Oesman, 2007).
Untuk membatasi dan selanjutnya mengeliminasi bekuan darah maka
sistem fibrinolisis mulai bekerja sesaat setelah terbentuknya bekuan fibrin.
Deposisi fibrin akan merangsang aktivasi plasminogen menjadi plasmin oleh
aktivator plasminogen seperti tissue plasminogen activator(t-PA), urokinase

plasminogen activator(u-PA), faktor XIIa dan kalikrein. Plasmin yang terbentuk
akan

memecah

fibrinogen

dan

fibrin

menjadi

fibrinogen

degradation

product(FDP). Dengan proses ini fibrin yang tidak diperlukan dilarutkan sehingga
hambatan terhadap aliran darah dapat dicegah. Untuk menghindari terjadinya
aktivitas fibrinolysis yang berlebihan, tubuh mempunyai mekanisme control

berupa inhibitor activator plasminogen(PAI-1) yang akan menginaktivasi t-PA

9

maupun u-PA dan alfa 2 antiplasmin yang akan menetralkan aktivitas plasmin
yang masuk sirkulasi (Tambunan,2006).
Proses hemostasis yang berlangsung untuk memperbaiki kerusakan pada
pembuluh darah dapat dibagi atas beberapa tahapan, yaitu hemostasis primer yang
dimulai dengan aktivasi trombosit hingga terbentuknya sumbat trombosit
(Spronk,2004). Hemostasis sekunder dimulai dengan aktivasi koagulasi hingga
terbentuknya bekuan fibrin yang menggantikan sumbat trombosit. Hemostasis
tertier dimulai dengan diaktifkannya sistem fibrinolysis hingga pembentukan
kembali tempat yang luka setelah perdarahan berhenti (Sukrisman,2006).

2.2.

Patogenesis Trombosis
Trombosis adalah pembentukan suatu massa abnormal di dalam sistem

peredaran darah yang berasal dari komponen-komponen darah. Trombosis terjadi

karena adanya ketidakseimbangan antara faktor trombogenik dengan mekanisme
proteksi sebagai akibat dari meningkatnya stimulus trombogenik atau penurunan
mekanisme proteksi. Ada 3 hal yang menjadi penyebab timbulnya thrrombosis
seperti yang dijelaskan oleh Triad Virchow yaitu
1. Kelainan endotel pembuluh darah.
2. Perubahan aliran darah yang melambat atau stasis.
3. Perubahan daya beku atau hiperkoagulasi(Makin,2002)

10

Gambar 2.2 Virchow’s Triad
Seperti yang tertera pada gambar diatas kejadian trombosis dapat terjadi
oleh tiga faktor secara umum. Sel endotel pembuluh darah yang utuh akan
melepaskan berbagai senyawa yang bersifat antitrombotik untuk mencegah
trombosit menempel pada permukaannya. Sifat nontrombogenik ini akan hlang
bila endotel mengalami kerusakan atau terkelupas karena berkurangnya produksi
senyaa antitrombotik dan meningkatnya produksi senyawa protrombotik.
Berbagai senyawa protrombotik yang dilepaskan ini akan mengaktifkan sistem
pembekuan darah dan menyebabkan menurunnya aktifitas fibrinolysis sehingga
meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya trombosis. Bila kerusakan endotel

terjadi sekali dan dalam waktu singkat, maka lapisan endotel normal akan
terbentuk kembali, proliferasi sel otot polos berkurang dan intima menjadi tipis
kembali. Bila kerusakan endotel terjadi berulang ulang dan berlangsung lama,
maka proliferasi sel otot polos dan penumpukan jaringan ikat serta lipid
berlangsung terus sehingga dinding arteri akan menebal dan terbentuk bercak
aterosklerosis. Bila bercak aterosklerosis ini robek maka jaringan yang bersifat

11

trombogenik

akan

terpapar

dan

terjadinya

pembentukan

thrombus

(Setiabudi,2007).
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara proses aktivasi dan
inhibisi sistem pembekuan darah. Kecenderungan thrombosis timbul bila aktivasi
sistem pembekuan meningkat dan atau aktivitas inhibisi sistem pembekuan
menurun. Menurut beberapa peneliti, darah penderita thrombosis lebih cepat
membeku dibandingkan orang normal dan penderita-penderita tersebut dijumpai
peningkatan kadar berbagai faktor pembekuan terutama fibrinogen, faktor V,
faktor VII, faktor VIII, dan faktor X. menurut Schafer penyebab lain yang dapat
menimbulkan kecenderungan thrombosis yaitu defisiensi AT, defisiensi protein C,
defisiensi protein S, disfibrinogenemia, defisiensi faktor XII dan kelainan
plasminogen(Grant,2004).

2.3.

Faktor Resiko Trombosis
Berdasarkan data-data yang ditemukan faktor resiko thrombosis antara lain

operasi besar, operasi ortopedi, trauma, kehamilan dan nifas, penyakit jantung,
penyakit saraf, kanker dan kemoterapi pada penyakit kanker, umur, obesitas, jenis
kelamin, varicose vena, riwayat tromboemboli vena, immobilisasi yang lama,
golongan darah, terapi hormon dan lain-lain.
Operasi disertai dengan faktor resiko yang multipel untuk tromboemboli
vena, prevalens meningkat dengan meningkatnya umur. Pemakaian profilaksis
untuk resiko VTE menurunkan angka kejadian VTE pada pasien yang mengalami
operasi. Pada operasi ortopedi rata-rata thrombosis vena dalam terjadi pada 50%
pasien(Tambunan,2007).
Kehamilan juga dilaporkan menyebabkan meningkatnya risiko thrombosis
karena meningkatkan faktor-faktor koagulasi faktor II, faktor VII dan faktor X,
karena menurunnya kadar protein s dan terhambatnya sistim fibrinolysis ditambah
dengan seringnya kejadian edema pada ekstremitas bawah(Tambunan,2007).
Infark miokard dilaporkan meningkatkan kejadian DVT 20-40% selama
10-14hari sesudah infark miokard. Penyakit gagal jantung kongestif pada otopsi
ditemukan insiden emboli paru meningkat. Pada 150 pasien dengan gagal jantung

12

kongestif 10 dari 20 pasien yang meninggal diotopsi 5 diantaranya ditemukan
emboli paru. Gagal jantung kongestif ditemukan menjadi faktor resiko independen
untuk VTE(Tambunan,2007)
Penyakit neurologi seperti strok secara keseluruhan ditemukan 53% pasien
mengalami thrombosis vena dalam. Pada 2 studi strok internasional, dari 4859
pasien ditemukan 0,9% dengan gejala emboli paru dalam 14 hari dari mulai
terjadinya stroke iskemik dan hampir seluruhnya fatal. Pada studi stroke akut di
china dari 10320 pasien 0,2% didiagnosis dengan gejala emboli paru dalam aktu
empat

minggu

sesudah

kejadian

stroke

iskemik

dan

separuhnya

fatal(Tambunan,2007).
Keganasan merupakan faktor risiko untuk tromboemboli vena yang
menjalani operasi. Tetapi ternyata pada pasien yang tidak menjalani operasi
ditemukan tromboemboli vena dan ada hubungan dengan keganasan tadi. Pasien
dengan keganasan mempunyai resiko 2 kali terjadinya tromboemboli vena. Hal ini
karena sel kanker dapat mengeluarkan prokoagulan yang mengaktifkan koagulasi.
Kanker sendiri dapat menyebabkan penekanan pembuluh darah vena. Bahkan
pasien kanker yang mendapat kemoterapi akan meningkatkan terjadinya
tromboemboli vena(Blom,2005).
Umur lanjut disertai dengan peningkatan insiden dari tromboemboli vena.
Berdasarkan hasil autopsy di satu rumah sakit ditemukan insidens emboli paru
rendah lebih pada pasien lebih muda dari 40 tahun, tetapi kemudian insidens
meningkat secara tajam dengan kenaikan umur.
Survey lain berupa otopsi yang dilakukan pada orang yang meninggal
karena luka bakar dan luka, ditemukan trombosis vena pada 47% pasien yang
lebih muda dari 45 tahun, 62% pada pasien umur 46-75 tahun dan 74% pada umur
diatas lebih 75 tahun. Penelitian yang dilakukan pada pasien pascaoperasi,
dilakukan scanning kaki untuk yang bertujuan untuk mendiagnosis tromboemboli
vena yang tidak menunjukkan gejala, menunjukkan meningkatnya umur menjadi
faktor resiko (Tambunan,2007).
Obesitas dilaporkan juga merupakan faktor resiko terjadinya thrombosis.
Obesitas dengan indeks masa tubuh >20,9 kg/mm² ditemukan menjadi faktor

13

resiko independen untuk menjadi emboli paru yang bergejala dalam suatu
kesehatan (Darvall, 2005).
Tiga studi melaporkan bahwa jenis kelamin perempuan dapat menjadi
faktor resiko independen yang lemah. Di Amerika insidens tromboemboli vena
bergejala umumnya diturunkan lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan. Di Swedia, insidens thrombosis vena dlam pada laki-laki dan
perempuan hampir sama. Namun demikian di Inggris, kematian akibat emboli
paru 50% lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Dan
insidens tromboemboli vena yang bergejala umumnya ditemukan lebih tinggi
laki-laki daripada perempuan di Amerika Utara(Tambunan, 2007).
Riwayat pernah tromboemboli vena menunjukkan hubungan yang sangat
kuat dengan meningkatnya thrombosis vena dalam pascaoperasi. Dari 3 studi dan
analisis multivariate ditemukan riwayat positif tromboemboli vena merupakan
faktor resiko independen (Tambunan, 2007).
Studi percobaan menunjukkan stasis vena merupakan faktor penting dalam
pembentukan thrombus vena. Gibbs melaporkan dari hasil autopsy 253 pasien
ditemukan adanya hubungan antara lamanya berbaring kurang dari satu minggu,
ditemukan hanya 15%, sedangkan pada pasien yang berbaring lebih dari satu
minggu kejadian lebih dari 80%. Sindro kelas ekonomi pada mereka yang naik
pesawat terbang lebih dari 6 jam juga disebut sebagai faktor resiko thrombosis
vena (Tambunan, 2007).
Estrogen yang ada dalam kontrasepsi oral potensial menyebabkan
thrombosis karena menyebabkan menurun nya kadar protein S meningkatkan
faktor VII dan meningkatkan protein C resisten. Meningkatnya faktor resiko
tromboemboli vena dengan kontrasepsi oral ini berhubungan dengan pasien yang
mempunyai faktor risiko tambahan misalnya faktor V leiden (Tambunan, 2007).

2.4.

Diagnosis Trombosis Vena Dalam
Thrombosis vena dalam didiagnosis melalui anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Keluhan utama pasien dengan tromboemboli vena
adalah kaki yang bengkak dan nyeri. Riwayat penyakit sebelumnya merupakan

14

hal penting karena dapat diketahui faktor resiko dan riwayat thrombosis
sebelumnya. Adanya riwayat thrombosis dalam keluarga sebelumnya juga
penting.
Pada pemeriksaan fisis, tanda tanda klinis yang klasik tidak selalu
ditemukan. Gambaran klasik Tromboemboli vena adalah edema tungkai
unilateral, eritema, hangat, nyeri, dapat diraba pembuluh darah.
Pada pemeriksaan laboratorium hemostasis didapatkan D-dimer dan
penurunan

antitrombin. Peningkatan D-dimer merupakan indicator adanya

thrombosis yang aktif. Pemeriksaan ini sensitive tapi tidak spesifik dan
sebenarnya lebih berperan untuk menyingkirkan adanya thrombosis jika hasilnya
negative. Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas 93%, spesifisitas 77% dan nilai
prediksi negative 98% pada tromboemboli vena proksimal, sedangkan pada
tromboemboli vena di daerah betis sensitivitasnya 70%.
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk
mendiagnosis tombosis. Pada tromboemboli vena pemeriksaan yang dapat
dilakukan adalah venografi, ultrasonografi Doppler, USG kompresi, venous
impedance Plethysmography dan magnetic resonance imaging. Ketepatan

pemeriksaan ultrasonography doppler pada pasien dengan tromboemboli vena
proksimal yang simtomatik adalah 94% dibandingkan dengan venography,
sedangkan pada pasien dengan tromboemboli vena pada betis dan asimtomatik
ketepatannya rendah. Ultrasonography kompresi mempunyai sensitivitas 89% dan
spesifisitas 97% pada tromboemboli proksimal dan simtomatis, sedangkan pada
daerah betis hasil negative palsu dapat mencapai 50%. Venografi merupakan
diagnosis standard pada tromboemboli vena, baik pada betis, paha, maupun sistem
ileofemoral. Kerugiannya adalah pemasangan kateter vena beresiko alergi
terhadap bahan radiokontras atau yodium (Lugyanti, 2007).
Pada emboli paru pasien biasanya mengeluhkan nyeri dada mendadak,
sesak nafas, hemopsitis, banyak berkeringat dan gelisah. Keluhan ini dapat
menyerupai nyeri dada pada sindrom coroner akut, sehingga diperlukan
anamnesis dan evaluasi yang lebih cermat. Gejala klasik emboli paru berupa

15

sesak, takipnea, takikardia dan banyak berkeringat. Tanda ini sering tidak spesifik,
sehingga harus dipikirkan diagnosis banding atau kemungkinan lain.
Pemeriksaan foto dada toraks tidak spesifik tetapi dapat mendiagnosis
emboli paru, meskipun dapat dijumpai gambaran normal sehingga 40% kasus.
Elektrokardiogram dapat menunjukkan gamabran normal atau sinus takikardi.
Gamabran klasik seperti S-T, gelombang T yang berbalik di sadapan precordial
kanan, deviasi aksis ke kanan dan right bundle branch blocklengkap atau tidak
lengkap dapat dijumpai tapi tidak memastikan diagnosis. Pemeriksaan analisa gas
darah dapat menunjukkan penurunan tekan pO2 dan pCO2 yang disertai alkalosis,
meskipun nilai gas darah yang normal tidak menyingkirkan emboli paru.
Pemeriksaan Ventilation-Perfusion Lung Scanning merupakan prosedur
baku untuk mendiagnosis emboli paru. Interpretasi hasil pemeriksaan ini
berdasarkan daerah V/Q yang mismatch yaitu tidak terdapatnya gambaran perfusi
seangkan gambaran ventilasi Nampak normal atau tersebar merata. Hasil yang
diperoleh dibagi menjadi sangat mungkin, kemungkinan sedang, rendah, sangat
rendah atau normal. Angiografi pulmonal juga merupakan standard untuk
mendiagnosis emboli paru. Mengingat prosedur ini invasive dengan resiko
morbiditas 0,2% dan mortalitas 1,9% karena reaksi alergi terhadap bahan kontras,
perforasi jantung dan aritmia, prosedur ini digunakan jika hasil V/Q scanning
menunjukkan kemungkinan sedang atau rendah dan ultrasonografi ekstremistas
normal sedangkan klinis tinggi (Lugyanti,2007).

2.5.

Trombosis pada Kanker
Pasien kanker cenderung mengalami peningkatan risiko kejadian

trombosis. Peningkatan faktor koagulan dan jumlah platelet dijumpai pada pasien
kanker (Arkel, 2003).

16

Gambar 2.3 Perbandingan kejadian tromboemboli pada pasien
kanker dan pasien tidak kanker (Stein, 2006).
Seperti yang tertera pada gambar angka kejadian thrombosis meningkat
pada pasien kanker dibandingkan dengan pasien yang tidak mengalami kanker.
Epidemiologi pasien thrombosis pada pasien kanker ditemukan meningkat
dibandingkan pada populasi normal. Berbagai penelitian menemukan beragam
tingkat peningkatan risiko thrombosis pada pasien kanker. Seperti pada penelitian
yang dilakukan oleh Anna (2011) yang menyebutkan pasien kanker berisiko
mengalami trombosis 4 kali lebih tinggi. Begitu pula dengan penelitian yang
dilakukan Noble (2010) yang menemukan secara keseluruhan pasien kanker
mengalami peningkatan risiko thrombosis sebanyak 7 kali lebih tinggi dan risiko
berbeda serta bisa meningkat bergantung karakteristik pasien dan lokasi kanker
dan metastasisnya.
Risiko trombosis pada pasien kanker berbeda pada tiap lokasi kanker, dan
stadiumnya seperti yang tertera pada tabel.

17

Table 2.1 lokasi kanker dan jumlah kejadian thrombosis
Site
Head/neck
Bladder
Breast
Oesophagus
Uterus
Cervix
Prostate
Lung
Leukaemia
Stomach
Lymphoma
Pancreas
Brain
Ovary

Rate of DVT/PE per 10 000 patients
16
22
22
43
44
49
55
61
81
85
96
110
117
120

Faktor risiko seperti immobilitas, obesitas, cedera pada pinggul, operasi
dan adanya spinal injuri juga berperan dalam risiko kejadian thrombosis.
Immobilitas yang akan menyebabkan stasis atau berkurangnya aliran darah akan
meningkatkan kemungkinan aktifasi platelet dan menimbulkan thrombosis. Begitu
pula dengan faktor risiko kemoterapi meningkatkan resiko tromboemboli melalui
tiga mekanisme, yaitu pertama kerusakan akut dinding pembuluh darah, kedua
nonakut pada endotel dan ketiga menurunkan kadar antikoagulan alamiah.
Beberapa laporan menyebutkan kemoterapi neoadjuvan dan adjuvan seperti
rejimen FAC, ataupun status postmenopause pada waktu terapi memberikan risiko
yang tinggi dan bermakna terjadinya tromboemboli.(Cosphiadi,2007).
Patofisiologi terjadinya trombosis pada pasien kanker sangat dipengaruhi
oleh keadaan tubuh yang berubah dikarenakan kanker. Sel tumor dapat
mengaktifkan pembekuan darah melalui berbagai jalur, termasuk produksi
prokoagulan, fibrinolysis dan aktivitas faktor proaggregasi berupa pelepasan
proinflamasi dan sitokin proangiogenesis. Peran kunci pembentukan trombosis
pada pasien kanker diperankan oleh faktor jaringan, faktor proinlamasi dan
trombosit.
Faktor jaringan terdiri atas glikoprotein transmembran, berperan sebagai
kunci inisiator koagulasi fisiologik, diekspresikan oleh berbagai jenis sel kanker,

18

termasuk kanker padat maupun kanker tidak padat. Pada pembuluh darah yang
normal faktor jaringan tidak diekspresikan, kecuali bila diinduksi oleh sitokin
proinflamasi

seperti

interleukin

dan

tumor

necrosis

factor

atau oleh

lipopolisakarida bakteri.
Ekspresi faktor jaringan dari berbagai jenis kanker diinduksi oleh onkogen
yang diaktifkan atau gen supresi tumor yang dinonaktifkan. Faktor jaringan juga
diinduksi oleh berbagai mediator termasuk TNF, IL, ligan CD40, thrombin, LDL
yang teroksidasi dan VEGF. Pada penderita kanker faktor jaringan dapat dideteksi
di sirkulasi darah. Faktor jaringan yang bersirkulasi dalam darah menyatu dengan
mikropartikel yang berasal dari sel endotel, sel otot polos pembuluh darah,
leukosit atau trombosit. Ekspresi berlebihan faktor jaringan pada sel tumor dan
peningkatan

kadar

faktor

jaringan

dalam

darah

menyebabkan

kondisi

hiperkoagulabel.
Sel tumor juga melepas sitokin proinflamasi dan kemokin seperti TNF, IL
dan VEGF yang selanjutnya mempengaruhi leukosit dan sel endotel untuk
mengekspresikan faktor jaringan dan sejumlah molekul adesi lain yang mungkin
sebagai predisposisi maupun memacu trombosis.
Sel tumor dapat mengakibatkan mengakibatkan pengaktifan dan agregasi
trombosit melalui interaksi langsung antar sel atau melalui mediator yang larut,
termasuk ADP, thrombin dan protease lain. Lebih lanjut ekspresi sitokin tertentu
oleh sel tumor, seperti TNF dan IL, menginduksi ekspresi faktor jaringan pada sel
endotel dan serentak menurunkan ekspresi trombomodulin, yang mengakibatkan
status

protrombotik

pada

dinding

pembuluh

darah.

Sel

tumor

juga

mengekspresikan prokoagulan kanker, suatu proses sistein yang hanya
diekspresikan oleh jaringan kanker. Prokoagulan kanker langsung mengaktifkan
faktor X dalam jalur bersama, tanpa tergantung faktor VII. Aktifitas protease ini
dipengaruhi stadium kanker. Pada periode awal diagnosis kanker kadar protease
biasanya tinggi, kemudian secara perlahan menurun. Kondisi ini dapat membantu
menerangkan kecenderungan terjadinya tromboemboli pada 3 bulan pertama
setelah diagnosis kanker.

19

Sel tumor selain mengekspresikan faktor jaringan dan prokoagulan kanker
yang dapat meningkatkan status prokoagulasi, juga mengekspresikan protein yang
mengatur sistem fibrinolitik, termasuk activator plasminogen, inhibitor activator
plasminogen 1 dan 2 serta reseptor activator plasminogen, yang mengakibatkan
gangguan keseimbangan mekanisme fibrinolysis (Suharti, 2007).
Kemoterapi meningkatkan resiko tromboemboli melalui tiga mekanisme,
yaitu pertama kerusakan akut dinding pembuluh darah, kedua nonakut pada
endotel dan ketiga menurunkan kadar antikoagulan alamiah. Beberapa laporan
menyebutkan kemoterapi neoadjuvan dan adjuvan seperti rejimen FAC, ataupun
status postmenopause pada aktu terapi memberikan risiko yang tinggi dan
bermakna terjadinya tromboemboli.(Cosphiadi,2007).
Tromboemboli vena sekarang dikenal sebagai penyakit yang kronis,
dikarenakan seringnya kekambuhan setelah adanya tromboemboli. Sebuah
penelitian prospective yang dilakukan Prandoi di tahun 2002 mengevaluasi resiko
berulangnya tromboemboli vena atau perdarahan selama terapi antikoagulan di
842 pasien dengan tromboemboli vena dengan dan tanpa kanker yang menerima
terapi antikoagulan. Diantara 181 pasien yang ikut dalam penelitian diketahui
mengidap

kanker

mengalami

kejadian

tromboemboli

sebanyak

20,7%

dibandingkan dengan 6,8% pasien tanpa kanker yang mengalami tromboemboli.

2.6.

Caprini Score
Caprini score adalah sistem skoring yang ditemukan oleh Joseph A.

Caprini yang menilai peningkatan resiko terjadinya thrombosis pada seorang
pasien. Caprini memberikan skoring untuk setiap faktor resiko yang dimiliki oleh
pasien untuk menentukan resiko terjadinya thrombosis pada pasien berdasarkan
literature(Caprini,2006).
Caprini score sendiri sudah beberapa kali divalidasi oleh berbagai
penelitian, seperti yang dialakukan Bahl (2009) yang memvalidasi Caprini score
dengan melakukan imaging pada pasien dengan risiko tinggi, lalu penelitian lain
seperti yang dilakukan oleh Panucci (2010) yang menvalidasi Caprini score pada
pasien bedah plastic.