Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM

(1)

BAB II

Biblografi Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

2.1. Spesifikasi dan Latar Belakang Buku

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah salah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga esai-esai, terutama sangat mencekam adalah renunganya yang tajam merekam apa yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, ebagai pengarang dan sebagai tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya; hasil cipta jiwa dan pemikirnnya berikut harta bendanya – naskah, buku, dokumentasi, rumah, sampai kepada kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia.

Walaupun naskah sudah siap cetak sejak 1987, tidak ada percetakan yang berani mencetaknya. Pencetakan dikerjakan tergesa-gesa dalam lima hari sebelum ultah penulis, berkat bantuan yang berani para rekan wartawan muda dari Asosiasi Jurnalis Independen. Mutu cetakan memang tidak memadai karena dilakukan sembuni-sembunyi dan terburu-buru, memakai kertas Koran dengan penjlidan yang rapuh. Kualitas tampilannya rendah, tetapi kualitas dalam isi sangat tinggi – makna terpentingnya: Penulis dan Penerbit dengan menempuh resio tinggi telah menembus arogansi kekuasaan.


(2)

Keunikan lain yang perlu dicatat: bila “Bumi Manusia” mencapai rekor usia terpanjang sampai enam bulan peredaran, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu saat diterbitkan semasa jendral Soeharto memerintah dengan mesin kekuasannya, hanya mampu beredar dalam sepuluh hari.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan dari Pulau Buru. Jakarta. Lentera.

Berisi 319 halaman. Pertama kali diterbitkan di Belanda dengan judul Lied van een

Stomme, 1988 dan 1989 (dua jilid). Disertai dengan lampiran foto dan lampiran

nama-nama tapol yang meninggal di Pulau Buru, peta kondisi, dan situasi Pulau Buru.

Naskah buku ini disunting dari kertas–kertas berserakan berisi catatan berharga yang ditulis tidak teratur dari waktu ke waktu hanya bila keadaan memungkinkan selama tahun 1969-1979. Diakui oleh Pramoedya bahwa konsep dasar penulisan buku ini berasal dari permintaan kapten IM Sudiraka, Komandan Unit III yang meminta kepada Pramoedya agar menuliskan suka duka hidup di Pulau Buru.

Diakui olehnya bahwa izin menulis baru diberikan pada tahun 1973. Pemberian izin dan dorongan untuk menulis juga diberikan pada tahun 1976, ketika Dan Inherab, Kolonel Sutikno meminta kepada Pramoedya agar menuliskan pengalaman pribadinya selama di Mako. Bahkan sempat diminta untuk membuat komik dan diminta membuatkan riwayat hidup beberapa orang perwira. Hal itu


(3)

disadari oleh Pramoedya bahwa walau bagaimanapun pada suatu saat dia akan menuliskan dan menyusun memoir pribadinya, apalagi sebagai pengarang Indonesia. Sejak itu Pramoedya mulai menuliskan memoarnya. Akan tetapi sembilan buku tulis yang telah terisi pernah disita dan tak pernah dikembalikan lagi oleh Wadan Tefaat, Letkol Soetarto.

Buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali di beberapa bagian. Naskah buku ini mulai ditulis tahun 1973, ketika Pramoedya mendapat izin untuk boleh menulis. Kesempatan menulisnya tergantung pada intuisi keamanan sebagai tapol yang menyebabkan tulisannya tidak terencana dan tidak terpelihara formatnya. Sebagian catatan itu sempat dirampas oleh petugas dan sebagian dapat diselamatkan oleh beberapa teman penulis. Sebagian catatan ditulis dengan bentuk surat yang ditujukan kepada anaknya di Jakarta.

Nyanyian Sunyi Seorang Bisu II. Jakarta. Lentera Pustaka Alternatif. (295

halaman). Buku Pramoedya kedua ini sebelumnya diterbitkan di negeri Belanda dengan judul Lied van een Stomme, 1989, penerbit Unie Boek, dalam dua jilid sekaligus. Buku ini diterbitkan sebagai kenang-kenangan Pramoedya berusia 72 tahun. Buku ini lebih banyak menceritakan tentang kehidupan Pramoedya dan keluarganya. Sedangkan tentang pengasingannya di Pulau Buru hanya sedikit. Sama seperti buku yang pertama, dalam buku keduanya ini juga terdapat beberapa lampiran berupa beberapa foto dan epilog dari penyuntingnya.


(4)

2.2. Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Masa Orde Baru

Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses demokratisasi. Banyak kaum cendikiawan menggelar berbagai seminar untuk mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur-angsur mengambil alih pimpinan.

Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan sebagian bahan acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang telah selesai merumuskan hak asasi secara terperinci, tetapi dibubarkan pada tahun 1959.

Rancangan Piagam MPRS, disamping mencakup hak politik dan ekonomi, juga merinci kewajiban warga negara terhadap negara. Akan tetapi, karena masa sidang yang telah ditetapkan sebelumya sudah berakhir, maka Rancangan Piagam tidak jadi dibicarakan dalam sidang pleno. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan hak asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami perubahan.

Ada usaha untuk menyusun suatu eksekutif yang kuat, dan menyelenggarakan stabilitas di seluruh masyarakat. Untuk menunjang usaha itu pemerintah Orde Baru


(5)

mencoba menggali kembali beberapa unsur khazanah kebudayaan nenek moyang yang cenderung membentuk kepemimpinan yang kuat dan sentralistik. Pemikiran-pemikiran yang pernah timbul di masa penyusunan UUD 1945 berkembang kembali, dan konsep-konsep seperti negara integralis, negara kekeluargaan, gotong royong, musyawarah mufakat, anti-individualisme, kewajiban yang tidak dapat terlepas dari hak, kepentingan masyarakat yang lebih penting dari kepentingan individu, mulai masuk agenda politik.

Akan tetapi, dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembredelan terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Fungsi utama Pers sebagai penyalur informasi mengalami kemunduran, sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagi sarana hiburan. Dengan demikian fungsinya sebagai alat pendidikan formal mengalami kepincangan, terutama dalam bidang pendidikan politik karena terbatasnya kesempatan untuk membahas masalah-masalah kenegaraan serta gejolak sosial dalam forum terbuka. Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasi Militer (DOM).


(6)

Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Priuk dan Peristiwa Trisakti.

Sebenarnya pada waktu itu ekonomi Indonesia sedikit banyak telah berhasil ditingkatkan melalui serentetan Rencana Lima Tahun. Hasil lima Pelita menunjukkan bahwa hak masyarakat atas pangan (hak yang paling mendasar) sebagian besar telah dilaksanakan melalui swasembada beras pada tahun 1983, padahal sepuluh tahun sebelumnya Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia. Miriam Budiarjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menunjukkan Pendapatan per kapita (GNP) yang pada 1967 hanya $50, pada tahun 90-an telah naik menjadi hamper $600. Jumlah orang miskin yang pada 1970 berjumlah 70 juta atau 60%, pada 1990 turun menjadi 72 juta atau 15,1%.

Sekalipun demikian, kesenjangan sosial masih sangat mencolok dan pemerataan sangat perlu ditingkatkan. Ini disebabkan karena perubahan yang diakibatkan oleh upaya pembangunan ternyata telah membentuk struktur yag

dominant-dependence. Pengaturan yang dilakukan telah memberi kesempatan kepada

lingkar-lingkar tertentu yang berada paling dekat dengan kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi di masing-masing tingkat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas mengembangkan diri, dan di pihak lain telah mendesak kelompok-kelompok pinggir semakin lemah.


(7)

Hukum di masa Orde Baru juga tidak begitu berpihak terhadap hak asasi manusia. Hukum ini sebagian masih merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, pemerintah Orde Lama, dan juga produk dari Orde Baru sendiri. Antara lain di sini bisa disebut Haatzaai Artikelen, Undang-undang Anti-Subversi, sejumlah peraturan perburuhan, Undang-undang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Partai Politik dan Keormasan, Undang-undang Pemilihan Umum dan Undang-undang Pemerintahan Desa. Kadar ketidakberpihakan terhadap hak asasi manusia pada hukum-hukum di atas tentu tidak sama, tetapi satu kecenderungan umum yang melekat pada hukum-hukum di atas adalah sifatnya yang sarat dengan pembatasan dan pengontrolan.

Haatzaai Artikelen membatasi kebebasan menyebarluaskan informasi dan

opini; Undang-undang Anti Subversi membuat pengertian “subversi” begitu elastis sehingga banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai subversi; Peraturan perburuhan banyak yang membenarkan penindasan majikan terhadap buruh; Undang-undang Partai Politik dan Keormasan membatasi hak hidup organisasi politik dengan segala macam cara atas nama penyederhanaan struktur politik; Undang-undang pemilihan umum malah tidak mengikutsertakan masyarakat pemilih ke kotak suara dengan bebas; dan Undang-undang Pemerintahan Desa telah merusak rembung desa yang demokratis dan mengantinya dengan aitan birokrasi yang hirarkris. Kesemua itu


(8)

adalah pembatasan hak asasi manusia secara sah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum di Indonesia.

Di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang berarti melalui program wajib belajar untuk anak usia 7-12 tahun, rasio murid sekolah dasar yang berusia 7-12 terhadap penduduk kelompok umur 7-12 tahun naik dari 41,1% pada 1968/1969 menjadi sekitar 93,5% pada 1993/1994. Ini berarti bahwa akses pendidikan sebagian besar telah berhasil diselenggarakan sekalipun mutu pendidikan masih sangat perlu ditingkatkan. Jumlah penduduk buta huruf dari umur 10 tahun ke atas telah turun dari 39,1% pada awal Pelita I menjadi 15,8% pada 1990. Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) yang pada 1967 berjumlah 145 ditekan sampai 58 pada akhir Pelita V. Angka harapan hidup naik dari usia rata-rata 46,5 tahun pada 1971 menjadi 62,7 tahun 1993. Akan tetapi kemajuan ini telah dicapai dengan harga mahal, antara lain berkembangnya korupsi pada skala besar, dan represi terhadap kalangan yang berani beroposisi dengan pemerintah.

Menjelang akhir masa Presiden Soeharto ada seruan kuat dari kalangan masyarakat, terutama civil society, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik, dan agar stabilitas, yang memang diperlukan untuk pembangunan yang berkesinambungan, tidak menghambat proses demokratisasi.

Salah satu masalah ia tidak adanya persamaan persepsi antara penguasa dan masyarakat mengenai konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Tidak


(9)

jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Misalnya, jika sejumlah penduduk digusur untuk mendirikan fasilitas umum seperti rumah sakit, masyarakat tidak akan mempersoalkannya. Akan tetapi, jika dipaksa menyerahkan sawahnya untuk didirikan tempat rekreasi, tafsiran mengenai “kepentingan umum” dapat bertolak belakang dan lebih melanggar hak asasi. Penafsiran mengenai konsep “kepentingan umum”, “keamanan umum”, dan “stabilitas nasional” seolah-olah merupakan monopoli dari pihak yang memiliki kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi.

Bagaimanapun juga, tidak dapat disangkal bahwa citra Indonesia di luar negri sangat rendah, baik mengenai pelanggaran hak asasi, maupun mengenai korupsi yang merajalela, sekalipun penguasa selalu menolak pandangan bahwa hak asasi di Indonesia menjadi masalah besar. Akumulasi tindakan represif akhirnya menjatuhkan Presiden Soeharto.

Menjelang berakhirnya rezim Soeharto beberapa indikasi masa transisi mulai tampak. Berkat suksesnya pembangunan ekonomi, ditambah keberhasilan di bidang pendidikan, telah timbul suatu kelas menengah terdidik terutama di daerah perkotaan, dengan sejumlah besar professional seperi insinyur, manajer, dan pakar di berbagai bidaang. Selain dari itu telah berkembang kelompok mahasiswa dan civil society yang vokal. Dengan demikian tuntutan untuk melaksanakan hak asasi politik secara serius, meningatkan usaha pemberantasan kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan sosial,


(10)

menguat. Juga tuntutan akan berkurangnya dominasi eksekutif, peningkatan transparasi, akuntabilitas, dan demokratisasi sukar dibendung. Berkat tuntutan-tuntutan itu pada akhir tahun 1993 dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan dua puluh lima anggota tokoh masyarakat yang dianggap tinggi kredibilitasnya, yang diharapkan dapat meningkatkan penanganan hak asasi. 2.3. Latar Belakang G30SPKI dan Implikasinya

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". Beliau juga membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dengan penunjukan anggota-anggota yang menjamin dukungan terhadapnya. Dengan kemampuannya beliau memobilisasi sokongan luas masyarakat dalam kegiatan


(11)

politik menurut "ajaran-ajarannya" sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Beliau menjadikan "penyelesaian revolusi menuju sosialisme Indonesia" sebagai tujuan politik. Dan sebagai sarana ialah: "demokrasi dan ekonomi terpimpin" (MANIPOL/USDEK) dan NASAKOM (yakni, kerja sama antara aliran politik Nasionalis, Agama dan Komunis di bawah pimpinannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi). Juga hukum dan peradilan mesti tunduk kepada revolusi. Karenanya, azas pemisahan kekuasaan negara (Trias Politica) dihapus.

Sikap anti-imperialisnya-pun makin dinyatakan. Salah satu tahap "penyelesaian revolusi" Soekarno adalah pembebasan Irian-Barat (bagian bekas Nederlands-Indie yang emoh diserahkan oleh Belanda). Upaya ini mendapat prioritas agar tanah-air Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 menjadi utuh. Hampir satu setengah milyar dollar AS (pinjaman dari Uni Sovyet) dipergunakan untuk untuk pembelian kapal-kapal perang dan terbang, termasuk penambahan persenjataan dan personalia angkatan darat dan angkatan bersenjata pada umumnya, serta latihan,-pasukan relawan. Akhirnya perjuangan "pembebasan" Irian-Barat berhasil tanpa pertempuran besar-besaran. Belanda meninggalkannya dan PBB meyerahkannya kepada Indonesia.

Dalam masa itu, kondisi ekonomi yang diabaikan, makin memburuk. Pelaksanaan "penyelesaian revolusi" nampak terutama dalam bentuk verbal: indoktrinasi ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, MANIPOL USDEK dan


(12)

NASAKOM yang diwajibkan untuk diajarkan di lembaga-lembaga pengajaran, politik dan pemerintahan. Dalam siaran radio, koran-koran dan penerbitan lain, orang berlomba-lomba menunjukkan lafal ajaran-ajaran itu. Akan tetapi kesatuan pikiran dalam masyarakat hanyalah di permukaan dan semu. Pertentangan kepentingan antara berbagai kekuatan politik malah meruncing. Pembebasan Irian-Barat dapat dikatakan mendapat dukungan seluruh masyarakat. Tetapi terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat Indonesia sendiri untuk menuju pembagian hak milik dan hasil usaha secara lebih merata, sebagai pelaksanaan keadilan sosial tidak tercapai karena pertentangan di antara berbagai golongan dan partai politik. Kaum tidak berpunya, kaum buruh, proletar dan marhaen, mendambakannya. Tetapi orang yang bermodal, orang yang memiliki tanah luas menolaknya. Kondisi ini diperuncing oleh kondisi ekonomi yang memburuk. Ini nampak dalam penyusunan UUPA (Pokok Agraria) dan UUBH (Bagi Hasil) oleh DPR-GR (1959-1960), serta lebih-lebih dalam praktek perubahan pemilikan dan bagi hasil dibidang pertanian menurut undang-undang tersebut.

Setelah di UUPA diundangkan, pelaksanaannya justru macet. Pegawai pemerintah yang bertugas di bidang ini tampaknya kurang berhasil. Sejak semula PKI melancarkan kampanye pelaksanaan land- reform. Setelah pada tahun 1963 ada paceklik, maka ‘aksi sepihak' dilaksanakan yakni memimpin serta mendampingi tindakan-tindakan tani kecil dan buruh tani untuk memaksakan pelaksanaan


(13)

UUPA/UUBH, dengan menduduki tanah pertanian dan menahan sebagian hasil serta menuntut penggantian pegawai pemerintah yang gagal. Aksi-aksi sepihak yang dijalankan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali dan sebagai akibat menimbulkan konflik-konflik sosial.

Meskipun di banyak tempat pemerintah daerah mencoba menyejukkan keadaan, umumnya mereka memihak pemilik-pemilik tanah. Pertentangan keras, bahkan dengan penggunaan senjata tajam, terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara PKI dengan organisasi NU. Sedangkan di Bali, PKI bertentangan keras dengan PNI. Keadaan menjadi gawat sehingga sewaktu Presiden Soekarno berada di luar negeri, pejabat presiden Leimena mengeluarkan instruksi penghentian aksi sepihak pada pertengahan tahun 1964. Bung Karno dalam pidato kenegaraannya tahun itu memberikan dukungan tidak langsung kepada aksi sepihak dengan menunjukkan simpati pada buruh tani dan mengecam kelambanan pelaksanaan UUPA/UUBH. Kemudian, bulan desember 1964, dilakukan musyawarah di Istana Presiden di Bogor yang dihadiri perwakilan dari semua partai. Aksi sepihak itupun dibicarakan. Hasil musyawarah, antara lain, menyerukan agar masalah-masalah nasional seperti pelaksanaan UUPA dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Diserukan juga bahwa pejabat dan petani diwajibkan untuk musyawarah tanpa menggunakan ancaman kekerasan dan senjata. Kedua belah pihak dalam pertentangan tentang tanah


(14)

menafsirkan deklarasi Bogor sebagai kemenangan dan aksi sepihak lambat laun dihentikan. Akan tetapi di bawah permukaan saling benci dan dendam membara.

Terbentuknya negara Malaysia juga menjadi salah satu faktor terjadinya pemberontakan oleh PKI. Insiden perobekan foto soekarno dan pemijakan lambang negara Garuda Pancasila oleh Tuanku Abdul Rahman – Perdana Mentri Malaysia saat itu, membuat amarah Soekarno memuncak. Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang


(15)

Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB.

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang". Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat


(16)

terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Sepanjang Demokrasi Terpimpin, beberapa kali dibentuk persekutuan/organisasi untuk membendung pertumbuhan pesat pengaruh PKI dalam kehidupan politik-sosial, antara lain; Liga Demokrasi atas prakarsa PSI, Masyumi (1960), Manifesto Kebudayaan (Manikebu) oleh sekelompok sastrawan yang membela nilai-nilai humanisme dalam sastra dan kebudayaan umumnya untuk melawan pemihakan revolusioner LEKRA (komunis) dan LKN (nasionalis) (1963) dan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) oleh Adam Malik dan wartawan lain yang menjabarkan pikiran politik Soekarno tetapi melawan pengaruh politik komunis (1964). Tetapi setiap kali usaha-usaha di atas kandas karena Presiden Soekarno mem-veto-nya. Sering ditandaskan oleh Bung Karno, bahwa dalam sosialisme Indonesia tidak ada tempat untuk takut terhadap komunis. Hanya Angkatan Darat yang anti-komunis bertahan secara kuat. Karena itu bagi banyak orang yang menolak otoriterisme Demokrasi Terpimpin dan pengaruh komunisme, Angkatan Darat menjadi harapan, namun mereka pada saat yang sama melupakan peranan Angkatan Darat dalam pembentukan dan pengisian sistim Demokrasi Terpimpin, khususnya kemandirian Angkatan Darat yang tumbuh subur di dalamnya dan bahaya besar militerisme.


(17)

Keadaan ekonomi Indonesia makin merosot dengan inflasi yang menjulang. Sedangkan suhu ketegangan politik justru naik dalam tahun 1965. Januari 1965 Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Bulan berikutnya, 21 surat kabar anti komunis dilarang terbit. Angkatan Darat langsung menerbitkan dua surat kabar sendiri. Semangat anti-Amerika dipanaskan oleh berita-berita tentang peningkatan pemboman dahsyat Vietnam oleh Amerika dan perusahaan A.S. diduduki oleh serikat– serikat buruh kiri. Angkatan Darat mengambil alih pengelolaan perusahaan asing tersebut. Bulan April 1965, Menteri Luar-Negeri RRT berkunjung ke Jakarta dan mendukung saran Aidit untuk membentuk angkatan bersenjata kelima di samping AD, AU, AL dan Kepolisian. Angkatan ini akan diisi oleh relawan yang dipersenjatai untuk menyerang Malaysia. Usulan ini didukung juga oleh AU, Partindo dan PNI. Bung Karno menyatakan bahwa PKI adalah contoh teladan kekuatan revolusioner. Dalam perayaan meriah H.U.T.ke-45 PKI, bulan Mei 1965, beliau memuji-muji PKI. PKI yang dalam pemilihan umum tahun 1955 menjadi partai besar ke-empat, memang paling menonjol dukungannya pada bung Karno, sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

PKI semakin banyak anggotanya, juga karena banyak pengikut Bung Karno menggabungkan diri dengan PKI. Mereka menyeberang bukan karena tertarik pada ideologi komunis tapi mengingat keberpihakan PKI pada rakyat kecil (lebih nyata daripada PNI). Tahun 1965, Bung Karno jatuh sakit sehingga timbul berita bahwa ia


(18)

akan meninggal. Bahkan dokter dokter dari RRT datang untuk mengobatinya sampai sembuh. Pada pidato 17 Agustus 1965, beliau mengumumkan terbentuknya Poros Anti-Imperialis: Jakarta-PnomPenh-Hanoi-Beijing, suatu keterikatan Republik Indonesia dengan 4 negara komunis, dan menyerukan agar rakyat dipersenjatai. Keadaan ekonomi semakin parah pada kwartal terakhir tahun ‘65, harga beras 9 kali harga pada permulaan tahun dan harga dolar dipasar gelap menjulang dari Rp 5100 menjadi Rp 50.000. Desas-desus kemungkinan Kudeta, baik oleh Angkatan Darat maupun oleh PKI dibisik-bisikkan secara luas.Tanggal 27 September Jenderal Ahmad Yani menyatakan Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan Kelima. Ketegangan mencekam masyarakat, khususnya di ibu kota.

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, pasukan Angkatan Darat, antara lain; gabungan resimen Cakrabirawa dan divisi Diponegoro, Angkatan Udara dan sepasukan relawan dari ormas komunis pemuda rakyat yang dilatih oleh Angkatan Udara dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia dini hari 1oktober 1965 menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat di Jakarta, serta menduduki beberapa gedung strategis di lapangan Merdeka dan mengepung Istana presiden. Pada hari itu juga melalui radio Jakarta disiarkan lima pengumuman, berturut-turut tentang operasi militer melidungi


(19)

presiden yang dipimpin overste Untung, komandan batalyon dari Cakrabirawa untuk melawan Dewan Jenderal yang berniat merebut kekuasaan; tentang keselamatan presiden Soekarno yang tetap memegang pimpinan negara, tetapi juga tentang pembentukan Dewan Revolusi dengan ketua Let.Kol. Untung (tanpa menyebut Presiden Soekarno); pembubaran kabinet; dan penurunan pangkat semua perwira tinggi dan menengah menjadi Let. Kol.

Soekarno yang pada malam hari 30 September bermalam di luar Istana, mengingat keadaan genting, dini hari 1 Oktober, dinasehatkan pergi ke lapangan terbang Halim agar segera dapat menyelamatkan diri dengan pesawat terbang. Di sana jenderal Soepardjo salah seorang pimpinan Gerakan 30 September menghadap presiden dan melapor. Bung Karno terkejut sewaktu mendengar hal pembunuhan enam jenderal, di antaranya panglima Angkatan Darat jenderal Yani, serta memerintahkan agar pertumpahan darah selanjutnya dihentikan. Kemudian ia berunding dengan pengawalnya (jenderal Sabur dan Soenarjo), siapa yang akan mengganti untuk sementara waktu jenderal Yani. Pilihannya jatuh pada jenderal Pranoto, meskipun pada saat itu Laksmana Udara Oemar Dhani yang juga hadir pada perundingan menyatakan bahwa jenderal Soeharto-lah perwira AD paling senior. Dalam pada itu, jenderal Soeharto yang oleh Gerakan 30 september dipandang sebagai kawan, bahkan menurut overste Latief telah diberi tahu tentang rencana operasi penculikan para jenderal sebelumnya, kemudian justru memimpin pasukan


(20)

untuk mengepung dan menumpas Gerakan ini. Setelah mengetahui akan diserang, sore hari tanggal 1 Oktober, pasukan-pasukan Gerakan 30 september mulai buyar. Separuh dari pasukan militer yang menduduki Lapangan Merdeka menyeberang ke- KOSTRAD dan separuh lagi mundur ke-Halim. Dalam tembak-menembak pagi hari 2 oktober, yang terjadi di-Lubang Buaya, di-sekitar markas komando, lapangan terbang Halim, seorang tewas dan dua orang terluka sebelum pasukan-pasukan pendukung gerakan 30 september tersebut menyeberang atau melarikan diri.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Di Jawa


(21)

Tengah, kelompok pemuda Islam dan nasionalis dilatih beberapa hari, dipersenjatai dan di bawah pimpinan dan kerja sama dengan RPKAD melakukan pembersihan di desa-desa. Semua anggota organisasi komunis dikumpulkan dan ditangkapi. Setelah mengalami interogasi singkat yang dipandang aktivis dibunuh dan pendukung pasif dimasukkan pelbagai tempat tahanan, seperti sekolah, tangsi militer, kantor-kantor pemerintahan atau lainnya dan penjara. Di dalam tahanan, mereka yang ditangkap masih belum aman, karena berdasarkan daftar keanggotaan yang disita, atau berdasar keterangan informan, ditetapkan siapa yang akan dibunuh. Biasanya tengah malam mereka ini dibawa dengan truk militer keluar kota. Ditempat pembunuhan kadang-kadang sudah ada lubang kuburan masal yang digali oleh penduduk desa. Ada kalanya yang akan dibunuh disuruh menggali lubang besar sendiri. Kalau militer yang membunuh biasanya digunakan senjata api. Tetapi kalau diserahkan pada rakyat biasanya digunakan arit atau senjata tajam lain. Banyak orang dipenggal kepalanya sambil jongkok/berlutut dipinggir lobang kuburannya.

Juga terjadi, informan mendatangkan pasukan pembersihan pada satu desa yang dikatakannya seratus prosen komunis. Maka seluruh penduduk desa itu, laki dan perempuan tanpa kecuali dibantai, kecuali anak yang paling kecil. Di dalam satu desa penduduk bukan komunis ditunjuk untuk membunuh tetangganya yang komunis. Desa bukan komunis ditunjuk membasmi desa komunis. Bahkan juga di-kota-kota terjadi pembantaian. Mahasiswa bukan komunis dilawankan dengan mahasiswa


(22)

komunis, dosen bukan komunis dengan dosen komunis, sehingga terdapat banyak lowongan di kalangan mahasiswa dan dosen, setelah gelombang pembunuhan reda. Seorang pengelola hotel di Yogya menceritakan bahwa pada suatu hari, militer mendatangi hotelnya dan menembak mati 13 pegawainya.

Pembunuhan di Jawa Timur baru terjadi setelah komandan-komandan pasukan di sana mengetahui bahwa pembantaian di Jawa Tengah disetujui terang-terangan oleh Pimpinan Angkatan Darat di Jakarta. Pada akhir Oktober ’65, aksi pembersihan besarbesaran, di kota-kota dilaksanakan, biasanya di bawah pengawasan Angkatan Darat. Tetapi di daerah pedesaan, para kiyai dan ulama, kebanyakan anggota NU, dianjurkan oleh militer untuk mengambil tindakan sendiri. Maka mereka memobilisasi santri pesantren untuk memburu dan membunuh anggota dan simpatisan PKI. Pemuda Ansor berkeliling dari desa ke desa, berdakwah agar umat muslim menbasmi kaum atheis. Pertengahan November ‘65 pembantaian terjadi diseluruh pelosok Jawa-Timur. Di beberapa desa juga anak-anak menjadi korban pembantaian. Di lain tempat hanya aktivis partai yang dibunuh. Sering kali militer menonton saja, dan menyediakan truk untuk angkutan koban, tetapi tak jarang mereka berperan lebih aktif. Seorang jenderal Angkatan Darat yang waktu itu bertugas di sana, member perhitungan sbb: kira-kira ada 3000 desa di Jawa Timur. Setiap desa ada anggota PKInya dan dari setiap desa PKI kehilangan 10 sampai 15 orang anggota


(23)

karena dibersihkan oleh pemuda Ansor. Jadi antara 30 dan 45 ribu yang terbunuh. Tetapi mungkin juga sampai 100 ribu.

Sering kali korban tidak dikubur, tetapi dilempar dikali. Banyaknya mayat yang terapung di kali Berantas, menyebabkan orang dipinggir muaranya emoh makan ikan dari kali itu. Pembunuhan massal di Jawa-Timur dikaitkan oleh pelakunya dengan dendam mereka karena tindakan komunis sendiri dimasa lalu. Akan tetapi fakta-nya adalah bahwa pembantaian orang komunis pada akhir bulan Oktober-November 1965 terjadi karena diberi contoh, dianjurkan dan diizinkan oleh Angkata Darat. Pembunuhan massal ini terjadi bukan sebagai pembelaan diri dalam pertempuran dalam perang saudara karena pemberontakan PKI . Tetapi lebih sebagai perbuatan algojo yang dimulai oleh Angkatan Darat, lalu ditugaskan pada rakyat pengikut NU dan diizinkan Angkatan Darat, terhadap korban yang tak memberikan perlawanan.

Biarpun di Bali, terjadi pertentangan dengan kekerasan antara PNI dan PKI yang meruncing sejak aksi sepihak komunis tahun 1964, pada bulan Oktober 1965 belum terjadi pergolakan. Baru setelah penguasa militer di Bali berubah sikap dan menjadi anti PKI, serta kampanye dilancarkan tentang komunis, antara lain bahwa GERWANI a-susila dan sadis, dan lebih-lebih setelah RPKAD dan pasukan dari Brawijaya tiba di Bali, maka operasi penghancuran PKI, c.q. pembunuhan orang komunis secara massal dilaksanakan juga sehebat-hebatnya. Sebagaimana di Jawa


(24)

agama Islam disalahgunakan, di Bali, agama Hindupun digunakan untuk menanam kebencian pada dan, membenarkan bahkan mengharuskan pembunuhan orang komunis. Peranan Angkatan Darat dalam pembunuhan massal di Bali sama seperti di Jawa: memberi contoh, mendorong, memberi bantuan dan membiarkan. Hasilnya diperkirakan 80.000 orang terbunuh dalam periode Desember s/d awal tahun 1966.

Banyak Tahanan Politik PKI yang juga diasingkan keluar pulau jawa dan dijauhkan dari Ibukota, mereka di tempatkan di Pulau Buru sebuah pulau yang terletak di Provinsi Maluku. Namun, data dari Lembaga Bantuan Hukum menunjukkan bahwa Tahanan Politik PKI ini juga diasingkan ke Kalimantan. Hesri Setiawan dalam bukunya Diburu di Pulau Buru menyatakan bahwa setidaknya ada 12.000 Tahanan Politik PKI yang terdiri dari Tahanan Politik PKI golongan B yang merupakan hasil seleksi dari golongan A atau yang terlibat langsung dan dikenai hukuman mati. Tahanan Politik golongan B adalah mereka yang dianggap terlibat tidak langsung dan dianggap hanya sebagai kader). Sedangkan Tahanan Politik golongan C dianggap Tahanan Politik PKI yang ikut-ikutan.

Menurut Pramoedya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu bahwa Pulau Buru tidak layak dihuni dan dieksploitasi menjadi areal persawahan dan perladangan sebab kultur tanahnya bersifat padang rumput dan tanahnya masih muda dan kurang mengandung mineral yang dibutuhkan bagi tanaman, seperti padi. Pekerjaan yang dilakukannya tidak hanya membuka lahan persawahan dan peladangan, akan tetapi


(25)

juga membuka jalan serta membuka hutan untuk kebutuhan huma. Hutan di Buru tak ada yang dapat memberi makan, gunungnya gersang. Kalau lari ke hutan, tapol akan mati kelaparan atau mati dimakan binatang buas. Kalau berlindung kepada penduduk, mudah ketahuan karena wajah tapol berbeda dengan penduduk setempat. Laut sekitar Pulau Buru sangat ganas, kalau pun lari lewat laut, kematian akan memanti sebab tapol dianggap tidak mengenal cara berperahu di wilayah itu.

Para Tahanan Politik juga sering mendapatkan perlakuan kasar dari petugas, Adrianus Gumilar Demokrasno dalam bukunya Dari Kalong Sampai Pulau Buru, menyatakan bahwa Tahanan Politik sering mendapatkan penghinaan dari para petugas yang tidak manusiawi. Bahkan mereka sengaja mencari kesalahan dari para tapol untuk dihukum. Untuk mendapatkan tambahan makanan (gizi) tapol menyisihkan waktunya untuk berburu, memancing, berternak, berladang, mencari sagu, dan juga mencuri dari pekerjaan mereka sendiri. Tapol bekerja rodi ke sawah dan ladang pada jam 06.00 dan pulang jam 17.00 sore, tujuh hari dalam seminggu, tanpa istirahat, kecuali hari-hari besar dan itu pun terkadang hanya setengah hari. Seorang komandan unit dan juga petugas pengawal yang telah selesai masa tugasnya akan membawa segala macam barang inventaris unit, termasuk yang dimiliki tapol.

Sampai tahun 1978, sebagaimana dicatat oleh Pramoedya terdapat 310 kematian, dengan rincian sakit 191 orang, dibunuh petugas 53 orang dengan berbagai macam alasan maupun tanpa alasan, kecelakaan 35 orang, bunuh diri 15 orang,


(26)

lain-lain sebanyak 16 orang. Sedangkan perkiraan jumlah korban tewas operasi penghancuran PKI pada tahun 1965 diperkirakan mencapai 1.000.000 lebih jiwa di seluruh Indonesia.


(1)

Tengah, kelompok pemuda Islam dan nasionalis dilatih beberapa hari, dipersenjatai dan di bawah pimpinan dan kerja sama dengan RPKAD melakukan pembersihan di desa-desa. Semua anggota organisasi komunis dikumpulkan dan ditangkapi. Setelah mengalami interogasi singkat yang dipandang aktivis dibunuh dan pendukung pasif dimasukkan pelbagai tempat tahanan, seperti sekolah, tangsi militer, kantor-kantor pemerintahan atau lainnya dan penjara. Di dalam tahanan, mereka yang ditangkap masih belum aman, karena berdasarkan daftar keanggotaan yang disita, atau berdasar keterangan informan, ditetapkan siapa yang akan dibunuh. Biasanya tengah malam mereka ini dibawa dengan truk militer keluar kota. Ditempat pembunuhan kadang-kadang sudah ada lubang kuburan masal yang digali oleh penduduk desa. Ada kalanya yang akan dibunuh disuruh menggali lubang besar sendiri. Kalau militer yang membunuh biasanya digunakan senjata api. Tetapi kalau diserahkan pada rakyat biasanya digunakan arit atau senjata tajam lain. Banyak orang dipenggal kepalanya sambil jongkok/berlutut dipinggir lobang kuburannya.

Juga terjadi, informan mendatangkan pasukan pembersihan pada satu desa yang dikatakannya seratus prosen komunis. Maka seluruh penduduk desa itu, laki dan perempuan tanpa kecuali dibantai, kecuali anak yang paling kecil. Di dalam satu desa penduduk bukan komunis ditunjuk untuk membunuh tetangganya yang komunis. Desa bukan komunis ditunjuk membasmi desa komunis. Bahkan juga di-kota-kota terjadi pembantaian. Mahasiswa bukan komunis dilawankan dengan mahasiswa


(2)

komunis, dosen bukan komunis dengan dosen komunis, sehingga terdapat banyak lowongan di kalangan mahasiswa dan dosen, setelah gelombang pembunuhan reda. Seorang pengelola hotel di Yogya menceritakan bahwa pada suatu hari, militer mendatangi hotelnya dan menembak mati 13 pegawainya.

Pembunuhan di Jawa Timur baru terjadi setelah komandan-komandan pasukan di sana mengetahui bahwa pembantaian di Jawa Tengah disetujui terang-terangan oleh Pimpinan Angkatan Darat di Jakarta. Pada akhir Oktober ’65, aksi pembersihan besarbesaran, di kota-kota dilaksanakan, biasanya di bawah pengawasan Angkatan Darat. Tetapi di daerah pedesaan, para kiyai dan ulama, kebanyakan anggota NU, dianjurkan oleh militer untuk mengambil tindakan sendiri. Maka mereka memobilisasi santri pesantren untuk memburu dan membunuh anggota dan simpatisan PKI. Pemuda Ansor berkeliling dari desa ke desa, berdakwah agar umat muslim menbasmi kaum atheis. Pertengahan November ‘65 pembantaian terjadi diseluruh pelosok Jawa-Timur. Di beberapa desa juga anak-anak menjadi korban pembantaian. Di lain tempat hanya aktivis partai yang dibunuh. Sering kali militer menonton saja, dan menyediakan truk untuk angkutan koban, tetapi tak jarang mereka berperan lebih aktif. Seorang jenderal Angkatan Darat yang waktu itu bertugas di sana, member perhitungan sbb: kira-kira ada 3000 desa di Jawa Timur. Setiap desa ada anggota PKInya dan dari setiap desa PKI kehilangan 10 sampai 15 orang anggota


(3)

karena dibersihkan oleh pemuda Ansor. Jadi antara 30 dan 45 ribu yang terbunuh. Tetapi mungkin juga sampai 100 ribu.

Sering kali korban tidak dikubur, tetapi dilempar dikali. Banyaknya mayat yang terapung di kali Berantas, menyebabkan orang dipinggir muaranya emoh makan ikan dari kali itu. Pembunuhan massal di Jawa-Timur dikaitkan oleh pelakunya dengan dendam mereka karena tindakan komunis sendiri dimasa lalu. Akan tetapi fakta-nya adalah bahwa pembantaian orang komunis pada akhir bulan Oktober-November 1965 terjadi karena diberi contoh, dianjurkan dan diizinkan oleh Angkata Darat. Pembunuhan massal ini terjadi bukan sebagai pembelaan diri dalam pertempuran dalam perang saudara karena pemberontakan PKI . Tetapi lebih sebagai perbuatan algojo yang dimulai oleh Angkatan Darat, lalu ditugaskan pada rakyat pengikut NU dan diizinkan Angkatan Darat, terhadap korban yang tak memberikan perlawanan.

Biarpun di Bali, terjadi pertentangan dengan kekerasan antara PNI dan PKI yang meruncing sejak aksi sepihak komunis tahun 1964, pada bulan Oktober 1965 belum terjadi pergolakan. Baru setelah penguasa militer di Bali berubah sikap dan menjadi anti PKI, serta kampanye dilancarkan tentang komunis, antara lain bahwa GERWANI a-susila dan sadis, dan lebih-lebih setelah RPKAD dan pasukan dari Brawijaya tiba di Bali, maka operasi penghancuran PKI, c.q. pembunuhan orang komunis secara massal dilaksanakan juga sehebat-hebatnya. Sebagaimana di Jawa


(4)

agama Islam disalahgunakan, di Bali, agama Hindupun digunakan untuk menanam kebencian pada dan, membenarkan bahkan mengharuskan pembunuhan orang komunis. Peranan Angkatan Darat dalam pembunuhan massal di Bali sama seperti di Jawa: memberi contoh, mendorong, memberi bantuan dan membiarkan. Hasilnya diperkirakan 80.000 orang terbunuh dalam periode Desember s/d awal tahun 1966.

Banyak Tahanan Politik PKI yang juga diasingkan keluar pulau jawa dan dijauhkan dari Ibukota, mereka di tempatkan di Pulau Buru sebuah pulau yang terletak di Provinsi Maluku. Namun, data dari Lembaga Bantuan Hukum menunjukkan bahwa Tahanan Politik PKI ini juga diasingkan ke Kalimantan. Hesri Setiawan dalam bukunya Diburu di Pulau Buru menyatakan bahwa setidaknya ada 12.000 Tahanan Politik PKI yang terdiri dari Tahanan Politik PKI golongan B yang merupakan hasil seleksi dari golongan A atau yang terlibat langsung dan dikenai hukuman mati. Tahanan Politik golongan B adalah mereka yang dianggap terlibat tidak langsung dan dianggap hanya sebagai kader). Sedangkan Tahanan Politik golongan C dianggap Tahanan Politik PKI yang ikut-ikutan.

Menurut Pramoedya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu bahwa Pulau Buru tidak layak dihuni dan dieksploitasi menjadi areal persawahan dan perladangan sebab kultur tanahnya bersifat padang rumput dan tanahnya masih muda dan kurang mengandung mineral yang dibutuhkan bagi tanaman, seperti padi. Pekerjaan yang dilakukannya tidak hanya membuka lahan persawahan dan peladangan, akan tetapi


(5)

juga membuka jalan serta membuka hutan untuk kebutuhan huma. Hutan di Buru tak ada yang dapat memberi makan, gunungnya gersang. Kalau lari ke hutan, tapol akan mati kelaparan atau mati dimakan binatang buas. Kalau berlindung kepada penduduk, mudah ketahuan karena wajah tapol berbeda dengan penduduk setempat. Laut sekitar Pulau Buru sangat ganas, kalau pun lari lewat laut, kematian akan memanti sebab tapol dianggap tidak mengenal cara berperahu di wilayah itu.

Para Tahanan Politik juga sering mendapatkan perlakuan kasar dari petugas, Adrianus Gumilar Demokrasno dalam bukunya Dari Kalong Sampai Pulau Buru, menyatakan bahwa Tahanan Politik sering mendapatkan penghinaan dari para petugas yang tidak manusiawi. Bahkan mereka sengaja mencari kesalahan dari para tapol untuk dihukum. Untuk mendapatkan tambahan makanan (gizi) tapol menyisihkan waktunya untuk berburu, memancing, berternak, berladang, mencari sagu, dan juga mencuri dari pekerjaan mereka sendiri. Tapol bekerja rodi ke sawah dan ladang pada jam 06.00 dan pulang jam 17.00 sore, tujuh hari dalam seminggu, tanpa istirahat, kecuali hari-hari besar dan itu pun terkadang hanya setengah hari. Seorang komandan unit dan juga petugas pengawal yang telah selesai masa tugasnya akan membawa segala macam barang inventaris unit, termasuk yang dimiliki tapol.

Sampai tahun 1978, sebagaimana dicatat oleh Pramoedya terdapat 310 kematian, dengan rincian sakit 191 orang, dibunuh petugas 53 orang dengan berbagai macam alasan maupun tanpa alasan, kecelakaan 35 orang, bunuh diri 15 orang,


(6)

lain-lain sebanyak 16 orang. Sedangkan perkiraan jumlah korban tewas operasi penghancuran PKI pada tahun 1965 diperkirakan mencapai 1.000.000 lebih jiwa di seluruh Indonesia.