Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM

(1)

ANALISIS BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER TENTANG PELANGGARAN HAM

M. Kevin Khosy 110906034

DEPARTEMEN ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALISIS BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER TENTANG PELANGGARAN HAM

Rincian isi Skripsi, 99 halaman, 11 buku, 4 jurnal, 1 situs internet, 1 transkrip radio.

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik PKI di Pulau Buru yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Para tahanan ini ditangkap atas tuduhan keterlibatan mereka dalam tragedi G30S/PKI. Selama menjalani pengasingan di Pulau Buru, tahanan politik sering diperlakukan tidak manusiawi dan diluar batas wajar. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dipilih karena merupakan catatan yang ditulis langsung oleh Pramoedya Ananta Toer selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori mengenai Hak Asasi Manusia yang didasarkan kepada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini sendiri sudah diratifikasi oleh hampir seluruh negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang meratifikasi kovenan ini melalui undang-undang no.12 tahun 2005. Teori ini digunakan untuk melihat dan menganalisis bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan.

Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru antara lain; Hak Atas Kebebasan dan Kemanan, menjelaskan penangkapan para tahanan politik yang tidak wajar karena ketidakjelasan tindak pidana yang dilanggar dan tidak melalui sebuah pengadilan. Hak Atas Kebebasan Berpendapat, menjelaskan terbatasnya informasi yang diperoleh maupun diberikan oleh tahanan politik, Hak Atas Kebebasan Dari Perbudakan dan Kerja Paksa, menjelaskan kerja paksa yang dilakukan oleh tahanan politik selama di Pulau Buru, kerja paksa ini merupakan


(3)

sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh tahanan politik. Hak Atas Keutuhan Jasmani, menjelaskan penyiksaan yang diterima oleh tahanan politik, penyiksaan tersebut meupakan sebuah sanksi maupun perlakuan spontan yang dilakukan oleh petugas. Hak Atas Hidup dipilih, menjelaskan 310 tahanan politik yang tewas selama di Pulau Buru dengan berbagai alasan. Setelah keluar dari Pulau Buru para tahanan politik tetap mendapatkan batasan-batasan sebagai masyarakat sipil.


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALYSIS OF THE MUTE’S SOLILOQUY BOOK WRITTEN BY PRAMOEDYA ANANTA TOER ABOUT HUMAN RIGHTS INFRACTION

Content: 99 pages, 11 books, 4 journals, 1 websites, 1 radio transcript.

ABSTRACT

This research tries to describe about type of human rights infraction which happen to Indonesian Comunist Party’s political captive on Buru Island who written by Pramoedya Ananta Toer on his book called The Mute’s Soliloquy. This captive is captured because their charge of involvement on G30S/PKI tragedy. During their isolation in Buru Island, the political captive treated inhumanly and out of bounds. The Mute’s Soliloquy is chosen because it was a note that written directly by Pramoedya Ananta Toer during his period as political captive on Buru Island.

The theory which are used to explain the problems was theory about human rights which is based on the International Covenant on Civil and Political Rights. This covenant has already been ratified by almost member states on United Nation, including Indonesia that ratified this covenant through Law number 12 of 2005. The theory in used to see and analyze type of human rights infraction which happen to political captive on Buru Island. The method of research is qualitative study with descriptive study. The data was collected by library research method.

Some type of human rights infraction which happen to political captive on Buru Island is; Right to liberty and security of person, describe about unprocedural arrest of political captive because the obscurity of infringe criminal act and not through a court. Right to hold opinions without interference, describe about limited information that received nor given by political captive. Right to not being held in slavery and hard labour, describe about hard labour which is conducted by political captive, the hard labour is obligation that must be done by political captive on Buru Island. Right to physical integrity, describe about torture that received by political captive, the torture is a sanction or spontaneous treatment by officers. Right to life, describe about death of 310 political captive during detention period on Buru Island


(5)

with any reasons. After being release from Buru Island, the political captive still get some restriction as civil society.


(6)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Halaman Pengesahan

Nama : M. Kevin Khosy

NIM : 110906034

Judul : Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM

Dilaksanakan pada:

Hari :

Tanggal :

Pukul :

Tempat :

Majelis Penguji:

Ketua :

Nama ( )

NIP

Penguji Utama:

Nama ( )

NIP

Penguji Tamu:

Nama ( )


(7)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan dan diperbanyak oleh:

Nama : Alamanda Cathartica

NIM : 110906007

Departemen : Ilmu Politik

Judul : Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta

Toer Tentang Pelanggaran HAM

Menyetujui:

Ketua Departemen Ilmu Politik Dosen Pembimbing

(Dra. T. Irmayani, M.Si)

NIP. 196806301994032001 NIP. 196210131987031004

(Drs. Tony P. Situmorang, M. Si.)

Mengetahui: Dekan FISIP USU

NIP. 196805251992031002 (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(8)

Karya ini dipersembahkan untuk Ibunda Tercinta dan Ayahanda Tercinta


(9)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM”. Skripsi ini diajukan guna memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan strata satu (S1) pada Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

Alhamdulillahirabbil alamin, atas berkah dan rahmat Allah SWT, penulis diberikan kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat dan salam juga penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para sahabatnya, semoga para pengikutnya mendapatkan syafaat di akhir zaman.

Skripsi ini menjelaskan mengenai pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru. Tahanan politik ini sendiri merupakan orang-orang yang tertuduh atas keterlibatan mereka dalam tragedi G30S/PKI. Skripsi ini sendiri dikerjakan kurang lebih selama 10 bulan, dihitung mulai akhir November sampai ke awal Oktober. Lamanya proses pengerjaan skripsi ini antara lain dikarenakan faktor teknis berupa laptop yang rusak dan buku yang sempat hilang, dan juga faktor dari diri sendiri. Sehingga, penulis merasa sangat bersyukur atas selesainya skripsi ini sendiri.

Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada orang tua, mama Ferisia dan Papa Awaludin atas dedikasinya yang tak terbatas yang tak akan bisa penulis balas sampai kapanpun, kakek dan nenek penulis, Alm. Yusni Amrin dan Hj. Nurma serta Alm. Alang Gombang dan Almh. Syafiah, kakak Sharin Alfi Putri dan adik Amalia Fermanita. Juga kepada seluruh keluarga dari penulis yang tidak mungkin bisa dituliskan secara keseluruhan disini, terimakasih atas doa semangat serta dukungan secara penuh yang tidak pernah putus diberikan kepada penulis. Semoga Allah SWT membalas setiap doa, dukungan serta kebaikan dengan pahala yang pastiya berlipat ganda. Amin.


(10)

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. T. Irmayani, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Politik Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Drs. Tony P. Situmorang, M.Si selaku Dosen Pembimbing yang telah

memberikan bantuan dan bimbingan berupa kritik dan saran yang membangun selama penulisan skripsi ini

4. Bapak Faisal Andri Mahrawa, S.IP, M.Si selaku Dosen Pembimbing

Akademik

5. Dosen dan Staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas

Sumatera Utara

6. Kak Ema, Kak Siti, dan Pak Burhan yang selalu membantu dalam setiap

urusan administrasi.

7. Sahabat maupun teman sekolah penulis yang selalu memberikan dukungan

baik langsung maupun tidak langsung Ibnu, Ari, Aisa, Abdi, Cyntia, Ina, Pija, Alif, Fani, Ira, Anes, Evi, Tika, Ika, Fitra. Terimakasih teman-teman atas waktunya untuk selalu bisa bersama baik suka maupun duka.

8. Teman-teman seperjuangan Politik 2011 Farah, Manda, Fira, Nufus, Indi,

Mezbah, Deni, Adam, Said, Mujahid, Kokom, April, Rina, Jeje, Wulan, Desya, Nota, Yakson, Anug, Delpri, Kristin, Noveli, Mantily, Kristian, Hans, Pasrah, Reni, Sanri, Rio, Josua, Lambok serta semuanya di Politik 2011. Kita hebat!

Medan, 3 Oktober 2015


(11)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iv

Halaman Pengesahan ... vi

Halaman Persetujuan ... vii

Lembar Persembahan ... viii

Kata Pengantar ... x

Daftar isi ... xi

BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 10

1.3 Pembatasan Masalah ... 10

1.4 Tujuan Penelitian ... 10

1.5 Manfaat Penelitian ... 11

1.6 Kerangka Teori... 11

1.6.1 Teori Tentang Hak Asasi Manusia ... 11


(12)

1.7.1 Jenis Penelitian ... 20

1.7.2 Teknik Pengumpulan Data ... 20

1.7.3 Teknik Analisa Data ... 21

1.8 Sistematika Penulisan ... 21

BAB II: BIBLOGRAFI BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU 2.1 Spesifikasi dan Latar Belakang Buku ... 23

2.2 Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Masa Orde Baru ... 26

2.3. Latar Belakang G30S/PKI dan Implikasinya ... 32

BAB III: ANALISIS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI PULAU BURU 3.1 Bentuk Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Pulau Buru ... 49

3.1.1 Hak Atas Kebebasan dan Keamanan ... 52

3.1.2 Hak Atas Kebebasan Berpendapat ... 60

3.1.3 Hak Atas Kebebasan Dari Perbudakan dan Kerja Paksa ... 70

3.1.4 Hak Atas Keutuhan Jasmani ... 76

3.1.5 Hak Atas Hidup ... 84

3.2 Keadaan Hak Asasi Manusia Tahanan Politik Setelah Bebas ... 91

BAB IV: PENUTUP 4.1 Kesimpulan ... 95


(13)

4.2 Saran ... 99 Daftar Pustaka ... xiv


(14)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU POLITIK

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALISIS BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER TENTANG PELANGGARAN HAM

Rincian isi Skripsi, 99 halaman, 11 buku, 4 jurnal, 1 situs internet, 1 transkrip radio.

ABSTRAK

Penelitian ini mencoba menguraikan tentang bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik PKI di Pulau Buru yang dituliskan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya yang berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Para tahanan ini ditangkap atas tuduhan keterlibatan mereka dalam tragedi G30S/PKI. Selama menjalani pengasingan di Pulau Buru, tahanan politik sering diperlakukan tidak manusiawi dan diluar batas wajar. Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu dipilih karena merupakan catatan yang ditulis langsung oleh Pramoedya Ananta Toer selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru.

Teori yang digunakan untuk menjelaskan permasalahan tersebut adalah teori mengenai Hak Asasi Manusia yang didasarkan kepada Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Kovenan ini sendiri sudah diratifikasi oleh hampir seluruh negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang meratifikasi kovenan ini melalui undang-undang no.12 tahun 2005. Teori ini digunakan untuk melihat dan menganalisis bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi kepustakaan.

Beberapa bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada tahanan politik di Pulau Buru antara lain; Hak Atas Kebebasan dan Kemanan, menjelaskan penangkapan para tahanan politik yang tidak wajar karena ketidakjelasan tindak pidana yang dilanggar dan tidak melalui sebuah pengadilan. Hak Atas Kebebasan Berpendapat, menjelaskan terbatasnya informasi yang diperoleh maupun diberikan oleh tahanan politik, Hak Atas Kebebasan Dari Perbudakan dan Kerja Paksa, menjelaskan kerja paksa yang dilakukan oleh tahanan politik selama di Pulau Buru, kerja paksa ini merupakan


(15)

sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh tahanan politik. Hak Atas Keutuhan Jasmani, menjelaskan penyiksaan yang diterima oleh tahanan politik, penyiksaan tersebut meupakan sebuah sanksi maupun perlakuan spontan yang dilakukan oleh petugas. Hak Atas Hidup dipilih, menjelaskan 310 tahanan politik yang tewas selama di Pulau Buru dengan berbagai alasan. Setelah keluar dari Pulau Buru para tahanan politik tetap mendapatkan batasan-batasan sebagai masyarakat sipil.


(16)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FACULTY OF SOCIAL AND POLITICAL SCIENCE DEPARTEMENT OF POLITICAL SCIENCE

M. KEVIN KHOSY (110906034)

ANALYSIS OF THE MUTE’S SOLILOQUY BOOK WRITTEN BY PRAMOEDYA ANANTA TOER ABOUT HUMAN RIGHTS INFRACTION

Content: 99 pages, 11 books, 4 journals, 1 websites, 1 radio transcript.

ABSTRACT

This research tries to describe about type of human rights infraction which happen to Indonesian Comunist Party’s political captive on Buru Island who written by Pramoedya Ananta Toer on his book called The Mute’s Soliloquy. This captive is captured because their charge of involvement on G30S/PKI tragedy. During their isolation in Buru Island, the political captive treated inhumanly and out of bounds. The Mute’s Soliloquy is chosen because it was a note that written directly by Pramoedya Ananta Toer during his period as political captive on Buru Island.

The theory which are used to explain the problems was theory about human rights which is based on the International Covenant on Civil and Political Rights. This covenant has already been ratified by almost member states on United Nation, including Indonesia that ratified this covenant through Law number 12 of 2005. The theory in used to see and analyze type of human rights infraction which happen to political captive on Buru Island. The method of research is qualitative study with descriptive study. The data was collected by library research method.

Some type of human rights infraction which happen to political captive on Buru Island is; Right to liberty and security of person, describe about unprocedural arrest of political captive because the obscurity of infringe criminal act and not through a court. Right to hold opinions without interference, describe about limited information that received nor given by political captive. Right to not being held in slavery and hard labour, describe about hard labour which is conducted by political captive, the hard labour is obligation that must be done by political captive on Buru Island. Right to physical integrity, describe about torture that received by political captive, the torture is a sanction or spontaneous treatment by officers. Right to life, describe about death of 310 political captive during detention period on Buru Island


(17)

with any reasons. After being release from Buru Island, the political captive still get some restriction as civil society.


(18)

BAB 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia, yang

melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Dalam pembukaan

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dicanangkan: Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada manusia. Hak ini sangat mendasar atau asasi sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembanag sesuai bakat, cita-cita serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua

manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau jender1

• Hak asasi umumya tidak terkena restrikasi atau batasan

.

Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir seluruh bagian dunia. Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo menjelaskan beberapa sifat dari hak asasi, antara lain:

• Hak asasi boleh di restrikasi dalam keadaan darurat

• Ada hak asasi yang boleh direstrikasi oleh Undang-undang; Pasal 19

(mempunyai pendapat), Pasal 21 (berkumpul secara damai), Pasal 22 (berserikat)

• Ada hak asasi yang tidak boleh di restrikasi dala keadaan apapun; Pasal 6 (hak

atas hidup), Pasal 7 (siksaan), Pasal 8 (antiperbudakan), Pasal 11 (antipasang badan), Pasal 15 (sifat kadaluwarsa tindakan criminal atau non-retroaktif), Pasal

1

Prof. Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 211-212


(19)

16 (pribadi atau person di hadapan hukum), Pasal 18 (berpikir, berkeyakinan, beragama).

Masalah hak asasi manusia serta perlindungan terhadapnya merupakan bagian penting dari demokrasi. Makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat sehingga rakyat merupakan pemegang kekuasaan politik tertinggi, ini berarti secara

langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat2

Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi tidak mengabaikan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bernegaranya. Di Indonesia HAM bersumber dan bermuara pada Pancasila, artinya bahwa HAM menjadi jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa. Beberapa instrumen HAM di Indonesia antara lain; undang-undang dasar 1945, ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM

. Sehingga negara demokratis diukur dari sejauh mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya serta menjamin hak-hak warga negara dalam mendapatkan kehidupan yang layak. Demokrasi akan terwujud apabila negara mampu menjamin tegaknya hak asasi manusia.

3

2

Ramlan Surbakit. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Universitas Airlangga Press. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Th XII. No 2. April 1999. Hal.1

3

Gunawan Setiardja. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 107


(20)

Dalam perkembangannya, pelaksanaan HAM di Indonesia sering tidak sesuai dengan hal-hal yang tertulis pada konstitusi. Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam praktiknya, masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik atas nama negara maupun institusi tertentu.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau

kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang4

Salah satu masa dimana masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia adalah pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Di era yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila justru pelanggaran HAM banyak terjadi selama usia kekuasaan itu. Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah sila yang dikhianati karena pelanggaran HAM dilakukan sedemikian rupa secara harfiah. . Dibandingkan antara pelanggaran HAM yang dilakukan negara dan perseorangan, negara lebih rentan untuk melakukan pelanggaran HAM karena negara memiliki kekuatan memaksa, negara berwenang melakukan kekerasan secara fisik. Tidak terkecuali Indonesia.

4


(21)

Penangkapan, penahanan, dan penghilangan aktivis atau tokoh kritis secara paksa, pembredelan media cetak, penembakan tanpa alasan dan proses hukum, pembantaian warga sipil di berbagai daerah merupakan contoh kejahatan kemanusiaan pada masa

orde baru5

Soeharto pada masa pemerintahannya menerapkan tiga kebijakan sekaligus, yaitu; mengekang hak berserikat, berekspresi, dan berpendapat; melakukan eliminasi dan kebijakan reduksionis konsep – terhadap konsep HAM; dan melakukan pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa tanpa alasan hukum. Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesatuan tindakan pelanggaran HAM sebagai bagian politik mempertahankan kekuasaan

.

6

Contoh jelas kasus pelanggaran HAM pada masa Orde Baru adalah mengenai tahanan politik (tapol)

.

7

5

Dr. Suparman Marzuki.2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 24

6

Dr. Suparman Marzuki, Ibid. Hal.106

7

T. Mulya Lubis.1981. Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1980, Jakarta: PT. Djaya Pirusa. Hal. 55

. Salah satu kasus mengenai tahanan politik yang sering terdengar adalah tahanan politik G30S/PKI, tahanan politik G30S/PKI berisi orang-orang yang terlibat langsung dengan Partai Komunis Indonesia ataupun gerakan-gerakan yang dibawahi oleh PKI. Tahanan politik G30S/PKI ini disebar ke beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Pulau Buru, namun tidak menutup kemungkinan penyebarannya terjadi di kota-kota lain.


(22)

Dasar pijakan hukum penempatan para tapol ke Pulau Buru adalah Keputusan Presiden Soeharto No 16 tahun 1969 tentang pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang mempunyai tugas memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI serta kegiatan ekstrim dan subversi lainnya serta mengamankan kewibawaan pemerintah demi kelangsungan hidup Pancasila dan UUD 45.

Prinsip yang digariskan pemerintah untuk pelaksanaan tindakan tersebut, ialah tidak menggangu keamanan nasional, sesuai dengan perundangan yang berlaku, dan tahanan harus memproduksi sendiri kebutuhannya, sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan lima tahun. Pemilihan Pulau Buru didasarkan karena; Pulau Buru terletak jauh dari suhu politik ibu kota yang sangat peka; untuk meringankan beban keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita. Di Buru diharapkan para tahanan akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung

kepada anggaran keuangan Negara dengan bertitik tolak pada gagasan transmigrasi8

Selanjutnya, walaupun para tahanan politik ini telah bebas mereka masih diberikan pembatasan-pembatasan. Contoh yang paling jelas adalah pemberian tanda ET (Eks Tahanan) pada setiap kartu penduduk, dengan tanda ini para tahanan politik dibatasi gerak-geriknya, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, tidak bisa dipilih, .

8

Dikutip dari Jurnal Dr. Zeffry Alkatiri berjudul “Tujuh Buku Memoar Tentang Pulau Buru” yang merupakan salah satu isi dari Makalah Konferensi Sejarah Nasional.


(23)

dan tidak bisa bebas bepergian. Lebih ironisnya, keluarga bekas tahanan politik ini

turut pula menanggung kemalangan berupa tidak bisa sekolah dan bekerja9

Dari banyaknya tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru, terdapat lima tahanan yang membuat memoar tentang kehidupan mereka selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Lima orang dengan latar belakang dan profesi yang berbeda menuliskan memoar mereka dengan kecenderungan bahasa dan arah masing-masing. Kelima orang tersebut antara lain

.

10

• Pramoedya Ananta Toer (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I&II)

:

• Hersri Setiawan (Memoar Pulau Buru & Diburu di Pulau Buru)

• Adrianus Gumelar Demokrasno (Dari Kalong sampai Pulau Buru)

• Kresno Saroso (Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol

Orde Baru)

• Suyatno Prayitno (Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan

Prajurit Tjakra)

Dari kelima tahanan yang pernah menuliskan memoar kehidupannya di Pulau Buru, hanya buku dari Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada masa Orde Baru sedangkan tahanan lain bukunya di terbitkan setelah masa Orde Baru. Buku Pramoedya ini sebenarnya diterbitkan pertama kali di Belanda pada tahun 1988 dan

1989 dengan judul Lied Van Een Stome, lalu pada tahun 1995 dan 1997 buku ini di

9

T. Mulya Lubis, Opcit,Hal. 56

10


(24)

terbitkan di Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, walau pada akhirnya buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ditarik peredarannya setelah 10 hari terbit karena mendapat cekalan dari pemerintah Indonesia pada saat itu.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dikatakan oleh Pramoedya merupakan sebuah catatan-catatan yang dibuatnya selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru atau lebih lengkapnya,

“Buku itu adalah catatan-catatan pribadi sebetulnya, yang semula ditulis untuk anak-anak saya sendiri bukan untuk orang lain. Untuk memberikan kesaksian bahwa anak-anak saya mempunyai seorang ayah yaitu saya. Catatan-catatan itu saya buat untuk menghadapi kemungkinan saya mati disana baik mati secara alami maupun dibunuh. Catatan itu saya tulis saat pengawasan terhadap saya lengang atau tidak ada, begitu selesai ditulis langsung disembunyikan karena jika kedapatan oleh mereka dapat menjadi jaksa dan hakim bagi saya. Jadi catatan itu tidak pernah saya baca kembali, setelah selesai ditulis disembunyikan dan jika sudah banyak diseludupkan keluar dari Pulau Buru.”11

Penulisan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu didasarkan pada pertimbangan apa dan bagaimana pun pengalaman pribadi, apalagi dituliskan, ia menjadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Menurut

Pramoedya, pengalaman merupakan hak pribadi yang tidak dapat dirampas12

Pramoedya Ananta Toer sendiri merupakan seorang sastrawan Indonesia yang mempunyai pengaruh cukup signifikan pada kesusasteraan di Indonesia. Begitu nama Pramoedya Ananta Toer disebut, segera sejumlah kontroversi bermunculan. Bahkan,

.

11

Dikutip dari wawancara Pramoedya Ananta Toer oleh radio Democracy Now pada tahun 1999

12


(25)

nyaris dari segala segi -karya maupun sosok- Pramoedya selalu memancing

kontroversi dan perdebatan, dukungan dan penolakan13

Pramoedya sebelumya pernah ditangkap dan dipenjara oleh Belanda selama tiga tahun serta dipenjara selama satu tahun pada masa Orde Lama. Di masa Orde Baru ia dipenjara selama 14 tahun, Pramoedya ditangkap pada 13 Oktober 1965 karena dianggap berafiliasi dengan Lekra dan PKI. Penahanan Pramoedya ke Pulau Buru dilakukan tanpa pengadilan terlebih dahulu, ia menghabiskan 10 tahun menjadi tahanan politik di Pulau Buru setelah menghabiskan 3 tahun di Nusakambangan. Kemudian ia bebas dari Pulau Buru pada tahun 1979, dan dipindahkan ke Magelang selama sebulan. Setelah bebas dari penjara, Pramoedya menjadi tahanan rumah di Jakarta hingga tahun 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga tahun 1999

.

14

Semasa hidunya, Pramoedya telah melahirkan lebih kurang 50 buku dan sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Dari semua bukunya terdapat beberapa

yang sangat terkenal di dalam maupun luar Indonesia, antara lain; Tetratologi Pulau

Buru, Gadis Pantai, Arus Balik, Bukan Pasar Malam, Panggil Aku Kartini Saja serta Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pramoedya juga salah satu sastrawan Indonesia yang mempunyai cukup banyak penghargaan dan apresiasi dari luar negri, salah satunya

.

13

Jamal D. Rahman. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal. 295

14


(26)

adalah dicalonkannya Pramoedya untuk mendapatkan Nobel Sastra namun gagal karena permasalahan pada hasil terjemahan buku-bukunya yang tidak maksimal.

Ciri khas dari kepujanggan Pramoedya adalah bahwa dia dengan caranya sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa Indonesia terutama generasi mudanya, mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru. Untuk itu dia tetap menggunakan media bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah sastra, meski kisah yang dia bawa sarat muatan politik. Dan, lahan serta bahan ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara

sendiri15

.

Buku Nyani Sunyi Seorang Bisu merupakan sebuah simbol penolakan terhadap ketidakadilan, bagaimana Pram tetap menulis semua keluh kesah serta curhatan hatinya walaupun disaat ia diasingkan, dibungkam bahkan kehilangan hak-haknya sebagai manusia. Pramoedya walaupun dalam setiap bukunya banyak menghubungkan dengan bagian-bagian sejarah, ia pada dasarnya tidaklah sedang menyajikan sejarah Indonesia dalam bungkus sastra. Ia menyajikan sejarah sebagai bagian untuk dikonfrontasikan dengan situasi nyata Indonesia saat ini. Begitupun pada buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya mengungkapkan sejarah yang terlupakan, terpinggirkan, dan tidak dipelakukan dengan adil.

15


(27)

1.2.Perumusan Masalah

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya Ananta Toer yang dibuat semasa tahanan di Pulau Buru. Buku ini ingin memperlihatkan adanya peristiwa sejarah kemanusiaan yang perlu untuk diingat dan dimasukan dalam bagian dari perjalanan sejarah Indonesia, yang selama ini ada kesan untuk ditutup-tutupi dan dianggap tidak pernah ada. Buku memoar ini pun sungguh baik untuk dijadikan rujukan sejarah dalam mengungkapkan penahan tapol akibat peristiwa berdarah tahun 1965. Penerbitan buku memoar ini tentunya juga berusaha untuk mengungkapkan tentang adanya penahanan secara tidak prosedural terhadap hampir puluhan ribu orang Indonesia dalam periode rezim militer otoritarian Orde Baru di Indonesia.

Maka yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu:

1. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu? 1.3. Pembatasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebatas pada analisis pelanggaran HAM di Pulau Buru berdasarkan Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku


(28)

2. Untuk menganalisis pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru. 1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap

perkembangan dan pendalaman studi politik terutama tentang Hak Asasi Manusia.

2. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tidak hanya

bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingkatan pendidikan.

3. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih

diprioritaskan kepada kenyataan tentang pelanggaran HAM di Indonesia. 1.6. Kerangka Teori

1.6.1 Teori Tentang Hak Asasi Manusia

Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai pengertian dasar bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap

insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia16

16

Leah Levin. 1987. Hak-Hak Asasi Manusia: Tanya Jawab. Jakarta: Perc. Hastama. Hal. 3

. Manusia mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, manusia mempunyai budi sendiri dan karsa yang merdeka sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat


(29)

dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama.

HAM melekat pada kodrat manusia sendiri, artinya hak-hak yang paling fundamental tidak lain adalah aspek-aspek dari kodrat manusia ataupun kemanusiaan sendiri. Kemanusiaan setiap manusia bernilai sangat tinggi karena merupakan suatu ide yang luhur dari sang pencipta, yang menghendaki supaya setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga ia dapat terus berkembang secara leluasa. Ini adalah hak paling fundamental yang tidak boleh diganggu-gugat. Dimana ada manusia, disitu ada HAM, dan harus dihargai dan

dijunjung tinggi, tanpa kecuali17

Sebetulnya, HAM melekat pada kodrat manusia dan dimiliki oleh setiap insan sebagai manusia, di mana pun dan kapan pun ia berada. Namun, kenyataannya belum begitu lama bahwa sebagian umat manusia menyadari adanya HAM itu. Latar belakang historis HAM tercatat melewati banyak fase dalam waktu yang cukup lama, dimulai dari sebuah Piagam Agung “Magna Charta” (1215) yang berisi mengenai batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolute dan totaliter

.

17

Gunawan Setiardja. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 75


(30)

dibuat oleh bangsawa Inggris untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah

dicampakkan oleh kekuasaan raja John yang berkuasa saat itu18

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).

.

Sampai kepada pembuatan Undang-undang Internasional HAM yang terdiri dari:

2. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966/1976)

3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966/1976).

4. Optional Protocol dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (mengenai pengaduan perorangan) (1966/1976).

5. Optional Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang

bertujuan menghapus hukuman mati (1966/1976)19

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh negara, karenanya hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut hak-hak negatif. Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Sedangkan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila

.

18

Ibid. Hal.77

19

Prof. Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 220


(31)

negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus, karena itu

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sering disebut sebagai hak-hak positif20

Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam kovenan ini adalah di pundak negara. Pada pasal 2 Hak Sipil dan Politik ditegaskan negara diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan ini, yang diperuntungkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yuridikasinya. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yuridikasi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu

.

21

Hak Atas Hidup, Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat. Hak atas hidup ini, tidak

.

Tanggung jawab negara yang dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dalam kovenan ini adalah bersifat mutlak dan harus dijalankan, singkatnya hak-hak

yang terdapat dalam kovenan ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya

dengan tanggung jawab negara dalam konteks Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap,

dan karena itu bersifat non-justiciable.

Adapun cakupan Kovenan Hak Sipil dan Politik antara lain:

20

Ifdhal Kasim. 2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Elsam. Hal. Xvii

21


(32)

perlu diragukan, paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Tidak dapat diganggu-gugatnya hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling dasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi

manusia22

• Penyiksaan berarti suatu tindakan yang menimbulkan rasa sangat

menyakitkan atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang dibebankan oleh atau atas dorongan pejabat public pada seseorang dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau pengakuan darinya atau orang ketiga, dan menghukum atas tindakan yang telah ia lakukan atau dicurigai telah ia lakukan, atau mengintimidasi, atau orang-orang lain.

.

Hak Atas Keutuhan Jasmani, Pasal 7 Kovenan melarang (a) penyiksaan; (b) perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau menurunkan martabat; (c) percobaan medis atau ilimiah tanpa persetujuan yang bebas. Larangan penyiksaan dapat dipandang sebagai bagian integral dari hukum kebiasan internasional, bahkan memperoleh ciri tersendiri dalam norma hukum internasional umun yamg tak dapat diubah. Definisi dari penyiksaan dalam cakupan ini adalah:

22


(33)

• Penyiksaan merupakan bentuk yang lebih buruk dan disengaja dari pelakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau yang merendahkan

martabat23

Perlakuan yang merendahkan martabat telah dicermati bahwa kata “perlakuan” seharusnya tidak diterapkan dalam situasi yang merendahkan martabat, yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan sosial secara umum. Dengan demikian “perlakuan” pasti merupakan tindakan khusus yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk menghina korban.

Hak Atas Kebebasan dan Keamanan, Pasal 9 Kovenan mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Istilah “hak atas kebebasan” mengimplikasikan kebabasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang. Pasal 9 Konvenan menguraikan kebebasan ini sebagai, “tidak ada orang yang bisa dicabut kebebasannya kecuali atas dasar dan sesuai dengan prosedur yang ditegakkan oleh hukum”. Pada umumnya ada keharusan landasan penahanan dan prosedur yang ditempuh harus “ditegakkan oleh hukum”, dengan menekankan adanya kebutuhan untuk menyebarluaskan aturan yang melandasinya dan bertanggung jawab atas siapa yang ditangkap, mengapa, dan bagaimana.

.

Pasal 9(2) menyatakan, “seseorang yang ditangkap akan diberitahu pada saat pengakapan, dan akan diberitahu secara tepat tuduhan-tuduhan terhadapnya”. Hak ini

23


(34)

diterapkan dalam proses pidana yang sah dan merupakan hak yang dimiliki oleh mereka yang dituduh. Hak ini juga dirancang untuk menghindari terjadinya kesewenangan-wenangan dalam proses pidana. Tujuannya adalah untuk menghindarkan orang menemukan kebebasan diri mereka dicabut tanpa mengetahui

alasannya24

Pasal 9(3) menyatakan, “seseorang yang ditangkap atau ditahan karena tuduhan kriminal akan dibawa secepat mungkin ke hadapan hukum atau petugas yang diberi kuasa oleh hukum untuk menggunakan kekuasaan pengadilan dan diberi hak untuk mengadakan pemeriksaan pengadilan dalam waktu yang layak atau untuk

dibebaskan”. Ada dua bagian dari hak ini. Pertama, kebebasan eksekutif di

pemerintahan untuk bertindak dibatasi. Penahanan administratif secara temporer dapat diizinkan tetapi yang ditahan harus dibawa secepat mungkin ke hadapan

pengadilan. Kedua, sekali orang yang ditahan dituduh maka penahanannya dapat

diperpanjang (atas perintah hakim) meskipun ia harus dibawa ke pengadilan dalam waktu yang layak

.

25

Pasal 9(4) menyatakan, “seseorang yang dicabut kebebasannya melalui penangkapan atau penahanan berhak mendapatkan prosedur di depam pengadilan agar pengadilan dapat memutuskan keabsahan penahanannya tanpa penundaan dan memerintahkan pelepasannya jika penahanan itu tidak sah”. Tujuan dari ketentuan ini

.

24

Ibid. Hal. 167

25


(35)

adalah untuk menjamin para tahanan berhak mendapakan peninjauan kembali atas keabsahan penangkapan mereka. Dengan demikian, hak itu dibatasi oleh hal-hal di mana keputusan untuk mencabut kebebasan seseorang dilakukan oleh badan

administratif26

Pasal 9(5) menyatakan, “seseorang yang menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak mendapatkan kompensasi”. Pernyataan ini merupakan pengawasan yang sangat penting terhadap kekuasaan eksekutif secara luas untuk melindungi seseorang dalam penahanan. Jika eksekutif berbuat salah atau menyalahgunakan kekuasaanya, maka negara harus member korban ganti rugi atas pencabutan kebebasan yang salah

.

27

Mencermati pada kovenan ini terdapat pembedaan antara kebebasan berpendapat dan kebebasan berkespresi. Kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa paksaan adalah sesuatu yang absolute; sementara kebebasan untuk berekspresi

.

Hak Atas Kebebasan Berpendapat, Pasal 19 Kovenan menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan serta pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memiliki batas-batas. Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan tonggak dari hak asasi manusia, dan memiliki posisi penting bagi beberapa jenis hak dan kebebasan lainnya.

26

Ibid. Hal.173

27


(36)

dimungkinkan untuk tunduk pada batasan-batasan tertentu. Kebebasan bereskpresi mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan meneruskan informasi dan ide-ide. Hak-hak dan kebebasan ini ada tanpa terikat batasan wilayah. Hak atas kebebasan berpendapat dan bereskpresi dapat diterapkan tidak hanya dalam satu

negara saja, tetapi berlaku secara internasioal28

Paragraf 3 dari pasal 19 kovenan mengandung kalusal pembatasan, bahwa penerapan dalam pasal ini juga disertai tugas dan tanggung jawab khusus. Tugas dan tanggung jawab khusus ini dapat menjadi subjek dari aturan dan batasan tertentu, tetapi aturan dan batasan ini hanya sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang, dan dianggap perlu

.

29

Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa, Pasal 8 Kovenan menjelakan tidak ada seorang pun boleh diharuskan melakukan kerja paksa atau wajib kerja. Namun istilah kerja paksa atau wajib kerja tidak mencakup: Segala macam pekerjaan atau pelayanan, yang biasanya ditujukan kepada seorang tahanan sebagai akibat dari peraturan hukum pengadilan; Segala tugas kemiliteran; Segala tugas yang dituntut dalam keadaan darurat atau malapetaka yang mengancam kehidupan masyarakat; Segala pekerjaan atau pelayanan yang merupaka bagian dari kewajiban penduduk yang lazim

.

30 .

28

Ibid. Hal. 255

29

Ibid. Hal. 259

30


(37)

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Dimana penelitian ini hanya akan memahami serta melakukan interpretasi terhadap interaksi social terhadap para aktor dalam sebuah konteks sosial, terporal dan historis tertentu. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas dan keistimewaan dari

pengaruh sosial yang disajikan dalam bentuk uraian naratif31

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dimana dalam penelitian ini akan menggambarkan serta memaparkan tentang kondisi dan fenomena-fenomena social yang terjadi. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif

.

1.7.1 Jenis Penelitian

32

Dalam sebuah penelitian, data merupakan acuan yang akan dikaji dan dianalisis sebagai objek yang ingin dikupas ataupun diolah sehingga menjadi sebuah informasi yang lebih bersifat akademis. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan

.

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

31

Saryono dan Mekar Dwi Anggraeni. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika, hal.1

32


(38)

data pada yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sekunder atau data-data kepustakaan. Bahan-bahan yang diambil untuk penelitian ini berasal dari buku, tulisan-tulisan maupun artikel dari jurnal, makalah, internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif tanpa menggunakan alat bantu rumus statistik. Penelitian ini akan bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dan kejadian. Yang kemudian akan mengolah data yang didapat dari lokasi penelitian yang akan dianalisis, kemudian akan di eksplorasi lebih dalam dan akan memunculkan sebuah kesimpulan yang akan menjelaskan dan menjawab masalah yang diteliti.

1.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian

BAB II :BIBLOGRAFI BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU

Pada bab ini akan diuraikan tentang buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu serta kondisi keadaan Hak Asasi Manusia pada masa Orde Baru


(39)

BAB III :ANALISI PELANGGARAN HAM DI PULAU BURU BERDASARKAN BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU Pada bab ini akan berisi analisis terhadap buku nyanyi sunyi seorang bisu yang dianalisis dan diteliti dengan menggunakan teori HAM. Sehingga diperoleh uraian tentang tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru.

BAB IV :PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis


(40)

BAB II

Biblografi Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

2.1. Spesifikasi dan Latar Belakang Buku

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah salah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya semasa tahanan di Buru, bukan novel. Buku ini merupakan kumpulan catatan berisi surat-surat pribadi kepada anak-anaknya yang tak pernah terkirim, juga esai-esai, terutama sangat mencekam adalah renunganya yang tajam merekam apa yang dialami sebagai pribadi, sebagai suami dan ayah, ebagai pengarang dan sebagai tahanan politik rejim militerisme yang merampas segala darinya; hasil cipta jiwa dan pemikirnnya berikut harta bendanya – naskah, buku, dokumentasi, rumah, sampai kepada kebebasan kewarganegaraannya dan sebagai manusia.

Walaupun naskah sudah siap cetak sejak 1987, tidak ada percetakan yang berani mencetaknya. Pencetakan dikerjakan tergesa-gesa dalam lima hari sebelum ultah penulis, berkat bantuan yang berani para rekan wartawan muda dari Asosiasi Jurnalis Independen. Mutu cetakan memang tidak memadai karena dilakukan sembuni-sembunyi dan terburu-buru, memakai kertas Koran dengan penjlidan yang rapuh. Kualitas tampilannya rendah, tetapi kualitas dalam isi sangat tinggi – makna terpentingnya: Penulis dan Penerbit dengan menempuh resio tinggi telah menembus arogansi kekuasaan.


(41)

Keunikan lain yang perlu dicatat: bila “Bumi Manusia” mencapai rekor usia terpanjang sampai enam bulan peredaran, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu saat diterbitkan semasa jendral Soeharto memerintah dengan mesin kekuasannya, hanya mampu beredar dalam sepuluh hari.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I: Catatan dari Pulau Buru. Jakarta. Lentera.

Berisi 319 halaman. Pertama kali diterbitkan di Belanda dengan judul Lied van een

Stomme, 1988 dan 1989 (dua jilid). Disertai dengan lampiran foto dan lampiran nama-nama tapol yang meninggal di Pulau Buru, peta kondisi, dan situasi Pulau Buru.

Naskah buku ini disunting dari kertas–kertas berserakan berisi catatan berharga yang ditulis tidak teratur dari waktu ke waktu hanya bila keadaan memungkinkan selama tahun 1969-1979. Diakui oleh Pramoedya bahwa konsep dasar penulisan buku ini berasal dari permintaan kapten IM Sudiraka, Komandan Unit III yang meminta kepada Pramoedya agar menuliskan suka duka hidup di Pulau Buru.

Diakui olehnya bahwa izin menulis baru diberikan pada tahun 1973. Pemberian izin dan dorongan untuk menulis juga diberikan pada tahun 1976, ketika Dan Inherab, Kolonel Sutikno meminta kepada Pramoedya agar menuliskan pengalaman pribadinya selama di Mako. Bahkan sempat diminta untuk membuat komik dan diminta membuatkan riwayat hidup beberapa orang perwira. Hal itu


(42)

disadari oleh Pramoedya bahwa walau bagaimanapun pada suatu saat dia akan menuliskan dan menyusun memoir pribadinya, apalagi sebagai pengarang Indonesia. Sejak itu Pramoedya mulai menuliskan memoarnya. Akan tetapi sembilan buku tulis yang telah terisi pernah disita dan tak pernah dikembalikan lagi oleh Wadan Tefaat, Letkol Soetarto.

Buku ini ditulis terburu-buru tanpa diperiksa kembali, kecuali di beberapa

bagian. Naskah buku ini mulai ditulis tahun 1973, ketika Pramoedya mendapat izin untuk boleh menulis. Kesempatan menulisnya tergantung pada intuisi keamanan sebagai tapol yang menyebabkan tulisannya tidak terencana dan tidak terpelihara formatnya. Sebagian catatan itu sempat dirampas oleh petugas dan sebagian dapat diselamatkan oleh beberapa teman penulis. Sebagian catatan ditulis dengan bentuk surat yang ditujukan kepada anaknya di Jakarta.

Nyanyian Sunyi Seorang Bisu II. Jakarta. Lentera Pustaka Alternatif. (295 halaman). Buku Pramoedya kedua ini sebelumnya diterbitkan di negeri Belanda

dengan judul Lied van een Stomme, 1989, penerbit Unie Boek, dalam dua jilid

sekaligus. Buku ini diterbitkan sebagai kenang-kenangan Pramoedya berusia 72 tahun. Buku ini lebih banyak menceritakan tentang kehidupan Pramoedya dan keluarganya. Sedangkan tentang pengasingannya di Pulau Buru hanya sedikit. Sama seperti buku yang pertama, dalam buku keduanya ini juga terdapat beberapa lampiran berupa beberapa foto dan epilog dari penyuntingnya.


(43)

2.2. Keadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia Masa Orde Baru

Pada awal Orde Baru ada harapan besar bahwa akan dimulai suatu proses demokratisasi. Banyak kaum cendikiawan menggelar berbagai seminar untuk

mendiskusikan masa depan Indonesia dan hak asasi. Akan tetapi euphoria demokrasi

tidak berlangsung lama, karena sesudah beberapa tahun golongan militer berangsur-angsur mengambil alih pimpinan.

Pada awalnya diupayakan untuk menambah jumlah hak asasi yang termuat dalam UUD melalui suatu panitia Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) yang kemudian menyusun “Rancangan Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara” untuk diperbincangkan dalam sidang MPRS V tahun 1968. Panitia diketuai oleh Jenderal Nasution dan sebagian bahan acuan ditentukan antara lain hasil Konstituante yang telah selesai merumuskan hak asasi secara terperinci, tetapi dibubarkan pada tahun 1959.

Rancangan Piagam MPRS, disamping mencakup hak politik dan ekonomi, juga merinci kewajiban warga negara terhadap negara. Akan tetapi, karena masa sidang yang telah ditetapkan sebelumya sudah berakhir, maka Rancangan Piagam tidak jadi dibicarakan dalam sidang pleno. Dengan demikian, perumusan dan pengaturan hak asasi seperti yang ditentukan pada 1945 tidak mengalami perubahan.

Ada usaha untuk menyusun suatu eksekutif yang kuat, dan menyelenggarakan stabilitas di seluruh masyarakat. Untuk menunjang usaha itu pemerintah Orde Baru


(44)

mencoba menggali kembali beberapa unsur khazanah kebudayaan nenek moyang yang cenderung membentuk kepemimpinan yang kuat dan sentralistik. Pemikiran-pemikiran yang pernah timbul di masa penyusunan UUD 1945 berkembang kembali, dan konsep-konsep seperti negara integralis, negara kekeluargaan, gotong royong, musyawarah mufakat, anti-individualisme, kewajiban yang tidak dapat terlepas dari hak, kepentingan masyarakat yang lebih penting dari kepentingan individu, mulai masuk agenda politik.

Akan tetapi, dalam usaha mewujudkan stabilitas politik untuk menunjang ekonomi, pemenuhan berbagai hak politik, antara lain kebebasan mengutarakan pendapat, banyak diabaikan dan dilanggar. Pengekangan terhadap pers mulai lagi, antara lain dengan ditentukannya bahwa setiap penerbitan harus mempunyai Surat Ijin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Terjadi pembredelan

terhadap Sinar Harapan (1984) dan majalah Tempo, Detik, dan Editor (1994). Fungsi

utama Pers sebagai penyalur informasi mengalami kemunduran, sehingga yang lebih menonjol adalah fungsinya yang lain sebagi sarana hiburan. Dengan demikian fungsinya sebagai alat pendidikan formal mengalami kepincangan, terutama dalam bidang pendidikan politik karena terbatasnya kesempatan untuk membahas masalah-masalah kenegaraan serta gejolak sosial dalam forum terbuka. Konflik di Aceh dihadapkan dengan kekerasan militer melalui Daerah Operasi Militer (DOM).


(45)

Banyak kasus kekerasan terjadi, antara lain Peristiwa Tanjung Priuk dan Peristiwa Trisakti.

Sebenarnya pada waktu itu ekonomi Indonesia sedikit banyak telah berhasil ditingkatkan melalui serentetan Rencana Lima Tahun. Hasil lima Pelita menunjukkan bahwa hak masyarakat atas pangan (hak yang paling mendasar) sebagian besar telah dilaksanakan melalui swasembada beras pada tahun 1983, padahal sepuluh tahun sebelumnya Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia. Miriam Budiarjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menunjukkan Pendapatan per kapita (GNP) yang pada 1967 hanya $50, pada tahun 90-an telah naik menjadi hamper $600. Jumlah orang miskin yang pada 1970 berjumlah 70 juta atau 60%, pada 1990 turun menjadi 72 juta atau 15,1%.

Sekalipun demikian, kesenjangan sosial masih sangat mencolok dan pemerataan sangat perlu ditingkatkan. Ini disebabkan karena perubahan yang diakibatkan oleh upaya pembangunan ternyata telah membentuk struktur yag dominant-dependence. Pengaturan yang dilakukan telah memberi kesempatan kepada lingkar-lingkar tertentu yang berada paling dekat dengan kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi di masing-masing tingkat untuk memperoleh fasilitas-fasilitas mengembangkan diri, dan di pihak lain telah mendesak kelompok-kelompok pinggir semakin lemah.


(46)

Hukum di masa Orde Baru juga tidak begitu berpihak terhadap hak asasi manusia. Hukum ini sebagian masih merupakan warisan dari pemerintah kolonial Belanda, pemerintah Orde Lama, dan juga produk dari Orde Baru sendiri. Antara lain

di sini bisa disebut Haatzaai Artikelen, Undang-undang Anti-Subversi, sejumlah

peraturan perburuhan, Undang-undang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Partai Politik dan Keormasan, Undang-undang Pemilihan Umum dan Undang-undang Pemerintahan Desa. Kadar ketidakberpihakan terhadap hak asasi manusia pada hukum-hukum di atas tentu tidak sama, tetapi satu kecenderungan umum yang melekat pada hukum-hukum di atas adalah sifatnya yang sarat dengan pembatasan dan pengontrolan.

Haatzaai Artikelen membatasi kebebasan menyebarluaskan informasi dan opini; Undang-undang Anti Subversi membuat pengertian “subversi” begitu elastis sehingga banyak hal yang bisa dikategorikan sebagai subversi; Peraturan perburuhan banyak yang membenarkan penindasan majikan terhadap buruh; Undang-undang Partai Politik dan Keormasan membatasi hak hidup organisasi politik dengan segala macam cara atas nama penyederhanaan struktur politik; Undang-undang pemilihan umum malah tidak mengikutsertakan masyarakat pemilih ke kotak suara dengan bebas; dan Undang-undang Pemerintahan Desa telah merusak rembung desa yang demokratis dan mengantinya dengan aitan birokrasi yang hirarkris. Kesemua itu


(47)

adalah pembatasan hak asasi manusia secara sah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum di Indonesia.

Di bidang pendidikan, Indonesia telah mencapai kemajuan yang berarti melalui program wajib belajar untuk anak usia 7-12 tahun, rasio murid sekolah dasar yang berusia 7-12 terhadap penduduk kelompok umur 7-12 tahun naik dari 41,1% pada 1968/1969 menjadi sekitar 93,5% pada 1993/1994. Ini berarti bahwa akses pendidikan sebagian besar telah berhasil diselenggarakan sekalipun mutu pendidikan masih sangat perlu ditingkatkan. Jumlah penduduk buta huruf dari umur 10 tahun ke atas telah turun dari 39,1% pada awal Pelita I menjadi 15,8% pada 1990. Angka kematian bayi (per 1000 kelahiran hidup) yang pada 1967 berjumlah 145 ditekan sampai 58 pada akhir Pelita V. Angka harapan hidup naik dari usia rata-rata 46,5 tahun pada 1971 menjadi 62,7 tahun 1993. Akan tetapi kemajuan ini telah dicapai dengan harga mahal, antara lain berkembangnya korupsi pada skala besar, dan represi terhadap kalangan yang berani beroposisi dengan pemerintah.

Menjelang akhir masa Presiden Soeharto ada seruan kuat dari kalangan

masyarakat, terutama civil society, untuk lebih meningkatkan pelaksanaan hak politik,

dan agar stabilitas, yang memang diperlukan untuk pembangunan yang berkesinambungan, tidak menghambat proses demokratisasi.

Salah satu masalah ia tidak adanya persamaan persepsi antara penguasa dan masyarakat mengenai konsep “kepentingan umum” dan “keamanan nasional”. Tidak


(48)

jelas kapan kepentingan individu berakhir dan kepentingan umum mulai. Misalnya, jika sejumlah penduduk digusur untuk mendirikan fasilitas umum seperti rumah sakit, masyarakat tidak akan mempersoalkannya. Akan tetapi, jika dipaksa menyerahkan sawahnya untuk didirikan tempat rekreasi, tafsiran mengenai “kepentingan umum” dapat bertolak belakang dan lebih melanggar hak asasi. Penafsiran mengenai konsep “kepentingan umum”, “keamanan umum”, dan “stabilitas nasional” seolah-olah merupakan monopoli dari pihak yang memiliki kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi.

Bagaimanapun juga, tidak dapat disangkal bahwa citra Indonesia di luar negri sangat rendah, baik mengenai pelanggaran hak asasi, maupun mengenai korupsi yang merajalela, sekalipun penguasa selalu menolak pandangan bahwa hak asasi di Indonesia menjadi masalah besar. Akumulasi tindakan represif akhirnya menjatuhkan Presiden Soeharto.

Menjelang berakhirnya rezim Soeharto beberapa indikasi masa transisi mulai tampak. Berkat suksesnya pembangunan ekonomi, ditambah keberhasilan di bidang pendidikan, telah timbul suatu kelas menengah terdidik terutama di daerah perkotaan, dengan sejumlah besar professional seperi insinyur, manajer, dan pakar di berbagai

bidaang. Selain dari itu telah berkembang kelompok mahasiswa dan civil society yang

vokal. Dengan demikian tuntutan untuk melaksanakan hak asasi politik secara serius, meningatkan usaha pemberantasan kemiskinan, dan mengatasi kesenjangan sosial,


(49)

menguat. Juga tuntutan akan berkurangnya dominasi eksekutif, peningkatan transparasi, akuntabilitas, dan demokratisasi sukar dibendung. Berkat tuntutan-tuntutan itu pada akhir tahun 1993 dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan dua puluh lima anggota tokoh masyarakat yang dianggap tinggi kredibilitasnya, yang diharapkan dapat meningkatkan penanganan hak asasi. 2.3. Latar Belakang G30SPKI dan Implikasinya

PKI merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekrit presiden. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin". Beliau juga membentuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong dan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, dengan penunjukan anggota-anggota yang menjamin dukungan terhadapnya. Dengan kemampuannya beliau memobilisasi sokongan luas masyarakat dalam kegiatan


(50)

politik menurut "ajaran-ajarannya" sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. Beliau menjadikan "penyelesaian revolusi menuju sosialisme Indonesia" sebagai tujuan politik. Dan sebagai sarana ialah: "demokrasi dan ekonomi terpimpin" (MANIPOL/USDEK) dan NASAKOM (yakni, kerja sama antara aliran politik Nasionalis, Agama dan Komunis di bawah pimpinannya sebagai Pemimpin Besar Revolusi). Juga hukum dan peradilan mesti tunduk kepada revolusi. Karenanya, azas pemisahan kekuasaan negara (Trias Politica) dihapus.

Sikap anti-imperialisnya-pun makin dinyatakan. Salah satu tahap "penyelesaian revolusi" Soekarno adalah pembebasan Irian-Barat (bagian bekas Nederlands-Indie yang emoh diserahkan oleh Belanda). Upaya ini mendapat prioritas agar tanah-air Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 menjadi utuh. Hampir satu setengah milyar dollar AS (pinjaman dari Uni Sovyet) dipergunakan untuk untuk pembelian kapal-kapal perang dan terbang, termasuk penambahan persenjataan dan personalia angkatan darat dan angkatan bersenjata pada umumnya, serta latihan,-pasukan relawan. Akhirnya perjuangan "pembebasan" Irian-Barat berhasil tanpa pertempuran besar-besaran. Belanda meninggalkannya dan PBB meyerahkannya kepada Indonesia.

Dalam masa itu, kondisi ekonomi yang diabaikan, makin memburuk. Pelaksanaan "penyelesaian revolusi" nampak terutama dalam bentuk verbal: indoktrinasi ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi, MANIPOL USDEK dan


(51)

NASAKOM yang diwajibkan untuk diajarkan di lembaga-lembaga pengajaran, politik dan pemerintahan. Dalam siaran radio, koran-koran dan penerbitan lain, orang berlomba-lomba menunjukkan lafal ajaran-ajaran itu. Akan tetapi kesatuan pikiran dalam masyarakat hanyalah di permukaan dan semu. Pertentangan kepentingan antara berbagai kekuatan politik malah meruncing. Pembebasan Irian-Barat dapat dikatakan mendapat dukungan seluruh masyarakat. Tetapi terhadap perubahan-perubahan dalam masyarakat Indonesia sendiri untuk menuju pembagian hak milik dan hasil usaha secara lebih merata, sebagai pelaksanaan keadilan sosial tidak tercapai karena pertentangan di antara berbagai golongan dan partai politik. Kaum tidak berpunya, kaum buruh, proletar dan marhaen, mendambakannya. Tetapi orang yang bermodal, orang yang memiliki tanah luas menolaknya. Kondisi ini diperuncing oleh kondisi ekonomi yang memburuk. Ini nampak dalam penyusunan UUPA (Pokok Agraria) dan UUBH (Bagi Hasil) oleh DPR-GR (1959-1960), serta lebih-lebih dalam praktek perubahan pemilikan dan bagi hasil dibidang pertanian menurut undang-undang tersebut.

Setelah di UUPA diundangkan, pelaksanaannya justru macet. Pegawai pemerintah yang bertugas di bidang ini tampaknya kurang berhasil. Sejak semula PKI

melancarkan kampanye pelaksanaan land- reform. Setelah pada tahun 1963 ada

paceklik, maka ‘aksi sepihak' dilaksanakan yakni memimpin serta mendampingi tindakan-tindakan tani kecil dan buruh tani untuk memaksakan pelaksanaan


(52)

UUPA/UUBH, dengan menduduki tanah pertanian dan menahan sebagian hasil serta menuntut penggantian pegawai pemerintah yang gagal. Aksi-aksi sepihak yang dijalankan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Bali dan sebagai akibat menimbulkan konflik-konflik sosial.

Meskipun di banyak tempat pemerintah daerah mencoba menyejukkan keadaan, umumnya mereka memihak pemilik-pemilik tanah. Pertentangan keras, bahkan dengan penggunaan senjata tajam, terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara PKI dengan organisasi NU. Sedangkan di Bali, PKI bertentangan keras dengan PNI. Keadaan menjadi gawat sehingga sewaktu Presiden Soekarno berada di luar negeri, pejabat presiden Leimena mengeluarkan instruksi penghentian aksi sepihak pada pertengahan tahun 1964. Bung Karno dalam pidato kenegaraannya tahun itu memberikan dukungan tidak langsung kepada aksi sepihak dengan menunjukkan simpati pada buruh tani dan mengecam kelambanan pelaksanaan UUPA/UUBH. Kemudian, bulan desember 1964, dilakukan musyawarah di Istana Presiden di Bogor yang dihadiri perwakilan dari semua partai. Aksi sepihak itupun dibicarakan. Hasil musyawarah, antara lain, menyerukan agar masalah-masalah nasional seperti pelaksanaan UUPA dilakukan melalui musyawarah dan mufakat. Diserukan juga bahwa pejabat dan petani diwajibkan untuk musyawarah tanpa menggunakan ancaman kekerasan dan senjata. Kedua belah pihak dalam pertentangan tentang tanah


(53)

menafsirkan deklarasi Bogor sebagai kemenangan dan aksi sepihak lambat laun dihentikan. Akan tetapi di bawah permukaan saling benci dan dendam membara.

Terbentuknya negara Malaysia juga menjadi salah satu faktor terjadinya pemberontakan oleh PKI. Insiden perobekan foto soekarno dan pemijakan lambang negara Garuda Pancasila oleh Tuanku Abdul Rahman – Perdana Mentri Malaysia saat itu, membuat amarah Soekarno memuncak. Soekarno yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak lain Kepala Staf TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.

Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Di pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang


(54)

Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional PKI dengan Partai Komunis sedunia, khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini, namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB.

Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu "giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. ... Untukku, Malaysia itu musuh nomor satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang". Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan berkhianat


(55)

terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat dari para jenderal ini.

Sepanjang Demokrasi Terpimpin, beberapa kali dibentuk persekutuan/organisasi untuk membendung pertumbuhan pesat pengaruh PKI dalam kehidupan politik-sosial, antara lain; Liga Demokrasi atas prakarsa PSI, Masyumi (1960), Manifesto Kebudayaan (Manikebu) oleh sekelompok sastrawan yang membela nilai-nilai humanisme dalam sastra dan kebudayaan umumnya untuk melawan pemihakan revolusioner LEKRA (komunis) dan LKN (nasionalis) (1963) dan Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) oleh Adam Malik dan wartawan lain yang menjabarkan pikiran politik Soekarno tetapi melawan pengaruh politik komunis (1964). Tetapi setiap kali usaha-usaha di atas kandas karena Presiden Soekarno mem-veto-nya. Sering ditandaskan oleh Bung Karno, bahwa dalam sosialisme Indonesia tidak ada tempat untuk takut terhadap komunis. Hanya Angkatan Darat yang anti-komunis bertahan secara kuat. Karena itu bagi banyak orang yang menolak otoriterisme Demokrasi Terpimpin dan pengaruh komunisme, Angkatan Darat menjadi harapan, namun mereka pada saat yang sama melupakan peranan Angkatan Darat dalam pembentukan dan pengisian sistim Demokrasi Terpimpin, khususnya kemandirian Angkatan Darat yang tumbuh subur di dalamnya dan bahaya besar militerisme.


(56)

Keadaan ekonomi Indonesia makin merosot dengan inflasi yang menjulang. Sedangkan suhu ketegangan politik justru naik dalam tahun 1965. Januari 1965 Indonesia menyatakan keluar dari PBB. Bulan berikutnya, 21 surat kabar anti komunis dilarang terbit. Angkatan Darat langsung menerbitkan dua surat kabar sendiri. Semangat anti-Amerika dipanaskan oleh berita-berita tentang peningkatan pemboman dahsyat Vietnam oleh Amerika dan perusahaan A.S. diduduki oleh serikat– serikat buruh kiri. Angkatan Darat mengambil alih pengelolaan perusahaan asing tersebut. Bulan April 1965, Menteri Luar-Negeri RRT berkunjung ke Jakarta dan mendukung saran Aidit untuk membentuk angkatan bersenjata kelima di samping AD, AU, AL dan Kepolisian. Angkatan ini akan diisi oleh relawan yang dipersenjatai untuk menyerang Malaysia. Usulan ini didukung juga oleh AU, Partindo dan PNI. Bung Karno menyatakan bahwa PKI adalah contoh teladan kekuatan revolusioner. Dalam perayaan meriah H.U.T.ke-45 PKI, bulan Mei 1965, beliau memuji-muji PKI. PKI yang dalam pemilihan umum tahun 1955 menjadi partai besar ke-empat, memang paling menonjol dukungannya pada bung Karno, sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

PKI semakin banyak anggotanya, juga karena banyak pengikut Bung Karno menggabungkan diri dengan PKI. Mereka menyeberang bukan karena tertarik pada ideologi komunis tapi mengingat keberpihakan PKI pada rakyat kecil (lebih nyata daripada PNI). Tahun 1965, Bung Karno jatuh sakit sehingga timbul berita bahwa ia


(57)

akan meninggal. Bahkan dokter dokter dari RRT datang untuk mengobatinya sampai sembuh. Pada pidato 17 Agustus 1965, beliau mengumumkan terbentuknya Poros Anti-Imperialis: Jakarta-PnomPenh-Hanoi-Beijing, suatu keterikatan Republik Indonesia dengan 4 negara komunis, dan menyerukan agar rakyat dipersenjatai. Keadaan ekonomi semakin parah pada kwartal terakhir tahun ‘65, harga beras 9 kali harga pada permulaan tahun dan harga dolar dipasar gelap menjulang dari Rp 5100 menjadi Rp 50.000. Desas-desus kemungkinan Kudeta, baik oleh Angkatan Darat maupun oleh PKI dibisik-bisikkan secara luas.Tanggal 27 September Jenderal Ahmad Yani menyatakan Angkatan Darat menolak pembentukan Angkatan Kelima. Ketegangan mencekam masyarakat, khususnya di ibu kota.

Pada saat-saat yang genting sekitar bulan September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, pasukan Angkatan Darat, antara lain; gabungan resimen Cakrabirawa dan divisi Diponegoro, Angkatan Udara dan sepasukan relawan dari ormas komunis pemuda rakyat yang dilatih oleh Angkatan Udara dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia dini hari 1oktober 1965 menculik dan membunuh enam jenderal Angkatan Darat di Jakarta, serta menduduki beberapa gedung strategis di lapangan Merdeka dan mengepung Istana presiden. Pada hari itu juga melalui radio Jakarta disiarkan lima pengumuman, berturut-turut tentang operasi militer melidungi


(58)

presiden yang dipimpin overste Untung, komandan batalyon dari Cakrabirawa untuk melawan Dewan Jenderal yang berniat merebut kekuasaan; tentang keselamatan presiden Soekarno yang tetap memegang pimpinan negara, tetapi juga tentang pembentukan Dewan Revolusi dengan ketua Let.Kol. Untung (tanpa menyebut Presiden Soekarno); pembubaran kabinet; dan penurunan pangkat semua perwira tinggi dan menengah menjadi Let. Kol.

Soekarno yang pada malam hari 30 September bermalam di luar Istana, mengingat keadaan genting, dini hari 1 Oktober, dinasehatkan pergi ke lapangan terbang Halim agar segera dapat menyelamatkan diri dengan pesawat terbang. Di sana jenderal Soepardjo salah seorang pimpinan Gerakan 30 September menghadap presiden dan melapor. Bung Karno terkejut sewaktu mendengar hal pembunuhan enam jenderal, di antaranya panglima Angkatan Darat jenderal Yani, serta memerintahkan agar pertumpahan darah selanjutnya dihentikan. Kemudian ia berunding dengan pengawalnya (jenderal Sabur dan Soenarjo), siapa yang akan mengganti untuk sementara waktu jenderal Yani. Pilihannya jatuh pada jenderal Pranoto, meskipun pada saat itu Laksmana Udara Oemar Dhani yang juga hadir pada perundingan menyatakan bahwa jenderal Soeharto-lah perwira AD paling senior. Dalam pada itu, jenderal Soeharto yang oleh Gerakan 30 september dipandang sebagai kawan, bahkan menurut overste Latief telah diberi tahu tentang rencana operasi penculikan para jenderal sebelumnya, kemudian justru memimpin pasukan


(59)

untuk mengepung dan menumpas Gerakan ini. Setelah mengetahui akan diserang, sore hari tanggal 1 Oktober, pasukan-pasukan Gerakan 30 september mulai buyar. Separuh dari pasukan militer yang menduduki Lapangan Merdeka menyeberang ke- KOSTRAD dan separuh lagi mundur ke-Halim. Dalam tembak-menembak pagi hari 2 oktober, yang terjadi di-Lubang Buaya, di-sekitar markas komando, lapangan terbang Halim, seorang tewas dan dua orang terluka sebelum pasukan-pasukan pendukung gerakan 30 september tersebut menyeberang atau melarikan diri.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan angkatan bersenjata.

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Di Jawa


(60)

Tengah, kelompok pemuda Islam dan nasionalis dilatih beberapa hari, dipersenjatai dan di bawah pimpinan dan kerja sama dengan RPKAD melakukan pembersihan di desa-desa. Semua anggota organisasi komunis dikumpulkan dan ditangkapi. Setelah mengalami interogasi singkat yang dipandang aktivis dibunuh dan pendukung pasif dimasukkan pelbagai tempat tahanan, seperti sekolah, tangsi militer, kantor-kantor pemerintahan atau lainnya dan penjara. Di dalam tahanan, mereka yang ditangkap masih belum aman, karena berdasarkan daftar keanggotaan yang disita, atau berdasar keterangan informan, ditetapkan siapa yang akan dibunuh. Biasanya tengah malam mereka ini dibawa dengan truk militer keluar kota. Ditempat pembunuhan kadang-kadang sudah ada lubang kuburan masal yang digali oleh penduduk desa. Ada kalanya yang akan dibunuh disuruh menggali lubang besar sendiri. Kalau militer yang membunuh biasanya digunakan senjata api. Tetapi kalau diserahkan pada rakyat biasanya digunakan arit atau senjata tajam lain. Banyak orang dipenggal kepalanya sambil jongkok/berlutut dipinggir lobang kuburannya.

Juga terjadi, informan mendatangkan pasukan pembersihan pada satu desa yang dikatakannya seratus prosen komunis. Maka seluruh penduduk desa itu, laki dan perempuan tanpa kecuali dibantai, kecuali anak yang paling kecil. Di dalam satu desa penduduk bukan komunis ditunjuk untuk membunuh tetangganya yang komunis. Desa bukan komunis ditunjuk membasmi desa komunis. Bahkan juga di-kota-kota terjadi pembantaian. Mahasiswa bukan komunis dilawankan dengan mahasiswa


(61)

komunis, dosen bukan komunis dengan dosen komunis, sehingga terdapat banyak lowongan di kalangan mahasiswa dan dosen, setelah gelombang pembunuhan reda. Seorang pengelola hotel di Yogya menceritakan bahwa pada suatu hari, militer mendatangi hotelnya dan menembak mati 13 pegawainya.

Pembunuhan di Jawa Timur baru terjadi setelah komandan-komandan pasukan di sana mengetahui bahwa pembantaian di Jawa Tengah disetujui terang-terangan oleh Pimpinan Angkatan Darat di Jakarta. Pada akhir Oktober ’65, aksi pembersihan besarbesaran, di kota-kota dilaksanakan, biasanya di bawah pengawasan Angkatan Darat. Tetapi di daerah pedesaan, para kiyai dan ulama, kebanyakan anggota NU, dianjurkan oleh militer untuk mengambil tindakan sendiri. Maka mereka memobilisasi santri pesantren untuk memburu dan membunuh anggota dan simpatisan PKI. Pemuda Ansor berkeliling dari desa ke desa, berdakwah agar umat muslim menbasmi kaum atheis. Pertengahan November ‘65 pembantaian terjadi diseluruh pelosok Jawa-Timur. Di beberapa desa juga anak-anak menjadi korban pembantaian. Di lain tempat hanya aktivis partai yang dibunuh. Sering kali militer menonton saja, dan menyediakan truk untuk angkutan koban, tetapi tak jarang mereka berperan lebih aktif. Seorang jenderal Angkatan Darat yang waktu itu bertugas di sana, member perhitungan sbb: kira-kira ada 3000 desa di Jawa Timur. Setiap desa ada anggota PKInya dan dari setiap desa PKI kehilangan 10 sampai 15 orang anggota


(62)

karena dibersihkan oleh pemuda Ansor. Jadi antara 30 dan 45 ribu yang terbunuh. Tetapi mungkin juga sampai 100 ribu.

Sering kali korban tidak dikubur, tetapi dilempar dikali. Banyaknya mayat yang terapung di kali Berantas, menyebabkan orang dipinggir muaranya emoh makan ikan dari kali itu. Pembunuhan massal di Jawa-Timur dikaitkan oleh pelakunya dengan dendam mereka karena tindakan komunis sendiri dimasa lalu. Akan tetapi fakta-nya adalah bahwa pembantaian orang komunis pada akhir bulan Oktober-November 1965 terjadi karena diberi contoh, dianjurkan dan diizinkan oleh Angkata Darat. Pembunuhan massal ini terjadi bukan sebagai pembelaan diri dalam pertempuran dalam perang saudara karena pemberontakan PKI . Tetapi lebih sebagai perbuatan algojo yang dimulai oleh Angkatan Darat, lalu ditugaskan pada rakyat pengikut NU dan diizinkan Angkatan Darat, terhadap korban yang tak memberikan perlawanan.

Biarpun di Bali, terjadi pertentangan dengan kekerasan antara PNI dan PKI yang meruncing sejak aksi sepihak komunis tahun 1964, pada bulan Oktober 1965 belum terjadi pergolakan. Baru setelah penguasa militer di Bali berubah sikap dan menjadi anti PKI, serta kampanye dilancarkan tentang komunis, antara lain bahwa GERWANI a-susila dan sadis, dan lebih-lebih setelah RPKAD dan pasukan dari Brawijaya tiba di Bali, maka operasi penghancuran PKI, c.q. pembunuhan orang komunis secara massal dilaksanakan juga sehebat-hebatnya. Sebagaimana di Jawa


(63)

agama Islam disalahgunakan, di Bali, agama Hindupun digunakan untuk menanam kebencian pada dan, membenarkan bahkan mengharuskan pembunuhan orang komunis. Peranan Angkatan Darat dalam pembunuhan massal di Bali sama seperti di Jawa: memberi contoh, mendorong, memberi bantuan dan membiarkan. Hasilnya diperkirakan 80.000 orang terbunuh dalam periode Desember s/d awal tahun 1966.

Banyak Tahanan Politik PKI yang juga diasingkan keluar pulau jawa dan dijauhkan dari Ibukota, mereka di tempatkan di Pulau Buru sebuah pulau yang terletak di Provinsi Maluku. Namun, data dari Lembaga Bantuan Hukum menunjukkan bahwa Tahanan Politik PKI ini juga diasingkan ke Kalimantan. Hesri Setiawan dalam bukunya Diburu di Pulau Buru menyatakan bahwa setidaknya ada 12.000 Tahanan Politik PKI yang terdiri dari Tahanan Politik PKI golongan B yang merupakan hasil seleksi dari golongan A atau yang terlibat langsung dan dikenai hukuman mati. Tahanan Politik golongan B adalah mereka yang dianggap terlibat tidak langsung dan dianggap hanya sebagai kader). Sedangkan Tahanan Politik golongan C dianggap Tahanan Politik PKI yang ikut-ikutan.

Menurut Pramoedya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu bahwa Pulau Buru tidak layak dihuni dan dieksploitasi menjadi areal persawahan dan perladangan sebab kultur tanahnya bersifat padang rumput dan tanahnya masih muda dan kurang mengandung mineral yang dibutuhkan bagi tanaman, seperti padi. Pekerjaan yang dilakukannya tidak hanya membuka lahan persawahan dan peladangan, akan tetapi


(1)

Terdapat tujuh buku memoar tentang kehidupan Tahanan Politik di Pulau Buru yang ditulis oleh lima orang yang berbeda. Alasan memilih buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu karena dari ketujuh buku tersebut, buku ini adalah yang pertama kali terbit, tepatnya tahun 1988 dan 1989 di Belanda. Alasan lain karena buku ini berisi catatan yang ditulis langsung oleh Pramoedya dan juga langsung diseludupkan oleh beberapa wartawan sehingga isi dari buku ini lebih faktual.

Pelanggaran HAM merupakan setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang. Pelanggaran Ham bisa dilakukan oleh perseorangan dan juga negara. Dalam kasus di Pulau Buru aktor utama yang melanggar Ham adalah Negara.

Pelanggaran Ham yang terjadi di Pulau buru antara lain; hak atas kebebasan dan keamanan, hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan dari perbudakan dan kerja paksa, hak atas keutuhan jasmani dan terkahir hak atas hidup. Hak atas kebebasan dan keamanan dalam lingkup ini melihat penangkapan yang tidak prosedural atas Tahanan Politik karena setiap penangkapan harus disertai dengan pengadilan dan setiap orang yang ditangkap harus tahu alasan dan sebab kenapa mereka ditangkap. Melihat apa yag terjadi pada Tahanan Politik, tidak ada satupun yang dari mereka tahu pasti alasan kenapa mereka dibuang ke Pulau Buru.


(2)

Satu-satunya dasar pijakan hukum penempatan para tapol ke Pulau Buru adalah Keputusan Presiden Soeharto No 16 tahun 1969 tentang pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang mempunyai tugas memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI serta kegiatan ekstrim dan subversi lainnya serta mengamankan kewibawaan pemerintah demi kelangsungan hidup Pancasila dan UUD 45.

Hak atas kebebasan berpendapat menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan serta pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memiliki batas-batas. Melihat dari yang terjadi dengan para Tahanan Politik di Pulau Buru, keterbatasan informasi tentang apapun merupakan hal yang lumraj terjadi pada setiap Tahanan Politik. Bahkan, surat-surat yang dikirim oleh keluarga mereka harus dibaca dahulu oleh petugas lalu sampai ke tangan mereka. Balasan dari surat-surat mereka pun tidak pernah sampai ke keluarga mereka. Semua informasi untuk maupun tentang para Tahanan Politik ditutup.

Hak atas kebebasan dari perbudakan dan kerja paksa mengatur bahwa tidak ada satupun manusia yang berhak untuk melakukan kerja paksa dalam bentuk apapun. Pengecualian terhadap kerja paksa yang merupakan bentuk hukuman dari pengadilan yang sah. Kerja paksa yang dilakukan para Tahanan Politik di Pulau Buru


(3)

yang merupakan bentuk hukuman yang mereka jalankan bersifat tidak sah dan melanggar hak asasi karena para Tahanan Politik di Pulau Buru tidak pernah diadili oleh pengadilan.

Hak atas keutuhan jasmani merupakan hak manusia untuk terbebas dari segala penyiksaan dan hukuman yang kejam, tidak manusiawi serta menurunkan martabat manusia. Dilihat dari apa yang terjadi di Pulau Buru, penyiksaan merupakan hal yang lumrah terjadi. Penyiksaan dilakukan atas dasar hukuman, bahkan beberapa penyiksaan yang terjadi tidak diketahui penyebabnya. Petugas seperti mempunyai wewenang secara gambling untuk menyiksa para Tahanan Politik.

Hak atas hidup merupakan hak yang bersifat melekat dan paling penting dari semua hak asasi manusia. Tidak dapat diganggu-gugatnya hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling dasar dari peradaban modern. Hak atas hidup juga harus dijamin negara. Selama masa tahananan di Pulau Buru setidaknya 310 orang tewas dengan penyebab apapun. Ini berarti hak atas hidup menjadi salah satu hak yang dilanggar.

Pembebasan Tahanan Politik terbagi ke dalam dua golonga, pertama tahun 1977 dan kedua pada tahun 1979. Pembebasan yang diterima oleh Tahanan Politik hanya merupakan pembebasan semu karena walaupun bebas para Tahanan Politik ini maih dikekang kehidupan bermasyarakatnya. Para bekas Tahanan Politik ini masih


(4)

dibatasi oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah yang masih mengekang hak-hak sipil setiap para Tahanan Politik.

Saran

1. Agar tidak ada lagi terjadinya pelanggaran Hak asasi manusia secara massif oleh Negara, kejadian mengenai Tahanan Politik ini bisa menjadi cerminan serta contoh.

2. Sejarah mengenai G30S PKI dan penumpasannya seharusnya dibuka selebar-lebarnya agar masyarakat bisa mengetahui apa yang sebenarnya telah tejadi. Agar tidak muncul persepsi berbeda pada masyarkat atas sejarah Indonesia.


(5)

Daftar Pustaka Buku:

Ananta Toer, Pramoedya. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Hasta Mitra. Ananta Toer, Pramoedya. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II. Jakarta: Hasta Mitra. Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

D. Rahman, Jamal. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Kasim, Ifdhal. 2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Elsam Levin, Leah. 1987. Hak-Hak Asasi Manusia: Tanya Jawab. Jakarta: Perc. Hastama. Marzuki, Suparman. 2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Narkubo, Cholid. 1997. Metode Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Saryono. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Setiardja, Gunawan. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

T. Mulya Lubis.1981. Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1980, Jakarta: PT. Djaya Pirusa.

Jurnal:

Jurnal Dr. Zeffry Alkatiri berjudul “Tujuh Buku Memoar Tentang Pulau Buru” yang merupakan salah satu isi dari Makalah Konferensi Sejarah Nasional.

Moedikdo, Paul. Peristiwa 1965: Gerakan 30 September, Penghancuran Parrai Komunis Indonesia Dan Dampaknya.


(6)

Surbakti, Ramlan. Demokrasi dan Hak-Hak Asasi Manusia. Universitas Airlangga Press. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Tahun XII. No 2. April 1999. Hal.1

Suwirta, Andi. Mengkritisi Peristiwa G30S 1965: Dominasi Wacana Sejarah Orde Baru Dalam Sorotan. HISTORIA: Jurnal Pendidikan Sejarah. No 1. 2000.

Internet:

http://nasional.tempo.co/read/news/2013/09/30/173517733/aidit-tak-mampu-mem-pki-kan-lekra diakses tanggal 29 September 2015 Pukul 15.00

Sumber Lainnya: