Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer: Analisis Sosiosastra

(1)

CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER:

ANALISIS SOSIOSASTRA

SKRIPSI

OLEH

NOVA MANDASARI

060701028

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditentukan.

Medan, Mei 2010

Nova Mandasari 060701028


(3)

KATA PENGANTAR

Skripsi ini berjudul “Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer: Analisis Sosiosastra”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana bidang ilmu Sastra Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini dibuat berdasarkan data yang dikumpulkan dari novel Cerita Calon Arang Karya Pramoedya Ananta Toer.

Dari awal sampai akhir penyelesaian skripsi ini, penulis tentu mengalami kesulitan-kesulitan seperti kurangnya bahan-bahan, kemampuan serta pengalaman. Untuk itu penulis mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. Peraturen Sukapiring, S.U. sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. sebagai pembimbing II, yang telah menyediakan waktu dan pikiran serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini juga penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada: 1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum, dan ibu Dra. Mascahaya, M.Hum sebagai ketua dan sekretaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Unversitas Sumatera Utara.

3. Ibu Dra. Ida Basaria sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis.

4. Segenap dosen di lingkungan Jurusan Sastra Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas dorongan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

5. Keluarga penulis, yaitu ayah W.Sihaloho dan ibu A. Siallagan tercinta serta kakak Manahan, Indra, Julfan, dan Vivi yang tidak pernah lupa memberi dorongan dan memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk keberhasilan penulis.

6. Sahabat-sahabat penulis: Eva, Ade, Ira, Novry, Marlina atas kebaikan dan kebersamaan dengan penulis.


(4)

7. Teman-teman Sasindo berbagai stambuk khususnya stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah banyak membantu, memberikan semangat, dan dorongan kepada penulis selama penulisan skripsi ini.

8. Rekan-rekan di Sogo Departement atas bantuan dan dorongan kepada penulis.

Akhir kata, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. Skripsi sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penikmat sastra.

Medan, Juni 2010

Nova Mandasari 060701028


(5)

CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER: ANALISIS

SOSIOSASTRA

ABSTRAK

Karya ilmiah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran intrinsik dan nilai sosial yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik yang menghasilkan sinopsis cerita. Setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan menggunakan teori struktural dan sosiosastra. Dari analisis tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Unsur intrinsik, yaitu; tema novel ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan para pengikutnya, tokoh yang dianalisis dalam karya ilmiah ini terdiri atas tokoh utama (antagonis dan protagonis) dan tokoh tambahan (bawahan), juga tokoh sederhana (datar) dan tokoh bulat (kompleks). Cerita ini disusun dalam alur yang bergerak teratur (maju) dengan tahap-tahap: exposition, Inciting Force, Rising Action, crisis, climax, Falling Action, dan Conclusion, sedangkan latar dalam cerita ini berupa latar fisik yang mengacu pada latar tempat, yaitu lokasi berlangsungnya peristiwa dalam cerita ini dan latar sosial, yaitu penggambaran keadaan masyarakat Daha yang hidup makmur dan sejahtera namun berubah buruk karena kejahatan Calon Arang, 2) Nilai-nilai sosial, yang berupa: cinta, kejahatan, dan kepahlawanan. Dari analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur dalam cerita ini (intrinsik) merupakan struktur yang terjalin dan berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang utuh dan tercipta makna karya sastra secara keseluruhan dan nilai-nilai sosial dalam cerita ini dapat menggambarkan keadaaan masyarakat dalam novel ini.


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………..i

PERNYATAAN……….ii

KATA PENGANTAR………..…...……….iii

ABSTRAK……….v

DAFTAR ISI……….vi

BAB I PENDAHULUAN………....1

1.1 Latar Belakang ………...………...……….1

1.2 Rumusan Masalah……...……….……...6

1.3 Batasan Masalah………..………...7

1.4 Tujuan dan Manfaat………...7

1.4.1 Tujuan Penelitian………..………..7

1.4.2 Manfaat Penelitian………...8

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA…………..…..9

2.1 Konsep………...…9

2.2 Landasan Teori………..…...….…11

2.3 Tinjauan Pustaka………...……15

BAB III METODE PENELITIAN……….……...18

3.1 Metode Pengumpulan Data………...………18

3.2 Metode Analisis Data………...……….26

BAB IV ANALISIS STRUKTUR TERHADAP NOVEL CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER……….…….27

4.1 Tema………..………27

4.2 Tokoh………....………31

4.3 Alur………...……….45


(7)

BAB V ANALISIS SOSIOSASTRA TERHADAP NOVEL CERITA CALON

ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER………...……62

5.1 Cinta……….………...62

5.1.1 Storge: Cinta Ayah Kepada Putrinya dan Cinta Ibu Kepada Putrinya...63

5.1.2 Philia: Cinta Pemimpin Kepada Rakyatnya………...………...……..68

5.1.3 Agape: Cinta Empu Baradah Kepada Penduduk Daha………...70

5.2 Kejahatan………..………...………..…72

5.2.1 Pembunuhan………...…….74

5.2.2 Intimidasi………...……….……….76

5.3 Kepahlawanan……….………..……79

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN……….………83

6.1 Simpulan………..….………83

6.2 Saran………..……...….84


(8)

CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER: ANALISIS

SOSIOSASTRA

ABSTRAK

Karya ilmiah ini bertujuan untuk memperoleh gambaran intrinsik dan nilai sosial yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dikumpulkan data dengan menggunakan metode membaca heuristik dan hermeneutik yang menghasilkan sinopsis cerita. Setelah data terkumpul lalu dianalisis dengan menggunakan teori struktural dan sosiosastra. Dari analisis tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut: 1) Unsur intrinsik, yaitu; tema novel ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan para pengikutnya, tokoh yang dianalisis dalam karya ilmiah ini terdiri atas tokoh utama (antagonis dan protagonis) dan tokoh tambahan (bawahan), juga tokoh sederhana (datar) dan tokoh bulat (kompleks). Cerita ini disusun dalam alur yang bergerak teratur (maju) dengan tahap-tahap: exposition, Inciting Force, Rising Action, crisis, climax, Falling Action, dan Conclusion, sedangkan latar dalam cerita ini berupa latar fisik yang mengacu pada latar tempat, yaitu lokasi berlangsungnya peristiwa dalam cerita ini dan latar sosial, yaitu penggambaran keadaan masyarakat Daha yang hidup makmur dan sejahtera namun berubah buruk karena kejahatan Calon Arang, 2) Nilai-nilai sosial, yang berupa: cinta, kejahatan, dan kepahlawanan. Dari analisis tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur dalam cerita ini (intrinsik) merupakan struktur yang terjalin dan berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang utuh dan tercipta makna karya sastra secara keseluruhan dan nilai-nilai sosial dalam cerita ini dapat menggambarkan keadaaan masyarakat dalam novel ini.


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan hasil ciptaan pengarang melalui proses kreatif dengan bahasa sebagai mediumnya. Sebagaimana dikatakan Luxemburg, dkk (1984: 5) “sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi”. Selanjutnya Luxemburg, dkk mengatakan:

sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sebuah hasil tertentu dalam sebuah lingkungan kebudayaan. Sastra adalah teks-teks yang tidak melulu disusun atau dipakai untuk suatu tujuan komunikatif dan hanya berlangsung untuk sementara waktu saja.( Luxemburg dkk, 1984: 9 ).

Jadi, dapat dikatakan bahwa karya sastra adalah wujud dari perkembangan peradaban manusia sesuai dengan lingkungannya karena pada dasarnya karya sastra itu merupakan unsur kebudayaan manusia itu sendiri yang mampu menggambarkan kenyataan.

Karya sastra Indonesia mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Pada sastra lama, sastra dianggap masyarakat sebagai milik bersama, bersifat sakral, serta tidak boleh bertentangan dengan adat yang berlaku. Oleh karena sastra dianggap milik siapa saja, dengan sendirinya setiap individu dapat mengerti apa yang digambarkan oleh suatu karya sastra, sedangkan karya sastra pada saat ini memperlihatkan perkembangan tema yang menunjukkan perubahan tema yang kolektifisme ke arah individualisme. Novel pada masa sekarang ini dapat dikatakan telah menembus batas dan sekat-sekat yang membatasi ruang ide pengarang. Pengarang masa kini dapat lebih bebas menuangkan segala ekspresi dalam menciptakan karyanya. Sehingga tema-tema yang muncul saat ini tidak lagi monoton.


(10)

Tidak heran jika sekarang banyak ditemukan karya sastra yang kompleks atau bahkan absurd.

Karya sastra merupakan gambaran masyarakat pada zamannya, dan perkembangan peradaban manusia tidak lepas dari karya sastra karena memuat hal-hal yang berhubungan erat dengan situasi kehidupan manusia yang berlaku dalam masyarakat kapan dan di mana karya sastra itu diciptakan. Karya sastra diciptakan melalui proses kreatif yang dimiliki oleh seorang pengarang yang melihat, mengamati dan menangkap segala peristiwa dan gejolak yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya, lalu mengolahnya sedemikian rupa kemudian mengembangkannya dengan imajinasi yang dalam sehingga karya sastra dapat dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra yang diciptakan pengarang itu dapat mencerminkan gambaran realitas kehidupan sosial yang dapat berupa lingkungan, adat, kebudayaan, dan sebagainya.

Pengarang merupakan indikator penting dalam menyebarluaskan keberagaman unsur-unsur kebudayaan, sekaligus perkembangan tradisi masyarakat. Melalui kemampuan yang dimiliki pengarang dapat menggali kekayaan masyarakat, memasukkannya ke dalam karya sastra, yang kemudian dinikmati oleh pembaca. Pengarang adalah anggota masyarakat itu sendiri dan terikat pada status sosial tertentu pula dan secara tidak langsung terlibat dalam karyanya. Sehingga dalam sastra tergambar cerminan langsung dari berbagai struktur sosial, hubungan kekeluargaan, dan lain-lain.

Realitas atau kenyataan sosial yang diciptakan pengarang dalam karyanya tidak harus sama dengan yang ada dalam masyarakat karena karya sastra merupakan dunia baru yang diolah pengarang dengan imajinasi yang dalam dan dengan sudut pandang tertentu. Ratna (2004: 60) mengatakan “dalam sastra, sebagai kualitas imajinatif, setiap manusia


(11)

dapat membayangkan dirinya menjadi orang kaya, raja, bahkan dewa”. Hal ini menunjukkan bahwa pembaca karya sastra akan menempatkan dirinya pada posisi tertentu yang diinginkannya sesuai dengan pengalaman dan harapannya. Pembaca seolah-olah mengalami kenyataan pada saat menikmati suatu karya sastra. Selanjutnya Ratna (2004: 338) mengatakan “karya sastra diberikan kemungkinan yang sangat luas untuk mengakses emosi, obsesi, dan berbagai kecenderungan yang tidak mungkin tercapai dalam kehidupan sehari-hari”. Pernyataan ini memperkuat bahwa selama membaca dan menikmati suatu karya sastra, pembaca secara bebas menjadi dewa, raja, perampok, dan berbagai posisi lain.

Dari uraian di atas terlihat hubungan karya sastra dengan masyarakat. Hal ini menyangkut masalah karya sastra, pengarang, dan masyarakat pembacanya. Maksudnya, isi dari suatu karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam sastra itu sendiri berkaitan dengan masalah sosial, kemudian yang menyangkut pengarang sebagai anggota masyarakat yang dapat dipelajari sebagai makhluk sosial, dan dampak sosial suatu karya sastra terhadap masyarakat tertentu. Hal ini juga berarti meletakkan sastra dalam konteks sosiobudayanya. Kerangka hubungan karya sastra, pengarang, dan masyarakat merupakan pengkajian sosiosastra. Ratna ( 2004: 60) menyatakan:

Dasar filosofis pendekatan sosiologis adalah adanya hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.


(12)

Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa sastra menggambarkan suatu kenyataan sosial, dan penelitian ini akan menitikberatkan permasalahan pada klasifikasi bahwa karya sastra itu sendiri sebagai objek kajian dan penelitian.

Objek kajian penelitian ini adalah novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Cerita ini sebenarnya berbentuk dongeng. Mungkin dongeng sudah terlupakan di masa yang sarat dengan hiruk-pikuk informasi seperti saat ini. Beberapa usaha yang dilakukan untuk mempertahankan dongeng dalam ingatan masyarakat adalah dengan menerbitkan dongeng itu ke dalam media tulis seperti Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini. Tulisan lama naskah ini ada dua versi, yaitu yang berasal dari Jawa dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R.Ng Purbatjaraka, kemudian dilagukan oleh Raden Wiradat dan diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1931. Yang lain Cerita Calon Arang ini berasal dari Bali (Toer, 2003: 6).

Buku ini adalah satu dari banyak karya yang pernah dihasilkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya adalah pengarang Indonesia yang sangat fenomenal. Hampir separuh hidupnya ia lewatkan dalam penjara, yaitu 3 tahun dalam penjara kolonial , 1 tahun di orde lama, dan 14 tahun di Orde Baru tanpa proses pengadilan. Namun, penjara tidak membuatnya berhenti menghasilkan karya, walaupun karya-karyanya berkali-kali dilarang bahkan dibakar. Dalam penjara ia menghasilkan beberapa karya termasuk tetralogi. Ia juga pernah dituduh terlibat dengan Gerakan 30 September (G30s / PKI). Kemudian pada 21 Desember 1979 Pramoedya Ananta Toer mendapat surat pembebasan secara hukum dan tidak terlibat dalam G30s / PKI, tetapi masih dikenakan sebagai tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999.


(13)

Dari tangan Pramoedya Ananta Toer telah lahir lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam lebih dari 42 bahasa asing. Karena kiprahnya dalam bidang sastra dan kebudayaan, Pramoedya dianugrahi berbagai penghargaan Internasional, Di antaranya The PEN Freedom-to-write Award (1988), Ramon Magsaysay Award (1995), Fukuoka Culture Grand Price, Jepang (2000), The Norwegian Authours Union (2003), Pablo Neruda (2004) dari Presiden Republik Chile Senor Ricardo Lagos Escobar, dan ia satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk dalam daftar Kandidat Pemenang Nobel Sastra.

Selain karena penulisnya yang kontroversial, novel ini sangat menarik untuk dikaji, karena dalam Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan tahun 2003 ini sangat kental dengan aspek-aspek sosialnya. Dalam novel ini Pramoedya menceritakan tentang kehidupan masyarakat di suatu daerah, yaitu Dusun Girah. Seluruh penduduk desa itu digeluti perasaan ketakutan yang mencekam. Sebab di dusun itu tinggal seorang janda yang jahat bernama Calon Arang yang memiliki ilmu hitam. Pramoedya menggambarkan sosok Calon Arang ini tidak lebih sebagai pemusnah manusia. Calon Arang adalah pemilik mantra hitam dan penghisap darah manusia. Calon Arang sombong, dan ia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang dirasakan orang lain akibat perbuatannya. Calon Arang senang melihat orang sekitarnya menderita. Yang melawannya segera dihabisinya. Ia terus menyakiti, menganiaya, dan membunuh penduduk dusun itu.

Selain menceritakan kejahatan yang dilakukan Calon Arang dan pengikutnya terhadap seluruh penduduk Dusun Girah, novel ini juga menggambarkan sikap kepahlawanan Empu Baradah dalam menumpaskan kejahatan Calon Arang yang kemudian


(14)

berhasil membebaskan penduduk dari cengkraman perempuan jahat itu. Setelah kejahatan Calon Arang berakhir, maka berakhir pulalah penderitaan seluruh penduduk Dusun Girah.

Kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan para pengikutnya ini sangat menarik apabila dikaitkan dengan aspek sosiologi. Demikian pula penggambaran peristiwa demi peristiwa oleh Pramoedya Ananta Toer yang menegangkan dalam cerita ini sangat menarik perhatian pembaca. Dengan alasan ini maka penulis tertarik untuk menganalisis novel ini dengan melihat aspek-aspek sosiologisnya.

1.2 Rumusan Masalah

Karya sastra merupakan dunia kemungkinan, artinya ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra, maka karya sastra tersebut berhadapan dengan kemungkinan penafsiran. Setiap pembaca berhak memiliki penafsiran yang berbeda terhadap makna karya sastra. Hal ini juga telah memungkinkan beragamnya teori dan pendekatan terhadap karya sastra.

Berdasarkan latar belakang masalah penelitian ini, masalah yang akan dibicarakan dalam penelitian ini adalah :

1) Bagaimanakah unsur intrinsik yang mencakup tema, alur, penokohan, dan latar dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ?

2) Bagaimanakah unsur ekstrinsik yang berupa nilai-nilai sosial seperti cinta, kejahatan, dan kepahlawanan yang terdapat dalan novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ?


(15)

1.3 Batasan Masalah

Mengingat masalah yang ditawarkan dunia sastra sangat luas, yaitu mencakup aspek sosiologi, psikologi, antropologi, politik dan sebagainya maka dalam penelitian ini penulis membatasi ruang lingkup permasalahannya agar pembicaraan tidak terlalu mengambang dan tidak menyimpang dari tujuan yang akan dicapai. Penelitian ini dibatasi pada analisis terhadap unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang terdapat dalam karya sastra. Unsur intrinsik itu meliputi alur (plot), tokoh (karakter), tema, suasana cerita, latar cerita (setting), sudut pandang pencerita (point of view), dan gaya (style) tetapi dalam kesempatan ini penulis hanya membahas unsur intrinsik yaitu tema, alur, penokohan dan latar sedangkan unsur ekstrinsik karya sastra mencakup ilmu atau aspek lain yang berada di luar sastra, yaitu aspek sosiologis, aspek historis, aspek psikologis, aspek filosofis, aspek religi, dan sebagainya

kesempatan ini penulis hanya membahas unsur-unsur sosial seperti cinta, kejahatan, dan kepahlawanan yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.

1.4 Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1) Menganalisis unsur-unsur intrinsik yang mencakup tema, alur, penokohan, dan latar dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.


(16)

2) Menganalisis unsur-unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai sosial seperti cinta, kejahatan, dan kepahlawanan yang terdapat dalan novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan untuk:

1) Mempertahankan dongeng sebagai warisan kebudayaan Indonesia dalam ingatan pembaca yang saat ini mulai terlupakan oleh masyarakat Indonesia. 2) Memberi informasi tentang unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik berupa

nilai-nilai sosial yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.

3) Memperkaya wawasan dan referensi ilmu sastra Indonesia khususnya mengenai sosiologi sastra.


(17)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Agar peneliti dan pembaca mendapatkan gambaran yang jelas mengenai rancangan penelitian, maka pada subbab ini akan dijelaskan rancangan-rancangan tersebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional (2005: 588) dijelaskan:

konsep memiliki arti sebagai berikut: 1. rancangan atau buram surat, 2. ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret, 3. gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang dipergunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain.

Berdasarkan pengertian tersebut, dalam mencari dan memahami definisi atau pengertian yang tepat mengenai suatu istilah yang konkret, sering terdapat perbedaan ide, pendapat dari para ahli atau peneliti mengenai makna dan pengertian istilah tersebut. Seperti yang disebutkan Malo (1985: 47) “konsep-konsep yang dipakai dalam ilmu sosial walaupun kadang-kadang istilahnya sama dengan yang digunakan sehari-hari, namun makna dan pengertiannya dapat berubah”. Sehubungan dengan hal tersebut, maka peneliti akan menjabarkan atau mendefinisikan istilah yang dianggap berbeda maknanya di dalam penelitian ini. Istilah-istilah tersebut merupakan konsep yang berfungsi sebagai pedoman atau pendukung bagi peneliti. Konsep-konsep itu adalah sebagai berikut:

1. Sosiologi

Secara etimologi Ratna (2003: 1) menyatakan:

sosiologi berasal dari akar kata socious (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘teman’, ‘bersatu’, dan logos yang berarti ‘berbicara’, ‘perkataan’, ‘sabda’. Jadi, sosiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang teman yang berkenaan dengan masyarakat atau dapat dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari manusia dan kehidupannya.


(18)

Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti ‘masyarakat’, dan logos berarti ‘ilmu’. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat .

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa sosiologi merupakan ilmu yang erat sekali hubungannya dengan masyarakat, sosiologi mencoba mempelajari segala sesuatu tentang manusia dalam masyarakat, baik dalam hubungan antara individu, individu dengan kelompok, serta antara kelompok dengan kelompok. Jadi dapat dikatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari seluk-beluk masyarakat, baik secara ekonomi, politik, budaya, yang merupakan sebuah proses perubahan sosial yang pada gilirannya akan membentuk interaksi sosial, kelompok sosial, dan lembaga-lembaga sosial.

2. Sastra

Sastra adalah hasil karya manusia (pengarang) berdasarkan kreatifitas dalam mengungkapkan apa yang telah disaksikan, dialami dan direnungkan dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Seperti yang dinyatakan Damono (2002: 1) “sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya, bahasa itu merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam sastra ditampilkan gambaran kehidupan sosial dalam pengungkapan keindahan bahasa yang digunakan pengarang.

3. Sosiologi Sastra

Ratna (2004: 339) mengatakan “sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat”. Jadi, sosiologi merupakan kajian terhadap suatu karya


(19)

sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya baik yang berhubungan dengan penciptanya, gambaran masyarakat dalam karya itu, maupun pembacanya.

4. Karya Sastra

Karya sastra adalah karangan imajinatif yang berhubungan dengan pemberian arti maupun peningkatan nilai kehidupan manusia itu sendiri (www.google.co.id/qwt/cassle.kemudian.com). Jadi, karya sastra merupakan hasil ciptaan pengarang dengan imajinasinya yang berisi tentang nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan manusia sehari-hari.

2.2 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian terhadap karya sastra dibutuhkan landasan teori yang mendasarinya sebagai titik tolak yang merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Seperti yang dikatakan Pradopo (2002: 17) “dalam penelitian sastra perlu dikemukakan apakah dasar-dasar atau kriteria-kriteria yang dipergunakan untuk mempertimbangkan karya sastra”.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori struktural. Suwondo (2001: 54) mengatakan “satu konsep dasar yang menjadi ciri khas struktural adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang salin berjalinan”. Jadi, dapat dikatakan bahwa pendekatan ini berpijak pada karya sastra itu sendiri dan lepas dari segala yang berada di luar karya sastra. Pendekatan struktural ini dapat dijadikan titik tumpu proses penelitian. Seperti yang dikatakan Teeuw (dalam


(20)

Suwondo, 2001: 55) “analisis struktur merupakan tugas prioritas bagi seorang peneliti sastra sebelum ia melangkah pada hal-hal lain”. Selanjutnya Teeuw (2984: 112) menjelaskan “analisis struktural betujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan semendalam mungkin keterkaitan semua anasir dan aspek karya sastra yang menghasilkan makna menyeluruh”. Jadi, pendekatan struktural ini merupakan tahap penting dalam penelitian karya sastra untuk mendapatkan makna karya sastra itu secara keseluruhan.

Yang menjadi ciri dari pendekatan struktural ini adalah adanya anggapan karya sastra itu merupakan struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai satu kesatuan dengan unsur-unsur pembangunnya. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan Pradopo (2002: 21) “karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari bermacam-macam unsur pembentuk struktur”. Jadi, unsur-unsur dalam karya sastra itu merupakan struktur yang membangun karya sastra dan menciptakan makna yang utuh.

Menurut Stanton (dalam Suwondo, 2001: 56) “unsur-unsur pembangun struktur itu terdiri atas tema, fakta cerita, dan sarana sastra. Fakta cerita itu sendiri terdiri atas alur, tokoh, dan latar. Sedangkan sarana sastra biasanya terdiri atas sudut pandang, gaya bahasa dan suasana, simbol-simbol, imaji-imaji, dan cara-cara pemilihan judul”. Analisis unsur-unsur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mencakup tema, alur, penokohan, dan latar yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, karena unsur-unsur ini termasuk fakta cerita yang berperan penting dalam menghasilkan makna yang utuh. Alasan lain adalah karena keterbatasan halaman dalam penelitian ini serta keterbatasan kemampuan peneliti.


(21)

Menurut pendapat di atas, terlihat jelas bahwa analisis unsur-unsur karya sastra melalui pendekatan struktural ini dapat membantu memahami makna karya sastra secara optimal dan menyeluruh.

Namun pendekatan struktural ini masih memiliki kelemahan. Seperti yang dikatakan Teeuw (1984: 115) ada empat kelemahan pendekatan struktural yaitu:

a) analisis struktur karya sastra belum merupakan teori sastra, malahan tidak berdasarkan teori sastra yang tepat dan lengkap, bahkan merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu, b) karya sastra tidak dapat diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra dengan latar belakang sejarah, c) adanya struktur yang objektif pada karya sastra makin disangsikan, peranan pembaca selaku pemberi makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala konsekuensinya untuk analisis struktural, dan d) analisis yang menekankan otonomi karya sastra juga dapat menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya sastra itu dimenaragadingkan dan kehilangan relevansi sosialnya.

Dari keterangan di atas maka dalam penelitian ini digunakan teori lain (tambahan) untuk mendukung makna karya sastra secara lebih terperinci dengan melihat relevansi sosialnya. Teori itu adalah teori sosiologi sastra karena karya sastra tidak lepas dari konteks sosialnya. Seperti yang dikatakan Wallek dan Warren (1984: 109) “sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia”.

Jabrohim (2001: 158) menyatakan “pendekatan sosiologi sastra mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatannya. Pendekatan ini tidak berbeda pengertiannya dengan sosiosastra, pendekatan sosiologis atau pendekatan sosio-kultural terhadap sastra”. Kemudian Ratna (2003: 2) menyatakan “pemahaman terhadap karya sastra dengan


(22)

mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya”. Jadi, melalui teori ini juga akan terlihat gambaran tentang masyarakat di dalam sebuah karya sastra.

Dalam penelitian ini akan dilihat nilai-nilai sosial seperti cinta, kejahatan, dan kepahlawanan yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Nilai-nilai sosial itu dapat dikaji dengan sosiologi sastra karena nilai-nilai sosial ini merupakan gambaran masyarakat yang terdapat dalam cerita itu. Cinta, kejahatan, dan kepahlawanan ini adalah bagian kehidupan masyarakat itu. Sesuai yang dinyatakan Damono (dalam Jabrohim, 2001: 157) “sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah kenyataan sosial. Dalam pengertian ini kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan orang-seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang”.

Dalam Wellek dan Warren (1984: 111) dikatakan “karya sastra menyampaikan kebenaran yang sekaligus juga merupakan kebenaran sejarah dan kebenaran sosial. Karya sastra merupakan dokumen sosial karena merupakan monumen”. Nilai-nilai sosial yang mencakup cinta, kejahatan, dan kepahlawanan tersebut merupakan suatu kebenaran sosial yang terjadi pada masyarakat yang dapat mewakili zaman kapan ia diciptakan dan dapat mencerminkan keadaan masyarakat itu sendiri.

Dari keterangan di atas dapatlah dimengerti bahwa sosiologi sastra merupakan teori yang berdasarkan prinsip bahwa karya sastra merupakan refleksi masyarakat pada zaman karya sastra itu ditulis. Teori ini dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti kelompok sosial, institusi sosial, kesadaran sosial, dan bentuk-bentuk konkrit nilai-nilai sosial.


(23)

2.3 Tinjauan Pustaka

Suatu penelitian haruslah memiliki objek karena objek adalah unsur yang paling utama dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini objeknya adalah novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Sejauh yang peneliti ketahui, novel ini belum pernah diteliti oleh mahasiswa di Departemen Sastra Indonesia, Universitas Sumatera Utara. Namun, di lain tempat cerita ini pernah diteliti oleh I Made Suastika untuk meraih gelar doktoral dalam ilmu sastra yang dipertahankannya dalam ujian promosi di hadapan senat

Universitas Gajah Mada (Setya Amrih Prasaja:

Calon Arang dalam tradisi Bali, bukan karya Pramoedya Ananta Toer.

Dalam penelitian ini, I Made Suastika meneliti teks prosa Calon Arang dengan pendekatan filologi dan intertekstualitas. Pendekatan filologi digunakan karena objek penelitian ini merupakan teks lama yang dalam penanganannya menggunakan kerja fililogi. Adapun cara kerja filologi yang dilakukan adalah pendataan naskah, pendeskripsian naskah, penyuntingan, dan penerjemahan, sedangkan pendekatan intertekstual digunakan dalam mengetahui proses tranformasi yang terjadi, hal ini untuk menjelaskan bahwa teks Calon Arang yang muncul kemudian adalah wujud tranformasi dari bentuk hipogramnya

(Setya Amrih Prasaja:

Lalu pada lain tempat, ada artikel karya Gadis Arivia yang berjudul “Calon Arang Calon Feminis: Kisah Pramoedya dan Kisah Toeti Heraty”. Artikel ini mengulas tentang Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer dan Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki karya Toeti Heraty. Menurut Gadis, Pramoedya masih terkungkung pada misi manusia modern. Sebuah misi yang memperjuangkan ide-ide besar semangat


(24)

unversalisme dan kebenaran tunggal, serta perjuangan kemanusiaan yang baik melawan kekuasaan yang jahat. Ide-ide besar ini menurut Gadis, sudah tentu mementingkan rasio, lalu Pramoedya mengenyampingkan mengenai masalah perempuan. Tidak memikirkan problematik seorang janda. Itu sebabnya Calon Arang bagi Pramoedya menjadi gender netral, tidak ada masalah seksual, dan sangat serasi dengan pemikir-pemikir modern. Sementara tulisan Toeti Heraty menurut Gadis terlihat bebas, liar dengan imajinasi, tanpa kekangan, kata-kata yang terus mengalir, serta tidak bisa dibendung, ia melepaskan tali segala norma yang melilit. Calon Arang memperlihatkan kepada kita bahwa perempuan mampu memberontak dengan membiarkan bahasa-bahasa berlari bebas ke segala arah. Selain itu karya Toeti Heraty mengajak pembaca untuk bergairah karena dengan gairah atau keinginan, dan bukan rasio, perempuan dapat bebas dari struktur-struktur pemikiran yang sudah ditetapkan oleh laki-laki. Karena pada akhirnya perempuan hanya dapat bebas dari penindasan bila ada gairah/keinginan dan bukan rasio.

Dari artikel ini dapat diketahui bahwa tidak ada karya sastra yang netral. Baik Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, maupun Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki karya Toeti Heraty memperlihatkan perspektif yang berbeda. Pramoedya menuliskan cerita ini dengan sudut pandang laki-laki, sementara Toeti menuliskannya dengan sudut pandang perempuan. Perbedaan sudut pandang tersebut mengakibatkan Pramoedya menempatkan Calon Arang seorang janda dari Desa Girah sebagai tokoh yang jahat (antagonis), sementara Toeti menempatkan Calon Arang sebagai korban budaya patriarki.(Asep Sambodja: www.asepsambodja.blogspot.com/2008/10c)

Pada kesempatan ini, peneliti akan menganalisis novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini dari segi sosiosastra, yaitu menganalisis unsur intrinsik dengan


(25)

pendekatan struktural, yang mencakup tema, alur, penokohan, dan latar. Kemudian menganalisis unsur-unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai sosial, seperti cinta, kejahatan, dan kepahlawanan yang terdapat dalan novel ini.


(26)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Pada penelitian ini diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dari novel, yaitu:

Judul : Cerita Calon Arang Karya : Pramoedya Ananta Toer Penerbit : Lentera Dipantara

Jenis : Novel

Cetakan : Ketiga Ukuran : 13 x 20 cm Tebal : 94 halaman

Gambar Sampul : Gambar seorang wanita yang sedang berdiri yang raut wajahnya menunjukkan kemarahan, sedangkan di sisi lain terdapat gambar seorang wanita sedang termenung.

Warna Kulit : Perpaduan kuning muda dan biru toska

Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode membaca heuristik dan hermeneutik. Pradopo ( 200: 135) menyatakan:

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik sistem pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah


(27)

pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya.

Selanjutnya Pradopo (2001: 135) menjelaskan “pembacaan heuristik cerita rekaan adalah pembacaan tatabahasa ceritanya, yaitu pembacaan dari awal sampai akhir cerita secara berurutan”. Dari pembacaan ini dihasilkan sinopsis cerita sebagai berikut:

Di sebuah negara, yaitu Daha yang kini bernama Kediri, penduduknya banyak dan hidup makmur. Petani selalu mendapatkan hasil panen yang baik. Penduduknya hidup dengan sukacita. Negara Daha termasyhur aman. Penduduknya cukup makanan dan pakaian, sehinggan tidak ada penyakit. Negara itu diperintah oleh seorang raja yang berbudi dan bijaksana yang bernama Baginda Erlangga. Baginda selalu memperhatikan rakyatnya. Rakyatnya mencintai Baginda karena keramatamahannya.

Suatu hari, keadaan negara yang makmur dan sentosa itu berubah. Keamanan dan kesejahteraannya tidak lagi seperti dulu. Seluruh penduduk gelisah dan diikuti perasaan takut karena terdengar bahwa akan ada musuh yang datang menyerang mereka. Sehingga Orangtua melarang anak-anaknya bepergian. Jalan-jalan menjadi sepi. Ibukota negara seakan-akan berkabung karena sunyinya. Ternyata musuh itu adalah penyakit mematikan yang dapat menimpa siapa saja yang ada di Negara Daha.

Penyakit berbahaya itu ternyata disebabkan oleh perbuatan seorang janda yang tinggal di Dusun Girah, dusun yang menakutkan bagi penduduk Daha. Janda setengah tua itu bernama Calon Arang. Calon Arang berkuasa. Ia senang menganiaya sesama manusia, membunuh, merampas, dan menyakiti. Ia memiliki ilmu hitam yang dapat digunakannya untuk membunuh orang. Calon Arang adalah pendeta perempuan pada Candi Dewi Durga.


(28)

Calon Arang juga seorang dukun yang memiliki banyak mantra yang manjur. Tidak ada orang yang berani melawannya. Ia juga memiliki banyak murid.

Calon Arang memiliki seorang anak perempuan yang berumur lebih dari 25 tahun. Nama putrinya itu adalah Ratna Manggali. Ia adalah gadis yang sangat cantik. Walaupun Ratna Manggali sangat cantik, belum ada seorang pemuda pun yang mau meminangnya. Para pemuda di dusun itu takut pada Calon Arang, karena kelakuannya yang buruk. Bahkan, Ratna Manggali tidak memiliki teman biasa. Gadis-gadis lain menjauhinya, karena takut dengan kejahatan dan kedengkian yang dimiliki oleh ibunya. Tidak ada yang mau berbicara atau bertegur sapa dengan Ratna Manggali, karena jika salah bicara akan menimbulkan amarah Calon Arang.

Melihat penduduk Girah yang menjauhi putrinya, lama-kelamaan Calon Arang menjadi sangat marah. Sifat jahatnya pun muncul. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, demi memuaskan amarahnya. Maka, Calon Arang memanggil semua muridnya dan menyampaikan rencana jahatnya. Dengan tidak banyak pertimbangan Calon Arang berangkat ke Candi Durga untuk memanggil Dewi Durga, yaitu dewi yang menghendaki kerusakan. Di dalam candi inilah Calon Arang dan murid-muridnya membaca mantra untuk menyampaikan maksud untuk membunuh orang. Ada yang menyanyi, menandak dan menari-nari, melangkah berputar-putar, menjulurkan lidah seperti ular, mendelik-delik menakutkan, memendekkan kaki, miring-miring dan semacamnya, seperti orang gila.

Mereka berhasil membaca mantra dan Dewi Durga memberi izin untuk membangkitkan penyakit untuk menumpaskan nyawa orang banyak dengan syarat bahwa mereka tidak boleh menyebarkan penyakit itu hingga ke dalam ibukota. Kemudian mereka semua pulang dan merencanakan niat jahat yang akan mereka lakukan terhadap seluruh penduduk.


(29)

Calon Arang dan murid-muridnya mulai melaksanakan rencananya menyakiti dan menewaskan orang banyak. Setiap hari ada saja yang menjadi korban kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya itu. Tidak ada seorang pun yang berani melawan. Seluruh penduduk dan kepala desa serta barisannya pun tidak. Tidak ada yang berani keluar rumah. Sawah-sawah di Dusun Girah tidak ada yang mengerjakan. Ladang-ladang menjadi padang rumput dan belukar. Lama-kelamaan Dusun Girah yang semula ramai menjadi sunyi karena penduduknya tidak ada yang berani keluar rumah.

Calon Arang dan murid-muridnya merasa bahagia dan puas karena berhasil menyakiti dan menewaskan orang-orang yang dibencinya. Mereka tertawa dan merayakan kemenangan dengan berkeramas. Yang digunakan untuk mengeramasi rambut mereka adalah darah manusia. Karena itu rambut murid-muridnya lengket-lengket dan tebal. Jika sedang berpesta, mereka seperti binatang buas. Semua orang takut melihatnya. Jika ada orang yang mengintip mereka, maka orang itu akan diseret ke tengah pesta dan dibunuh dan darahnya digunakan untuk keramas.

Pada hari-hari berikutnya mereka menanamkan teluh, agar penyakit menyebar ke empat mata angin. Tidak lama kemudian, penyakit itu merajalela ke seluruh negeri, ke gunung, sawah, hutan , dusun kecuali ibukota. Setiap hari ratusan orang meninggal karena penyakit yang tidak ada obatnya itu. Penduduk negara Daha semakin hari semakin sedikit. Penyakit panas dingin yang disebarkan Calon Arang dan murid-muridnya tidak bisa dicegah lagi. Bahkan pendeta-pendeta yang baik hati di Daha pun tidak ada yang bisa melawan kekuatan Calon Arang. Nama Calon Arang disebut-sebut dan dikutuk oleh seluruh penduduk negara Daha.


(30)

Suatu hari, berita tentang meluasnya penyakit yang disebarkan Calon Arang itu sampai kepada Sri Baginda Erlangga. Sri Baginda Erlangga sangat sedih mendengarnya. Lalu ia memanggil seluruh pendeta dan menteri ke istana. Kemudian ia memerintahkan balatentara untuk pergi ke Dusun Girah untuk menangkap Calon Arang dan menghentikan penyakit yang sedang merajalela itu. Seluruh penduduk menyambut gembira keputusan Sri Baginda Erlangga itu. Mereka mengadakan selamatan agar pasukan balatentara berhasil menghentikan perbuatan Calon Arang.

Setelah perjalanan panjang, sampailah pasukan balatentara di Dusun Girah. Mereka tiba di sana larut malam. Tidak ada yang menyadari kedatangan mereka, karena penduduk sudah pada tidur dan tidak berani keluar rumah. Pasukan itu pun langsung menuju rumah Calon Arang. Namun, pasukan itu tidak berhasil menangkap Calon Arang, malahan tiga orang dari pasukan tewas di tangan Calon Arang. Pasukan yang lain pun segera pergi dan kembali ke ibukota.

Mendengar kegagalan para prajurit balatentara, seluruh penduduk sangat sedih. Begitu juga Sri Baginda Raja. Penyakit pun terus menyebar. Di sisi lain, Calon Arang dan murid-muridnya marah karena pemerintah ibukota telah mengetahui dan ikut campu atas kejahatan yang mereka lakukan. Maka Calon Arang dan murid-muridnya merencanakan memperluas penyebaran penyakit ke ibukota. Mereka meminta izin pada Dewi Durga untuk menyebarkan penyakit itu sampai ke ibukota bahkan ke istana. Mereka mempersembahkan sesaji, kemudian Dewi Durga memberi izin kepada Calon Arang dan murid-murinya untuk melaksanakan maksud mereka tersebut.

Hari demi hari, penyakit semakin hebat. Mayat tergolek di sepanjang jalan, di dalam rumah, di sawah, bahkan di dekat-dekat istana juga. Bukan main amarah Sri Baginda


(31)

melihat peristiwa itu. Maka ia mengumpulkan pasukan dan pendeta-pendeta. Sri Baginda Erkangga mengatakan bahwa mantra harus dilawan dengan mantra juga. Ia memerintahkan para pendeta itu untuk memohon petunjuk dari Dewa Agung guna mendapatkan cara melawan kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya. Pendete-pendeta itu kemudian memanggil Dewa Agung di dalam candi kerajaan dengan asap pedupaan. Tidak lama kemudian, muncul Dewa Guru. Dewa itu mengatakan bahwa yang dapat melawan Calon Arang hanya seorang saja, yaitu seorang pendeta yang sakti dan baik hati bernama Empu Baradah yang tinggal Lemah Tulis. Ia pulalah kelak yang melindungi kerajaan dari kerusuhan dan keonaran.

Setelah mendapatkan petunjuk dari Dewa Guru itu, segeralah Sri Baginda Erlangga memerintahkan Kanduruan agar meminta pertolongan dengan hormat kepada Empu Baradah. Kenduruan pun segera menuju Lemah Tulis menemui Empu Baradah. Setelah mereka bertemu, Kenduruan langsung menyampaikan maksudnya kepada Empu Baradah, bahwa ia utusan Sri Baginda Erlangga. Empu Baradah bersedia menolong penduduk. Lalu Empu Baradah menanyakan apakah yang menyebabkan Calon Arang berbuat demikian jahat kepada penduduk Daha. Kanduruan menjelaskan alasannya, yaitu karena tidak seorang lelaki pun yang mau menikahi putri Calon Arang yaitu Ratna Manggali karena takut kepada Calon Arang.

Setelah mengetahui alasan tersebut, maka Empu Baradah pun menjodohkan seorang muridnya yang bernama Empu Bahula dengan Ratna Manggali. Tidak lama kemudian, Sri Baginda menghadiahkan emas kawin dan uang kepada Empu Bahula untuk dipersembahkan pada saat upacara perkawinannya nanti. Lalu dengan kuda putih besar Empu Bahula dan iring-iringan langsung berangkat ke Dusun Girah menemui Calon


(32)

Arang. Sesampainya di sana, Calon Arang sangat senang dan langsung menerima lamaran Empu Baradah terhadap putrinya Ratna Manggali. Upacara pernikahan pun dilaksanakan sangat meriah. Suluruh penduduk pun ikut memeriahkan acara itu. Bukan main girangnya Calon Arang karena putri tunggalnya sudah menikah. Kemudian Empu Bahula dan Ratna Manggali hidup berumahtangga.

Suatu hari, ketika duduk bersama Ratna Manggali, Empu Bahula menanyakan untuk apa setiap sore Calon Arang pergi dengan membawa kitab. Ratna Manggali pun menceritakan semua rahasia Calon Arang kepada Empu Bahula, bahwa Calon Arang setiap sore pergi ke pekuburan dekat Candi Durga untuk membuat dan menyebarkan penyakit ke seluruh pendudu. Dan kitab yang dibawa itu sangat bertuah dan di dalamnya berisi rahasia semua ilmu yang dimiliki Calon Arang. Empu Bahula pun meminta Ratna Manggali mengambil kitab itu.

Pada suatu malam ketika Calon Arang sedang tidur pulas, Ratna Manggali mengambil kitab ibunya itu, lalu menyerahkannya kepada Empu Bahula. Setelah menerima kitab itu, Empu Bahula segera menuju Lemah Tulis menemui Empu Baradah dan memberi tahu bahwa rahasia ilmu Calon Arang sudah ia pegang. Ia lalu menyerahkan kitab itu kepada Empu Baradah, gurunya. Empu Baradah membaca seluruh isi dari kitab itu dan menyuruh Empu Bahula mengembalikannya kepada Ratna Manggali.

Setelah mengetahui rahasia Calon Arang, maka Empu Baradah dan tiga muridnya pergi ke tempat-tempat yang diteluh penyakit. Di sepanjang jalan mereka mengobati penyakit penduduk. Bahkan mereka menghidupkan kembali mayat orang-orang yang meninggal. Lalu Empu Baradah menemui Calon Arang. Awalnya Calon Arang meminta ampun kepada Empu Baradah dan ingin bertobat, tetapi Empu Baradah menolak


(33)

permintaan Calon Arang itu karena wanita itu memiliki banyak sekali dosa. Jiwanya tidak bisa disucikan lagi. Calon Arang tidak bisa diampuni lagi. Mendengar penolakan itu, Calon Arang sangat murka. Ia menyerang Empu Baradah dengan semburan api yang besar. Namun, api itu sama sekali tidak dapat membakar tubuh Empu Baradah, walaupun sudah berulang-ulang. Kemudian Empu Baradah mengalahkan Calon Arang hanya dengan ucapan. Maka Calon Arang pun mati. Kemudian Empu Baradah menghidupkan Calon Arang kembali untuk menyucikan jiwanya, menghilangkan kotoran jiwanya, kemudian Calon Arang dibunuh kembali. Setelah itu Calon Arang benar-benar telah tiada.

Kabar kematian Calon Arang sampai ke seluruh negeri. Sri Baginda Erlangga sangat bahagia. Kini negara Daha yang dipimpinnya bebas dari penyakit teluh Calon Arang. Sri Baginda pun menemui Empu Baradah untuk mengucapkan rasa terimakasih yang besar. Ketika mereka bertemu, Sri Baginda Erlangga meminta Empu Baradah mengajarkan ilmu budi pekerti. Pengetahuan Sri Baginda Erlangga itu dipergunakan untuk memperbaiki keadaan rakyat. Negara Daha kembali makmur. Orang-orang Tionghoa dan India leluasa datang ke Jawa untuk berdagang. Anak-anak kecil kembali bermain dengan riang. Tidak ada seorang pun yang ketakutan. Penyakit tidak lagi banyak seperti dulu. Sawah dan ladang diolah lagi. Tidak ada lagi kelaparan. Demikianlah keadan Daha setelah Calon Arang tiada.

Dalam penelitian ini selanjutnya penafsiran data tentang unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik dicatat pada kartu data. Setiap kartu data berbeda warna, yaitu kartu kuning untuk unsur intrinsik yang meliputi tema, penokohan, alur, dan latar serta kartu merah untuk unsur ekstrinsik berupa nilai-nilai sosial yaitu cinta, kejahatan, dan kepahlawanan.


(34)

Hal ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam membedakan setiap masalah yang akan dibahas.

3.2 Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yaitu mendeskripsikan data dari kartu data secara sistematis kemudian dilanjutkan dengan penganalisisan data berdasarkan masalah yang ditawarkan yaitu mulai dari masalah intrinsik, kemudian dilanjutkan dengan masalah ekstrinsik dan diakhiri dengan kesimpulan.


(35)

BAB IV

ANALISIS STRUKTURAL TERHADAP NOVEL CERITA CALON ARANG KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

4.1 Tema

Tema merupakan gagasan dasar atau ide pokok yang mendasari seorang pengarang dalam menciptakan karyanya. Suatu kreasi atau suatu karya sastra tidak akan tercipta tanpa adanya gagasan yang mendahuluinya. Pengarang memiliki ide dan mengangkat permasalahan kehidupan menjadi tema yang diungkapkan kembali dengan daya imajinasi yang tinggi ke dalam bentuk cerita rekaan atau fiksi. Dengan demikian, tema merupakan unsur penting bagi pengarang untuk menghasilkan karyanya. Begitu juga dengan pembaca, tema merupakan unsur yang mengantar kepada suatu pesan dari cerita yang dibacanya. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Sumardjo dan Saini K.M (1997: 56):

Tema adalah ide sebuah cerita. Pengarang dalam menulis ceritanya bukan mau sekedar bercerita, tetapi mau mengatakan sesuatu pada pembacanya. Sesuatu yang mau dikatakannya itu bisa suatu masalah kehidupan, pandangan hidupnya tentang kehidupan ini atau komentar tentang kehidupan ini. Kejadian dan perbuatan tokoh cerita, semuanya didasari oleh ide pengarang tersebut.

Nurgiyantoro (1995: 25) mengatakan “Tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering tema dapat disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita”. Selanjutnya, Stanton (dalam Nurgiyantoro, 1995: 70) menyatakan “Tema adalah makna sebuah cerita yang khusus menerangkan sebagian beasar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama”. Jadi, melalui tema tersebut dapat diketahui apa yang menjadi gagasan dasar yang ingin disampaikan seorang pengarang kepada pembacanya yang terdapat dalam sebuah karya fiksi sesuai pengalaman dan pengamatan dengan lingkungan. Tema itu merupakan gagasan yang berkaitan dengan


(36)

makna. Artinya, tema ini adalah tujuan utama dari cerita. Tujuan ini merupakan sesuatu yang membuat karya sastra lebih penting dari sekedar bacaan hiburan saja.

Sudjiman (1987: 50) menyatakan “Tema cerita dapat dinyatakan secara eksplisit (langsung), secara simbolik, dan juga dapat terungkap melalui dialog para tokoh”. Selanjutnya Sudjiman (1987: 50) menyatakan “Tema yang banyak dijumpai dalam karya sastra yang bersifat didaktis adalah pertententangan buruk dan baik. Secara lebih konkret tema pertentangan baik dan buruk ini dinyatakan dalam bentuk kebohongan melawan kejujuran, kelaziman melawan keadilan, korupsi melawan hidup sederhana”. Sudjiman menambahkan (1987: 51) “Tema bahkan dapat menjadi faktor pengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam satu alur”. Jadi, dapat dikatakan bahwa tema merupakan persoalan yang mendasari seluruh perkembangan struktur cerita.

Dari keterangan di atas, penulis dapat menemukan tema yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer. Adapun tema dari novel ini adalah kejahatan, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya terhadap seluruh penduduk Dusun Girah dan Ibukota. Kejahatan ini dilakukan karena tidak ada penduduk yang suka padanya sebab Calon Arang adalah seorang pendeta jahat, terlebih lagi karena belum ada seorang pun yang mau melamar putrinya Ratna Manggali yang sudah berusia lebih dari 25 tahun. Padahal, Ratna Manggali adalah gadis yang cantik, namun karena ibunya memiliki ilmu hitam, maka tidak ada laki-laki yang berani dekat dengannya. Kejahatan ini sangat menonojol dan berkelanjutan dari awal hingga akhir cerita, sehingga mendominasi cerita.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya. Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan, karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun


(37)

tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya, supaya puaslah hatinya. Setelah niatnya pasti, dipanggil semua murid-muridnya yang terkemuka ialah Weksirsa, Mahisa Wadana, Lendesi, Larung, Guyung, dan Gandi. Semua muridnya menyetujui maksudnya” (Cerita Calon Arang, 2003: 12-13).

Kejahatan ini juga yang menjadi pangkal dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam cerita ini, seperti ketakutan dan kecemasan seluruh penduduk dan Sri Baginda Erlangga yang memimpin Negara Daha.

Kecemasan seluruh penduduk dapat dilihat dari kutipan berikut:

anak-anak kecil dilarang orangtuanya meninggalkan rumah. Bahkan orang-orang tua pun kadang-kadang tak berani keluar rumah. Semua memuja meminta perlidungan dewa-dewa agar tetap selamat ( Cerita Calon Arang, 2003: 23).

Selanjutnya ketakutan penduduk dapat dilihat dari kutipan berikut:

Tetapi sekarang sunyi saja tanah lapang dusun itu. Bila mereka bermain dan lewatlah seorang dari murid-murid Calon Arang, larilah mereka masing-masing karena takutnya. Kalau Calon Arang atau muridnya sedang tidur, tak ada anak yang berani berseru atau tertawa-tawa. Kalau anak itu anak-anak itu berani berbuat gaduh di waktu mereka tidur, matilah ia diteluh (Cerita Calon Arang, 2003: 24).

Kecemasan akibat kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya ini bukan hanya dialami oleh seluruh penduduk, tetapi juga dialami oleh pemimpin Negara Daha, yaitu Sri Baginda Erlangga. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

Bukan main amarah Sang Baginda melihat kesengsaraan rakyatnya, disebabkan oleh kejahatan beberapa saja orang itu. Tetapi apa dayanya? Balatentaranya yang kuat dan pernah menaklukkan berbagai negeri tak bisa melawan tukang sihir yang bersenjatakan sihirnya itu. Tak habis-habisnya ia memikirkan bagaimana dapat membinasakan Calon Arang beserta murid-muridnya (Cerita Calon Arang, 2003: 53)

Kejahatan Calon Arang ini semakin merajalela dan menyebabkan penyakit dan kematian pada hampir seluruh penduduk.

Penyakit tambah menghebat. Ratusan orang mati tiap hari. Tak sempat lagi orang menguburkan kerabat atau sahabat yang meninggal. Mayat tergolek-golek


(38)

sepanjang jalan, di dalam rumah, di sawah, bahkan di dekat-dekat istana demikian pula (Cerita Calon Arang, 2003: 53).

Seluruh penduduk sangat sedih, dan selalu berdoa pada dewa meminta keselamatan.

Hampir setiap hari terdengar menghiba-hiba. Saban hari ada orang-orang yang masih sehat berduyun-duyun ke candi dan berdengunglah doa memohon keselamatan dari para dewa. Saban hari terdengar rintih kesakitan dan tangis tangis serta jerit kesedihan dan ketakutan. Banyak orang mengungsi meninggalkan daerah-daerah yang sudah diserbu oleh penyakit. Tetapi di tengah-tengah perjalanan mereka terserang penyakit juga dan roboh di pinggir jalan (Cerita Calon Arang, 2003: 54).

Kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya ini terus berkelanjutan hingga akhirnya menumbuhkan sikap kepahlwanan Empu Baradah atas permintaan Sri Baginda Erlangga yang meminta pertolongan agar Empu Baradah mau menolong melawan penyakit yang disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya itu. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut:

Segera Sri Baginda Raja memerintahkan Kanduruan. Banyak ia menasihati Kanduruan agar bersikap hormat pada Empu Baradah dan menghadap benar-benar agar pendeta yang mulia itu segera sudi turun tangan menghancurkan seluruh penyakit (Cerita Calon Arang, 2003: 56).

Permintaan Sri Baginda untuk melawan penyakit itu diterima oleh Empu Baradah. Kesediaan Empu Baradah untuk membebaskan penduduk dari penyakit itu dapat dilihat dari kutipan berikut:

Sangat pelan katanya. Kemudian suaranya dikeraskan. “Baiklah, priyayi. Tuan lebih baik segera kembali menghadap Sri Baginda. Sembahkan pada Baginda bahwa aku, Empu Baradah, sanggup membatalkan teluh janda dari Girah yang bernama Calon Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit pasti akan tumpas dan rakyat akan hidup aman kembali” (Cerita Calon Arang, 2003: 57).

Kemudian pada akhirnya kejahatan Calon Arang dan murid-muridnya dapat dihentikan dengan kekuatan dan kepintaran yang dimiliki oleh Empu Baradah ini.


(39)

4.2 Tokoh

Tokoh adalah unsur intrinsik yang paling penting dalam sebuah karya fiksi. Tokoh dapat menyampaikan ide pengarang pada pembaca karena tokohlah yang diceritakan, melakukan sesuatu dan dikenai sesuatu, membuat konflik, dan lain-lain. Oleh karena itu, pembicaraan mengenai tokoh ini sangat menarik dalam menganalisis sebuah karya sastra (fiksi).

Abrams (dalam Nurgiyantoro 1995: 165) menyatakan “Tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam cerita naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”.

Sudjiman (1987: 17-21) menyatakan bahwa berdasarkan fungsi tokoh dalam cerita dapatlah dibedakan dalam tokoh sentral dan bawahan. Tokoh yang memegang peran pimpinan disebut tokoh utama atau protagonis. Adapun tokoh yang merupakan penentang utama dari protagonis disebut antagonis atau tokoh lawan. Antagonis termasuk tokoh sentral. Dalam karya sastra tradisional, seperti cerita rakyat, biasanya pertentangan antara protagonis dan antagonis jelas sekali. Tokoh utama yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Kriterium yang digunakan bukan frekuensi kemunculan tokoh, melainkan intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita, sedangkan tokoh tambahan, yakni tokoh yang tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, namun kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama. Berdasarkan cara menampilkan tokoh dibedakan atas tokoh datar dan tokoh bulat. Tokoh datar atau tokoh sederhana adalah tokoh yang disoroti satu segi wataknya saja, tokoh ini bersifat statis, watak tokoh ini sedikit sekali berubah, bahkan tidak berubah sama sekali, sedangkan tokoh bulat atau tokoh kompleks adalah tokoh yang dilihat dari segala seginya, segi wataknya berangsur-angsur berganti dan mampu memberikan kejutan.

Jika kita membicarakan tokoh pasti berhubungan dengan watak atau karakter yang dimilikinya. Setiap tokoh memiliki watak atau karakter sendiri. Penyajian watak tokoh ini


(40)

oleh pengarang dapat melalui penggambaran sifat-sifat tokoh, hasrat, pikiran, perasaan, atau dengan menyisipkan komentar mengenai sifat-sifat tokoh itu. Penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut dengan penokohan (Sudjiman, 1987: 23).

Nurgiyantoro (1995: 166) menyatakan:

Istilah ‘penokohan’ lebih luas pengertiannya daripada ‘tokoh’ dan ‘perwatakan’, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan perkembangan tokoh dalam sebuah cerita. Jadi, dapat dikatakan bahwa melalui pemaparan dan penyajian watak tokoh (penokohan) oleh pengarang dalam karyanya dapat memberi gambaran yang jelas mengenai karakter yang dimiliki setiap tokoh cerita yang dapat membedakannya dari tokoh yang lain. Karakter ini merujuk kepada sifat, pikiran, perasaan para tokoh, serta kualitas pribadinya.

Dari keterangan di atas, dapatlah dianalisis perwatakan para tokoh dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer.

1. Calon Arang

Calon Arang adalah seorang janda yang tinggal di Dusun Girah. Ia memiliki seorang anak perawan yang berumur lebih dari 25 tahun. Calon Arang adalah wanita yang sangat jahat. Seluruh penduduk takut padanya. Ia selalu berbuat keji pada penduduk dusun itu. Ia juga mempunyai murid (pengikutnya). Ia dan pengikutnya ini setiap hari menyebarkan penyakit melalui ilmu yang mereka miliki bahkan membunuh penduduk. Calon Arang tidak peduli akan penderitaan penduduk, yang ia inginkan adalah melihat orang lain menderita dan mati di tangannya. Sebenarnya kejahatan Calon Arang ini semakin kaji disebabkan karena tidak ada seorang lelaki yang mau memperistri putri


(41)

tunggalnya. Penduduk dusun takut berteman dengan putrinya karena Calon Arang dikenal sebagai wanita yang memiliki ilmu hitam dan seluruh penduduk membicarakannya.

“itulah Ratna Manggali, anak Calon Arang. Hati-hati dengan dia, engkau tak boleh sembarangan.”

“O, itukah Ratna Manggali? Ngeri aku melihatnya.”

Bukan satu dua orang saja yang mempercakapkan seperti itu. Hampir semua orang. Malah seluruh negeri mendengar belaka namanya dan juga nama ibunya, si Calon Arang itu.

Bahkan pun anak-anak kecil, sampai-sampai kepada kakek-kakek dan nenek-nenek, semua tahu betapa jahatnya pendeta perempuan itu. Betapa busuk namanya sebagai tukang sihir yang menyebar penyakit dan merusak bagi sesama manusia. (Cerita Calon Arang, 2003: 12).

Ketika mengetahui bahwa tidak ada yang mau berteman dengan putrinya bahkan menjauhi putrinya, maka kemarahan Calon Arang pun muncul. Ia ingin membalasnya dengan berbuat keji kepada seluruh penduduk dusun Girah bahkan sampai ke ibukota.

Lama-lama marahlah Calon Arang karena tak banyak orang yang suka padanya. Dari murid-muridnya itu banyak mendengar bahwa anaknya jadi buah percakapan, karena tak juga diperistri orang. Bukan main marahnya. Sifatnya yang jahat pun tumbuhlah. Ia hendak membunuh orang sebanyak-banyaknya supaya puaslah hatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 12).

Calon Arang dan murid-muridnya menyebarkan penyakit ke seluruh Dusun, untuk menyakiti, bahkan membunuh penduduk. Seluruh penduduk sangat ketakutan. Berangsur-angsur penduduk Dusun Girah dan ibukota mati di tangan Calon Arang dan murid-murinya.

Calon Arang merasa bahagia bila telah menyakiti dan menewaskan orang-orang yang dibencinya, dan kalau orang-orang yang dibencinya itu telah mati, maka mereka bersenang-senang merayakan kemenangan.

Tiap-tiap waktu murid-muridnya harus berkeramas. Yang dipergunakan mengeramasi rambut adalah darah. Darah itu adalah darah manusia juga. Karena itu rambut murid-murid Calon Arang lengket-lengket dan tebal. Kalau mereka sedang berpesta tak ubahnya dengan sekawanan binatang buas. Takut orang melihatnya. Kalau ketahuan ada orang yang mengintip, orang itu diseret ke tengah pesta dan dibunuh, dan darahnya dipergunakan keramas (Cerita Calon Arang, 2003: 23-24).


(42)

Sifat dan perbuatan jahat Calon Arang ini jelas menunjukkan bahwa tokoh ini memiliki watak yang antagonis. Tokoh ini adalah tokoh yang menciptakan seluruh konflik dalam novel ini. Ini menunjukkan bahwa kedudukan tokoh Calon Arang dalam cerita ini sangat sentral. Keteribatan dan intensitas tokoh ini dalam peristiwa yang tejadi dalam cerita ini sangat besar. Jadi, dapat dikatakan bahwa tokoh ini tergolong tokoh sentral (antagonis). Berdasarkan perwatakannya atau cara menampilkan watak tokoh, tokoh Calon Arang ini tergolong tokoh bulat atau kompleks, yaitu tokoh yang memiliki segi watak yang berangsur-angsur berubah dan dapat memberi kejutan bagi pembacanya. (Sudjiman, 1987: 21). Calon Arang yang pada awal hingga bagian teangah cerita digambarkan sebagai tokoh yang memiliki sifat jahat, sombong juga tidak pernah takut dengan siapapun ini berubah menjadi tokoh yang mau berubah meminta ampun atas dan mengakui kejahatannya di depan pendeta Empu Baradah yang dapat mengalahkannya.

“Ampun sang maha pendeta, sungguh berbahagia hamba dapat bertemu dengan Paduka, tuan. Tolonglah hamba yang durhaka ini. Lenyapkanlah segala dosa hamba dan berilah hamba jalan pada budi yang luhur. Ya maha pendeta segeralah Paduka tuan menyucikan jiwa raga hamba yang durhaka ini”. (Cerita Calon Arang, 2003: 80)

Kutipan ini menunjukkan bahwa Calon Arang yang pada awalnya mempunyai watak yang jahat dan keras, mau berubah dan meminta ampun agar bisa disucikan hatinya menjadi jiwa yang baik.

2. Empu Baradah

Empu Baradah merupakan seorang pendeta yang ahli bertapa. Ia juga seorang guru bertapa. Empu Baradah adalah orang yang baik, saleh, dan taat beragama. Ia juga selalu bertakwa kepada dewa yang ia puja. Ia tinggal di sebuah asrama di Lemah Tulis. Ia juga memiliki banyak pengikut. Karena kharisma dan kebaikannya, semua penduduk Lemah Tulis hormat padanya. Ia selalu ramah dan senang menolong orang yang sedang kesulitan. Ia tidak pernah menolak jika ada yang membutuhkan pertolongannya. Empu Baradah


(43)

sangat berbeda dengan Calon Arang. Menolong orang lain adalah pekerjaan yang sangat diutamakan. Karena itu, lama-kalamaan penduduk Lemah Tulis menganggapnya sederajat dengan dewa. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai dewa yang menjelma sebagai manusia. Selain penolong, pengasih, dan penyayang pada sesama, ia pun orang yang pandai belajar. Ia menguasai kitab, seperti kitab Weda, yaitu kitab suci agama Hindu. Empu Baradah memiliki istri dan seorang putri yang cantik. Ia adalah kepala keluarga yang baik. Empu Baradah sangat menyayangi putrinya. Ia selalu memberikan perhatian yang cukup pada putrinya itu. Ia sangat sedih ketika mengetahui putrinya Wedawati meninggalkan rumah karena bertengkar dengan ibu tirinya. Ia pun langsung cepat-cepat mencari putrinya.

Segera Sang Empu bangun dari tempat duduknya. Kaget benar ia. Cepat-cepat ia kenakan jubahnya kembali. Katanya kepada istrinya:

“baiklah biar kucari sendiri”

Kemudian jalanlah ia mencari Wedawati. Cepat sekali jalannya. Sebentar-bentar ia bertanya pada orang di jalan:

“ada engkau melihat anakku? Ke mana perginya?”

Tiap orang yang mengetahui menjawab dengan segera dan hormat

Sampai di padang rumput Sang Empu sekarang. Anak-anak gembala masih banyak di sana pada salah seorang di antara mereka, bertanyalah ia:

“Ada di antara engkau tahu ke mana anakku pergi?” “Kak Wedawati yang cantik?” tanya seorang gembala. “Yang menangis sepanjang jalan?” tanya yang lain.

“Ya, itulah anakku Wedawati. Ke mana dia?” tanya Sang Empu.

“pergi ke luar dusun, bapak Empu,” seorang menjawab. “Lurus ke selatan. Barangkali ke kuburan ibunya” (Cerita Calon Arang, 2003: 48).

Setelah mengetahui tempat keberadaan putrinya, Empu Baradah langsung menuju tempat putrinya itu.

Hati-hati Empu Baradah memandang ke kanan dan ke kiri. Kemudian terlihat olehnya Wedawati duduk terpekur di tanah di samping kuburan mendiang ibunya. Perlahan dan hati-hati ia mendekati. Ia tak mau gadis yang dikasihinya itu terkejut. “sudahlah, anakku, sudahlah” bisik empu Baradah pada anaknya.

Bukan kepalang kaget Wedawati. Waktu melihat ayahnya ada di sampingnya segera orangtua itu dirangkulnya.


(44)

Diajaknya Wedawati pulang. Dan gadis itu tidak menolak. Anak dan ayah pun pelan-pelan pulang ke asrama Lemah Tulis. (Cerita Calon Arang, 2003: 49)

Empu Baradah memiliki sikap kepahlawanan yang tinggi. Ia tidak menolak ketika Kanduruan yang diutus Sri Baginda Erlangga mendatanginya untuk menyampaikan permintaan Raja untuk menghadapi Calon Arang demi menyelamatkan seluruh penduduk dari penyakit yang disebarkan oleh Calon Arang dan murid-muridnya itu. Empu Baradah dianggap mampu mengalahkan Calon Arang. Empu Baradah setuju dan bersedia menolong seluruh penduduk karena belum ada seorang pendeta pun yang mampu mengalahkan kekuatan CalonArang.

“Hamba ini dari ibukota, membawa perintah anada Sri Baginda Raja”

Apakah yang dapat kupersembahkan kepada Sri Baginda?” tanya Sang Pendeta. “Paduka tuanku diharapkan oleh Sri Baginda sudi datang ke Daha untuk membatalkan teluh Calon Arang.”

“Siapa itu Calon Arang” tanya Sang Empu.

“Itulah janda dari Desa Girah. Dia tukang sihir yang manjur teluhnya. Telah banyak penduduk yang meninggal karena tingkahnya,” ujar Kanduruan.

Apakah sebabnya janda Girah itu marah-marah priyayi?” tanya Sang Empu.

“Ia beranak seorang perempuan. Sampai sekarang tak ada yang mau memperistri anaknya itu. Itulah sebabnya ia marah-marah,” dan setelah memperbaiki dudknya, Kanduruan meneruskan: “Tidaklah buruk anaknya itu. Cantik bukan kepalang, kata orang-orang Ratna Manggali namanya. Apakah jawabnya yang dapat hamba sembahkan kepada Sang Baginda Raja, Maha Empu?”

“jadi itulah yang menyebabkan. Hmm,” kata Empu Baradah kepada dirinya sendiri. Sangat pelan katanya itu. Kemudian suaranya dikeraskan. “Baiklah, priyayi. Tuan lebih baik segera kembali menghadap Sri Baginda. Sembahkan pada Baginda, bahwa aku, Empu Baradah, sanggup membatalkan telih janda dari Girah yang bernama Calon Arang itu. Sembahkan juga bahwa penyakit pasti akan tumpas dan rakyat akan hidup aman kembali.” (Cerita Calon Arang, 2003: 57)

Empu Baradah adalah tokoh penyelamat dalam cerita ini. Ia berhasil mengetahui rahasia kelemahan Calon Arang dan mulai membebaskan penduduk desa dari penyakit dan kematian, sehingga penduduk kembali senang seperti keadaan sebelum Calon Arang dan murid-muridnya menyebarkan ilmu hitamnya.

Setelah mengetahui rahasia kitab itu, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang diamuk penyakit. Tiga orang di antara murid-muridnya engiringnya.


(45)

Sepanjang jalan mereka bertemu dengan orang mati. Dengan tuah mantranya, Sang Empu mengobati orang-oang yang sakit. Segera saja mereka sembuh. Tentu saja girang benar yang disembuhkan itu. Mereka mengucapkan beribu-ribu terimakasih. Sang pendeta pun menolong orang-orang yang telah meninggal bila mayat itu belum membusuk, Sang Pendeta memercikan dengan air. Dan hiduplah kembali mayat-mayat yang telah meninggal kena teluh itu. Kadang-kadang hanya dengan pandang, sentuhan, atau hembusan nafas, mayat-mayat itu dapat hidup kembali (Cerita Calon Arang, 2003: 75).

Pada akhir cerita tokoh ini berhasil mengalahkan janda itu dengan kebijakan dan kekuatan yang dimilikinya hingga membuat Calon Arang mati (meninggal) dan penduduk bebas dari penderitaan.

“Keluarkan seluruh kepandaianmu,” kata Baradah.

Api dari tubuh janda itu kian jadi besar keluar-masuk bersama nafasnya. Bunyi api keluar-masuk itu mengerikan seperti rumah kebakaran.

Akhirnya Sang Maha Pendeta berkata dengan kepastian: “He, kau, Calon Arang mesti mati!”

Waktu itu juga matilah Calon Arang. Lenyap apai yang keluar-masuk dari tubuhnya. Lenyap api yang besar yang seperti rumah terbakar itu (Cerita Calon Arang, 2003: 83).

Tokoh Empu Baradah ini tergolong tokoh sentral (protagonis) yang memiliki kedudukan sentral. Ia adalah tokoh yang memiliki peran penting dan memiliki keterlibatan yang besar dalam membangun cerita dalam novel ini. Tokoh sentral (protagonis) ini adalah penentang tokoh sentral (antagonis). Dalam hal ini adalah kejahatan pasti dapat dikalahkan dengan kebaikan dan kebijakan. Berdasarkan perwatakan atau menampilkannya, tokoh ini tergolong tokoh datar atau sederhana, karena tokoh ini hanya disoroti satu segi wataknya saja, yaitu memiliki watak yang baik. Watak baik yang dimiliki tokoh ini tidak mengalami perubahan dari awal hingga akhir cerita.


(46)

3. Sri Baginda Raja Erlangga

Sri Baginda Raja Erlangga adalah pemimpin Negara Daha. Ia adalah raja yang bijaksana, baik, ramah, dan berbudi terhadap rakyatnya. Oleh karena itu, seluruh penduduk menyayanginya. Dalam memerintah negaranya, ia sangat melindungi rakyatnya. Di bawah pimpinannya, negara Daha aman, tidak ada kejahatan yang terjadi, karena setiap orang hidup makmur, cukup makan, dan cukup pakaian. Panen pun selalu baik hasilnya. Namun, keadaan negara itu berubah semenjak Calon Arang dam murid-muridnya menyebarkan penyakit dan membunuh penduduk. Penduduk banyak yang mati, keadaan sawah menjadi gersang, dan jalanan sunyi seperti kota mati. Penduduknya hidup dalam ketakutan. Sri Baginda Erlangga pun sangat sedih dan gelisah melihat kejahatan Calon Arang yang berlarut-larut yang membuat rakyatnya hidup dalam penderitaan. Ia tidak sanggup melihat penduduk terjangkit penyakit bahkan setiap hari banyak yang meninggal. Sri Baginda Erlangga terus mencari bagaimana caranya menaklukkan Calon Arang sehingga rakyatnya bebas dari penderitaan. Ia pun mengutus balatentara istananya ke Dusun Girah untuk mengalahkan Calon Arang.

“Penyakit itu harus dilenyapkan. Kalau tidak bisa setidak-tidaknya harus dibatasi. balatentara raja ke dusun Girah. Tangkap Calon Arang. Kalau melawan, bunuh dia bersama murid-muridnya.”

Tenang sebentar ruangan di bangsal. Orang bergirang hati. Mendengar putusan Sri Baginda. Tiba-tiba terdengarlah sorak-sorai yang gemuruh di alun-alun. Semua orang yang hadir di sana menyetujui putusan Sri Baginda.

Hari itu juga ratusan prajurit berbaris di alun-alun. Mereka ini diperintahkan pergi ke Dusun Girah untuk menangkap Calon Arang (Cerita Calon Arang, 2003: 30). Namun, pasukan balatentara yang diutus Sri Baginda tidak berhasil menangkap Calon Arang. Bahkan tiga dari anggota balatentara itu meninggal karena kekuatan Calon Arang. Mengetahui hal itu, Sri Baginda semakin sedih. Ia terus mencari dan berpikir bagaimana


(47)

cara mengalahkan Calon Arang. Ia tidak mau penyakit dan kematian terus-menerus menimpa rakyatnya. Suatu hari ia dan pendeta-pendeta Daha bertapa untuk meminta petunjuk Dewa Guru mengenai siapa yang dapat mengalahkan Calon Arang. Maka melalui pertapaan itu, Sri Baginda dan para pendeta mendapat jawaban dari Dewa Guru bahwa yang dapat mengalahkan Calon Arang hanya satu orang saja yaitu pendeta dari Lemah Tulis yang bernama Empu Baradah. Maka segera ia mengutus Kanduruan kerajaan menemui Empu Baradah. Dan pendeta ini bersedia. Hingga akhirnya dapat mengalahkan Calon Arang dan membebaskan penderitaan penduduk Daha.

“Penyakit ini disebabkan karena mantra. Karena itu, balatentara tidak bisa menumpaskannya. Kalau balatentara dikerahkan juga, akan buruklah akibatnya,” kata Sri Baginda. “Karena itu, mantra harus dilawan dengan mantra. Tak ada yang lain.”

Hadirin membenarkan pendapat Sang Baginda. “Karena itu pula,” Baginda meneruskan, “kami perintahkan pada semua pendeta di seluruh negara untuk turut mencari jalan yang baik.”

Pendeta-pendeta yang dipanggil itu adalah pendeta yang pandai-pandai belaka, mahir dalam segala mantra dan maklum akan segala teluh oarang-orang jahat.

“Kami perintahkan sekarang, semua pendeta yang mengahadap pergi memuja ke candi, mohon petunjuk dari Dewa Agung guna mendapat obat mujarab untuk memberantas penyakit ini.” (Cerita Calon Arang, 2003: 55).

Tokoh ini tergolong tokoh sentral yang protagonis karena ia memiliki intensitas keterlibatan yang besar dalam membangun cerita. Ia merupakan tokoh yang menghubungkan tokoh sentral (antagonis) dengan tokoh sentral (protagonis). Pertemuan antara tokoh ini menyebabkan konflik atau pertentangan yaitu antara Calon Arang dan Empu Baradah dalam cerita ini. Tokoh ini memiliki watak sederhana (datar) dan statis yang menunjukkan satu segi watak saja, yaitu watak kepemimipinan yang baik. Dalam perkembangan cerita, watak ini tidak berubah hingga akhir cerita.


(48)

4. Wedawati

Wedawati adalah putri dari Empu Baradah. Ia adalah gadis yang cantik, ramah, rajin dan cekatan bekerja, dan dia tidak mau merugikan orang lain. Oleh karena itu, ia menjadi gadis yang dikagumi di Lemah Tulis. Ia juga dihormati di lingkungan asrama tempat tinggalnya, di kampung, dan di sawah serta di ladang, di hutan, dan di lapangan tempat biasanya anak-anak menggembalakan binatang peliharaannya. Namun, kesedihan menggeluti hatinya sejak ibunya meninggal.

“Ya, siapa lagi yang mengasihi daku?” tangisnya. “Ayah ‘kan masih ada,” hibur ayahnya.

Tapi gadis itu menangis juga.

Siapakah yang akan mencintaiku sekarang?” ratapnya lagi.

Lalu Sang Empu tak tahan lagi melihat tingkah laku anaknya itu. Dirangkulnya Wedawati, diusap-usapnya rambut dan pipi anaknya yang piatu itu, sambil mengucurkan airmata.

Tetapi gadis itu tetap menagis.

“Ya, Dewata,” ratapnya, “izinkan daku turut mati bersama ibuku (Cerita Calon Arang, 2003: 17).

Tidak lama setelah kematian ibunya, Wedawati memiliki ibu tiri. Ibunya ini sangat membenci Wedawati. Ia juga telah memiliki adik laki-laki yang mulai besar. Ibu tirinya hanya menyayangi anak kandungnya saja. Ia selalu memarahi Wedawati. Padahal Wedawati selalu berbuat baik dan rajin bekerja, tetapi ibu tirinya tetap ingin Wedawati keluar dari rumah.

Di Lemah Tulis sibuklah Wedawati bekerja. Ia gadis yang suka bekerja. Ia tak senang bermalas-malasan, apalagi bertopang dagu dan tak tentu apa yang dipikirkan. Sudah lama ibu tirinya ingin agar ia pergi dari rumah.ia ingin agar semua kasih sayang Sang Empu jatuh padanya dan anaknya lelaki. Karena itu dicari-carinya alasan untuk memarahi Wedawati (Cerita Calon Arang, 2003: 18-19).


(49)

Akhirnya Wedawati tidak tahan tinggal bersama ibu tirinya, dan ia rela berpisah dengan ayahnya karena ia tidak ingin selalu ada pertengkaran antara ia dan ibu tirnya. Ia tetap tinggal di sana walaupun ayahnya membujuknya untuk kembali ke Lemah Tulis.

“Anakku, manis, buat apa engkau meninggalkan rumah? Engkau membuat aku berseduh hati. Mari pulang anakku!”

Wedawati menggelengkan kepala. Ia tak mau pulang lagi. Karena tak mau menyusahkan orang lain, ia pun tak sudi bila disuruh tinggal di tempat orang lain. Lama Empu Baradah mangambil hati anaknya. Tapi Wedawati tak mau mengubah pendiriannya. Lama ia juga ayahnya itu mengusap-usap rambut dan bahu . Wedawati tetap tidak peduli ( Cerita Calon Arang, 2003: 64).

Maka, Wedawati memutuskan menjadi seorang pertapa. Ia tinggal di tanah dekat dengan kuburan ibunya. Di sana, ayahnya membangun tempat tinggal untuknya. Tidak lama kemudian tanah kuburan itu berubah menjadi taman yang indah, karena Wedawati rajin menanam bunga-bunga dan merawatnya setiap hari. Di sana, Wedawati setiap hari beribadah pada arwah orang yang cinta kepadanya, dan juga kepada semua dewanya.

Tokoh ini tergolong tokoh tambahan (tambahan). Tokoh ini tidak sentral kedudukannya di dalam cerita, kemunculannya pun hanya sedikit saja. Selain itu keterlibatan tokoh ini dalam membangun cerita sangat kecil. Berdasarkan perwatakannya, atau cara menampilkannya, tokoh ini tergolong tokoh bulat yang memiliki watak yang berangsur-angsur berubah. Ketika meninggalkan rumah pertama kalinya, ia menuruti permintaan ayahnya untuk kembali ke rumah. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk berpisah dengan ayah yang sangat dicintainya. Ia memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dan tinggal di tanah kuburan ibunya. Itu dilakukannya untuk kebaikan. Perubahan pendirian ini menunjukkan perkembangan perlakuan tokoh, yang dapat memberi efek kejutan bagi pembaca, sehingga tokoh ini digolongkan menjadi tokoh bulat.


(1)

Setelah Sri Baginda menghadiahkan barang-barang berharga dan uang untuk emas kawin serta upacara pernikahan, berangkatlah Empu Bahula ke Dusun Girah. Naik kuda putih besar Empu Bahula diiringkan oleh pasukan berkuda kerajaan.

Pendeknya iring-iringan itu sampailah sudah di dusun Girah. Empu Bahula duduk di ruang tamu menunggu Calon Arang keluar.

Keluarlah Calon Arang menemui tamunya. Katanya sopan:

“Berbahagialah yang baru sampai, siapakah tuan, dan dari manakah datang?” “Semoga tuanku jangan gusar mendengar permohonan hamba,” kata Bahula. “Cobalah terangkan yang terkandung dalam niat tuan.” sambut Calon Arang. “Kedatangan hamba adalah hendak meminang putri tuan,” kata Bahula.

Bukan main girang Calon Arang. sekarang ia tak akan disindir-sindir dan dipercakapkan orang lagi. Sebentar lagi anaknya akan menjadi pengantin. Dengan girang pun ia menjawab:

“O, apakah yang akan dimarahkan? Cuma si Ratna Manggali anak dusun, tak tahu adat kota.” (Cerita Calon Arang, 2003: 70).

Tidak lama setelah Ratna Manggali dan Empu Bahula menikah, rahasia kekuatan Calon Arang telah diketahui oleh Empu Baradah melalui Ratna Manggali. Kekuatan mantra Calon Arang ada di dalam kitab yang selalu dibawanya ketika menyebarkan penyakit bersama murid-muridnya. Setelah kitab itu berada di tangan Empu Bardah dan ia selesai membacanya, maka Empu Baradah pun segera menangkal penyakit yang di sebarkan oleh Calon Arang. Ia segera membebaskan penduduk dari penyakit itu. Bahkan, menghidupkan kembali mayat yang belum membusuk. Penduduk Daha pun sangat gembira dan takjub melihat kekuatan Empu Baradah serta mengucapkan terimakasih pada Empu Baradah.

Setelah mengetahui rahasia kitab itu, Empu Baradah pergi ke tempat-tempat yang diamuk penyakit. Tiga orang di antara murid-muridnya yang terkemuka megiringkan. Sepanjang jalan mereka bertemu dengan orang mati. Dengan tuah mantranya Sang Empu mengobati orang-orang yang sakit. Segera saja mereka sembuh. Tentu saja girang benar yang telah disembuhkan itu. Mereka mengucapkan beribu-ribu terimakasih.

Sang Pendeta pun menolong orang-orang yang telah meninggal. Bila mayat itu belum membusuk Sang Pendeta memerciknya dengan iar. Dan hiduplah kembali mayat-mayat yang telah meninggal kena teluh itu. Kadang-kadang hanya dengan pandang, sentuhan, atau hembusan napas, mayat-mayat itu dapat hidup kembali. Barang kemana Sang Empu datang, tentu beribu-ribu orang datang memohon berkah. Orang-orang yang mati berhayat kembali. Orang-orang sakit segera sembuh


(2)

lagi. Karena itu tiap langkah Empu Baradah bertindak, ia ditaburi bunga-bungaan aneka macam. Kalau meneruskan perjalanan, semua penduduk sujud menghormatinya (Cerita Calon Arang, 2003: 75-76).

Setelah penduduk yang sakit disembuhkan dan mayat-mayat dihidupkan kembali, maka Empu Baradah akhirnya bertarung dengan Calon Arang. Calon Arang mencoba mengalahkan Empu Baradah dengan api, namun Empu Baradah tidak terkalahkan. Akhirnya Empu Aradah yang berhasil mengalahkan Calon Arang. Ia berhasil membuat Calon Arang meninggal, namun sebelum membunuh Calon Arang, Empu Baradah menyucikan jiwa Calon Arang agar kembali bersih dari dosa-dosa yag selama ini dilakukan Calon Arang.

“Hai, Baradah! Kenal engkau sekarang siapa aku? Teriak perempuan itu. “Perlihatkan seluruh kepandaianmu.” Empu Baradah berkata tenang. “Kurang ajar kau, pendeta kurus!”

“Ayo, perlihatkan segala kebisaanmu. Baradah ingin tahu,” ujar Empu itu dengan sangat tenangnya.

Bertambah marah Calon Arang mendapat tentangan seperti itu. Dadanya kembang-kempis. Setelah dilihatnya Maha pendeta tak gentar melihat kepandaiannya, segera ia meniup. Api besar menyembur dari mulut dan menggulung Sang Empu.

Lama api itu membakar Sang Empu. Api tambah besar. Tetapi Empu Baradah tak terbakar olehnya. Melihat Baradah tak apa-apa, bertambah murka tukang sihir itu. “Keluarkan seluruh kepandaianmu,” kata Baradah.

Api dari tubuh janda itu kian jadi besar, keluar masuk bersama napasnya. Akhirnya Sang Empu berkata dengan kepastian:

“He, Kau, Calon Arang mesti mati!”

Waktu itu juga matilah Calon Arang. Lenyap api yang keluar dari tubuhnya (Cerita Calon Arang, 2003: 83).

Kematian Calon Arang berarti keselamatan seluruh penduduk Daha. Setelah Calon Arang tiada maka kehidupan masyarakat Daha kembali makmur dan sejahtera. Keadaan negeri ini kembali ramai. Anak kecil kembali bermain dengan riang sawah dan ladang pun dapat diolah kembali. Sri Baginda Raja dan seluruh rakyatnya hidup bahagia. Dan kebahagiaan ini dapat dicapai karena sikap kepahlawanan Empu Baradah yang berjuang mengalahkan Calon Arang.


(3)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan terhadap novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dengan pendekatan struktural, dapat diketahui unsur-unsur intrnsik yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini, yaitu yang mencakup tema, tokoh, alur, dan latar.

2. Tema novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini adalah kejahatan yang dilakukan oleh Calon Arang dan murid-muridnya yang mengakibatkan penduduk Negara Daha menderita dan banyak yang meninggal setiap hari. Kejahatan inilah yang menjadi sebab peristiwa-peristiwa yang terjadi. Namun, di baliknya terdapat nilai didaktis yang mengajarkan kepada pembaca bahwa kejahatan selalu dapat dikalahkan oleh kebaikan dan kebajikan. Hal ini dapat dijadikan pedoman bagi pembacanya. Dengan kata lain dapat membangun moral mayarakat pembacanya.

3. Cerita ini disusun dalam alur yang bergerak teratur (maju) dengan tahap-tahap: exposition, Inciting Force, Rising Action, crisis, climax, falling action, dan Conclusion. 4. Tokoh yang dianalisis dalam penelitian ini ada tujuh orang yang terdiri dari tokoh utama (antagonis dan protagonis) dan tokoh tambahan (bawahan) juga tokoh sederhana (datar) dan tokoh bulat (kompleks).

5. Latar dalam cerita ini berupa latar fisik yang mengacu pada tempat peristiwa dalam cerita ini berlangsung serta latar sosial yaitu penggambaran masyarakat (penduduk) Negara Daha yang hidup makmur dan sejahtera, namun berubah menjadi buruk karena kejahatan Calon Arang.

6. Secara keseluruhan, unsur intrinsik dalam novel ini sudah merupakan struktur yang terjalin dan berhubungan satu dengan yang lainnya, sehingga dapat membentuk satu kesatuan yang utuh dan tercipta makna karya sastra secara keseluruhan.

7. Dengan batasan sosiosastra, dapat diketahui nila-nilai sosial yang terdapat dalam novel Cerita Calon Arang karya Pramoedya Ananta Toer ini yaitu cinta, kejahatan, dan kepahlawanan.


(4)

6.2 Saran

Setelah pembahasan dan penganalisisan novel ini dengan pendekatan struktural, semakin jelas bahwa analisis struktural adalah langkah dasar yang harus dilakukan dalam meneliti sebuah karya sastra sebelum melangkah pada wilayah penelitian lain. Menganalisis novel ini dengan pendekatan sosiosastra juga memperjelas bahwa karya sastra dan kehidupan masyarakat tidak terpisahkan, karena sosiosatra dapat membedah sisi kehidupan manusia dalam masyrakat. Diharapkan agar ilmu sosiosastra dapat lebih didalami, dikembangkan, dan disebarluaskan agar menambah pengetahuan individu khususnya mahasiswa sastra.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 2000. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Anoraga, Panji dan Ninik Widiyanti. 1987. Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya.

Jakarta: Pradnya Paramita.

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidkan Nasional.

Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Jabrohim, 2001. “Sosiologi Sastra: Beberapa Konsep Pengantar”. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Malo, Monase. 1985. Metode Penelitian sosial. Jakarta: Karunika.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pradopo, Rachmat Djoko.2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media _____________________2007 Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik dan Penerapannya.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ___________________.2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Saini, K.M dan Jakob Sumardjo. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Soedjono, 1970. Patologi Sosial. Bandung (Tanpa Penerbit).

Stanton, Robert. 2007. Teori Fiksi (Terjemahan oleh Sugihastuti dan Rssi Abi AL Irsyad). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Sudjiman, Panuti. 1987. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Sukapiring, Peraturen. 1987. “Analisis Struktural dan Semiotik Terhadap Roman-Roman Karya Soeman Hs”.


(6)

Suwondo, Titro. 2001. “Analisis Struktural Salah Satu Model Pendekatan Dalam Peneletian Sastra”. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Pelajar. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan oleh Melani

Budianta). Jakarta: Gramedia.

Zulfa, Eva Achjani dan Topo Santoso. 2001. Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Website :

www.google.co.id/qwt/x?source=m&u=http%3A%fnetworkedblogs.com/3/Februari/2010) www.google.id/qwt/cassle.kemudian.com/03/Februari/2010

www.asepsambodja.blogspot.com/03/Februari/2010