Analisis Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu Karya Pramoedya Ananta Toer Tentang Pelanggaran HAM

(1)

BAB 1 Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Hak asasi manusia dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia, yang

melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Dalam pembukaan

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dicanangkan: Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada manusia. Hak ini sangat mendasar atau asasi sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembanag sesuai bakat, cita-cita serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua

manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau jender1

• Hak asasi umumya tidak terkena restrikasi atau batasan

.

Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir seluruh bagian dunia. Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo menjelaskan beberapa sifat dari hak asasi, antara lain:

• Hak asasi boleh di restrikasi dalam keadaan darurat

• Ada hak asasi yang boleh direstrikasi oleh Undang-undang; Pasal 19

(mempunyai pendapat), Pasal 21 (berkumpul secara damai), Pasal 22 (berserikat)

• Ada hak asasi yang tidak boleh di restrikasi dala keadaan apapun; Pasal 6 (hak

atas hidup), Pasal 7 (siksaan), Pasal 8 (antiperbudakan), Pasal 11 (antipasang badan), Pasal 15 (sifat kadaluwarsa tindakan criminal atau non-retroaktif), Pasal

1

Prof. Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 211-212


(2)

16 (pribadi atau person di hadapan hukum), Pasal 18 (berpikir, berkeyakinan, beragama).

Masalah hak asasi manusia serta perlindungan terhadapnya merupakan bagian penting dari demokrasi. Makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat sehingga rakyat merupakan pemegang kekuasaan politik tertinggi, ini berarti secara

langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat2

Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi tidak mengabaikan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bernegaranya. Di Indonesia HAM bersumber dan bermuara pada Pancasila, artinya bahwa HAM menjadi jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa. Beberapa instrumen HAM di Indonesia antara lain; undang-undang dasar 1945, ketetapan MPR nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM

. Sehingga negara demokratis diukur dari sejauh mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya serta menjamin hak-hak warga negara dalam mendapatkan kehidupan yang layak. Demokrasi akan terwujud apabila negara mampu menjamin tegaknya hak asasi manusia.

3

2

Ramlan Surbakit. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Universitas Airlangga Press. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Th XII. No 2. April 1999. Hal.1

3

Gunawan Setiardja. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 107


(3)

Dalam perkembangannya, pelaksanaan HAM di Indonesia sering tidak sesuai dengan hal-hal yang tertulis pada konstitusi. Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam praktiknya, masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik atas nama negara maupun institusi tertentu.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau

kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang4

Salah satu masa dimana masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia adalah pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Di era yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila justru pelanggaran HAM banyak terjadi selama usia kekuasaan itu. Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah sila yang dikhianati karena pelanggaran HAM dilakukan sedemikian rupa secara harfiah. . Dibandingkan antara pelanggaran HAM yang dilakukan negara dan perseorangan, negara lebih rentan untuk melakukan pelanggaran HAM karena negara memiliki kekuatan memaksa, negara berwenang melakukan kekerasan secara fisik. Tidak terkecuali Indonesia.

4


(4)

Penangkapan, penahanan, dan penghilangan aktivis atau tokoh kritis secara paksa, pembredelan media cetak, penembakan tanpa alasan dan proses hukum, pembantaian warga sipil di berbagai daerah merupakan contoh kejahatan kemanusiaan pada masa

orde baru5

Soeharto pada masa pemerintahannya menerapkan tiga kebijakan sekaligus, yaitu; mengekang hak berserikat, berekspresi, dan berpendapat; melakukan eliminasi dan kebijakan reduksionis konsep – terhadap konsep HAM; dan melakukan pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa tanpa alasan hukum. Ketiga hal tersebut merupakan suatu kesatuan tindakan pelanggaran HAM sebagai bagian politik mempertahankan kekuasaan

.

6

Contoh jelas kasus pelanggaran HAM pada masa Orde Baru adalah mengenai tahanan politik (tapol)

.

7

5

Dr. Suparman Marzuki.2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 24

6

Dr. Suparman Marzuki, Ibid. Hal.106

7

T. Mulya Lubis.1981. Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1980, Jakarta: PT. Djaya Pirusa. Hal. 55

. Salah satu kasus mengenai tahanan politik yang sering terdengar adalah tahanan politik G30S/PKI, tahanan politik G30S/PKI berisi orang-orang yang terlibat langsung dengan Partai Komunis Indonesia ataupun gerakan-gerakan yang dibawahi oleh PKI. Tahanan politik G30S/PKI ini disebar ke beberapa daerah di Indonesia, salah satunya Pulau Buru, namun tidak menutup kemungkinan penyebarannya terjadi di kota-kota lain.


(5)

Dasar pijakan hukum penempatan para tapol ke Pulau Buru adalah Keputusan Presiden Soeharto No 16 tahun 1969 tentang pembentukan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang mempunyai tugas memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat peristiwa pemberontakan G30S/PKI serta kegiatan ekstrim dan subversi lainnya serta mengamankan kewibawaan pemerintah demi kelangsungan hidup Pancasila dan UUD 45.

Prinsip yang digariskan pemerintah untuk pelaksanaan tindakan tersebut, ialah tidak menggangu keamanan nasional, sesuai dengan perundangan yang berlaku, dan tahanan harus memproduksi sendiri kebutuhannya, sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan lima tahun. Pemilihan Pulau Buru didasarkan karena; Pulau Buru terletak jauh dari suhu politik ibu kota yang sangat peka; untuk meringankan beban keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita. Di Buru diharapkan para tahanan akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung

kepada anggaran keuangan Negara dengan bertitik tolak pada gagasan transmigrasi8

Selanjutnya, walaupun para tahanan politik ini telah bebas mereka masih diberikan pembatasan-pembatasan. Contoh yang paling jelas adalah pemberian tanda ET (Eks Tahanan) pada setiap kartu penduduk, dengan tanda ini para tahanan politik dibatasi gerak-geriknya, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, tidak bisa dipilih, .

8

Dikutip dari Jurnal Dr. Zeffry Alkatiri berjudul “Tujuh Buku Memoar Tentang Pulau Buru” yang merupakan salah satu isi dari Makalah Konferensi Sejarah Nasional.


(6)

dan tidak bisa bebas bepergian. Lebih ironisnya, keluarga bekas tahanan politik ini

turut pula menanggung kemalangan berupa tidak bisa sekolah dan bekerja9

Dari banyaknya tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru, terdapat lima tahanan yang membuat memoar tentang kehidupan mereka selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Lima orang dengan latar belakang dan profesi yang berbeda menuliskan memoar mereka dengan kecenderungan bahasa dan arah masing-masing. Kelima orang tersebut antara lain

.

10

• Pramoedya Ananta Toer (Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I&II)

:

• Hersri Setiawan (Memoar Pulau Buru & Diburu di Pulau Buru)

• Adrianus Gumelar Demokrasno (Dari Kalong sampai Pulau Buru)

• Kresno Saroso (Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol

Orde Baru)

• Suyatno Prayitno (Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan

Prajurit Tjakra)

Dari kelima tahanan yang pernah menuliskan memoar kehidupannya di Pulau Buru, hanya buku dari Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada masa Orde Baru sedangkan tahanan lain bukunya di terbitkan setelah masa Orde Baru. Buku Pramoedya ini sebenarnya diterbitkan pertama kali di Belanda pada tahun 1988 dan

1989 dengan judul Lied Van Een Stome, lalu pada tahun 1995 dan 1997 buku ini di

9

T. Mulya Lubis, Opcit,Hal. 56

10


(7)

terbitkan di Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, walau pada akhirnya buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ditarik peredarannya setelah 10 hari terbit karena mendapat cekalan dari pemerintah Indonesia pada saat itu.

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dikatakan oleh Pramoedya merupakan sebuah catatan-catatan yang dibuatnya selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru atau lebih lengkapnya,

“Buku itu adalah catatan-catatan pribadi sebetulnya, yang semula ditulis untuk anak-anak saya sendiri bukan untuk orang lain. Untuk memberikan kesaksian bahwa anak-anak saya mempunyai seorang ayah yaitu saya. Catatan-catatan itu saya buat untuk menghadapi kemungkinan saya mati disana baik mati secara alami maupun dibunuh. Catatan itu saya tulis saat pengawasan terhadap saya lengang atau tidak ada, begitu selesai ditulis langsung disembunyikan karena jika kedapatan oleh mereka dapat menjadi jaksa dan hakim bagi saya. Jadi catatan itu tidak pernah saya baca kembali, setelah selesai ditulis disembunyikan dan jika sudah banyak diseludupkan keluar dari Pulau Buru.”11

Penulisan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu didasarkan pada pertimbangan apa dan bagaimana pun pengalaman pribadi, apalagi dituliskan, ia menjadi bagian dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Menurut

Pramoedya, pengalaman merupakan hak pribadi yang tidak dapat dirampas12

Pramoedya Ananta Toer sendiri merupakan seorang sastrawan Indonesia yang mempunyai pengaruh cukup signifikan pada kesusasteraan di Indonesia. Begitu nama Pramoedya Ananta Toer disebut, segera sejumlah kontroversi bermunculan. Bahkan,

.

11

Dikutip dari wawancara Pramoedya Ananta Toer oleh radio Democracy Now pada tahun 1999

12


(8)

nyaris dari segala segi -karya maupun sosok- Pramoedya selalu memancing

kontroversi dan perdebatan, dukungan dan penolakan13

Pramoedya sebelumya pernah ditangkap dan dipenjara oleh Belanda selama tiga tahun serta dipenjara selama satu tahun pada masa Orde Lama. Di masa Orde Baru ia dipenjara selama 14 tahun, Pramoedya ditangkap pada 13 Oktober 1965 karena dianggap berafiliasi dengan Lekra dan PKI. Penahanan Pramoedya ke Pulau Buru dilakukan tanpa pengadilan terlebih dahulu, ia menghabiskan 10 tahun menjadi tahanan politik di Pulau Buru setelah menghabiskan 3 tahun di Nusakambangan. Kemudian ia bebas dari Pulau Buru pada tahun 1979, dan dipindahkan ke Magelang selama sebulan. Setelah bebas dari penjara, Pramoedya menjadi tahanan rumah di Jakarta hingga tahun 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga tahun 1999

.

14

Semasa hidunya, Pramoedya telah melahirkan lebih kurang 50 buku dan sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Dari semua bukunya terdapat beberapa

yang sangat terkenal di dalam maupun luar Indonesia, antara lain; Tetratologi Pulau

Buru, Gadis Pantai, Arus Balik, Bukan Pasar Malam, Panggil Aku Kartini Saja serta Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pramoedya juga salah satu sastrawan Indonesia yang mempunyai cukup banyak penghargaan dan apresiasi dari luar negri, salah satunya

.

13

Jamal D. Rahman. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal. 295

14


(9)

adalah dicalonkannya Pramoedya untuk mendapatkan Nobel Sastra namun gagal karena permasalahan pada hasil terjemahan buku-bukunya yang tidak maksimal.

Ciri khas dari kepujanggan Pramoedya adalah bahwa dia dengan caranya sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa Indonesia terutama generasi mudanya, mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru. Untuk itu dia tetap menggunakan media bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah sastra, meski kisah yang dia bawa sarat muatan politik. Dan, lahan serta bahan ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara

sendiri15

.

Buku Nyani Sunyi Seorang Bisu merupakan sebuah simbol penolakan terhadap ketidakadilan, bagaimana Pram tetap menulis semua keluh kesah serta curhatan hatinya walaupun disaat ia diasingkan, dibungkam bahkan kehilangan hak-haknya sebagai manusia. Pramoedya walaupun dalam setiap bukunya banyak menghubungkan dengan bagian-bagian sejarah, ia pada dasarnya tidaklah sedang menyajikan sejarah Indonesia dalam bungkus sastra. Ia menyajikan sejarah sebagai bagian untuk dikonfrontasikan dengan situasi nyata Indonesia saat ini. Begitupun pada buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya mengungkapkan sejarah yang terlupakan, terpinggirkan, dan tidak dipelakukan dengan adil.

15


(10)

1.2.Perumusan Masalah

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya Ananta Toer yang dibuat semasa tahanan di Pulau Buru. Buku ini ingin memperlihatkan adanya peristiwa sejarah kemanusiaan yang perlu untuk diingat dan dimasukan dalam bagian dari perjalanan sejarah Indonesia, yang selama ini ada kesan untuk ditutup-tutupi dan dianggap tidak pernah ada. Buku memoar ini pun sungguh baik untuk dijadikan rujukan sejarah dalam mengungkapkan penahan tapol akibat peristiwa berdarah tahun 1965. Penerbitan buku memoar ini tentunya juga berusaha untuk mengungkapkan tentang adanya penahanan secara tidak prosedural terhadap hampir puluhan ribu orang Indonesia dalam periode rezim militer otoritarian Orde Baru di Indonesia.

Maka yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu:

1. Bagaimana bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu? 1.3. Pembatasan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebatas pada analisis pelanggaran HAM di Pulau Buru berdasarkan Buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku


(11)

2. Untuk menganalisis pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru. 1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan agar mampu memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan terhadap

perkembangan dan pendalaman studi politik terutama tentang Hak Asasi Manusia.

2. Secara akademis, penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tidak hanya

bagi peneliti, tetapi juga bagi akademisi lainnya di berbagai tingkatan pendidikan.

3. Menambah pengetahuan bagi masyarakat, yang dalam hal ini lebih

diprioritaskan kepada kenyataan tentang pelanggaran HAM di Indonesia. 1.6. Kerangka Teori

1.6.1 Teori Tentang Hak Asasi Manusia

Konsep hak-hak asasi manusia mempunyai pengertian dasar bahwa hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dan dicabut adalah hak manusia karena ia seorang manusia. Hak-hak ini adalah hak-hak moral yang berasal dari kemanusiaan setiap

insan dan hak-hak itu bertujuan untuk menjamin martabat setiap manusia16

16

Leah Levin. 1987. Hak-Hak Asasi Manusia: Tanya Jawab. Jakarta: Perc. Hastama. Hal. 3

. Manusia mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, manusia mempunyai budi sendiri dan karsa yang merdeka sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat


(12)

dan derajat yang sama dan dengan demikian memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang sama.

HAM melekat pada kodrat manusia sendiri, artinya hak-hak yang paling fundamental tidak lain adalah aspek-aspek dari kodrat manusia ataupun kemanusiaan sendiri. Kemanusiaan setiap manusia bernilai sangat tinggi karena merupakan suatu ide yang luhur dari sang pencipta, yang menghendaki supaya setiap orang berkembang dan mencapai kesempurnaannya sebagai manusia. Oleh karena itu, setiap manusia harus dapat mengembangkan diri sedemikian rupa sehingga ia dapat terus berkembang secara leluasa. Ini adalah hak paling fundamental yang tidak boleh diganggu-gugat. Dimana ada manusia, disitu ada HAM, dan harus dihargai dan

dijunjung tinggi, tanpa kecuali17

Sebetulnya, HAM melekat pada kodrat manusia dan dimiliki oleh setiap insan sebagai manusia, di mana pun dan kapan pun ia berada. Namun, kenyataannya belum begitu lama bahwa sebagian umat manusia menyadari adanya HAM itu. Latar belakang historis HAM tercatat melewati banyak fase dalam waktu yang cukup lama, dimulai dari sebuah Piagam Agung “Magna Charta” (1215) yang berisi mengenai batasan yang jelas dan tegas terhadap kekuasaan raja yang absolute dan totaliter

.

17

Gunawan Setiardja. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 75


(13)

dibuat oleh bangsawa Inggris untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah

dicampakkan oleh kekuasaan raja John yang berkuasa saat itu18

1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).

.

Sampai kepada pembuatan Undang-undang Internasional HAM yang terdiri dari:

2. Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (1966/1976)

3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966/1976).

4. Optional Protocol dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (mengenai pengaduan perorangan) (1966/1976).

5. Optional Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang

bertujuan menghapus hukuman mati (1966/1976)19

Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh negara, karenanya hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut hak-hak negatif. Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Sedangkan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya justru menuntut peran maksimal negara. Negara justru melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila

.

18

Ibid. Hal.77

19

Prof. Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 220


(14)

negara tidak berperan secara aktif atau menunjukkan peran yang minus, karena itu

Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya sering disebut sebagai hak-hak positif20

Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam kovenan ini adalah di pundak negara. Pada pasal 2 Hak Sipil dan Politik ditegaskan negara diwajibkan untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan ini, yang diperuntungkan bagi semua individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yuridikasinya. Kalau hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam yuridikasi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan perlindungan hak-hak itu

.

21

Hak Atas Hidup, Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat. Hak atas hidup ini, tidak

.

Tanggung jawab negara yang dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dalam kovenan ini adalah bersifat mutlak dan harus dijalankan, singkatnya hak-hak

yang terdapat dalam kovenan ini bersifat justiciable. Inilah yang membedakannya

dengan tanggung jawab negara dalam konteks Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang tidak harus segera dijalankan pemenuhannya. Tetapi secara bertahap,

dan karena itu bersifat non-justiciable.

Adapun cakupan Kovenan Hak Sipil dan Politik antara lain:

20

Ifdhal Kasim. 2001. Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan. Jakarta: Elsam. Hal. Xvii

21


(15)

perlu diragukan, paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Tidak dapat diganggu-gugatnya hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling dasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi

manusia22

• Penyiksaan berarti suatu tindakan yang menimbulkan rasa sangat

menyakitkan atau penderitaan, baik fisik maupun mental, yang dibebankan oleh atau atas dorongan pejabat public pada seseorang dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau pengakuan darinya atau orang ketiga, dan menghukum atas tindakan yang telah ia lakukan atau dicurigai telah ia lakukan, atau mengintimidasi, atau orang-orang lain.

.

Hak Atas Keutuhan Jasmani, Pasal 7 Kovenan melarang (a) penyiksaan; (b) perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau menurunkan martabat; (c) percobaan medis atau ilimiah tanpa persetujuan yang bebas. Larangan penyiksaan dapat dipandang sebagai bagian integral dari hukum kebiasan internasional, bahkan memperoleh ciri tersendiri dalam norma hukum internasional umun yamg tak dapat diubah. Definisi dari penyiksaan dalam cakupan ini adalah:

22


(16)

• Penyiksaan merupakan bentuk yang lebih buruk dan disengaja dari pelakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau yang merendahkan

martabat23

Perlakuan yang merendahkan martabat telah dicermati bahwa kata “perlakuan” seharusnya tidak diterapkan dalam situasi yang merendahkan martabat, yang disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi dan sosial secara umum. Dengan demikian “perlakuan” pasti merupakan tindakan khusus yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk menghina korban.

Hak Atas Kebebasan dan Keamanan, Pasal 9 Kovenan mengajukan hak atas kebebasan dan keamanan seseorang. Istilah “hak atas kebebasan” mengimplikasikan kebabasan fisik dan meliputi kebebasan yang benar-benar konkret dan khusus dari penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang. Pasal 9 Konvenan menguraikan kebebasan ini sebagai, “tidak ada orang yang bisa dicabut kebebasannya kecuali atas dasar dan sesuai dengan prosedur yang ditegakkan oleh hukum”. Pada umumnya ada keharusan landasan penahanan dan prosedur yang ditempuh harus “ditegakkan oleh hukum”, dengan menekankan adanya kebutuhan untuk menyebarluaskan aturan yang melandasinya dan bertanggung jawab atas siapa yang ditangkap, mengapa, dan bagaimana.

.

Pasal 9(2) menyatakan, “seseorang yang ditangkap akan diberitahu pada saat pengakapan, dan akan diberitahu secara tepat tuduhan-tuduhan terhadapnya”. Hak ini

23


(17)

diterapkan dalam proses pidana yang sah dan merupakan hak yang dimiliki oleh mereka yang dituduh. Hak ini juga dirancang untuk menghindari terjadinya kesewenangan-wenangan dalam proses pidana. Tujuannya adalah untuk menghindarkan orang menemukan kebebasan diri mereka dicabut tanpa mengetahui

alasannya24

Pasal 9(3) menyatakan, “seseorang yang ditangkap atau ditahan karena tuduhan kriminal akan dibawa secepat mungkin ke hadapan hukum atau petugas yang diberi kuasa oleh hukum untuk menggunakan kekuasaan pengadilan dan diberi hak untuk mengadakan pemeriksaan pengadilan dalam waktu yang layak atau untuk

dibebaskan”. Ada dua bagian dari hak ini. Pertama, kebebasan eksekutif di

pemerintahan untuk bertindak dibatasi. Penahanan administratif secara temporer dapat diizinkan tetapi yang ditahan harus dibawa secepat mungkin ke hadapan

pengadilan. Kedua, sekali orang yang ditahan dituduh maka penahanannya dapat

diperpanjang (atas perintah hakim) meskipun ia harus dibawa ke pengadilan dalam waktu yang layak

.

25

Pasal 9(4) menyatakan, “seseorang yang dicabut kebebasannya melalui penangkapan atau penahanan berhak mendapatkan prosedur di depam pengadilan agar pengadilan dapat memutuskan keabsahan penahanannya tanpa penundaan dan memerintahkan pelepasannya jika penahanan itu tidak sah”. Tujuan dari ketentuan ini

.

24

Ibid. Hal. 167

25


(18)

adalah untuk menjamin para tahanan berhak mendapakan peninjauan kembali atas keabsahan penangkapan mereka. Dengan demikian, hak itu dibatasi oleh hal-hal di mana keputusan untuk mencabut kebebasan seseorang dilakukan oleh badan

administratif26

Pasal 9(5) menyatakan, “seseorang yang menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak mendapatkan kompensasi”. Pernyataan ini merupakan pengawasan yang sangat penting terhadap kekuasaan eksekutif secara luas untuk melindungi seseorang dalam penahanan. Jika eksekutif berbuat salah atau menyalahgunakan kekuasaanya, maka negara harus member korban ganti rugi atas pencabutan kebebasan yang salah

.

27

Mencermati pada kovenan ini terdapat pembedaan antara kebebasan berpendapat dan kebebasan berkespresi. Kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa paksaan adalah sesuatu yang absolute; sementara kebebasan untuk berekspresi

.

Hak Atas Kebebasan Berpendapat, Pasal 19 Kovenan menjelaskan setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan serta pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memiliki batas-batas. Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan tonggak dari hak asasi manusia, dan memiliki posisi penting bagi beberapa jenis hak dan kebebasan lainnya.

26

Ibid. Hal.173

27


(19)

dimungkinkan untuk tunduk pada batasan-batasan tertentu. Kebebasan bereskpresi mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan meneruskan informasi dan ide-ide. Hak-hak dan kebebasan ini ada tanpa terikat batasan wilayah. Hak atas kebebasan berpendapat dan bereskpresi dapat diterapkan tidak hanya dalam satu

negara saja, tetapi berlaku secara internasioal28

Paragraf 3 dari pasal 19 kovenan mengandung kalusal pembatasan, bahwa penerapan dalam pasal ini juga disertai tugas dan tanggung jawab khusus. Tugas dan tanggung jawab khusus ini dapat menjadi subjek dari aturan dan batasan tertentu, tetapi aturan dan batasan ini hanya sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang, dan dianggap perlu

.

29

Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa, Pasal 8 Kovenan menjelakan tidak ada seorang pun boleh diharuskan melakukan kerja paksa atau wajib kerja. Namun istilah kerja paksa atau wajib kerja tidak mencakup: Segala macam pekerjaan atau pelayanan, yang biasanya ditujukan kepada seorang tahanan sebagai akibat dari peraturan hukum pengadilan; Segala tugas kemiliteran; Segala tugas yang dituntut dalam keadaan darurat atau malapetaka yang mengancam kehidupan masyarakat; Segala pekerjaan atau pelayanan yang merupaka bagian dari kewajiban penduduk yang lazim

.

30 .

28

Ibid. Hal. 255

29

Ibid. Hal. 259

30


(20)

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Dimana penelitian ini hanya akan memahami serta melakukan interpretasi terhadap interaksi social terhadap para aktor dalam sebuah konteks sosial, terporal dan historis tertentu. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas dan keistimewaan dari

pengaruh sosial yang disajikan dalam bentuk uraian naratif31

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dimana dalam penelitian ini akan menggambarkan serta memaparkan tentang kondisi dan fenomena-fenomena social yang terjadi. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif

.

1.7.1 Jenis Penelitian

32

Dalam sebuah penelitian, data merupakan acuan yang akan dikaji dan dianalisis sebagai objek yang ingin dikupas ataupun diolah sehingga menjadi sebuah informasi yang lebih bersifat akademis. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan

.

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

31

Saryono dan Mekar Dwi Anggraeni. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan.

Yogyakarta: Nuha Medika, hal.1 32


(21)

data pada yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sekunder atau data-data kepustakaan. Bahan-bahan yang diambil untuk penelitian ini berasal dari buku, tulisan-tulisan maupun artikel dari jurnal, makalah, internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif tanpa menggunakan alat bantu rumus statistik. Penelitian ini akan bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dan kejadian. Yang kemudian akan mengolah data yang didapat dari lokasi penelitian yang akan dianalisis, kemudian akan di eksplorasi lebih dalam dan akan memunculkan sebuah kesimpulan yang akan menjelaskan dan menjawab masalah yang diteliti.

1.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian

BAB II :BIBLOGRAFI BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU

Pada bab ini akan diuraikan tentang buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu serta kondisi keadaan Hak Asasi Manusia pada masa Orde Baru


(22)

BAB III :ANALISI PELANGGARAN HAM DI PULAU BURU BERDASARKAN BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU Pada bab ini akan berisi analisis terhadap buku nyanyi sunyi seorang bisu yang dianalisis dan diteliti dengan menggunakan teori HAM. Sehingga diperoleh uraian tentang tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru.

BAB IV :PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis


(1)

diterapkan dalam proses pidana yang sah dan merupakan hak yang dimiliki oleh mereka yang dituduh. Hak ini juga dirancang untuk menghindari terjadinya kesewenangan-wenangan dalam proses pidana. Tujuannya adalah untuk menghindarkan orang menemukan kebebasan diri mereka dicabut tanpa mengetahui alasannya24

Pasal 9(3) menyatakan, “seseorang yang ditangkap atau ditahan karena tuduhan kriminal akan dibawa secepat mungkin ke hadapan hukum atau petugas yang diberi kuasa oleh hukum untuk menggunakan kekuasaan pengadilan dan diberi hak untuk mengadakan pemeriksaan pengadilan dalam waktu yang layak atau untuk dibebaskan”. Ada dua bagian dari hak ini. Pertama, kebebasan eksekutif di pemerintahan untuk bertindak dibatasi. Penahanan administratif secara temporer dapat diizinkan tetapi yang ditahan harus dibawa secepat mungkin ke hadapan pengadilan. Kedua, sekali orang yang ditahan dituduh maka penahanannya dapat diperpanjang (atas perintah hakim) meskipun ia harus dibawa ke pengadilan dalam waktu yang layak

.

25

Pasal 9(4) menyatakan, “seseorang yang dicabut kebebasannya melalui penangkapan atau penahanan berhak mendapatkan prosedur di depam pengadilan agar pengadilan dapat memutuskan keabsahan penahanannya tanpa penundaan dan memerintahkan pelepasannya jika penahanan itu tidak sah”. Tujuan dari ketentuan ini

.

24

Ibid. Hal. 167

25


(2)

adalah untuk menjamin para tahanan berhak mendapakan peninjauan kembali atas keabsahan penangkapan mereka. Dengan demikian, hak itu dibatasi oleh hal-hal di mana keputusan untuk mencabut kebebasan seseorang dilakukan oleh badan administratif26

Pasal 9(5) menyatakan, “seseorang yang menjadi korban penangkapan atau penahanan yang tidak sah berhak mendapatkan kompensasi”. Pernyataan ini merupakan pengawasan yang sangat penting terhadap kekuasaan eksekutif secara luas untuk melindungi seseorang dalam penahanan. Jika eksekutif berbuat salah atau menyalahgunakan kekuasaanya, maka negara harus member korban ganti rugi atas pencabutan kebebasan yang salah

.

27

Mencermati pada kovenan ini terdapat pembedaan antara kebebasan berpendapat dan kebebasan berkespresi. Kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa paksaan adalah sesuatu yang absolute; sementara kebebasan untuk berekspresi

.

Hak Atas Kebebasan Berpendapat, Pasal 19 Kovenan menjelaskan setiap

orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan serta pendapat dengan cara apapun juga dan dengan tidak memiliki batas-batas. Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan tonggak dari hak asasi manusia, dan memiliki posisi penting bagi beberapa jenis hak dan kebebasan lainnya.

26

Ibid. Hal.173

27


(3)

dimungkinkan untuk tunduk pada batasan-batasan tertentu. Kebebasan bereskpresi mencakup kebebasan untuk mencari, menerima dan meneruskan informasi dan ide-ide. Hak-hak dan kebebasan ini ada tanpa terikat batasan wilayah. Hak atas kebebasan berpendapat dan bereskpresi dapat diterapkan tidak hanya dalam satu negara saja, tetapi berlaku secara internasioal28

Paragraf 3 dari pasal 19 kovenan mengandung kalusal pembatasan, bahwa penerapan dalam pasal ini juga disertai tugas dan tanggung jawab khusus. Tugas dan tanggung jawab khusus ini dapat menjadi subjek dari aturan dan batasan tertentu, tetapi aturan dan batasan ini hanya sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang, dan dianggap perlu

.

29

Hak Atas Kebebasan dari Perbudakan dan Kerja Paksa, Pasal 8 Kovenan

menjelakan tidak ada seorang pun boleh diharuskan melakukan kerja paksa atau wajib kerja. Namun istilah kerja paksa atau wajib kerja tidak mencakup: Segala macam pekerjaan atau pelayanan, yang biasanya ditujukan kepada seorang tahanan sebagai akibat dari peraturan hukum pengadilan; Segala tugas kemiliteran; Segala tugas yang dituntut dalam keadaan darurat atau malapetaka yang mengancam kehidupan masyarakat; Segala pekerjaan atau pelayanan yang merupaka bagian dari kewajiban penduduk yang lazim

.

30 .

28

Ibid. Hal. 255

29

Ibid. Hal. 259

30


(4)

1.7. Metode Penelitian

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan analisis kualitatif. Dimana penelitian ini hanya akan memahami serta melakukan interpretasi terhadap interaksi social terhadap para aktor dalam sebuah konteks sosial, terporal dan historis tertentu. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan, dan menjelaskan kualitas dan keistimewaan dari pengaruh sosial yang disajikan dalam bentuk uraian naratif31

Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Dimana dalam penelitian ini akan menggambarkan serta memaparkan tentang kondisi dan fenomena-fenomena social yang terjadi. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, menyajikan data, menganalisis dan menginterpretasi dan juga bersifat komperatif dan korelatif

.

1.7.1 Jenis Penelitian

32

Dalam sebuah penelitian, data merupakan acuan yang akan dikaji dan dianalisis sebagai objek yang ingin dikupas ataupun diolah sehingga menjadi sebuah informasi yang lebih bersifat akademis. Dalam penelitian ini teknik pengumpulan

.

1.7.2. Teknik Pengumpulan Data

31

Saryono dan Mekar Dwi Anggraeni. 2010. Metode Penelitian Kualitatif Dalam Bidang Kesehatan.

Yogyakarta: Nuha Medika, hal.1 32


(5)

data pada yang digunakan adalah teknik pengumpulan data sekunder atau data-data kepustakaan. Bahan-bahan yang diambil untuk penelitian ini berasal dari buku, tulisan-tulisan maupun artikel dari jurnal, makalah, internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

1.7.3. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik analisis kualitatif tanpa menggunakan alat bantu rumus statistik. Penelitian ini akan bersifat deskriptif dengan tujuan memberikan gambaran mengenai situasi dan kejadian. Yang kemudian akan mengolah data yang didapat dari lokasi penelitian yang akan dianalisis, kemudian akan di eksplorasi lebih dalam dan akan memunculkan sebuah kesimpulan yang akan menjelaskan dan menjawab masalah yang diteliti.

1.8. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, pembatasan masalah, pertanyaan penelitian, manfaat penelitian, tujuan penelitian, kerangka teori serta metode penelitian BAB II :BIBLOGRAFI BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU

Pada bab ini akan diuraikan tentang buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu serta kondisi keadaan Hak Asasi Manusia pada masa Orde Baru


(6)

BAB III :ANALISI PELANGGARAN HAM DI PULAU BURU BERDASARKAN BUKU NYANYI SUNYI SEORANG BISU

Pada bab ini akan berisi analisis terhadap buku nyanyi sunyi seorang bisu yang dianalisis dan diteliti dengan menggunakan teori HAM. Sehingga diperoleh uraian tentang tindak pelanggaran HAM yang terjadi di Pulau Buru.

BAB IV :PENUTUP

Dalam bab ini berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil analisis data dan memberikan saran atas hasil penelitian yang telah diperoleh.