Karakteristik Penderita Demam Berdarah Dengue yang Dirawat Inap Di Bagian Penyakit Dalam RSUP H. Adam Malik tahun 2012

(1)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam dengue/DF dan Demam Berdarah Dengue/DBD ( dengue haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue ( dengue shock syndrome ) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan (syok) (Suhendro et al., 2009).

2.2 Etiologi

Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus dengan diameter 20nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106. Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotipe terbanyak (Suhendro et al,2009). Serotipe utama selama beberapa tahun terakhir adalah DENV-2 dan DENV-3. Infeksi dari satu serotipe memberikan imunitas imunitas seumur hidup terhadap serotipe tertentu tapi hanya beberapa bulan imunitas terhadap serotipe lain (Kariyawasam et al.,2010).

Vektor dari virus dengue adalah nyamuk (WHO,2009) :

Aedes aegypti

Aedes albopictus

Aedes polynesiensis

Aedes scutellaris

Hostnya adalah manusia yang digigit oleh nyamuk betina dan masa inkubasinya selama 4-10 hari (WHO, 2009).


(2)

Dengue adalah infeksi virus yang dimediasi nyamuk yang paling cepat menyebar di dunia. Dalam 50 tahun terakhir, insidensi meningkat 30 kali dengan peningkatan ekspansi geografi ke negara-negara baru dan pada dekade sekarang, dari kota ke pedesaan. Sebanyak 50 juta infeksi dengue terjadi setiap tahunnya dan sekitar 2,5 milyar orang tinggal di negara endemic dengue, termasuk Indonesia. Terdapat laporan sebanyak 2 dari 3 epidemik dengue setiap per tahunnya. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, demam berdarah terutama menyerang anak-anak, tetapi beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan kasus pada dewasa dengan tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi. Kira-kira 50% infeksi dengue dilaporkan pada pasien dewasa (15 tahun ke atas) dan meningkat dalam 3-5 tahun (Wiwanitkit, 2006).

Infeksi dengue ini endemis pada banyak negara Asia Tenggara, Pasifik Barat, Amerika (WHO, 1997) dan hiperendemis di Thailand. Demam berdarah dengue kebanyakan terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun (Witayathawornwong et al., 2012).

Infeksi dengue dialami sekitar 100 juta orang di seluruh dunia per tahun. Faktor yang memperngaruhi adalah urbanisasi, peningkatan populasi, perjalanan udara dan keterbatasan pencegahan dengue. Dari 100 juta infeksi per tahun, sebanyak 250-500 ribu orang mengalami penyakit berat, dengan sisanya ringan, nonspesifik atau bahkan asimptomatik (Adam et al.,2010).

Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 kasus per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995) dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun mencapai 2% tahun 1999. Di Indonesia, dimana lebih dari 35% populasi negara tinggal di daerah perkotaan, terdapat 150.000 kasus pada tahun 2007 dimana 25.000 kasus di Jakarta dan Jawa Barat. Tingkat kematian sebesar 1%. Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A.aegypti dan A.albopictus) (Suhendro et al.,2009).

Menurut Keishya (2011), penderita DBD pada anak (5-14 tahun) di RSUP HAM tahun 2010, berdasarkan jenis kelamin, penderita yang paling banyak adalah perempuan 49 pasien (55,7%) dan laki-laki 39 pasien (44,3%). Berdasarkan umur, dengan jumlah


(3)

terbanyak 9 tahun sebanyak14 pasien (15,9%) dan yang paling sedikit dijumpai pada umur 10 tahun sebanyak 5 penderita (5,7%).

Menurut Essy (2009), penderita DBD yang dirawat inap di RSU Pirngadi Medan Tahun 2008, dengan sampel 218 orang, distribusi proporsi berdasarkan umur tertinggi yaitu kelompok umur 10-14 tahun (26%), proporsi umur terendah terdapat pada kelompok umur 30-34 tahun. Berdasarkan suku yang tertinggi yaitu suku Batak (63,7%) dan terendah adalah Minang (1%). Berdasarkan tingkat pendidikan, tertinggi yaitu SD/SLTP (42,3%) dan terendah Akademi/PT (11,5%). Proporsi pekerjaan tertinggi yaitu Pelajar/Mahasiswa (52,9%) dan terendah Karyawan/ pegawai swasta (1%).

Beberapa faktor yang mempengaruhi beratnya penyakit, seperti faktor host, serotipe virus atau genotipe, sekuens infeksi virus, perbedaan antibody cross-reactive dengue, dan respon sel T. Usia lebih tua sebelumnya dilaporkan memiliki faktor resiko untuk mortalitas pada pasien dengan demam dengue atau demam berdarah dengue sebagai komorbiditas yang berhubungan dengan penuaan dan imunitas menurun sebagai faktor resiko untuk fatalitas pada pasien tua dengan infeksi aktif. Walaupun syok dan kebocoran plasma lebih sering terjadi pada usia muda, frekuensi perdarahan internal seiring dengan pertambahan usia. Selain itu komplikasi infeksi dengue pada dewasa, seperti demam dengue dengan perdarahan dan demam berdarah dengue mengalami peningkatan (Tantawichien, 2012).

Urbanisasi , peningkatan densitas populasi, banyaknya perjalanan udara dan keterbatasan pencegahan menyebabkan peningkatan kewaspadaan pada negara epidemik. Walaupun kebanyakan kasus terjadi pada musim panas, banyak kasus juga terjadi pada musim dingin. Hal ini bisa berhubungan dengan pemanasan global dan perubahan epidemiologi (Tsai et al., 2010).

2.4 Patogenesis

DBD dimulai dengan masuknya virus dengue melalui gigitan nyamuk, kemudian virus ini mengalami replikasi pada lymphnode lokal dan setelah 2 – 3 hari menyebar ke sirkulasi dan jaringan-jaringan. Dalam siekulasi virus dengue menginfeksi sel fagosit yaitu makrofag, monosit , sel Kupfer, sel B dan sel T limfosit. Bila infeksi ini berlangsung untuk pertama kali dapat memberikan gejala dan tanda yang ringan atau bahkan simptomatik, bergantung pada jumlah dan virulensi virus serta daya tahan host. Seseorang yang


(4)

terinfeksi pertama kali akan menghasil kan antibodi terhadap virus Dengue serotipe tersebut. Seharusnya, bila infeksi berikutnya terjadi oleh virus dengue dengan serotipe yang sama maka penderita akan kebal. Tetapi mengapa pada daerah yang hanya terdapat satu serotipe virus Dengue terdapat pula kasus yang berat? Hal ini terjadi oleh karena antibodi yang terbentuk bersifat non neutralisasi, yang artinya tak dapat menetraliser virus yang masuk. Keadaan ini mengakibatkan semakin mudahnya virus mengalami replikasi. Banyak para ahli sependapat bahwa infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi klinis pada penderita DBD (Ginting, 2004).

Bentuk klasik infeksi ini mempunyai periode inkubasi 5-8 hari (rentang 3-14 hari) diikuti onset demam, sakit kepala berat, menggigil dan bintik-bintik kemerahan pada kulit setelah 3-4 hari. Demam biasanya berlangsung 4-7 hari dan kebanyakan orang mengalami perbaikan sempurna tanpa komplikasi (Wiwanitkit, 2006).

Halstead pada tahun 1973 mengajukan hipotesis secondary heterologus infection yang menyatakan bahwa DHF terjadi bila seseorang terinfeksi ulang virus dengue dengan tipe berbeda. Reinfeksi menyebabkan reaksi anamnestik antibodi sehingga mengakibatkan konsentrasi kompleks imun yang tinggi (Suhendro et al., 2009).


(5)

Gambar 2.1.Hipotesis secondary heterologus infection (WHO, 1997)

Menurut hipotesis infeksi sekunder (gambar 1), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa (WHO, 1997).

Trombositopenia pada infeksi dengue terjadi melalui mekanisme : 1) Supresi sumsum tulang, dan 2).destruksi dan pemendekan masa hidup trombosit. Gambaran sumsum tulang pada fase awal infeksi (< 5 hari) menunjukkan keadaan hiposelular dan supresi megakariosit. Setelah keadaan nadir tercapai akan terjadi peningkatan proses hematoppoiesis termasuk megakariopoiesis. Kadar trombopoietin dalam darah pada saat terjadi trombositopenia justru menunjukkan kenaikan, hal ini menunjukkan terjadinya stimulasi trombopoiesis sebagai mekanisme kompensasi terhadap keadaan trombositopenia. Destruksi trombosit terjadi melalui pengikatan fragmen C3g, terdapatnya antibodi VD, konsumsi trombosit selama proses koagulopati dan sekuestrasi di perifer. Gangguan fungsi trombosit terjadi melalui mekanisme gangguan pelepasan ADP, peningkatan kadar b-tromboglobulin dan PF4 yang merupakan petaanda degranulasi trombosit. (Suhendro et al., 2009)

Infeksi sekuensial dengan serotipe dengue berbeda lebih rentan menjadi bentuk penyakit lebih berat (denan berdarah dengue/sindrom syok dengue). Hal ini dijelaskan dengan pembentukan kaskade cross-reactive antibodi heterolog nonnetralisasi yang diperkuat, sitokin (seperti interferon gamma yang diproduksi olek sel-sel T spesifik) dan aktivasi komplemen yang menyebabkan disfungsi endotel, destruksi trombosit, dan koagulopati konsumtif (Kariyawasan, 2010).

2.5. Diagnosis


(6)

A. Kriteria klinis:

1.

Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus

menerus selama 2-7 hari

2.

Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan:

a)

Uji torniquet positif

b)

Petekie,ekimosis,purpura

c)

Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi),

atau perdarahan dari tempat lain

d)

Hematemesis dan atau melena

3.

Pembesaran hati (hepatomegali)

4.

Syok ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,

hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien gelisah

B. Kriteria Laboratorium

1.

Trombositopenia (100.000/ml atau kurang)

2.

Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) karena peningkatan

permeabilitas kapiler dengan manifestasi :

Peningkatan hematokrit

≥20% dibandingkan standar sesuai dengan

umur dan jenis kelamin

Penurunan hematokrit

≤20% setelah mendapat terapi cairan,

dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya

Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites, atau

hipoproteinemia

Dua kriteria klinis pertama ditambah salah satu dari kriteria laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) sudah dapat menegakkan diagnosis klinis DBD (Suhendro et al.,2009).

Menurut Essy (2009), dengan sampel 218, penderita DBD yang dirawat inap di RSU Pirngadi Medan Tahun 2008, berdasarkan jumlah trombosit penderita saat masuk RS tertinggi adalah pada kelompok 50.000-100.000/mm3 (45,2%) dan yang terendah pada kelompok <50.000/mm3 (9,6%). Berdasarkan jumlah hematokrit penderita saat masuk RS tertinggi pada kelompok <40% sebesar 63,5% dan yang terendah adalah pada kelompok >50% sebesar 1%.


(7)

Menurut Khoirun (2012), dari 136 penderita DBD di RSUD Lubuk Pakam tahun 2011, berdasarkan jumlah trombosit, yang tertinggi yaitu penderita dengan jumlah trombosit ≤100.000/µl (69,6%). Berdasarkan jumlah hematokrit yang tertinggi yaitu ≤40% (57,2%).

2.6. Derajat Penyakit

Klasifikasi derajat penyakit dengue dapat dilihat pada tabel 2.1.

Tabel 2.1.Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue (Suhendro et al.,2009)

DD/DBD

Derajat Gejala

laboratorium

DD

Demam, disertai 2 atau

lebih tanda: sakit kepala,

nyeri retro-orbital,

mialgia, artralgia

- leukopenia

-

trombositopenia,

tidak ditemukan

bukti kebocoran

plasma

Serologi

dengue

positif

DBD

I

Gejala di atas ditambah uji

bendung positif

Trombositopenia

(<100.000),bukti

ada kebocoran

plasma

DBD

II

Gejala di atas ditambah

perdarahan spontan

Trombositopenia

(<100.000),bukti

ada kebocoran

plasma


(8)

DBD

III

Gejala di atas ditambah

kegagalan sirkulasi (kulit

dingin dan lembab serta

gelisah

Trombositopenia

(<100.000),bukti

ada kebocoran

plasma

DBD

IV

Syok berat disertai

dengan tekanan darah

dan nadi tidak terukur

Trombositopenia

(<100.000),bukti

ada kebocoran

plasma

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan klasifikasi dan derajat keparahan dari infeksi virus dengue, yaitu kriteria probable dengue, warning sign dan kriteria severe dengue yang bisa dilihat pada gambar 2.2:


(9)

Gambar 2.2.Klasifikasi dengue dan derajat keparahan (WHO,2009)

2.7. Manifestasi Klinis

WHO pada tahun 2009 mengeluarkan Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Dalam panduan tersebut WHO membagi hari-hari sakit demam dengue menjadi 3 fase : 1. Fase Demam, 2.Fase Kritis, 3.Fase Recovery

a.

Fase Demam

Penderita mengalami demam akut 2-7 hari disertai muka wajah memerah, kulit memerah, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia dan sakit kepala. Ada juga gejala nyeri tenggorokan, faring hiperemis, konjungtiva hiperemis. Anorexia, nausea dan muntah muntah umum terjadi. Sulit untuk membedakan dengue dengan non dengue pada fase demam, uji torniquet positif mempertinggi kemungkinan penderita mengalami infeksi virus dengue. Diperlukan monitor untuk menilai timbulnya tanda bahaya (warning sign) yang akan membuat pasien masuk ke fase ke 2 fase kritis. Manifestasi perdarahan ringan seperti petechiae dan perdarahan membran mukosa (seperti perdarahan hidung dan gusi) dapat terjadi. Perdarahan pervaginam yang masif dapat terjadi pada wanita usia muda dan perdarahan saluran cerna dapat terjadi pada fase ini tetapi jarang. Hati dapat membesar dan tegang/nyeri setelah demam beberapa hari. Tanda paling awal dari pemeriksaan darah rutin adalah menurunnya total leukosit (leukopenia) yang dapat menjadi dasar klinisi untuk menilai pasien sudah terjangkit virus dengue

b.

Fase Kritis

Selama fase rawatan, pada saat temperatur tubuh turun menjadi 37,5-38oC dan bertahan pada suhu tersebut, terjadi pada hari ke 3-7, meningkatnya permeabilitas

kapiler bersamaan dengan meningkatnya kadar hematokrit dapat terjadi. Ini merupakan tanda awal fase kritis. Leukopenia yang progresif diikuti dengan menurunnya jumlah trombosit mengiindikasikan kebocoran plasma. Efusi pleura dan ascites dapat terdeteksi tergantung dari derajat kebocoran plasma dan volume dari terapi cairan. Foto thorax dan ultrasonografi abdomen dapat digunakan untuk mendiagnosa efusi pleura dan ascites. Syok dapat terjadi didahului oleh timbulnya tanda bahaya (warning sign).


(10)

Temperatur tubuh dapat subnormal saat syok terjadi. Syok yang memanjang, terjadi hipoperfusi organ yang dapat mengakibatkan kegagalan organ, metabolik asidosis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Hepatitis akut yang berat, encephalitis, mmiokarditis dan atau terjadi perdarahan yang masif dapat terjadi. Pasien yang membaik dalam fase ini disebut sebagai non-severe dengue. Pasien yang memburuk akan menunjukkan tanda bahaya. Pasien ini bisa membaik dengan rehidrasi intravena atau memburuk kembali yang disebut severe dengue.

c.

Fase

Recovery

Bila pasien telah melewati 24-48 jam fase kritis, reabsorpsi cairan dari kompartemen extravascular terjadi dalam 48-72 jam. Keadaan umum membaik, kembalinya nafsu makan, berkurangnya gejala gastrointestinal, hemodinamik stabil dan cukup diuresis. Bradikardia dan perubahan EKG dapat terjadi pada fase ini. Hematokrit kembali normal atau lebih rendah karena efek dilusi cairan yang diberikan. Leukosit kembali meningkat disusul dengan meningkatnya trombosit. (WHO, 2009).


(11)

Severe dengue didefinisikan bila didapati satu atau lebih hal-hal berikut ini (WHO,2009) :

Kebocoran plasma yang mengarah pada syok

Perdarahan hebat

Gangguan berat organ

Biasanya terjadi pada hari ke-4 atau ke-5 demam (berkisar antara hari ke 3-7), ditandai dengan tanda bahaya. Kompensasi tubuh untuk mempertahankan tekanan sistolik menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer, ditandai dengan akral dingin dan peningkatan capillary refill time. Akhirnya terjadi dekompensasi dan TD menghilang. Syok akibat hipotensi dan hipoksia akan menyebabkan kegagalan multiorgan (WHO,2009).

Penelitian epidemiologi dengue dan DHF di Bandung, Prop Jawa Barat didapatkan menifestasi klinis yang dapat dilihat pada tabel (Primal et al.,2005):

Tabel 2.2 . Manifestasi klinis dengue dan non dengue

Symptom/ sign

Dengue (%)

Non dengue (%)

Headache

89.9

89.3

Retro-orbital pain

36.4

40.7

Sore throat

19.1

41.1

Myalgia

93.3

88.6

Abdominal pain

29.2

26.1

Nausea

71.9

54.3

Vomiting

21.4

13.8

Spontaneous hemorrhage

14.6

0.4

Rash

4.7

0.6

Positive torniquet test

52.3

34.4

Leukopenia (

≤4000/mm

3

)

43.4

5.7

Thrombocytopenia (<100.000/mm

3

)

37.2

3.6


(12)

Menurut Keishya (2011), penderita DBD pada anak (5-14 tahun) di RSUP HAM tahun 2010, berdasarkan keluhan pada penderita demam berdarah dengue pada

anak didapatkan demam 88 penderita (100%), muntah 62 penderita (70,5%), manifestasi perdarahan 49 penderita (55,7%), nyeri perut 27 penderita (30,7%), penurunan nafsu makan 26 penderita (29,5%), nyeri kepala 25 penderita (28,4%), mual 14 penderita(15,9%), nyeri ulu hati 22 penderita (25,0%), nyeri sendi 17 penderita (19,3%), nyeri telan 12 penderita (13,6%), batuk 12 penderita (13,6%), mencret 8 penderita (9,1%), dan syok 7 penderita (8,0%).

2.8. Diagnosis Banding

Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti demam, tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis dan malaria. Adanya hemokonsentrasi membedakan DBD dari penyakit lain (Suhendro et al., 2009).

Diagnosis banding demam dengue adalah meningitis, ensefalitis, dan sinusitis yang juga terdapat pada gejala demam dan sakit kepala. Terdapat “cross-reactivity” PCR antara virus dengue dan organisme lain seperti Demam West Nile di AS (Guerdan, 2010).

2.9. Penatalaksanaan

Kategori grup (WHO, 2009) : 1. GRUP A

Pasien yang boleh pulang

Mampu mengkonsumsi cairan oral dan BAK minimal setiap 6 jam

Tidak ditemukan tanda bahaya

2. GRUP B

Pasien yang harus dirawat inap


(13)

Kondisi yang beresiko : kehamilan bayi, usia tua, obesitas, DM, gagal

ginjal, penyakit hemolitik kronis, dan pasien yang tinggal sendiri atau

tempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan

3. GRUP C

Pasien yang membutuhkan tindakan gawat darurat

Ditemukan hal-hal berikut : kebocoran plasma hebat, perdarahan hebat,

gangguan berat organ.

a.

GRUP A

Pasien yang termasuk kategori GRUP A dianjurkan mengkonsumsi cairan rehidrasi oral (oralit), jus buah dan cairan lainnya yang mengandung elektrolit dan gula.

Untuk pasien yang demam tinggi berikan paracetamol, hindari OAINS (NSAID) karena dapat memicu gastritis dan perdarahan.

Kita juga menginstruksikan pada pasien atau yang merawatnya untuk segera ke rumah sakit bila keadaan memburuk atau tidak membaik dan muncul tanda bahaya.

b.

GRUP B

Pasien dengan tanda bahaya:

1.

Periksa HT sebelum terapi cairan. Berikan cairan isotonik seperti NaCL

0,9% atau Hartmann’s solution

2.

Mulai dari 5-7 c/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 cc/kg/jam selama

2-4 jam, lalu 2-3 cc’kg/jam atau sesuaikan dengan keadaan pasien

3.

Periksa ulang HT setelah terapi cairan. Bila hasilnya tetap atau meningkat

sedikit, lanjutkan terapi (2-4 cc/kg/jam). Jika vital sign memburuk dan HT

meningkat drastis, terapi cairan 5-10 cc/kg/jam selama 1-2 jam. Berikan

terapi hanya untuk mempertahankan urin 0,5 cc/kg/jam

4.

Monitor pasien sampai fase kritis terlewati.

Pasien tanpa tanda bahaya:

1.

Anjurkan konsumsi cairan oral. Bila sulit dilakukan, terapi cairan

maintenance dengan NaCl 0.9% atau RL dengan atau tanpa dextrose


(14)

c.

GRUP C

Pasien dengan severe dengue harus dirujuk atau dirawat di rumah sakit dengan fasilitas intensif (ICU) dan transfusi darah.

Penanganan syok:

1.

Mulai terapi cairan dengan kristaloid isotonik 5-10 cc/kg/jam selama 1

jam. Selalu monitor vital sign, HT dan urin output

2.

Jika pasien membaik, terapi cairan dikurangi menjadi 5-7cc/kg/jam selama

1-2 jam, kemudian 3-5 cc/kg/jam selama 2-4 jam, l alu 2-3 cc/kg/jam dan

disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Ini dilakukan paling lama 24-48

jam.

3.

Jika vital sign tidak stabil dan HT meningkat (>50%), ulangi pemberian

kristaloid intravena 10-20 cc/kg/jam selama 1 jam. Bila ada perbaikan,

kurangi menjadi 7-10 cc/kg/jam dan lanjutkan sesuai diatas

4.

Bila HT menurun drastis (<20-45%) curiga adanya perdarahan. Lakukan

cross-match

untuk persiapan transfusi bila diperlukan (WHO,2009).

2.9.1. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue menurut Depkes 2004 a. Demam Dengue

Pasien DD (Demam Dengue) dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan:

a.

Tirah baring, selama masih demam

b.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan

c.

Dianjurkan pemberian paracetamol untuk menurunkan suhu <39

o

C

d.

Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu,

disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari

e.

Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesens.

b. Demam Berdarah Dengue Fase demam


(15)

Umumnya sama dengan tatalaksana demam dengue. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Paracetamol dianjurkan sebagai antipiretik.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama.

Penggantian volume plasma

Cairan intravena diperlukan apabila: 1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum peroral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, 2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7.46%, 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan.

c. Sindrom Syok Dengue Penggantian volume segera

Pengobatan awal cairan intravena laruta RL> 20ml/kgBB. Tetesan diberikan secepat mungkin selama 30 menit . Apabila syok belum teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetasan 10 ml/kgBB/jam, bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10ml/kgBB. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar/ nilai hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetasan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit.


(16)

Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit

Analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

Pemberian oksigen

Terapi oksigen 2 liter/menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan menggunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini:

1.

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2.

Nafsu makan membaik

3.

Secara klinis tampak perbaikan

4.

Hematokrit stabil

5.

Tiga hari setelah syok teratasi

6.

Jumlah trombosit >50.000/mm

3

7.

Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau

asidosis) ( Depkes RI, 2004).


(1)

Severe dengue didefinisikan bila didapati satu atau lebih hal-hal berikut ini (WHO,2009) :

Kebocoran plasma yang mengarah pada syok

Perdarahan hebat

Gangguan berat organ

Biasanya terjadi pada hari ke-4 atau ke-5 demam (berkisar antara hari ke 3-7), ditandai dengan tanda bahaya. Kompensasi tubuh untuk mempertahankan tekanan sistolik menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer, ditandai dengan akral dingin dan peningkatan capillary refill time. Akhirnya terjadi dekompensasi dan TD menghilang. Syok akibat hipotensi dan hipoksia akan menyebabkan kegagalan multiorgan (WHO,2009).

Penelitian epidemiologi dengue dan DHF di Bandung, Prop Jawa Barat didapatkan menifestasi klinis yang dapat dilihat pada tabel (Primal et al.,2005):

Tabel 2.2 . Manifestasi klinis dengue dan non dengue

Symptom/ sign

Dengue (%)

Non dengue (%)

Headache

89.9

89.3

Retro-orbital pain

36.4

40.7

Sore throat

19.1

41.1

Myalgia

93.3

88.6

Abdominal pain

29.2

26.1

Nausea

71.9

54.3

Vomiting

21.4

13.8

Spontaneous hemorrhage

14.6

0.4

Rash

4.7

0.6

Positive torniquet test

52.3

34.4

Leukopenia (

≤4000/mm

3

)

43.4

5.7


(2)

Menurut Keishya (2011), penderita DBD pada anak (5-14 tahun) di RSUP HAM tahun 2010, berdasarkan keluhan pada penderita demam berdarah dengue pada

anak didapatkan demam 88 penderita (100%), muntah 62 penderita (70,5%), manifestasi perdarahan 49 penderita (55,7%), nyeri perut 27 penderita (30,7%), penurunan nafsu makan 26 penderita (29,5%), nyeri kepala 25 penderita (28,4%), mual 14 penderita(15,9%), nyeri ulu hati 22 penderita (25,0%), nyeri sendi 17 penderita (19,3%), nyeri telan 12 penderita (13,6%), batuk 12 penderita (13,6%), mencret 8 penderita (9,1%), dan syok 7 penderita (8,0%).

2.8. Diagnosis Banding

Pada awal penyakit, diagnosis banding mencakup infeksi bakteri, virus atau protozoa seperti demam, tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis dan malaria. Adanya hemokonsentrasi membedakan DBD dari penyakit lain (Suhendro et al., 2009).

Diagnosis banding demam dengue adalah meningitis, ensefalitis, dan sinusitis yang juga terdapat pada gejala demam dan sakit kepala. Terdapat “cross-reactivity” PCR antara virus dengue dan organisme lain seperti Demam West Nile di AS (Guerdan, 2010).

2.9. Penatalaksanaan

Kategori grup (WHO, 2009) : 1. GRUP A

Pasien yang boleh pulang

Mampu mengkonsumsi cairan oral dan BAK minimal setiap 6 jam

Tidak ditemukan tanda bahaya

2. GRUP B

Pasien yang harus dirawat inap


(3)

Kondisi yang beresiko : kehamilan bayi, usia tua, obesitas, DM, gagal

ginjal, penyakit hemolitik kronis, dan pasien yang tinggal sendiri atau

tempat tinggal jauh dari fasilitas kesehatan

3. GRUP C

Pasien yang membutuhkan tindakan gawat darurat

Ditemukan hal-hal berikut : kebocoran plasma hebat, perdarahan hebat,

gangguan berat organ.

a.

GRUP A

Pasien yang termasuk kategori GRUP A dianjurkan mengkonsumsi cairan rehidrasi oral (oralit), jus buah dan cairan lainnya yang mengandung elektrolit dan gula.

Untuk pasien yang demam tinggi berikan paracetamol, hindari OAINS (NSAID) karena dapat memicu gastritis dan perdarahan.

Kita juga menginstruksikan pada pasien atau yang merawatnya untuk segera ke rumah sakit bila keadaan memburuk atau tidak membaik dan muncul tanda bahaya.

b.

GRUP B

Pasien dengan tanda bahaya:

1.

Periksa HT sebelum terapi cairan. Berikan cairan isotonik seperti NaCL

0,9% atau Hartmann’s solution

2.

Mulai dari 5-7 c/kg/jam selama 1-2 jam, kemudian 3-5 cc/kg/jam selama

2-4 jam, lalu 2-3 cc’kg/jam atau sesuaikan dengan keadaan pasien

3.

Periksa ulang HT setelah terapi cairan. Bila hasilnya tetap atau meningkat

sedikit, lanjutkan terapi (2-4 cc/kg/jam). Jika vital sign memburuk dan HT

meningkat drastis, terapi cairan 5-10 cc/kg/jam selama 1-2 jam. Berikan

terapi hanya untuk mempertahankan urin 0,5 cc/kg/jam

4.

Monitor pasien sampai fase kritis terlewati.

Pasien tanpa tanda bahaya:

1.

Anjurkan konsumsi cairan oral. Bila sulit dilakukan, terapi cairan

maintenance dengan NaCl 0.9% atau RL dengan atau tanpa dextrose


(4)

c.

GRUP C

Pasien dengan severe dengue harus dirujuk atau dirawat di rumah sakit dengan fasilitas intensif (ICU) dan transfusi darah.

Penanganan syok:

1.

Mulai terapi cairan dengan kristaloid isotonik 5-10 cc/kg/jam selama 1

jam. Selalu monitor vital sign, HT dan urin output

2.

Jika pasien membaik, terapi cairan dikurangi menjadi 5-7cc/kg/jam selama

1-2 jam, kemudian 3-5 cc/kg/jam selama 2-4 jam, l alu 2-3 cc/kg/jam dan

disesuaikan dengan hemodinamik pasien. Ini dilakukan paling lama 24-48

jam.

3.

Jika vital sign tidak stabil dan HT meningkat (>50%), ulangi pemberian

kristaloid intravena 10-20 cc/kg/jam selama 1 jam. Bila ada perbaikan,

kurangi menjadi 7-10 cc/kg/jam dan lanjutkan sesuai diatas

4.

Bila HT menurun drastis (<20-45%) curiga adanya perdarahan. Lakukan

cross-match

untuk persiapan transfusi bila diperlukan (WHO,2009).

2.9.1. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue menurut Depkes 2004 a. Demam Dengue

Pasien DD (Demam Dengue) dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan:

a.

Tirah baring, selama masih demam

b.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan

c.

Dianjurkan pemberian paracetamol untuk menurunkan suhu <39

o

C

d.

Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirup, susu,

disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari

e.

Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesens.

b. Demam Berdarah Dengue Fase demam


(5)

Umumnya sama dengan tatalaksana demam dengue. Apabila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Paracetamol dianjurkan sebagai antipiretik.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kgBB dalam 4-6 jam pertama.

Penggantian volume plasma

Cairan intravena diperlukan apabila: 1) anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum peroral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok, 2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7.46%, 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan.

c. Sindrom Syok Dengue Penggantian volume segera

Pengobatan awal cairan intravena laruta RL> 20ml/kgBB. Tetesan diberikan secepat mungkin selama 30 menit . Apabila syok belum teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetasan 10 ml/kgBB/jam, bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid dan beri cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10ml/kgBB. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan, maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar/ nilai hematokrit tetap tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam) dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetasan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar hematokrit.


(6)

Koreksi gangguan metabolit dan elektrolit

Analisis gas darah dan kadar elektrolit harus selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

Pemberian oksigen

Terapi oksigen 2 liter/menit harus selalu diberikan pada semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan menggunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.

Kriteria memulangkan pasien

Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan dibawah ini:

1.

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2.

Nafsu makan membaik

3.

Secara klinis tampak perbaikan

4.

Hematokrit stabil

5.

Tiga hari setelah syok teratasi

6.

Jumlah trombosit >50.000/mm

3

7.

Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau

asidosis) ( Depkes RI, 2004).