Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Manggis

2.1.1 Sejarah singkat

Manggis merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari hutan tropis yang teduh di kawasan Asia Tenggara, yaitu hutan tropis Malaysia atau Indonesia. Dari Asia Tenggara, tanaman ini menyebar ke daerah Amerika Tengah dan daerah tropis lainnya seperti Srilanka, Malagasi, Karibia, Hawaii dan Australia Utara. Di Indonesia manggis disebut dengan berbagai macam nama lokal seperti manggu (Jawa Barat), Manggus (Lampung), Manggusto (Sulawesi Utara), Manggista (Sumatera Barat) (Ristek, 2013).

2.1.2 Klasifikasi tanaman

Berdasarkan surat hasil identifikasi tumbuhan, maka sistematika tumbuhan manggis adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledon Bangsa : Guttifernales Suku : Guttiferae Marga : Garcinia

Spesies : Garcinia x mangostana L. ( Rukmana, 2003).

Manggis (Garcinia x mangostana L.) berasal dari hibridisasi natural dari Garcinia malaccensis and Garcinia hombrioniana. Variasi genetik manggis rendah karena tanaman manggis berkembang biak secara aseksual, sehingga keragaman genetiknya rendah (Rukmana, 2003). Salah satu cara yang lazim digunakan untuk


(2)

meningkatkan keragaman genetik manggis dengan induksi mutasi menggunakan iradiasi sinar gamma (Sobir dan Roedhy, 2007).

2.1.3 Uraian tumbuhan 2.1.3.1 Morfologi

Bentuk daun lonjong dengan ujung runcing, tepi daun rata, panjang 18 – 20 cm, lebar 8 – 10 cm. Kelopak dan mahkota bunga masing masing berjumlah 4 buah. Warna kelopak bunga hijau, mahkota bunga berwarna kuning pucat dengan warna merah muda pucat pada bagian pinggir. Jumlah segmen buahnya antara 5 sampai 11 buah, warna kulit buah matang sempurna ungu tua kehitaman (Mansyah, 2014).

2.1.3.2 Habitat

Manggis dengan nama latin merupakan tanaman buah berupa pohon yang banyak tumbuh secara alami pada hutan tropis di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Vietnam dan Kamboja (Chaverry, dkk.,2008).

2.1.3.3 Kandungan zat kimia

Kulit buah manggis mengandung sekitar 50 senyawa xanton. Pertama adalah mangostin (α-mangostin) diisolasi pada tahun 1855. α-mangostin berwarna kuning yang juga dapat diperoleh dari kulit kayu dan getah kering buah manggis. Selain itu, Dragendorff (1930) mengisolasi ß-mangostin, xanton lain yang telah diisolasi dari kulit buah manggis adalah γ-mangostin, gartanin dan 8- deoksigartanin, dll. Xanton yang banyak dipelajari adalah α-mangostin, ß-mangostin, γ-mangostin, Garcinone E, 8-deoksigartanin dan gartanin (Chaverry, dkk., 2008).


(3)

Gambar 2.1 Struktur kimia dari α-mangostin, β-mangostin, gartanin, γ-mangostin, garcinon E, 8-deoksigartanin (Chaverry, dkk., 2008).

2.1.3.4 Kegunaan

Kulit buah manggis bermanfaat bagi kesehatan karena mengandung senyawa fenol/polifenol, epikatekin, dan xanton. Xanton merupakan senyawa organik dan mempunyai banyak turunan di alam. Alfa-mangostin merupakan turunan xanton yang banyak terdapat pada kulit dan buah manggis. Xanton yang terdapat pada kulit buah manggis bersifat antidiabetik, antikanker, antiinflamasi, antibakteri (Balitbang, 2012). Xanton juga berfungsi sebagai antioksidan sehingga mampu menstabilkan bahan yang bersifat photounstable seperti avobenson dan dapat mencegah penyakit yang ditimbulkan oleh radiasi sinar UV (Afonso, dkk., 2014). Hal ini karena xanton mempunyai nilai potensial oksidasi yang rendah


(4)

sehingga lebih mudah mendonorkan elektron dan atom hidrogen pada radikal bebas dibandingkan dengan zat yang dilindunginya (avobenson dan oktil metoksisinamat) sehingga menjadikan xanton sebagai antioksidan dan reduktor yang kuat (Santos, dkk., 2012). Antioksidan banyak digunakan sebagai bahan kosmetik yang mencegah photoaging dan mempunyai efek fotoproteksi, dan mencegah atau mengurangi radikal bebas. Selain itu, xanton mempunyai kemampuan photoprotector karena memiliki gugus kromofor (gugus aromatis terkonjugasi) yang dapat menyerap sinar UV sehingga elektron tereksitasi dari posisi ground state ke excited state kemudian elektron kembali ke posisi ground state dengan melepaskan energi dalam bentuk panas yang lebih rendah (Hogade, dkk., 2010; Schalka dan Vitor., 2011; Kale, dkk., 2011).

2.2 Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apapun juga kecuali dinyatakan lain simplisia merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau eksudat tanaman. Yang dimaksud dengan eksudat tanaman ialah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau yang dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya (Depkes RI, 1979).

2.3 Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses penyarian simplisia nabati atau hewani dengan cara yang cocok di luar pengaruh cahaya matahari langsung sehingga didapatkan hasil berupa ekstrak kering, kental atau cair. Terdapat beberapa macam


(5)

metode ekstraksi, diantaranya adalah maserasi, perkolasi dan lain-lain (Depkes RI, 1979).

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut/penyari yang cocok dengan adanya pengadukan pada temperatur ruangan (kamar) dan terlindung dari cahaya matahari dan dilakukan selama 5 hari (Depkes RI, 1979).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah penyarian yang dilakukan dengan merendam simplisia dengan cairan penyari dalam bejana tertutup selama 3 jam lalu simplisia tersebut dipindahkan ke perkolator dan dituangi dengan penyari serta diamkan selama 24 jam. Kemudian buka tutup perkolator dan atur tetesan perkolat dengan kecepatan 1 ml/menit, penyari ditambahkan terus menerus hingga perkolat menjadi bening atau tidak berwarna dan perkolat terakhir yang diuapkan tidak meninggalkan sisa (Depkes RI, 1979).

2.4 Kulit

Kulit merupakan suatu lapisan yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan tersebut melalui pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinisasi dan pelepasan sel-sel yang mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar UV matahari, sebagai perasa dan peraba, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah,


(6)

2007). Luas kulit orang dewasa sekitar 1,5 m2dengan berat kira-kira 15% berat badan (Wasitaatmadja, 1997).\

Menurut Polo (1998), kulit terdiri dari beberapa lapisan diantaranya: - Epidermis

- Dermis atau korium (Lapisan epidermis dan dermis disebut kutis atau integumen)

- Hipodermis atau Subkutis

Gambar 2.2 Struktur Anatomi Kulit Manusia (Polo, 1998).

2.4.1 Epidermis

Epidermis merupakan lapisan kulit paling luar. Epidermis memiliki ketebalan berbeda pada berbagai bagian tubuh, yang paling tebal berukuran 1 mm misalnya pada telapak kaki dan telapak tangan, dan paling tipis berukuran 0,1 mm terdapat pada kelopak mata, pipi, dahi, dan perut (Tranggono dan Latifah, 2007).


(7)

Epidermis terbagi menjadi lima lapisan, yaitu: 1. Stratum corneum (lapisan tanduk)

Lapisan ini sebagian besar terdiri atas keratin (protein yang tidak larut dalam air). Secara alami, sel-sel yang mati di permukaan kulit akan melepaskan diri untuk beregenerasi. Permukaan lapisan ini dilapisi oleh lapisan pelindung yang lembab, tipis, dan bersifat asam disebut mantel asam kulit (Tranggono dan Latifah, 2007). Umumnya, pH fisiologis mantel asam kulit berkisar antara 4,5-6,5. Mantel asam kulit memiliki fungsi yang cukup penting bagi perlindungan kulit sehingga disebut “the first line barrier of the skin” (perlindungan kulit yang pertama).

Mantel asam kulit memiliki tiga fungsi pokok, yaitu:

1) Sebagai penyangga (buffer) untuk menetralisir bahan kimia yang terlalu asam atau terlalu alkalis yang masuk ke kulit.

2) Dengan sifat asamnya, dapat membunuh atau menekan pertumbuhan mikroorganisme yang berbahaya bagi kulit.

3) Dengan sifat lembabnya, dapat mencegah kekeringan kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

2. Stratum lucidum

Lapisan ini terletak tepat di bawah stratum corneum. Lapisan ini mengandung eleidin, dan tampak jelas pada telapak tangan dan telapak kaki (Tranggono dan Latifah, 2007).

3. Stratum granulosum

Lapisan ini tersusun atas sel-sel keratinosit berbentuk poligonal, berbutir kasar. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin. Lapisan ini juga tampak jelas pada telapak tangan dan kaki (Tranggono dan Latifah, 2007; Wasitaatmadja, 1997).


(8)

4. Stratum spinosum (lapisan malphigi)

Lapisan ini memiliki sel berbentuk kubus dan seperti berduri, dan berbentuk oval. Sel-sel ini makin dekat ke permukaan kulit semakin berbentuk gepeng. Setiap sel berisi filamen kecil yang terdiri atas serabut protein. Di antara sel sel stratum spinosum terdapat sel Langerhans yang mempunyai peran penting dalam sistem imun tubuh (Tranggono dan Latifah, 2007; Wasitaatmadja, 1997). 5. Stratum germinativum (lapisan basal atau membran basalis)

Lapisan ini merupakan lapisan terbawah epidermis. Di dalamnya terdapat sel-sel melanosit, yaitu sel yang tidak mengalami keratinisasi dan fungsinya hanya membentuk pigmen melanin dan melalui dendrit diberikan kepada sel-sel keratinosit. Satu sel melanin untuk sekitar 36 sel keratinosit disebut unit melanin epidermal (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.4.2 Dermis

Lapisan ini lebih tebal daripada epidermis, terdiri dari serabut kolagen dan elastin. Di dalam dermis terdapat adneksa kulit, seperti folikel rambut, papila rambut, kelenjar keringat, saluran keringat, kelenjar sebasea, otot penegak rambut, ujung pembuluh darah dan ujung saraf, juga sebagian serabut lemak yang terdapat pada lapisan lemak bawah kulit. Dermis tersusun atas dua lapisan, yaitu lapisan papilari dan lapisan retikular. Lapisan yang dekat dengan epidermis adalah lapisan papilari yang terdiri atas jaringan kolagen, serat elastin, dan fibroblas. Lapisan dalam adalah lapisan retikular, mempunyai lebih sedikit jaringan fibroblas dan lebih banyak kolagen (Tranggono dan Latifah, 2007; Wasitaatmadja, 1997).

2.4.3 Hipodermis

Lapisan ini terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti di pinggir. Lapisan sel lemak disebut


(9)

panikulus adiposus berfungsi sebagai cadangan makanan. Pada lapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan saluran getah bening. Tebal jaringan lemak tidak sama bergantung pada lokasi (Wasitaatmadja, 1997).

2.5 Sinar Matahari dan Efeknya Terhadap Kulit

Penyinaran matahari mempunyai 2 efek, baik yang menguntungkan maupun yang merugikan, tergantung dari frekuensi dan lamanya sinar matahari mengenai kulit, intensitas sinar matahari serta sensitifitas seseorang (Ditjen POM, 1985). Efek yang ditimbulkan oleh sinar matahari:

1. Efek yang bermanfaat

Penyinaran matahari yang sedang, secara psikologi dan fisiologi menimbulkan rasa nyaman dan sehat. Dapat merangsang peredaran darah, serta meningkatkan pembentukan hemoglobin. Sinar matahari dapat mengubah 7-dehidrokolesterol (provitamin D3) yang terdapat pada epidermis dan diaktifkan menjadi vitamin D3. Sinar matahari juga merangsang pembentukan melanin sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung tubuh alami terhadap sengatan matahari selanjutnya (Ditjen POM, 1985).

2. Efek yang merugikan

Penyinaran matahari mempunyai efek yang merugikan. Sinar matahari menyebabkan eritema ringan hingga luka bakar yang nyeri pada kasus yang lebih parah. Umumnya eritema tersebut terjadi 2-3 jam setelah sengatan surya, gejala tersebut akan berkembang dalam 10-24 jam. Sengatan surya akan merusak lapisan bertaju, mungkin karena proses denaturasi protein. Kerusakan sel tersebut menyebabkan terlepasnya mediator seperti histamin, sehingga terjadinya pelebaran pembuluh darah dan eritema, juga menyebabkan edema kulit dan merangsang sel


(10)

basal untuk berproliferasi. Lukar bakar ringan dapat sembuh dalam waktu 24-36 jam, luka bakar lebih parah dapat sembuh dalam 4-8 hari. Jika inflamasi berkurang maka terjadi pengelupasan kulit. Sengatan surya yang berlebihan dapat menyebabkan kelainan kulit dari dermatitis ringan hingga kanker kulit. Orang kulit putih lebih mudah terserang kanker kulit dibandingkan dengan orang kulit hitam (Ditjen POM, 1985).

Panjang gelombang sinar ultraviolet dapat dibagi menjadi 3 bagian :

1. Ultraviolet A (UVA) yaitu sinar dengan panjang gelombang antara 320 - 400 nm dengan efektivitas tetinggi pada 340 nm, dapat menyebabkan warna coklat pada kulit tanpa menimbulkan kemerahan, merusak elastin dan kolagen pada kulit sehingga menyebabkan photoaging (Ditjen POM, 1985, Kale, dkk., 2011; Mishra, dkk., 2011; Wahlberg, dkk., 1999).

2. Ultraviolet B (UVB) yaitu sinar dengan panjang gelombang antara 290 - 320 nm dengan efektivitas tertinggi pada 297,6 nm, merupakan daerah eritemogenik. Sinar UVB merupakan penyebab sunburn, kerusakan DNA, dan dilaporkan mempunyai efek imunosupressan sehingga memberikan peluang tumbuhnya tumor (Ditjen POM, 1985, Kale, dkk., 2011; Mishra, dkk., 2011; Wahlberg, dkk., 1999).

3. Ultraviolet C (UVC) yaitu sinar dengan panjang gelombang 200-290 nm, dapat merusak jaringan kulit dan dapat menyebabkan kanker kulit, tetapi sebagian besar telah tersaring oleh lapisan ozon dalam atmosfer (Ditjen POM, 1985; Mishra, dkk., 2011; Taufikkurohmah, 2005).


(11)

2.6 Tabir Surya

Sediaan tabir surya adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk maksud memantulkan atau menyerap secara efektif cahaya matahari, terutama daerah emisi gelombang ultraviolet, sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit karena cahaya mahatari (Ditjen POM, 1985).

Ada 2 macam tabir surya :

1. Tabir surya kimia, misalnya PABA, PABA ester, benzofenon, salisilat, antranilat, yang dapat mengabsorpsi hampir 95% radiasi sinar UVB yang dapat menyebabkan sunburn namun tidak menghalangi UVA penyebab tanning dan kerusakan sel elastin (Wasitaatmadja, 1997). Tapi perlu diingat bahwa PABA dan sejumlah bahan tersebut bersifat photosensitizer, yaitu jika terkena sinar matahari terik seperti halnya di negara tropis Indonesia dapat menimbulkan berbagai reaksi negatif pada kulit photoallergy, phototoxic (Tranggono dan Latifah, 2007). Benzofenon (Oksibenson) adalah bahan yang paling banyak digunakan, walaupun bahan ini memberikan perlindungan pada daerah UVA dan juga melindungi didaerah UVB, namun sering menyebabkan photoallergy dann penggunaannya dibatasi karena menyebabkan alergi (Mulliken, dkk., 2012).

2. Tabir surya fisik misalnya titanium dioksida, Mg silikat, seng oksida, red petrolatum, dan kaolin, yang dapat memantulkan sinar. Tabir surya fisik dapat menahan UVA maupun UVB (Wasitaatmadja, 1997).


(12)

Beberapa syarat t abir surya diantaranya:

1. Efektif dalam menyerap sinar eritemogenik pada rentang panjang gelombang 290-320 nm tanpa mengalami gangguan yang akan mengurangi efisiensinya atau yang akan menimbulkan toksik atau iritasi

2. Tidak mudah menguap

3. Tidak menyebabkan toksik, tidak iritan, dan tidak menimbulkan sensitisasi 4. Bahan kimia tidak terdegradasi

5. Tidak memberikan noda pada pakaian (Ditjen POM, 1985). 2.6.1 Bahan tabir surya

- Oktil Metoksisinamat

Gambar 2.3 Rumus bangun oktil metoksisinamat (Wahlberg, dkk., 1999)

Oktil Metoksisinamat (OMS) atau Parsol MCX, saat ini paling banyak digunakan sebagai filter UVB dalam krim tabir surya.. Penggunaan secara topikal jarang menimbulkan iritasi kulit (Antoniou, dkk., 2008; Sambandan dan Desiree, 2011). Konsentrasi penggunaan berkisar antara 2-7,5% (Polo, 1998). Turunan sinamat seperti oktil metoksisinamat terurai setelah terpapar radiasi UVB dan UVA. Radiasi sinar UV mengubah trans-oktil metoksisinamat menjadi cis-oktil metoksisinamat melalui reaksi fotoisomerisasi cis-trans (Wahlberg, dkk., 1999). Walaupun tidak terbentuk produk degradasi lain selain cis oktil metoksisinamat namun perubahan ini menyebabkan berkurangnya efikasi UV filter dari trans oktil metoksisinamat (Pattanargson, dkk., 2004). Reaksi fotoisomerisasi dari oktil metoksisinamat dapat dilihat dari Gambar 2.4.


(13)

Gambar 2.4 Perubahan isomer dari trans-oktil metoksisinamat menjadi cis-oktil metoksisinamat (Latif, dkk., 2011),

- Avobenson

Sinonim : Parsol 1987, Butilmetoksidibenzoilmetana

Gambar 2.5 Rumus bangun avobenson (Afonso, dkk., 2014).

Avobenson adalah filter UV yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) (Mulliken,dkk.,2012). Avobenson atau Parsol 1789 mempunyai serapan yang kuat pada daerah UVA dan memiliki puncak absorbansi pada 360 nm (Barel,dkk., 2014). Selain itu, avobenson juga memiliki kemampuan dalam menyerap sinar UVB. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa avobenson dapat menyerap sinar UVB pada panjang gelombang 306 nm dua kali lebih baik dibandingkan etil-heksilsalisilat dan avobenson mempunyai kemampuan penyerapan sinar UV yang sama baiknya dengan oksibenson pada panjang gelombang 320 nm. Namun, efikasinya akan berkurang setelah terpapar oleh sinar matahari (P&G, 2007; Bonda dan David, 2000). Berdasarkan penelitian terdahulu sebelum diradiasi avobenson dapat menyerap sinar UVB sebanyak 75% dan sinar


(14)

UVA sebesar 81%. Namun, selama mengalami radiasi kemampuan penyerapan UVB berkurang menjadi 56% dan UVA berkurang menjadi 57% (Bonda dan David, 2000). Konsentrasi penggunaan minimum telah ditetapkan sebesar 2% dengan maksimal 3% (Barel,dkk., 2014). Avobenson bersifat tidak stabil, radiasi sinar UV mengubah senyawa avobenson melalui reaksi isomerisasi keto–enol lalu mengalami fotofragmentasi (Afonso, dkk., 2014) Avobenson terdegradasi dalam waktu yang cepat saat terpapar UV, paparan selama 15 menit menyebabkan 36% avobenson terdegradasi (Auerbach, 2011).

Gambar 2.6 Reaksi fotodegradasi pada avobenson (Sunjin, 2014).

2.7 SPF (Sun Protection Factor)

SPF merupakan ukuran relatif nilai proteksi suatu sediaan sunscreen terhadap sinar UV jika digunakan dengan benar (FDA, 2009). Biasanya penggunaan tabir surya yang disarankan dengan ketebalan 2 mg/cm2 namun konsumen biasanya hanya menggunakan tabir surya dengan ketebalan 0,5-1,3


(15)

mg/cm2 (Muliiken, dkk., 2012; Schalka dan Vitor, 2011; Rhodes dan Diffey, 1996). SPF menunjukkan kemampuan perlindungan tabir surya terhadap sinar UVB karena sinar UVB 1000 kali lebih eritemogenik dibandingkan sinar UVA (Sambandan dan Desiree, 2011; Mulliken, dkk., 2012; Antoniou, dkk., 2008; Gasparro, dkk., 1998). SPF tidak berkaitan secara langsung dengan waktu perlindungan sediaan tabir surya terhadap kulit karena banyak faktor lain yang mempengaruhi seperti tipe kulit, jumlah sunscreen yang digunakan, dan frekuensi penggunaan, serta intensitas sinar matahari (FDA, 2009).

a. Tipe kulit

Seseorang yang memiliki warna kulit putih akan lebih banyak menyerap sinar UV dibandingkan seseorang yang memiliki warna kulit gelap (FDA, 2009). Menurut Fitzpatrick terdapat 6 tipe kulit ( Naylor dan Farmer, 2000).

Tabel 2.1 Tipe kulit menurut Fitzpatrick. Tipe

Kulit

Ciri – Ciri

Warna Kulit Warna Rambut Warna Mata Tipe 1 Putih pucat, terdapat bintik –

bintik di wajah Merah, pirang Biru, hijau

Tipe 2 Putih Pirang, coklat,

merah

Biru, coklat, abu-abu Tipe 3 Putih Coklat, pirang tua Hijau, coklat Tipe 4 Kuning Langsat, Coklat terang Coklat, Hitam Coklat

Tipe 5 Coklat gelap Hitam Coklat

kehitaman

Tipe 6 Coklat, hitam Hitam Coklat

kehitaman

b. Jumlah sunscreen yang digunakan

Jumlah sunscreen yang digunakan juga mempengaruhi jumlah sinar UVB yang diabsorbsi. Biasanya saran penggunaan sunscreen yang digunakan adalah sebanyak 2 mg/cm2 (FDA, 2009).


(16)

Sunscreen dapat terhapus saat digunakan sehingga mengurangi kemampuan perlindungannya. Oleh karena itu, disarankan untuk meningkatkan frekuensi penggunaan kembali tabir surya saat kita melakukan kegiatan seperti berenang, atau kegiatan outdoor yang mengeluarkan banyak keringat (FDA, 2009).

d. Intensitas Matahari

Secara umum, paparan sinar matahari di siang hari mempunyai intensitas yang lebih besar dibandingkan dengan paparan sinar matahari di pagi hari atau sore hari. Intensitas matahari juga bergantung pada lokasi geografis, semakin tinggi daerah kita maka semakin besar pula intensitas matahari yang diterima. Awan dapat mengabsorbsi sinar matahari, maka intensitas matahari pada saat cuaca cerah lebih besar dibandingkan saat cuaca berawan (FDA, 2009).

Pembagian tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut : 1. Minimal, bila SPF antara 2-4, contoh salisilat, antranilat. 2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, benzofenone. 3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivate PABA.

4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA.

5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non-PABA dan fisik (Wasitaatmadja, 1997)

Schalka dan Vitor (2011), menyatakan bahwa nilai SPF berkaitan dengan jumlah absorbansi sunscreen terhadap sinar UVB. Hubungan nilai SPF dan banyaknya sinar UVB yang diteruskan dan sinar UVB yang diserap dapat dilihat pada Lampiran 12 halaman 60.


(17)

- Gunakan tabir surya yang mempunyai nilai SPF 30 jika kita memiliki warna kulit yang gelap (tipe 4-6) atau nilai SPF 40-50 jika memiliki warna kulit yang terang dan mempunyai perlindungan spektrum luas (UVA/UVB). Jika mempunyai riwayat keluarga yang menderita kanker kulit maka gunakan tabir surya dengan nila SPF 50+.

- Gunakan topi, pakaian lengan panjang serta hindari paparan matahari terutama pukul 10.00-14.00, gunakan tabir surya setiap hari terutama pada bagian tubuh yang terpapar sinar matahari seperti wajah, leher, lengan, dan kaki.

- Gunakan lip-balm yang mempunyai nilai SPF 30 untuk melindungi bibir dari paparan sinar matahari.

- Gunakan tabir surya 15-20 menit sebelum keluar rumah dan sebaiknya gunakan dalam bentuk lotion, krim maupun gel dibandingkan spray.

- Gunakan tabir surya yang mempunyai label “ Very water resistant atau Water resistant” saat berenang atau melakukan kegiatan yang banyak mengeluarkan keringat (FDA, 2009; American Academy of Dermatology, 2007).

Pengukuran nilai SPF suatu sediaan tabir surya dapat dilakukan secara in vitro. Metode pengukuran nilai SPF secara in vitro secara umum terbagi dalam dua tipe. Tipe pertama adalah dengan mengukur serapan atau transmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat kuarsa atau biomembran. Tipe yang kedua adalah dengan menentukan karakteristik serapan tabir surya menggunakan analisis spektrofotometri dari larutan hasil pengenceran tabir surya yang diuji (Sheu, dkk., 2003; Dutra, dkk., 2004).

Pengukuran nilai SPF secara in vitro dengan metode spektrofotometri dapat menggunakan persamaan Mansur. Pada persamaan Mansur nilai serapan


(18)

yang diperoleh setiap interval 5 nm dari panjang gelombang 290 sampai 320 nm kemudian dikalikan dengan EE × I untuk masing-masing interval. Jumlah EE × I yang diperoleh dikalikan dengan faktor koreksi akhirnya diperoleh nilai SPF dari sampel yang diuji (Dutra, dkk., 2004).

Gambar 2.8 Hubungan panjang gelombang dengan spektrum eritema (EE) dan intensitas matahari (I) (Sayre, dkk., 1980).

2.8 Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Ditjen POM, 1995). Dalam pembuatan krim diperlukan suatu bahan dasar. Bahan-bahan dasar krim yang digunakan:

- Setil Alkohol (Rowe, dkk., 2009).


(19)

Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras

Setil alkohol berbentuk seperti lilin, serpihan putih, bau khas dan lunak, mudah larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi yang digunakan dalam sediaan topikal berkisar hingga 10%.

- Asam Stearat (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.10 Rumus bangun asam stearat Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras

Berwarna putih atau sedikit kekuningan, mengkilat, kristal padat berlemak. Mudah larut dalam benzene, eter, larut dalam etanol 95%, heksana, dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi hingga 20 % digunakan untuk sediaan krim dan salep.

- Propilen Glikol (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.11 Rumus bangun propilen glikol Fungsi : Humektan, plastisizer, pelarut, bahan penstabil.

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi hingga 15% sebagai humektan. Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air, larut 1 bagian dalam 6 bagian eter.


(20)

- Trietanolamin (TEA) (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.12 Rumus bangun trietanolamin

Fungsi : Bahan pengalkali, bahan pengemulsi.

Konsentrasi yang digunakan sebagai bahan pengemulsi adalah sekitar 2-4%. Mempunyai ciri tidak berwarna hingga berwarna kuning pucat, cairan kental mempunyai sedikit bau amonia. Larut dalam aseton, metanol, karbon tertraklorida, dan air, larut 1 bagian dalam 63 bagian etil eter.

- Nipagin (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.13 Rumus bangun nipagin Fungsi : Pengawet (anti mikroba).

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi hingga 0,02-0,3%. Mempunyai pemerian kristal tidak berwarna atau berwarna putih, tidak berbau, rasanya sedikit membakar. Larut 1 bagian dalam 3 bagian etanol 95 %, 1 bagian dalam 50 bagian air pada suhu 50 oC, dan larut 1 bagian dalam 30 bagian air pada suhu 80 oC.


(21)

- Sorbitol (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.14 Rumus bangun sorbitol Fungsi : Humektan, bahan pemanis dan bahan penstabil Konsentrasi : Sebagai humektan digunakan 3-15%.


(1)

Sunscreen dapat terhapus saat digunakan sehingga mengurangi kemampuan perlindungannya. Oleh karena itu, disarankan untuk meningkatkan frekuensi penggunaan kembali tabir surya saat kita melakukan kegiatan seperti berenang, atau kegiatan outdoor yang mengeluarkan banyak keringat (FDA, 2009).

d. Intensitas Matahari

Secara umum, paparan sinar matahari di siang hari mempunyai intensitas yang lebih besar dibandingkan dengan paparan sinar matahari di pagi hari atau sore hari. Intensitas matahari juga bergantung pada lokasi geografis, semakin tinggi daerah kita maka semakin besar pula intensitas matahari yang diterima. Awan dapat mengabsorbsi sinar matahari, maka intensitas matahari pada saat cuaca cerah lebih besar dibandingkan saat cuaca berawan (FDA, 2009).

Pembagian tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut : 1. Minimal, bila SPF antara 2-4, contoh salisilat, antranilat. 2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, benzofenone. 3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivate PABA.

4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA.

5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non-PABA dan fisik (Wasitaatmadja, 1997)

Schalka dan Vitor (2011), menyatakan bahwa nilai SPF berkaitan dengan jumlah absorbansi sunscreen terhadap sinar UVB. Hubungan nilai SPF dan banyaknya sinar UVB yang diteruskan dan sinar UVB yang diserap dapat dilihat pada Lampiran 12 halaman 60.


(2)

- Gunakan tabir surya yang mempunyai nilai SPF 30 jika kita memiliki warna kulit yang gelap (tipe 4-6) atau nilai SPF 40-50 jika memiliki warna kulit yang terang dan mempunyai perlindungan spektrum luas (UVA/UVB). Jika mempunyai riwayat keluarga yang menderita kanker kulit maka gunakan tabir surya dengan nila SPF 50+.

- Gunakan topi, pakaian lengan panjang serta hindari paparan matahari terutama pukul 10.00-14.00, gunakan tabir surya setiap hari terutama pada bagian tubuh yang terpapar sinar matahari seperti wajah, leher, lengan, dan kaki.

- Gunakan lip-balm yang mempunyai nilai SPF 30 untuk melindungi bibir dari paparan sinar matahari.

- Gunakan tabir surya 15-20 menit sebelum keluar rumah dan sebaiknya gunakan dalam bentuk lotion, krim maupun gel dibandingkan spray.

- Gunakan tabir surya yang mempunyai label “ Very water resistant atau Water resistant” saat berenang atau melakukan kegiatan yang banyak mengeluarkan keringat (FDA, 2009; American Academy of Dermatology, 2007).

Pengukuran nilai SPF suatu sediaan tabir surya dapat dilakukan secara in vitro. Metode pengukuran nilai SPF secara in vitro secara umum terbagi dalam dua tipe. Tipe pertama adalah dengan mengukur serapan atau transmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat kuarsa atau biomembran. Tipe yang kedua adalah dengan menentukan karakteristik serapan tabir surya menggunakan analisis spektrofotometri dari larutan hasil pengenceran tabir surya yang diuji (Sheu, dkk., 2003; Dutra, dkk., 2004).


(3)

yang diperoleh setiap interval 5 nm dari panjang gelombang 290 sampai 320 nm kemudian dikalikan dengan EE × I untuk masing-masing interval. Jumlah EE × I yang diperoleh dikalikan dengan faktor koreksi akhirnya diperoleh nilai SPF dari sampel yang diuji (Dutra, dkk., 2004).

Gambar 2.8 Hubungan panjang gelombang dengan spektrum eritema (EE) dan intensitas matahari (I) (Sayre, dkk., 1980).

2.8 Krim

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai (Ditjen POM, 1995). Dalam pembuatan krim diperlukan suatu bahan dasar. Bahan-bahan dasar krim yang digunakan:

- Setil Alkohol (Rowe, dkk., 2009).


(4)

Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras

Setil alkohol berbentuk seperti lilin, serpihan putih, bau khas dan lunak, mudah larut dalam etanol 95% dan eter, kelarutan meningkat dengan kenaikan suhu, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi yang digunakan dalam sediaan topikal berkisar hingga 10%.

- Asam Stearat (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.10 Rumus bangun asam stearat Fungsi : Bahan pengemulsi, bahan pengeras

Berwarna putih atau sedikit kekuningan, mengkilat, kristal padat berlemak. Mudah larut dalam benzene, eter, larut dalam etanol 95%, heksana, dan propilen glikol, praktis tidak larut dalam air. Konsentrasi hingga 20 % digunakan untuk sediaan krim dan salep.

- Propilen Glikol (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.11 Rumus bangun propilen glikol Fungsi : Humektan, plastisizer, pelarut, bahan penstabil.

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi hingga 15% sebagai humektan. Larut dalam aseton, kloroform, etanol 95%, gliserin dan air, larut 1 bagian dalam 6 bagian eter.


(5)

- Trietanolamin (TEA) (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.12 Rumus bangun trietanolamin

Fungsi : Bahan pengalkali, bahan pengemulsi.

Konsentrasi yang digunakan sebagai bahan pengemulsi adalah sekitar 2-4%. Mempunyai ciri tidak berwarna hingga berwarna kuning pucat, cairan kental mempunyai sedikit bau amonia. Larut dalam aseton, metanol, karbon tertraklorida, dan air, larut 1 bagian dalam 63 bagian etil eter.

- Nipagin (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.13 Rumus bangun nipagin Fungsi : Pengawet (anti mikroba).

Dalam sediaan topikal biasa digunakan dengan konsentrasi hingga 0,02-0,3%. Mempunyai pemerian kristal tidak berwarna atau berwarna putih, tidak berbau, rasanya sedikit membakar. Larut 1 bagian dalam 3 bagian etanol 95 %, 1 bagian dalam 50 bagian air pada suhu 50 oC, dan larut 1 bagian dalam 30 bagian air pada suhu 80 oC.


(6)

- Sorbitol (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 2.14 Rumus bangun sorbitol Fungsi : Humektan, bahan pemanis dan bahan penstabil Konsentrasi : Sebagai humektan digunakan 3-15%.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

4 100 106

Pengaruh Penambahan Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Nilai SPF Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson dan Oktil Metoksisinamat

2 25 87

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

0 0 15

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

0 0 2

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

0 0 4

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

0 0 5

Pengaruh Penambahan Ekstrak Kulit Manggis (Garcinia X Mangostana L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson Dan Oktil Metoksisinamat

0 0 38

Pengaruh Penambahan Ekstrak Etanol Daun Sirsak (Annona muricata L.) Terhadap Nilai SPF Krim Tabir Surya Kombinasi Avobenson dan Oktil Metoksisinamat

0 0 16

Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Pepaya (Carica Papaya L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Oktil Metoksisinamat Dan Avobenson

1 1 47

Pengaruh Penambahan Ekstrak Daun Pepaya (Carica Papaya L.) Terhadap Nilai Spf Krim Tabir Surya Kombinasi Oktil Metoksisinamat Dan Avobenson

0 0 14