Gangguan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Penderita Stroke (Afasia Broca) Kajian Neurolinguistik
BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun
yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal- hal
lain (KBBI 2007:588).
2.1.1 Bahasa dan Gangguan Berbahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri (Chaer 2007:32).
Dengan kata lain berbahasa tidak dapat terlepas dari kegiatan manusia. Hal
ini berarti tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai dengan bahasa. Bahasa
itu hal yang sangat penting bagi manusia karena melalui bahasa manusia dapat
berintekrasi dengan masyarakat sekitarnya. Jadi, manusia menggunakan bahasa
sebagai sarana komunikasi utama dalam hidup ini. Dengan kata lain bahasa
merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan dan bekerjasama yang
memungkinkan terjadinya interaksi sosial.
Manusia yang mengalami gangguan berbahasa akan mengalami gangguan
interaksi pada masyarakat sekitarnya, hal ini terjadi akibat adanya gangguan pada
hemisfer kiri otak yang membawahi produksi ujaran. Adapun gangguan berbahasa
dalam penelitian ini adalah Gangguan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada
Penderita Stroke (Afasia Broca) kajian Neurolinguistik.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Afasia Broca akibat Stroke
Stroke adalah gangguan fungsi syaraf otak yang terjadi mendadak akibat
pasokan darah ke suatu bagian otak sehingga peredaran darah ke otak terganggu.
Kurangnya aliran darah dan oksigen menyebabkan serangkaian reaksi biokimia,
yang dapat merusak dan mematikan sel-sel syaraf di otak sehingga menyebabkan
kelumpuhan anggota gerak, gangguan berbicara, dan penurunan kesadaran.
Stroke terjadi kalau sebuah arteri (pembuluh darah) ke otak pecah atau
tersumbat oleh klot (gumpalan darah kecil), jika arteri pecah atau tersumbat di
hemisfer kiri otak atau letak pusat bahasa itu terdapat, si penderita akan
kehilangan bahasa. Tidak hanya itu, akibat stroke penderita tidak hanya
kehilangan bahasa bahkan penderita mengalami kelumpuhan badan sebelah
kanannya atau Hemiplegia kanan. Hal ini terjadi karena bahasa dan badan sebelah
kanan dikontrol oleh korteks sebelah kiri otak. Jadi, kalau korteks sebelah kiri
otak rusak, maka bahasa dan badan kanan akan rusak sehingga mengakibatkan
kelumpuhan (Simanjuntak 2009:257).
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka ditemukan bahwa stroke
pada penderita Afasia Broca yang menjadi data penelitian ini dapat disebabkan
beberapa faktor, yaitu (1) individu mengalami masalah di bagian organ jantung,
(2). individu mengidap penyakit darah tinggi atau hipertensi, (3) merokok, (4)
kolestrol darah yang tinggi, dan (5) stress. Faktor-faktor tersebut dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga menyebabkan
kematian sel-sel di otak dan tidak berfungsinya syaraf yang membawahi
kemampuan berbahasa penderita. Gejala yang ditimbulkan adalah kesulitan dalam
Universitas Sumatera Utara
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa yang lancar. Gangguan di Medan Broca ini
juga menyebabkan tidak berfungsinya syaraf-syaraf yang mengawal otot muka,
lidah, dagu, dan tekak (Simanjuntak 2009:260).
Afasia pada umumnya disebabkan oleh stroke, yang melibatkan korteks
hemisfer kiri otak manusia. Ada berbagai macam afasia, tergantung daerah mana
hemisfer otak manusia yang terganggu. Berikut ini adalah beberapa macam
penyakit afasia yang umum ditemukan (Kaplan 1994:1035 dalam Dardjowidjojo
2005:214) yaitu Afasia Broca, Afasia Wernicke, Afasia Global, Afasia Konduksi.
Afasia Broca adalah gangguan produksi ujaran yang terjadi pada bagian
depan pada hemisfer kiri otak. Penderita afasia ini tidak mampu mengucapkan
bunyi ujaran dengan baik. Penderita Afasia Broca dapat memahami bahasa yang
didengarnya, karena Medan Wernicke yang membawahi pemahaman tidak
terganggu.
Sebaliknya, Afasia Wernike adalah gangguan pemahaman akibat terjadi
gangguan pada hemisfer kiri otak bagian belakang. Penderita afasia ini mampu
mengujarkan kalimat dan bunyi-bunyi bahasa dengan baik, tetapi penderita Afasia
Wernicke tidak dapat memahami kata-kata yang didengarnya. Penderita Afasia
Wernicke mengujarkan kalimat biasanya tidak mengandung arti atau tidak
mengandung informasi. Jadi, apabila terjadi kerusakan pada Medan Broca maka
penderita tidak mampu memproduksi ujaran dengan baik, sedangkan apabila
terjadi kerusakan pada Medan Wernicke maka penderita tidak dapat memahami
ujaran-ujaran yang didengarnya.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan- perubahan linguistik yang terjadi pada Afasia Broca dapat
dikategorikan sebagai berikut (Simanjuntak 2009:244).
1. Secara karakteristik, Afasia Broca menerbitkan sedikit ucapan, yang
diterbitkan secara lambat, dengan usaha yang keras, dan artikulasi yang buruk.
2. Ucapan-ucapanya abnormal, karena penderita tidak dapat menerbitkan kalimat
yang betul: pada umumnya kata-kata bentuk gramatis dihilangkan.
3. Penderita tidak dapat mengulangi kalimat yang betul yang diujarkan penguji.
4. Kadang-kadang penderita menunjukkan kemampuan yang mencengangkan
untuk menemukan kata-kata, misalnya waktu ditanya mengenai keadaan cuaca,
penderita mengucapkan “cuaca”, waktu penderita didorong mengucapkan
kalimat, penderita mungkin mengatakan “mendung”.
5. Penderita pada umumnya menunjukkan kerusakan yang sama dalam tulisantulisannya.
6. Penderita mungkin memahami bahasa ucapan dan bahasa tulisan secara
normal.
7. Penderita mungkin mempertahankan kemampuan musiknya, penderita
menyanyikan sebuah melodi dengan betul, bahkan dengan elegan.
8. Penderita memproduksi kata-kata subtantif tunggal dengan usaha yang kuat
dan artikulasi yang buruk.
9. Penderita sering mengalami kelumpuhan sisi kanan tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Landasan Teori
Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan
yang didukung oleh data dan argumentasi (Alwi 2005:117).
2.2.1 Gangguan Berbahasa Secara Umum
Dalam membicarakan gangguan berbahasa, Blumstein (dalam Gustianingsih
2009:55) menyatakan bahwa gangguan berbahasa terbagi menjadi gangguan
berbahasa Broca, gangguan berbahasa Konduksi dan gangguan berbahasa
Wernicke.
Blumstein (dalam Gustianingsih 2009:55) mengelompokkan gangguan
berbahasa yang dihasilkan para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat
macam tipe, yakni gangguan berbahasa subtitusi atau pertukaran bunyi ujaran,
pelesapan bunyi ujaran, penambahan bunyi ujaran, dan metatesis (salah urut bunyi
ujaran).
2.2.2 Neurolingustik
Kata’ neurolinguistik’ adalah gabungan dari dua kata yaitu ‘neurologi’ dan
linguistik. Pada dasarnya neurologi mengkaji proses-proses yang berlaku pada
syaraf otak ketika berbahasa dan berfikir, sedangkan linguistik mengkaji struktur
bahasa dan bagaimana struktur itu lahir dan berkembang. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa pengertian neurolinguistik adalah ilmu yang mengkaji syaraf-syaraf pada
otak manusia.
Menurut Luria (dalam Simanjuntak 2009:189) tugas utama neurolinguistik
adalah untuk menerapkan data-data klinis penyakit bertutur (Afasia) serta
memaparkan mekanisme fisiologi dan neurofisisologi yang mendasari penyakit
Universitas Sumatera Utara
bertutur itu, agar dapat merumuskan sebuah pandangan yang menyeluruh
mengenai patologi bahasa dan ucapan. Seperti yang telah dikemukakan di atas
pada tahun 1861 Paul Broca memulai pengkajian hubungan afasia dengan otak.
Paul Brocalah pertama kali membuktikan bahwa afasia muncul karena ada
gangguan bagian otak tertentu, beliau juga menunjukkan bahwa gangguan terjadi
di hemisfer kiri otak. Dari penemuan ini Broca menegaskan bahwa gangguan
bagian korteks tertentu menimbulkan tipe kerusakan ucapan tertentu (Simanjuntak
2009:242).
Dalam ilmu neurolinguistik dijelaskan pada umumnya penderita afasia
broca kehilangan kemampuan memproduksi atau mengujarkan bahasa. Penderita
hanya bisa mengujarkan sebuah kata sewaktu-waktu dan dia mengeluarkan tenaga
sangat kuat untuk mengujarkan kalimat-kalimat yang agak panjang Simanjuntak
(dalam Rajagukguk 2008:28).
2.2.3 Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah
bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Fonologi adalah bagian ilmu linguistik atau bidang ilmu bahasa yang
menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi berasal dari gabungan
dua kata Yunani yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan,
kata, atau ilmu disebut juga tata bunyi. Bunyi yang dipelajari dalam Fonologi
biasa kita sebut dengan istilah fonem. Ada dua macam bidang kajian fonologi
yaitu fonetik dan fonemik.
Universitas Sumatera Utara
Fonetik yaitu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem
sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik adalah bagian fonologi yang
mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa
diproduksi oleh alat ucap manusia. Chaer membagi tiga macam fonetik yaitu:
a). Fonetik Artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan
bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
b) . Fonetik Akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau
fenomena alam bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan
intensitasnya.
c). Fonetik Auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi
bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia
lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan
masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.
Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik
auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran. Sedangkan pengertian fonemik
adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna.
Bunyi ujaran itu terdiri atas bunyi vokal dan konsonan.
2.2.4 Bunyi Vokal Bahasa Indonesia
Bunyi vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan melibatkan pita
suara tanpa penyempitan atau penutupan pada tempat artikulasi (verhaar 2008:33).
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian semua vokal adalah bunyi bersuara. Ada enam bunyi vokal
ₔ
yaitu, [a, i, u, o, e, ] .
Diagram Vokal
Depan
Tengah
Belakang
i
Tinggi
u
ᵊ
e
o
Sedang
ᵓ
Rendah
ᵆ
ᵃ
Berdasarkan diagram di atas dilihat dari tinggi rendahnya lidah ketika
bunyi tersebut diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Bunyi tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi
mendakati langit-langit keras. Caranya rahang bawah merapat dengan rahang atas.
Misalnya,[i] pada [kita], [u] pada [hantu].
b. Bunyi agak tinggi (sedang), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
lidah meninggi, sehingga agak mendekati langit-langit keras. Caranya, rahang
bawah agak merapat ke rahang atas. Misalnya, [e] pada kata [lele], [o] pada [soto].
c. Bunyi rendah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah
sehingga menjauh dari langit-langit keras. Caranya, rahang bawah diturunkan
sejauh- jauhnya dari rahang atas. Misalnya, [a] pada [bata], [a] pada [armada].
Dilihat dari maju mundurnya lidah, bunyi dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu:
a. Bunyi depan, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah ntuk
dinaikkan. Misalnya, [i], [e]
b. Bunyi tengah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata tidak ada
bagian lidah yang dinaikkan. Misalnya, [ₔ], [a].
c. Bunyi belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang
lidah dinaikkan. Misalnya, [u], [o].
Dilihat dari bentuk bibir, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Bunyi bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk
bulat. Misalnya, [u], [o].
b. Bunyi tidak bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata
atau tidak bulat. Misalnya, [i], [e], [a].
2.2.5 Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Bunyi konsonan adalah bunyi ujaran akibat adanya udara yang keluar dari
paru-paru mendapatkan hambatan atau halangan. Jumlah bunyi konsonan ada dua
puluh satu yaitu [ b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, z ].
Diagram Konsonan
Daerah
artikulasi
Bila
bial
Cara
artikulasi
Plosif
La
bio
Apiko
Lamino
Lamino Dorso faringal Glo-
dental
alveolar palatal
tal
?
den
tal
tb p
t
k
b
d
g
b
Afrikatif tb
c
b
j
Frikatif
velar
tb
f
s
b
v
z
Lateral
b
l
Tril
b
r
Nasal
b
m
h
x
ᵑ
n
b
Semivokal b
w
y
b
(Verhaar 2008:48).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan daerah artikulasinya bunyi konsonan meliputi:
a. Bunyi Bilabial adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium)
bawah dan bibir (labium) atas. Caranya, bibir bawah menyentuh bibir atas.
b. Bunyi labio dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir bawah
(labium) dan gigi (dentum) atas. Caranya, bibir bawah menyentuh gigi atas.
c. Bunyi apiko dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah
(apeks) dan gigi (dentum) atas. Caranya, ujung lidah sebagai artikulator
menyentuh gigi atas (titik artikulasi).
d. Bunyi Lamino alveolar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung
lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas. Caranya, ujung lidang sebagai titik
artikulasi menyentuh gusi atas.
e. Bunyi lamino palatal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal
lidah (lamina) dan langit-langit keras (palatum). Caranya, tengah lidah sebagai
artikulator menyentuh langit-langit keras.
f. Bunyi dorso velar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah
(dorsum) dan anak tekak (uvula). Caranya, pangkal lidah sebagai artikulator
menyentuh anak tekak.
g. Bunyi faringal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah
(dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Caranya, pangkal lidah sebagai
artikulator menyentuh langit-langit lunak.
h. Bunyi glotal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan lubang atau celah
(glotis). Caranya, pita suara merapat sedemikian rupa sehingga menutup glotis.
Menurut Chaer (1994:118) cara artikulasi bunyi konsonan meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. Bunyi plosif (hambat atau letupan) adalah artikulator menutup sepenuhnya
aliran udara sehingga udara terhambat di tempat penutupan tersebut. Kemudian
penutupan itu dibuka secara tiba-tiba sehingga menyebabkan letupan, yang
termasuk konsonan letupan antara lain bunyi [p, b, t, d, k, g].
b. Bunyi afrikatif (paduan) adalah artikulator aktif menghambat sepenuhnya
aliran udara lalu membentuk celah sempit dengan artikulator pasif. Contoh
bunyi konsonan afrikatif yaitu [c, j, h].
c. Bunyi frikatif (geseran) adalah artikulator aktif mendekati artikulator pasif,
dengan membentuk celah sempit sehingga udara yang lewat mendapat
gangguan di celah tersebut . Contoh bunyi konsonan frikatif (geseran) yaitu
bunyi [f], [s], [z].
d. Bunyi lateral (sampingan) adalah artikulator aktif menghambat aliran udara
pada bagian tengah mulut lalu membiarkan udara keluar melalui samping
lidah. Contoh bunyi lateral yaitu [l].
e. Bunyi tril (getaran) adalah artikulator aktif melakukan kontak beruntun
dengan artikulator pasif sehingga getaran bunyi terjadi secara berulang-ulang.
Contoh bunyi tril yaitu [r].
f. Bunyi nasal (sengauan) adalah artikulator menghambat sepenuhnya aliran
udara melalui mulut, tetapi membiarkannya keluar melalui rongga hidung
dengan bebas. Contoh bunyi nasal yaitu [m], [n], [ᵑ].
g. Bunyi semi vokal (hampiran atau aproksiman) adalah artikulator aktif dan
pasif
membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti dalam
pembentukan vokal. Contoh bunyi semi vokal yaitu [w] dan [y].
Universitas Sumatera Utara
Fonologi merupakan bagian dari linguistik yang mengkaji bunyi.
Gangguan berbahasa juga dapat dianalisis dengan kajian fonologi, analisis
gangguan berbahasa dapat dikaji dari segi bunyi yang dihasilkan seorang yang
mengalami gangguan berbahasa akibat stroke.
2.3
Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau
mempelajari atau mempelajari. Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI
2007:912). Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah
sumber yang relevan untuk dikaji dalam melakukan penelitian ini. Adapun
sumber tersebut antara lain:
Nasution
(1995),
dalam
skripsinya
yang
berjudul
“Hubungan
Neurolingustik dengan Psikolinguistik Terhadap Gangguan Komunikasi Bahasa
Indonesia,” ia mengemukakan bagaimana cara berkomunikasi antara remaja
tunarungu dengan masyarakat yang alat komunikasinya normal.
Yeni (2004), dalam skripsinya yang berjudul “Interpretasi Lafal Fonem
Bahasa Indonesia Penderita Bibir Sumbing.” Ia menyimpulkan bahwa kendala
artikulatoris adalah kendala berupa kerusakan artikulasi pada PBS sehingga tidak
dapat menghasilkan bunyi- bunyi dengan baik. Kerusakan artikulator yang
diderita oleh PBS adalah bibir atas (upper lip), rongga hidung (nasal cavity),
langit-langit (palate), dan gigi (teeth).
Suhardiyanto (2005), dalam jurnal yang berjudul “Bagaimana Kata
Disimpan? Studi terhadap Akses Leksikal pada Penderita Afasia,” menyimpulkan
organisasi leksikon pada otak manusia tampaknya disusun dalam bentuk yang
Universitas Sumatera Utara
sangat kompleks. Format tersebut tidak dapat dianalogikan dengan daftar kata
dalam kamus. Paling tidak, susunan tersebut harus berupa jaringan kompleks yang
terkait secara fonologis dan semantis.
Gusdi (2005), dalam jurnal yang berjudul “Ekpresi Verbal Penderita
Stroke
Penutur
Bahasa
Minangkabau:
Suatu
Analisis
Neurolinguistik”,
menyimpulkan tuturan penderita stroke penutur bahasa Minangkabau kelihatan
tidak lancar dan selalu menggunakan kalimat-kalimat pendek, tidak mempunyai
intonasi sehingga terasa datar dan banyak menggunakan kata benda saja.
Meskipun fitur tersebut disusun dalam pola tertentu secara berurutan, tetapi
penderita akan mengacaukannya dalam bentuk verbal yang tidak berurutan seperti
metatesis. Hal itu terjadi karena tidak berfungsinya sistem pengawal motorik
sehingga beberapa segmen bunyi menjadi terbalik dan saling berpengaruh.
Rajagukguk (2008), dalam skripsinya yang berjudul “Kalimat Inti Bahasa
Indonesia pada Penderita Afasia Broca,” menyimpulkan bahwa Kalimat Inti
Bahasa Indonesia penderita Afasia Broca berbeda dengan kalimat inti bahasa
Indonesia pada manusia normal. Penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat
inti dengan mengucapkan hanya bagian paling inti dari sebuah kalimat yang
hendak diucapkan, sehingga apabila kalimat yang hendak diucapkan adalah
kalimat yang lebih dari dua kata, penderita akan memilih untuk mengucapkan kata
di bagian tengah kalimat yang biasanya merupakan inti dengan menghilangkan
kata di bagian awal dan ahir kalimat.
Gustianingsih (2009) dalam judul disertasi “Produksi dan Komprehensi
Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum
Universitas Sumatera Utara
Disorder”, menyimpulkan anak autistik sering melakukan penyimpangan pada
awal dan ahir kata, mengidikasikan bahwa anak autistik mengalami gangguan
inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran.
Anak autistik ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirannya tidak tuntas.
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa penelitian tentang
gangguan berbahasa pada penderita Afasia Broca sudah pernah diteliti
sebelumnya. Dari pernyataan di atas jelas bahwa seseorang yang mengalami
gangguan pada otaknya akan kesulitan mengeluarkan bunyi-bunyi ujaran yang
akan disampaikan kepada orang lain. Sebaliknya, orang yang mendengarkan
ujaran penderita Afasia Broca akan kesulitan memahami bunyi-bunyi bahasa yang
diujarkan penderita.
Universitas Sumatera Utara
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun
yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal- hal
lain (KBBI 2007:588).
2.1.1 Bahasa dan Gangguan Berbahasa
Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri (Chaer 2007:32).
Dengan kata lain berbahasa tidak dapat terlepas dari kegiatan manusia. Hal
ini berarti tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai dengan bahasa. Bahasa
itu hal yang sangat penting bagi manusia karena melalui bahasa manusia dapat
berintekrasi dengan masyarakat sekitarnya. Jadi, manusia menggunakan bahasa
sebagai sarana komunikasi utama dalam hidup ini. Dengan kata lain bahasa
merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan dan bekerjasama yang
memungkinkan terjadinya interaksi sosial.
Manusia yang mengalami gangguan berbahasa akan mengalami gangguan
interaksi pada masyarakat sekitarnya, hal ini terjadi akibat adanya gangguan pada
hemisfer kiri otak yang membawahi produksi ujaran. Adapun gangguan berbahasa
dalam penelitian ini adalah Gangguan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada
Penderita Stroke (Afasia Broca) kajian Neurolinguistik.
Universitas Sumatera Utara
2.1.2
Afasia Broca akibat Stroke
Stroke adalah gangguan fungsi syaraf otak yang terjadi mendadak akibat
pasokan darah ke suatu bagian otak sehingga peredaran darah ke otak terganggu.
Kurangnya aliran darah dan oksigen menyebabkan serangkaian reaksi biokimia,
yang dapat merusak dan mematikan sel-sel syaraf di otak sehingga menyebabkan
kelumpuhan anggota gerak, gangguan berbicara, dan penurunan kesadaran.
Stroke terjadi kalau sebuah arteri (pembuluh darah) ke otak pecah atau
tersumbat oleh klot (gumpalan darah kecil), jika arteri pecah atau tersumbat di
hemisfer kiri otak atau letak pusat bahasa itu terdapat, si penderita akan
kehilangan bahasa. Tidak hanya itu, akibat stroke penderita tidak hanya
kehilangan bahasa bahkan penderita mengalami kelumpuhan badan sebelah
kanannya atau Hemiplegia kanan. Hal ini terjadi karena bahasa dan badan sebelah
kanan dikontrol oleh korteks sebelah kiri otak. Jadi, kalau korteks sebelah kiri
otak rusak, maka bahasa dan badan kanan akan rusak sehingga mengakibatkan
kelumpuhan (Simanjuntak 2009:257).
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka ditemukan bahwa stroke
pada penderita Afasia Broca yang menjadi data penelitian ini dapat disebabkan
beberapa faktor, yaitu (1) individu mengalami masalah di bagian organ jantung,
(2). individu mengidap penyakit darah tinggi atau hipertensi, (3) merokok, (4)
kolestrol darah yang tinggi, dan (5) stress. Faktor-faktor tersebut dapat
menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga menyebabkan
kematian sel-sel di otak dan tidak berfungsinya syaraf yang membawahi
kemampuan berbahasa penderita. Gejala yang ditimbulkan adalah kesulitan dalam
Universitas Sumatera Utara
mengucapkan bunyi-bunyi bahasa yang lancar. Gangguan di Medan Broca ini
juga menyebabkan tidak berfungsinya syaraf-syaraf yang mengawal otot muka,
lidah, dagu, dan tekak (Simanjuntak 2009:260).
Afasia pada umumnya disebabkan oleh stroke, yang melibatkan korteks
hemisfer kiri otak manusia. Ada berbagai macam afasia, tergantung daerah mana
hemisfer otak manusia yang terganggu. Berikut ini adalah beberapa macam
penyakit afasia yang umum ditemukan (Kaplan 1994:1035 dalam Dardjowidjojo
2005:214) yaitu Afasia Broca, Afasia Wernicke, Afasia Global, Afasia Konduksi.
Afasia Broca adalah gangguan produksi ujaran yang terjadi pada bagian
depan pada hemisfer kiri otak. Penderita afasia ini tidak mampu mengucapkan
bunyi ujaran dengan baik. Penderita Afasia Broca dapat memahami bahasa yang
didengarnya, karena Medan Wernicke yang membawahi pemahaman tidak
terganggu.
Sebaliknya, Afasia Wernike adalah gangguan pemahaman akibat terjadi
gangguan pada hemisfer kiri otak bagian belakang. Penderita afasia ini mampu
mengujarkan kalimat dan bunyi-bunyi bahasa dengan baik, tetapi penderita Afasia
Wernicke tidak dapat memahami kata-kata yang didengarnya. Penderita Afasia
Wernicke mengujarkan kalimat biasanya tidak mengandung arti atau tidak
mengandung informasi. Jadi, apabila terjadi kerusakan pada Medan Broca maka
penderita tidak mampu memproduksi ujaran dengan baik, sedangkan apabila
terjadi kerusakan pada Medan Wernicke maka penderita tidak dapat memahami
ujaran-ujaran yang didengarnya.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan- perubahan linguistik yang terjadi pada Afasia Broca dapat
dikategorikan sebagai berikut (Simanjuntak 2009:244).
1. Secara karakteristik, Afasia Broca menerbitkan sedikit ucapan, yang
diterbitkan secara lambat, dengan usaha yang keras, dan artikulasi yang buruk.
2. Ucapan-ucapanya abnormal, karena penderita tidak dapat menerbitkan kalimat
yang betul: pada umumnya kata-kata bentuk gramatis dihilangkan.
3. Penderita tidak dapat mengulangi kalimat yang betul yang diujarkan penguji.
4. Kadang-kadang penderita menunjukkan kemampuan yang mencengangkan
untuk menemukan kata-kata, misalnya waktu ditanya mengenai keadaan cuaca,
penderita mengucapkan “cuaca”, waktu penderita didorong mengucapkan
kalimat, penderita mungkin mengatakan “mendung”.
5. Penderita pada umumnya menunjukkan kerusakan yang sama dalam tulisantulisannya.
6. Penderita mungkin memahami bahasa ucapan dan bahasa tulisan secara
normal.
7. Penderita mungkin mempertahankan kemampuan musiknya, penderita
menyanyikan sebuah melodi dengan betul, bahkan dengan elegan.
8. Penderita memproduksi kata-kata subtantif tunggal dengan usaha yang kuat
dan artikulasi yang buruk.
9. Penderita sering mengalami kelumpuhan sisi kanan tubuhnya.
Universitas Sumatera Utara
2.2
Landasan Teori
Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan
yang didukung oleh data dan argumentasi (Alwi 2005:117).
2.2.1 Gangguan Berbahasa Secara Umum
Dalam membicarakan gangguan berbahasa, Blumstein (dalam Gustianingsih
2009:55) menyatakan bahwa gangguan berbahasa terbagi menjadi gangguan
berbahasa Broca, gangguan berbahasa Konduksi dan gangguan berbahasa
Wernicke.
Blumstein (dalam Gustianingsih 2009:55) mengelompokkan gangguan
berbahasa yang dihasilkan para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat
macam tipe, yakni gangguan berbahasa subtitusi atau pertukaran bunyi ujaran,
pelesapan bunyi ujaran, penambahan bunyi ujaran, dan metatesis (salah urut bunyi
ujaran).
2.2.2 Neurolingustik
Kata’ neurolinguistik’ adalah gabungan dari dua kata yaitu ‘neurologi’ dan
linguistik. Pada dasarnya neurologi mengkaji proses-proses yang berlaku pada
syaraf otak ketika berbahasa dan berfikir, sedangkan linguistik mengkaji struktur
bahasa dan bagaimana struktur itu lahir dan berkembang. Jadi, dapat disimpulkan
bahwa pengertian neurolinguistik adalah ilmu yang mengkaji syaraf-syaraf pada
otak manusia.
Menurut Luria (dalam Simanjuntak 2009:189) tugas utama neurolinguistik
adalah untuk menerapkan data-data klinis penyakit bertutur (Afasia) serta
memaparkan mekanisme fisiologi dan neurofisisologi yang mendasari penyakit
Universitas Sumatera Utara
bertutur itu, agar dapat merumuskan sebuah pandangan yang menyeluruh
mengenai patologi bahasa dan ucapan. Seperti yang telah dikemukakan di atas
pada tahun 1861 Paul Broca memulai pengkajian hubungan afasia dengan otak.
Paul Brocalah pertama kali membuktikan bahwa afasia muncul karena ada
gangguan bagian otak tertentu, beliau juga menunjukkan bahwa gangguan terjadi
di hemisfer kiri otak. Dari penemuan ini Broca menegaskan bahwa gangguan
bagian korteks tertentu menimbulkan tipe kerusakan ucapan tertentu (Simanjuntak
2009:242).
Dalam ilmu neurolinguistik dijelaskan pada umumnya penderita afasia
broca kehilangan kemampuan memproduksi atau mengujarkan bahasa. Penderita
hanya bisa mengujarkan sebuah kata sewaktu-waktu dan dia mengeluarkan tenaga
sangat kuat untuk mengujarkan kalimat-kalimat yang agak panjang Simanjuntak
(dalam Rajagukguk 2008:28).
2.2.3 Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah
bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.
Fonologi adalah bagian ilmu linguistik atau bidang ilmu bahasa yang
menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi berasal dari gabungan
dua kata Yunani yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan,
kata, atau ilmu disebut juga tata bunyi. Bunyi yang dipelajari dalam Fonologi
biasa kita sebut dengan istilah fonem. Ada dua macam bidang kajian fonologi
yaitu fonetik dan fonemik.
Universitas Sumatera Utara
Fonetik yaitu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem
sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik adalah bagian fonologi yang
mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa
diproduksi oleh alat ucap manusia. Chaer membagi tiga macam fonetik yaitu:
a). Fonetik Artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari
bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan
bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
b) . Fonetik Akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau
fenomena alam bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan
intensitasnya.
c). Fonetik Auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi
bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia
lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan
masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.
Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik
auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran. Sedangkan pengertian fonemik
adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna.
Bunyi ujaran itu terdiri atas bunyi vokal dan konsonan.
2.2.4 Bunyi Vokal Bahasa Indonesia
Bunyi vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan melibatkan pita
suara tanpa penyempitan atau penutupan pada tempat artikulasi (verhaar 2008:33).
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian semua vokal adalah bunyi bersuara. Ada enam bunyi vokal
ₔ
yaitu, [a, i, u, o, e, ] .
Diagram Vokal
Depan
Tengah
Belakang
i
Tinggi
u
ᵊ
e
o
Sedang
ᵓ
Rendah
ᵆ
ᵃ
Berdasarkan diagram di atas dilihat dari tinggi rendahnya lidah ketika
bunyi tersebut diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Bunyi tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi
mendakati langit-langit keras. Caranya rahang bawah merapat dengan rahang atas.
Misalnya,[i] pada [kita], [u] pada [hantu].
b. Bunyi agak tinggi (sedang), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi
lidah meninggi, sehingga agak mendekati langit-langit keras. Caranya, rahang
bawah agak merapat ke rahang atas. Misalnya, [e] pada kata [lele], [o] pada [soto].
c. Bunyi rendah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah
sehingga menjauh dari langit-langit keras. Caranya, rahang bawah diturunkan
sejauh- jauhnya dari rahang atas. Misalnya, [a] pada [bata], [a] pada [armada].
Dilihat dari maju mundurnya lidah, bunyi dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu:
a. Bunyi depan, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah ntuk
dinaikkan. Misalnya, [i], [e]
b. Bunyi tengah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata tidak ada
bagian lidah yang dinaikkan. Misalnya, [ₔ], [a].
c. Bunyi belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang
lidah dinaikkan. Misalnya, [u], [o].
Dilihat dari bentuk bibir, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
a. Bunyi bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk
bulat. Misalnya, [u], [o].
b. Bunyi tidak bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata
atau tidak bulat. Misalnya, [i], [e], [a].
2.2.5 Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Bunyi konsonan adalah bunyi ujaran akibat adanya udara yang keluar dari
paru-paru mendapatkan hambatan atau halangan. Jumlah bunyi konsonan ada dua
puluh satu yaitu [ b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, z ].
Diagram Konsonan
Daerah
artikulasi
Bila
bial
Cara
artikulasi
Plosif
La
bio
Apiko
Lamino
Lamino Dorso faringal Glo-
dental
alveolar palatal
tal
?
den
tal
tb p
t
k
b
d
g
b
Afrikatif tb
c
b
j
Frikatif
velar
tb
f
s
b
v
z
Lateral
b
l
Tril
b
r
Nasal
b
m
h
x
ᵑ
n
b
Semivokal b
w
y
b
(Verhaar 2008:48).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan daerah artikulasinya bunyi konsonan meliputi:
a. Bunyi Bilabial adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium)
bawah dan bibir (labium) atas. Caranya, bibir bawah menyentuh bibir atas.
b. Bunyi labio dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir bawah
(labium) dan gigi (dentum) atas. Caranya, bibir bawah menyentuh gigi atas.
c. Bunyi apiko dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah
(apeks) dan gigi (dentum) atas. Caranya, ujung lidah sebagai artikulator
menyentuh gigi atas (titik artikulasi).
d. Bunyi Lamino alveolar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung
lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas. Caranya, ujung lidang sebagai titik
artikulasi menyentuh gusi atas.
e. Bunyi lamino palatal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal
lidah (lamina) dan langit-langit keras (palatum). Caranya, tengah lidah sebagai
artikulator menyentuh langit-langit keras.
f. Bunyi dorso velar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah
(dorsum) dan anak tekak (uvula). Caranya, pangkal lidah sebagai artikulator
menyentuh anak tekak.
g. Bunyi faringal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah
(dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Caranya, pangkal lidah sebagai
artikulator menyentuh langit-langit lunak.
h. Bunyi glotal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan lubang atau celah
(glotis). Caranya, pita suara merapat sedemikian rupa sehingga menutup glotis.
Menurut Chaer (1994:118) cara artikulasi bunyi konsonan meliputi:
Universitas Sumatera Utara
a. Bunyi plosif (hambat atau letupan) adalah artikulator menutup sepenuhnya
aliran udara sehingga udara terhambat di tempat penutupan tersebut. Kemudian
penutupan itu dibuka secara tiba-tiba sehingga menyebabkan letupan, yang
termasuk konsonan letupan antara lain bunyi [p, b, t, d, k, g].
b. Bunyi afrikatif (paduan) adalah artikulator aktif menghambat sepenuhnya
aliran udara lalu membentuk celah sempit dengan artikulator pasif. Contoh
bunyi konsonan afrikatif yaitu [c, j, h].
c. Bunyi frikatif (geseran) adalah artikulator aktif mendekati artikulator pasif,
dengan membentuk celah sempit sehingga udara yang lewat mendapat
gangguan di celah tersebut . Contoh bunyi konsonan frikatif (geseran) yaitu
bunyi [f], [s], [z].
d. Bunyi lateral (sampingan) adalah artikulator aktif menghambat aliran udara
pada bagian tengah mulut lalu membiarkan udara keluar melalui samping
lidah. Contoh bunyi lateral yaitu [l].
e. Bunyi tril (getaran) adalah artikulator aktif melakukan kontak beruntun
dengan artikulator pasif sehingga getaran bunyi terjadi secara berulang-ulang.
Contoh bunyi tril yaitu [r].
f. Bunyi nasal (sengauan) adalah artikulator menghambat sepenuhnya aliran
udara melalui mulut, tetapi membiarkannya keluar melalui rongga hidung
dengan bebas. Contoh bunyi nasal yaitu [m], [n], [ᵑ].
g. Bunyi semi vokal (hampiran atau aproksiman) adalah artikulator aktif dan
pasif
membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti dalam
pembentukan vokal. Contoh bunyi semi vokal yaitu [w] dan [y].
Universitas Sumatera Utara
Fonologi merupakan bagian dari linguistik yang mengkaji bunyi.
Gangguan berbahasa juga dapat dianalisis dengan kajian fonologi, analisis
gangguan berbahasa dapat dikaji dari segi bunyi yang dihasilkan seorang yang
mengalami gangguan berbahasa akibat stroke.
2.3
Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau
mempelajari atau mempelajari. Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI
2007:912). Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah
sumber yang relevan untuk dikaji dalam melakukan penelitian ini. Adapun
sumber tersebut antara lain:
Nasution
(1995),
dalam
skripsinya
yang
berjudul
“Hubungan
Neurolingustik dengan Psikolinguistik Terhadap Gangguan Komunikasi Bahasa
Indonesia,” ia mengemukakan bagaimana cara berkomunikasi antara remaja
tunarungu dengan masyarakat yang alat komunikasinya normal.
Yeni (2004), dalam skripsinya yang berjudul “Interpretasi Lafal Fonem
Bahasa Indonesia Penderita Bibir Sumbing.” Ia menyimpulkan bahwa kendala
artikulatoris adalah kendala berupa kerusakan artikulasi pada PBS sehingga tidak
dapat menghasilkan bunyi- bunyi dengan baik. Kerusakan artikulator yang
diderita oleh PBS adalah bibir atas (upper lip), rongga hidung (nasal cavity),
langit-langit (palate), dan gigi (teeth).
Suhardiyanto (2005), dalam jurnal yang berjudul “Bagaimana Kata
Disimpan? Studi terhadap Akses Leksikal pada Penderita Afasia,” menyimpulkan
organisasi leksikon pada otak manusia tampaknya disusun dalam bentuk yang
Universitas Sumatera Utara
sangat kompleks. Format tersebut tidak dapat dianalogikan dengan daftar kata
dalam kamus. Paling tidak, susunan tersebut harus berupa jaringan kompleks yang
terkait secara fonologis dan semantis.
Gusdi (2005), dalam jurnal yang berjudul “Ekpresi Verbal Penderita
Stroke
Penutur
Bahasa
Minangkabau:
Suatu
Analisis
Neurolinguistik”,
menyimpulkan tuturan penderita stroke penutur bahasa Minangkabau kelihatan
tidak lancar dan selalu menggunakan kalimat-kalimat pendek, tidak mempunyai
intonasi sehingga terasa datar dan banyak menggunakan kata benda saja.
Meskipun fitur tersebut disusun dalam pola tertentu secara berurutan, tetapi
penderita akan mengacaukannya dalam bentuk verbal yang tidak berurutan seperti
metatesis. Hal itu terjadi karena tidak berfungsinya sistem pengawal motorik
sehingga beberapa segmen bunyi menjadi terbalik dan saling berpengaruh.
Rajagukguk (2008), dalam skripsinya yang berjudul “Kalimat Inti Bahasa
Indonesia pada Penderita Afasia Broca,” menyimpulkan bahwa Kalimat Inti
Bahasa Indonesia penderita Afasia Broca berbeda dengan kalimat inti bahasa
Indonesia pada manusia normal. Penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat
inti dengan mengucapkan hanya bagian paling inti dari sebuah kalimat yang
hendak diucapkan, sehingga apabila kalimat yang hendak diucapkan adalah
kalimat yang lebih dari dua kata, penderita akan memilih untuk mengucapkan kata
di bagian tengah kalimat yang biasanya merupakan inti dengan menghilangkan
kata di bagian awal dan ahir kalimat.
Gustianingsih (2009) dalam judul disertasi “Produksi dan Komprehensi
Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum
Universitas Sumatera Utara
Disorder”, menyimpulkan anak autistik sering melakukan penyimpangan pada
awal dan ahir kata, mengidikasikan bahwa anak autistik mengalami gangguan
inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran.
Anak autistik ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirannya tidak tuntas.
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa penelitian tentang
gangguan berbahasa pada penderita Afasia Broca sudah pernah diteliti
sebelumnya. Dari pernyataan di atas jelas bahwa seseorang yang mengalami
gangguan pada otaknya akan kesulitan mengeluarkan bunyi-bunyi ujaran yang
akan disampaikan kepada orang lain. Sebaliknya, orang yang mendengarkan
ujaran penderita Afasia Broca akan kesulitan memahami bunyi-bunyi bahasa yang
diujarkan penderita.
Universitas Sumatera Utara