KAJIAN PSIKOLINGUISTIK PADA PENDERITA AFASIA BROCA PASCASTROKE: PEMANGGILAN LEKSIKON, KEKELIRUAN BERBAHASA, DAN SIASAT KOMUNIKASI.
viii DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERSETUJUAN TESIS... i
LEMBAR PENGESAHAN... ii
PERNYATAAN... iii
ABSTRAK... iv
KATA PENGANTAR... v
UCAPAN TERIMA KASIH... vi
DAFTAR ISI... viii
DAFTAR SINGKATAN... xi
DAFTAR BAGAN... xii
DAFTAR GAMBAR... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Identifikasi Masalah... 7
1.3 Rumusan Masalah... 9
1.4 Tujuan Penelitian... 10
1.5 Manfaat Penelitian... 10
1.6 Definisi Operasional... 10
1.7 Metode Penelitian... 12
1.8 Sistematika Penulisan... 13
BAB II KAJIAN PSIKOLINGUISTIK PADA PENDERITA AFASIA BROCA... 15
2.1 Pengantar... 15
2.2 Pengertian Linguistik... 15
2.2.1 Pengertian Fonologi... 16
2.2.2 Pengertian Sintaksis... 22
2.2.3 Pengertian Semantik Leksikal... 24
(2)
ix
2.2.3.1.1 Asosiasi... 29
2.2.3.1.2 Kolokasi... 32
2.2.3.1.3 Metafora... 34
2.2.3.1.4 Personifikasi... 35
2.2.3.1.5 Sinestesia... 35
2.2.3.2 Relasi Makna... 37
2.2.3.2.1 Relasi Inklusi... 37
2.2.3.2.2 Relasi Bertumpang Tindih (Sinonimi)... 39
2.2.3.2.3 Keberlawana Makna... 44
2.2.3.2.4 Relasi yang Bersifat Kontigu (Berdekatan)... 45
2.2.4 Leksikon Mental... 46
2.3 Komunikasi Nonverbal... 49
2.4 Pengertian Afasia... 50
2.4.1 Ditinjau dari Segi Kedokteran... 54
2.4.2 Ditinjau dari Segi Linguistik... 59
2.4.3 Afasia Broca... 62
2.5 Pengertian Psikolinguistik... 71
BAB III METODE PENELITIAN... 87
3.1 Pengantar... 87
.2 Metode Penelitian... 87
3.3 Kehadiran Peneliti... 91
3.4 Sumber Data... 91
3.4.1 Data Primer... 91
3.4.2 Data Sekunder... 91
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data... 92
3.5.1 Observasi Langsung... 92
3.5.2 Wawancara... 93
3.5.3 Dokumentasi... 93
(3)
x
3.7 Objek Penelitian... 94
3.8 Waktu Penelitian... 95
3.9 Tahap-Tahap Penelitian... 95
3.10 Klasifikasi Data... 96
3. 11 Teknik Analisis Data... 97
BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN... 98
4.1 Pengantar... 98
4.2 Pola-Pola Kekeliruan Berbahasa... 99
4.2.1 Kekeliruan Fonologi... 99
4.2.2 Kekeliruan Struktur Sintaksis... 108
4.2.2.1 Urutan Kata (Word Order) ... 108
4.2.2.2 Kekeliruan Unsur Gramatikal... 113
4.2.3 Kekeliruan Semantik... 126
4.3 Siasat Berkomunikasi... 131
4.3.1 Gesture... 131
4.3.2 Majas (Figure of Speech) ... 142
4.3.2.1 Asosiasi... 142
4.3.2.2 Kolokasi... 146
4.3.2.3 Metafora... 160
4.3.2.4 Personifikasi... 167
4.3.2.5 Sinestesia... 172
4.3.3 Relasi Makna... 175
4.3.3.1 Hiponimi/ Superordinat... 175
4.3.3.2 Antonim... 180
BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 191
5.1 Simpulan... 191
5.2 Saran... 194
DAFTAR PUSTAKA... 196
(4)
xi
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan
In → Informan Is → Istri
A1 → Anak Pertama A2 → Anak Kedua
KBBI → Kamus Besar Bahasa Indonesia KUBI → Kamus Umum Bahasa Indonesia KBSI → Kamus Bahasa Sunda Indonesia KSI → Kamus Sunda Indonesia
(5)
xii
DAFTAR BAGAN
Halaman Bagan:
2.1 Vokal Berdasarkan Bunyi yang Sefonetis... 18 2.2 Konsonan Bahasa Indonesia... 18 2.3 Urutan Sonoritas... 19
(6)
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar:
2.1 Bagian Konsep Mekanisme Berbahasa yang Disederhanakan... 52
2.2 Letak Area Broca dan Wernicke... 65
2.3 Regio Khusus pada Korteks Frontalis... 66
2.4 Daerah Fungsional di Korteks Serebrum... 81
2.5 Jalur Kortikal... 82
2.6 Aspek Sensorik... 84
(7)
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Penelitian
Manusia adalah mahluk sosial. Mahluk yang membutuhkan interaksi antara sesamanya. Seseorang akan mengetahui potensi yang dimilikinya bila ia berkumpul bersama lingkungan sosialnya. Ketika manusia satu dengan manusia lainnya bertemu dalam suatu komunitas atau tempat umum, interaksi sosial akan terjadi. Satu hal yang paling penting dalam interaksi ini adalah komunikasi. Sukses tidaknya komunikasi tersebut akan berpengaruh pada interaksi sosial yang terbentuk.
Pada dasarnya, inti dari komunikasi itu sendiri adalah untuk menyampaikan informasi berupa ide atau pesan secara lisan atau verbal. Bahkan, terkadang melalui gesture atau gerakan tangan, body language atau isyarat tubuh, serta tulisan. Ada pula komunikasi yang disampaikan dengan beberapa cara seperti itu yang digabungkan dalam penyampaiannya. Tentu saja alat yang dipakai dalam berkomunikasi itu sendiri adalah bahasa.
Komunikasi akan berjalan lancar apabila pesan yang disampaikan penutur dapat dimengerti oleh mitra tuturnya. Jika tidak terjadi demikian maka ada gangguan dalam komunikasi. Gangguan komunikasi adalah hal yang merintangi atau menghambat komunikasi sehingga penerima salah menafsirkan pesan yang diterimanya. Hal ini mungkin dapat terjadi karena bahasa yang dipergunakan tidak jelas sehingga mempunyai arti lebih dari satu, simbol yang dipergunakan antara si pengirim dan penerima tidak sama atau bahasa yang dipergunakan terlalu sulit.
Oleh karena itu, bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai peran yang sangat vital bagi terlaksananya komunikasi dengan lancar. Bahasa merupakan bagian yang penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita berbicara dengan orang lain, kita membaca koran, kita bekerja, dan belajar menggunakan bahasa. Kita juga menggunakan bahasa untuk mengungkapkan pemikiran kita dengan jelas. Juga untuk merencanakan masa depan kita.
Akan tetapi, jika terjadi gangguan berbahasa maka komunikasi pun tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu gangguan berbahasa dialami
(8)
oleh para penderita afasia. Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa. Para penderita afasia dapat mengalami gangguan berbicara, gangguan dalam memahami sesuatu, gangguan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Penyebab afasia selalu berupa cedera otak. Pada kebanyakan kasus, afasia dapat disebabkan oleh pendarahan otak. Oleh para dokter, pendarahan otak disebut CVA: Cerebro Vasculair Accident atau Kecelakaan Vaskuler Otak.
AIA (2011) telah memberitahukan kepada masyarakat bahwa para penderita afasia dapat mengalami kesulitan akan banyak hal. Hal-hal tersebut sebelumnya merupakan sesuatu yang biasa terjadi di kehidupannya sehari-hari, seperti: melakukan percakapan; berbicara dalam grup atau lingkungan yang gaduh; membaca buku, koran, majalah atau papan petunjuk di jalan raya; pemahaman akan lelucon atau menceritakan lelucon; mengikuti program di televisi atau radio; menulis surat atau mengisi formulir, bertelepon, berhitung, mengingat angka, atau berurusan dengan uang; juga menyebutkan namanya sendiri atau nama-nama anggota keluarga. Penderita afasia mengalami kesulitan dalam menggunakan bahasa, tetapi mereka bukan orang yang tidak waras.
Kebanyakan penderita afasia mendapati kehidupan mereka berbeda sama sekali. Hal-hal yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah, sekarang dilakukan dengan susah payah dan membutuhkan lebih banyak waktu. Banyak penderita afasia tidak percaya diri dan khawatir akan masa depannya. Oleh karena itu, bantuan dan dukungan dari lingkungan mereka merupakan hal yang sangat penting. Bertemu dengan penderita afasia lainnya juga membantu. Para penderita afasia bahkan dapat memahami satu sama lain tanpa kata-kata
AIA (Association Internationale Aphasie) adalah sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang afasia, yang sudah terbentuk di Eropa. Organisasi ini terdiri dari wakil-wakil asosiasi afasia nasional, khususnya di Eropa, tetapi juga di Amerika Serikat, Jepang, dan Argentina. Banyak informasi yang didapat tentang afasia dari organisasi ini salah satunya adalah AIA mengilustrasikan penderita afasia sebagai berikut: banyak orang mengalami frustrasi saat berlibur di negara lain. Frustrasi tersebut berasal dari ketidakmampuan mengungkapkan dengan jelas apa yang mereka maksudkan atau tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan
(9)
oleh orang lain. Kita menyadari hal itu juga terjadi di negara-negara dimana kita mengira kita menguasai bahasa lokal dengan baik. Sebagai contoh pada saat mengunjungi dokter di negara tersebut. Di negara-negara dimana penguasaan bahasa lokal kita kurang baik, kemungkinan komunikasi kita dengan penduduk lokal menjadi terbatas. Terkadang untuk mendapatkan makanan persis seperti yang sangat kita inginkan, tidak selalu berhasil. Para penderita afasia mengalami hal-hal seperti ini sehari-hari. Dengan demikian, afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa.
Menurut AIA (2011) tidak ada dua orang penderita afasia yang persis sama. Afasia berbeda dari satu orang dengan yang lain. Tingkat keparahan dan luasnya cakupan afasia bergantung dari lokasi dan keparahan cedera otak, kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan kepribadian seseorang. Beberapa penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik, tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat kalimat-kalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lebar, tetapi apa yang diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita seperti ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa. Kemampuan berbahasa dari kebanyakan penderita afasia berada di antara dua situasi tadi. Perlu diingat, seseorang yang menderita afasia secara umum memiliki kapasitas intelektual yang penuh. Hampir selalu setelah terjadi afasia, secara spontan terjadi pemulihan kemampuan berbahasa. Jarang atau tidak pernah terjadi pemulihan penuh. Namun dengan banyak melakukan latihan, selalu mencoba, dan tetap bertahan, pada akhirnya akan mendapatkan perbaikan.
Epidimiologi dan Kesehatan Masyarakat (EKM, 2011) memberi tahu bahwa selain tumor dan kecelakaan di bagian otak, maka afasia juga sering disebabkan oleh stroke. Stroke itu dibagi ke dalam dua kategori, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik disebabkan oleh tersumbatnya aliran darah di otak sedangkan stroke hemoragik disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah di otak. Pada stroke iskemik, suplai darah ke bagian otak terganggu akibat aterosklerosis atau bekuan darah yang menyumbat pembuluh darah. Sedangkan pada stroke hemoragik, pembuluh darah pecah sehingga menghambat aliran darah
(10)
normal dan menyebabkan darah merembes pada area otak dan menimbulkan kerusakan.
Lumempou (2003) mengatakan bahwa pasca serangan stroke selain meninggalkan kecacatan berupa kelumpuhan juga meninggalkan gangguan berbahasa atau Afasia. Meskipun gangguan afasia yang dialami pasien stroke hanya sekitar 15 %, namun sangat mengganggu karena mereka akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan individu lain. Sampai saat ini banyak masyarakat yang belum paham kalau akibat stroke bukan hanya lumpuh. Pasalnya, hasil penelitian ASEAN Neurological Association (ASNA) di tujuh negara ASEAN menunjukkan hanya 15% yang mengalami gangguan neuropsikologi ini. Sedangkan sisanya, 85% mengalami gangguan fungsi motorik atau kelumpuhan.
Dampak stroke memang sangat bervariasi, bergantung bagian mana dari otak yang terkena. Namun, karena lesi atau kerusakan itu bisa terjadi di mana saja maka gangguan tidak selalu tunggal. Hal ini disebabkan stroke merupakan serangan pada pembuluh darah otak, akibat tersumbatnya dinding pembuluh darah di otak. Aliran darah menjadi tersumbat atau pecah, sehingga terjadi pendarahan. Sel-sel otak yang kekurangan atau kelebihan darah akan rusak.
Lumempou (2003) melanjutkan bahwa afasia muncul karena gangguan di bagian-bagian otak yang bertugas memahami bahasa lisan dan tulisan, mengeluarkan isi pikiran, mengintegrasikan fungsi pemahaman bahasa dan mengeluarkannya, serta mengintegrasikan pusat fungsi barbahasa ini dengan lainnya. Umumnya afasia muncul apabila otak kiri terganggu. Soalnya otak kiri bagian depan berperan untuk kelancaran menuturkan isi pikiran dalam bahasa dengan baik, dan otak kiri bagian belakang untuk mengerti bahasa yang didengar dari lawan bicara. Namun ada beberapa laporan yang menyatakan bahwa gangguan ini dapat terjadi di belahan otak kanan juga, meski begitu kasusnya sangat jarang.
Di pusat bahasa manusia, manusia memahami dan mengenal huruf, suku kata, arti kata, kalimat sederhana, kalimat bertingkat sampai yang kompleks dan abstrak, serta berbagai macam bahasa. Sedang di bagian lain ada yang bertugas
(11)
mengeluarkan isi pikiran secara lisan dan tulisan, yang berarti harus berkoordinasi dengan pergerakan otot-otot jari.
Gangguan afasia terdiri dari afasia broca, wernicke, global, konduksi, transkortikal motorik, transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran. Seseorang disebut mengalami afasia global bila semua modalitas bahasa meliputi kelancaran berbicara, pengertian bahasa lisan, penamaan, pengulangan, membaca dan menulis terganggu berat. Pada kasus ini penderita tidak bisa bicara sama sekali dan tidak mengerti apa yang dikatakan lawan bicara serta tidak bisa membaca dan menulis. Ini terjadi karena kerusakan otak yang luas disertai kelumpuhan otot-otot tubuh sisi kanan. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan bertutur kata. Namun ia mengerti bila diperintah dan menjawab dengan gerakan tubuh sesuai perintah itu. Ini terjadi karena kerusakan yang terjadi berdampingan dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh. Kelumpuhan juga terjadi pada anggota tubuh bagian kanan.
Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan kemampuan memahami lawan bisa bicara. Ia hanya lancar mengeluarkan isi pikiran, tetapi tidak mengerti pembicaraan orang lain. Sedangkan afasia konduksi merupakan ketidakmampuan mengulangi kata atau kalimat lawan bicara, namun penderita masih mampu mengeluarkan isi pikirannya dan menjawab kalimat lawan bicaranya.
Untuk afasia anomik membuat penderita ini tidak bisa menyebut nama benda yang dilihat, angka, huruf, bentuk gambar yang dilihat. Ia juga tak bisa menyebut nama binatang yang didengar suaranya atau benda yang diraba. Gangguan anomik terdapat pada semua penderita afasia dengan variasi kemampuan. Pada afasia transkortikal sensorik, gangguan mirip dengan Wernicke, tetapi mampu menirukan kata/kalimat lawan bicara, sedangkan gangguan afasia transkortikal campuran mirip afasia global, namun mampu menirukan ucapan lawan bicara.
Dari berbagai jenis afasia tersebut, afasia broca menjadi bahan penelitian dalam tesis ini. Penelitian ini dilakukan terhadap seorang informan yang telah mengalami afasia broca. Afasia yang dialami informan disebabkan oleh stroke hemaragik di belahan otak kiri. Dampak dari stroke tersebut menyisakan afasia broca dan melemahnya fungsi kaki sebelah kanan. Afasia broca disebut juga
(12)
afasia motorik. Afasia broca ditandai oleh gangguan atau hilangnya kemampuan untuk menyatakan pikiran-pikiran yang dapat dimengerti dalam bentuk bicara dan menulis. Afasia broca atau afasia ekspresif timbul akibat gangguan pada pembuluh darah Karotis Interna, yaitu cabangnya yang menuju otak bagian tengah (Arteri serebri media) tepatnya pada cabang akhir (Arteri presentalis), afasia broca ini disertai kelemahan lengan lebih berat daripada tungkai. Arteri serebri media merupakan cabang arteri karotis interna yang paling besar.
Kusumoputro (1984) menyatakan bahwa afasia broca memiliki ciri bicara spontan pasien ialah lambat, tidak lancar atau terbata-bata, monoton dan kalimat pendek-pendek. Penyimakan bahasa baik, pengulangan kalimat buruk dan penyebutan nama benda buruk. Pasien sulit menemukan kata dan bicara tersendat-sendat dengan kalimat yang tidak lengkap. Orang yang mengidap afasia broca tidak menghadapi masalah dalam hal memahami orang lain. Pada umumnya gangguan menulis setara dengan gangguan berbicara, meniru ucapan terganggu, sedngkan pengertian bahasa lisan dan tulis lebih baik.
Studi kasus ini sudah dilakukan secara mendalam dalam jangka waktu lebih dari satu tahun, yaitu semenjak mengikuti kuliah pemerolehan bahasa di semester dua, dengan seorang informan yang mempunyai karakteristik dalam menyiasati proses komunikasi dengan mitra tuturnya. Karakteristik afasia broca informan lebih banyak terlihat dari unsur leksikalnya, yaitu membuat makna tersendiri terhadap kata atau kalimat yang diucapkannya. Oleh karena itu, data yang didapat pun lebih banyak unsur leksikalnya. Hal ini menarik karena belum banyak penelitian tentang afasia yang dikaji dari segi leksikalnya.
Alasan saya memilih penelitian ini karena berkenaan dengan perkembangan linguistik informan setelah informan sadar dari komanya dan mengalami afasia. Hasil keseluruhan perkembangan linguistik informan merupakan kajian yang menarik untuk diteliti. Hasil pengamatan yang terekam oleh saya adalah pada minggu awal informan kembali kesadarannya, informan mengalami afasia anomik karena ia tidak bisa menyebut nama benda yang dilihat, angka, huruf, bentuk gambar yang dilihat, bahkan ketika berusaha membaca koran, ternyata korannya terbalik. Informan juga tidak bisa menyebut nama binatang yang didengar
(13)
suaranya atau benda yang diraba. Tetapi menurut keterangan dokter afasia anomik dapat terjadi pada semua penderita afasia.
Perkembangan selanjutnya informan mengalami afasia broca. Alasannya adalah informan mengalami kesulitan dalam mengucapkan suatu kata sehingga penderita menampakkan gejala ekspresi verbal yang tidak fasih. Hal ini terbukti karena dari segi verbal, informan mengalami kesulitan memproduksi bahasa, ujaran dia tidak mudah dimengerti orang, dan kata-kata dia tidak diucapkan dengan cukup jelas. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, lalu konsultasi dengan dokter saraf informan, dan hasil CT Scanenya, maka informan dikategorikan menderita afasia broca sehingga penelitian ini difokuskan pada afasia broca.
1.2 Identifikasi Masalah
Afasia adalah gangguan berbahasa yang disebabkan oleh cedera otak. Afasia muncul apabila otak kiri terganggu. Masalahnya, otak kiri bagian depan berperan untuk kelancaran menuturkan isi pikiran dalam bahasa dengan baik, dan otak kiri bagian belakang untuk mengerti bahasa yang didengar dari mitra bicara. Bagian belahan otak kiri yang berperan untuk berbahasa itu ada di area broca, yang disebut area motorik dan wernicke, yang disebut area sensorik. Area broca berdampingan dengan area wernicke dan kedua lobus tersebut dihubungkan oleh serabut syaraf. Oleh karena itu, jika bagian broca yang cedera ada kemungkinan mengakibatkan afasia broca. Sedangkan jika bagian wernicke yang cedera ada kemungkinan mengakibatkan afasia wernicke.
Dari kedua lobus tersebut maka afasia yang dialami penderita gangguan berbahasa akan berbeda-beda, bergantung lesinya (kerusakannya) sehingga afasia terdiri dari afasia broca, wernicke, global, konduksi, transkortikal motorik, transkortikal sensorik, dan transkortikal campuran.
Berdasarkan hal tersebut, saya tertarik untuk mengkaji gangguan berbahasa yang diakibatkan stroke hemoragik di bagian otak intracerebral dengan cara meneliti seorang informan yang telah mengalami stroke delapan tahun yang lalu. Sisa stroke tersebut mengakibatkan afasia terhadap informan. Hal ini dilakukan karena afasia yang terjadi terhadapnya mempunyai tingkatan yang menarik untuk
(14)
dikemukakan, yaitu mulai dari tidak mengenal apa-apa dan tidak dapat melakukan kegiatan apa pun sampai berangsur-angsur membaik dan mampu berkomunikasi lagi, seperti saat ini.
Masalah yang dihadapi informan ternyata gangguan berbahasa yang awalnya bervariasi, yaitu afasia anomik, yaitu ketika informan baru sadar dari komanya (kurang lebih selama dua minggu). Menurut penelitian para ahli di bidang kedokteran, orang yang terkena stroke otak bagian kiri mengalami dulu afasia anomik. Afasia anomik hampir diderita oleh sebagian besar pasien yang baru bangun dari koma. Baik itu stroke yang berat maupun yang ringan Yang terlihat kemudian, informan mengalami afasia broca, dan yang paling lama mengalami afasia global, akhirnya afasia yang sekarang rutin terjadi adalah afasia broca.
Afasia broca lazim disebut afasia ekspresif atau afasia motorik. Para ahli menggolongkan afasia broca ke dalam afasia tidak lancar atau afasia nonfluent. Hal ini disebabkan, afasia broca memiliki karakteristik berbicara tidak lancar. Ini ditandai dengan cara berbicara yang sulit, sehingga kata-kata yang dikeluarkan sedikit. Penderita tidak dapat mengatur sistem vokal untuk menghasilkan kata-kata. Penderita stroke yang mengalami afasia broca secara otomatis mengalami gangguan dalam memahami suatu bahasa atau kemampuan bahasanya mendadak hilang. Berdasarkan ciri-ciri inilah maka penelitian dilakukan sesuai dengan keadaan informan, yaitu afasia broca.
Penelitian ini akan bersifat ilmiah apabila ditunjang oleh referensi yang memadai. Oleh karena itu, saya mencari sumber-sumber referensi sebagai bahan kajian teori dari para ahli. Dengan demikian, saya mendapatkan referensi berupa buku dan jurnal ilmiah. Untuk menunjang teori afasia dan neurologi, saya merujuk pada beberapa buku dan jurnal ilmiah, di antaranya karya Guyton & Hall, Sherwood, dan Snell. Untuk menunjang teori psikolinguistik, saya merujuk beberapa buku dan jurnal ilmiah, di antaranya karya Dardjowidjojo dan karya Chaer. Kemudian untuk menunjang teori metode penelitian, saya merujuk beberapa buku, di antaranya karya Basrowi & Suwandi. Sedangkan untuk menunjang teori leksikal, peneliti merujuk beberapa buku dan jurnal ilmiah, di antaranya karya Pateda, Djajasudarma, dan Stephen Ullmann, Kamus Besar
(15)
Bahasa Indonesia edisi 3, Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, Kamus Bahasa Sunda karya Budi Rahayu Tamsyah, Kamus Sunda Indonesia dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1.3 Rumusan Masalah
Agar penelitian terfokus pada satu masalah saja, maka saya lebih tertarik untuk meneliti afasia broca yang dialami informan dari segi kekeliruan berbahasa informan, yang dianalisis berdasarkan ilmu linguistik dan psikolinguistik. Oleh karena itu, penelitian ini diberi judul Kajian Psikolinguistik pada Penderita Afasia Broca Pascastroke: Pemanggilan Leksikon, Kekeliruan Berbahasa, dan Siasat Komunikasi. Saya merumuskan permasalahan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana bunyi dipanggil (diretrif) dari leksikon mental informan? 2. Kekeliruan produksi sintaksis apa saja yang dialami informan?
3. Kekeliruan produksi leksikal semantik apa saja yang dialami informan? 4. Siasat (strategi) unsur leksikal apa saja yang digunakan informan untuk
menggungkapkan gagasan yang hilang dari memorinya? 1.4 Tujuan Penelitian
1. Untuk memberikan gambaran tentang bunyi yang dipanggil dari leksikon mental informan.
2. Untuk memberikan gambaran tentang kekeliruan sintaksis pada informan dalam memproduksi bahasa.
3. Untuk memberikan gambaran tentang kekeliruan leksikal/semantik pada informan dalam memproduksi bahasa.
4. Untuk memberikan gambaran tentang siasat yang digunakan oleh informan dalam mengungkapkan gagasan yang hilang dari memorinya.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi peneliti sendiri maupun perkembangan keilmuan linguistik.
(16)
a. Untuk mengetahui manfaat dari hasil penelitian yang didapat.
b. Diharapkan dari penelitian ini, saya dapat termotivasi untuk lebih bijaksana dalam menghadapi orang-orang yang terkena afasia.
2. Keilmuan
a. Kegunaan teoritis, yaitu memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan khususnya dalam bidang psikolinguistik.
b. Kegunaan praktis, yaitu sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum, khususnya para linguis, juga para ahli yang bergerak dalam ilmu kesehatan.
1.6 Definisi Operasional
1. Menurut Kridalaksana (1984:51) fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya; fonemik. Menurut Dardjowidjojo (2008:48) bunyi yang dikeluarkan oleh manusia ditransmisikan ke telinga pendengar melalui gelombang udara. Pada saat bunyi dikeluarkan, udara tergetar olehnya dan membentuk semacam gelombang. Gelombang yang membawa bunyi ini bergerak dari depan mulut pembicara ke arah telinga pendengar. Dengan mekanisme yang ada pada telinga, manusia menerima bunyi ini dan melalui syaraf-syaraf sensori bunyi ini kemudian “dikirimkan” ke otak kita untuk diproses dan kemudian ditangkapnya. Pemrosesan di otak dibimbing oleh pengetahuan kita tentang bahasa tersebut, termasuk pengetahuan kita tentang bagaimana bunyi-bunyi itu dibuat. Pada penderita afasia broca pemrosesan ini terhambat karena lesi pada area motorik yang dideritanya sehingga informan melakukan asimilasi bunyi yang keliru.
2. Menurut Kridalaksana (1984:179) sintaksis adalah pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata, atau dengan satuan-satuan yang lebih besar, atau antara satuan-satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Sementara menurut Dardjowidjojo (2008:18) komponen sintaksis merupakan komponen sentral dan keluaran dari komponen sintaksis tanpa
(17)
trasformasi dinamakan struktur batin. Setelah transformasi dinamakan struktur lahir. Pada penderita afasia broca terjadi kekeliruan dalam keluaran dari komponen sintaksisnya sehingga terjadi kekeliruan dari urutan kata atau adanya pelesapan salah satu komponen sintasis.
3. Semantik leksikal adalah makna sebenarnya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi kita, makna apa adanya, atau makna yang ada dalam kamus. Sementara menurut Kridalaksana (1984:175) semantik leksikal adalah penyelidikan makna unsur-unsur kosa kata suatu bahasa pada umumnya. Menurut Dardjowidjojo (2008:21) dalam komponen semantik kata tidak hanya diberi makna seperti yang terdapat pada kebanyakan kamus, tetapi juga diberi rincian makna yang disebut fitur semantik.
4. Afasia merupakan gangguan bahasa yang disebabkan oleh cedera otak dan ditandai oleh gangguan pemahaman (area wernicke) dan gangguan pengutaraan bahasa, lisan maupun tertulis (area broca). Sedangkan menurut Kridalaksana (1984:2) afasia adalah kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan untuk memakai bahasa lisan karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak.
5. Psikolinguistik adalah ilmu hibrida, yakni, ilmu yang merupakan gabungan antara psikologi dan linguistik. Dardjowidjojo (2008:2). Bisa juga dikatakan bahwa psikolinguistik adalah suatu interdisipliner antara ilmu bahasa, otak, mentalitas seseorang atau kelompok orang. Bisa juga disebutkan bahwa psikolinguistik adalah sebuah cabang ilmu bahasa yang mencakup kejiwaan dan fungsi otak dalam produksi bahasa.
6. Komunikasi adalah pertukaran verbal pikiran/gagasan. Asumsi di balik definisi tersebut adalah bahwa suatu pikiran atau gagasan dengan berhasil dipersatukan (Hoben dalam Mulyana, 2002:53). Pada penderita afasia broca proses komunikasi tersebut terhambat sehingga informan melakukan siasat/ strategi komunikasi dengan menggunakan gesture, majas (figure of speech), dan relasi makna.
(18)
1.7 Metode Penelitian
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan berasal dari hasil wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, dan catatan memo. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci, dan tuntas. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan antara realita empirik dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif. Pertimbangan saya menggunakan penelitian kualitatif ini adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan berdasarkan hasil pengamatan dari informan yang mengalami afasia broca, yang sudah mengalami stroke, dan sisa stroke tersebut mengakibatkan terganggunya hemisfere kiri di daerah lobus temporalis tepatnya di area broca. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif dalam upaya mengumpulkan data di lapangan. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang lain selain penderita afasia broca adalah berbagai bentuk alat bantu dan berupa dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrumen pendukung. Langkah-langkah metode penelitian ini akan dijelaskan lebih rinci pada bab III.
1.7 Sistematika Penulisan
Dalam tesis ini saya membuat kerangka sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I : memaparkan tentang pendahuluan yang di dalamnya berisi latar belakang
penelitian, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan
sistematika penulisan;
Bab II : memaparkan tentang kerangka teori, yang di dalamnya berisi teori tentang pengertian linguistik, yang terdiri atas pengertian fonologi, pengertian
(19)
sintaksis, pengertian semantik leksikal; majas yang terdiri atas asosiasi, kolokasi, metafora, personifikasi, dan sinestesi; relasi makna; yang terdiri atas relasi inklusi, relasi bertumpang-tindih, antonimi, dan relasi yang bersifat kontigu; leksikon mental; komunikasi nonverbal, pengertian afasia, yang terdiri atas ditinjau dari segi kedokteran dan ditinjau dari segi linguistik, afasia broca; dan pengertian psikolinguistik;
Bab III: memaparkan tentang metode penelitian yang di dalamnya terdiri atas; pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti, sumber data, metode dan teknik pengumpulan data, subjek penelitian, objek penelitian, waktu penelitian, tahap-tahap penelitian, klasifikasi data, dan teknik analisis data;
Bab IV : menganalisis tentang afasia broca, yang di dalamnya berisi tentang pola-pola kekeliruan produksi berbahasa, yang terdiri atas kekeliruan fonologi, kekeliruan struktur sintaksis, dan kekeliruan semantik; siasat berkomunikasi, yang terdiri atas gesture, majas, yang terdiri atas asosiasi, kolokasi, metafora, personifikasi, juga sinestesi; dan yang terakhir tentang hubungan makna, yang terdiri atas hiponimi dan antonimi; dan Bab V : bab ini merupakan bab terakhir, yang berisi simpulan dan saran.
(20)
86 BAB III
METODE PENELITIAN
3.1Pengantar
Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan adalah melalui pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dan dokumen pribadi. Sehingga yang menjadi tujuan dari penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empirik di balik fenomena secara mendalam, rinci, dan tuntas. Oleh karena itu, penggunaan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini sesuai dengan masalah afasia yang diderita informan. Alasannya, karena pendekatan kualitatif berusaha mencocokkan antara realita empirik berupa afasia broca dengan teori yang berlaku tentang gangguan berbahasa dari segi kedokteran dan linguistik, dengan menggunakkan metode deskriptif.
3.2Metode Penelitian
Saya menggunakan metode kualitatif, pertama, karena sifat masalahnya bertujuan untuk menemukan sifat atau pengalaman seseorang dengan suatu fenomena seperti gejala kesakitan, konvensi agama, atau gejala ketagihan.(Strauss dan Corbin, 1997 dalam Basrowi, 2008:8). Di sini penelitian bertujuan untuk menemukan sifat atau pengalaman informan dengan suatu fenomena, yang membuat informan merasa terasing, kurang percaya diri dalam berinteraksi dalam lingkungan formal. Dalam penelitian ini sifat atau pengalaman informan karena informan mendapatkan hambatan cara berkomunikasi yang disebabkan afasia broca yang dialaminya. Kedua, karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk memahami yang tersembunyi di balik fenomena yang kadang kala merupakan sesuatu yang sulit untuk diketahui atau dipahami (Fatchan, 2001:22 dalam Basrowi, 2008:8). Dalam hal ini, data yang berupa kata-kata atau leksem-leksem dari informan kadang kala sulit untuk dimaknai dan harus ditanya ulang tentang apa maksud dari yang diujarkan informan.
(21)
Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianaliss dengan cara nonstatistik. Penelitian kualitatif lebih menekankan pada penggunaan diri si peneliti sebagai alat. Peneliti harus mampu mengungkap gejala sosial di lapangan dengan mengerahkan segenap fungsi inderawinya. Dengan demikian, peneliti harus dapat diterima oleh responden dan lingkungannya agar mampu mengungkap data yang tersembunyi melalui bahasa tutur, bahasa tubuh, perilaku, maupun ungkapan-ungkapan yang berkembang dalam dunia dan lingkungan informan.
Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Pada pendekatan ini, peneliti membuat suatu gambaran kompleks, terhadap penderita afasia broca, dengan cara meneliti kata-kata, laporan terinci dari pandangan informan, dan melakukan studi pada situasi yang alami (Creswell, 1998:15). Bogdan dan Taylor (Moleong, 2007:3) mengemukakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.
Penelitian kualitatif dilakukan pada kondisi alamiah dan bersifat penemuan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti adalah instrumen kunci. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas jadi bisa bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi objek yang diteliti menjadi lebih jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan.
Menurut Karl dan Miller dalam Moleong (1991) yang dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah “tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia pada kawasannya sendiri, dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristilahannya.”
(22)
Metode kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah. Sementara itu, peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna daripada generalisasi.
Pertimbangan saya menggunakan penelitian kualitatif ini sebagaimana diungkapkan oleh Bogdan dan Taylor (1975:5 dalam Basrowi dan Suwandi, 2008:21) adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Hal ini sesuai dengan penelitian afasia broca yang saya lakukan. Di sini saya akan meneliti cara berbahasa seorang informan, yang sudah mengalami stroke dan sisa stroke tersebut mengakibatkan terganggunya area berbahasa bagian hemisfer kiri di daerah lobus temporalis tepatnya di area broca.
Pertimbangan saya menggunakan penelitian kualitatif ini sesuai juga dengan apa yang diungkapkan oleh Lexy Moleong (1991):
1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda,
2. Metode ini secara tidak langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden (informan),
3. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan manajemen pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.
Adapun jenis penelitiannya adalah studi kasus yang diungkapkan secara deskriptif. Studi kasus adalah penelitian yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, memiliki pengambilan data yang mendalam. Penelitian ini tidak dibatasi oleh waktu dan tempat. Beberapa macam kasus yang diteliti berupa program, peristiwa, aktivitas, ataupun individu. Studi kasus adalah sebuah metoda penelitian yang secara khusus meneliti kejadian atau fenomena yang terdapat pada realita. Metode ini dilaksanakan ketika batasan-batasan itu belum jelas konteksnya.
Kadir (1992, dalam Rahman dan Damaianti, 2006:186) memberikan garis besar tahapan dalam melakukan studi kasus, yaitu: Pertama, pemilihan kasus hendaknya
(23)
dilakukan secara bertujuan dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih peneliti dengan menjadikan objek orang, lingkungan, program, proses, dan masyarakat atau unit sosial. Kedua, pengumpulan data terdiri atas observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi, peneliti sebagai instrumen penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat mengumpulkan data yang berbeda secara serentak. Ketiga, analisis data, setelah data terkumpul peneliti dapat mulai mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. Keempat, perbaikan, meskipun data telah terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya dilakukan penyempurnaan data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali harus membuat kategori baru jika data baru tidak bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada. Kelima, penulisan laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, mudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas, sehingga memudahkan pembaca untuk memahami seluruh informasi penting.
Oleh karena, jenis penelitiannya adalah studi kasus maka penelitian yang mendalam tentang individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, dan sebagainya dalam waktu tertentu merupakan hal yang diperhatikan oleh peneliti. Tujuannya untuk memperoleh deskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas. Studi kasus menghasilkan data yang selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan teori. Sebagaimana prosedur perolehan data penelitian kualitatif, data studi kasus diperoleh dari observasi, dan dokumentasi (Rahardjo: 2010).
Berdasarkan hal tersebut, maka studi kasus bisa dipakai untuk meneliti afasia broca yang dialami oleh informan. Hal ini disebabkan informan yang menjadi subjek penelitian hanya seorang dan informan menampakkan karakteristik yang sedikit berbeda daripada para penderita afasia broca pada umumnya. Juga karena kajiannya juga berbeda dari peneliti lain, yang pada umumnya meneliti dari segi fonologi dan morfologi.
(24)
3.3Kehadiran Peneliti
Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai pengumpul data dan sebagai instrumen aktif dalam upaya mengumpulkan data di lapangan. Sedangkan instrumen pengumpulan data yang lain selain manusia adalah berbagai bentuk alat bantu dan berupa dokumen-dokumen lainnya yang dapat digunakan untuk menunjang keabsahan hasil penelitian, namun berfungsi sebagai instrumen pendukung.
Dokumen yang paling akurat dalam penelitian afasia broca pada informan adalah hasil CT Scan. Oleh karena itu, kehadiran peneliti secara langsung di lapangan diperlukan sebagai tolak ukur keberhasilan untuk memahami kasus yang diteliti. Sehingga keterlibatan peneliti secara langsung dan aktif dengan informan dan atau sumber data lainnya di sini mutlak diperlukan.
3.4Sumber Data 3.4.1 Data Primer
Menurut Nasution (2004) data primer adalah data yang dapat diperoleh langsung dari lapangan atau tempat penelitian. Sumber data utama dalam penelitian kualitatif
ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen dan lain-lain. Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data yang diperoleh dari lapangan dengan mengamati atau mewawancarai.
Saya menggunakan data ini untuk mendapatkan informasi langsung tentang gangguan berbahasa pada penderita afasia broca yang diakibatkan stroke hemoragik. Caranya dengan mengadakan observasi terhadap seorang informan yang telah mengalami afasia selama delapan tahun.
3.4.2 Data sekunder
Data sekunder adalah bahan tambahan yang berasal dari sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi. Buku, skripsi, tesis, disertasi, jurnal, media massa, majalah, dan karya ilmiah lainnya sangat berharga bagi peneliti guna menjajaki keadaan seseorang atau masyarakat di tempat penelitian dilakukan (Basrowi dan Suwandi, 2008:170)
(25)
Peneliti menggunakan data sekunder berupa hasil CT Scane, hasil diagnose dokter, dan hasil laboratorium terakhir. Data sekunder ini untuk memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah dikumpulkan melalui wawancara langsung tidak terstruktur (tidak menggunakan daftar pertanyaan), berupa konsultasi kepada dokter ahli saraf yang menangani informan selama delapan tahun dan hasil CT Scane dari informan.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam penelitian, karena itu seorang peneliti harus terampil dalam mengumpulkan data agar mendapatkan data yang valid. Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematis dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan. Metode pengumpulan data yang dilakukan peneliti dengan metode triangulasi, yaitu:
3.5.1 Observasi Langsung
Observasi merupakan upaya yang dilakukan oleh pelaksana penelitian kualitatif untuk merekam segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi dengan menggunakan alat bantu atau tidak (Basrowi & Suwandi, 2008:99). Observasi langsung adalah cara pengambilan data dengan menggunakan mata tanpa ada pertolongan alat standar lain untuk keperluan tersebut. Dalam kegiatan sehari-hari, kita selalu menggunakan mata untuk mengamati sesuatu. Observasi ini digunakan untuk penelitian yang telah direncanakan secara sistematik tentang bagaimana cara berkomunikasi informan, emosi yang tercetus dari informan ketika mengujarkan sesuatu, tingkah laku informan ketika mendapat kesulitan dalam mengujarkan sesuatu.
Hal ini sesuai dengan tujuan menggunakan metode ini, yaitu untuk mencatat hal-hal, perilaku, perkembangan, dan sebagainya tentang perilaku kebiasaan informan penderita afasia broca dalam mengujarkan kalimat-kalimatnya sewaktu kejadian tersebut berlaku sehingga tidak menggantungkan data dari ingatan seseorang. Observasi langsung juga dapat memperoleh data dari subjek baik yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal atau yang tak mau berkomunikasi secara verbal.
(26)
3.5.2. Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya dengan si penjawab. Dalam hal ini, saya melakukan wawancara secara alamiah kepada seorang dokter ahli saraf dan seorang dokter ahli farmakologi untuk mengetahui riwayat penyakit informan dan afasia yang terjadi pada informan. Peneliti sengaja melakukan wawancara secara alamiah tanpa naskah wawancara agar keterangan yang diberikan oleh dokter seobjektif mungkin dan untuk menghindari kecurigaan dari dokter.
Tujuan penulis menggunakan metode ini, untuk memperoleh data secara jelas dan konkret tentang perilaku kebiasaan dan perkembangan berkomunikasi informan yang telah mengalami afasia broca selama delapan tahun.
3.5.3 Dokumentasi
Dokumentasi adalah setiap bahan tertulis baik berupa karangan, memo, pengumuman, instruksi, majalah, buletin, pernyataan, aturan suatu lembaga masyarakat, dan berita yang disiarkan kepada media massa. Dari uraian tersebut maka metode dokumentasi adalah pengumpulan data dengan meneliti catatan-catatan penting yang sangat erat hubungannya dengan objek penelitian.
Pada penelitian afasia broca terhadap informan, saya mendapatkan dukumentasi berupa dua dokumen hasil CT Scane, hasil akhir pemeriksaan keadaan fungsi otak informan, dan hasil laboratorium terakhir ketika informan mengalami gejala stroke ulang.
3.6Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah benda, hal atau orang tempat variabel penelitian melekat, Subjek penelitian adalah subjek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti. Jika kita bicara tentang subjek penelitian, sebetulnya kita berbicara tentang unit analisis, yaitu subjek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti.
(27)
Pada penelitian ini, subjek penelitiannya dinamakan informan. Informan adalah seorang laki-laki, berusia 49 tahun. Informan pernah mengalami stroke hemoragik di belahan kiri otaknya, tepatnya bagian auditoris, lobus temporalis di area broca delapan tahun yang lalu. Pascastroke yang diderita informan menyisakan afasia yang awalnya bervariasi, yaitu afasia anomik, afasia global, lalu yang terjadi selanjutnya adalah afasia motorik (afasia broca).
Informan, sebagai subjek penelitian tunggal mempunyai ciri khas dalam gangguan berbicaranya, yaitu:
(1) Tidak mengalami kegagapan yang parah seperti yang sering dilakukan oleh penderita afasia broca lainnya. Akan tetapi, kalau belum memahami ucapan lawan bicaranya informan diam atau berpikir agak lama;
(2) Justru ciri afasia broca itu terjadi jika informan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Ujaran informan akan kedengaran terbata-bata dan dalam melafalkan huruf hijaiyahnya tidak tepat, tetapi jika melantunkan adzan informan sudah fasih; (3) Dalam berkomunikasi, pada umumnya, informan lebih nyaman menggunakan
bahasa ibu, yaitu bahasa Sunda dan sepertinya agak kesulitan menggunakan bahasa Indonesia;
(4) Jika berkomunikasi informan lebih sering menggunakan gesture, yaitu dengan menggerakan tangan untuk menjelaskan apa yang diujarkannya; dan
(5) Informan lebih mudah mengingat masa lalunya dibandingkan dengan mengingat peristiwa yang baru saja terjadi.
3.7Objek Penelitian
Objek penelitian pada tesis ini adalah afasia broca yang dialami oleh informan. Menurut catatan medisnya, informan mengalami afasia broca di daerah auditoris, di dekat lobus temporalis. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi dan mengingatnya sebagai memori jangka panjang. Lobus temporalis juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional.
(28)
Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kanan menyebabkan terganggunya ingatan akan suara dan bentuk. Kerusakan pada lobus temporalis sebelah kiri menyebabkan gangguan pemahaman bahasa yang berasal dari luar maupun dari dalam dan menghambat penderita dalam mengekspresikan atau memproduksi bahasanya.
3.8Waktu Penelitian
Waktu yang dipergunakan untuk penelitian afasia broca ini dirasa cukup untuk mendapatkan data yang saya harapkan. Studi kasus ini sudah dilakukan secara mendalam dalam jangka waktu lebih dari satu tahun, yaitu semenjak mengikuti kuliah pemerolehan bahasa di semester dua, dengan seorang informan yang mempunyai karakteristik dalam menyiasati proses komunikasi dengan mitra tuturnya. Karakteristik afasia broca informan lebih banyak terlihat dari unsur leksikalnya, yaitu membuat makna tersendiri terhadap kata atau kalimat yang diucapkannya.
Observasi lebih mendalam dimulai sejak awal tahun 2010. Tepatnya, pada bulan Februari 2010 saya mulai mengamati informan dengan cara membuat catatan lapangan dan agar penelitian lebih mengerucut pada pokok permasalahan maka hasil pengamatan tersebut saya analisis pada perkembangan pemerolehan bahasa dan bentuk leksikalnya saja.
3.9Tahap-Tahap Penelitian
Moleong (1991) mengemukakan bahwa ’’Pelaksanaan penelitian ada empat tahap yaitu : (1) tahap sebelum ke lapangan, (2) tahap pekerjaan lapangan, (3) tahap analisis data, (4) tahap penulisan laporan. Dalam penelitian ini tahap yang ditempuh sebagai berikut:
a) Tahap sebelum ke lapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan teori, penjajakan alat peneliti, mencakup observasi lapangan dan permohonan izin kepada subjek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian.
(29)
b) Tahap pekerjaan lapangan, meliputi mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perilaku kebiasaan menerapkan unsur leksikan informan dalam berkomunikasi. Data tersebut diperoleh dengan observasi terhadap informan, wawancara tidak terstruktur dengan dokter ahli yang menangani penyakit stroke informan, dan dokumentasi yang didapat dari CT Scane informan dengan cara melihat gaya berbicara, kebiasaan mengujarkan sesuatu yang tidak lazim diujarkan oleh orang yang tidak menderita afasia, panjang pendeknya ujaran, dan sering atau tidaknya informan berkomunikasi.
c) Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperoleh melalui observasi, dokumen, maupun wawancara mendalam dengan informan penderita afasia broca. Kemudian dilakukan penafsiran data sesuai dengan konteks permasalahan yang diteliti selanjutnya melakukan pengecekan keabsahan data dengan cara mengecek sumber data yang didapat dan metode perolehan data sehingga data benar-benar valid sebagai dasar dan bahan untuk memberikan makna data yang merupakan proses penentuan dalam memahami konteks penelitian yang sedang diteliti. d) Tahap penulisan laporan, meliputi : kegiatan penyusunan hasil penelitian dari
semua rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. Setelah itu melakukan konsultasi hasil penelitian dengan dosen pembimbing untuk mendapatkan perbaikan, saran-saran demi kesempurnaan tesis, yang kemudian ditindaklanjuti hasil bimbingan tersebut dengan penulisan tesis yang sempurna. Langkah terakhir melakukan pengurusan kelengkapan persyaratan untuk ujian sidang tesis.
3.10 Klasifikasi Data
Data dikumpulkan melalui catatan lapangan selama melakukan pengamatan terhadap informan. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur leksikal yang akan diteliti. Data yang terkumpul berupa kalimat-kalimat yang diujarkan oleh informan. Data yang bukan unsur leksikal akan disisihkan karena
(30)
tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan, kecuali data yang mendukung hasil analisis pada kajian psikolinguistik.
3.11 Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Patton (1988:268 dalam Basrowi 2008:194) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan ke dalam suatu pola kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Sementara Bogdan dan Taylor (1975:79 dalam Basrowi 2008) mendefinisikan analisis data sebagai proses menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja.
Dari rumusan di atas saya dapat menarik garis besar bahwa analisis data bermaksud pertama-tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan, komentar peneliti, gambar, dokumen berupa CT Scane, hasil pemeriksaan riwayat penyakit informan, hasil laboratorium terakhir, dan sebagainya.
Setelah data dari lapangan terkumpul dengan menggunakan metode pengumpulan data di atas, maka peneliti akan mengolah dan menganalisis data tersebut dengan menggunakan analisis secara deskriptif-kualitatif, tanpa menggunakan teknik kuantitatif.
Analisis deskriptif-kualitatif merupakan suatu teknik yang menggambarkan dan menginterpretasikan arti data yang telah terkumpul dengan memberikan perhatian dan merekam sebanyak mungkin aspek situasi yang diteliti pada saat itu, sehingga memperoleh gambaran secara umum dan menyeluruh tentang keadaan sebenarnya. Tujuan deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.
(31)
190 BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Afasia broca adalah gangguan pengutaraan atau gangguan produksi berbahasa yang ada hubungannya dengan komunikasi. Gangguan berbahasa ini terjadi, umumnya pada orang yang telah terkena stroke, lesinya terdapat di belahan otak kiri. Penguasaan bahasa pada afasia broka berbeda-beda, yaitu ada yang ringan dan yang berat. Bagi afasia broka yang ringan maka akan terjadi kelemahan atau kecacatan kemampuan berbahasa. Sementara bagi afasia broca yang berat akan terjadi kelumpuhan kemampuan berbahasa dalam berkomunikasi. Berdasarkan hasil pengamatan dan CT Scane terakhir, informan dapat dikategorikan ke dalam afasia broca yang ringan, karena dia masih bisa mengoreksi kekeliruan yang dibuatnya dan masih bisa berkomunikasi walaupun dengan susah payah.
Afasia bisa diteliti melalui ilmu neurologi, psikologi, dan linguistik. Pada penelitian ini, saya menggabungkan ketiga kajian ilmu tersebut. Akan tetapi penelitiannya lebih menitikberatkan pada kajian linguistik, sesuai bidang ilmu yang saya tekuni. Oleh karena itu, penelitian ini sudah selesai dilakukan dengan menghasilkan simpulan sebagai berikut:
1. Informan melakukan kekeliruan berbahasa jika dalam keadaan lelah, tergesa-gesa, konsentrasi yang terpecah, dan dalam keadaan emosi.
2. Informan meretrif gagasan dari leksikon mentalnya dengan cara asembling, yaitu menyusun kata dengan keliru, misalnya, soto menjadi toyo.
3. Kekeliruan sintaksis meliputi urutan kata (word order) dan pelesapan salah satu unsur kalimat, misalnya “Itu ucing ku lauk” atau “Buat lagi ucing teh.”
4. Pada kekeliruan leksikal atau semantik informan mendapat kesulitan dalam meretrif atau memanggil kata yang mempunyai kesamaan makna, misalnya antara kata pulang dengan kata bangun.
(32)
5. Kerusakan daerah broca menyebabkan kegagalan pembentukan kata, walaupun penderita masih dapat mengerti kata lisan dan tertulis. Para individu tersebut mengetahui apa yang hendak mereka katakan, tetapi tidak mampu mengekspresikan diri mereka. Walaupun mereka dapat menggerakkan bibir dan lidah, mereka tidak dapat melakukan perintah motorik yang benar untuk mengartikulasikan kata-kata yang mereka inginkan.
6. Pemrosesan bahasa dimulai dari otak kiri manusia dengan cara bahasa akan ditangkap dan dimengerti oleh daerah wernicke atau terlebih dahulu diproses secara semantik. Pemrosesan dilanjutkan ke area broca yang siap memproduksi kembali bahasa dalam proses sintaksis. Kemudian memproyeksikannya melalui area artikulasi ke korteks motorik yang mencetuskan gerakan bibir, lidah, dan laring yang tepat untuk menghasilkan suara dalam proses fonologi.
7. Pada informan pemrosesan bahasa tersebut terhambat sehingga proses semantik, sintaksis, fonologi, bahkan pragmatiknya terganggu. Untuk menyiasati gangguan kelancaran berbahasa tersebut informan berusaha memparafasia, mengasosiasi, atau menginteraksi makna dalam melakukan konteks komunikasi dengan mitra tuturnya, misalnya memparafasia sekolah dengan kuliah atau mengasosiasi keripik singkong dengan sampeu garing.
8. Afasia broca yang diderita informan menggambarkan ciri adanya ketergantungan pada komponen-komponen bahasa, seperti menggunakan struktur sintaksis yang merupakan interpretasi semantik dan komponen fonologi juga merupakan komponen interaksi dari sintaksis. Hal ini terlihat dari data hasil analisis, yaitu kekeliruan informan dalam berbicara ada keterikatan antara semantik, sintaksis, dan fonologinya.
9. Keadaan informan yang mengalami gangguan kelancaran berbicara membuktikan adanya saling keterkaitan antara proses berbahasa dengan proses mentalnya. Ketegangan/ ketergesa-gesaan menyebabkan informan lebih banyak mengalami halangan pada struktur bunyi bahasa, seperti lebih sulit mengeluarkan konsonan
(33)
daripada vokal, karena konsonan lebih banyak memerlukan manipulasi alat-alat artikulasi.
10. Dalam keadaan konsentrasi terpecah informan kesulitan dalam mengeluarkan kata-kata yang cukup penting sehingga banyak kata yang dilesapkan atau meretrif kata yang salah. Oleh karena itu, makna leksikalnya berlainan dengan maksud informan.
11. Psikolinguistik pada informan adalah kenyataan biologis dan patologis, yang dapat dibuktikan dengan adanya cedera yang terjadi pada otak belahan kiri informan sehingga mengakibatkan gejala patologis. Gejala patologis itu dapat dibedakan dengan kesulitan berbicara dan tersendat-sendat (kegagapan) yang disebabkan kelainan psikologis sehingga terjadilah ketidakteraturan ujaran. Dan untuk menyiasati ketidakteraturan ujaran tersebut informan seringkali menggunakan bahasa tubuh atau gesture.
12. Informan menggunakan struktur pasangan kedekatan yang kurang kompleks karena tuturan linguistiknya rendah. Akan tetapi, semakin kompleks sebuah kalimat maka kalimat itu akan diperoleh lebih lambat oleh informan. Hal itu tidak menghambat percakapan yang dibangun oleh informan karena tuturannya masih dianggap normal atau mendekati normal.
13. Dalam kajian psikolinguistik, makna dapat tercapai, bukan dalam kaitan simbol-simbol linguistik dengan berbagai entitas di dunia luar, melainkan dalam representasi mental yang ada dalam pikiran kita ketika kita memproduksi dan memahami simbol-simbol semacam itu. Oleh karena informan menderita gangguan berbahasa yang berkenaan dengan kesulitan dalam memproduksi bahasa, maka proses akses leksikal makna kata-kata tidak peka terhadap konteks sintaksis sehingga terjadilah kekeliruan-kekeliruan secara sintaksis, word order, dan leksikal.
14. Penguasaan unsur leksikal informan masih dapat dikategorikan cukup normal karena kata yang tersimpan di leksikon mentalnya masih utuh. Hal ini terbukti
(34)
secara kolaboratif informan mampu menegosiasian kejelasan kepada mitra tuturnya dengan menggunakan siasat dalam berinteraksi.
15. Siasat yang diciptakan oleh informan tidak bersifat random atau tidak seenaknya karena secara semantik ada kaitan maknanya. Siasat informan itu tetap masih dalam kerangka bahasa dalam berbagai macam tautan makna, seperti dalam relasi makna dan figure of speech. 16. Komunikasi akan berjalan lancar apabila informan mempunyai pengetahuan dan
pengalaman yang sama dengan mitra tuturnya. Jika terjadi kegagalan dalam berinteraksi maka informan akan merasa frustasi atau marah.
5.2 Saran 1. Metodologis:
(1) Penelitian masalah afasia dalam bidang linguistik masih belum banyak dilakukan, terutama dari segi leksikal sehingga peluang penelitian yang lebih khusus dan mendalam oleh para ahli bahasa masih terbuka.
(2) Jika mencermati bentuk otak manusia maka gambaran otak tersebut seperti orang yang sedang bersujud dan ketika bersujud itu sebenarnya oksigen yang masuk ke otak lebih lancar sehingga dapat melatih konsentrasi manusia. Oleh karena itu, perlu ada penelitian lebih lanjut dari segi medis sehingga terapinya bisa lebih efektif lagi. Hal ini sudah saya lakukan, yaitu dengan cara memberikan pelatihan kepada informan untuk selalu bersujud, mendekatkan diri kepada yang Maha Pencipta, Allah Subhanahuwataala.
2. Praktis:
(1) Saat ini masyarakat masih belum mengetahui tentang afasia sehingga para peneliti afasia harus mempublikasikan hasil penelitiannya agar masyarakat lebih mengetahui dan memahami masalah afasia. Dampaknya, masyarakat akan lebih bijaksana dan tidak berprasangka buruk jika berkomunikasi dengan penderita afasia.
(35)
(2) Bantuan dari orang-orang terdekat merupakan hal yang paling utama dalam proses penyembuhan penderita afasia, dengan cara memberi motivasi untuk melatih bicara dan membetulkan jika terjadi gangguan berbicara.
(3) Terapi bagi kesembuhan penderita afasia tidak hanya didasarkan saran dari dokter saja, tetapi terapi itu dapat dilakukan oleh orang-orang terdekat dengan caranya masing-masing agar proses penyembuhan lebih cepat.
(36)
195
DAFTAR PUSTAKA
Adawiyah, Azkiyah Nur. (2011). Fungsi Sistem Saraf. Malang: Puskom UIN MALIKI.
Aitchison, J. (1997). The Language Web: (The Reith Lectures). Cambridge: Cambridge University Press.
Aitchison, J. (2003). Words in the Mind: An Introduction to the Mental Lexicon. Malden. Mass.: Blackwell.
Aitchison, J. (1997). Words in the Mind. Oxford: Blackwell.
Association Internatoinale Aphasie. (2011). Afasia Broca. Tersedia: http://www.afasie.nl/aphasia/pdf/26/brochure1.pdf. Diakses 16-02-2011.
Association Internationale Aphasie (AIA). (2011). Afasia. Tersedia: www.afasie.nl/aphasia/pdf/26/brochure2.pdf. Diakses 16-02-2011.
Basrowi dan Suwandi. (2008). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Benson. (1979). Gangguan Modalitas Bahasa. Tersedia: www.mediaku.web.id. Diakses 16-02-2011.
Blumstein S.E. (1981). Neurolinguistic Disorders: Language-Brain Relationship, dalam Filskov S.B. and Boll T.J.ed. Handbookof Clinical Neuropsychology hal. 227-257. New York: John Wiley and Sons.
Burns M.S., Halper A_S. dan Mogil S.l. ' (1985). Diagnosis of Communication Problems in Right Hemisphere Damage, dalam Burns M.S. Halper A.S. dan Mogil S.l. ed. Clinical Management of Right Hemispere Dysfunction, hal. 29-38, Maryland:Aspen System Corporation.
Carramazza, A. (1998). The Interpretation of Semantic Category-Specific Defisit: What do they reveal about the organization of conceptual knowledge in the Brain? Neurocase 4: 265-272. London: Academic Press.
Carramazza, A. (2000). Aspects of Lexical Access. dalam Y.Grozinsky, L. Shapiro, dan D. Swinney (ed.), Language and the Brain, 203-228. London:Academic
Press.
(37)
Chandra B. (1994). Stroke. dalam: Neurologi Klinik. . Surabaya: FK UNAIR.
Chomsky, N. (1965). Aspect of The Theory of Syntax. Cambridge: The M.I.T. Press.
Cresswell, J.W. (1998). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches. London: SAGE Publicational.
Cummings, Louise. (2007). Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dardjowidjojo, S. (2008). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Kamus Sunda-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Dharmaperwira-Prins, R. (1996). TADIR: Tes Afasia untuk Diagnosis, Informasi, Rehabilitasi. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djajasudarma, F. (1999). Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:
Refika Aditama.
Djajasudarma, F. (2009). Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.
Emmorey, K. D. dan Fromkin, V.A. (1993). “The Mental Lexicon.” Dalam F.J. Newmeyer (ed.), Language Psychological and Biological Aspects, 124-149. Cambridge: Cambridge University Press.
Epidemiologi dan Kesehatan masyarakat. (2011). Tersedia: id.shvoong.com › ... › Epidemiologi Dan Kesehatan Masyarakat. diakses, 18-02-2011.
Finegan, Edward et.al. (1990). Language Its Structure and Use. Jovanovich: Harcourt Brace.
Firth, J. R. (1957). Papers in Linguistics 1934-1951. London: Oxford University Press.
(38)
Goetz Christopher G. (2007). Cerebrovascular Diseases. In: Goetz: Textbook of Clinical Neurology,3rd ed. Philadelphia: Saunders. Tersedia: http://yayan akhyar.wordpress.com. diakses 27-04-2010.
Goodglass, Harold dan Edith Kaplan. (1972). Boston Aphasia Examination, Philadelphia: Lea dan Febiger.
Google Terjemahan. (2011). Tersedia: http://translate.google.co.id/#en/id/shampoo. diakses 03-04-2011.
Greschwind Norman. (1981). Specializations of the Human Brain dalam Human Communication: Language and Psychobiological Bases, Reading from Scientific America, ed. William S-Y. Wang 110-19 San Fransisco: W.H. Freeman and Company.
Guyton dan Hall. (1996), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hoey, M. (1991). Patterns of Lexis in Text. Oxford: Oxford University Press.
Israr, Yayan A. (2008). Faculty of Medicine – University of Riau: Arifin Achmad General Hospital of Pekanbaru.
Jokl, E. (1978). Rehabilitation in Basic Book of Sports Medicine. Olympic Solidarity of The International Olympic Committee. Vatican: Vatican Polyglot Press.
Kohn, Susan E. (1988). “Phonological Production Deficits in Aphasia” dalam Phonological Processes and Brain Mechanism, ed. H.A. Whitaker, 93 –117. New York: SpringerVerlag.
Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia.
Kusumoputro S. (1992). Afasia Gangguan Berbahasa. Jakarta: FK. UI.
Kusumopotro, Sidiarto dan Sidiarto, Lili. Tersedia: http://www.e-li.org/main/pdf/pdf_369.pdf. Diakses 17-02-2011.
Leech,, G. (1976). Semantics, Middlesex: Penguin Book Ltd.
Lumempou, Silvia F. (2003). Tersedia: www.yastroki.or.id/read.php?id=49. Diakses 15-02-2011.
(39)
Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Marat, Samsunuwiyati. (1983). Psikolinguistik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
Mohr JP. (1976) Studies in Neurolinguistics (eds. Witaker H & Witaker NA) 201– 235 Academic, New York.
Moleong. (1991). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Mulyana, Deddy. (2002). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda Karya
Musfiroh, Tadkirotun. (2002). Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Muslich, Masnur. (2008). Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nida, E.A. (1975). Componental Analysis of Meaning: An Introduction to Semantic Structure. The Hague: Mouton.
Palmer, F.R. (1976). Semantics, A New Outline. Cambridge: Cambridge University Press.
Parlington, Alan. (1996) Patterns and Meanings: Using Corpora for English Language Research and Teaching. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Pateda, M. (1988). Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa.
Pateda, M.. (1990). Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende Flores: Nusa Indah.
Pateda, M. (2001). Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Poerwadarminta, W.J.S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Price dan Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC.
(40)
Rahardjo, Mudjia. (2011). Kaya Bahasa, tapi miskin kosa kata. Tersedia: http://mudjiarahardjo.com/component/content/301.html?task=view. Diakses 16-02-2011.
Rahayu Tamsyah, Budi. (2008). Kamus Lengkap Sunda Indonesia. Indonesia Sunda, Sunda-Sunda. Bandung: Pustaka Setia.
Rahman, Syamsuddin A. & Damaianti, V. (2006). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Rosdakarya.
Rakhmat. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya.
Ramlan, M. (2005). Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono.
Reynolds, C.R. & Mann, L. (1987). Encyclopedia of Special Education: A Reference for the Education of the Handicapped and Other Exceptional Children and Adults, Volume 1. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Rumantir C.U. (1986). Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf.
Rumantir CU. (2007). Gangguan Peredaran Darah Otak. Pekanbaru: SMF Saraf RSUD Arifin Achmad/ FK UNRI. TersediaL: http://yayanakhyar. wordpress.com, diakses 17-02-2011.
Schnitzer, M.L. (1982). The Transclation Hirarchy of Language dalam M.A. Arbit, D. Caplan, dan J.C Marshall (ed.) Neural Models of Language Precesses, 237-270 New York: New York Academic Press.
Sherwood, Lauralee. (1996). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. dr. Brahm U. Pendit (alih bahasa). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sidharta dan Dewanto. (2011). Tersedia: http://www.indopubs.com. Diakses 17-2-2011.
Sidiarto, L. dan Kusumoputro, S. (1984). Afasia sebagai Gangguan Komunikasi pada Kelainan Otak. Cermin Kedokteran No. 34, Jakarta: FKUI/RSCM. Tersedia www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_034_masalah_otak.pdf. Diakses 14-02-2011.
(41)
Sidiarto. (2010). Waspadai Serangan Afasia pasca-Stroke. Tersedia: http://www.perempuan.com/new/index.php?aid=23643&cid=5&04%2F28% 2F10%2C09%3A04%3A13, diakses 14-02-2011.
Sinclair, J. (1991). Corpus, Concordance, Collocation. Oxford: Oxford University Press
.
Slametmuljono. (1964). Semantik. Jakarta: Jambatan.
S. Nasution. (2004). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.
Snell, Richard S. (1987). Neuroanatomi Klinik edisi 2. dr. Sjamsir M.S. (editor), Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Subroto, Edi. (2002). Ihwal Relasi Makna: Beberapa Kasus dalam Bahasa Indonesia. dalam Hasan Alwi & Dendy Sogono (ed), Telaah Bahasa dan Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soepardjo Roestam. (2003). AFASIA, Gangguan Berbahasa Pasca Stroke. Tersedia: www.yastroki.or.id/read.php?id=49 –. Diakses 17-02-2011.
Suhardiyanto, Totok. (2003). Agramatisme dalam Afasia Kajian Singkat terhadap Empat Penderita Afasia Broca. Linguistik Indonesia 21: 309-320.
Sulistyanto, Adi. (2011). Tersedia: http://www.scribd.com/doc/36011996/Lobus-Frontal. diakses 16-02-2011.
Sutrisno. (2009). Antara stroke dan Afasia. Tersedia: http://sutrisno2629 wordpress.com/2009/06/03/antara-stroke-dan-afasia/. Diakses 14-02-101.
Syah, M. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tobing, Lumban S.M. (2008). Neurologi Klinis Pemeriksaan Fisik dan Mental, Bab XI Berbahasa. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ullmann, S. (2009). Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaar, J.W.M (1984). Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
(42)
Verhaar, J.W.M. (2008). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wikipedia bahasa Indonesia. (2011). Majas. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Majas. Diakses 03-04-2011.
Wikipedia bahasa Indonesia. (2011). Linguistik. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Linguistics. Diakses 05-05-2011.
Yudibrata (1998). Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP Setara D-III.
Yule, G. (1985). The Study of Language. New York: Cambridge University Press.
(1)
Chandra B. (1994). Stroke. dalam: Neurologi Klinik. . Surabaya: FK UNAIR. Chomsky, N. (1965). Aspect of The Theory of Syntax. Cambridge: The M.I.T. Press. Cresswell, J.W. (1998). Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches.
London: SAGE Publicational.
Cummings, Louise. (2007). Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dardjowidjojo, S. (2008). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1985). Kamus Sunda-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Dharmaperwira-Prins, R. (1996). TADIR: Tes Afasia untuk Diagnosis, Informasi, Rehabilitasi. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Djajasudarma, F. (1999). Semantik I Pengantar ke Arah Ilmu Makna. Bandung:
Refika Aditama.
Djajasudarma, F. (2009). Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama.
Emmorey, K. D. dan Fromkin, V.A. (1993). “The Mental Lexicon.” Dalam F.J. Newmeyer (ed.), Language Psychological and Biological Aspects, 124-149. Cambridge: Cambridge University Press.
Epidemiologi dan Kesehatan masyarakat. (2011). Tersedia: id.shvoong.com › ... › Epidemiologi Dan Kesehatan Masyarakat. diakses, 18-02-2011.
Finegan, Edward et.al. (1990). Language Its Structure and Use. Jovanovich: Harcourt Brace.
Firth, J. R. (1957). Papers in Linguistics 1934-1951. London: Oxford University Press.
(2)
Goetz Christopher G. (2007). Cerebrovascular Diseases. In: Goetz: Textbook of Clinical Neurology,3rd ed. Philadelphia: Saunders. Tersedia: http://yayan akhyar.wordpress.com. diakses 27-04-2010.
Goodglass, Harold dan Edith Kaplan. (1972). Boston Aphasia Examination, Philadelphia: Lea dan Febiger.
Google Terjemahan. (2011). Tersedia: http://translate.google.co.id/#en/id/shampoo. diakses 03-04-2011.
Greschwind Norman. (1981). Specializations of the Human Brain dalam Human Communication: Language and Psychobiological Bases, Reading from Scientific America, ed. William S-Y. Wang 110-19 San Fransisco: W.H. Freeman and Company.
Guyton dan Hall. (1996), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Hoey, M. (1991). Patterns of Lexis in Text. Oxford: Oxford University Press. Israr, Yayan A. (2008). Faculty of Medicine – University of Riau: Arifin Achmad
General Hospital of Pekanbaru.
Jokl, E. (1978). Rehabilitation in Basic Book of Sports Medicine. Olympic Solidarity of The International Olympic Committee. Vatican: Vatican Polyglot Press. Kohn, Susan E. (1988). “Phonological Production Deficits in Aphasia” dalam
Phonological Processes and Brain Mechanism, ed. H.A. Whitaker, 93 –117. New York: SpringerVerlag.
Kridalaksana, H. (1984). Kamus Linguistik Edisi Kedua. Jakarta: Gramedia. Kusumoputro S. (1992). Afasia Gangguan Berbahasa. Jakarta: FK. UI.
Kusumopotro, Sidiarto dan Sidiarto, Lili. Tersedia: http://www.e-li.org/main/pdf/pdf_369.pdf. Diakses 17-02-2011.
Leech,, G. (1976). Semantics, Middlesex: Penguin Book Ltd.
Lumempou, Silvia F. (2003). Tersedia: www.yastroki.or.id/read.php?id=49. Diakses 15-02-2011.
(3)
Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat.
Marat, Samsunuwiyati. (1983). Psikolinguistik. Bandung: Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran.
Mohr JP. (1976) Studies in Neurolinguistics (eds. Witaker H & Witaker NA) 201– 235 Academic, New York.
Moleong. (1991). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Mulyana, Deddy. (2002). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda Karya Musfiroh, Tadkirotun. (2002). Pengantar psikolinguistik. Yogyakarta: Fakultas
Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Muslich, Masnur. (2008). Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Nida, E.A. (1975). Componental Analysis of Meaning: An Introduction to Semantic Structure. The Hague: Mouton.
Palmer, F.R. (1976). Semantics, A New Outline. Cambridge: Cambridge University Press.
Parlington, Alan. (1996) Patterns and Meanings: Using Corpora for English Language Research and Teaching. Amsterdam/ Philadelphia: John Benjamins Publishing Company.
Pateda, M. (1988). Linguistik Sebuah Pengantar. Bandung: Angkasa. Pateda, M.. (1990). Aspek-aspek Psikolinguistik. Ende Flores: Nusa Indah. Pateda, M. (2001). Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta.
Poerwadarminta, W.J.S. (1985). Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Price dan Wilson. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Prose-Proses Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC.
(4)
Rahardjo, Mudjia. (2011). Kaya Bahasa, tapi miskin kosa kata. Tersedia: http://mudjiarahardjo.com/component/content/301.html?task=view. Diakses 16-02-2011.
Rahayu Tamsyah, Budi. (2008). Kamus Lengkap Sunda Indonesia. Indonesia Sunda, Sunda-Sunda. Bandung: Pustaka Setia.
Rahman, Syamsuddin A. & Damaianti, V. (2006). Metode Penelitian Pendidikan Bahasa. Bandung: Rosdakarya.
Rakhmat. (1999). Psikologi Komunikasi. Bandung : Rosdakarya. Ramlan, M. (2005). Sintaksis. Yogyakarta: CV. Karyono.
Reynolds, C.R. & Mann, L. (1987). Encyclopedia of Special Education: A Reference for the Education of the Handicapped and Other Exceptional Children and Adults, Volume 1. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Rumantir C.U. (1986). Pola Penderita Stroke Di Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung Periode 1984-1985. Laporan Penelitian Pengalaman Belajar Riset Dokter Spesialis Bidang Ilmu Penyakit Saraf.
Rumantir CU. (2007). Gangguan Peredaran Darah Otak. Pekanbaru: SMF Saraf RSUD Arifin Achmad/ FK UNRI. TersediaL: http://yayanakhyar. wordpress.com, diakses 17-02-2011.
Schnitzer, M.L. (1982). The Transclation Hirarchy of Language dalam M.A. Arbit, D. Caplan, dan J.C Marshall (ed.) Neural Models of Language Precesses, 237-270 New York: New York Academic Press.
Sherwood, Lauralee. (1996). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem edisi 2. dr. Brahm U. Pendit (alih bahasa). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sidharta dan Dewanto. (2011). Tersedia: http://www.indopubs.com. Diakses 17-2-2011.
Sidiarto, L. dan Kusumoputro, S. (1984). Afasia sebagai Gangguan Komunikasi pada Kelainan Otak. Cermin Kedokteran No. 34, Jakarta: FKUI/RSCM. Tersedia www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_034_masalah_otak.pdf. Diakses 14-02-2011.
(5)
Sidiarto. (2010). Waspadai Serangan Afasia pasca-Stroke. Tersedia: http://www.perempuan.com/new/index.php?aid=23643&cid=5&04%2F28% 2F10%2C09%3A04%3A13, diakses 14-02-2011.
Sinclair, J. (1991). Corpus, Concordance, Collocation. Oxford: Oxford University Press
.
Slametmuljono. (1964). Semantik. Jakarta: Jambatan.
S. Nasution. (2004). Metode Research. Jakarta: Bumi Aksara.
Snell, Richard S. (1987). Neuroanatomi Klinik edisi 2. dr. Sjamsir M.S. (editor), Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sobur, Alex. (2006). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Subroto, Edi. (2002). Ihwal Relasi Makna: Beberapa Kasus dalam Bahasa Indonesia. dalam Hasan Alwi & Dendy Sogono (ed), Telaah Bahasa dan Sastra, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Soepardjo Roestam. (2003). AFASIA, Gangguan Berbahasa Pasca Stroke. Tersedia: www.yastroki.or.id/read.php?id=49 –. Diakses 17-02-2011.
Suhardiyanto, Totok. (2003). Agramatisme dalam Afasia Kajian Singkat terhadap Empat Penderita Afasia Broca. Linguistik Indonesia 21: 309-320.
Sulistyanto, Adi. (2011). Tersedia: http://www.scribd.com/doc/36011996/Lobus-Frontal. diakses 16-02-2011.
Sutrisno. (2009). Antara stroke dan Afasia. Tersedia: http://sutrisno2629 wordpress.com/2009/06/03/antara-stroke-dan-afasia/. Diakses 14-02-101. Syah, M. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tobing, Lumban S.M. (2008). Neurologi Klinis Pemeriksaan Fisik dan Mental, Bab XI Berbahasa. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Ullmann, S. (2009). Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaar, J.W.M (1984). Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
(6)
Verhaar, J.W.M. (2008). Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wikipedia bahasa Indonesia. (2011). Majas. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Majas. Diakses 03-04-2011.
Wikipedia bahasa Indonesia. (2011). Linguistik. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Linguistics. Diakses 05-05-2011.
Yudibrata (1998). Psikolinguistik. Jakarta: Depdikbud PPGLTP Setara D-III. Yule, G. (1985). The Study of Language. New York: Cambridge University Press. Zgusta, L. (1971). Manual of Lexicography. The Hague-Paris: Mouton & Gruyter.