AFASIA BROCA PADA PASIEN EMPIEMA SUBDURAL.

MAKALAH LENGKAP
AFASIA BROCA PADA PASIEN EMPIEMA SUBDURAL
Ketut Widyastuti*, AAAP Laksmidewi**
ABSTRAK
Latar Belakang : Empiema subdural (ES) merupakan gangguan neurologi akibat adanya kumpulan
materi purulen yang terletak diantara duramater dan arachnoid mater. ES terjadi akibat penyebaran
infeksi dari sinusitis paranasal, otitis media atau mastoiditis, dan jarang akibat infeksi gigi. Afasia
broca dapat merupakan sekuele dari ES.
Laporan Kasus : Dilaporkan seorang pria 14 tahun mengalami penurunan kesadaran disertai demam
tinggi sejak 5 hari. Riwayat nyeri kepala kronik dan sakit gigi. Didapatkan kesan paresis nervus VII
kanan dan lateralisasi motorik ke kanan. CT scan kepala dengan kontras mengesankan ES regio
temporal kiri dan gambaran sinusitis pada sinus sphenoidalis, ethmoidalis dan maksillaris sisi kiri.
Pemeriksaan gigi menunjukkan gangrene radik dan abses pada gigi molar rahang atas. Setelah
tindakan ekstraksi akar gigi, irigasi sinus dan kraniotomi untuk evakuasi pus, tampak ada perbaikan
klinis dengan kesan adanya afasia Broca. Pemberian antibiotika selama 6 minggu disertai penanganan
afasia menggunakan terapi intonasi melodi memberikan hasil perbaikan pada kemampuan berbahasa.
Kesimpulan : Afasia Broca dapat merupakan gejala primer yang muncul pada pasien ES. CT scan
atau MRI dengan kontras merupakan pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis ES. Pengobatan ES
dengan pembedahan agresif mampu menurunkan tingkat mortalitas. Perbaikan kemampuan berbahasa
dengan terapi farmakologis disertai dengan terapi intonasi melodi.
Kata Kunci : aphasia motorik, empiema subdural

*Staf Pengajar SMF/Bagian Neurologi FK UNUD RSUP Sanglah Denpasar
** Staf Pengajar senior SMF/Bagian Neurologi FK UNUD RSUP Sanglah Denpasar
BROCA’S APHASIA IN SUBDURAL EMPHYEMA PATIENT
Ketut Widyastuti *, AAAP Laksmidewi **
ABSTRACT
Background: Subdural empyema (SE) is a collection of purulent material between the duramater and
arachnoidmater. It is a life threatening complication of paranasal sinusitis, otitis media or mastoiditis
and rarely as a result of dental infection. Broca’s aphasia may be a sequelae of SE, depending on
location.
Case report: A 14-year old man has decreased consciousness with high fever since the previous 5
days. There is a history of chronic headache and toothache. Neurologic evaluation found impression
VII nerve paresis and motor lateralization to the right side. A contrast-enhanced head computed
tomographic scanning showed ES in left temporal region and an overview of the sinusitis on left side
sphenoid, ethmoid, and maxillary sinuses. Dental examination showed radix gangrene and abscess of
the upper molar teeth. After tooth extraction, sinus surgery and craniotomy to drain the pus, patient
showed clinical improvement with the appearance of Broca’s aphasia. Antibiotics for 6 weeks with
aphasia treatment using melodic intonation therapy results in the improvement of language skills.
Conclusion: Broca's aphasia may be primary symptoms appear in the ES patient. Contrast-enhanced
CT scanning or MRI is the investigation to diagnose ES . Aggressive surgical treatment is able to
decrease the morbidity and mortality rate . Improvement of the ability to speak with pharmacological

therapy is accompanied by melodic intonation therapy
Keywords : Broca’s aphasia, subdural empyema
*Lecturer of Neurology department in Udayana Medical Faculty, Sanglah hospital, Denpasar
**Senior Lecturer of Neurology department in Udayana Medical Faculty, Sanglah hospital

PENDAHULUAN
Empiema subdural (ES) merupakan kondisi gangguan neurologi akibat adanya kumpulan
materi purulen yang terletak diantara duramater dan arachnoidmater.1 ES berkaitan dengan morbiditas
dan mortalitas tinggi akibat dari sinusitis paranasal, otitis media atau mastoiditis. Kejadian ES sebagai
komplikasi infeksi gigi disebutkan cukup jarang terjadi.2 Diperlukan deteksi dini dan penanganan
yang cepat dan tepat untuk menghindari kematian. CT scan kepala atau MRI dengan kontras
merupakan pilihan modalitas pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis ES.3,4 Aphasia Broca dapat
merupakan sekuele dari ES, tergantung pada lokasinya.5 Pengobatan ES dengan evakuasi bedah
segera untuk eradikasi sumber infeksi dan pemberian antibiotika kombinasi secara parenteral mampu
menurunkan tingkat mortalitas.1,6,7 Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus aphasia Broca pada
pasien ES sekunder akibat infeksi gigi dengan perbaikan klinis yang bagus.
LAPORAN KASUS
Seorang pria 14 tahun, pelajar, suku Bali, kinan, diantar keluarganya, dikeluhkan mengalami
penurunan kesadaran yang makin memberat 6 jam sebelum dirawat. Pasien juga mengalami demam
tinggi sejak 5 hari sebelumnya. Nyeri kepala pada bagian kiri belakang, terus-menerus seperti ditekan

sejak 1 bulan yang lalu. Riwayat sakit gigi pada rahang atas kiri, nyeri pipi kiri dan sering pilek
dengan hidung kiri tersumbat terjadi hilang timbul sejak ±6 bulan yang lalu. Hasil pemeriksaan
neurologis didapatkan kesadaran somnolen dengan GCS 11 dan reflek-reflek batang otak masih baik.
Didapatkan kesan paresis nervus VII kanan dan kesan lateralisasi motorik ke kanan disertai reflek
Babinski sisi kanan. CT scan kepala dengan kontras menunjukkan adanya lesi hipodens di temporo
parietal sinistra dengan leptomeningeal enhancement yang menyebabkan pendesakan ventrikel lateral
kiri dan ventrikel III serta deviasi midline ke kanan sejauh 0,5 cm mengesankan ES regio temporal
kiri serta gambaran sinusitis pada sinus sphenoidalis, ethmoidalis, dan maksilaris sisi kiri.
Pasien didiagnosis dengan empiema subdural dan sinusitis pada sinus sphenoidalis,
ethmoidalis, maksilaris sisi kiri. Dilakukan tindakan kraniotomi untuk evakuasi pus oleh sejawat
bedah saraf.dan irigasi sinus dengan tindakan LCWS + Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS)
oleh sejawat THT. Pemeriksaan gigi menunjukkan gangrene radik dan abses pada gigi molar rahang
atas sehingga dilanjutkan dengan tindakan ekstraksi akar gigi dan insisi abses. Setelah tindakan
pembedahan tersebut pasien diberikan antibiotika seftriakson dan metronidazole selama 6 minggu.
Hasil evaluasi neurologis menunjukkan adanya perbaikan kesadaran dan kekuatan motorik, namun
pasien tidak mampu berbicara dan hanya mengerti perintah sederhana. Pada pemeriksaan
neurobehavior didapatkan atensi pasien baik dengan gangguan modalitas berbahasa berupa
kemampuan bicara non fluen dengan pemahaman baik yang mengesankan adanya aphasia Broca.
Dilakukan penanganan aphasia dengan pemberian terapi farmakologis berupa piracetam dan
bromokriptin serta terapi wicara berupa terapi intonasi melodi. Pasien menunjukkan perbaikan klinis

dan perbaikan dalam kemampuan berbahasa.
PEMBAHASAN
Empiema subdural (ES) merupakan kondisi gangguan neurologi yang mengancam jiwa akibat
adanya kumpulan materi purulen yang terletak diantara duramater dan arachnoidmater. ES disebut
juga dengan abses subdural, pachymeningitis interna atau meningitis sirkumskripta. Pada era sebelum
penggunaan antibiotika, kematian akibat ES mencapai 100% dan sejak ditemukannya antibiotika
tingkat mortalitas ES di negara-negara maju menurun menjadi 6-35%. Deteksi dini dan penanganan
pembedahan memungkinkan pemulihan yang baik dengan minimal atau tanpa defisit neurologi.1,6
Kejadian ES sekitar 20% dari seluruh kasus abses serebri, dimana 80% kasus ES terjadi pada
laki-laki dan sebagian besar berusia antara 10-40 tahun.1 Sinusitis paranasal merupakan penyebab
terbanyak ES, sekitar 56-77 % kasus. Penyebab lainnya adalah meningitis, infeksi gigi dan juga
trauma kepala.1,2 Dental sepsis yang terjadi secara spontan atau setelah pembedahan gigi dikatakan
jarang sebagai sumber infeksi intrakranial, termasuk diantaranya abses subdural.2 Laporan kasus dari
699 kasus menyebutkan infeksi gigi menepati urutan kelima penyebab ES dengan jumlah 5 kasus
(0,7%).3 Kejadian ES sebagai komplikasi infeksi gigi disebutkan cukup jarang terjadi. 2 Pada kasus
ini, ES terjadi pada laki-laki, usia 14 tahun, yang mengalami keluhan infeksi gigi molar pada rahang
atas kiri.sejak 6 bulan lalu.
Demam, kejang dan defisit motorik merupakan gambaran klinis yang umumnya terjadi pada
pasien ES. Nyeri kepala awalnya bersifat fokal kemudian nyeri kepala menyeluruh merupakan gejala
awal pada 90% pasien. Jika tidak diobati maka gejala memberat dalam beberapa hari menimbulkan


penurunan kesadaran hingga koma. Kejang baik fokal maupun umum dilaporkan terjadi pada 50%
kasus, sementara 25-50% pasien mengalami defisit neurologi termasuk diantaranya hemiparesis
kontralateral dan aphasia.2,3 Aphasia dapat terjadi jika melibatkan hemisfer dominan. Meningismus
terjadi pada 80-90% pasien.1 Pasien pada kasus ini mengalami demam tinggi 5 hari sebelum dirawat,
dan pada pemeriksaan didapatkan kesan hemiparesis kanan. Kondisi yang dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding antara lain meningitis bakteri, abses serebri dan thrombophlebitis serebri, yang bisa
dibedakan dari pemeriksaan klinis, lumbal punksi, imaging otak dan pemeriksaan laboratorium.1
Pemeriksaan laboratorium pada ES berupa pemeriksaan WBC, laju endap darah dan Creactive protein. Peningkatan pada hasil laboratorium tersebut merupakan skrining untuk menentukan
perlunya dilakukan imaging otak. CT scan kepala dengan kontras irisan koronal dan aksial merupakan
pemeriksaan standar untuk penegakkan diagnosis yang cepat dan non invasif pada ES.1 Gambaran ES
pada CT scan menunjukkan adanya area hipodens pada hemisfer atau sekitar falks. CT scan pada ES
fase awal bisa memberikan hasil false negative. Prosedur diagnostic pilihan pada ES intrakranial
adalah MRI dengan kontras. MRI lebih superior dibandingkan CT scan untuk memperlihatkan adanya
ES serta luas dan lokasi dari kumpulan materi purulen.3,4 Sebagian besar kasus menunjukkan lokasi
kumpulan pus diatas konveksitas serebri (76-79%), fisura interhemisfer (12-21%) dan hanya 2,6% ES
lokasinya tentorial.2 Pada kasus ini dilakukan CT scan kepala dengan kontras menunjukkan adanya
lesi hipodens di temporo parietal sinistra dengan leptomeningeal enhancement yang menyebabkan
pendesakan ventrikel lateral kiri dan ventrikel III serta deviasi midline ke kanan sejauh 0,5 cm
mengesankan ES regio temporal kiri serta gambaran sinusitis pada sinus sphenoidalis, ethmoidalis,

dan maksilaris sisi kiri. ES yang luas dapat menyerupai lesi massa dengan tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial. Edema serebri dan hidrosefalus dapat terjadi akibat gangguan aliran darah dan
likuor yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial.1
Adanya penyebaran infeksi gigi ke intrakranial dapat terjadi melalui 2 jalan. Penyebaran
langsung oleh kuman melalui kerusakan skull yang didahului oleh terjadinya sinusitis atau mastoiditis.
Penyebaran tidak langsung merupakan rute yang paling sering, terjadi melalui thrombophlebitis
retrograde melalui pembuluh vena dari sistem vena basal yang menghubungkan ruang intrakranial dan
ekstrakranial. Infeksi pada organ pengunyah akibat dari osteomyelitis pada mandibula yang
disebabkan oleh infeksi gigi yang tidak terkontrol. Jenis organisme pada ES mencerminkan sumber
primer dari infeksi. Sinusitis merupakan faktor predisposisi yang paling sering terutama pada kondisi
anaerob.2 Kuman penyebab yang umum pada ES sekunder dari sinusitis paranasal adalah kuman
anareob dan streptokokus terutama grup streptokokus milleri.1 Staphilococcus aureus dan streptokokus
baik anaerob maupun aerob dan kuman anaerob lainnya merupakan kuman yang paling sering
diisolasi dari pus pasien ES. Literatur lainnya menyebutkan streptokokus microaerophilic dan spesies
enterobacter juga diisolasi dari infeksi subdural.2
Dilakukan pemeriksaan kultur pada pus yang diperoleh dari pembedahan ES. Tingkat
keberhasilan kultur bakteri dari evakuasi pus pada pembedahan bervariasi antara 54-81%.1
Pemeriksaan kultur pus pada kasus ini, dilakukan pada saat tindakan pembedahan, namun hasil kultur
dan resistensi kuman menunjukkan tidak adanya pertumbuhan kuman. Hal ini mungkin akibat pasien
sudah mendapatkan antibiotika sebelum pengambilan specimen pus tersebut. Sehingga pemberian

antibiotika pada kasus ini dilakukan secara empiris. Terapi antibiotika pada ES yang jenis kumannya
tidak diketahui dapat dilakukan dengan mempertimbangkan terapi terhadap staphylococcus. aureus,
streptococcus anaerob, dan kuman gram negative. Antibiotika yang bisa diberikan antara lain (1)
nafcillin, oxacillin atau vancomycin ditambah dengan (2) cephalosporin generasi ketiga ditambah
dengan (3) metronidazole.1,7
Diagnosis dini yang akurat, intervensi pembedahan segera dan terapi antibiotika merupakan
kunci utama untuk outcome klinis yang baik.pada pasien ES. Harus dilakukan pembedahan pada ES
kecuali jika terdapat kontraindikasi untuk tindakan pembedahan.6,7 Gambaran imaging dapat dengan
akurat melokalisir lokasi kumpulan pus sehingga pus dapat dievakuasi dengan tindakan boor hole.
Namun kraniotomi yang lebar dengan irigasi merupakan prosedur pilihan untuk memperbaiki
outcome karena memungkinkan untuk dilakukan eksposure luas, eksplorasi adekuat dan evakuasi
materi purulen yang lebih baik. Evakuasi komplet dari pus dan eradikasi sumber infeksi merupakan
tujuan pengobatan pada ES.6,7 Evakuasi secepat mungkin materi purulen oleh ahli bedah saraf dan
THT secara simultan untuk eradikasi sumber infeksi dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas.1
Penundaan pembedahan dapat menyebabkan perburukan klinis dan prognosis jelek. Pasien yang

dioperasi dalam 72 jam hanya mengalami disabilitas 10 % jika dibandingkan dengan operasi yang
dilakukan setelah 72 jam sebesar 70%. Pasien harus diberikan penjelasan untuk pemberian antibiotika
intravena dalam jangka waktu 3-6 minggu. Outcome tergantung pada derajat kesadaran pasien saat
sebelum operasi, ketepatan waktu dilakukannya tindakan, dan kecepatan perkembangan

penyakitnya.1,6,7
Komplikasi ES jika tidak ditangani dengan baik akan berisiko tinggi menimbulkan status
epilepsi, thrombosis pada sinus dan vena kortikal, serebritis fulminan, hidrosefalus, edema serebri dan
defisit neurologis residual seperti hemiparesis dan aphasia.1 Pada kasus ini, setelah tindakan
pembedahan didapatkan pasien mengalami gangguan modalitas berbahasa berupa kemampuan bicara
non fluen dengan pemahaman baik yang mengesankan adanya aphasia Broca
Aphasia merupakan gangguan berbahasa yang ditandai dengan hilangnya kemampuan untuk
memproduksi dan atau memahami bahasa. Salah satu pengobatan untuk aphasia nonfluent yang berat
adalah dengan terapi intonasi melodi (TIM).8,9 TIM merupakan pengobatan aphasia menggunakan
unsur-unsur musikal saat berbicara (melodi dan irama) untuk memperbaiki kemampuan berbahasa
ekspresif dengan memanfaatkan fungsi-fungsi yang masih baik serta melibatkan daerah berbahasa non
verbal yang tidak mengalami kerusakan pada hemisfer kanan.8,9,10 Pada kerusakan hemisfer dominan
(kiri) yang mengakibatknan afasia non-fluen, TIM bertujuan memanfaatkan fungsi hemisfer kanan
yang tidak terganggu untuk interpretasi proses non verbal (musik & melodi) sehingga diharapkan
fungsi melodi dapat memfasilitasi respon verbal.10 TIM dapat memperbaiki kemampuan
mengucapkan frasa dan kalimat. TIM terdiri dari 4 tingkatan dengan beberapa langkah dimulai
dengan menggumam melodi dengan ketukan, lalu menyanyikan kalimat sederhana (seperti: selamat
sore, saya haus, ayo makan) dengan ketukan tangan, kemudian, mengulang mengucapkan kalimat
dalam nada biasa dengan jeda 2-3 detik dan penderita mampu menjawab pertanyaan tentang informasi
dalam kalimat tersebut.8

SIMPULAN
Empiema subdural (ES) merupakan kondisi gangguan neurologi serius serta berkaitan dengan
angka morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Diperlukan deteksi dini dan penanganan emergensi
ES sebagai komplikasi infeksi gigi diketahui kejadiannya cukup jarang. Pengobatan ES dengan
pembedahan agresif dan penggunaan antibiotika yang tepat dapat menurunkan mortalitas ES. Afasia
Broca dapat merupakan gejala primer yang muncul pada pasien ES. Perbaikan kemampuan berbahasa
dengan terapi farmakologis disertai dengan terapi intonasi melodi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agrawal A, Timothy J, Lekha Pandit, Lathika Shetty, J.P. Shetty. A Review of Subdural
Empyema and Its Management. Infectious Diseases in Clinical Practice. 2007; 15: 149-153
2. Voravan S, Manish G, John N.R, Orhan K. Subdural empyema secondary to odontogenic
masticator space abscess: Detection by indium-111-labeled white stem cell scan. Journal of
clinical imaging. 2001;25: 18-22
3. Nathoo N, Nadvi SS, van Dellen JR, Gouws E. Intracranial subdural empyemas in the era of
computed tomography. A review of 699 cases. Neurosurgery. 1999; 44: 529-35
4. Sadhu VK, Handel SF, Pinto RS, Glass TF. Neuroradiologic Diagnosis of Subdural Empyema
and CT Limitations. AJNR. 1980 ;1 : 39-44
5. Commondoor R, Eisenhut M, Fowler C, Kirollos RW, Nathwani N. Transient Broca's
Aphasia as Feature of an Extradural Abscess. 2009; 40: 50–53
6. de Falco R, Scarano E, Cigliano A, Russo G, Profeta L, Annicchiarico L, Profeta G. Surgical

treatment of subdural empyema: a critical review. J Neurosurg Sci. 1996;40(1):53-8
7. Greenlee JE . Subdural Empyema. Curr Treat Options Neurol. 2003; 5(1): 13-22.
8. Norton A, Zipse L, Marchinad S, Schlaug G. Melodic Intonation Therapy. The Neurosciences
and Music III: Disorders and Plasticity: Ann. N.Y. Acad. Sci. 2009; 1169: 431–436
9. Greener J, Enderby P, Whurr R. Pharmacological treatment for aphasia following stroke
(Review). The Cochrane Collaboration. Published by JohnWiley & Sons, Ltd. 2010;5:1-63
10. Schlaug, G., S. Marchina & A. Norton. 2008. From singing to speaking: why singing may
lead to recovery of expressive language function in patients with Broca’s aphasia. Music
Percept. 25: 315–323.