Gangguan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Penderita Stroke (Afasia Broca) Kajian Neurolinguistik

(1)

Lampiran

Daftar Informan

1. Nama : Derma Hasibuan Umur : 55 tahun

Pekerjaan : Tidak Bekerja Alamat : Tanggabosi Agama : Islam

Kategori Afasia : Stroke Berat (Haemoregic) Surat keterngan dokter terlampir

2. Nama : Hari Anum Umur : 52 tahun Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : desa Tanjung Slamet kecamatan Sunggal Dusun II Jln.Perjuangan Kategori Afasia : Stroke Berat (Haemoregic)

Surat keterangan dokter terlampir

3. Nama : Ngaisah Umur : 53 tahun Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : desa Tanjung Slamet kecamatan Sunggal Dusun II Jln.Perjuangan


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi , Hasan. 2003. Tata Bahasa Baku Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chaer , Abdul. 2007. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Gustianingsih.2009.”Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia

pada Anak Penyandang Autistic Spectrum Disorder.” ( Disertasi): Medan Sekolah Pascasarjana Uneversitas Sumatera Utara.

Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Nasution, Salhidani. 1995.” Hubungan Neurolinguistik dengan Psikolinguistik

Terhadap Gangguan Komunikasi Bahasa Indonesia.” (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Rajagukguk, Adrina M. 2004. “ Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita

Afasia Broca.” (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Simanjuntak, Mangantar. 2009. Pengantar Neuropsikolinguistik. Medan: Perpustakaan Republik Indonesia.


(3)

56

Sudaryanto. 1933. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Suhardiyanto, Totok. 2005. “Bagaimana Kata Disimpan? Studi Terhadap Akses Leksikal pada Penderita Afasia.” Buku Panduan Kongres Linguistik

Nasional XI 2005. (Jurnal). Padang: Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.

Sastra, Gusdi. 2005. “Ekspresi Verbal Penderita Stroke Penutur Bahasa

Minangkabau: Suatu Analisis Neurolinguistik”. Buku Panduan Kongres

Linguistik Nasional XI 2005. (Jurnal). Padang: Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan.

Verhaar, J. W . M. 2008. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Yeni, Fersima. 2004. “ Interpretasi Lafal Fonem Bahasa Indonesia Penderita Bibir

Sumbing.” (Skripsi). Medan: Fakultas Sastra Uneversitas Sumatera Utara.

http://limabegundalz.blogspot.com/pengertian-fonologi.html diakses tanggal 10 Maret 2013.


(4)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi adalah letak atau tempat (KBBI 2007:680). Adapun yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Rumah Sakit Umum Mitra Sejati Jln. Jend. Besar A.H. Nasution No.7 Medan Johor.

3.1.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilakukan pada tanggal 7 Mei 2013 sampai dengan 14 Mei 2013.

3.2 Sumber Data

Penelitian ini merupakan studi kasus. Menurut Bennet-Kasto (dalam Gustianingsih 2009:125), studi kasus adalah studi tentang kasus individual yang belum tentu menggambarkan studi secara universal.

Sumber data adalah subjek dari mana data itu diperoleh (KBBI 2003:994), data penelitian bersumber dari tuturan yang menderita Afasia Broca yang diakibatkan Stroke. Penderita dijadikan sebagai subjek penelitian yang merupakan suku Mandailing dan Jawa. Subjek penelitian ini terdiri atas tiga orang penderita Afasia Broca akibat Stroke dan mengalami gangguan pada Medan Broca. Subjek penelitian ini merupakan perempuan yang menderita Afasia Broca.


(5)

3.3Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode adalah cara teratur untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang dikehendaki sehingga dapat tercapai, cara kerja sama bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan (Alwi 2005:740).

Metode adalah cara yang harus dilaksanakan dalam sebuah penelitian, sedangkan teknik adalah cara melaksanakan metode (Sudaryanto 1993:9). Sebelum peneliti mengumpulkan data-data yang tersedia di lapangan, peneliti melakukan observasi atau pengamatan terlebih dahulu untuk mengamati bunyi tuturan yang dihasilkan penderita stroke. Penelitian ini menggunakan metode simak. Disebut metode simak atau penyimakan karena memang berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (sudaryanto 1993:133). Teknik dasar dari metode simak adalah teknik sadap. Pada praktiknya, penyimakan atau metode simak itu diwujudkan dengan penyadapan bahasa pada penderita stroke tanpa diketahui penderita. Tujuannya untuk mengetahui bagaimana bunyi ujaran yang dihasilkan penderita stroke.

Selanjutnya, peneliti menggunakan teknik simak libat cakap sebagai teknik lanjutan dari teknik dasar sadap. Kegiatan menyadap itu dilakukan pertama-tama dengan berpartisipasi sambil menyimak-berpartisipasi dalam pembicaraan dan menyimak pembicaraan. Peneliti di sini memperhatikan penggunaan bahasa bahasa atau memperhatikan bagaimana penderita stroke menghasilkan bunyi ujaran bahasa Indonesia sehingga peneliti dikatakan bersifat aktif. Dikatakan aftif karena peneliti ikut angkat bicara dalam proses dialog


(6)

dengan penderita stroke. Jika teknik sadap dan teknik libat cakap selesai dilakukan, maka teknik lanjutannya adalah teknik rekam dan teknik catat.

Teknik rekam digunakan untuk mendapat data yang akurat melalui bunyi ujaran yang dihasilkan penderita Afasia Broca ketika peneliti mengadakan tanya jawab. Penelitian dilakukan dengan cara perekaman, yaitu dengan menggunakan

tape recorder sebagai alatnya (Sudariyanto 1993:135). Alat yang digunakan peneliti untuk memperoleh data dari informan adalah Handphone Mito.

Teknik catat adalah pengambilan data yang dilakukan peneliti dengan cara mencatat pada buku atau kartu data (Sudaryanto 1993:135). Teknik catat dilakukan dengan mencatat hal penting dari hasil penelitian saat menyimak percakapan penderita Afasia Broca (Stroke).

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode padan artikulatoris. Metode padan artikulatoris adalah sebuah metode yang digunakan untuk menganalisis data bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang diartikulasikan penderita stroke ketika berbicara sampai pada penentu. Teknik dasar untuk mengkaji data tersebut adalah teknik pilah unsur penentu (PUP) yaitu daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya. Maksudnya adalah kemampuan yang dimiliki oleh peneliti untuk memilah. Setelah data dikumpulkan, peneliti memilah-milah bagaimana bunyi ujaran vokal dan konsonan Bahasa Indonesia penderita, serta memilah gangguan bunyi seperti gangguan subtitusi, pelesapan, penambahan atau metatesis yang dihasilkan


(7)

penderita stroke. Teknik ini dilakukan sekaligus untuk menjawab masalah pertama.

(1).Peneliti : Bou makan apa tadi pagi? DM : mmu...mmu [bubur]

(2). Peneliti : Siapa nama bou? DM : hemm...mma [Derma]

(3). Peneliti : Bou, berapakan anak bou yang sudah menikah? DM : eee...mm...aaa [empat orang]

Dari data di atas peneliti simpulkan bahwa, penderita Afasia Broca menjawab data pertama dari peneliti hampir sesuai dengan jawaban yang diharapkan oleh peneliti, hanya saja penderita Afasia Broca menjawab pertanyaan tersebut menukar bunyi [b] bilabial bersuara ditukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara [m] yaitu [mmu...mmu] yang seharusnya dijawab adalah bubur, sehingga terjadi gangguan subtitusi atau pertukaran bunyi ujaran. Selanjutnya pada data yang ke dua penderita menjawab [hemm...mma] yang seharusnya penderita Afasia Broca menjawab Derma. Dari jawaban tersebut terjadi juga gangguan subtitusi atau pertukaran bunyi [d] apiko dental plosif bersuara menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Tidak hanya itu pada jawaban kedua terjadi juga pelesapan bunyi ujaran [r] alveolar bersuara. Selanjutnya pada jawaban yang ketiga penderita Afasia Broca melesapkan dua bunyi bahasa sekaligus yaitu pada bunyi [t] apiko dental tidak bersuara dan bunyi [p] bilabial plosif tidak bersuara,


(8)

pada bunyi kata [eee..mmm..aaa] seharusnya peneliti mengharapkan penderita Afasia Broca menjawab empat.

Teknik lanjutan dari teknik dasar pilah adalah teknik hubung banding membedakan (HBB). Peneliti akan membedakan atau membandingkan bunyi ujaran yang dihasilkan penderita stroke dengan bunyi yang dihasilkan manusia normal sehingga ditemukan perbedaan bunyi sekaligus menjawab masalah yang kedua.

Dari tanya jawab di atas diperoleh juga bunyi ujaran yang selalu terganggu pada penderita stroke adalah bunyi bilabial plosif bersuara, bunyi plosif bersuara [b] bertukar menjadi bunyi nasal bersuara yaitu [m] contoh (1). [bubur] menjadi [mmu..mmu]. Bunyi apiko dental plosif bersuara yaitu [d] bertukar menjadi bunyi glotal faringal tidak bersuara yaitu [h] contoh (2). [derma] menjadi [hemm.mma] . Bunyi [p] bilabial plosif tidak bersuara bertukar menjadi bunyi [m] bilabial nasal bersuara contoh (3). [empat] menjadi [eee..mm..aaa] terjadi pelesapan yaitu [r] alveolar bersuara yaitu pada contoh (2). [derma] menjadi [hemm..mma] dan pelepasan bunyi [t] apiko dental tidak bersuara pada contoh (3). [empat] menjadi [eee..mm..aa] Peneliti dapat simpulkan bahwa, dari empat macam tipe gangguan berbahasa yang sering mengalami gangguan pada ujaran penderita adalah gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran), pelesapan bunyi ujaran. Sedangkan untuk gangguan berbahasa metatesis (salah urut bunyi ujaran) dan penambahan bunyi ujaran tidak ditemukan dalam ujaran penderita pada data di atas.


(9)

BAB IV

GANGGUAN BUNYI UJARAN BAHASA INDONESIA PADA PENDERITA STROKE ( AFASIA BROCA)

4.1 Gangguan Bunyi Ujaran yang dihasilkan Penderita Stroke (Afasia

Broca).

Gangguan berbahasa secara umum disebut sebagai afasia (Simanjuntak 2009:258). Gangguan berbahasa terbagi dua jenis yaitu gangguan berbahasa Broca (Afasia Broca) dan gangguan berbahasa Wernicke (Afasia Wernicke). Gangguan berbahasa Broca adalah gangguan produksi ujaran yang terjadi akibat kerusakan pada hemisfer kiri otak. Gangguan yang ditandai pada penderita Afasia Broca adalah berkurangnya jumlah ujaran, gangguan artikulasi, lamban, dan kesulitan yang luar biasa dalam mengucapkan bunyi ujaran. Gangguan berbahasa Wernicke adalah gangguan pemahaman berbahasa yang disebabkan oleh rusaknya Medan Wernicke yang menganalisis pemahaman manusia. Penderita Afasia Wernikce dapat mengujarkan bunyi-bunyi bahasa dengan lancar, tetapi penderita tidak dapat memahami bunyi-bunyi bahasa yang diucapkannya. Biasanya bunyi yang diucapkan penderita tidak mengandung arti atau tidak mengandung informasi (Simanjuntak 2009:258). Blumstein (dalam Gustianingsih 2009:55) mengelompokkan gangguan berbahasa yang dihasilkan para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni gangguan berbahasa subtitusi atau pertukaran bunyi ujaran, pelesapan bunyi ujaran, penambahan bunyi ujaran, dan metatesis (salah urut bunyi ujaran).


(10)

Gangguan berbahasa atau gangguan bunyi ujaran yang terjadi pada subyek penelitian di bawah ini Derma Hasibuan yang selanjutnya disebut (DH). Adapun percakapan yang dilakukan peneliti dengan informan (DH) adalah sebagai berikut: Derma Hasibuan (DH)

(1). Peneliti : Berapa umur bou?

DH : Hi...ma...mui...ena (Lima Puluh Enam Tahun) sambil menunjukan tangan kepada peneliti.

Dari data di atas diketahui bahwa penderita telah melakukan pertukaran bunyi ujaran dalam bahasanya. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan peneliti adalah [lima puluh enam tahun] bukan [hi...maa....mui..ena]. Jelas bahwa, bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran) pada bunyi konsonan di awal kata yakni bunyi alveolar lateral bersuara [l] bertukar menjadi bunyi faringal frikatif tidak bersuara yaitu [h], bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Sedangkan bunyi vokal dalam data di atas cukup baik dihasilkan penderita seperti bunyi [a], [i], [u], [o], [e]. Tidak hanya itu bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan pelesapan di tengah dan di akhir kata. Bunyi ujaran konsonan yang dilesapkan di tengah kata adalah bunyi alveolar lateral bersuara yaitu [l], bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h] sedangkan bunyi ujaran yang dilesapkan di akhir kata adalah bilabial nasal bersuara yaitu [m].


(11)

Berikut peneliti mengajak penderita bercakap-cakap dan bertanya pada penderita untuk melihat gangguan bunyi apa lagi yang dilakukan penderita stroke

tersebut.

(2). Peneliti : Bou makan apa tadi pagi? DH : a...sii... (nasi).

Data (2) di atas, mengungkapkan bahwa penderita Afasia Broca menjawab pertanyaan peneliti hampir sesuai dengan jawaban yang diharapkan oleh peneliti, hanya saja pada waktu berujar, bunyi ujaran penderita mengalami gangguan pelesapan pada bunyi konsonan di awal kata yakni bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dari peneliti adalah nasi bukan [a..sii]. Dari data di atas juga dinyatakan bahwa bunyi vokal seperti [a], [i] tidak mengalami gangguan.

Berikut pertanyaan peneliti kembali ditujukan kepada penderita untuk melihat gangguan-gangguan bahasa lainnya.

(3). Peneliti : Sejak kapan bou sakit stroke?

DH : Berfikir sambil menghitung dengan tangan, Hi...maa... aa...un.(lima tahun).

Data (3) di atas, bunyi ujaran mengalami gangguan subtitusi di awal kata yakni bunyi lamino alveolar lateral bersuar [l] bertukar menjadi bunyi faringal frikatif tidak bersuara yaitu [h]. Tidak hanya itu, terjadi gangguan pelesapan


(12)

Pelesapan juga terjadi di tengah kata yakni bunyi faringal frikatif tidak bersuara yaitu [h]. Bunyi yang seharusnya diucapkan penderita adalah lima tahun bukan [hii..maa...aa..un]. Dari data ini juga diketahui bahwa bunyi vokal tidak mengalami gangguan.

Peneliti memberikan pertanyaan kembali kepada (DH) untuk melihat gangguan-gangguan bahasa yang timbul dalam ujaran penderita.

(4). Peneliti : Berapa banyak anak bou?

DH : Hi....ma, sambil menunjuk jari tangan ke arah peneliti.

Data di atas mengungkapkan bahwa penderita Afasia Broca mengujarkan bunyi konsonan alveolar lateral bersuara [l] pada awal kata bertukar menjadi bunyi faringal frikatif tidak bersuara yaitu [h]. Bunyi yang seharusnya diucapkan penderita adalah lima bukan [hi..ma]. Untuk bunyi vokal [a] dan [i] sangat jelas sekali dan tidak mengalami gangguan.

Peneliti mencoba memberikan pertanyaan kembali kepada penderita (DH) untuk mengetahui lebih banyak gangguan yang timbul dalam ujaran penderita tersebut.

(5). Peneliti : Siapa nama putri bou paling sulung?


(13)

Data di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami pelesapan bunyi di tengah kata yakni alveolar nasal bersuara [n]. tidak hanya itu, terjadi pelesapan bunyi ujaran di akhir kata yakni bunyi apiko dental plosif tidak bersuara yaitu [t]. penderita Afasia Broca seharusnya menjawab pertanyaan dari peneliti adalah [intan] bukan [iii...na]. Bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Berikut pertanyaan kembali kepada penderita stroke untuk menemukan gangguan bunyi ujaran apalagi yang terganggu dalam bahasa DH.

(6). Peneliti : Warna Apa yang paling bou sukai?

DH : Diam sambil melihat peneliti, kemudian putrinya mengatakan merah. tetapi penderita menggelengkan kepalanya. Peneliti mengatakan putih bou? penderita menganggukan kepalanya dan peneliti menyuruh mengatakan putih. Jawaban penderita [mu...iii].

Data di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di awal kata yaitu bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m], tidak hanya itu terjadi pelesapan bunyi bahasa di tengah dan di akhir kata. Bunyi yang dilesapkan di tengah kata adalah apiko dental plosif tidak bersuara yaitu[t] sedangkan bunyi yang dilesapkan di akhir kata adalah faringal frikatif tidak bersuara yaitu [h]. Bunyi vokal [u] dan [i] sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.


(14)

Penderita stroke lainnya bernama Hari Anum selanjutnya disebut dengan (HA). Penderita (HA) sangat kesulitan dalam mengujarkan bunyi bahasa. Berikut percakapan peneliti dengan penderita Hari Anum.

Hari Anum (HA)

(7). Peneliti : Apa yang ibu lakukan setiap hari di rumah? HA : nuu..huk (duduk).

Data di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di awal kata dan di tengah kata. Bunyi yang mengalami gangguan subtitusi di awal kata adalah apiko dental plosif bersuara [d] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n] sedangkan bunyi yang mengalami gangguan subtitusi di tengah kata adalah apiko dental plosif bersuara [d] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Bunyi yang seharusnya di ucapkan penderita adalah duduk bukan [nuu..huk]. Bunyi vokal [u] sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Peneliti memberikan pertanyaan kembali kepada penderita Hari Anum untuk menemukan gangguan bunyi ujaran yang dihasilkan penderita (HA).

(8). Peneliti : Berapa kali ibu minum obat setiap hari? (HA) : hiiii...haaaa (tiga kali).


(15)

Data di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan Subtitusi di awal kata dan di tengah kata. Bunyi yang mengalami gangguan subtitusi di awal kata adalah bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h] sedangkan bunyi yang mengalami gangguan subtitusi di tengah kata adalah bunyi dorso velar plosif bersuara [g] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dari peneliti adalah tiga bukan [hiii...haaaa]. Bunyi vokal sangat jelas dan tidak ada gangguan.

Berikut percakapan antara peneliti dengan Hari Anum guna melihat gangguan-gangguan yang timbul dalam ujaran penderita.

(9). Peneliti : berapa tahun ibu mengalami stroke?

(HA) : Hammi...Nuju..Naun (hampir tujuh tahun), penderita menjawab sambil menangis.

Pada kata pertama bunyi ujaran yang mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m], bunyi ujaran penderita juga mengalami pelesapan di akhir kata pada kata pertama yakni bunyi lamino alveolar tril bersuara yaitu bunyi [r]. Pada kata kedua, bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di awal kata yakni bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n], pada kata kedua terjadi juga gangguan pelesapan bunyi ujaran di akhir kata yakni bunyi faringal


(16)

afrikatif tidak bersuara [h]. Untuk kata ketiga bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di awal kata yakni bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n], bunyi ujaran penderita mengalami pelesapan di tengah kata yakni bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dari peneliti adalah [hampir tujuh tahun] bukan [hammi..nuju..naun]. Bunyi vokal [a], [i], [u] sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Berikut peneliti mengajak penderita bercakap-cakap guna menemukan lebih banyak lagi gangguan berbahasa yang timbul dalam ujaran penderita.

(10). Peneliti : Ibu yang merawat siapa? (HA) : ana...nasa (anak saya).

Data (10) di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami pelepasan bunyi ujaran di akhir kata pertama yaitu bunyi dorso velar plosif tidak bersuara [k] yang seharusnya penderita menjawab [anak] bukan [ana]. Pada kata kedua, bunyi ujaran penderita mengalami gangguan metatesis sekaligus mengalami gangguan subtitusi. Bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di awal kata yaitu bunyi lamino palatal semi vokal bersuara [y] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n], kata [nasa] merupakan gangguan metatesis. Bunyi yang seharusnya diujarkan penderita adalah [anak saya] bukan [ana..nasa]. Penderita mengujarkan bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami kendala.


(17)

Berikut percakapan antara peneliti dengan penderita. (11). Peneliti : Siapa nama ibu?

(HA) : Ani..anum (Hari anum).

Dari data di atas, bunyi ujaran yang mengalami pelesapan bunyi ujaran di awal kata adalah bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni, bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n]. Bunyi yang seharusnya diujarkan penderita adalah Hari Anum bukan [Ani..anum]. Untuk bunyi vokal penderita sangat jelas dan tidak mengalami gangguan seperti yang terlihat pada data di atas.

Peneliti bercakap-bercakap kembali dengan penderita guna melihat lebih banyak lagi gangguan berbahasa yang ditimbulkan dalam ujarannya. Berikut pertanyaan peneliti kepada penderita.

(12). Peneliti : Apa makanan yang paling ibu sukai

(HA) : Ama...ana (Apa saja). Putrinya mengatakan pada peneliti kalau selama ini ibu selalu makan saja yang ia mau dan yang paling ibu sukai itu durian padahal dokter melarang ibu makan durian.

Data (12) di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yaitu bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m], bunyi


(18)

ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yaitu bunyi lamino palatal afrikatif bersuara [j] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [m]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan peneliti dengan kata [apa saja] bukan [ama.. ana]. Bunyi vokal [a] sangat jelas dan tidak mengalami kendala.

Selanjutnya peneliti memberikan pertanyaan kembali kepada penderita [HA] untuk melihat lebih banyak gangguan yang diujarkan penderita.

(13). Peneliti : Ibu suka menonton Televisi? (HA) : Nu..ka (Suka).

Dari data penelitian di atas, diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yakni bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [m]. Penderita seharusnya menjawab bunyi suka bukan [nuka]. Untuk bunyi vokal tidak mengalami gangguan.

Berikut pertanyaan peneliti terhadap penderita (HA). (14). Peneliti : Ibu tadi pagi makan sahur pakai apa? (HA) : Nani...mungus (nasi bungkus).

Dari data di atas, diketahui bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di akhir kata pertama yaitu bunyi lamino


(19)

alveolar frikatif tidak bersuara [s] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n]. Penderita mengujarkan bunyi pada kata ke dua juga mengalami gangguan subtitusi di awal kata yakni, bunyi bilabial plosif bersuara [b] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Tidak hanya itu terjadi pelesapan bunyi ujaran di tengah kata kedua yakni bunyi dorso velar plosif tidak bersuara yaitu [k]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan peneliti dengan ujaran [nasi bungkus] bukan [nani..mungus]. Bunyi vokal terlihat sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Peneliti memberikan pertanyaan kepada penderita (HA) untuk melihat kembali gangguan berbahasa apalagi yang diujarkan penderita.

(15). Peneliti : Ibu Puasa?

( HA) : Inna..ala (Insya Allah).

Data (15) di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di tengah kata pertama, yaitu bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n]. Tidak hanya itu terjadi gangguan pelesapan bunyi ujaran di tengah kata pertama yaitu bunyi lamino palatal semi vokal yaitu [y]. Pada kata kedua terjadi juga gangguan pelesapan bunyi ujaran di tengah kata dan di akhir kata. Bunyi yang dilesapkan di tengah kata adalah bunyi lamino alveolar lateral bersuara yaitu [l]. Bunyi yang dilesapkan di akhir kata adalah bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Penderita seharusnya


(20)

menjawab pertanyaan peneliti dengan ujaran [insya Allah] bukan [inna..ala]. Untuk bunyi vokal [a] dan [i] tidak mengalami gangguan.

Dari data ini juga jelas dalam ujaran-ujaran yang diproduksi penderita

stroke ini mengalami gangguan-gangguan mengindikasikan terjadinya gangguan pada Medan Broca penderita stroke. Seperti yang dikemukakan di atas bahwa gangguan berbahasa atau Afasia Broca akan mengalami gangguan berbahasa seperti terbata-bata dan terjadi perubahan bunyi ujaran dengan pertukaran, pelesapan, penambahan, atau salah urut Blumstein (dalam Gustianingsih 2009:55).

Berikut pertanyaan peneliti kepada penderita (HA) (16). Peneliti: Siapa nama bapak bu?

(HA) : Ngadil (kadir)

Data (16) di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yakni, bunyi dorso velar plosif tidak bersuara [k] bertukar menjadi bunyi dorso velar nasal bersuara yaitu [ᵑ]. Tidak hanya itu gangguan subtitusi terjadi juga di akhir kata, bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar lateral bersuara yaitu [l]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan peneliti dengan ujaran [kadir] bukan [ngadil]. Bunyi vokal terlihat jelas dan tidak mengalami kendala.


(21)

Seperti yang dikemukakan dalam teori fonologi bahwa bunyi dorso velar plosif tidak bersuara [k] memiliki bunyi dorso velar nasal [ᵑ]. Jadi, pertukaran bunyi [k] menjadi [ᵑ] adalah logis karena bunyi dorso velar plosif tidak bersuara [k] ini bertukar menjadi bunyi dorso velar nasal bersuara [ᵑ] masih satu daerah artikulasi yaitu sama-sama bunyi dorso velar.

Peneliti memberikan pertanyaan kepada penderita (HA) guna melihat lebih banyak lagi gangguan yang timbul dalam ujaran penderita pada waktu berujar. (17). Peneliti : Ibu sudah mempunyai cucu?

(HA) : Iya, nima (lima orang) penderita sambil menunjuk lima jarinya ke arah peneliti.

Bunyi ujaran penderita pada data (17) mengalami ganggguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata ke dua saja yakni, bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan peneliti dengan ujaran bunyi [lima] bukan [nima]. Untuk bunyi vokal sangat jelas disebutkan dan tidak mengalami kendala.

Kasus pertukaran bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n] sama terjadi pada kasus gangguan berbahasa yang dilakukan Gustianingsih dalam penelitian terhadap penderita Austictic Spectrum Disorder yang dikemukakan beliau adalah adalah pada kata [lampu] bertukar menjadi [napu] (Gustianingsih 2009:103). Contoh di


(22)

atas mengemukakan bahwa perubahan atau pertukaran lamino alveolar lateral [l] sangat memungkinkan bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n]. Hal ini mengindikasikan bahwa gangguan pertukaran ini terlalu umum karena bunyi [l] dan [n] adalah satu daerah artikulasi juga.

Berikut pertanyaan peneliti terhadap peneliti HA untuk melihat kembali gangguan yang timbul dalam ujaran penderita tersebut.

(18). Peneliti : Berapa tahun usia ibu?

(HA) : nima..munuh..dua (lima puluh dua tahun).

Data (18) di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) yaitu bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] bertukaveolar nasal bersuara [n]. Bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan peneliti dengan bunyi [lima puluh dua tahun] bukan [ nima munuh.. dua]. Pada data ini juga pertukaran bunyi [p] menjadi bunyi [m] masih logis juga karena masih berada pada satu daerah artikulasi yang sama yaitu bilabial plosif, hanya saja bunyi [p] bukan bunyi nasal sedangkan [m] adalah bunyi nasal. Untuk bunyi vokal tidak sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Bila dilihat dari teori neurolinguistik bahwa gangguan berbahasa yang terjadi pada HA adalah adanya gangguan pada Medan Broca penderita. Ciri gangguan berbahasa atau disebut juga Afasia Broca memiliki bahasa yang


(23)

terbata-bata dan terjadi perubahan-perubahan atau pertukaran bunyi ujaran baik bunyi vokal ataupun bunyi konsonan.

Berikut pertanyaan peneliti terhadap penderita HA yaitu sebagai berikut. (19). Peneliti : Bapak pergi kemana bu?

(HA) : Diam sambil berfikir, penderita menjawab menuana (berjualan).

Data di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yakni bunyi bilabial plosif bersuara [b] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m], bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n]. Tidak hanya itu, penderita mengalami gangguan pelesapan bunyi ujaran di tengah dan di akhir kata. Bunyi yang mengalami gangguan pelesapan di tengah kata adalah bunyi lamino palatal afrikatif bersuara [j] sedangkan bunyi yang mengalami pelesapan di akhir kata adalah lamino alveolar nasal bersuara [n]. Penderita seharusnya menjawab bunyi [berjualan] bukan [menuana]. Untuk bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Berikut pertanyaan peneliti kepada penderita Afasia Broca Hari Anum. (20). Peneliti : Ibu nyenyak tidur?


(24)

Data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata pertama yakni bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n], bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di awal kata kedua yakni bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Tidak hanya itu bunyi ujaran penderita juga mengalami pelesapan di akhir kata kedua yakni bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h], penderita seharusnya menjawab pertanyaan dengan bunyi tidur payah bukan [nidun maya]. Untuk bunyi vokal tidak sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Gangguan berbahasa atau gangguan bunyi ujaran yang terjadi pada subyek penelitian di bawah ini Ngaisah yang selanjutnya disebut NG. Berikut pertanyaan peneliti terhadap Ngaisah.

Ngaisah

(21). Peneliti: Siapa nama ibu? (NG) : Aa..iina (Ngaisah).

Data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di awal kata yaitu bunyi dorso velar bersuara [ᵑ] bertukar menjadi bunyi vokal depan rendah [a]. Bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] bertukar menjadi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n]. Bunyi ujaran penderita


(25)

juga mengalami pelesapan bunyi ujaran di akhir kata yakni bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dengan bunyi [ngaisah] bukan [aa..iina]. Untuk bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Berikut pertanyaan peneliti kepada penderita Ngaisah untuk melihat lebih banyak lagi gangguan berbahasa yang muncul dalam ujaran penderita.

(22). Peneliti : Ibu sudah makan? (NG) : Uuu..naa (sudah).

Data (22) di atas mengungkapkan bahwa bunyi ujaran penderita mengalami pelesapan bunyi ujaran di awal kata yakni bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara yaitu [s], bunyi ujaran penderita juga mengalami ganguan subtitusi di tengah kata yakni bunyi apiko dental plosif bersuara [d] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n], bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h] mengalami pelesapan di akhir kata. Penderita seharusnya menjawab bunyi sudah bukan [Uuu..naaa]. Untuk bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Berikut percakapan antara peneliti dengan penderita Ngaisah. (23). Peneliti: Anak itu namanya siapa bu?

(NG) : Diam sambil berpikir dan melihat anak ke arah yang ditunjuk peneliti kemudian penderita menjawab muuu...liiii (putri).


(26)

Dari data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yakni bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m], terjadi pelesapan bunyi ujaran di tengah kata yakni bunyi apiko dental plosif tidak bersuara yaitu [t], bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] bertukar menjadi lamino alveolar lateral bersuara yaitu [l]. Penderita seharusnya menjawab bunyi [putri] bukan [muuu...liii]. Untuk bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Berikut percakapan yang dilakukan peneliti dengan penderita. (24). Peneliti : Berapa usia ibu?

(NG) : Hiii...ma...hiaa (lima puluh tiga tahun).

Data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata pertama yakni bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h], bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di awal kata kedua yakni, bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Tidak hanya itu, terjadi pelesapan bunyi ujaran di tengah kata yakni bunyi dorso velar plosif bersuara yaitu [g]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dengan bunyi [lima puluh tiga tahun] bukan [Hiii..maa..hiaa]. Untuk bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.


(27)

Pertanyaan peneliti tujukan kembali kepada penderita. (25). Peneliti : Sejak kapan ibu menderita stroke?

(NG) : Emuu..luu..alii (sepuluh hari).

Data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami ganggguan pelesapan bunyi ujaran di awal kata pertama yakni, bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara yaitu [s], bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di tengah kata pertama, bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [n], terjadi pelesapan bunyi ujaran di akhir kata yakni bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h]. Untuk kata kedua, bunyi ujaran penderita mengalami pelesapan bunyi ujaran di awal kata yaitu bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h] pada kata kedua, bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar lateral bersuara yaitu [l]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dengan bunyi [sepuluh hari] bukan [Emuu..luu..alii]. Untuk bunyi vokal tidak mengalami gangguan.

Berikut peneliti melakukan percakapan kembali dengan penderita. (26). Peneliti : Ibu selera makan?

(NG) : Iiii..haa (iya).

Data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di tengah kata yaitu bunyi lamino palatal semi


(28)

vokal bersuara [y] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dengan bunyi [iya] bukan [Iiii..haaa]. Untuk bunyi vokal [i] dan [a] sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Berikut percakapan peneliti dengan penderita guna melihat bunyi yang timbul dalam ujaran penderita.

(27). Peneliti : Ibu sudah minum obat? (NG) : Mee..luuu (belum).

Dari data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yaitu bunyi bilabial plosif bersuara [b] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Tidak hanya itu, bunyi ujaran penderita mengalami pelesapan bunyi ujaran di akhir kata yakni bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dengan bunyi [belum] bukan [Mee..luuu]. Untuk bunyi vokal tidak mengalami gangguan.

Berikut percakapan peneliti dengan penderita. (28). Peneliti : Ibu yang merawat siapa?


(29)

Dari data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yaitu bunyi bilabial plosif bersuara [b] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m], penderita mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yaitu bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara [m]. bunyi ujaran penderita mengalami gangguan pelesapan bunyi ujaran di akhir kata yakni bunyi dorso velar plosif tidak bersuara yaitu [k]. Bunyi yang seharusnya diujarkan penderita adalah [bapak] bukan [Maaa..maa]. Untuk bunyi vokal [a] sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Baik data (27) maupun data (28) menjelaskan bahwa perubahan bunyi ujaran yang terjadi pada penderita Afasia Broca sangat logis. NG termasuk kategori Afasia ringan, masih bisa diajak berkomunikasi. Dari sudut neurolinguistik benar bahwa bahasa NG terganggu karena tidak sesuai ujaran (NG) dengan orang normal yang sesuai dengan (NG). Pertukaran itu mengindikasikan telah terjadi gangguan bunyi ujaran pada Medan Broca penderita. Ciri pada Afasia Medan Broca yaitu ditandai dengan bahasanya yang tidak lancar, terputus-putus dan banyak ujaran yang tidak sama dengan orang normal. Pertukaran, pelesapan, terjadi pada bahasa (NG). Pertukaran, pelesapan, seperti yang dikatakan Blumsteim 2004 (dalam Gustianingsih 2009) merupakan gangguan berbahasa pada umumnya.


(30)

Peneliti melakukan percakapan kembali dengan penderita Ngaisah. (29). Peneliti : Apa yang ibu lakukan setiap hari di rumah?

(NG) : Hiii....nuull (tidur).

Dari data di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di awal kata yaitu bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h], bunyi ujaran penderita mengalami gangguan subtitusi di tengah kata yakni, bunyi apiko dental plosif bersuara [d] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara yaitu [n], bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi di akhir kata yaitu bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] bertukar menjadi bunyi lamino alveolar lateral bersuara yaitu [l]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan dengan bunyi [tidur] bukan [Hiii...nuull]. Untuk bunyi vokal sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.

Dalam bahasa (NG) ternyata tidak hanya terjadi pertukaran bunyi [t], [d], dan [r] tetapi juga terjadi penambahan bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h] di awal kata dan bunyi bilabial nasal bersuara [m] di tengah berikut percakapan peneliti dan penderita di bawah ini:

(30). Peneliti : Ibu sudah berapa kali berobat ke Rumah Sakit? (NG) : Hemmaat (empat kali).


(31)

Dari data (30) di atas diketahui bahwa bunyi ujaran penderita mengalami penambahan bunyi ujaran di awal kata, yaitu bunyi faringal afrikatif tidak bersuara yaitu [h] dan bunyi bilabial nasal bersuara [m] ditengah kata. Bunyi ujaran penderita juga mengalami gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) di tengah kata yaitu bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] bertukar menjadi bunyi bilabial nasal bersuara yaitu [m]. Penderita seharusnya menjawab pertanyaan peneliti dengan ujaran [empat] bukan [Hemmaat].

4.2 Bunyi yang Selalu Terganggu dalam Ujaran Penderita Stroke.

Dari data tanya jawab di atas diperoleh bunyi yang selalu terganggu dalam ujaran penderita stroke yakni:

4.2.1 Bunyi Ujaran yang Selalu Bertukar dalam Ujaran Penderita Stroke [Afasia Broca].

4.2.1.1 Bunyi Bilabial

Bunyi bilabial adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan bibir (labium) atas. Adapun yang termasuk bunyi bilabial adalah [b], [p], [m] bunyi yang bersuara adalah [b], dan [m]. Bunyi bilabial plosif bersuara [b] akan selalu bertukar dengan bunyi bilabial nasal bersuara [m] contohnya pada data (14). [bungkus] menjadi [mungus], pada data (19). [berjualan] menjadi [menuala], pada data (27). [belum] menjadi [Mee..luu], pada data (28). [bapak] menjadi [maaa..maa]. Bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] akan selalu bertukar dengan bunyi bilabial nasal bersuara [m] contohnya pada data (1). [puluh] menjadi [mui], pada data (6). [putih] menjadi [mu..iii], pada data (9). [hampir] menjadi [hammi], pada data (12). [apa] menjadi [ama], pada data (18).


(32)

[puluh] menjadi [muluh], pada data (20). [payah] menjadi [maya], pada data (23). [putri] menjadi [muuliii], pada data (25). [sepuluh] menjadi [emuluu], pada data (28). [bapak] menjadi [maa.maa].

4.2.1.2 Bunyi Apiko Dental

Bunyi apiko dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gigi (dentum). Bunyi yang termasuk apiko dental adalah Bunyi [t] dan [d]. Bunyi apiko dental plosif bersuara [d] akan selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n]. Contohnya pada data (7). [duduk] menjadi [nu..huk], pada data (22). [sudah] menjadi [uuu..naaa], pada data (29). [tidur] menjadi [hii..null]. Bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] akan selalu berrtukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h]. Contohnya pada data (8). [tiga] menjadi [hiii..haaaa], pada data (24). [tiga] menjadi [hiaa], pada data (29). [tidur] menjadi [hii..nuul] bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t] juga akan selalu bertukar dengan bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n]. Contohnya pada data (9). [tujuh] menjadi [nuju], pada data (9). [tahun] menjadi [naun], pada data (20). [tidur] menjadi [nidur].

4.2.1.3 Bunyi Lamino Alveolar

Bunyi lamino alveolar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas. Adapun yang termasuk bunyi lamino alveolar adalah [s]. [z], [l], [r] ,[n] yang termasuk bunyi bersuara adalah [z], [l], [r], [n]. Bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] akan selalu bertukar menjadi bunyi faringal tidak bersuara [h]. Contohnya pada data (1). [lima] menjadi [hi..ma], pada data (3). [lima] menjadi [hii..maa], pada data (4). [lima]


(33)

menjadi [hii..ma], pada data (24). [lima] menjadi [hii..ma]. Bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] juga selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n]. Contohnya pada data (17). [lima] menjadi [nima], pada data (18). [lima] menjadi [nima].

Bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n]. Contohnya pada data (13). [suka] menjadi [nuka], pada data (14). [nasi] menjadi [nani], pada data (15). [insya allah] menjadi [inna..ala], pada data (21). [ngaisah] menjadi [aa..iina]. Bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] selalu bertukar dengan bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n] karena kedua bunyi tersebut masih berada pada satu daerah artikulasi yaitu sama-sama berada pada daerah alveolar.

Bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] akan selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l]. Contohnya pada data (16). [kadir] menjadi [ngadil], pada data (23). [putri] menjadi [muu..liii], pada data (25). [hari] menjadi [alii], pada data (29). tidur menjadi [hii..nul]. Bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] juga bertukar dengan bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n]. Contohnya pada data (11). [hari] menjadi [ani]. Bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] akan selalu bertukar dengan bunyi [l] dan [n] karena kedua bunyi konsonan tersebut masih satu daerah artikulasi yaitu sama-sama berada di daerah alveolar.

4.2.1.4 Bunyi Lamino Palatal

Bunyi lamino palatal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (lamina) dan langit-langit keras (palatum). Adapun yang termasuk bunyi lamino palatal adalah [c]. [j], [y] yang termasuk bunyi bersuara [c] dan [j].


(34)

Bunyi lamino palatal afrikatif bersuara [j] selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal [n]. Contohnya pada data (12). [saja] menjadi [ana]. Bunyi lamino palatal semi vokal bersuara [y] akan selalu bertukar dengan bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h]. Contohnya pada data (26). [iya] menjadi [iiiha]. 4.2.1.5 Bunyi Dorso Velar

Bunyi dorso velar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan anak tekak (uvula). Adapun yang termasuk bunyi dorso velar yakni [k], [g], [ᵑ] yang termasuk bunyi bersuara adalah [g] dan [ᵑ]. Bunyi Dorso velar plosif tidak bersuara [k] akan selalu bertukar menjadi bunyi dorso velar nasal bersuara [ᵑ]. Contohnya pada data (16). [kadir] menjadi [

adil]. Bunyi dorso velar plosif bersuara [g] akan selalu bertukar dengan bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h]. Contohnya pada data (8). [tiga] menjadi [hii..haa].

Bunyi bilabial plosif bersuara [b] dan bunyi bilabial plosif tidak bersuara [p] akan selalu bertukar menjadi bilabial nasal bersuara [m] karena Bunyi [b], [p] dan [m] masih sama-sama satu daerah artikulasi yaitu sama-sama berada pada daerah artikulasi bilabial.

Bunyi apiko dental plosif bersuara [d] bertukar menjadi lamino alveolar nasal [n] merupakan bentuk yang unik dan tidak lazim karena kedua bunyi tersebut berbeda daerah artikulasinya, hal ini diakibatkan stroke yang sudah parah yang menyerang si penderita tersebut. Bunyi apiko dental plosif bersuara [t] bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h] merupakan bentuk yang unik dan tidak lazim karena kedua bunyi tersebut tidak berada pada daerah artikulasi yang sama, begitu juga dengan bunyi apiko dental plosif bersuara [t]


(35)

akan selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n] merupakan bentuk yang unik dan tidak lazim karena kedua bunyi ini tidak berada satu daerah titik artikulasi.

Bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] selalu bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h] merupakan bentuk yang unik dan tidak lazim karena kedua bunyi ini berada di daerah artikulasi yang tidak sama, sedangkan bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal [n], bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n], bunyi lamino alveolar tril bersuara [r] selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l] merupakan bentuk yang lazim karena bunyi [l], [n], [s], [r] masih berada di daerah artikulasai yang sama yaitu sama-sama berada di daerah artikulasi aveolar.

Bunyi lamino palatal afrikatif bersuara [j] selalu bertukar menjadi bunyi lamino alveolar nasal [n] dan bunyi lamino palatal semi vokal bersuara [y] selalu bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h] merupakan bentuk yang unik dan tidak lazim karena bunyi tersebut tidak berada pada satu daerah artikulasi.

Bunyi dorso velar plosif tidak bersuara [k] akan selalu bertukar menjadi bunyi dorso velar nasal bersuara [ᵑ] karena kedua bunyi konsonan tersebut masih satu daerah artikulasi yaitu sama-sama berada pada daerah artikulasi dorso velar, sedangkan untuk bunyi dorso velar plosif bersuara [g] selalu bertukar menjadi bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h] merupakan bentuk yang unik dan tidak lazim kerana kedua bunyi tersebut tidak berada satu daerah artikulasi.


(36)

4.2.2 Bunyi Ujaran yang Selalu Lesap dalam Ujaran Penderita Stroke 4.2.2.1 Bunyi Bilabial Nasal [m]

Bunyi ujaran penderita yang selau dilesapkan pada waktu berujar adalah bunyi bilabial nasal bersuara [m]. Contohnya pada data (1). [enam] menjadi [ena] bunyi konsonan bilabial nasal [m] hilang di akhir kata, pada data (27). [belum] menjadi [mee..luu] bunyi konsonan bilabial nasal [m] hilang di akhir kata. Bunyi bilabial nasal [m] tidak lesap di awal kata dan di tengah kata.

4.2.2.2 Bunyi Apiko Dental Plosif [t]

Bunyi ujaran yang selau dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi apiko dental plosif tidak bersuara [t]. Contohnya pada data (3). [tahun] menjadi [aa..uun] bunyi konsonan apiko dental plosif tidak bersuara [t] hilang di awal kata, pada data (5). [intan] menjadi [iii..na] bunyi konsonan apiko dental plosif tidak bersuara [t] hilang di tengah, pada data (6). [putih] menjadi [mu..iii] bunyi konsonan apiko dental plosif tidak bersuara [t] hilang di tengah, pada data (23). [putri] menjadi [muu..lii] bunyi konsonan apiko dental plosif tidak bersuara [t] hilang di tengah.

4.2.2.3 Bunyi Lamino Alveolar [s], [l], [r], [n]

Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s]. Contohnya pada data (22). [sudah] menjadi [uu..naa] bunyi konsonan lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] hilang di awal kata, pada data (25). [sepuluh] menjadi [emuu..luu] bunyi konsonan lamino alveolar frikatif tidak bersuara [s] hilang di awal kata.


(37)

Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi lamino alveolar lateral bersuara [l]. Contohnya pada data (1). [puluh] menjadi [mui] bunyi konsonan lamino alveolar lateral bersuara [l] hilang di tengah, pada data (15). [Allah] menjadi [ala] bunyi konsonan lamino alveolar lateral bersuara [l] hilang di tengah.

Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi lamino alveolar tril bersuara [r]. Contohnya pada data (9). [hampir] menjadi [hammi] bunyi konsonan lamino alveolar tril bersuara [r] hilang di akhir. Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi lamino alveolar nasal bersuara [n]. Contohnya pada data (2). [nasi] menjadi [a..sii] bunyi konsonan lamino alveolar nasal bersuara [n] hilang di awal kata, pada data (5). [intan] menjadi [iii..na] bunyi konsonan lamino alveolar nasal [n] hilang di akhir kata, pada data (19). [berjualan] menjadi [menuala] bunyi konsonan lamino alveolar nasal [n] hilang di akhir kata.

4.2.2.4 Bunyi Lamino Palatal [j], [y]

Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi lamino palatal afrikatif bersuara [j]. Contohnya pada data (19). [berjualan] menjadi [menuala] bunyi konsonan afrikatif bersuara [j] hilang di tengah kata. Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi lamino palatal semi vokal bersuara [y]. Contohnya pada data (15). [insya] menjadi [inna] bunyi konsonan lamino palatal semi vokal bersuara [y] hilang di tengah kata.


(38)

4.2.2.5 Bunyi Dorso Velar [k], [g], [ᵑ].

Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi dorso velar plosif tidak bersuara [k]. Contohnya pada data (10). [anak] menjadi [ana] bunyi konsonan dorso velar plosif tidak bersuara [k] hilang di akhir kata, pada data (14). [bungkus] menjadi [mu

us] bunyi konsonan dorso velar plosif tidak bersuara [k] hilang di tengah kata, pada data (28). [bapak] menjadi [maa..maa] bunyi konsonan dorso velar plosif tidak bersuara [k] hilang di akhir kata.

Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi dorso velar plosif bersuara [g]. Contohnya pada data (24). [tiga] menjadi [hiaa] bunyi konsonan dorso velar plosif bersuara [g] hilang di tengah kata. Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi dorso velar nasal bersuara [ᵑ]. Contohnya pada data (21). [ngaisah] menjadi [aa..iina] bunyi dorso velar nasal bersuara [ᵑ] hilang di awal kata.

4.2.2.6 Bunyi Faringal [h]

Bunyi ujaran yang selalu dilesapkan penderita pada waktu berujar adalah bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h]. Contohnya pada data (1). [puluh] menjadi [mui] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di akhir kata, pada data (3). [tahun] menjadi [aa..un] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di tengah kata, pada data (6). [putih] menjadi [mu..ii] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di akhir kata, pada data (9). [tujuh] menjadi [nuju] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h]


(39)

hilang di akhir kata, pada data (9). [tahun] menjadi [naun] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di tengah kata.

Pada data (11). [hari] menjadi [ani] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di awal kata, pada data (15). [Allah] menjadi [ala] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di akhir kata, pada data (20). [payah] menjadi [maya] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di akhir kata, pada data (21). [ngaisah] menjadi [aa..iina] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di akhir kata, pada data (22). [sudah] menjadi [uuu..naa] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di akhir kata, pada data (25). [sepuluh] menjadi [emuu..luu] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di akhir kata. Pada data (25). [hari] menjadi [alii] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] hilang di awal kata. 4.2.3 Bunyi yang selalu Bertambah dalam Ujaran Penderita Stroke 4.2.3.1 Bunyi Faringal Afrikatif [h]

Bunyi yang selalu mengalami penambahan dalam ujaran penderita pada waktu berujar adalah bunyi faringal afrikatif tidak bersuara [h]. Contohnya pada data (30). [empat] menjadi [hemmaat] bunyi konsonan faringal afrikatif tidak bersuara [h] mengalami penambahan di awal kata.

4.2.4 Bunyi yang Selalu Salah Urut (Metatesis) dalam Ujaran Penderita Stroke

Bunyi ujaran mengalami gangguan metatesis (salah urut bunyi ujaran) adalah pada data (10). [anak saya] menjadi [ana..nasa].


(40)

Dari tanya jawab di atas diperoleh juga gangguan berbahasa yang sering terganggu dalam ujaran penderita stroke yakni pelesapan bunyi ujaran, gangguan penambahan bunyi ujaran, gangguan metatetis (salah urut bunyi ujaran) dan yang paling sering muncul gangguan berbahasa dari tiga penderita adalah gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran) dan pelesapan bunyi ujaran.

Jelas bahwa, bunyi ujaran yang dihasilkan penderita stroke berbeda dengan bunyi ujaran yang dihasilkan manusia normal. Bunyi ujaran yang di hasilkan penderita stroke tidak jelas dan terputus-putus, tidak hanya itu penderita juga mengalami kesulitan luar biasa dalam mengujarkan bunyi bahasa. Jika bunyi ujaran penderita stroke dibandingkan dengan manusia normal tentu lebih jelas dan lebih baik. Bunyi yang diujarkan manusia normal tidak mengalami kendala sedikitpun. Hal ini, terjadi karena syaraf-syaraf yang membawahi bahasa tidak mengalami gangguan.

Otak mempunyai peranan yang paling utama dalam diri manusia, tanpa otak tentu manusia tidak akan mampu menjalani hidup dengan normal. Oleh karena itu, kita harus menjaga otak dengan sebaik mungkin.


(41)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Bunyi ujaran yang dihasilkan penderita stroke terkesan tidak jelas dan terputus-putus. Menurut Blumstein ada empat secara umum gangguan bunyi ujaran yang sering muncul dalam ujaran penderita stroke yaitu gangguan subtitusi (pertukaran bunyi ujaran), pelesapan bunyi ujaran, penambahan bunyi ujaran, dan gangguan berbahasa metatetis (salah urut bunyi ujaran). Ujaran penderita secara keseluruhan mengalami gangguan di awal kata, di tengah kata dan juga di akhir kata. Dari ketiga informan yang diteliti gangguan bunyi ujaran yang sering muncul adalah gangguan berbahasa subtitusi, pelesapan bunyi ujaran , gangguan penambahan bunyi ujaran dan metatetis. Khususnya pada gangguan penambahan bunyi ujaran dan metatesis ada dijumpai tetapi sedikit ditemukan hanya satu kata saja pada data (30). [Hemmaat] dan pada data (10). [ana..nasa].

Bunyi ujaran penderita yang selalu mengalami gangguan adalah bunyi [b], [p], [m] [, [t], [d], [s], [l], [r], [n], [j], [y], [k], [g], [ᵑ], [h], sedangkan untuk bunyi ujaran [w], [z], [x], [f], [q] tidak ditemukan dalam ujaran ke tiga informan yang diteliti. Bunyi yang selalu bertukar adalah [nima], bunyi yang selalu lesap adalah [nuju], bunyi yang selalu bertambah [hemmaat], bunyi yang selalu salah urut adalah [ana nasa]. Bunyi ujaran vokal dapat diujarkan penderita dengan sangat jelas dan tidak mengalami gangguan.


(42)

5.2 Saran

Penulis menyadari bahwa skripsi yang berjudul “Gangguan Bunyi Ujaran pada Penderita Stroke (Afasia Broca) Kajian Neurolinguistik” masih banyak

kekurangan dan jauh dari sempurna. Peneliti juga mengharapkan masukan dari pembaca yang sifatnya membangun skripsi ini agar menjadi lebih baik lagi pada masa yang akan datang. Semoga Penelitian ini dapat memberikan manfaat serta menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi pembaca khususnya bagi penulis tentang gangguan berbahasa akibat gangguan pada otak sehingga mengakibatkan

stroke.

Otak manusia memiliki peranan yang paling terpenting dalam mengujarkan bunyi bahasa, berpikir serta mengontrol anggota tubuh sehingga manusia tersebut mampu berinteraksi baik dengan masyrakat yang berada di sekitarnya. Apabila otak sudah mangalami gangguan maka akan menimbulkan masalah pada ujaran dan memahami hal ini tergantung pada otak mana yang mengalami gangguan. Untuk itu, marilah kita menjaga otak kita dengan sebaik mungkin agar kita dapat menjalani aktivitas sehari-hari dengan baik.


(43)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal- hal lain (KBBI 2007:588).

2.1.1 Bahasa dan Gangguan Berbahasa

Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Chaer 2007:32).

Dengan kata lain berbahasa tidak dapat terlepas dari kegiatan manusia. Hal ini berarti tidak ada kegiatan manusia yang tidak disertai dengan bahasa. Bahasa itu hal yang sangat penting bagi manusia karena melalui bahasa manusia dapat berintekrasi dengan masyarakat sekitarnya. Jadi, manusia menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi utama dalam hidup ini. Dengan kata lain bahasa merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan dan bekerjasama yang memungkinkan terjadinya interaksi sosial.

Manusia yang mengalami gangguan berbahasa akan mengalami gangguan interaksi pada masyarakat sekitarnya, hal ini terjadi akibat adanya gangguan pada hemisfer kiri otak yang membawahi produksi ujaran. Adapun gangguan berbahasa dalam penelitian ini adalah Gangguan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Penderita Stroke (Afasia Broca) kajian Neurolinguistik.


(44)

2.1.2 Afasia Broca akibat Stroke

Stroke adalah gangguan fungsi syaraf otak yang terjadi mendadak akibat pasokan darah ke suatu bagian otak sehingga peredaran darah ke otak terganggu. Kurangnya aliran darah dan oksigen menyebabkan serangkaian reaksi biokimia, yang dapat merusak dan mematikan sel-sel syaraf di otak sehingga menyebabkan kelumpuhan anggota gerak, gangguan berbicara, dan penurunan kesadaran.

Stroke terjadi kalau sebuah arteri (pembuluh darah) ke otak pecah atau tersumbat oleh klot (gumpalan darah kecil), jika arteri pecah atau tersumbat di hemisfer kiri otak atau letak pusat bahasa itu terdapat, si penderita akan kehilangan bahasa. Tidak hanya itu, akibat stroke penderita tidak hanya kehilangan bahasa bahkan penderita mengalami kelumpuhan badan sebelah kanannya atau Hemiplegia kanan. Hal ini terjadi karena bahasa dan badan sebelah kanan dikontrol oleh korteks sebelah kiri otak. Jadi, kalau korteks sebelah kiri otak rusak, maka bahasa dan badan kanan akan rusak sehingga mengakibatkan kelumpuhan (Simanjuntak 2009:257).

Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, maka ditemukan bahwa stroke

pada penderita Afasia Broca yang menjadi data penelitian ini dapat disebabkan beberapa faktor, yaitu (1) individu mengalami masalah di bagian organ jantung, (2). individu mengidap penyakit darah tinggi atau hipertensi, (3) merokok, (4) kolestrol darah yang tinggi, dan (5) stress. Faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah di otak, sehingga menyebabkan kematian sel-sel di otak dan tidak berfungsinya syaraf yang membawahi kemampuan berbahasa penderita. Gejala yang ditimbulkan adalah kesulitan dalam


(45)

mengucapkan bunyi-bunyi bahasa yang lancar. Gangguan di Medan Broca ini juga menyebabkan tidak berfungsinya syaraf-syaraf yang mengawal otot muka, lidah, dagu, dan tekak (Simanjuntak 2009:260).

Afasia pada umumnya disebabkan oleh stroke, yang melibatkan korteks hemisfer kiri otak manusia. Ada berbagai macam afasia, tergantung daerah mana hemisfer otak manusia yang terganggu. Berikut ini adalah beberapa macam penyakit afasia yang umum ditemukan (Kaplan 1994:1035 dalam Dardjowidjojo 2005:214) yaitu Afasia Broca, Afasia Wernicke, Afasia Global, Afasia Konduksi.

Afasia Broca adalah gangguan produksi ujaran yang terjadi pada bagian depan pada hemisfer kiri otak. Penderita afasia ini tidak mampu mengucapkan bunyi ujaran dengan baik. Penderita Afasia Broca dapat memahami bahasa yang didengarnya, karena Medan Wernicke yang membawahi pemahaman tidak terganggu.

Sebaliknya, Afasia Wernike adalah gangguan pemahaman akibat terjadi gangguan pada hemisfer kiri otak bagian belakang. Penderita afasia ini mampu mengujarkan kalimat dan bunyi-bunyi bahasa dengan baik, tetapi penderita Afasia Wernicke tidak dapat memahami kata-kata yang didengarnya. Penderita Afasia Wernicke mengujarkan kalimat biasanya tidak mengandung arti atau tidak mengandung informasi. Jadi, apabila terjadi kerusakan pada Medan Broca maka penderita tidak mampu memproduksi ujaran dengan baik, sedangkan apabila terjadi kerusakan pada Medan Wernicke maka penderita tidak dapat memahami ujaran-ujaran yang didengarnya.


(46)

Perubahan- perubahan linguistik yang terjadi pada Afasia Broca dapat dikategorikan sebagai berikut (Simanjuntak 2009:244).

1. Secara karakteristik, Afasia Broca menerbitkan sedikit ucapan, yang diterbitkan secara lambat, dengan usaha yang keras, dan artikulasi yang buruk. 2. Ucapan-ucapanya abnormal, karena penderita tidak dapat menerbitkan kalimat

yang betul: pada umumnya kata-kata bentuk gramatis dihilangkan.

3. Penderita tidak dapat mengulangi kalimat yang betul yang diujarkan penguji. 4. Kadang-kadang penderita menunjukkan kemampuan yang mencengangkan

untuk menemukan kata-kata, misalnya waktu ditanya mengenai keadaan cuaca, penderita mengucapkan “cuaca”, waktu penderita didorong mengucapkan kalimat, penderita mungkin mengatakan “mendung”.

5. Penderita pada umumnya menunjukkan kerusakan yang sama dalam tulisan-tulisannya.

6. Penderita mungkin memahami bahasa ucapan dan bahasa tulisan secara normal.

7. Penderita mungkin mempertahankan kemampuan musiknya, penderita menyanyikan sebuah melodi dengan betul, bahkan dengan elegan.

8. Penderita memproduksi kata-kata subtantif tunggal dengan usaha yang kuat dan artikulasi yang buruk.


(47)

2.2 Landasan Teori

Teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan yang didukung oleh data dan argumentasi (Alwi 2005:117).

2.2.1 Gangguan Berbahasa Secara Umum

Dalam membicarakan gangguan berbahasa, Blumstein (dalam Gustianingsih 2009:55) menyatakan bahwa gangguan berbahasa terbagi menjadi gangguan berbahasa Broca, gangguan berbahasa Konduksi dan gangguan berbahasa Wernicke.

Blumstein (dalam Gustianingsih 2009:55) mengelompokkan gangguan berbahasa yang dihasilkan para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni gangguan berbahasa subtitusi atau pertukaran bunyi ujaran, pelesapan bunyi ujaran, penambahan bunyi ujaran, dan metatesis (salah urut bunyi ujaran).

2.2.2 Neurolingustik

Kata’ neurolinguistik’ adalah gabungan dari dua kata yaitu ‘neurologi’ dan linguistik. Pada dasarnya neurologi mengkaji proses-proses yang berlaku pada syaraf otak ketika berbahasa dan berfikir, sedangkan linguistik mengkaji struktur bahasa dan bagaimana struktur itu lahir dan berkembang. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian neurolinguistik adalah ilmu yang mengkaji syaraf-syaraf pada otak manusia.

Menurut Luria (dalam Simanjuntak 2009:189) tugas utama neurolinguistik adalah untuk menerapkan data-data klinis penyakit bertutur (Afasia) serta memaparkan mekanisme fisiologi dan neurofisisologi yang mendasari penyakit


(48)

bertutur itu, agar dapat merumuskan sebuah pandangan yang menyeluruh mengenai patologi bahasa dan ucapan. Seperti yang telah dikemukakan di atas pada tahun 1861 Paul Broca memulai pengkajian hubungan afasia dengan otak. Paul Brocalah pertama kali membuktikan bahwa afasia muncul karena ada gangguan bagian otak tertentu, beliau juga menunjukkan bahwa gangguan terjadi di hemisfer kiri otak. Dari penemuan ini Broca menegaskan bahwa gangguan bagian korteks tertentu menimbulkan tipe kerusakan ucapan tertentu (Simanjuntak 2009:242).

Dalam ilmu neurolinguistik dijelaskan pada umumnya penderita afasia broca kehilangan kemampuan memproduksi atau mengujarkan bahasa. Penderita hanya bisa mengujarkan sebuah kata sewaktu-waktu dan dia mengeluarkan tenaga sangat kuat untuk mengujarkan kalimat-kalimat yang agak panjang Simanjuntak (dalam Rajagukguk 2008:28).

2.2.3 Fonologi

Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya. Fonologi adalah bagian ilmu linguistik atau bidang ilmu bahasa yang menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi berasal dari gabungan dua kata Yunani yaitu phone yang berarti bunyi dan logos yang berarti tatanan, kata, atau ilmu disebut juga tata bunyi. Bunyi yang dipelajari dalam Fonologi biasa kita sebut dengan istilah fonem. Ada dua macam bidang kajian fonologi yaitu fonetik dan fonemik.


(49)

Fonetik yaitu cabang ilmu yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik adalah bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa atau bagaimana suatu bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia. Chaer membagi tiga macam fonetik yaitu: a). Fonetik Artikulatorisatau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.

b) . Fonetik Akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.

c). Fonetik Auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.

Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan dengan bidang kedokteran. Sedangkan pengertian fonemik adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Bunyi ujaran itu terdiri atas bunyi vokal dan konsonan.

2.2.4 Bunyi Vokal Bahasa Indonesia

Bunyi vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan melibatkan pita suara tanpa penyempitan atau penutupan pada tempat artikulasi (verhaar 2008:33).


(50)

Dengan demikian semua vokal adalah bunyi bersuara. Ada enam bunyi vokal

yaitu, [a, i, u, o, e,

] . Diagram Vokal

Depan Tengah Belakang

Tinggi

i

u

Sedang

e

o

Rendah

Berdasarkan diagram di atas dilihat dari tinggi rendahnya lidah ketika bunyi tersebut diucapkan, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu:


(51)

a. Bunyi tinggi, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi mendakati langit-langit keras. Caranya rahang bawah merapat dengan rahang atas. Misalnya,[i] pada [kita], [u] pada [hantu].

b. Bunyi agak tinggi (sedang), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah meninggi, sehingga agak mendekati langit-langit keras. Caranya, rahang bawah agak merapat ke rahang atas. Misalnya, [e] pada kata [lele], [o] pada [soto]. c. Bunyi rendah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi lidah merendah sehingga menjauh dari langit-langit keras. Caranya, rahang bawah diturunkan sejauh- jauhnya dari rahang atas. Misalnya, [a] pada [bata], [a] pada [armada].

Dilihat dari maju mundurnya lidah, bunyi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:

a. Bunyi depan, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian depan lidah ntuk dinaikkan. Misalnya, [i], [e]

b. Bunyi tengah, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara lidah merata tidak ada bagian lidah yang dinaikkan. Misalnya, [

]

, [a].

c. Bunyi belakang, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara bagian belakang lidah dinaikkan. Misalnya, [u], [o].

Dilihat dari bentuk bibir, bunyi dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu: a. Bunyi bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir berbentuk bulat. Misalnya, [u], [o].

b. Bunyi tidak bulat, yaitu bunyi yang dihasilkan dengan cara posisi bibir merata atau tidak bulat. Misalnya, [i], [e], [a].


(52)

Bunyi konsonan adalah bunyi ujaran akibat adanya udara yang keluar dari paru-paru mendapatkan hambatan atau halangan. Jumlah bunyi konsonan ada dua puluh satu yaitu [ b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, z ]. Diagram Konsonan Daerah artikulasi Cara artikulasi Bila bial La bio den tal Apiko dental Lamino alveolar Lamino palatal Dorso velar

faringal Glo- tal

Plosif tb b p b t d k g ?

Afrikatif tb b

c j

h

Frikatif tb b f v s z x

Lateral b

l

Tril b

r

Nasal b b

m n

Semivokal b b

w y


(53)

Berdasarkan daerah artikulasinya bunyi konsonan meliputi:

a. Bunyi Bilabial adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir (labium) bawah dan bibir (labium) atas. Caranya, bibir bawah menyentuh bibir atas.

b. Bunyi labio dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan bibir bawah (labium) dan gigi (dentum) atas. Caranya, bibir bawah menyentuh gigi atas. c. Bunyi apiko dental adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah

(apeks) dan gigi (dentum) atas. Caranya, ujung lidah sebagai artikulator menyentuh gigi atas (titik artikulasi).

d. Bunyi Lamino alveolar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan ujung lidah (apeks) dan gusi (alveolum) atas. Caranya, ujung lidang sebagai titik artikulasi menyentuh gusi atas.

e. Bunyi lamino palatal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (lamina) dan langit-langit keras (palatum). Caranya, tengah lidah sebagai artikulator menyentuh langit-langit keras.

f. Bunyi dorso velar adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan anak tekak (uvula). Caranya, pangkal lidah sebagai artikulator menyentuh anak tekak.

g. Bunyi faringal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan pangkal lidah (dorsum) dan langit-langit lunak (velum). Caranya, pangkal lidah sebagai artikulator menyentuh langit-langit lunak.

h. Bunyi glotal adalah bunyi yang dihasilkan oleh keterlibatan lubang atau celah (glotis). Caranya, pita suara merapat sedemikian rupa sehingga menutup glotis. Menurut Chaer (1994:118) cara artikulasi bunyi konsonan meliputi:


(54)

a. Bunyi plosif (hambat atau letupan) adalah artikulator menutup sepenuhnya aliran udara sehingga udara terhambat di tempat penutupan tersebut. Kemudian penutupan itu dibuka secara tiba-tiba sehingga menyebabkan letupan, yang termasuk konsonan letupan antara lain bunyi [p, b, t, d, k, g].

b. Bunyi afrikatif (paduan) adalah artikulator aktif menghambat sepenuhnya aliran udara lalu membentuk celah sempit dengan artikulator pasif. Contoh bunyi konsonan afrikatif yaitu [c, j, h].

c. Bunyi frikatif (geseran) adalah artikulator aktif mendekati artikulator pasif, dengan membentuk celah sempit sehingga udara yang lewat mendapat gangguan di celah tersebut . Contoh bunyi konsonan frikatif (geseran) yaitu bunyi [f], [s], [z].

d. Bunyi lateral (sampingan) adalah artikulator aktif menghambat aliran udara pada bagian tengah mulut lalu membiarkan udara keluar melalui samping lidah. Contoh bunyi lateral yaitu [l].

e. Bunyi tril (getaran) adalah artikulator aktif melakukan kontak beruntun dengan artikulator pasif sehingga getaran bunyi terjadi secara berulang-ulang. Contoh bunyi tril yaitu [r].

f. Bunyi nasal (sengauan) adalah artikulator menghambat sepenuhnya aliran udara melalui mulut, tetapi membiarkannya keluar melalui rongga hidung dengan bebas. Contoh bunyi nasal yaitu [m], [n], [ᵑ].

g. Bunyi semi vokal (hampiran atau aproksiman) adalah artikulator aktif dan pasif membentuk ruang yang mendekati posisi terbuka seperti dalam pembentukan vokal. Contoh bunyi semi vokal yaitu [w] dan [y].


(55)

Fonologi merupakan bagian dari linguistik yang mengkaji bunyi. Gangguan berbahasa juga dapat dianalisis dengan kajian fonologi, analisis gangguan berbahasa dapat dikaji dari segi bunyi yang dihasilkan seorang yang mengalami gangguan berbahasa akibat stroke.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan adalah hasil, pandangan, pendapat sesudah menyelidiki atau mempelajari atau mempelajari. Pustaka adalah kitab, buku, buku primbon (KBBI 2007:912). Berdasarkan tinjauan pustaka yang dilakukan, maka ada sejumlah sumber yang relevan untuk dikaji dalam melakukan penelitian ini. Adapun sumber tersebut antara lain:

Nasution (1995), dalam skripsinya yang berjudul “Hubungan Neurolingustik dengan Psikolinguistik Terhadap Gangguan Komunikasi Bahasa Indonesia,” ia mengemukakan bagaimana cara berkomunikasi antara remaja tunarungu dengan masyarakat yang alat komunikasinya normal.

Yeni (2004), dalam skripsinya yang berjudul “Interpretasi Lafal Fonem Bahasa Indonesia Penderita Bibir Sumbing.” Ia menyimpulkan bahwa kendala artikulatoris adalah kendala berupa kerusakan artikulasi pada PBS sehingga tidak dapat menghasilkan bunyi- bunyi dengan baik. Kerusakan artikulator yang diderita oleh PBS adalah bibir atas (upper lip), rongga hidung (nasal cavity), langit-langit (palate), dan gigi (teeth).

Suhardiyanto (2005), dalam jurnal yang berjudul “Bagaimana Kata Disimpan? Studi terhadap Akses Leksikal pada Penderita Afasia,” menyimpulkan organisasi leksikon pada otak manusia tampaknya disusun dalam bentuk yang


(56)

sangat kompleks. Format tersebut tidak dapat dianalogikan dengan daftar kata dalam kamus. Paling tidak, susunan tersebut harus berupa jaringan kompleks yang terkait secara fonologis dan semantis.

Gusdi (2005), dalam jurnal yang berjudul “Ekpresi Verbal Penderita Stroke Penutur Bahasa Minangkabau: Suatu Analisis Neurolinguistik”, menyimpulkan tuturan penderita stroke penutur bahasa Minangkabau kelihatan tidak lancar dan selalu menggunakan kalimat-kalimat pendek, tidak mempunyai intonasi sehingga terasa datar dan banyak menggunakan kata benda saja. Meskipun fitur tersebut disusun dalam pola tertentu secara berurutan, tetapi penderita akan mengacaukannya dalam bentuk verbal yang tidak berurutan seperti metatesis. Hal itu terjadi karena tidak berfungsinya sistem pengawal motorik sehingga beberapa segmen bunyi menjadi terbalik dan saling berpengaruh.

Rajagukguk (2008), dalam skripsinya yang berjudul “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca,” menyimpulkan bahwa Kalimat Inti Bahasa Indonesia penderita Afasia Broca berbeda dengan kalimat inti bahasa Indonesia pada manusia normal. Penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan mengucapkan hanya bagian paling inti dari sebuah kalimat yang hendak diucapkan, sehingga apabila kalimat yang hendak diucapkan adalah kalimat yang lebih dari dua kata, penderita akan memilih untuk mengucapkan kata di bagian tengah kalimat yang biasanya merupakan inti dengan menghilangkan kata di bagian awal dan ahir kalimat.

Gustianingsih (2009) dalam judul disertasi “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum


(57)

Disorder”, menyimpulkan anak autistik sering melakukan penyimpangan pada awal dan ahir kata, mengidikasikan bahwa anak autistik mengalami gangguan inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autistik ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirannya tidak tuntas.

Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa penelitian tentang gangguan berbahasa pada penderita Afasia Broca sudah pernah diteliti sebelumnya. Dari pernyataan di atas jelas bahwa seseorang yang mengalami gangguan pada otaknya akan kesulitan mengeluarkan bunyi-bunyi ujaran yang akan disampaikan kepada orang lain. Sebaliknya, orang yang mendengarkan ujaran penderita Afasia Broca akan kesulitan memahami bunyi-bunyi bahasa yang diujarkan penderita.


(1)

dukungan kepada penulis dalam mengikuti perkuliahan di Departemen

Sastra Indonesia.

3.

Drs. Haris Sutan Lubis, M.SP., sebagai sekretaris Departemen Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya USU sekaligus Dosen penulis yang

telah memberikan banyak masukan selama menjadi mahasiswa di

Departemen Sastra Indonesia.

4.

Dr. Gustianingsih, M.Hum., sebagai dosen pembimbing I yang banyak

memberikan dukungan dan masukan kepada penulis serta selalu sabar

membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5.

Dra. Rosliana Lubis, M.Hum., sebagai dosen pembimbing II penulis

yang senantiasa membimbing dan memberikan masukan kepada

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6.

Dra. Yulizar Yunas, M.Hum., sebagai dosen pembimbing akademik

penulis yang telah memberikan masukan kepada penulis selama

perkuliahan.

7.

Bapak dan Ibu pengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu

Budaya USU yang senantiasa dengan tulus memberikan bimbingan

dan pengajaran selama penulis mengikuti perkuliahan.

8.

Orang yang paling istimewa dalam hidup penulis sekaligus penulis

banggakan dalam hidup penulis yaitu ayahanda dan ibunda tercinta

Ahiruddin Hasibuan dan Asmelia Nofrida Hasibuan dengan penuh

cinta dan kasih sayang mereka telah membesarkan, melindungi, dan


(2)

kepada penulis, selalu memberikan dukungan kepada penulis baik

dukungan moral maupun material. Skripsi ini penulis persembahkan

buat ayah dan ibunda tercinta.

9.

Kakak Kartika Putri yang telah banyak membantu penulis dalam

menyelesaikan segala urusan administrasi di Departemen Sastra

Indonesia.

10.

Buat adik-adik tersayang Herman Saleh, Nur Halimah, Samsidar Putri

yang selalu memberikan motivasi serta doa kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

11.

Terimakasih buat sahabat-sahabat seperjuangan stambuk 09 yang telah

memberikan dukungan kepada penulis, khususnya sahabatku yang

terkasih Reyza Fathur Rahmi, Irma Sari, Syafitriyani, Rama Wati, Dwi

Kartika Sari yang senantiasa selalu memberikan arahan, motivasi

kepada penulis. Terimakasih banyak telah menjadi sahabat yang baik

bagi penulis. Buat adik-adik stambuk ‘10, ‘11, ‘12 terimahkasih atas

dukungan dan bantuannya.

12.

Kepada abang dan kakak kos 25 C Tongku, Ade Ardian Syaputra, Ros

Meyni, Wilna Fikriyah, Elmi Meida Sari terimakasih atas segala

dukungan serta doa yang diberikan kepada penulis.

13.

Terimakasih kepada Derma Hasibuan, Hari Anum, Ngaisah selaku

informan penelitian penulis yang senantiasa membantu penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.


(3)

14.

Terimakasih kepada pemimpin Rumah Sakit Mitra Sejati Medan yang

telah memberi izin penelitian kepada penulis dalam pengumpulan data,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

Akhir kata, penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran

dari pembaca yang sifatnya membangun agar lebih baik lagi pada masa

yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat menambah wawasan dan

pengetahuan pembaca tentang Gangguan Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia

pada Penderita Stroke (Afasia Broca) Kajian Neurolinguistik.

Hormat Saya,

Nur Hasanah Hasibuan


(4)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI... i

PERNYATAAN... ii

ABSTRAK ... iii

PRAKATA ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Batasan Masalah ... 6

1.4 Tujuan dan manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.2 Manfaat Penellitian ... 7

1.4.2.1 Manfaat Teoretis ... 7

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 7

BAB II KONSEP,LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep ... 8

2.1.1 Bahasa dan Gangguan Berbahasa ... 8

2.1.2 Afasia Broca Akibat Stroke ... 9


(5)

2.2.2 Neurolinguistik ... 12

2.2.3 Fonologi ... 13

2.2.4 Bunyi Vokal Bahasa Indonesia ... 14

2.2.5 Bunyi Konsonan Bahasa Indonesia ... 16

2.3 Tinjauan Pustaka ... 20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 23

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 23

3.1.2 Waktu Penelitian ... 23

3.2 Sumber Data ... 23

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 24

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data ... 24

BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Gangguan Bunyi Ujaran yang dihasilkan Penderita Stroke ... 28

4.2 Bunyi yang Selalu Terganggu dalam Ujaran Penderita Stroke ... 44

4.2.1 Bunyi yang Selalu Bertukar dalam Ujaran Penderita Stroke ... 44


(6)

4.2.1.3 Bunyi Lamino Alveolar ... 45

4.2.1.4 Bunyi Lamino Palatal ... 46

4.2.1.5 Bunyi Dorso Velar ... 46

4.2.2 Bunyi Ujaran yang Selalu Lesap dalam Ujaran Penderita Stroke ... 48

4.2.2.1 Bunyi Bilabial [m] ... 48

4.2.2.2 Bunyi Apiko Dental Plosif [t] ... 49

4.2.2.3 Bunyi Lamino Alveolar [s], [l], [r], [n] ... 49

4.2.2.4 Bunyi Lamino Palatal [j], [y] ... 50

4.2.2.5 Bunyi Dorso Velar [k], [g], [ᵑ] ... 50

4.2.2.6 Bunyi Faringal [h] ... 51

4.2.3 Bunyi yang Selalu Bertambah dalam Ujaran Penderita Stroke... 52

4.2.3.1 Bunyi Faringal Afrikatif [h] ... 52

4.2.4 Bunyi yang Selalu Salah Urut ( Metatesis) dalam Ujaran Penderita Stroke ... 52

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 51

5.2 Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA