Tampilan Imunohistokimia Latent Membrane Protein-1 (LMP-1) Epstein-Barr Virus Pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut

18

2. Untuk melihat hasil tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga
mulut.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
mengetahui tampilan imunohistokima latent membrane protein-1 (Lmp-1) yang
dihasilkan Epstein barr virus (EBV) pada KSS rongga mulut.

1.4.2 Manfaat Praktis
1. Memberikan informasi mengenai Epstein-barr virus sebagai salah satu
karsinogen pada KSS rongga mulut.
2. Data awal untuk penelitian lanjutan tentang KSS rongga mulut.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

KSS adalah jenis kanker yang sering ditemukan pada daerah rongga mulut
yaitu sekitar 90% dari seluruh keganasan di rongga mulut.19 Faktor etiologi KSS

rongga mulut salah satunya merupakan infeksi virus seperti Epstein barr virus
(EBV).

2.1 KSS rongga mulut
KSS rongga mulut adalah suatu keganasan yang berasal dari epitel, baik yang
berasal dari mukosa pada dinding rongga mulut, organ dalam mulut atau kelenjar
saliva.19,20 Lebih dari 90% keganasan yang terjadi di rongga mulut adalah tipe
karsinoma sel skuamosa yang berasal dari permukaan epitel rongga mulut. Etiologi
KSS rongga mulut belum diketahui secara pasti, namun diketahui pemicu terjadinya

Universitas Sumatera Utara

19

KSS rongga mulut seperti faktor bahan kimia, agen fisik dan agen biologik, salah
satu agen biologik adalah virus yang disebut onkogen virus. Terjadinya KSS rongga
mulut disebabkan banyak faktor (multifaktoral) atau saling kait mengait seperti
kebiasaaan buruk yang dikaitkan dengan kebersihan mulut yang buruk. Dalam
karsinogenesis dikenal dua tahap utama yaitu tahap perintisan (initiation) dan tahap
penggalakan (promotion). Pada tahap perintisan perubahan sel karsinoma akan

terjadi secara cepat dan irreversible, serta tidak diperlukan agen penyebab
karsinogen yang banyak. Pada tahap penggalakan akan ditingkatkan respon
penghasil tumor selanjutnya. Di dalam perjalanan proses patogenesis suatu lesi
normal menjadi karsinoma membutuhkan waktu yang lama dan dimulai dari adanya
agen/bahan karsinogenik yang mengiritasi secara kronis, sehingga sel epitel
mengalami perubahan berupa proliferasi abnormal yang bersifat kualitatif dan
merupakan perubahan kearah kemunduran pada sel dewasa. Secara klinis KSS pada
stadium awal sering tidak menunjukkan gambaran yang jelas, tidak ada keluhan dan
rasa sakit, dapat diawali dengan adanya leukoplakia, eritroplakia maupun erosi. KSS
pada stadium lanjut dapat berupa plak keratosis, ulserasi, tepi lesi yang indurasi,
kemerahan.dan jika ulser yang tidak sembuh dalam waktu 14 hari harus dicurigai
sebagai awal keganasan.5,21,22

2.1.1 Gambaran Histopatologi Sel Skuamosa Rongga mulut
Tabel 1. Klasifikasi WHO tumor pada kavitas rongga mulut.21

Malignant epitheal tumours.
Squamous cell carcinoma

Kode

8070/3

Verrucous carcinoma

8051/3

Basaloid squamous cell carcinoma

8083/3

Papilarry squamous cell carcinoma

8052/3

Spindle cell carcinoma

8074/3

Acantholytic squamous cell carcinoma


8075/3

Adenosquamous carcinoma

8560/3

Universitas Sumatera Utara

20

Carcinoma cuniculatum

8051/3

Lymphoepiteal carcinoma

8082/3

Kode morfologi yang berasal dari International Classification of Diseases for
Oncology (ICD-O) (821) dan Systematized Nomenclature of medicine jenisnya diberi

kode /0 untuk tumor jinak, /3 untuk tumor ganas, dan /1 untuk kasus borderline 21
Gambaran histopatologi KSS rongga mulut secara umum tidak berbeda
dengan KSS kulit maupun organ tubuh lainnya. Ada beberapa KSS rongga mulut
yang berdiferensiasi baik, menyerupai epitel skuamous berlapis yang normal dan
menghasilkan keratin, namun pada beberapa kasus terjadi diferensiasi yang buruk.5
Berdasarkan derajat diferensiasinya, KSS rongga mulut dapat dibagi atas
diferensiasi baik, sedang dan buruk. Gambaran KSS yang berdiferensiasi baik adalah
mengandung sel berkeratin, pertumbuhan sejumlah epitel, atau gambaran keratin
seperti tanduk mutiara (pearl horn formation) dengan ukuran yang bervariasi,
pertumbuhannya lambat dan tidak cepat bermetastasis, dan mempunyai prognosa
yang baik. Pada lesi tipikal, kelompok sel ganas ini dapat dijumpai secara aktif
menginvasi jaringan konektif dengan bentuk yang tidak teratur (Gambar 1).5,22

A

B

Gambar 1. Gambaran histopatologi KSS
berdiferensiasi baik dengan
pewarnaan Hematoksilin Eosin

(HE) A. Inti sel,

Universitas Sumatera Utara

21

B. Mutiara keratin 5

Bentuk karakteristik dari sel dengan diferensiasi sedang, berbeda dari satu
dengan yang lainnya, tersusun secara tipikal, sehingga epitel skuamosa juga kurang
jelas. Laju pertumbuhan sel individu lebih cepat, mitosis yang lebih besar, dan
bahkan lebih bervariasi dalam ukuran bentuk (Gambar 2).4,22

A

Gambar 2. Gambaran histopatologi KSS
berdifferensiasi sedang dengan
pewarnaa HE. A. Inti sel 21

Gambaran KSS dengan berdiferensiasi buruk menghasilkan sedikit petunjuk

sel-sel sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sel-sel ini
bahkan menunjukkan kurangnya daya kohesif yang sangat tidak teratur, adanya
anaplasia, pembentukan sel tumor raksasa dan sejumlah mitosis, serta tidak ada
pembentukan keratin (Gambar 3).5,22

Universitas Sumatera Utara

22

A

Gambar 3. Gambaran Histopatologi KSS
berdiferensiasi buruk dengan
pewarnaan HE. A. Inti sel. 21

2.1.2 Etiologi
Faktor penyebab KSS rongga mulut diduga ada tiga faktor utama yaitu faktor
lokal, faktor sistemik dan faktor co-carcinogen.
Faktor lokal seperti (A) Kebiasaan merokok dan minum alkohol. Asap rokok
mengandung bahan karsinogen (nitrosamine) dan alkohol menyebabkan rasa panas

yang mempengaruhi selaput lendir mulut. Terjadinya rangsangan menahun
menyebabkan

kerusakan

jaringan

berulang-ulang

sehingga

mengganggu

keseimbangan sel dan terjadinya displasia. (B) iritasi kronis, umumnya juga dapat
menyebabkan kanker, seperti trauma mekanis dari gigitiruan yang tidak pas,
tambalan yang pecah, kebersihan mulut yang buruk, restorasi yang tidak tepat dan
tepi-tepi gigi yang tajam.5 (C) Sinar Ultraviolet (UV), sinar matahari (radiasi UV)
seringkali dianggap sebagai faktor penting,

karena bibir bawah biasanya lebih


protrusi daripada bibir atas sehingga lebih mudah berkontak dengan radiasi. (D)
Infeksi virus dan jamur, infeksi virus dan jamur yang tidak sembuh-sembuh
meskipun sudah diobati juga dapat menyebabkan kanker. Jika hal ini terus-menerus
berlanjut dan dalam jangka waktu yang lama maka akan dapat memicu terjadinya
karsinoma. Beberapa virus penyebab KSS antara lain, EBV, Herpes simplex virus
(HSV) dan Human papiloma virus (HPV). Virus yang ikut bertanggung jawab

Universitas Sumatera Utara

23

terhadap karsinogenesis pada manusia termasuk EBV. (E) Debu industri, beberapa
penelitian menyatakan bahwa kanker terjadi berhubungan dengan beberapa jenis
pekerjaan dan adanya pemaparan. Seseorang yang bekerja pada industri logam berat,
tekstil dan industri elektronik yang terkena paparan debu-debu dari kayu, memiliki
resiko terkena kanker lebih tinggi.5
Faktor sistemik seperti defisensi zat besi, syphilis, dan kekurangan vitamin A.
Faktor co-karsinogen adalah bahan kimia yang belum tentu menyebabkan
kanker pada mereka sendiri, tapi mempromosikan kegiatan karsinogen lainnya dalam

menyebabkan kanker atau membantu karsinogen menimbulkan kanker lebih efektif
seperti usia, jenis kelamin, nutrisi imunologi dan genetik.5,7,11,23 Diatas telah
dikatakan virus merupakan salah satu etiologi terjadinya KSS rongga mulut, oleh
karena itu di bawah ini akan dibahas EBV sebagai salah satu virus yang diduga
menyebabkan KSS rongga mulut.

2.2 Epstein-barr virus (EBV)
EBV merupakan Gamma Herpes Virus yang ditemukan pada tahun 1964 oleh
Micheal Epstein dan Yvonne Barr. EBV tersebar di seluruh dunia dan menginfeksi
sebanyak 90% orang dewasa.1,13,24 Dalam klasifikasinya, EBV termasuk dalam grup
1 (dsDNA), famili herpesvirus, genus lymphocryptovirus dan spesies humanherpesvirus 4 (HHV-4).13

Universitas Sumatera Utara

24

Gambar 4. Dua virions Epstein-barr virus 13

Virus EBV ditransmisi melalui kontak terhadap saliva, infeksi primer terjadi
pada anak-anak berupa infeksi laten dari limfosit-B. EBV merupakan virus yang

dibungkus oleh double stranded genom Deoxyribonucleic acid (DNA) yang
mengkode delapan puluh lima gen. EBV mengubah pertumbuhan limfosit-B, yang
dihasilkan pada transformasi pertumbuhan permanen dari regulasi tampilan di gen
viral yang multipel. Gen tersebut terdiri dari tiga protein membran yang integral
berupa latent membran protein-1 (Lmp-1), EBV nuclear antigen (EBNA-1) dan EBV
RNA (EBER). Gen hasil interaksi dihubungkan dengan adanya homolog pada
molekul antiapoptosis yang bervariasi, sitokinesis, promotor infeksi EBV,
immortalisasi dan transformasi.5,18

2.2.1 Gejala klinis infeksi EBV
Sama seperti virus herpes lainnya, EBV juga tinggal di dalam tubuh manusia
untuk bertahan hidup. Pada beberapa kasus, EBV bisa menjadi reaktif apabila
pertahanan tubuh melemah dan dapat menyebabkan beberapa orang terinfeksi virus
ini dua kali bahkan juga kambuhan. EBV dapat menimbulkan berbagai macam gejala
tergantung dari kekuatan virus dan beberapa faktor lainnya seperti kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang virus ini. Pada anak yang berumur kurang dari lima
tahun, biasanya infeksi tidak menimbulkan gejala, sebaliknya pada orang dewasa dan
remaja mungkin terlihat atau mungkin juga tanpa menimbulkan gejala. Periode
inkubasi infeksi ini berkisar antara 30 sampai 50 hari. Ada beberapa gejala yang
timbul karena infeksi EBV, yaitu pembengkakan kelenjar di leher, ketiak atau
selangkangan, demam yang dimulai dari sedang sampai parah, kelelahan yang
terkadang sangat ekstrim, luka dan nyeri pada tenggorokan, menyerupai tonsilitis.
Gejala lain yang sering ditemukan pada beberapa pasien adalah pelebaran tonsil,
sakit kepala, nyeri pada otot dan di bagian perut, nafsu makan berkurang, terdapat
ruam pada kulit. Tidak semua dari gejala tersebut dirasakan oleh penderita, biasanya
infeksi dimulai dari keadaan sakit seperti umumnya. Gejala yang tidak jelas ini

Universitas Sumatera Utara

25

diikuti dengan terjadinya demam luka nyeri pada tenggorokan dan pembengkakan
pada limpa. Demam biasanya mencapai puncak pada 103 0F (sekitar 39 0C) di sore
hari atau menjelang malam.5,20,24

2.2.2 Siklus Hidup EBV
EBV dapat menginfeksi sel B, virus akan berikatan pada protein permukaan
sel complement reseptor type 2 (CR2), cluster of differentiation 21(CD21) menembus
glikoprotein 350/220 (Gp350/220) glikoprotein viral. EBV juga menginfeksi sel
epitel dan merusak CD21 melalui glikoprotein GH viral. Virus diproduksi oleh sel
epitel kemudian menginfeksi sel limfosit B dan dapat menetap dalam waktu yang
lama. Sel yang terinfeksi EBV akan menghindari apoptosis didalam lingkungannya
oleh ekspresi Lmp-1. Molekul ini bersama-sama memberi signal kehidupan yang
diperlukan, karena Lmp-1 merupakan cluster of diferentiation 40 (CD40) yang
homolog. Mekanisme ini mereduksi kehilangan dari infeksi EBV di sel B oleh
dukungan perkembangan didalam populasi sel B yang hidup lama. Setelah terjadi
infeksi primer maka EBV akan menetap secara laten dan tampilan gen EBV menjadi
terbatas. Ketika suatu reaksi terjadi, litik yang berat pada protein viral akan
ditampilkan dengan aktivasi inhibisi mekanisme imun, termasuk Interleukin 10 (IL10) homolog yang menginhibisi co-stimular antigen presenting fungsi dari monosit,
makrofag dan beberapa interferon yang mengurangi pelepasan sitokin.20

2.2.3 Patogenesis
EBV biasanya ditularkan melalui saliva yang terinfeksi dan memulai infeksi
di orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel epitel faring dan kelenjar saliva. EBV
adalah penyebab dari infeksi penyakit mononucleosis. Sel B yang terinfeksi virus
akan mensintesis imunoglobin. Mononucleosis merupakan transformasi poliklonal
sel B selama perjalanan infeksi mayoritas penderita antibodi heterofil.5 Terjadinya
karsinoma dapat berasal dari berbagai mutasi. Mutasi dapat terjadi akibat respons
terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan, seperti zat kimia,
radiasi, dan virus.1,5 Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan

Universitas Sumatera Utara

26

diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut proto-onkogen yang dapat berubah
menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker
karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel tanpa batas secara patologis.1,4
EBV sering dikaitkan dengan transformasi sel maligna, terutama melalui tindakan
dari onkoprotein Lmp-1, yang terdapat dalam virus. Tampilan Lmp-1 pada
imunodepresi dapat menginduksi transformasi onkogenik dari limfosit B dan
munculnya proses limfo-proliferatif. 15

Gambar 5. Infeksi EBV pada sel B normal 25
2.3 Latent membrane protein-1 (Lmp-1)
Lmp-1 merupakan salah satu antigen dari EBV yang ditampilkan pada fase
laten dari EBV. Lmp-1 merupakan protein membran integral dengan enam segmen
hidrofobik, mempunyai gugus COOH terminal di dalam sitoplasma. Ada empat jalur
sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari Lmp-1. Lmp-1 mempunyai kemampuan
dalam menginduksi ephiteal growth factor reseptor (EGFR) yang merupakan suatu
reseptor tyrosine kinase yang dijumpai di permukaan sel.25 Lmp-1 berhubungan
secara langsung dengan onkogenesis karena Lmp-1 mempunyai kemampuan
menginhibisi terjadinya apoptosis dan dapat meningkatkan konsentrasi Bcl 2. 26

Universitas Sumatera Utara

27

Apoptosis merupakan hal penting dalam perkembangan dan homeostasis jaringan
normal. Kegagalan apoptosis sel merupakan salah satu faktor yang mendasari
pertumbuhan sel tumor yang semakin lama semakin besar. Akibat efek mekanisme
apoptosis yang lain adalah kemungkinan terjadinya keganasan. Kegagalan apoptosis
menyebabkan akumulasi p53 yang meningkat dan menyebabkan fungsi p53 menjadi
tidak aktif. Selain itu Lmp-1 mengaktivasi jalan nucleus factor - κB (NF-κB) , lebih
jauh lagi Lmp-1 menginduksi faktor pro-angiogenik seperti vescular endothelial cell
growth factor (VEGF), fibroblast growth factor-2( FGF-2), dan cyclooxyenase-2
(COX2), yang memberi kontribusi menjadi onkogenik.27

2.3.1 Hubungan Lmp-1 dengan EBV sebagai penyebab KSS rongga
mulut.

Universitas Sumatera Utara

28

Gambar 6. Skema molekuler dasar kanker 27

Skema diatas menunjukkan proses perubahan dari sel normal sampai terjadi
metastasis, Lmp-1 pada fase diatas bekerja dalam mengaktivasi tumor supresor gen
yaitu p53, yang juga berfungsi dalam mencegah terjadinya apoptosis. Kedua fase
tersebut akan terganggu dan akan menyebabkan proliferasi berlebih tanpa adanya
apoptosis sehingga menyebabkan terjadinya metastasis (Gambar 6).27

Gambar 7. Siklus sel dan replikasi sel 27

Siklus sel terbagi atas 4 fase yaitu G 1 (presintetik), S (DNA sintesis), G 2
(premitotis), dan M (mitosis). Masing-masing fase memiliki fungsi untuk
mengaktivasi dan melengkapi fase sebelumnya, dan siklus sel akan berhenti jika
fungsinya sudah terganggu. Diantara G 1 /S terdapat checkpoint untuk memonitor
DNA sebelum replikasi dan G 2 /M untuk memonitor DNA setelah replikasi.
Checkpoint dilakukan oleh Tumor supresor gen (TSG) salah satunya gen p53 atau

Universitas Sumatera Utara

29

dikenal sebagai master guardian of the genome dan merupakan unsur utama dalam
memelihara keseimbangan genetik. Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang
salah atau kerusakan DNA kemudian menginduksi gen reparasi DNA serta
menginduksi apoptosis. p53 hanya akan berfungsi baik bila normal. Pada umumnya
defek p53 adalah point mutation, disfungsi p53 dapat terjadi akibat pengikatan p53
oleh onkogen virus seperti Lmp-1 (Gambar 7).27,28,29

Gambar 8. Skema ilustrasi p53 checkpoint 27

Pada gambar di atas menunjukkan internal kontrol (checkpoint.) Terdapat dua
checkpoint inti, satu terdapat pada masa transisi antara G 1 /S checkpoint dan G 2 /M
checkpoint yang berfungsi untuk memeriksa kerusakan DNA, jika ditemukan adanya
kerusakan, maka sirkulasi sel akan melambat, waktu ini akan digunakan untuk
memperbaiki DNA yang rusak, jika tidak dapat diperbaiki maka jalan untuk
terjadinya apoptosis akan aktif dan DNA yang rusak akan dihancurkan. Gen p53
seharusnya merangsang p21 menekan semua cyclin dependent kinase agar cyclin
tidak dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya, siklus sel
akan memberikan waktu terjadinya perbaikan DNA sehingga dapat dihindari
terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak terhenti

Universitas Sumatera Utara

30

untuk melakukan perbaikan DNA kerena terjadi mutasi pada gen p53 maka p21 yang
seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan (Gambar 8) .27,28

Gambar 9. Peran p53 pada sel normal dan sel yang mengalami mutasi 27

Fungsi apoptosis akan terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu
apoptosis p53. Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan sel menjadi immortal.
Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang tergantung
p53. Selanjutnya tidak terjadi perhentian siklus sel dan mutasi akan terus terbentuk
(berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.27
2.4 Pewarnaan imunohistokimia
Imunohistokimia merupakan proses untuk mendeteksi antigen (protein,
karbohidrat, dsb.) pada sel dari jaringan, dengan prinsip reaksi antibodi yang
berikatan terhadap antigen pada jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari nama
“immune” yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah

Universitas Sumatera Utara

31

penggunaan antibodi dan “histo” menunjukkan jaringan secara mikroskopis.
Imunohistokimia seringkali digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi
karakteristik dari even seluler seperti proses proliferasi sel, apoptosis sel.
Imunohistokimia juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka
mengetahui distribusi dan lokasi biomarker ataupun protein tertampil pada berbagai
macam jaringan pada tubuh.30 Untuk memvisualisasikan hasil interaksi antara antigen
dan antibodi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana cara yang paling sering
digunakan ialah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase. Untuk
mempelajari morfologi sel, sel dalam jaringan difiksasi kemudian dilokalisasi
diantara sel dan divisualisasikan dengan mikroskop elektron atau mikroskop
cahaya.16
Secara garis besar, untuk metode imunohistokimia, dapat dilakukan dengan
metode direct (Gambar 10) yaitu menggunakan antibodi primer yang sudah terlabel
dan berikatan langsung dengan antigen target secara langsung, maupun indirect
(Gambar 11) yaitu menggunakan antibodi primer yang tidak ada labelnya, namun
digunakan juga antibodi sekunder yang sudah memiliki label dan akan bereaksi
dengan antibodi primer dimana keduanya ditentukan oleh prinsip reaksi antibodi
yang digunakan, yakni:

Gambar 10. Metode imunohistokimia direct 16

Universitas Sumatera Utara

32

Gambar 11. Metode imunohistokimia indirect 16

Universitas Sumatera Utara

33

2.5 Kerangka Konseptional
Epstein-Barr virus (EBV)
EBNA

EBER

Lmp-1

Sel Epitel rongga mulut
Proliferasi sel (+)
Apoptosis (-)
Mutasi gen
Karsinoma rongga mulut
Ket :

Pewarnaan imunohistokimia

variabel yang tidak
diteliti

Berikatan dengan protein sel kanker
Antibodi primer (Lmp-1)

(first layer)

Berikatan
Antibodi sekunder ( HRP)

Berikatan dengan H202

DAB (Diaminobenzidine)

Tidak menampilkan
warna coklat

Menampilkan warna
- coklat lemah
- coklat sedang
- coklat kuat

Universitas Sumatera Utara