Tampilan Imunohistokimia Latent Membrane Protein-1 (LMP-1) Epstein-Barr Virus Pada Karsinoma Sel Skuamosa Rongga Mulut

(1)

Alur Pikir

1. Lesi pada rongga mulut merupakan suatu reaksi akibat iritasi kronis yang secara mikroskopis dijumpai perubahan sel berupa metaplasia dan displasia. Keadaan ini masih bersifat reversible dan iritasi kronis dihilangkan maka sel ini dapat kembali ke bentuk normal tapi pada keadaan iritasi yang terus-menerus, Sel displasia dapat mengalami perubahan menjadi sel anaplasia yang dikategorikan sebagai karsinoma. (Yen CY, Lu MC, Tzeng CC , 2009)

2. Karsinoma sel skuamosa merupakan tumor ganas yang berasal dari sel sepitel skuamous. Neoplasma ganas disebut kanker dan istilah kanker digunakan untuk menyebut neoplasma ganas khususnya jenis epiteal yaitu karsinoma.(M. Taha Ma’ruf, 2007)

3. Di Medan menurut data penelitian yang didapat Octavia (2003) dan Puspasari (2008) pada tahun 1997-2012 yang dilakukan di laboratorium patologi anatomi Medan, didapatkan angka insidensi KSS rongga mulut adalah diantara 86%-90,5% dari seluruh keganasan di rongga mulut

4. Etilogi terjadinya karsinoma sel skuamosa adalah faktor lokal (iritasi kronis,trauma mekanis atau restotasi yang tidak tepat) Faktor luar ( kebiasaan merokok,makanan dan status nutrisi, sinar UV, infeksi virus (HPV,EBV,HSV ) dan jamur, debu industry) Faktor co-carcinogen Faktor yang membantu bahan kimia lain untuk menimbulkan terjadinya keganasan seperti usia,jenis-kelamin,genetik. (Taha Ma’ruf M ,2007)

5. Pemeriksaan Imunohistokimia juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan lokasi biomarker ataupun protein terekspresi pada berbagai macam jaringan pada tubuh. (Ramos-Vara, 2005).


(2)

6. EBV merupakan salah satu penyebab karsinoma sel skuamosa rongga mulut.karsinoma sel skuamosa yang terjadi pada penduduk Okinawa jepang sudah diteliti dan hasilnya ternyata terkait dengan infeksi EBV . (Higa et al, 2002)

7. Infeksi EBV sering terjadi,di Amerika serikat hampir 50% dari anak-anak yang berumur di bawah lima tahun, dan 95% orang dewasa pernah mengalami infeksi

EBV. (Budhy TI 2005)

8. EBV diketahui sebagai salah satu penyebab utama dari terjadinya penyakit ini.

EBV memiliki potensial dan kemampuan untuk menjadi karsinogenesis (Budhy TI 2005)

9. Genom EBV yang berada pada sel inang berbentuk Latent episome. Dimana pada latent episome terdapat gen antara lain Lmp-1,EBNA,EBER. (Budhy TI 2005)

10. EBV biasanya ditularkan melalui air liur yang terinfeksi dan memulai infeksi di orofaring. replikasi virus terjadi pada sel epitel faring dan kelenjar ludah. EBV

adalah penyebab dari mononucleosis infeksiosa. Sel B yang terinfeksi virus mensintesis imunoglobin. Mononukleosis merupakan transformasi poliklonal sel B. selama perjalanan infeksi mayoritas penderita antibody heterofil.(M. Taha Ma’ruf ,2007)

11.Lmp-1 secara langsung berhubungan dengan oncogenesi karena Lmp-1 mempunyai kemampuan menginhibisi terjadinya apoptosis dan dapat meningkatkan konsentrasi

Bcl2. Apoptosis merupakan hal penting dalam perkembangan dan homeostatsis jaringan normal (Shao JY, 2004)

12. Lmp-1 mengaktifasi jalan NF-κB , lebih jauh lagi Lmp-1 menginduksi faktor pro-angiogenik seperti VEGF, FGF-2, MMP9, and COX2, yang memberi kontribusi menjadi onkogenik. (Robbin and Cotran, 1999)


(3)

13. EBV yang telah menginfeksi epitel akan menetap secara laten dan secara perio- dik menjadi aktif. Pada Hairy leukoplakia ditemukan partikel EBV sampai 100%

(Hu li Fu, 1995)

14. Lmp-1 merupakan gen laten EBV yang pertama ditemukan yang dapat mentransformasi jalur sel dan merubah fenotip sel karena potensi onkogeniknya (Yenita, Asri A, 2012)

15. EBV dapat menginfeksi oral mukosa yang laten. Tampilan Lmp-1 sebagai penanda onkoprotein dari virus pada kasus EBV positif diindikasikan bahwa infeksi laten bisa menjadi salah satu penyebab transformasi onkogeni dari oral ephitelium yang terinfeksi. (Gonzalez Mdkk , 2002)

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian dengan melihat tampilan produk gen latent membrane protein-1 (Lmp-1) pada kasus karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Dengan mengkaji ekspresi gen EBV pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut dapat digunakan sebagai upaya pencegahan dini.

Masalah

Bagaimana tampilan immonohistokimia Lmp-1 yang dihasilkan EBV yang pada KSS rongga mulut?


(4)

Tujuan

1. Untuk melihat karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang menampilkan gen

latent membrane protein-1 (Lmp-1).

2. Untuk melihat tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada sub-tipe karsinoma sel skuamosa rongga mulut.

3. Untuk melihat hasil tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut.

Manfaat

1. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui tampilan Latent membrane peotein-1 (Lmp-1) dengan Karsinoma sel skuamosa rongga mulut.

2. Memberikan informasi mengenai EBV sebagai salah satu karsinogen 3. Data awal untuk penelitian lanjutan


(5)

Kerangka Teori

Kerusakan sel normal oleh: • Khemis

• Radiasi • Virus

Sel Epitel normal

Peradangan

Pre-kanker (Displasia)

Karsinoma Rongga mulut Infeksi Epstein-barr virus

erusakan DNA yan tidak dapat

diperbaiki

Mutasi gen

Aktivasi onkogenesis Inaktivasi tumor Pencegahan apoptosis suppresor gen


(6)

Hasil pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga mulut

Gambar 1. Kontrol positif (kontrol internal) hasil pewarnaan imunohistokia

Lmp-1 pada KSS rongga mulut dengan tampilan warna coklat paling kuat pada membran (A).inti sel tumor pembesaran 40x (dokumentasi).

Gambar 2. Hasil pewarnaan imunohistokim- ia Lmp-1 tampilan negatif pada KSS rongga mulut pembesaran 40x (dokumentasi).


(7)

Gambar 3. Hasil pewarnaan imunohistokimia

Lmp-1 yang tertampil sedang pada (A) Inti sel KSS rongga mulut pembesaran 40x (dokumentasi).

Gambar 4. Hasil pewarnaan imunohisto- kimia Lmp-1 tertampil kuat pada (A) Inti sel KSS rongga mulut pembesaran 40x (dokumentasi).

A


(8)

Alat dan Bahan

Gambar 5. Tissue Embading centre compressor cooled colid spot


(9)

Gambar 7. Deparafinization and target retrieval PT Link DACO

Gambar 8. A. IHC diluent , B.antibodi monoclonal Lmp-1 , C. larutan kromogen DAB


(10)

5a. Pembuatan sediaan mikroskopis dari blok parafin.

1. Pemotongan Blok Parafin dengan Mikrotom

2. Potongan tipis parafin diambil menggunakan spuit

3. Potongan tipis parafin dimasukkan ke dalam waterbath


(11)

4. Potongan tipis parafin ditempelkan ke kaca objek

5. Slide diletakkan diatas hotplate

6. Slide yang telah dikeringkan diatas hotplate dicelupkan ke dalam cairan xylol sebanyak 3


(12)

7. Slide dicelupkan ke dalam cairan alkohol 96%,80%,

8. Slide disusun di rak untuk dimasukkan ke

PT Link DACO

9. Setelah slide disusun di rak. Rak tersebut dimasukkan ke dalam Deparafinazitaion

and target retrieval. kemudian waktu diatur.


(13)

5b. Proses Pemulasan Imunohisokimia antibodi Lmp-1

1. Pap Pen daerah disekeliling jaringan

2. Blocking dengan Peroksidaseblock

selama 10 menit

3. Cuci dengan TrisBufferedsaline


(14)

4. Blocking dengan NormalHorseserum

(NHS) 3% selama 15 menit

5. Cuci dengan TrisBufferedsaline

(TBS) pH 7,4 selama 5 menit.

6. Blocking dengan antibodi primer

Lmp-1 (Ready to use) kemudian inkubasi selama 1 jam.

7. Cuci dengan Tris Buffered saline (TBS) pH 7,4 selama 5 menit.


(15)

8. Dako real Envision Rabbit 30 menit

9. Cuci dengan Tris Buffered saline (TBS) pH 7,4 selama 5 menit.

10. Blocking dengan DAB+ substrat kromogen solution

dengan pengenceran 20 µ DAB:1000 µ substrat selama 5 menit


(16)

11. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit

12. Counterstrain dengan Hematoxylin

selama 5 menit

13. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit

14. Cuci dengan air mengalir selama 5 menit


(17)

15. Dehidrasi dengan Alkohol 80%,96%,Abs selama masing-masing 5 menit

16. Clearing dengan Xylol 1,2,3 selama masing-masing 5 menit


(18)

(19)

(20)

DAFTAR PUSTAKA

1. Puteri MM. Peran Epstein barr virus pada kejadian karsinoma squamous cell carcinoma rongga mulut ( Role of Epstein barr virus in oral squamous cell carcinoma.Availableat

2. Neville BW, Day TA. Oral cancer and precancerous lesions. J CA cancer J clin,2002: 52, 207-8.

3. Field A,Longman L. Tyldesley’s oral medicine. 5th

4. Sudiono J, Kurniadhi B, Hendrawan A, Djimantoro B. Ilmu patologi. Jakarta: EGC, 2003: 81-95, 119-31, 169-74.

ed. Oxford. New York, 2008 :115

5. Taha Ma’ruf M. Peran Epstein-barr virus pada squamous cell carcinoma (SCC). Fakultas kedokteran gigi Universitas Mahasaraswati denpasar : 1-3.

6. Lubis WH. Prinsip diagnosa KSS. Jurnal kedokteran gigi- USU 2001 : 155-8. 7. Gayford JJ, Haskell R. Penyakit mulut ( Clinical oral medicine ). Alih Bahasa.

yowuno liliana. Jakarta : EGC, 1993 : 134.

8. Sondang P, Sirait IY. Peranan dokter gigi dalam pencegahan kanker rongga mulut. Dentika Dental Journal, 2006 : 49-55.

9. Octavia E.H. Persentase distribusi data-data lesi rongga mulut yang dijumpai di beberapa laboratorium patologi anatomi Medan tahun 1995 s/d 2002. Skripsi. Medan: USU, 2003: 4-12.

10. Puspasari D. Distribusi frekuensi lesi rongga mulut yang dijumpai di laboratorium patologi di Medan tahun 2002 s/d 2007. Skripsi. Medan: USU, 2008: 6-17.


(21)

11. Febrianti BS. Virus Epstein-barr. Downloaded from: http://mikrobia.files. wordpress.com/2008/05/virus-epstein-barr.pdf. (Cited on: 20 Juli 2012

12. Anonymous. Epstein barr virus. Downloaded from:

).

http://ezinearticles. com/?EBV-Facts-and-statistics&id=3360539

13. Greenberg MS, Glick M, Ship JA. Oral medicine. 11

. (Cited on: 20 Juli 2012). th

14. Higa M, Kinja T, Kamiyama K ,Iwamasa T. Epstein-barr virus (EBV) subtype in EBV related oral squamous cell carcinoma in Okinawa, a subtropical island in southern japan, compared with kikakyushu and kumamoto in mainland Japan. J clin Pathol, 2002: 55, 414-7.

ed. BC Decker. Ontario. 153-5.

15. Moles MAG, Gutierrez J, Rodriguez MJ. Epstein-Barr virus Latent membrane Protein-1 (LMP-1) expression in oral squamous cell carcinoma. J The American Laryngological, 2002: 112, 482.

16. Rantam, Fedik A. Metode immunologi. Airlangga University Press. Surabaya, 2003 :145-55.

17. Hu, Li Fu. Nasopharyngeal carcinoma and epstein-barr virus.Microbiology and Tumor Biology Center, Karolinska Institute.Stokholm, 1996 : 15–25.

18. Budhy TI. Ekprei produk gen laten virus Epstein-barr pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut (The expressions of latent gene product of Epstein-barr virus in oral squamous cell carcinoma). Downloaded from: http://www. journal.unair.ac.id

19. Cawson RA, Odell EW. Oral pathology and oral medicine. 8 . (Cited on: 18 Juli 2012).

th

20. Sonis ST, Fazio RC, Fang L. Principles and practice of oral medicine. 2

ed. Churchill livingstone, USA : 280.

nd

21. Barnes L, Eveson JW, Reichart P. World health organization classification of tumours. Pathology and genetics of head and neck tumours.IARC press, 2005: 164-71.

Ed. Saunders Company, 1995: 399-401.

22. Ginting R. Gambaran histologi karsinoma sel skuamous rongga mulut. Jurnal Kedokteran gigi USU, 2001 : 101-5.


(22)

23. Gandolfo S, Scully C, Carrozzo M. Oral medicine. Chrurchill livingtone. 2006: 51-3.

24. Anonymous. Epstein-barr virus infection overview. Downloaded from: ted on: 18 Juli 2012).

25. Mitchell RN, Cotran RS. Cell cycle and the regulation of the cell replication. In : Kumar V,Abbas K, Mitchell F. Robbins basic pathology. 7 th Ed. Philadelphia: WB Saunders Elsevier,1999: 90, 290, 303.

26. Yenita, Asri A. Korelasi antara letent membrane protein-1 virus epstein barr p53 pada kasrinoma nasofaring (penelitian lanjutan). Jurnal kesehatan andalas, 2012 : 2.

27. Rusdiana. Hubungan antibodi anti Epstein barr virus (EBNA-1) dengan kar- sinoma nasofaring pada pasien etnis batak di medan.2007. Tesis. Medan: Program pendidikan magister kesehatan program pascasarjana biomedik USU, 2007: 33-4.

28. Cornain S. Perangai biologik sel kanker. Vol 11. IAPI, 2002 : 2-3.

29. Shao JY, Ernberg I.. Epstein Barr Virus Lmp-1 status in relationship to apoptosis, P53 exspression and leucocyte infiltration in nasopharyngeal carcinoma. Anticancer research 24, 2004 : 2309.

30. Ramos-Vara, JA. "Technical aspects of immunohistochemistry". Vet Pathol, 2005 : 405–26.

31. Nursalam MN. Konsep dan penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Salemba empat, 2003.

32. Suvarna KS, Layton C, Bandcroft JD. Bancroft’s theory and practice of histological techniques. 7th ed. UK. Churchill Livingstone, 2013 : 173, 381. 33. Ahsan N, Kanda T, Nagashima K. Epstein-Barr virus transforming protein

Lmp-1 plays a critical role in virus production. Vol 7. Journal of virology, 2005 : 4415.

34. Netter FH. The ciba collection of medical illustration. Vol 3. USA. Color engravins by embassy photo engraving co.inc, 1971 : 126.


(23)

35. Regezi JA, Sciubba JJ, Jordan RCK. Oral pathology clinical pathologic corelation. 5 th ed. Philadelphia. WB Saunders Elsevier, 2008 : 48.

36. Hasibuan S. Prosedur deteksi dini dan diagnosis kanker rongga mulut, 2004 : 2-4. 37. Makes WIB. Infeksi virus herpes : manifestasi klinis infeksi Epstein-barr virus.

Jakarta : Balai penerbit FKUI, 2002 : 273-80.

38. Cancian L, Bosshard R. C-terminal region of Ebna-2 determines the superior transforming ability of type 1 ebv by enhanced gene regulation of lmp-1 and cxcr7. Vol 7. Plos pathogens, 2011: 1.

39. Alex Tselis, Hal B. Epstein-barr virus. New york: Taylor and Francis group,2006.


(24)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif dengan pendekatan cross-sectional, dimana setiap sampel diperiksa satu kali dan pada satu saat.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU/RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan Desember 2012 sampai Juni 2013 yang mencakup pengumpulan data, pengumpulan sampel, penelitian, pengolahan data dan hasil penelitian.

3.3. Populasi, Sampel dan Besar Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian mencakup sediaan blok parafin yang berasal dari jaringan biopsi rongga mulut yang telah didiagnosa secara histopatologi dengan pewarnaan HE KSS rongga mulut pada laboratorium Patologi Anatomi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan.

3.3.2. Sampel

Lmp-1 (-)


(25)

Sampel dalam penelitian ini adalah sediaan blok parafin yang berasal dari biopsi jaringan rongga mulut yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang sesuai dengan hitungan besar sampel penelitian.

3.3.3 Besar sampel

Penentuan jumlah sampel menggunakan rumus Penaksiran Proporsi Populasi dengan ketelitian absolut (Absolute Precision) dengan teknik sampling, Cosecutive sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian dalam kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel minimum yang diinginkan dapat terpenuhi.

Jumlah sampel yang dibutuhkan berdasarkan hasil perhitungan dengan melihat proporsi yang digunakan pada kasus ini sebesar 50% dengan tingkat kemaknaan 0,05 dan interval kepercayaan 90% dari tabel yang didapatkan Zα =1,64.

31

Keterangan :

n = jumlah populasi

Za = tingkat kepercayaan (90% → Z score = 1,64)

P = proporsi (seluruh lesi), bila tidak ada dianggap 50% atau 0,5 d = ketepatan (15%)

Hasil perhitungan : n = 1,642

(0,15) x 0,5 x 0,5

2 n= 29,8.

Jadi Jumlah sampel minimal adalah 30 sampel KSS rongga mulut.

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi n = Za2.p(1-p)


(26)

3.4.1 Kriteria Inklusi

- Blok parafin yang terdiagnosa sebagai KSS rongga mulut. - Pengambilan spesimen blok parafin dari tahun 2009-2011.

- Data rekam medis dari tahun 2009 – 2011 terdiri dari : diagnosa histopatologi, umur pasien, jenis kelamin dan lokasi lesi.

3.4.2 Kriteria Ekslusi

- Blok parafin KSS rongga mulut yang rusak.

3.5 Kerangka Operasional

Blok parafin (2009-2011) dari biopsi lesi di rongga mulut di Lab Patologi Anatomi FK USU/RSUP Haji Adam Malik

Medan yang didagnosa secara histopatologi dengan pewarnaan HE

sebagai KSS rongga mulut.

Pewarnaan Imunohistokimia

Lmp-1 (-) Lmp-1 (+)

Pemotongan blok parafin

Pewarnaan Hematoksilin-eosin

—KSS berkeratin - KSS tidak berkeratin

Intensitas warna coklat Skor 1 = lemah

Skor 2 = sedang Skor 3 = kuat

Luas pulasan (frekuensi) Skor 1= < 10% terpulas fokal Skor 2= 10-49% terpulas fokal Skor 3 = ≥50 terpulas difus

Intensitas warna dikali luas pulasan

Hasil pewarnaan imunohistokimia Skor 1 = hasil kali 1-3 (lemah)

Kontrol positif : - Kontrol internal

jaringan dengan hasil pewarnaan paling coklat


(27)

3.6. Variabel Penelitian 3.6.1 Variabel bebas

Karsinoma sel skuamosa rongga mulut. 3.6.2 Variabel terikat

Latent membrane protein-1 (Lmp-1) 3.6.3 Variabel Terkendali :

1. Blok Parafin KSS rongga mulut tahun 2009 – 2011.

2. Processing laboratorium pewarnaan HE dan imunohistokimia. 3. Data rekam medis pasien dari tahun 2009 – 2011.

4. Keterampilan operator (dua ahli patologi, peneliti dan laboran).

3.7 Definisi Operasional Variabel bebas

Karsinoma sel skuamosa rongga mulut

Variabel terikat

Latent membrane protein-1 (Lmp-1)

Variabel terkendali

1. Blok Parafin KSS rongga mulut tahun 2009 - 2011. 2. Processing laboratorium untuk pewarnaan HE dan

pewarnaan imunohistokimia.

3. Data rekam medis pasien dari tahun 2009 - 2011. 4. Keterampilan operator (dua ahli patolog, penelliti


(28)

Blok Parafin adalah Jaringan-jaringan biopsi atau operasi lesi keganasan rongga mulut dari tahun 2009-2011 yang dikirim ke bagian patologi.

KSS rongga mulut Merupakan keganasan yang berasal dari sel skumosa rongga mulut. Dimana terdapat kelainan seluler berupa diskontinuitas membran basalis oleh kelompokan sel-sel tumor yang meluas sampai ke jaringan ikat, ukuran sel beragam, mitosis meningkat, ukuran dan bentuk inti berubah.

Biopsi lesi rongga mulut pengambilan sebagian spesimen rongga mulut sebagian untuk pemeriksaan mikroskopis ataupun diagnosis.

Imunohistokimia merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur derajat imunitas atau kadar antibodi atau antigen dalam sediaan jaringan. Metode pewarnaan imunohistokimia yang digunakan adalah metode indirect yaitu Polymer-based immunohistochemistry.

Pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 adalah suatu pewarnaan dengan menggunakan antibodi monoklonal EBV Lmp-1 (Clones CS1-4, ready to use, Dako Co, Denmark).

Latent membrane protein-1 (Lmp-1) adalah salah satu protein yang dihasilkan oleh EBV.

Penilaian hasil pulasan imunohistokimia Lmp-1 adalah tampilan warna kecoklatan pada membran inti sel epitel yang dilihat dengan menggunakan miksroskop cahaya

Olympus CX21, yang dinyatakan sebagai:

- Negatif : jika tidak tertampil warna coklat pada membran inti sel tumor. - Positif : jika tertampil warna kecoklatan pada membran inti sel tumor.

Kontrol positif - Kontrol internal dipilih jaringan jaringan dengan hasil pewarnaan paling coklat ( Lampiran 3 gambar 1).

Hasil pewarnaan imunohistokimia merupakan hasil perkalian dari intensitas warna dan luas tampilan. Hasil perkalian tersebut dibagi menjadi skor


(29)

- Skor 1 : tampilan lemah (1-3). - Skor 2 : tampilan sedang (4-6). - Skor 3 : tampilan kuat (7-9).

Skor 0-3 diatas didapat melalui :

perkalian antara intensitas warna coklat × luas pulasan imunohistokimia Lmp-1.

Nilai intensitas tampilan warna coklat (Lampiran 3 gambar 2) adalah - Skor 0 : tidak tertampil.

- Skor 1 : tertampil lemah. - Skor 2 : tertampil sedang. - Skor 3 : tertampil kuat.

Nilai luas pulasan imunohistokimia (frekuensi) Lmp-1 adalah

- Skor 0 : negatif.

- Skor 1 : < 10% inti sel tumor yang terpulas fokal. - Skor 2 :10 -49% inti sel tumor yang terpulas fokal. - Skor 3 : 50% inti sel tumor yang terpulas difus.

Untuk mendapatkan tampilan hasil pewarnaan imunohistokimia contoh : intensitas warna skor 2 (sedang) dikali luas pulasan skor 2 ( 10-49% terpulas fokal) maka akan didapat hasil pewarnaan = 2x2 = 4  skor 2 (sedang).

3.8. Alat dan Bahan 3.8.1 Alat-alat penelitian.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: mikrotom (Lampiran 4 gambar 6), floating bath, hotplate, freezer, incubator, rak gelas objek, rak inkubasi, pensil diamond, pipet mikro, timbangan bahan kimia, kertas saring, pengukur waktu, gelas erlenmeyer, gelas beker, microwave, gelas objek, kaca penutup, dan mikroskop cahaya, tissue embading centre compresor


(30)

cooled colid spot (Lampiran 4 gambar 5), Deparafinization and target retrival PT LINK DACO (Lampiran 4 gambar 7).

3.8.2 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah : 1. Parafin blok KSS rongga mulut.

2. Novostain Universal Detection Kit ( NCL-RTU-D) (Novocastra, Inggris). 3. Antibodi primer yang digunakan: antibody LMP-1 (novo) ready to use.

4. Larutan PBS (Phosphate Buffered Saline) pH 7,2. 5. Larutan Buffer Sitrat (Sodium Citrate Buffer) pH 6,0. 6. IHC diluent (Lampiran 4 gambar 8a).

7. Larutan kromogen DAB (Lampiran 4 gambar 8b). 8. Haematoxiline.

9. acid alkohol. 10. Eosin 1%.

11. Alkohol 80%, 95%, absolut. 12. Xylol.

13. Saline.

14. Kanada balsam.

3.9. Metode Pengumpulan Data/ Pelaksanaan penelitian

Tahap-tahap pengambilan dan pengumpulan data pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

3.9.1 Pembuatan sediaan mikroskopis dari blok parafin.

Blok parafin yang telah dikumpulkan, disimpan dalam freezer sampai cukup dingin, selanjutnya dipotong tipis dengan menggunakan mikrotom dengan tebal 4


(31)

atau 5 . Setiap blok parafin, dipotong sebanyak 2 kali, masing-masing untuk pulasan HE dan pulasan imunohistokimia Lmp-1.

1. Tempel blok parafin pada kaca objek.

2. Untuk pulasan imunohistokimia Lmp-1, digunakan kaca objek yang telah di coating agar jaringan dapat menempel pada kaca objek selama proses pulasan imunohistokimia (Lampiran 5a).

3.9.2 Prosedur Pewaraan Hematoxiline-eosin.

1. Setelah difiksasi, kaca objek dicelupkan dalam hematoxiline selama 5 menit lalu dibilas dengan air mengalir selama 3 menit.

32

2. Kaca objek tersebut dicelupkan kedalam acid alkohol 1% 1-2 celup lalu dibilas kembali dengan air mengalir selama 3 menit.

3. Lakukan pewarnaan dengan eosin untuk mewarnai nukleus selama 2-3 menit lalu bilas kembali dengan air mengalir selama 3 menit.

4. Kemudian kaca objek dicelupkan kedalam alkohol 80% selama 30 menit, alkohol 95% selama 3 menit dan alkohol absolut selama 3 menit.

5. Kaca objek dicelupkan kedalam xylol selama 3 menit sebanyak 3 kali pengulangan.

6. Kaca objek di mounting dengan kanada balsem dan ditutup dengan deck glass.

3.9.3 Prosedur pulasan imunohistokimia dengan antibodi monoclonal Lmp-1 (Clones CS1-4, ready to use, Dako Co, Denmark).

1. Lakukan deparafinasi preparat dengan xylene sebanyak 3 kali masing-masing 3 menit.

32

2. Rehidrasi preparat dengan menggunakan etanol 100%, etanol 95 % dan etanol 70% masing- masing selama dua menit, dua menit, satu menit dan terakhir dengan air selama satu menit.

3. Rendam dalam peroxidase blocking solution pada suhu kamar selama 10 menit.


(32)

5. Rendam preparat di dalam antibodi monoclonal Lmp-1 25°C selama 10 menit.

6. Cuci preparat dengan Phospate Buffer Saline (PBS) selama 5 menit.

7. Inkubasi preparat dengan antibodi sekunder (conjugated to horse radish peroxidase) 25°C selama 10 menit.

8. Cuci preparat dengan PBS selama 5 menit.

9. Inkubasi preparat dengan peroksidase 25°C selama 10 menit. 10. Cuci preparat dengan PBS selama 5 menit.

11.Inkubasi preparat dengan kromogen DAB (Diaminobenzinidine) 25°C selama 10 menit.

12. Inkubasi preparat dengan Hematoxylin Eosin selama 3 menit. 13. Cuci preparat dengan air mengalir.

14. Bersihkan preparat dan tetesi dengan mounting media.

15. Tutup preparat dengan coverslip.

16. Amati tampilan Lmp-1 (warna coklat) pada sel menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 x (Gambar 3.1).

17.Dokumentasi setiap pengamatan dan lakukan pemotretan tiap preparat (Lampiran 5b).

3.10. Pengolahan dan Analisa Data

Teknik analisa data dilakukan dengan tabel cross-sectional, pelaporan data penelitian adalah dengan memaparkan hasil pulasan imunohistokimia Lmp-1 dalam bentuk persentase dan tabel.


(33)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Blok parafin yang digunakan oleh peneliti, dikumpulkan dari RSUP HAM Medan dengan jumlah sampel 30 blok parafin. Sampel penelitian ini adalah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.

4.1 Karakteristik Umum Sampel yang diteliti

Sampel penelitian yang telah dikumpulkan diambil datanya melalui rekam medik. Data yang diambil yaitu diagnosa histopatologi, lokasi lesi, jenis kelamin, dan usia. (tabel 2)

Tabel 2. Distribusi frekuensi karakteristik umum sampel berdasarkan data rekam medis sampel yang diteliti.

Karakteristik Frekuensi (orang) Persentase (%) Diagnosa histopatologi

KSS berkeratin KSS tidak berkeratin Total 23 7 30 76,6 23,3 100,0 Lokasi Lesi Lidah Maksilla Mandibula Palatum Gingiva Total 17 3 3 5 2 30 56,6 10,0 10,0 16,6 6,6 100,0 Jenis kelamin


(34)

Laki-laki Perempuan Total 13 17 30 43,3 56,6 100,0 Umur 20-39 tahun 40-59 tahun 60-79 tahun Total 8 11 11 30 26,7 36,7 36,7 100,0

Tabel 2 tentang karakteristik umum berdasarkan data rekam medis sampel yang diteliti. Menunjukkan persentase diagnosa histopatologi KSS berkeratin 76,6% lebih tinggi dibandingkan KSS yang tidak berkeratin 23,3%. Lokasi lesi dengan kasus KSS rongga mulut tertinggi adalah pada lidah 56,6%, yang diikuti lokasi lesi pada maksila 10%, mandibula 10%, dan palatum 16,6%, sedangkan lokasi dengan kasus KSS terendah adalah gingiva 6,6%.

Berdasarkan jenis kelamin kasus KSS rongga mulut baik berkeratin atau nonkeratin pada wanita 56,6% ditemukan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dan 43,3%. Berdasarkan umur, KSS rongga mulut tertinggi adalah pada kelompok usia 61-80 tahun 40%, diikuti oleh kelompok usia 41 - 60 tahun 33,3%. Kasus karsinoma sel skuamosa rongga mulut paling rendah dijumpai pada kelompok usia 20 - 40 tahun 26,6%.

4.2 Distribusi Frekuensi Tampilan Imunohistokimia Lmp-1 Pada KSS Rongga mulut.

Tabel 3. Distribusi frekuensi tampilan imunohistokimia Lmp-1

pada KSS rongga mulut. Diagnosa

histopatologi

Lmp-1 Total

Positif Negatif

KSS n (%) n (%) N (%) Berkeratin 23 100,0 0 0 23 100


(35)

Tidak berkeratin 4 57,1 3 42,9 7 100 Total 27 90,0 3 10 30 100

Tabel 3 menunjukkan ditemukan 90% kasus Lmp-1 (+) dimana pada KSS (K) 23 kasus 100% dan KSS (TK) yaitu 4 kasus 57,1% dan 10% kasus Lmp-1 (-) yang hanya ditemukan pada KSS (TK) yaitu 3 kasus 42,9%.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Tampilan Imunohistokimia Lmp-1

Positif Pada KSS Rongga Mulut.

Diagnosa histopatologi Lmp-1 (+) Persentase (%) KSS berkeratin 23 85

KSS tidak berkeratin 4 15

Total 27 100

Tabel 4 menunjukkan jumlah Lmp-1 (+) lebih banyak ditemukan pada KSS berkeratin yaitu 23 kasus 85% dibandingkan KSS tidak berkeratin yaitu 4 kasus 15%.

Tabel 5. Distribusi Intensitas Tampilan Pewarnaan Imunohistokimia Lmp-1

Positif Pada KSS Rongga Mulut. Diagnosa

histopatologi Intensitas warna Lmp-1 (+) Total *

KSS Kuat Sedang lemah

n (%) n (%) n (%) N (%) Berkeratin 22 95,6 1 4,3 0 0 23 100 Tidak berkeratin 3 75 1 25 0 0 4 100 Total 25 92,5 2 7,4 0 0 27 100


(36)

*Kuat = warna coklat kuat, Sedang = warna coklat sedang, lemah = warna coklat lemah Tabel 5. Menunjukkkan Distribusi Intensitas Tampilan Pewarnaan Imuno- histokimia Lmp-1 Positif Pada KSS Rongga Mulut. Dari 23 sampel KSS berkeratin dengan Lmp-1 (+) ditemukan intensitas warna coklat kuat sebanyak 22 kasus 92,6%, intensitas coklat sedang sebanyak 1 kasus 4,3% dan tidak ditemukan hasil dengan intensitas warna coklat lemah. Dari 4 sampel KSS tidak berkeratin dengan Lmp-1 (+) ditemukan intensitas warna coklat sebanyak 3 kasus 75%, intensitas coklat sedang sebanyak 1 kasus 25% dan tidak ditemukan hasil dengan intensitas warna coklat lemah.

Tabel 6. Distribusi Luas Tampilan Pewarnaan Imunohistokimia Lmp-1 Positif Pada KSS Rongga Mulut.

Diagnosa

histopatologi Skor Luas Tampilan Lmp-1 (+)* Total

KSS 3 2 1

n % n % n % N % Berkeratin 20 86 3 14 0 0 23 100 Tidak berkeratin 1 3,3 3 10 0 0 4 100 Total 21 77,8 6 22,2 0 0 27 100 * Skor 1 = Luas tampilan pewarnaan < 10%; Skor 2 = Luas tampilan pewarnaan

10-50%; Skor 3 = Luas tampilan pewarnaan > 50%

Tabel 6. Menunjukkkan Distribusi Luas Tampilan Pewarnaan Imunohisto-kimia Lmp-1 Positif Pada KSS Rongga Mulut. Dari 23 sampel KSS berkeratin dengan Lmp-1 (+) ditemukan luas tampilan dengan skor 3 sebanyak 20 kasus 86%, luas tampilan dengan skor 2 sebanyak 3 kasus 14% dan tidak ditemukan hasil dengan luas tampilan skor 1. Dari 4 sampel KSS tidak berkeratin dengan Lmp (+) ditemukan luas tampilan dengan skor 3 sebanyak 1 kasus 3,3%, luas tampilan dengan skor 2 sebanyak 3 kasus 10% dan tidak ditemukan hasil luas tampilan dengan skor 1.


(37)

Tabel 7. Distribusi Hasil Perkalian Intensitas Warna Dengan Luas Tampilan Imunohistokimia (Hasil pewarnaan imunohistokimia) Lmp-1 Positif Pada KSS Rongga Mulut.

Diagnosa histopatologi KSS

Hasil pewarnaan imunohistokimia

Lmp-1 (+)

Kuat

(Skor 3)

Sedang (Skor 2)

Lemah (Skor 1 )

Total

n (%) n (%) n (%) N (%)

Berkeratin 19 82,6 4 17,4 0 0 23 100 Tidak berkeratin 1 25 3 75 0 0 4 100

Total 20 74 7 26 0 0 27 100

*Kuat (Skor 3) = hasil perkalian > 7, Sedang (Skor 2) = hasil perkalian 4-6, lemah (Skor 1) = hasil perkalian 1-3

Tabel 7 menunjukkan dari 23 kasus KSS (K) dengan Lmp-1 (+) 19 kasus 82,6% menampilkan hasil pewarnaan imunohistokimia dengan intensitas kuat, 4 kasus 17,4% menampilkan hasil pewarnaan dengan intensitas sedang, dan tidak ada menampilkan pewarnaan dengan intensitas lemah. Dari 4 kasus KSS (TK) sebanyak 1 kasus 25% menampilkan hasil pewarnaan dengan intensitas kuat, sebanyak 3 kasus 75% menampilkan hasil pewarnaan dengan intensitas sedang dan tidak ada menampilkan hasil pewarnaan dengan intensitas lemah.


(38)

BAB 5 PEMBAHASAN

Telah dilakukan penelitian terhadap karsinoma sel skuamosa (KSS). Tujuan penelitian adalah melihat Epstein barr virus (EBV) sebagai karsinogenik yang berperan dalam proses terjadinya KSS, melalui tampilan positif imunohistokimia

Lmp-1. Produk ekspresi protein laten Lmp-1 yang dihasilkan oleh EBV ini mempengaruhi gen pengatur pembelahan sel terutama gen suppressor tumor33 dan gen pengatur apoptosis dalam proses terjadinya karsinoma, berupa tampilan warna coklat yang dihasilkan zat pewarna DAB (Diaminobenzidine) pada membran inti sel karsinoma, dengan menggunakan mikroskop cahaya OlympusCX21 pembesaran 40x dan 100x. Untuk menilai hasil pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 diperoleh dari hasil perkalian antara skor intensitas tampilan warna coklat pada pewarnaan imunohistokimia dengan skor luas tampilan pulasan imunohistokimia (frekuensi).29

Data rekam medis (1997-2012) dari bagian Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik, RS Pirngadi dan Laboratorium PA FK USU didapatkan antara 86 -90,5% kasus KSS dari seluruh kasus keganasan di rongga mulut, yang terbagi atas subtipe keratinizing squamous cell carcinoma dan non keratinizing squamous cell carcinoma yang dapat berdiferensiasai menjadi baik,sedang dan buruk. Pada penelitian ini diperoleh data distribusi karakteristik umum berupa diagnosa Rancangan penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional, dengan jumlah sampel 30 blok parafin yang terdiagnosa sebagai KSS rongga mulut beserta data rekam medis, yang didapat dari Bagian Patologi Anatomi RSUP Haji Adam Malik Medan.


(39)

histopatologi, lokasi lesi, jenis kelamin dan umur (tabel 2). Berdasarkan pemeriksaan histopatologi KSS terbagi atas dua sub-tipe yaitu KSS berkeratin 76,6% dan KSS tidak berkeratin 23,3%. Berdasarkan lokasi lesi, lokasi KSS yang paling banyak ditemukan terdapat pada lidah 56,5% dibandingkan lokasi lesi lainnya di rongga mulut. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sonis (1995) yang mendapatkan bahwa lidah 80% merupakan lokasi lesi KSS yang paling banyak terdapat pada rongga mulut,20 dengan alasan karena lidah sering terkena iritasi terus menerus antara lain mekanis seperti tergigit, gigi radiks, malposisi dari gigi yang patah dan protesa yang mengiritasi.34 Hal ini menunjukkan dibutuhkannya perhatian lebih dari dokter gigi, agar iritasi dari gigi radiks, protesa yang tidak pas bisa diperhatikan sedini mungkin, sehingga bisa mengurangi iritasi kronis yang lama-kelamaan jika dibiarkan akan dapat menyebabkan KSS dan juga bisa memberikan jalan masuk bagi faktor etiologi lainnya seperti EBV. Berdasarkan jenis kelamin lesi KSS lebih banyak dijumpai pada perempuan 56,5% dibandingkan laki-laki 43,3%. Hasil ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh Regesi (2008), dimana di Negara Barat insidensi KSS lebih banyak ditemukan pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.35 Namun penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Renneker (1998) di negara India dimana angka prevalensi yang didapatkan di negara India juga lebih tinggi ditemukan pada perempuan dibandingkan laki-laki.36 Kecendrungan lesi KSS lebih banyak pada perempuan baik di India maupun pada penelitian ini, mungkin dapat dihubungkan dengan kebiasaan menyirih/menyuntil pada suku tertentu (contoh: suku Batak di Sumatera Utara) dan di India. Lesi KSS pada rongga mulut yang tertinggi ditemukan pada kelompok umur 60 - 79 tahun 36,7%, yang diikuti oleh kelompok umur 40 - 59 tahun 36,7%. Sedangkan yang terendah terdapat pada kelompok umur 20 - 39 tahun 26,7%. Menurut Cawson (2008) 98% dari lesi KSS rongga mulut terdapat pada kelompok umur di atas 40 tahun.19 Hasil ini sesuai dengan penelitian ini, dimana kelompok umur yang berisiko tinggi terdapat pada kelompok umur 40 - 79 tahun yaitu sekitar 73,4%, sedangkan kelompok umur yang tidak berisiko terdapat pada kelompok umur 20 - 39 tahun 26,7%. Dengan kata lain umur dapat dihubungkan dengan lesi KSS rongga mulut


(40)

karena seiring dengan meningkatnya umur maka semakin meningkat faktor risiko untuk terjadinya perubahan sel menjadi ganas karena terjadi penumpukan sel yang rusak perubahan genetik dan lamanya terpapar inisiator dan promotor (seperti: bahan kimia, iritasi fisik, virus, dan pengaruh hormonal), menurunnya imunologik akibat aging. Di dalam perjalanan proses karsinogenesis suatu lesi normal menjadi karsinoma membutuhkan waktu yang lama dan dimulai dengan adanya agen/bahan karsinogenik yang mengiritasi secara kronis, sehingga sel epitel mengalami perubahan berupa proliferasi abnormal yang bersifat kualitatif dan merupakan perubahan ke arah kemunduran pada sel dewasa. Lamanya paparan dalam jangka lama menyebabkan kesempatan suatu karsinogen untuk bekerja dan menimbulkan kanker, dan pada usia lanjut sering terjadi ketidakseimbangan hormon.

Distribusi frekuensi tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga mulut (tabel 3) tertampil positif sebanyak 90% dari kasus KSS rongga mulut baik yang berkeratin maupun yang tidak berkeratin, sedangkan yang tertampil negatif hanya 10%. Tampilan Lmp-1 yang positif mengindikasikan bahwa protein gen laten Lmp-1

yang dihasilkan EBV berperan sebagai karsinogen yang dapat menginaktifkan gen supresor tumor dan mencegah terjadinya apoptosis melalui jalur inhibisi Bcl2

sehingga proliferasi sel tidak dapat dikontrol.

25

18,37,38

Dengan ditemukannya tampilan positif protein Lmp-1 pada 90% dari KSS rongga mulut, ini membuktikan bahwa

EBV berperan dalam terjadinya KSS rongga mulut baik yang berkeratin maupun yang tidak berkeratin. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gonzalez dkk (2002) yang mendapatkan bahwa 85,7% dari penduduk Eropa dengan KSS rongga mulut menampilkan Lmp-1 yang positif.22 Sedangkan penelitian lain tentang Lmp-1 juga dilakukan oleh Yenita dkk (2012) pada karsinoma nasofaring yang menemukan 91,8% dari karsinoma nasofaring menampilkan Lmp-1 positif.26 Pada penelitian ini 10% KSS rongga mulut baik yang berkeratin maupun tidak berkeratin tidak menampilkan Lmp-1, keadaaan ini belum dapat dipastikan penyebabnya apakah pada kasus ini bukan karena infeksi EBV. Penelitian Budhy (2005) pada KSS rongga mulut, yang Lmp-1 negatif pada 8 kasus, ternyata 6 kasus di antaranya menunjukkan tampilan positif dengan pemeriksaan insitu hibridisasi


(41)

EBER, dan 2 dari 8 kasus Lmp-1 negatif menunjukkan positif dengan pewarnaan imunohistokimia EBNA-1.22 Oleh sebab itu Lmp-1 negatif tidak selalu menunjukkan bahwa tidak terdapat infeksi EBV, dan perlu dilanjutkan lagi dengan pemeriksaan lainnya seperti EBV nuclear antigen (EBNA) atau EBV RNA (EBER).18

Distribusi frekuensi tampilan imunohistokimia Lmp-1 positif pada KSS rongga mulut (Tabel 4) menunjukkan tampilan Lmp-1 positif lebih banyak ditemukan pada KSS berkeratin 85% dibandingkan yang tidak berkeratin 15%. Pada penelitian terhadap tikus transgenik yang meng-ekspresikan Lmp-1 di kulit, sel pelapis epitel kulit akan mengalami hiperplasia epitel yang meningkatkan tampilan keratin.

39 Hu dan Li (1996) serta Gulley (2001) mendapatkan bahwa EBV ditemukan pada kasus

hairy leukoplakia rongga mulut.17,18Leukoplakia merupakan lesi bercak putih dengan permukaannya kasar dan bervariasi mulai dari lesi vertikal sampai plak keriput,36 gambaran histopatologis leukoplakia berupa hiperkeratosis. Hal ini menunjukkan ada hubungan antara lesi keratotik dengan infeksi EBV, yang ditandai dengan Lmp-1

positif. Patogenesis hiperkeratotik pada leukoplakia berupa replikasi gen selama pembelahan sel induk, yang menetap di dalam sel. Bila keadaan ini berlanjut dalam jangka lama tanpa penanganan maupun pencegahan maka dapat berlanjut menjadi kanker.18

Distribusi tampilan pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 positif pada KSS rongga mulut (Tabel 7) yang merupakan hasil perkalian intensitas tampilan warna (tabel 5) dengan luas tampilan pewarnaan (tabel 6) menunjukkan 74% Lmp-1 yang positif mempunyai tampilan yang kuat, dan 26% dengan tampilan sedang. Tidak ditemukan tampilan positif lemah pada kasus KSS rongga mulut. Kasus KSS rongga mulut dengan tampilan pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 yang kuat lebih banyak dibandingkan tampilan pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 yang sedang, ini menunjukkan protein Lmp-1 yang dihasilkan EBV cukup banyak dan tersebar luas, dengan kata lain bahwa protein Lmp-1 yang dihasilkan EBV banyak berperan dalam proses karsinogenesis KSS rongga mulut.


(42)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

1. Hampir semua karsinoma sel skuamosa rongga mulut menampilkan imunohistokimia Latent membrane protein-1 (Lmp-1) positif 90%.

2. Tampilan imunohistokimia Lmp-1 tertampil pada kasus karsinoma sel skuamosa rongga mulut yang berkeratin dan tidak berkeratin.

3. Persentase tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut menunjukkan tampilan imunohistokimia yang kuat lebih banyak dibandingkan dengan tampilan imunohistokimia yang sedang.

6.2 Saran

Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui peran EBV dalam proses karsinogenesis rongga mulut dengan metode pemeriksaan lainnya terhadap protein yang dihasilkan oleh EBV seperti EBNA-1 dan EBER dengan besar sampel yang lebih memadai dan proporsi yang seimbang.


(43)

2. Untuk melihat hasil tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga mulut.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui tampilan imunohistokima latent membrane protein-1 (Lmp-1) yang dihasilkan Epstein barr virus (EBV) pada KSS rongga mulut.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Memberikan informasi mengenai Epstein-barr virus sebagai salah satu karsinogen pada KSS rongga mulut.

2. Data awal untuk penelitian lanjutan tentang KSS rongga mulut.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

KSS adalah jenis kanker yang sering ditemukan pada daerah rongga mulut yaitu sekitar 90% dari seluruh keganasan di rongga mulut.19 Faktor etiologi KSS rongga mulut salah satunya merupakan infeksi virus seperti Epstein barr virus

(EBV).

2.1 KSS rongga mulut

KSS rongga mulut adalah suatu keganasan yang berasal dari epitel, baik yang berasal dari mukosa pada dinding rongga mulut, organ dalam mulut atau kelenjar saliva.19,20 Lebih dari 90% keganasan yang terjadi di rongga mulut adalah tipe karsinoma sel skuamosa yang berasal dari permukaan epitel rongga mulut. Etiologi KSS rongga mulut belum diketahui secara pasti, namun diketahui pemicu terjadinya


(44)

KSS rongga mulut seperti faktor bahan kimia, agen fisik dan agen biologik, salah satu agen biologik adalah virus yang disebut onkogen virus. Terjadinya KSS rongga mulut disebabkan banyak faktor (multifaktoral) atau saling kait mengait seperti kebiasaaan buruk yang dikaitkan dengan kebersihan mulut yang buruk. Dalam karsinogenesis dikenal dua tahap utama yaitu tahap perintisan (initiation) dan tahap penggalakan (promotion). Pada tahap perintisan perubahan sel karsinoma akan terjadi secara cepat dan irreversible, serta tidak diperlukan agen penyebab karsinogen yang banyak. Pada tahap penggalakan akan ditingkatkan respon penghasil tumor selanjutnya. Di dalam perjalanan proses patogenesis suatu lesi normal menjadi karsinoma membutuhkan waktu yang lama dan dimulai dari adanya agen/bahan karsinogenik yang mengiritasi secara kronis, sehingga sel epitel mengalami perubahan berupa proliferasi abnormal yang bersifat kualitatif dan merupakan perubahan kearah kemunduran pada sel dewasa. Secara klinis KSS pada stadium awal sering tidak menunjukkan gambaran yang jelas, tidak ada keluhan dan rasa sakit, dapat diawali dengan adanya leukoplakia, eritroplakia maupun erosi. KSS pada stadium lanjut dapat berupa plak keratosis, ulserasi, tepi lesi yang indurasi, kemerahan.dan jika ulser yang tidak sembuh dalam waktu 14 hari harus dicurigai sebagai awal keganasan.5,21,22

2.1.1 Gambaran Histopatologi Sel Skuamosa Rongga mulut Tabel 1. Klasifikasi WHO tumor pada kavitas rongga mulut.21

Malignant epitheal tumours. Kode

Squamous cell carcinoma 8070/3

Verrucous carcinoma 8051/3

Basaloid squamous cell carcinoma 8083/3

Papilarry squamous cell carcinoma 8052/3

Spindle cell carcinoma 8074/3

Acantholytic squamous cell carcinoma 8075/3


(45)

Carcinoma cuniculatum 8051/3

Lymphoepiteal carcinoma 8082/3

Kode morfologi yang berasal dari International Classification of Diseases for Oncology (ICD-O) (821) dan Systematized Nomenclature of medicine jenisnya diberi kode /0 untuk tumor jinak, /3 untuk tumor ganas, dan /1 untuk kasus borderline

Gambaran histopatologi KSS rongga mulut secara umum tidak berbeda dengan KSS kulit maupun organ tubuh lainnya. Ada beberapa KSS rongga mulut yang berdiferensiasi baik, menyerupai epitel skuamous berlapis yang normal dan menghasilkan keratin, namun pada beberapa kasus terjadi diferensiasi yang buruk.

21

Berdasarkan derajat diferensiasinya, KSS rongga mulut dapat dibagi atas diferensiasi baik, sedang dan buruk. Gambaran KSS yang berdiferensiasi baik adalah mengandung sel berkeratin, pertumbuhan sejumlah epitel, atau gambaran keratin seperti tanduk mutiara (pearl horn formation) dengan ukuran yang bervariasi, pertumbuhannya lambat dan tidak cepat bermetastasis, dan mempunyai prognosa yang baik. Pada lesi tipikal, kelompok sel ganas ini dapat dijumpai secara aktif menginvasi jaringan konektif dengan bentuk yang tidak teratur (Gambar 1).

5

5,22

Gambar 1. Gambaran histopatologi KSS berdiferensiasi baik dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) A. Inti sel,

A


(46)

B. Mutiara keratin 5

Bentuk karakteristik dari sel dengan diferensiasi sedang, berbeda dari satu dengan yang lainnya, tersusun secara tipikal, sehingga epitel skuamosa juga kurang jelas. Laju pertumbuhan sel individu lebih cepat, mitosis yang lebih besar, dan bahkan lebih bervariasi dalam ukuran bentuk (Gambar 2).4,22

Gambar 2. Gambaran histopatologi KSS berdifferensiasi sedang dengan pewarnaa HE. A. Inti sel 21

Gambaran KSS dengan berdiferensiasi buruk menghasilkan sedikit petunjuk sel-sel sehingga sering menimbulkan kesulitan dalam mendiagnosis. Sel-sel ini bahkan menunjukkan kurangnya daya kohesif yang sangat tidak teratur, adanya anaplasia, pembentukan sel tumor raksasa dan sejumlah mitosis, serta tidak ada pembentukan keratin (Gambar 3).5,22


(47)

Gambar 3. Gambaran Histopatologi KSS berdiferensiasi buruk dengan pewarnaan HE. A. Inti sel. 21

2.1.2 Etiologi

Faktor penyebab KSS rongga mulut diduga ada tiga faktor utama yaitu faktor lokal, faktor sistemik dan faktor co-carcinogen.

Faktor lokal seperti (A) Kebiasaan merokok dan minum alkohol. Asap rokok mengandung bahan karsinogen (nitrosamine) dan alkohol menyebabkan rasa panas yang mempengaruhi selaput lendir mulut. Terjadinya rangsangan menahun menyebabkan kerusakan jaringan berulang-ulang sehingga mengganggu keseimbangan sel dan terjadinya displasia. (B) iritasi kronis, umumnya juga dapat menyebabkan kanker, seperti trauma mekanis dari gigitiruan yang tidak pas, tambalan yang pecah, kebersihan mulut yang buruk, restorasi yang tidak tepat dan tepi-tepi gigi yang tajam.5 (C) Sinar Ultraviolet (UV), sinar matahari (radiasi UV) seringkali dianggap sebagai faktor penting, karena bibir bawah biasanya lebih protrusi daripada bibir atas sehingga lebih mudah berkontak dengan radiasi. (D) Infeksi virus dan jamur, infeksi virus dan jamur yang tidak sembuh-sembuh meskipun sudah diobati juga dapat menyebabkan kanker. Jika hal ini terus-menerus berlanjut dan dalam jangka waktu yang lama maka akan dapat memicu terjadinya karsinoma. Beberapa virus penyebab KSS antara lain, EBV, Herpes simplex virus (HSV) dan Human papiloma virus (HPV). Virus yang ikut bertanggung jawab


(48)

terhadap karsinogenesis pada manusia termasuk EBV. (E) Debu industri, beberapa penelitian menyatakan bahwa kanker terjadi berhubungan dengan beberapa jenis pekerjaan dan adanya pemaparan. Seseorang yang bekerja pada industri logam berat, tekstil dan industri elektronik yang terkena paparan debu-debu dari kayu, memiliki resiko terkena kanker lebih tinggi.5

Faktor sistemik seperti defisensi zat besi, syphilis, dan kekurangan vitamin A.

Faktor co-karsinogen adalah bahan kimia yang belum tentu menyebabkan kanker pada mereka sendiri, tapi mempromosikan kegiatan karsinogen lainnya dalam menyebabkan kanker atau membantu karsinogen menimbulkan kanker lebih efektif seperti usia, jenis kelamin, nutrisi imunologi dan genetik.5,7,11,23 Diatas telah dikatakan virus merupakan salah satu etiologi terjadinya KSS rongga mulut, oleh karena itu di bawah ini akan dibahas EBV sebagai salah satu virus yang diduga menyebabkan KSS rongga mulut.

2.2 Epstein-barr virus (EBV)

EBV merupakan Gamma Herpes Virus yang ditemukan pada tahun 1964 oleh

Micheal Epstein dan Yvonne Barr. EBV tersebar di seluruh dunia dan menginfeksi sebanyak 90% orang dewasa.1,13,24 Dalam klasifikasinya, EBV termasuk dalam grup 1 (dsDNA), famili herpesvirus, genus lymphocryptovirus dan spesies humanherpes- virus 4 (HHV-4).13


(49)

Gambar 4. Dua virions Epstein-barr virus

Virus EBV ditransmisi melalui kontak terhadap saliva, infeksi primer terjadi pada anak-anak berupa infeksi laten dari limfosit-B. EBV merupakan virus yang dibungkus oleh double stranded genom Deoxyribonucleic acid (DNA) yang mengkode delapan puluh lima gen. EBV mengubah pertumbuhan limfosit-B, yang dihasilkan pada transformasi pertumbuhan permanen dari regulasi tampilan di gen viral yang multipel. Gen tersebut terdiri dari tiga protein membran yang integral berupa latent membran protein-1 (Lmp-1), EBV nuclear antigen (EBNA-1) dan EBV RNA (EBER). Gen hasil interaksi dihubungkan dengan adanya homolog pada molekul antiapoptosis yang bervariasi, sitokinesis, promotor infeksi EBV, immortalisasi dan transformasi.

13

5,18

2.2.1 Gejala klinis infeksi EBV

Sama seperti virus herpes lainnya, EBV juga tinggal di dalam tubuh manusia untuk bertahan hidup. Pada beberapa kasus, EBV bisa menjadi reaktif apabila pertahanan tubuh melemah dan dapat menyebabkan beberapa orang terinfeksi virus ini dua kali bahkan juga kambuhan. EBV dapat menimbulkan berbagai macam gejala tergantung dari kekuatan virus dan beberapa faktor lainnya seperti kurangnya pengetahuan masyarakat tentang virus ini. Pada anak yang berumur kurang dari lima tahun, biasanya infeksi tidak menimbulkan gejala, sebaliknya pada orang dewasa dan remaja mungkin terlihat atau mungkin juga tanpa menimbulkan gejala. Periode inkubasi infeksi ini berkisar antara 30 sampai 50 hari. Ada beberapa gejala yang timbul karena infeksi EBV, yaitu pembengkakan kelenjar di leher, ketiak atau selangkangan, demam yang dimulai dari sedang sampai parah, kelelahan yang terkadang sangat ekstrim, luka dan nyeri pada tenggorokan, menyerupai tonsilitis. Gejala lain yang sering ditemukan pada beberapa pasien adalah pelebaran tonsil, sakit kepala, nyeri pada otot dan di bagian perut, nafsu makan berkurang, terdapat ruam pada kulit. Tidak semua dari gejala tersebut dirasakan oleh penderita, biasanya infeksi dimulai dari keadaan sakit seperti umumnya. Gejala yang tidak jelas ini


(50)

diikuti dengan terjadinya demam luka nyeri pada tenggorokan dan pembengkakan pada limpa. Demam biasanya mencapai puncak pada 103 0F (sekitar 39 0C) di sore hari atau menjelang malam.5,20,24

2.2.2 Siklus Hidup EBV

EBV dapat menginfeksi sel B, virus akan berikatan pada protein permukaan sel complement reseptor type 2 (CR2), cluster of differentiation 21(CD21) menembus

glikoprotein 350/220 (Gp350/220) glikoprotein viral. EBV juga menginfeksi sel epitel dan merusak CD21 melalui glikoprotein GH viral. Virus diproduksi oleh sel epitel kemudian menginfeksi sel limfosit B dan dapat menetap dalam waktu yang lama. Sel yang terinfeksi EBV akan menghindari apoptosis didalam lingkungannya oleh ekspresi Lmp-1. Molekul ini bersama-sama memberi signal kehidupan yang diperlukan, karena Lmp-1 merupakan cluster of diferentiation 40 (CD40) yang

homolog. Mekanisme ini mereduksi kehilangan dari infeksi EBV di sel B oleh dukungan perkembangan didalam populasi sel B yang hidup lama. Setelah terjadi infeksi primer maka EBV akan menetap secara laten dan tampilan gen EBV menjadi terbatas. Ketika suatu reaksi terjadi, litik yang berat pada protein viral akan ditampilkan dengan aktivasi inhibisi mekanisme imun, termasuk Interleukin 10 ( IL-10) homolog yang menginhibisi co-stimular antigen presenting fungsi dari monosit, makrofag dan beberapa interferon yang mengurangi pelepasan sitokin.20

2.2.3 Patogenesis

EBV biasanya ditularkan melalui saliva yang terinfeksi dan memulai infeksi di orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel epitel faring dan kelenjar saliva. EBV

adalah penyebab dari infeksi penyakit mononucleosis. Sel B yang terinfeksi virus akan mensintesis imunoglobin. Mononucleosis merupakan transformasi poliklonal sel B selama perjalanan infeksi mayoritas penderita antibodi heterofil.5 Terjadinya karsinoma dapat berasal dari berbagai mutasi. Mutasi dapat terjadi akibat respons terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh faktor lingkungan, seperti zat kimia, radiasi, dan virus.1,5 Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan


(51)

diferensiasi sel diatur oleh gen yang disebut proto-onkogen yang dapat berubah menjadi onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena memicu pertumbuhan dan pembelahan sel tanpa batas secara patologis.1,4 EBV sering dikaitkan dengan transformasi sel maligna, terutama melalui tindakan dari onkoprotein Lmp-1, yang terdapat dalam virus. Tampilan Lmp-1 pada imunodepresi dapat menginduksi transformasi onkogenik dari limfosit B dan munculnya proses limfo-proliferatif. 15

Gambar 5. Infeksi EBV pada sel B normal 25 2.3 Latent membrane protein-1 (Lmp-1)

Lmp-1 merupakan salah satu antigen dari EBV yang ditampilkan pada fase laten dari EBV. Lmp-1 merupakan protein membran integral dengan enam segmen hidrofobik, mempunyai gugus COOH terminal di dalam sitoplasma. Ada empat jalur sinyal yang diindikasikan sebagai fungsi dari Lmp-1. Lmp-1 mempunyai kemampuan dalam menginduksi ephiteal growth factor reseptor (EGFR) yang merupakan suatu reseptor tyrosine kinase yang dijumpai di permukaan sel.25 Lmp-1 berhubungan secara langsung dengan onkogenesis karena Lmp-1 mempunyai kemampuan menginhibisi terjadinya apoptosis dan dapat meningkatkan konsentrasi Bcl2.26


(52)

Apoptosis merupakan hal penting dalam perkembangan dan homeostasis jaringan normal. Kegagalan apoptosis sel merupakan salah satu faktor yang mendasari pertumbuhan sel tumor yang semakin lama semakin besar. Akibat efek mekanisme apoptosis yang lain adalah kemungkinan terjadinya keganasan.Kegagalan apoptosis menyebabkan akumulasi p53 yang meningkat dan menyebabkan fungsi p53 menjadi tidak aktif. Selain itu Lmp-1 mengaktivasi jalan nucleus factor - κB (NF-κB) ,lebih jauh lagi Lmp-1 menginduksi faktor pro-angiogenik seperti vescular endothelial cell growth factor (VEGF), fibroblast growth factor-2( FGF-2), dan cyclooxyenase-2 (COX2), yang memberi kontribusi menjadi onkogenik.27

2.3.1 Hubungan Lmp-1 dengan EBV sebagai penyebab KSS rongga mulut.


(53)

Gambar 6. Skema molekuler dasar kanker 27

Skema diatas menunjukkan proses perubahan dari sel normal sampai terjadi metastasis, Lmp-1 pada fase diatas bekerja dalam mengaktivasi tumor supresor gen yaitu p53, yang juga berfungsi dalam mencegah terjadinya apoptosis. Kedua fase tersebut akan terganggu dan akan menyebabkan proliferasi berlebih tanpa adanya apoptosis sehingga menyebabkan terjadinya metastasis (Gambar 6).27

Gambar 7. Siklus sel dan replikasi sel 27

Siklus sel terbagi atas 4 fase yaitu G1 (presintetik), S (DNA sintesis), G2 (premitotis), dan M (mitosis). Masing-masing fase memiliki fungsi untuk mengaktivasi dan melengkapi fase sebelumnya, dan siklus sel akan berhenti jika fungsinya sudah terganggu. Diantara G1/S terdapat checkpoint untuk memonitor

DNA sebelum replikasi dan G2/M untuk memonitor DNA setelah replikasi.


(54)

dikenal sebagai master guardian of the genome dan merupakan unsur utama dalam memelihara keseimbangan genetik. Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang salah atau kerusakan DNA kemudian menginduksi gen reparasi DNA serta menginduksi apoptosis. p53 hanya akan berfungsi baik bila normal. Pada umumnya defek p53 adalah point mutation, disfungsi p53 dapat terjadi akibat pengikatan p53

oleh onkogen virus seperti Lmp-1 (Gambar 7).27,28,29

Gambar 8. Skema ilustrasi p53 checkpoint27

Pada gambar di atas menunjukkan internal kontrol (checkpoint.) Terdapat dua

checkpoint inti, satu terdapat pada masa transisi antara G1/S checkpoint dan G2/M

checkpoint yang berfungsi untuk memeriksa kerusakan DNA, jika ditemukan adanya kerusakan, maka sirkulasi sel akan melambat, waktu ini akan digunakan untuk memperbaiki DNA yang rusak, jika tidak dapat diperbaiki maka jalan untuk terjadinya apoptosis akan aktif dan DNA yang rusak akan dihancurkan. Gen p53

seharusnya merangsang p21 menekan semua cyclin dependent kinase agar cyclin

tidak dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya, siklus sel akan memberikan waktu terjadinya perbaikan DNA sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak terhenti


(55)

untuk melakukan perbaikan DNA kerena terjadi mutasi pada gen p53 maka p21 yang seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan (Gambar 8) .27,28

Gambar 9. Peran p53 pada sel normal dan sel yang mengalami mutasi 27

Fungsi apoptosis akan terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu apoptosis p53. Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan sel menjadi immortal.

Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang tergantung p53. Selanjutnya tidak terjadi perhentian siklus sel dan mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.27

2.4 Pewarnaan imunohistokimia

Imunohistokimia merupakan proses untuk mendeteksi antigen (protein, karbohidrat, dsb.) pada sel dari jaringan, dengan prinsip reaksi antibodi yang berikatan terhadap antigen pada jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari nama “immune” yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah


(56)

penggunaan antibodi dan “histo” menunjukkan jaringan secara mikroskopis. Imunohistokimia seringkali digunakan untuk mengukur dan mengidentifikasi karakteristik dari even seluler seperti proses proliferasi sel, apoptosis sel. Imunohistokimia juga sering digunakan untuk penelitian dasar dalam rangka mengetahui distribusi dan lokasi biomarker ataupun protein tertampil pada berbagai macam jaringan pada tubuh.30 Untuk memvisualisasikan hasil interaksi antara antigen dan antibodi dapat dilakukan dengan berbagai cara, dimana cara yang paling sering digunakan ialah dengan konjugasi antibodi dengan enzim seperti peroksidase. Untuk mempelajari morfologi sel, sel dalam jaringan difiksasi kemudian dilokalisasi diantara sel dan divisualisasikan dengan mikroskop elektron atau mikroskop cahaya.16

Secara garis besar, untuk metode imunohistokimia, dapat dilakukan dengan metode direct (Gambar 10) yaitu menggunakan antibodi primer yang sudah terlabel dan berikatan langsung dengan antigen target secara langsung, maupun indirect

(Gambar 11) yaitu menggunakan antibodi primer yang tidak ada labelnya, namun digunakan juga antibodi sekunder yang sudah memiliki label dan akan bereaksi dengan antibodi primer dimana keduanya ditentukan oleh prinsip reaksi antibodi yang digunakan, yakni:


(57)


(58)

2.5 Kerangka Konseptional

Epstein-Barr virus (EBV)

Lmp-1

Sel Epitel rongga mulut Proliferasi sel (+)

Apoptosis (-) Mutasi gen

Karsinoma rongga mulut

Pewarnaan imunohistokimia

Antibodi primer (Lmp-1)

Berikatan dengan protein sel kanker (first layer)

EBER EBNA

Antibodi sekunder ( HRP) Berikatan dengan H202

DAB (Diaminobenzidine)

Tidak menampilkan warna coklat

Menampilkan warna - coklat lemah - coklat sedang

- coklat kuat Berikatan

Ket : variabel yang tidak diteliti


(59)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel skuamosa dan merupakan salah satu jenis kanker yang ditemukan pada mukosa rongga mulut.1,2,3 KSS rongga mulut dapat terjadi pada semua tempat di rongga mulut, seperti pada bagian lidah, pangkal lidah, dasar mulut, palatum, daerah tonsila, mukosa pipi dan gingiva.4 Sifat letal dari KSS rongga mulut adalah kemampuan menginvasi pada jaringan sekitar.

Insidensi KSS sekitar 95% dari seluruh jenis keganasan yang terdapat pada rongga mulut, frekuensi KSS rongga mulut di Indonesia mencapai 3-5% dari seluruh kanker organ tubuh lainnya.

5,6

7,8

Di Medan menurut data penelitian yang didapat Octavia (2003) dan Puspasari (2008) pada tahun 1997-2012 yang dilakukan di bagian


(60)

patologi anatomi RSUP Haji Adam Malik Medan, didapatkan angka insidensi KSS rongga mulut adalah di antara 86 - 90,5% dari seluruh keganasan di rongga mulut.9,10

Etiologi KSS rongga mulut sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti, namun diduga terdapat faktor karsinogenik sebagai pemicu untuk terjadinya karsinoma antara lain: (1) Faktor lokal, berupa kebiasaan merokok dan minum alkohol, makanan dan status nutrisi, sinar Ultra Violet (UV), oral higiene yang buruk, iritasi kronis dan infeksi virus salah satunya adalah Epstein-barr virus (EBV (2) Faktor sistemik berupa defiseiensi zat besi, kekurangan vitamin A dan Syphilis. EBV

juga disebut Human herpesvirus 4 (HHV-4) yang termasuk dalam famili herpes (virus Herpes simplex dan Cyttomegalovirus juga tergolong dalam famili herpes). Virus ini merupakan salah satu virus yang paling umum pada manusia dan mampu menyebabkan penyakit mononukleosis.

5,11,12

Infeksi mononukleosis biasanya terjadi dengan cara kontak langsung melalui saliva. Menurut penelitian Gonzales (2002) dinyatakan bahwa EBV dapat menginfeksi mukosa rongga mulut secara laten, dengan infeksi EBV sekitar 15% di antara pasien KSS secara periodik akan menjadi aktif.13 Menurut Higa dkk (2002) KSS yang terjadi pada penduduk Okinawa Jepang terkait dengan infeksi EBV.14

EBV sering dikaitkan dengan transformasi malignansi sel, terutama melalui tindakan dari oncoprotein Latent membrane protein-1 (Lmp-1), yang terdapat dalam virus. Tampilan Lmp-1 pada imunodepresi bisa menginduksi transformasi oncogeni dari sel limfosit B dan menimbulkan proses limfo-proliferatif.

Pada masa laten terdapat beberapa produk gen yang bisa diekspresikan antara lain Latent membrane protein-1 (Lmp-1), EBV RNA (EBER), EBV Nuclear antigen (EBNA). Pada penelitian ini hanya dilakukan dengan melihat tampilan imunohistokimia produk gen laten virus EBV berupa Lmp-1 yang akan menampilkan warna coklat akibat banyak protein Lmp-1 yang dihasilkan EBV pada proses karsinogenik.

15

Tampilan Lmp-1

sebagai penanda onkoprotein dari virus pada kasus EBV positif diindikasikan bahwa infeksi laten bisa menjadi salah satu penyebab transformasi onkogeni dari lapisan epitel rongga mulut yang terinfeksi.15TampilanLmp-1 secara langsung berhubungan dengan onkogenesi karena Lmp-1 mempunyai kemampuan menginhibisi terjadinya


(61)

apoptosis dan dapat meningkatkan konsentrasi Bcl2. Pemeriksaan Lmp-1

menggunakan pewarnaan imunohistokimia.16,17,18

Berdasarkan permasalahan di atas maka peneliti melakukan penelitian tampilan produk gen latent membrane protein-1 (Lmp-1) epstein-barr virus pada kasus karsinoma sel skuamosa rongga mulut. Dengan mengkaji ekspresi gen EBV

pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut dapat digunakan sebagai upaya pencegahan dini.

Tampilan imunohistokimia Lmp-1

dikatakan positif apabila menampilkan warna coklat pada membran inti sel tumor yang menunjukkan bahwa ada EBV pada sel tumor. Jika tidak menampilkan warna coklat pada hasil pewarnaan imunohistokimia maka Lmp-1 dikatakan negatif, tetapi hasil tersebut belum tentu menunjukkan bahwa tidak ada EBV.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimana tampilan imunohistokimia Lmp-1 yang dihasilkan EBV pada KSS rongga mulut?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1.Tujuan Umum

Untuk melihat KSS rongga mulut yang menampilkan gen latent membrane protein-1 (Lmp-1).

1.3.2. Tujuan khusus

1. Untuk melihat tampilan imunohistokimia Lmp-1 pada sub-tipe KSS rongga mulut.


(62)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Biologi Oral Tahun 2013

Anita Carolina

Tampilan imunohistokimia Latent membrane protein-1 (Lmp-1) Epstein-barr virus pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut.

vi + 42 Halaman

Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah salah satu jenis kanker yang ditemui di rongga mulut. Etiologi yang diduga sebagai penyebab KSS rongga mulut adalah

Epstein-Barr virus (EBV). Tujuan penelitian ini melihat tampilan Latent Membrane Protein-1 (Lmp-1) sebagai salah satu protein yang dihasilkan oleh EBV yang berperan dalam proses karsinogenesis KSS rongga mulut, dan menghubungkannya dengan intensitas tampilan imunohistokimia Lmp-1 terhadap sub-tipe KSS (Keratinisasi dan Nonkeratinisasi). Rancangan penelitian ini merupakan deskriptif dengan pendekatan

cross sectional terhadap 30 sampel blok parafin yang terdiagnosa sebagai KSS rongga mulut yang diperoleh dari Laboratorium Patologi Anatomi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2011, dengan menggunakan pemeriksaan imunohistokimia

Lmp-1 (Clones CS1-4, ready to use, Dako Co, Denmark) dan dilihat di bawah mikroskop cahaya merek Olympus CX21. Hasil penelitian diperoleh 27 kasus (90%)

Lmp-1 positif, yang terdiri dari 23 kasus (100%) pada lesi KSS keratinisasi, dan 4 kasus (57,1%) lesi KSS nonkeratinisasi. Sedangkan 3 kasus (10%) Lmp-1 negatif hanya dijumpai pada kasus KSS nonkeratinisasi. Hasil pewarnaan imunohistokimia

Lmp-1 positif dengan intensitas kuat dijumpai sebanyak 20 kasus (66,7%), intensitas sedang 7 kasus (23,3%), dan tidak ditemukan hasil dengan intensitas yang lemah. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan adanya peran EBV terhadap proses karsinogenesis KSS rongga mulut dengan melihat tampilan Lmp-1 positif dan intensitas yang kuat,sedang.

Kata kunci : Epstein-barr virus (EBV), Latent membrane protein-1 (Lmp-1), Karsinoma sel skuamosa rongga mulut.


(63)

TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA

LATENT MEMBRANE

PROTEIN-1

(

LMP-1

)

EPSTEIN-BARR VIRUS

PADA

KARSINOMA SEL SKUAMOSA

RONGGA MULUT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh : Anita Carolina NIM :090600142

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(64)

Fakultas Kedokteran Gigi Departemen Biologi Oral Tahun 2013

Anita Carolina

Tampilan imunohistokimia Latent membrane protein-1 (Lmp-1) Epstein-barr virus pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut.

vi + 42 Halaman

Karsinoma sel skuamosa (KSS) adalah salah satu jenis kanker yang ditemui di rongga mulut. Etiologi yang diduga sebagai penyebab KSS rongga mulut adalah

Epstein-Barr virus (EBV). Tujuan penelitian ini melihat tampilan Latent Membrane Protein-1 (Lmp-1) sebagai salah satu protein yang dihasilkan oleh EBV yang berperan dalam proses karsinogenesis KSS rongga mulut, dan menghubungkannya dengan intensitas tampilan imunohistokimia Lmp-1 terhadap sub-tipe KSS (Keratinisasi dan Nonkeratinisasi). Rancangan penelitian ini merupakan deskriptif dengan pendekatan

cross sectional terhadap 30 sampel blok parafin yang terdiagnosa sebagai KSS rongga mulut yang diperoleh dari Laboratorium Patologi Anatomi FK USU/RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2009-2011, dengan menggunakan pemeriksaan imunohistokimia

Lmp-1 (Clones CS1-4, ready to use, Dako Co, Denmark) dan dilihat di bawah mikroskop cahaya merek Olympus CX21. Hasil penelitian diperoleh 27 kasus (90%)

Lmp-1 positif, yang terdiri dari 23 kasus (100%) pada lesi KSS keratinisasi, dan 4 kasus (57,1%) lesi KSS nonkeratinisasi. Sedangkan 3 kasus (10%) Lmp-1 negatif hanya dijumpai pada kasus KSS nonkeratinisasi. Hasil pewarnaan imunohistokimia

Lmp-1 positif dengan intensitas kuat dijumpai sebanyak 20 kasus (66,7%), intensitas sedang 7 kasus (23,3%), dan tidak ditemukan hasil dengan intensitas yang lemah. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan adanya peran EBV terhadap proses karsinogenesis KSS rongga mulut dengan melihat tampilan Lmp-1 positif dan intensitas yang kuat,sedang.

Kata kunci : Epstein-barr virus (EBV), Latent membrane protein-1 (Lmp-1), Karsinoma sel skuamosa rongga mulut.


(65)

TAMPILAN IMUNOHISTOKIMIA

LATENT MEMBRANE

PROTEIN-1

(

LMP-1

)

EPSTEIN-BARR VIRUS

PADA

KARSINOMA SEL SKUAMOSA

RONGGA MULUT

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran gigi

Oleh : Anita Carolina NIM :090600142

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(66)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, 11 Juli 2013

Pembimbing: Tanda tangan

1. dr. Betty, M.Ked.(PA),Sp.PA NIP. 19681009 199902 3 002 2. Rehulina Ginting,drg.,M.Si NIP. 19511018 198003 2 001


(67)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 11 juli 2013

TIM PENGUJI

KETUA : dr. Betty, M.Ked.(PA),Sp.PA ANGGOTA : 1. Rehulina Ginting,drg.,M.Si

2. Minasari,drg.


(68)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas kasih dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih kasih banyak kepada Betty, dr., M.Ked. (PA). Sp.PA. selaku pembimbing skripsi yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan masukan, bimbingan, arahan yang sangat berguna dalam meningkatkan semangat dan motivasi penulis untuk penyelesaian skripsi ini. Juga tidak lupa ucapan terima kasih kepada Rehulina Ginting, drg., M.Si., selaku kepala Departemen Biologi Oral Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara dan pembimbing skripsi yang juga telah membimbing dan membantu penulis serta memberikan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Prof. Nazruddin, drg., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Sumadhi S, drg.,Ph.D dan Kholidina Imanda Harahap.,drg selaku penasehat akademik yang selama ini telah banyak memberikan nasehat selama penulis menjalankan pendidikan di fakultas kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 3. Seluruh staf pengajar dan pegawai Departemen Biologi Oral FKG USU Lisna Unita, drg., M.Kes, Minasari, drg., Yendriwati, drg., M.Kes., Dr. Ameta Primasari, drg., MDSc., M.Kes., dan Yumi Lindawati, drg., selaku para staf pengajar Departemen Biologi Oral. Ngaisah dan Dani Irma Suryani selaku staf pegawai yang telah membantu dalam penelitian, memberikan saran, arahan dan motivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Seluruh dokter dan pegawai di Departemen Patologi Anatomi FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan.


(69)

5. Teman dekat dan sahabat-sahabat penulis Lulu, Julia, Witta, Olivia yang telah banyak memberikan masukan dalam pembuatan skripsi ini. Femy Rilinda, Shalini Jagadisen, Dwi Desmiana, Novelya, Sherly, Sri fitria yang telah memberi semangat penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

8. Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta Ayah Djoni Iwan dan Ibu Elty N yang selalu memberikan semangat, nasehat, kesabaran, doa, kasih sayang dan dukungan baik moral maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua adik tersayang Pangeran dan Irawan Chandra, abo Rita, sepupu Henny Sutrisman,drg.,MDSc untuk semua doa, semangat, dukungan dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan di dalam penulisan skripsi ini dan penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menghasilkan karya yang lebih baik lagi di kemudian hari.

Akhir kata penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas dan mahasiswa.

Medan,11 Juli 2013

Penulis,

(...) Anita Carolina


(70)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL...

HALAMAN PERSETUJUAN... HALAMAN TIM PENGUJI... KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTRA TABEL... DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR LAMPIRAN...

BAB 1 PENDAHULUAN... 1.1 Latar belakang... 1.2 Rumusan masalah... 1.3 Tujuan penelitian... 1.3.1 Tujuan umum... 1.3.2 Tujuan khusus... 1.4 Manfaat penelitian... 1.4.1 Manfaat teoritis... 1.4.2 Manfaat praktis... BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 2.1 KSS rongga mulut... 2.1.1 Gambaran histopatologi Sel skuamosa rongga

mulut... 2.1.2 Etiologi... i iii iv v vi 1 1 3 3 3 3 3 3 3 4 4 5 8


(71)

2.2 Epstein barr virus (EBV)... 2.2.1 Gejala klinis EBV... 2.2.2 Siklus hidup EBV...

2.2.3 Patogenesis... 2.3 Latent membrane protein-1 (Lmp-1)... 2.3.1 Hubungan Lmp-1 terhadap KSS rongga mulut... 2.4 Pewarnaan imunohistokimia... 2.5 Kerangka konsep... BAB 3 METODE PENELITIAN...

3.1 Jenis penelitian... 3.2 Lokasi penelitian dan waktu penelitian... 3.2.1 Lokasi penelitian... 3.2.2 Waktu penelitian... 3.3 Populasi dan sampel... 3.3.1 Populasi... 3.3.2 Sampel... 3.3.3 Besar sampel... 3.4 Kriteria inklusi dan ekslusi... 3.4.1 Kriteria inklusi... 3.4.2 Kriteria ekslusi... 3.5 Kerangka operasional... 3.6 Variabel penelitian... 3.6.1 Variabel bebas... 3.6.2 Variabel terikat... 3.6.3 Variabel terkendali... 3.7 Definisi operasional... 3.8 Alat dan bahan... 3.8.1 Alat penelitian... 3.8.2 Bahan penelitian... 3.9 Metode pengumpulan data... 3.9.1 Pembuatan sediaan mikroskpis... 3.9.2 Prosedur pewarnaan Hematoxiline Eosin... 3.9.3 Prosedur pulasan imunohistokimia antibodi monoclonal

Lmp-1... 3.10 Analisis data...

BAB 4 HASIL PENELITIAN...

9 10 10 11 12 13 16 19 20 20 20 20 20 20 20 20 21 21 21 22 22 23 23 23 23 23 25 25 26 26 26 27 27 28


(72)

BAB 5 PEMBAHASAN... BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

29 34 38 42


(73)

Gambar

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Gambaran histopatologi KSS differensiasi baik... 6 2 Gambaran histopatologi KSS differensiasi sedang... 7 3 4 5 6 7 8 9

Gambaran histopatologi KSSdifferensiasi buruk... Dua virions Epstein-barr virus…………...

Model EBV...

Skema molekuler dasar kanker... Siklus sel dan replikasi sel... Skema ilustrasi p53checkpoint... Peran p53 pada sel normal dan sel yang mengalami mutasi..

7 9 12 13 14 15 16 10 11

Metode ImunohistokimiaDirect……... Metode Imunohistokimia Indirect…...

17 18


(74)

Tabel

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Klasifikasi WHO tumor pada kavitas rongga mulut... 5 2 Persentase distribusi frekuensi karakteristik umum sub-

jek yang diteliti... 29 3 Distribusi frekuensi tampilan imunohistokimia Lmp-1

pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut... 30 4 Distribusi frekuensi tampilan imunohistokimia Lmp-1

positif pada KSS rongga Mulut...

31

5 Distribusi intensitas tampilan pewarnaan

immunohistokimia Lmp-1 positif pada KSS rongga mulut...

31

6 Distribusi luas tampilan pewarnaan imunohistokimia

Lmp-1 positif pada KSS rongga mulut...

32

7 Distribusi hasil perkalian intensitas warna dengan tampilan imunohistokimia (hasil pewarnaan imuno tokimia) Lmp-1 positif pada karsinoma sel skuamosa ron


(75)

DAFTAR SINGKATAN

CD21 Cluster of differentiation 21 CR 2 Complement reseptor type 2

DAB EBV EBER EBNA Gp HHV-4 HSV HPV HE IHK IL-10 KSS Lmp-1 NCL-RTU-D PBS PMN SCC UV Diamino benzinidine Epstein-barr virus EBV-RNA

EBV nuclear antigen Glikoprotein

Human herpesvirus-4 Herpes simplex virus Human papiloma virus

Pewarnaan Hematoksilin Eosin

Immunohistokimia

Interleukin-10

Karsinoma sel skuamosa

Latent membrane protein-1 Novostain Universal detection kit Phosphate Buffer Saline

Polimorfonukleus

Squamous cell carcinoma


(76)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Alur Pikir. 2. Kerangka Teori.

3. Hasil pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga mulut. 4. Gambar alat dan bahan.

5. a. Pembuatan sediaan mikroskopis dari blok parafin. b. Proses Pemulasan Imunohisokimia antibodi Lmp-1.

6. Data hasil pewarnaan imunohistokimia. 7. Tabel hasil.


(1)

2.2 Epstein barr virus (EBV)... 2.2.1 Gejala klinis EBV... 2.2.2 Siklus hidup EBV...

2.2.3 Patogenesis... 2.3 Latent membrane protein-1 (Lmp-1)... 2.3.1 Hubungan Lmp-1 terhadap KSS rongga mulut... 2.4 Pewarnaan imunohistokimia... 2.5 Kerangka konsep... BAB 3 METODE PENELITIAN...

3.1 Jenis penelitian... 3.2 Lokasi penelitian dan waktu penelitian... 3.2.1 Lokasi penelitian... 3.2.2 Waktu penelitian... 3.3 Populasi dan sampel... 3.3.1 Populasi... 3.3.2 Sampel... 3.3.3 Besar sampel... 3.4 Kriteria inklusi dan ekslusi... 3.4.1 Kriteria inklusi... 3.4.2 Kriteria ekslusi... 3.5 Kerangka operasional... 3.6 Variabel penelitian... 3.6.1 Variabel bebas... 3.6.2 Variabel terikat... 3.6.3 Variabel terkendali... 3.7 Definisi operasional... 3.8 Alat dan bahan... 3.8.1 Alat penelitian... 3.8.2 Bahan penelitian... 3.9 Metode pengumpulan data... 3.9.1 Pembuatan sediaan mikroskpis... 3.9.2 Prosedur pewarnaan Hematoxiline Eosin... 3.9.3 Prosedur pulasan imunohistokimia antibodi monoclonal

Lmp-1... 3.10 Analisis data...

BAB 4 HASIL PENELITIAN...

9 10 10 11 12 13 16 19 20 20 20 20 20 20 20 20 21 21 21 22 22 23 23 23 23 23 25 25 26 26 26 27 27 28


(2)

BAB 5 PEMBAHASAN... BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

29 34 38 42


(3)

Gambar

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Gambaran histopatologi KSS differensiasi baik... 6 2 Gambaran histopatologi KSS differensiasi sedang... 7 3

4 5

6 7

8 9

Gambaran histopatologi KSSdifferensiasi buruk... Dua virions Epstein-barr virus…………...

Model EBV...

Skema molekuler dasar kanker... Siklus sel dan replikasi sel...

Skema ilustrasi p53checkpoint... Peran p53 pada sel normal dan sel yang mengalami mutasi..

7 9 12

13 14

15 16 10

11

Metode ImunohistokimiaDirect……... Metode Imunohistokimia Indirect…...

17 18


(4)

Tabel

DAFTAR TABEL

Halaman 1 Klasifikasi WHO tumor pada kavitas rongga mulut... 5 2 Persentase distribusi frekuensi karakteristik umum sub-

jek yang diteliti... 29 3 Distribusi frekuensi tampilan imunohistokimia Lmp-1

pada karsinoma sel skuamosa rongga mulut... 30 4 Distribusi frekuensi tampilan imunohistokimia Lmp-1

positif pada KSS rongga Mulut...

31

5 Distribusi intensitas tampilan pewarnaan

immunohistokimia Lmp-1 positif pada KSS rongga mulut...

31

6 Distribusi luas tampilan pewarnaan imunohistokimia

Lmp-1 positif pada KSS rongga mulut...

32

7 Distribusi hasil perkalian intensitas warna dengan tampilan imunohistokimia (hasil pewarnaan imuno tokimia) Lmp-1 positif pada karsinoma sel skuamosa ron


(5)

DAFTAR SINGKATAN

CD21 Cluster of differentiation 21 CR 2 Complement reseptor type 2

DAB EBV EBER EBNA Gp HHV-4

HSV HPV HE IHK IL-10

KSS

Lmp-1 NCL-RTU-D PBS

PMN SCC UV

Diamino benzinidine Epstein-barr virus EBV-RNA

EBV nuclear antigen Glikoprotein

Human herpesvirus-4 Herpes simplex virus Human papiloma virus

Pewarnaan Hematoksilin Eosin

Immunohistokimia

Interleukin-10

Karsinoma sel skuamosa

Latent membrane protein-1 Novostain Universal detection kit Phosphate Buffer Saline

Polimorfonukleus

Squamous cell carcinoma


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Alur Pikir. 2. Kerangka Teori.

3. Hasil pewarnaan imunohistokimia Lmp-1 pada KSS rongga mulut. 4. Gambar alat dan bahan.

5. a. Pembuatan sediaan mikroskopis dari blok parafin. b. Proses Pemulasan Imunohisokimia antibodi Lmp-1.

6. Data hasil pewarnaan imunohistokimia. 7. Tabel hasil.