MAKALAH SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA TANT (1)

TANTANGAN MASA DEPAN DALAM MEMPERSIAPKAN PENDIDIK
BERKUALITAS
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan sektor sangat menentukan kualitas suatu bangsa. Kegagalan
pendidikan berimplikasi pada gagalnya suatu bangsa, keberhasilan pendidikan juga
secara otomatis membawa keberhasilan sebuah bangsa. Pada dunia pendidikan,
hendaknya memperhatikan unsur pendidikan, yang diantaranya: peserta didik,
pendidik, software, manajemen, sarana dan prasarana dan stake holder. Aset yang
diperlukan dalam pendidikan adalah sumber daya manusia yang bekualitas.
Sumber daya yang berkualitas dapat berupa dari siswa, masyarakat, maupun dari
pendidik.
Pelaksanaan suatu pendidikan mempunyai fungsi, antara lain: inisiasi, inovasi, dan
konservasi. Inisiasi merupakan fungsi pendidikan untuk memulai suatu perubahan.
Inovasi merupakan wahana untuk mencapai perubahan. Konservasi berfungsi
untuk menjaga nilai-nilai dasar. Oleh sebab itu, untuk memperbaiki kehidupan
suatu bangsa, harus dimulai penataan dari segala aspek dalam pendidikan.
1 Jamal Ma’mur Asmani, Manajemen pengelola Kepemimpinan Pendidikan
Profesional, (2009)
Tujuan dari pendidikan yang diharapkan adalah menciptakan out come pendidikan
yang berkualitas sesuai dengan harapan dari berbagai pihak. Dalam hal ini,

pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Manajemen yang bagus
(good management) dalam dunia pendidikan di Indonesia sangat diharapkan oleh
seluruh warga Indonesia. Manajemen pendidikan yang bagus dapat diciptakan dan
dapat dilaksanakan oleh manajer pendidikan yang berkualitas. Manajer dalam
dunia pendidikan salah satunya adalah guru. Tugas guru selain mengajar, juga
menjadi seorang manajer pendidikan. Seorang guru harus dapat merencanakan
manajemen yang baik. Menurut Jamal Ma’mur Asmani (2009), Manajer
pendidikan yang bagus adalah seseorang yang mau merencanakan manajemen
pendidikan dimasa yang akan datang.
Saat ini dunia pendidikan nasional Indonesia berada dalam situasi “kritis” baik
dilihat dari sudut internal kepentingan pembangunan bangsa, maupun secara
eksternal dalam kaitan dengan kompetisi antar bangsa. Fakta menunjukkan bahwa,
kualitas pendidikan nasional masih rendah dan jauh ketinggalan dibandingkan

dengan negara-negara lain. Berbagai kritikan tajam yang berasal dari berbagai
sudut pandang terus ditujukan kepada dunia pendidikan nasional dengan berbagai
alasan dan kepentingan. Bahkan ada beberapa pihak yang menuding bahwa krisis
Nasional sekarang ini bersumber dari pendidikan dan lebih jauh ditudingkan
sebagai kesalahan guru. Benarkah ada unsur “salah” pada guru? Mungkin “ya” dan
mungkin “tidak” tergantung dari sudut mana memandang dan menilainya. Namun

yang pasti ialah bahwa kondisi guru saat ini bersumber dari pola-pola bangsa ini
memperlakukan guru. Meskipun diakui guru sebagai unsur penting dalam
pembangunan bangsa, namun secara ironis guru belum memperoleh penghargaan
yang wajar sesuai dengan martabat serta hak-hak azasinya. Hal itu tercermin dari
belum adanya jaminan kepastian dan perlindungan bagi para guru dalam
pelaksanaan tugas dan perolehan hak-haknya sebagai pribadi, tenaga kependidikan,
dan warga negara.
2 Ibid. hal 29
Siapapun mulai dari Presiden, wakil rakyat, para pejabat, dan semua warga
masyarakat sangat setuju bahwa kualitas pendidikan kita harus ditingkatkan untuk
mengejar ketertinggalannya di dalam tantangan global. Namun bagaimana upaya
itu harus dilakukan secara sistemik agar dapat terwujud dengan baik. Tulisan ini
akan mengemukakan satu pandangan bahwa upaya mencapai pendidikan
berkualitas harus dimulai dengan guru yang berkualitas. Upaya meningkatkan
kualitas pendidikan tanpa memperhitungkan guru secara nyata, hanya akan
menghasilkan satu fatamorgana atau sesuatu yang semu dan tipuan belaka. Guru
yang berkualitas bukan hanya diwujudkan dari eksternal sekolah akan tetapi faktor
internal sekolah terutama dalam mengembangkan lingkungan sekolah yang
efektiflah yang memberi dampak sangat penting mewujudkan guru yang
berkualitas.

Sehubungan dengan itu bahasan berikut akan menyampaikan hal-hal yang
berkaitan dengan meneropong tantangan pendidikan global, beberapa tantangan
dan solusi masa depan pendidikan, serta upaya membangun pendidikan guru yang
ideal. Bahasannya baru merupakan pikiran awal yang masih harus dikaji dan
dikembangkan lebih lanjut berdasarkan kajian sumber-sumber empiris dari
berbagai penelitian dan pengalaman nyata baik dalam maupun luar negeri. Dalam
ketidak sempurnaan ini ibarat setitik air di tengah samudra luas namun semoga
memberi manfaat dan sumbangsih bagi kaum guru dan dunia pendidikan pada
umumnya.

BAB II
MENEROPONG TANTANGAN PENDIDIKAN GLOBAL
Dunia yang semakin mengglobal sekarang ini, bergerak dan berubah semakin cepat
dan kompetitif. Semua bidang mengalami pergeseran dan tantangan, termasuk
lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan menghadapi tantangan serius untuk
mampu mengikuti sekaligus berada digarda depan perubahan global tersebut.
Kalau tidak mampu menjawabnya, maka lembaga pendidikan tidak akan
berwibawa di hadapan roda dinamika zaman yang berjalan dengan cepat. Bahkan,
lembaga pendidikan akan dianggap tidak mampu mengantisipasi realitas kekinian
yang terjadi.

Karena itu, tidak ada waktu santai bagi dunia pendidikan dalam merespon secara
cepat perubahan global tersebut. Ia harus mendinamisasi diri secara massif dan
akseleratif agar mampu mengejar ketertinggalan dan mampu memimpin perubahan
masa depan yang meniscayakan kreativitas tinggi, produktivitas memadai, dan
daya jangkau yang mendunia. Reformasi besar-besaran harus segera dilakukan
lembaga pendidikan jika tetap ingin survive dan memenangkan kompetensi
terbuka. Infra dan supra struktur harus dilengkapi, didefinisikan ulang, dan
diorientasikan ulang secara efektif, baik konsep maupun implementasinya.
1 Lihat kompas, tanggal 20/4/2009
Laporan kompas (20/4/2009) menjelaskan, betapa perguruan-perguruan tinggi
disingapura sudah jauh-jauh hari mengirim tim khusus untuk mengamati dan
bernegosiasi dengan para pelajar berprestasi di Indonesia dengan iming-iming
fasilitas memadai dan masa depan yang prospektif agar mereka melanjutkan studi
dan bekerja disana. Ini adalah tamparan keras bangsa ini. Asset-aset potensial masa
depan ditelantarkan bangsa sendiri dan dimanfaatkan pihak asing untuk
kepentingannya.1
Kalau realitasnya seperti ini, kapan bangsa ini bisa sejajar dengan bangsa-bangsa
yang maju. Jika sumber daya manusia yang cerdas dan kreatif diangkut ke negeri
asing dan dijadikan tenaga professional di negeri mereka, maka yang tersisa di
negeri ini tentu kader-kader muda yang rendah kualitasnya, kurang percaya diri

menghadapi perubahan, dan malas belajar. Kedepan bangsa ini menjadi bangsa

yang miskin dan terbelakang, menjadi budak di negeri sendiri, tanahnya menjadi
rebutan investor asing dan kesejahteraan semakin jauh dari harapan.
Disinilah urgensi lembaga pendidikan meneropong tantangan-tantangan dunia
dengan kecepatan tinggi, mendeskripsikannya secara detail, menyiapkan langkahlangkah terukur dan sistematis, dan berjuang mewujudkan mimpi besar sebagai
Negara yang melek ilmu pengetahuan dan teknologi. Murid-murid berprestasi
diperhatikan dengan serius, diberikan beasiswa penuh untuk melanjutkan ke
tingkat yang lebih tinggi di berbagai perguruan tinggi, baik di dalam dan luar
negeri, dan memberikan prospek pekerjaan cerah sesuai dengan bidang
keahliannya. dari sinilah, pelan tapi pasti, bangsa ini akan mengalami
perkembangan signifikan dalam penguasaan iptek. Intinya semua berawal dari
penataan lembaga pendidikan yang efektif yang melahirkan aktor-aktor genius
masa depan yang kreatif.
Dengan demikian, pendidikan harus memberikan hal-hal yang terkait dengan
pertumbuhan, perubahan, pembaharuan, dan juga hal-hal yang terus berlangsung.
Karena hidup terus berlangsung, maka menangani pendidikan sebetulnya sama
dengan menangani masa depan, me-manage masa depan. Oleh karena itu,
pendidikan harus terus menerus diperbaharui, dipertegas, dan dipertajam.
Menjemput masa depan yang cerah membutuhkan sebuah proses yang cukup

serius. Di situlah peran seorang pendidik untuk mengondisikan peserta didik, baik
di tengah keluarga, masyarakat, ataupun secara formal sekolah. Sehingga, sekarang
orang pun tidak terlalu memilah-milah antara pendidikan disekolah dan pendidikan
di rumah yang merupakan terminology pendidikan klasik yang formal. Oleh karena
itu, pendidikan tidak akan pernah berakhir. Long life education.
Sayang, di tengah pusaran perubahan dahsyat sekarang ini, tantangan pendidikan
semakin kompleks. Setiap insan pendidikan dituntut untuk merumuskan tantangan
tersebut dan menjawabnya dengan ide-ide segar yang solutif dan aplikatif. Prof.
Dr. Mastuhu, M.Ed memotret tentang tantangan lembaga pendidikan dalam dua
kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal.
A. Tantangan eksternal
Tantangan eksternal yang dirasakan dunia pendidikan saat ini antara lain:
1.
Globalisasi
Globalisasi sering diterjemahkan dengan istilah mendunia. Suatu entitas, betapa
pun kecilnya, disampaikan oleh siapa pun, di mana pun dan kapan pun, akan
dengan cepat menyebar ke seluruh pelosok dunia, baik berupa ide, gagasan, data,

informasi, produksi, pembangunan, sabotase, dan sebagainya; begitu disampaikan,
saat ini pula diketahui oleh semua orang di seluruh dunia.

Globalisasi, selain menghadirkan peluang positif, juga dapat menghadirkan
peluang negatif, yaitu menimbulkan keresahan, penderitaan, dan penyesatan.
Dalam globalisasi terjadi “banjir pilihan dan peluang”, terserah kemampuan
seseorang untuk memilikinya. Dalam ranah pendidikan, mampukah kita
menciptakan dan mengembangkan system pendidikan yang menghasilkan lulusanlulusan yang “mampu memilih” tanpa kehilangan peluang dan jati diri kita?
2.
Kompleksitas
2 Lihat Prof. Dr. mastuhu, M.Ed , memotret tentang tantangan lembaga pendidikan
dalam dua kategori, yaitu tantangan eksternal dan internal, Menata Ulang
Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional dalam Abad 21 (2003)
Kompleksitas mengesankan bahwa sesuatu terjadi secara serentak, sekaligus,
dalam waktu yang sama, dan semrawut. Saat ini, semua pihak, terutama para
pesaing, pemimpin perusahan, supplier, distributor, ilmuwan, dan pemimpin,
berada dan berlomba dalam perubahan yang terus menerus.
Dalam zaman modern, tidak ada yang tetap kecuali perubahan. Masalahnya,
mampukah kita menyambut dan bermain dengan perubahan sebagai peraturan yang
tidak terhindarkan, tanpa kita diatur atau didikte oleh perubahan?
3. Turbulence
Turbulence adalah suatu daya atau kekuatan yang dahsyat bagaikan
membangunkan harimau tidur di tengah-tengah system kehidupan yang berjalan

rutin, normal dan damai. Turbulence berasal dari istilah yang menggambarkan
kekuatan dahsyat dari tengah mesin seperti “mesin turbo” untuk menggambarkan
menggambarkan kekuatan mobil yang berkemampuan tinggi. Hasil dari
Turbulence adalah daya ledak atau daya ubah yang luar biasa, memporakporandakan system peluang emas bagi para pelaku system.
Masalahnya, system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu mengantar anak
didik untuk tidak mudah “terkejut”, “terheran-heran”, dan mudah “collapse” atau
jatuh, dan putus asa, tetapi mampu bangkit kembali dengan lebih segar, penuh
semangat dan percaya diri?
4.
Dinamika
Inti pengertian dinamika adalah perubahan. Suka atau tidak suka, kita harus
menyambut perubahan. Paradigma baru dalam memandang dinamika adalah makin
dinamis sesuatu, ia makin stabil, dan stabilitas yang makin kokoh akan semakin

menjamin dinamika tinggi pula bagaikan “gangsing” yang berputar cepat, makin
cepat perputaran, makin stabil keseimbangannya. Sebaliknya, makin lambat
perputaran atau gerakannya, makin tidak stabil dan akhirnya jatuh. Tetapi
masalahnya adalah gerakan dinamika yang semakin tinggi juga membuka peluang
benturan antara berbagai komponen atau mata rantai elemen yang menjadi unsurunsur dari system yang bersangkutan, dan terbuka peluang catastrophes
(kecelakaan atau kegagalan).

Kiat baru dari manajemen modern adalah kegagalan suatu system justru ditentukan
oleh mata rantai yang paling rendah dinamikanya. Factor utama yang menentukan
tinggi rendahnya dinamika adalah sumber daya manusia, ilmu, teknologi, dan
telekomunikasi. Dari segi pendidikan, mampukah kita mengembangkan system
pendidikan yang dapat membawa anak didik mampu mengembangkan model
dinamika dalam kesatuannya dengan stabilitas agar tujuan pembangunan dapat
tercapai?
5. Akselerasi
Akselerasi adalah gerak naik atau gerak maju yang dalam era informasi hal itu
adalah perubahan, dengan kata-kata kunci akselerasi cepat dan meningkat; di
dalam dunia bisnis, faktor kunci yang menentukan sukses adalah kompetisi. Dari
sudut pandang ini, mampukah sistem pendidikan membawa anak didik menyadari
pentingnya waktu dan manfaatnya?
6.
Keberlanjutan dari Kuno Menuju modern
Ada suatu kenyataan bahwa yang modern tidak begitu saja lahir dan mengada atau
exist tanpa yang tradisional. Sebaiknya, yang tradisional hanya akan menjadi
dongeng masa lalu tanpa diinjeksi dengan temuan, nilai, pemikiran, semangat, dan
harapan baru. Dalam zaman modern ini, orang dituntut untuk tetap melestarikan
nilai-nilai lama, yang luhur yang bermoral dan seterusnya, sekalipun dari dimensi

teknokratiknya terdapat hal-hal tertentu yang harus sudah ditinggalkan karena
sudah tidak cocok lagi dengan masalah yang dihadapi dengan tetap bersumber
pada nilai-nilai luhur (moral) dari ajaran agama dan nilai kemanusiaan yang terus
berkembang dalam budaya dan pandangan hidup bangsa. Kata-kata kunci untuk
menyambut yang kuno dan yang modern adalah tetap dalam perubahan, bahkan
mengantisipasinya, dan menyadari sepenuhnya bahwa perubahan-perubahan yang
bergerak maju dan semakin cepat itu tidak selalu bergerak linear menurut hukum
sebab akibat dan dapat diprediksi.
7.
Konektivitas

Dalam zaman modern ini, tidak ada satu entitas yang mampu berdiri sendiri.
Semuanya terkoneksi antara satu dengan yang lain dalam suatu jaringan kerja.
Koneksitas bukan hanya sekedar jaringan kerja computer dan jaringan global,
melainkan suatu fenomena di mana suatu entitas dari suatu kemajuan teknologi
dapat masuk ke dalam suatu jaringan kerja global. Saat ini, kita sulit mengisolasi
diri tetap dalam kehidupan alami tanpa terkontaminasi oleh kehidupan modern
yang penuh dengan rekayasa dan barang pengawet.
8.
Konvergensi

Konvergensi muncul bila dua system yang berbeda bergerak menuju satu titik temu
atau suatu pola tanpa meleburkan diri ke dalam satu system. Namun, berkat
teknologi yang semakin canggih dapat diperoleh model baru yang lebih efektif,
produktif, efisien, murah, dan dengan kualitas yang lebih baik. Dalam era
informasi global, terjadi konvergensi yang membawa benturan ide, tradisi, system,
dan sebagainya. Dari silang pendapat ini kemudian terdapat nilai-nilai baru yang
secara universal dapat diterima oleh semua pihak, disamping tetap menyisakan
nilai-nilai lama yang berbeda.
Dengan demikian, core konvergensi dalam abad ke-21 adalah lahirnya entitas baru
yang merupakan tuntutan global, yang menyebar dengan lebih cepat, murah,
tepat/benar, praktis, dapat diterima secara universal, serta memiliki keguanaan
berkali lipat, tanpa meleburkan diri ke dalam sistem-sistem yang baru.
9.
Konsolidasi
Di era global, terdapat kecenderungan dari berbagai subsistem yang tadinya
independen kemudian mengadakan konsolidasi ke dalam kesatuan unit atau blok
yang lebih besar sekaligus dengan strategi baru untuk mendapatkan hasil yang
lebih baik. Kebutuhan untuk melakukan konsolidasi tidak terbatas pada bidang
bisnis saja, tetapi juga pada semua bidang, termasuk bidang agama.
10. Rasionalisasi
Semua system dalam era globalisasi cenderung berpikir ulang dan mengevaluasi
kembali alat-alat dan strateginya agar lebih efektif, efisien, dan produktif dalam
mencapai tujuannya. Sering kali hal itu dilakukan dengan men-setting ulang atau
merumuskan kembali tujuan yang ingin dicapai atau meredefinisikan visi, misi,
orientasasi, tujuan, strategi, alat, SDM-nya, dan sebagainya; demi tercapainya citacita yang dituju.
11. Paradoks Global

Paradoks global benar-benar telah membudaya dalam tata kehidupan modern di
abad ke-21. Paradoks merupakan suatu perumusan atau pernyataan yang absurd,
membingungkan karena tampak bertentangan. Sebab, di dalamnya berisi dua
entitas yang saling bertentangan satu sama lain, tetapi dikemas dalam satu
perumusan atau satu pernyataan. Meski demikian, paradoks tetap abash dan
dibenarkan, misalnya “ lebih sedikit adalah lebih banyak”. Pernyataan tersebut
berasal dari bidang arsitektur yang maksudnya adalah makin sedikit anda
mengacaukan suatu gedung dengan hiasan, makin anggun gedung dimaksud.
Paradoks merupakan keniscayaan yang tidak terhindarkan dalam
kehidupan. Tetapi, paradoks dalam kehidupan modern terasa lebih menggugah dan
mendorong untuk berpikir lebih tajam dan cerdik. Misalnya semakin kecil,
semakin besar. Maksudnya, seperti telepon genggam, makin kecil, makin praktis,
tetapi jangkauannya semakin besar dan beragam. “ semakin besar ekonomi dunia,
semakin kuat pula para pemain terkecilnya”. Maksudnya, perusahan-perusahan
raksasa, tunggal, dan memusat cenderung stagnan dalam memperoleh keuntungan.
Karena itu mereka mengubah diri dalam system hierarchy (sentralistis) menjadi
system heterarki, otonom, reformasi (desentralisasi), yaitu dengan memperbanyak
pusat kekuatan otonom dengan memperbanyak pusat kekuasaan otonom dengan
menggunakan beratus-ratus stasiun kera on-line di seluruh penjuru dunia dengan
hanya ditangani oleh beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari tetapi
menggunakan alat informasi komunikasi yang amat canggih. Diperkirakan,
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu juga akan membutuhkan system
heterarki seperti di atas.
12. Kekuatan Pikiran
Sejarah mencatat, orang berilmu selalu mendapatkan kedudukan social yang lebih
tinggi dan penting. Makin tinggi ilmu yang disandangnya, makin tinggi dan
penting kedudukan sosialnya. Sebaliknya, jika makin maju dan modern suatu
masyarakat, maka makin memberikan peluang bagi warganya untuk meraih ilmu
dan kedudukan yang lebih tinggi. Kekuatan dan kemampuan ilmu dapat lebih cepat
dan lebih dahsyat dari pada perkembangan pemikiran penciptanya. Sering kali
manusia yang menciptakannya terkejut dan terjeran-heran menyaksikan dampak
atau implikasi dan temuannya. Denis Waetley, dalam Jamal Ma’mur Asmani
mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan.
Persoalannya, system pendidikan yang bagaimanakah yang mampu menghasilkan
alumni yang ilmuwan, cendekiawan, dan produktif dalam penemuan baru, tetapi

tetap menjadikan ilmunya sebagai system yang mengabdi kepada kehidupan
bersama dan kepada nilai-nilai kemanusiaan? Wawasan akademik yang bagaimana
yang harus kita kembangkan dalam system pendidikan kita?
B. Tantangan Internal
Selain tantangan eksternal, tantangan internal pendidikan Indonesia adalah
kebijakan pemerintah yang masih belum progresif, baik Orde Lama, Orde Baru,
dan Orde Reformasi.
Pertama, Orde Lama (1945-1965). System Pendidikan Nasional diselenggarakan
berdasarkan Undang-undang No. 4 Tahun 1950 dan dengan UU No. 12 Tahun 1945
yang menyatakan berlakunya UU No. 4 Tahun 1950 di seluruh Republik Indonesia,
selanjutnya dilengkapi dengan persetujuan parlemen, dan beberapa Kepres yang
mengiringinya untuk kebijaksanaan-kebijaksanaan yang levelnya instrumental dan
operasional. Misalnya, inpres No. 8 Tahun 1955 tentang pedoman belajar di luar
negeri, UU No. 8 Tahun 1990 tentang Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
(AIPI), PP No. 38 Tahun 1992 tentang Tenaga Kependidikan dan sebagainya.
Kedua, Orde Baru, dari 1965-1998, System Pendidikan Nasional diselenggarakan
berdasarkan UU no. 2 Tahun 1989, dan diikuti dengan perraturan-peraturan
pemerintah pelaksanaannya seperti PP No. 27 tahun 1990 tentang pendidikan pra
sekolah, dan PP No. 28, 29, dan 60 Tahun 1990 bertutur tentang pendidikan
Pendidikan Dasar Menengah, dan Pendidikan Tinggi, dan sebagainya.
Seiring keadaan tersebut, UU No. 2 tahun 1989 yang merupakan produk Orde
Baru, juga semakin terasa ketidaksesuaiannya dengan tuntutan global. Dalam
pelaksanaan UU No. 2 Tahun 1989 sangat terasa:
Ø Setralisasi. Kerja pendidikan diatur secara memusat, dari pusat sampai ke
pelosok-pelosok daerah yang sangat terpencil, meliputi kurikulum, metode ajar,
tenaga kependidikan, penilaian, ijazah, otoritas penyelenggaraaannya, dana sarana,
dan sebagainya.
Ø Tidak demokratis. Adanya sekolah-sekolah negeri dan swasta yang berbeda
secara diskriminatif, meliputi dana, sarana, otoritas, dan pengakuan terhadap
ijazahnya. Baik buruknya sekolah swasta diakui dan ditentukan oleh pemerintah,
bukan oleh pasar dan pengguna jasa pendidikan, dan sebagainya.
Ø Penyelenggaraan lembaga-lembaga pendidikan dilaksanakan di bawah otoritas
kekuasaan, lengkap dengan otoritas administrasi berakurasi pemerintahan. Padahal,
pendidikan adalah kerja akademik dan bukan kerja perkantoran pemerintahan.
Tidak berbeda antara menyelenggarakan kantor camat atau kelurahan dengan

menyelenggarakan sekolah atau perguruan. Hal ini berlaku untuk semua jenis dan
jenjang pendidikan. Misalnya, penyelenggarakan perguruan tinggi (PT).
Ketiga, Orde Reformasi, dari 1997 sehingga sekarang. Bersamaan dengan
terbongkarnya kepalsuan rezim Orde Baru, orde Reformasi mengalami
keguncangan politik yang amat hebat. Hal itu disebabkan oleh “kran demokrasi”
yang dibuka terlalu lebar. Tampaknya pemimpin dan rakyat masih sama-sama
belajar berdemokrasi. Barang kali, mereka tidak menyadari bahwa demokrasi tidak
identik dengan kebebasan tanpa rambu-rambu. Ingat, demokrasi tidak akan
bermakna tanpa tegaknya sistem dan hukum serta tingginya profesionalitas.
System Pendidikan Nasional masih diatur berdasarkan UU No. 2 Tahun 1989, yang
semua pihak menilainya bahwa UU ini sudah harus diganti dengan yang baru
sesuai dengan tantangan global. Maka munculnya UU No 20 Tahun 2003 dengan
tujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis, serta
bertanggung jawab. Setiap unit atau organisasi yang bergerak dalam bidang
pendidikan dalam menjabarkan kegiatannya mengacu pada tujuan pendidikan
nasional. Tujuan pendidikan nasional ditentukan oleh pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan masukan dari masyarakat atau para
pakar yang berkompeten dan kemudian dirumuskan oleh pemerintah dan anggota
DPR.
Disinilah fungsi strategis lembaga pendidikan untuk merevitalisasi fungsinya
dalam membangkitkan potensi bangsa ke depan, mencetak kader-kader masa depan
andal yang dibutuhkan di era kompetisi terbuka, dan mengantisipasi segala
tantangan dengan langkah-langkah progresif dan produktif sehingga dihormati
bangsa-bangsa lain di dunia.
Melahirkan “Habibi-Habibi” baru tantangan serius dunia pendidikan. Indonesia
sangat membutuhkan sosok teknolog kelas dunia yang mampu berkreasi dan
berjuan keras untuk kemajuan bangsa. Stok politisi dan ekonom kita sudah over,
sedangkan stok teknolognya sangat kurang. Stok teknolog inilah yang harus
diperbanyak agar mereka mampu mengelola kekayaan sember daya alam secara
efisien, produktif, dan akuntabel. Bukan terus menerus menyerahkan kepada
Negara asing yang banyak kepentingan bisnisnya. Dengan mampu mengelola
sendiri, kemandirian bangsa ini semakin kuat dan posisi tawar menawarnya dengan
bangsa lain semakin tinggi. Bangsa ini tidak terus ditekan dan ditentukan nasibnya

oleh bangsa lain, tapi oleh dirinya sendiri dalam mengembangkan aset-aset
produktif bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Potret pendidikan di atas, baik internal maupun eksternal, adalah tantangan serius
bagi insan pendidikan untuk mengubahnya menjadi peluang berprestasi. Orang
yang sukses adalah yang mampu mengubah tantangan menjadi peluang meraih
sukses. Oleh karena itu, semua insan pendidikan seyogianya memandang tantangan
pendidikan di atas sebagai starting point melakukan langkah-langkah dinamis dan
progresif dalam mengembangkan diri seoptimal mungkin untuk mengejar
ketertinggalan dan kemunduran. Jangan berlaku putus asa, patah semangat, dan
mundur teratur, sekali kita mundur, maka kondisi pendidikan di negeri ini
semakain amburadul dan bangsa ini semakin tertindas.
Menurut Ahmad Makki dalam Jamal Ma’mur Asmani, jika pendidikan dalam
sebuah bangsa sudah maju, niscaya akan maju pula bangsa itu. Sebaliknya ketika
pendidikan di suatu bangsa tidak berkembang, maka dapat dipastikan bangsa akan
terbelakang. Pada hakikatnya, pendidikan bertujuan memfasilitasi pencapaian
tujuan kehidupan manusia yang sesungguhnya. Untuk itulah sekarang kita dituntut
untuk dapat mengembangkan system pendidikan yang sesuai dengan tuntutan
zaman global, dengan pendidikan yang berperspektif global.

BAB III
BEBERAPA TANTANGAN MASA DEPAN PENDIDIKAN
A. Tantangan yang Berhubungan dengan Sistem Pendidikan.
Pendidikan merupakan suatu proses bimbingan yang tidak akan berakhir dan
mengikuti denyut kehidupan manusia. Proses bimbingan itu tentu selalu dilakukan
secara sadar dan terencana oleh seseorang dan atau sekelompok orang terhadap
orang lain agar dapat berubah menjadi lebih baik. Al-Syaibani (Zuhairini dkk.
1995 h. 120) menjelaskan bahwa dalam proses pendidikan itu harus menumbuhkan
3 potensi yang ada pada diri manusia yaitu potensi jasmaniyah, potensi akliyah
(akal) dan potensi akhlakiyah (akhlak). Perubahan ke hal yang lebih baik dalam
makna pendidikan itu adalah jasmani dapat sehat dan kuat, akal dapat mengetahui
dan dapat beramal dengan akhlak yang mulia. Karena itulah maka Ki Mohammad
Said R. (Dr. M. Sukardjo,2009) mengemukakan hakekat pendidikan yang

sesungguhnya yaitu seseorang mampu mengembangkan seluruh kemampuan
(potensi) yang dimilikinya, sikap-sikap dan bentuk-bentuk prilaku yang bernilai
positif di masyarakat.
1 Dr. M Sukardjo, dan Ukim Komarudin, M.Pd. Landasan Pendidikan Konsep dan
Aplikasinya (2009), hlm 9.
2 Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam, M.Pd, Refleksi dan
Reformasi Pendidikan Di Indonesia Memasuki Milenium III (2000), hlm 6.
Bila kita memaknai hakekat pendidikan seperti tersebut di atas lalu dikaitkan
dengan realita yang ada disekitar kita maka proses pendidikan kita belum
memaknai hakekat pendidikan yang sesungguhnya. Kolberg (Suyanto dan Djihad
Hisyam, 2000) menjelaskan bahwa praktik-praktik moral berbangsa dan bernegara
yang terjadi dalam keseharian belum mencerminkan tingkat yang tertinggi pada
tataran post-conventional atau principled yang mendasarkan diri pada nilai-nilai
yang universal, akan tetapi praktik-praktik moral berbangsa dan bernegara dewasa
ini justru berada pada tataran preconventional yang mendasarkan diri pada
kalkulasi dan pertimbangan moral yang sangat rendah. Hal yang sama juga
dijelaskan oleh Sudarminta, SJ (Dalam Sukardjo, 2009, h.79) bahwa masalah besar
yang dihadapi oleh pendidikan Indonesia dewasa ini adalah mutu pendidikan yang
masih rendah, sistem pembelajaran di sekolah-sekolah yang belum memadai dan
krisis moral yang melanda masyarakat. Kita memang tidak patut menimpakan
fenomena masalah yang terjadi dewasa ini pada seseorang atau sekelompok orang
atau suatu lembaga teretentu bertanggung jawab atas masalah tersebut, namun
setidaknya dunia pendidikanlah yang memiliki porsi terbesar dalam mengambil
peran untuk memecahkan masalah tersebut.
Bila kita menelaah sistem dan konsep yang tertuang dalam Undang Undang Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional dan Undang Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen beserta seluruh Peraturan yang menjadi
turunan dari kedua Undang Undang tersebut memiliki muatan yang sangat baik
dan cukup meyakinkan. Namun bila diterpakan dalam tataran oprasional maka
seluruh komponen pelaksana sistim tersebut terutama bagi seorang guru sangatlah
sulit.
Berbicara masalah kurikulum bila dikaitkan dengan berbagai persoalan yang ada
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini, sudahkah kita
memahaminya secara tepat ? Dalam Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 pasal

1:19 menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Kurikulum dalam pengertian tersebut hanya merupakan seperangkat rencana dan
peraturan yang berakaitan dengan masalah tujuan, isi serta bahan pelajaran.
Rencana dan pengaturan tersebut selanjutnya hanya digunakan sebagai acuan
dalam kegiatan pembelajaran. Makna kurikulum seperti ini terlalu sempit bahkan
mungkin dipahami oleh guru dan kepala sekolah dalam pengertian yang sempit
pula bahwa kurikulum itu hanya berupa rencana atau aturan yang telah disusun
oleh guru seperti menyusun KTSP, membuat silabus, membuat program tahunan
dan program smester, membuat SAP/RPP, melaksanakan kegiatan pembelajaran
sesuai program semester yang telah dibuat, membuat soal ujian, melaksanakan
ujian, memeriksa bahan ujian dan menganalisis hasil ujian, menyususn program
pengayaan dan melaksanakannya dan pada akhirnya guru dan pihak sekolah terlalu
terfokus pada pencapaian tujuan dari pendidikan yang dimaksud dalam pengertian
kurikulum tersebut adalah siswa dapat memperoleh nilai yang baik dan dapat
berpindah ke kelas yang lebih tinggi dan atau dapat lulus pada Ujian nasional.
Makna kurikulum yang dipahami oleh seluruh komponen sekolah seperti ini tentu
telah mengaburkan konsep taksonomi pendidikan seperti yang disebutkan oleh
Bloom bahwa pendidikan itu setidak-tidaknya harus menyentuh pada tiga ranah
yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotor atau oleh Al-Syaibany bahwa
pendidikan harus menumbuhkan potensi jasmani, akal dan akhlak. Pemahaman
guru dalam konteks melaksanakan kegiatan pembelajaran seperti dijelaskan diatas
telah memaksa daya dan kemampuan untuk berusaha menyelesaikan seluruh
bahan/materi pembelajaran yang telah disusun sesuai program semester yang lebih
cendrung pada aspek kognitif sehingga aspek afektif dan psikomotor pasti
terabaikan. Dan bahkan masalah moral dan akhlak tidak dipedulikan lagi oleh sang
guru.
4 Ibid, Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D dan Drs. Djihad Hisyam, M.Pd, Refleksi dan
Reformasi …… hlm. 80.
Sesungguhnya hakekat kurikulum bila dikaitkan dengan proses pendidikan maka
tidak dapat kita pahami dalam konsep yang sempit seperti ini. Sudarsono
(M.Sukardjo 2009, h.80) menjelaskan bahwa pendidikan dasar dan menengah yang
seharusnya menjadi dasar penyemaian dan penyuburan nilai-nilai luhur dalam

dimensi budaya, sosial, dan kemanusiaan kepada anak didik, menjadi tidak berdaya
akibat tidak relevannya antara tuntutan kurikulum dan perkembangan kondisi
sosial budaya baik lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu agar adanya
relevansi tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat dengan pemahaman
konsep kurikulum yang baik maka Beane (Suyanto dan Djihad Hisyam, 2000,
h.59) menjelaskan bahwa kurikulum harus dipahami sebagai sebuah produk,
sebagai program, sebagai hasil belajar yang diinginkan dan sebagai pengalaman
belajar bagi siswa.
Dalam pengertian kurikulum dlama arti produk dapatlah kita mengacu pada
Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 pasal 37:1 menjelaskan bahwa kurikulum
pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: Pendidikan Agama; Pendidikan
Kewarganegaraan; Bahasa; Matematika; Ilmu Pengetahuan Alam; Ilmu
Pengetahuan Sosial; Seni dan Budaya; Pendidikan Jasmani dan Olahraga;
Ketrampilan/Kejuruan; dan Muatan Lokal. Pada sisi lain dalam pasal 35 memberi
kewenangan pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) menyusun standar
isi, standar proses dan standar kelulusan yang harus digunakan sebagai acuan
pengembangan kurikulum. Dari sini kemudian BSNP memproduksi sejumlah
standar kompetensi untuk seluruh mata pelajaran sesuai pasal 37:1 yang
selanjutnya diwajibkan bagi seluruh sekolah dan guru untuk menyususn seluruh
perangkat pembelajaran harus seuai dengan standar isi yang diproduksi oleh BSNP.
Standar isi tersebut selanjutnya menjadi acuan dalam penyusunan standar
kelulusan bagi siswa, maka tidak heran guru harus wajib dituntut untuk
melaksanakan seluruh programnya harus selesai pada setiap tahun pelajaran dan
harus sesuai dengan apa yang telah di tetapkan BSNP.
Memaknai kurikulum dari aspek produk seperti hal tersebut benar-benar telah
menghilangkan kemandirian sekolah dalam membuat kebijakannya. Bahkan
mungkin guru tidak lagi berperan sebagai seorang pendidik akan tetapi guru hanya
menjadi seorang pengajar dalam memenuhi tuntutan kurikulum dimaksud. Selain
itu pemahaman kita tentang sekolah otonom dengan merubah konsep sentralistik
menjadi desentralisasi adalah suatu ilusi semata. Apalagi kewenangan yang amat
berlebihan yang dipahami oleh Dinas Pendidikan baik tingkat propinsi maupun
tingkat kabupaten kota terhadap pasal 38 dalam hal koordinasi dan supervisi sering
menginterfensi kebijakan sekolah dalam mengelola dan mengembangkan program
dan kurikulum sekolahnya. Dalam konteks inilah maka Suyanto dan Djihad
Hisyam menjelaskan bahwa akibat kurikulum hanya dipahami sebagai produk oleh

berbagai pihak terutama guru, maka sekolah terlalu memusatkan diri pada
pencapaian target kurikulum dalam domain kognitif semata, sedangkan masalah
sistim nilai, kreatifitas dan kompetensi prilaku kurang mendapat perhatian secara
proporsional.
Selanjutnya kurikulum dari aspek proses dalam artian akan terkait dengan kegiatan
pembelajaran di kelas. Kurikulum dalam aspek produk hanya merupakan blueprint
dari sebuah konsep yang dijadikan dasar dan acuan dalam pelaksanaan sebuah
kegiatan selanjutnya. Meskipun blueprint dari konsep kurikulum pendidikan kita
cukup baik dan berkualitas, namun tidak dipahami secara tepat oleh guru dan
seluruh unsur pendidikan dan sekolah yang menjadi pelaksana konsep blueprint
tersebut maka dapat dipastikan bahwa hasil produkpun akan menjadi rendah. Oleh
karena itu dalam artian proses maka seluruh komponen sekolah terutama guru
sebagai ujung tombak dari proses pelaksana pendidikan harus memiliki
pemahaman yang utuh tentang konsep kurikulum.
Kenyataan membuktikan bahwa hingga dewasa ini dalam artian proses kegiatan
pembelajaran sebagaian besar orintasinya masih bermuara pada aspek kognitif. Hal
ini dipengaruhi oleh faktor umumnya yaitu yang menjadi dasar dalam penentuan
kelulusan seorang siswa adalah dapat memperoleh nilai minimal sesuai kriteria
kelulusan yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah dalam kenaikan kelas dan atau
oleh BSNP dalam kelulusan seorang siswa. Faktor inilah yang memaksa seluruh
komponen sekolah terutama guru dalam merekayasa berbagai strategi agar seluruh
kriteria kelulusan tersebut dapat dicapai oleh seorang siswa. Dan aspek ini pula
yang mendorong guru dalam melaksanakan tugasnya tidak lagi menjadi seorang
pendidik yang baik tetapi hanya menjadi seorang pengajar yang baik.
Faktor lain yang menjadi penyebab aspek kognitif sebagai target utama dalam
proses pendidikan adalah bahwa kenyataan membuktikan bahwa yang menjadi
ukuran dari sebuah supervisi baik oleh pihak kepala sekolah, pengawas
pendidikan, dinas pendidikan bahkan sampai pada inspektorat di tingkat
kementrian pada proses pendidikan di sekolah adalah kesesuaian antara apa yang
di rencanakan secara tertulis oleh guru atau kepala sekolah dengan kenyataan yang
ada di lapangan. Bagi seorang guru pada saat supervisi materi yang diajarakan di
kelas pada saat supervisi harus sesuai dengan apa yang telah di susun dalam
silabus, program tahunan, program semester, dan bahkan harus sesuai dengan apa
yang di tulis dalam SAP atau RPP. Kasus-kasus seperti inilah yang menyebabkan
hingga kini sesungguhnya pendidikan nasional kita tidak bisa memberikan proses

kearah tujuan pendidikan nasional. Paulo Freire (Suyanto dan Djihad Hisyam,
2000, h.63) menjelaskan bahwa model pembelajaran kita masih menganalogi
dengan banking concept yakni guru masih menjadi deposito berbagai informasi ke
benak peserta didik tanpa mengetahui maksud dari informasi itu untuk apa bagi
kehidupan mereka, sehingga informasi itu hanya menjadi pengetahuan saja dan
tidak mewujudkan sikap, minat, dan memotivasi untuk mengembangkan diri.
B. Tantangan Pendidikan Yang berhubungan dengan Tenaga Kependidikan
Hingga saat ini masih banyak masalah dan kendala yang berkaitan dengan guru
sebagai satu kenyataan yang harus diatasi dengan segera. Berbagai upaya
pembaharuan pendidikan telah banyak dilakukan antara lain melalui perbaikan
sarana, peraturan, kurikulum, dsb. tapi belum mempriotitaskan guru sebagai
pelaksana di tingkat instruksional terutama dari aspek kesejahteraannya. Beberapa
masalah dan kendala yang berkaitan dengan kondisi guru antara lain sebagai
berikut:
a.
Kuantitas, kualitas, dan distribusi.
Dari aspek kuantitas, jumlah guru yang ada masih dirasakan belum cukup untuk
menghadapi pertambahan siswa serta tuntutan pembangunan sekarang.
Kekurangan guru di berbagai jenis dan jenjang khususnya di sekolah dasar,
merupakan masalah besar terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil. Dari
aspek kualitas, sebagian besar guru-guru dewasa ini masih belum memiliki
pendidikan minimal yang dituntut. Data di lampiran 1 menunjukkan bahwa dari
2.783.321 orang guru yang terdiri atas 1.528.472 orang guru PNS dan sisanya
(1.254.849 orang) non-PNS, baru sekitar 40% yang sudah memiliki kualifikasi S1/D-IV dan di atasnya. Sisanya masih di bawah D-3 atau lebih rendah. Dari aspek
penyebarannya, masih terdapat ketidak seimbangan penyebaran guru antar sekolah
dan antar daerah.. Dari aspek kesesuaiannya, di SLTP dan SM, masih terdapat
ketidak sepadanan guru berdasarkan mata pelajaran yang harus diajarkan.
b.
Kesejahteraan.
Dari segi keadilan kesejahteraan guru, masih ada beberapa kesenjangan yang
dirasakan sebagai perlakuan diskriminatif para guru. Di antaranya adalah: (1)
kesenjangan antara guru dengan PNS lainnya, serta dengan para birokratnya, (2)
kesenjangan antara guru dengan dosen, (3) kesenjangan guru menurut jenjang dan
jenis pendidikan, misalnya antara guru SD dengan guru SLTP dan Sekolah
Menengah, (4) kesenjangan antara guru pegawai negeri yang digaji oleh negara,
dengan guru swasta yang digaji oleh pihak swasta, (5) kesenjangan antara guru

pegawai tetap dengan guru tidak tetap atau honorer, (6) kesenjangan antara guru
yang bertugas di kota-kota dengan guru-guru yang berada di pedesaan atau daerah
terpencil, (7) kesenjangan karena beban tugas, yaitu ada guru yang beban
mengajarnya ringan tetapi di lain pihak ada yang beban tugasnya banyak (misalnya
di sekolah yang kekurangan guru) akan tetapi imbalannya sama saja atau lebih
sedikit. Kesejahteraan mencakup aspek imbal jasa, rasa aman, kondisi kerja,
hubungan antar pribadi, dan pengembangan karir.
c.
Manajemen guru
Dari sudut pandang manajemen SDM guru, guru masih berada dalam pengelolaan
yang lebih bersifat birokratis-administratif yang kurang berlandaskan paradigma
pendidikan (antara lain manajemen pemerintahan, kekuasaan, politik, dsb.). Dari
aspek unsur dan prosesnya, masih dirasakan terdapat kekurang-terpaduan antara
sistem pendidikan, rekrutmen, pengangkatan, penempatan, supervisi, dan
pembinaan guru. Masih dirasakan belum terdapat keseimbangan dan
kesinambungan antara kebutuhan dan pengadaan guru. Rerkrutmen dan
pengangkatan guru masih selalu diliputi berbagai masalah dan kendala terutama
dilihat dari aspek kebutuhan kuantitas, kualitas, dan distribusi. Pembinaan dan
supervisi dalam jabatan guru belum mendukung terwujudnya pengembangan
pribadi dan profesi guru secara proporsional. Mobilitas mutasi guru baik vertikal
maupun horisontal masih terbentur pada berbagai peraturan yang terlalu birokratis
dan “arogansi dan egoisme” sektoral. Pelaksanaan otonomi daerah yang
“kebablasan” cenderung membuat manajemen guru menjadi makin semrawut.
d.
Penghargaan terhadap guru
Seperti telah dikemukakan di atas, hingga saat ini guru belum memperoleh
penghargaan yang memadai. Selama ini pemerintah telah berupaya memberikan
penghargaan kepada guru dalam bentuk pemilihan guru teladan, lomba kreatiivitas
guru, guru berprestasi, dsb. meskipun belum memberikan motivasi bagi para guru.
Sebutan “pahlawan tanpa tanda jasa” lebih banyak dipersepsi sebagai pelecehan
ketimbang penghargaan. Pemberian penghargaan terhadap guru harus bersifat adil,
terbuka, non-diskriminatif, dan demokratis dengan melibatkan semua unsur yang
terkait dengan pendidikan terutama para pengguna jasa guru itu sendiri, sementara
pemerintah lebih banyak berperan sebagai fasilitator.
e.
Pendidikan guru
Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum
memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu

disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat
ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan
pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan
perkembangan lingkungan. Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih
bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga
diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap
menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam
pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta
didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian
disamping penguasaan materi ajar. Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang
ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti
rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi.
Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak
terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun
kesepadannya dengan kebutuhan nyata.
f.
Karir tak berjenjang
Banyak profesi bergengsi seperti di bidang hukum, kedokteran, sains, rekayasa,
dsb. menetapkan secara jelas transisi dari sejak mahasiswa lulus ke jabatan
profesional. Untuk dapat melaksanakan tugas profesionalnya dilakukan secara
berjenjang melalui seleksi yang cukup ketat dengan kriteria yang jelas. Ketika
memulai bertugas pada tahap awal dimulai dengan magang kepada yang lebih
seniror dan terus secara berhjenjang sampai pada posisin tertinggi. Dalam jabatan
guru hal itu tidak terjadi secara jelas dan terprogram. Begitu lulus dari Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan langsung terjun ke dunianya laksana anak itik
yang langsung berenang. Dan seterusnya sejak mulai sampai akhir masa jabatan
tidak pernah terjadi seleksi karir yang berjenjang. Dengan begitu guru pemula
sama saja dengan guru yang sudah puluhan tahun bekerja, yang membedakannya
hanyalah gaji yang diterima dan pangkat yang semakin tinggi.
Memang ada ketentuan penjenjangan jabatan guru mulai dari guru pratama sampai
ke guru utama dengan kriteria perolehan angka kredit. Namun dalam
pelaksanaannya lebih banyak berupa ketentuan administratif ketimbang
penjenjangan profesional. Di Perguruan Tinggi para dosen cukup jelas ketentuan
aturan penjenjangan dan pelaksanaannya. Misalnya seorang asisten ahli tidak
diberi wewenang untuk mengajar secara mandiri dan membimbing skripsi.
g.
Kurang dialog mengenai pengajaran.

Pada umumnya di sekolah para guru jarang melakukan dialog atau diskusi
berkenaan dengan pengajaran baik antar sesama guru maupun dengan
supervisornya seperti kepala sekolah atau pengawas. Kalaupun terjadi pertemuan
antara pejabat Departemen, Dinas, pengawas atau Kepala Sekolah, pembicaraan
lebih banyak bersifat top down dan sedikit menyinggung dialog mengenai
pengajaran. Hal-hal yang dibahas lebih banyak bersifat informatif yang berkenaan
dengan berbagai peraturan, ketentuan administratif, atau perintah, dsb. Kalau
terjadi dialog sesama guru pada waktu istirahat atau waktu luang, lebih banyak
obrolan santai membicarakan masalah-masalah pribadi, kesejahteraan, keluarga,
lingkungan dsb.
Ada satu bentuk forum yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan dialog
instruksional yaitu apa yang disebut Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP).
Sayangnya forum ini lebih banyak berbentuk kepanjangan kedinasan yang sekali
lagi lebih banyak mengarah ke hal-hal administratif.
h.
Kurang keterlibatan dalam pengambilan keputusan kurikulum sekolah dan
pengajaran.
Jika guru kurang kesempatan berdialog dengan sesama guru, tidak saling melihat
satu dengan lain dalam proses pengajaran, dan guru cukup berkinerja dalam kelas,
maka tidak heran apabila guru kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan
berkenaan dengan kurikulum dan pengajaran. Keadaan ini jelas sangat kurang
menguntungkan guru sebagai unsur pendidikan yang berada digarda terdepan
pendidikan.
Keputusan pendidikan termasuk kurikulum dan pengajaran lebih banyak
ditetapkan dari atas dalam bentuk petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang
seolah-olah sebuah resep yang harus dilaksanakan. Kalau saja inovasi mengenai
penerapan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang akan melibatkan
guru dalam pelaksanaannya, maka ini satu langkah baik untuk memberikan
peluang bagi guru untuk mewujudkan otonomi pedagogisnya. Masalahnya, apakah
guru sudah siap, dan apakah ada pembinaan sistematis?

BAB IV
BEBERAPA SOLUSI PENTING PENGEMBANGAN SEKOLAH MENJAWAB
TANTANGAN PENDIDIKAN.

A. Memahami Sekolah Sebagai Sebuah Sistem.
Untuk memahami sebuah konsep sekolah yang efektif maka kita harus dapat
mengerti secara konprehensif tentang sistem yang berlaku dalam sekolah tersebut.
Sistem itu terdiri atas sejumlah komponen yang saling terkait antara satu dengan
yang lain dan tidak dapat berfungsi secara sendiri-sendiri. Yang menjadi
permasalahan selanjutnya mampukah kita berperan untuk memfungsikan
komponen-komponen sistem yang ada dalam sekolah tersebut sehingga dapat
mendorong sekolah untuk tetap berkembang secara efektif dan berkualitas ?
Mendasari pada permasalahan tersebut maka yang perlu kita pahami sekarang
sebelum kita mengkaji permasalahan tentang sekolah yang efektif, maka terlebih
dahulu kita memahami permasalahan yang berkaitan dengan komponenekomponen sekolah sebagai sebuah sistem yang efektif. Kemudian permasalahan
peran manajemen untuk mewujudkan sekolah yang efektif, permaslahan
pengelolaan unsur-unsur pendukung untuk mewujudkan sekolah yang efektif.
Selanjutnya permasalahan seberapa pentingkah biaya dalam memenej sekolah
yang efektif dan terakhir adalah tentang bagamana sekolah itu dapat dikatakan
sebagai sekolah yang efektif, berkualitas atau bermutu.
1 Aan Komariah dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah Efektif,
April 2008 hlm.1.
Terkait dengan permasalahan sistem maka William A. Shrode dan D. Voich (Aan
Komariah, 2008, h.1) menjelaskan bahwa sistem mengandung makna bagianbagian yang saling terkait, berfungsi dan bekerja secara independen dan secara
bersama-sama dalam satu lingkaran kesatuan yang komplek untuk mencapai tujuan
yang menyeluruh secara sinergi. Ini berarti bahwa di dalam sistem itu sendiri
terdapat bagian-bagian atau disebut komponen-komponen yang saling terkait. Aan
Komariah menyebutkan bahwa sekolah merupakan sebuah sistem yang kompleks
yang di dalamnya mencakup komponen yang terdiri atas input-proses-output dan
juga memiliki akuntabilitas terhadap konteks pendidikan dan outcom pendidikan.
Pendidikan dalam konteksnya sangatlah berbeda dengan organisasi lain, karena
pendidikan tidaklah menghasilkan semata-mata hanya dengan jumlah secara
kuantitatif yang banyak akan tetapi outcome atau hasil kelulusannya benar-benar
harus bermanfaat untuk kehidupan masyarakat yang ada disekitarnya. Bila
outcome yang diharapkan dapat dijadikan barometer sebuah sekolah dikatakan
berkualitas atau tidak maka hal ini sangat terkait dengan proses dari sistem yang
berlaku dalam sekolah itu sendiri yang dimaulai dari akuntabilitas dari kontek

pendidikan, imput pendidikan, proses pendidikan dan output pendidikan. Dalam
sistem imput pendidikan hal-hal yang menjadi perhatian terpenting dalam sebuah
sekolah terdiri atas sejumlah komponen yang meliputi manusia yaitu siswa, guru,
kepala sekolah, tenaga kependidikan dan semua stekholder yang berperan
aktif dalam menciptakan sistem sekolah yang efektif. Komponen lainnya yaitu
uang (money) yang menjadi suplai penting dalam pemrosesan raw input atau
manusianya. Selanjutnya adalah komponen barang/bahan (materials) sebagai
pnunjang dalam proses pembelajaran berupa saran prasarana, alat-alat/media
pendidikan dan sumber-sumber pendidikan. Kemudian komponen metode-metode
(methods) yang meliputi cara, teknik dan strategi yang dikembangkan sekolah
dalam melaksanakan proses pendidikan. Dan komponben terakhir adalah mesinmesin yaitu perangkat yang mendukung terjadinya proses pembelajaran.
2 Ibid, Aan Komariah, dan Cepi Triatna, Visionary Leadership Menuju Sekolah
Efektif, (2008)
3 Prof. Dr. Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah Dari unit Birokrasi ke
lembaga akademik, (2008)
Prof. Dr. Sudarwan Danim menjelaskan bahwa mutu masukan (input) dapat dilhat
pada beberapa sisi yaitu kondisi baik atau tidaknya sumber daya manusia berupa
guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, dan siswa. Terpenuhinya masukan
material berupa alat praga, buku-buku, kurikulum, sarana dan prasarana.
Tersediannya perangkat lunak yang meliputi peraturan, struktur organisasi, dan
diskripsi kerja. Serta terpenuhi mutu masukan seperti visi dan misi, motivasi,
ketekunan dan cita-cita. Semua komponen imput tersebut memiliki peran yang
sangat penting dalam mewujudkan sekolah yang efektif. Bila komponenkomponen tersebut telah berfungsi secara bersama-sama dan saling terkait dalam
proses maka akan tercipta suasana sekolah yang kondusif dimana sekolah dapat
berkembang secara efektif menuju tujuan sebagaimana yang diharapkan.
Selain komponen input dalam menentukan berfungsi tidaknya sistem dalam
sekolah ada juga komponen proses yang berperan dalam penyelenggaraan sekolah.
Dalam konteks pendidikan, kiat manajemen sekolah sangat menentukan
pengelolaan masukan-masukan sekolah agar terpenuhinya harapkan output yang
bernilai secara outcome dalam kehidupan bermasyarakat. Hal-hal yang sangat
diharapkan dalam output pendidikan menurut Sudarwan Danim adal