Tinjauan Koreksi Fiskal Atas Laporan Lab

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pajak merupakan iuran wajib dari Wajib Pajak kepada Negara yang tidak mendapatkan prestasi kembali secara langsung. Sebagai sumber penerimaan penting Negara, pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin maupun pembangunan yang merupakan kegiatan rutin dan berlangsung terus-menerus serta berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Berdasarkan peraturan Dirjen Pajak No PER-43/PJ/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang penentuan subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Menegaskan bahwa badan yang merupakan sumber pajak dalam negeri wajib pajak dalam negeri, sejak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan menerima penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia maupun dari luar Indonesia adalah wajib pajak badan dalam negeri.

Dengan semakin berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional maupun internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri juga meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri dimana wajib pajak badan ini merupakan penyumbang bagi penerimaan negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan. Oleh karena itu, laporan keuangan dibuat untuk mengetahui perkembangan perusahaan setiap periode yang dibuat oleh manajemen perusahaan dengan tujuan memenuhi kebutuhan para penggunanya. Dapat diartikan bahwa laporan keuangan tidak terfokus kepada satu pengguna, melainkan untuk kepentingan bersama. Pihak- pihak yang memiliki kepentingan dengan laporan keuangan yaitu kreditur, pemerintah, pemasok, manajemen perusahaan dan masyarakat. Namun kepentingan dan fokus setiap pihak memiliki keragaman masing- masing.

Bagi Pemerintah Laporan Keuangan berfungsi sebagai tolak ukur penagihan pajak atas badan. Karena Pemerintah memiliki tanggungjawab untuk memajukan pembangunan Negara. Pembangunan akan berjalan lancar apabila memiliki cukup dana untuk mendukung pembangunan tersebut. Karena menyadari bahwa pajak merupakan tulang punggung penerimaan Negara, maka pada awal tahun 1984 dilakukan reformasi sistematis perpajakan, dari official assessment menjadi self assessment . Dengan sistem baru ini masyarakat diberi kepercayaan untuk menghitung dan melaporkan sendiri besarnya pajak terhutang.

Laporan keuangan fiskal memiliki keterkaitan dengan laporan keuangan komersial. Laba bersih komersial pada laporan keuangan komersial adalah besarnya laba yang dihitung oleh wajib pajak yang sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dengan atau tanpa memperhatikan ketentuan perpajakan yang terkait. Koreksi fiskal harus diperhitungkan terhadap laporan laba rugi komersial untuk mendapatkan laba secara fiskal. Perbedaan antara Standar Akuntansi Keuangan (SAK) dan peraturan perpajakan inilah yang menjadi alasan diperlukan koreksi fiskal. Pendapatan dan biaya-biaya yang belum dikoreksi merupakan perbedaan pengakuan biaya yang terjadi antara laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.

Keterbatasan akan pengetahuan terhadap peraturan perpajakan atas koreksi fiskal serta penerapan aturan pajak, menyebabkan munculnya kendala dalam Keterbatasan akan pengetahuan terhadap peraturan perpajakan atas koreksi fiskal serta penerapan aturan pajak, menyebabkan munculnya kendala dalam

dalam laporan ini penulis ingin mengkaji “Tinjauan Koreksi Fiskal Atas

Laporan Laba Rugi Komersial Tahun 2011 PT Bina Fiscal Indonesia “.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan tugas akhir ini adalah :

1. Bagaimana gambaran laporan laba rugi secara komersial pada PT Bina Fiscal Indonesia tahun 2011?

2. Apa saja jenis-jenis pendapatan yang dapat diakui secara fiskal pada PT Bina Fiscal Indonesia tahun 2011?

3. Apa saja jenis-jenis biaya yang dapat diakui secara fiskal pada PT Bina Fiscal Indonesia Tahun 2011?

4. Bagaimana tahapan koreksi fiskal terhadap laporan laba rugi tahun 2011 ada PT Bina Fiscal Indonesia?

5. Berapakah jumlah PPh Badan yang terutang pada PT Bina Fiscal Indonesia tahun 2011?

1.3 Tujuan

Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah :

1. Menggambarkan laporan laba rugi secara komersial pada PT Bina Fiscal Indonesia tahun 2011.

2. Menjelaskan jenis-jenis pendapatan yang diakui secara fiskal pada PT Bina Fiscal Indonesia tahun 2011.

3. Menjelaskan jenis-jenis biaya yang diakui secara fiskal pada PT Bina Fiscal Indonesia tahun 2011.

4. Menentukan tahapan koreksi fiskal terhadap laporan laba rugi tahun 2011 pada PT Bina Fiscal Indonesia.

5. Menghitung jumlah PPh Badan yang terutang pada PT Bina Fiscal Indonesia tahun 2011.

2 METODE PKL

2.1 Lokasi dan Waktu

Praktik Kerja Lapangan ini dilakukan selama 2 bulan mulai tanggal 11 Februari 2013 sampai dengan tanggal 6 April 2013. Kegitan ini dilaksanakan di PT Bina Fiscal Indonesia, yang bertempat di BSD Sektor VII Blok RM No.39 Kota Tangerang Selatan.

2.2 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara :

1. Observasi Kegiatan observasi dilakukan melalui pengamatan secara langsung selama Praktek Kerja Lapangan (PKL) pada PT Bina Fiscal Indonesia

2. Wawancara

Kegiatan wawancara dilakukan melalui pengambilan data secara lisan dengan mengadakan tanya jawab langsung kepada Bagian Finance PT Bina Fiscal Indonesia Hal ini dilakukan untuk mendapat penjelasan dan klarifikasi atas permasalahan pada aktivitas perpajakan yang terjadi di lapangan.

3. Dokumentasi Kegiatan dokumentasi dilakukan melalui pengumpulan data dari perusahaan yang terkait sehubungan dengan topik yang sedang dikaji seperti data-data keuangan perusahaan dan data penunjang lainnya dalam pembahasan laporan.

4. Studi Banding Studi banding dilakukan dengan cara kunjungan langsung ke beberapa perpustakaan ternama dalam rangka pencarian sumber informasi dan teori seputar perpajakan, akuntansi, dan perundang-undangan PPh badan baik secara konvensional maupun online .

2.3 Tinjauan Pustaka

2.3.1 Definisi Pajak

Definisi pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 yang merupakan perubahan keempat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan atau dikenal dengan istilah UU KUP. Menurut UU tersebut, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pengertian pajak menurut para ahli adalah :

Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH, pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

Pajak dari prespektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

2.3.2 Fungsi Pajak

Terdapat dua fungsi atau kegunaan atas pajak yang dipungut oleh pemerintah.

1. Fungsi Budgetair (Anggaran) Pajak merupakan suatu alat (sumber) untuk memasukan uang ke kas negara sebanyak-banyaknya yang nantinya akan dipergunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin negara.

2. Fungsi Regularend (Pengatur) Pajak adalah suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang sifatnya mengatur dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya yang sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

2.3.3 Pajak Penghasilan (PPh) Badan

Menurut undang-undang No.36 Tahun 2008, pajak penghasilan (PPh) dikenakan terhadap Subjek Pajak atas pendapatan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan ialah pajak yang dikenakan atas setiap penghasilan, yaitu setiap kemampuan tambahan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk mengkonsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Yang menjadi subjek pajak di sini adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggara Pendapatan dan Belanja Daerah.

3. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.

4. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional Negara.

5. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat 5. Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat

a. Badan yang Dikecualikan Sebagai Subjek PPh Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 3 ada beberapa badan

yang bukan merupakan subjek pajak penghasilan, diantaranya adalah :

1. Badan perwakilan negara asing (kedutaan besar)

2. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan

3. Unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria

a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD

c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah

d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

b. Obyek PPh Badan Obyek PPh Badan adalah penghasilan obyek pajak yang diterima atau

diperoleh badan sebagaimana tercantum dalam PPh Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang PPh, yang dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

1. Hadiah kegiatan, dan penghargaan.

2. Laba usaha.

3. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta

4. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya

5. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

6. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

7. Royalti

8. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

9. Keuntungan karena pembabasan utang, kecuai sampai dengan jumlah tertentu ditetapkan Peraturan Pemerintah

10. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

11. Premi asuransi termasuk premi asuransi.

12. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.

13. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

14. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak pertambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.

15. Penghasilan dari luar usaha yang berbasis syariah.

16. Surplus Bank Indonesia.

c. Penghasilan Non Obyek PPh Badan Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal

4 ayat (3) UU PPh No. 36 Tahun 2008 adalah :

1. Bantuan/sumbangan yang termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat.

2. Hibah yang diterima oleh keluarga sedarah garis keturunan, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk operasi.

3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.

4. Dividen/bagian laba usaha dari penyertaan modal badan usaha di Indonesia

sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam pasal 4 ayat (3) huruf f UU PPh.

5. Iuran dan penghasilan tertentu yang diterima dana pensiun yangpendiriannya telah disahkan oleh MenKeu.

6. Bagian laba yang diterima perusahaan modal ventura dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.

7. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih

lanjut dengan berdasarkan Per MenKeu diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf n.

8. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan berdasarkan Per Menkeu.

2.3.4 Laporan Keuangan Komersial

Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang dibuat berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laporan keuangan komersial dibuat oleh perusahaan untuk kepentingan eksternal maupun internal. Fungsi dari laporan keuangan komersial ini adalah memberikan gambaran pada perusahaan sebgai pertimbangan dalam membuat atau mengambil keputusan ekonomi. Peran laporan keuangan komersial sangat penting bagi perusahaan, maka dari itu laporan keuangan harus disusun berdasarkan prinsip-prinsip akuntansi sehingga dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya.

Laporan keuangan komersial berbeda dengan laporan keuangan fiscal. Laporan keuangan komersial menghasilkan laba bersih sebelum dikenakan pajak. Sehingga terdapat perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban menurut laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiscal.

Tujuan pokok akuntansi komersial adalah menyajikan secara wajar keadaan atau posisi keuangan dari hasil usaha perusahaan sebagai entitas. Informasi berupa laporan keuangan dapat dipakai sebagai dasar untuk membuat keputusan ekonomi. Penyajian informasi keuangan memerlukan proses penetapan dan penandingan ( matching ) secara periodik antara pendapatan dan beban sehingga dapat menentukan besaran laba (rugi) komersial.

2.3.5 Laporan Keuangan Fiskal

Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang disusun sesuai peraturan perpajakan dan digunakan untuk keperluan penghitungan pajak. Rekonsiliasi fiskal dilakukan oleh Wajib Pajak karena terdapat perbedaan penghitungan, khususnya laba menurut akuntansi (komersial) dengan laba menurut

Perbedaan penggunaan standar atau prinsip dasar dalam penyusunan Laporan Keuangan terutama laporan rugi laba, mengakibatkan perbedaan perhitungan laba rugi suatu entitas (Wajib Pajak) antara laba rugi komersil dan laba rugi fiskal, yang akan berakibat adanya perbedaan perbedaan beban pajak komersial dan beban pajak seharusnya dibayar ke Negara.

a. Laporan Laba Rugi Fiskal Penyusunan laporan keuangan fiskal, seperti yang dikemukakan Gunadi

(2002), mengutip kelompok kerja standar akuntansi dari OECD ( Organization for Economic Cooperation and Development ), yang merupakan organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan Negara maju. Dalam laporan seri harmonosasi standar akuntansi, praktik penyusunan laporan keuangan fiskal sebagai solusi antara ketentuan akuntansi dan ketentuan pajak terdiri atas tiga pendekatan:

1. Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan ketentuan perpajakan tanpa kelonggaran terhadap ketidaksamaan perinsip akuntansi dan ketentuan perpajakan.dengan melihat sisi-sisi kepentingannya, pembukuan ganda (arti terbatas) bukanlah bentuk kecurangan, karena keduanya telah disusun berdasarkan standar atau norma yang berlaku pada masing-masing akuntansi.

2. Wajib pajak bebas menyelenggarakan pembukuannya dengan dasar prinsip atau metode akuntansinya. Laporan keuangan fiskal disusun terpisah di luar proses pembukuan, sering disebut sebagai extra comptable . Laporan keuangan fiskal ini disusun melalui proses rekonsiliasi antara akuntansi komersial dengan akuntansi fiskal, sehingga laporan yang dihasilkan dari extra comptable tersebut fungsinya hanya sebagai tambahan laporan keuangan komersial.

3. Ketentuan perpajakan sebagai sisipan Standar Akuntansi Keuangan. Dasar ini laporan keuangan disusun mengikuti Standar Akuntansi Keuangan, tetapi apabila terdapat aturan lain dalam laporan komersial, maka preferensi diberikan pada ketentuan perpajakan.

b. Perbedaan Prinsip Akuntansi

1. Prinsip Konservatisme : Penilaian persediaan akhir berdasarkan metode “terendah antara harga pokok dan nilai realisasi bersih” dan penilaian piutang

dengan “nilai taksiran realisasi bersih” diakui dalam akuntansi komersil, tetapi tidak diakui dalam fiskal.

2. Prinsip Harga Perolehan : Akuntansi komersil, penentuan harga perolehan untuk barang yang diproduksi sendiri boleh memasukkan unsur biaya tenaga kerja yang berupa natura. Dalam fiskal, pengeluaran dalam bentuk natura tidak diakui sebagai pengurangan.

3. Prinsip pemadanan ( matching ) biaya dan manfaat : Akuntansi komersil mengakui biaya penyusutan pada saat aset tersebut menghasilkan. Dalam fiskal, penyusutan dapat dimulai sebelum menghasilkan.

c. Perbedaan Metode dan Prosedur dalam Perlakuan Akuntansi

1. Metode penilaian persediaan Dalam akuntansi komersial perusahaan diperbolehkan untuk memilih metode perhitungan atau penentuan harga pokok persediaan, sedangkan dalam fiskal hanya diperbolehkan menggunakan dua metode, yaitu average (rata-rata tertimbang) dan FIFO ( First in first out )

2. Metode Penyusutan dan amortisasi : Akuntansi komersial membolehkan memilih metode penyusutan seperti straight line method , sum of the years digits method , declining balance method , double declining balance method , metode jam jasa, jumlah unit produksi dan lain-lain. Dalam fiskal untuk asset non bangunan, pemilihan metode penyusutan terbatas pada metode garis lurus ( straight line method ) dan metode saldo menurun ( declining balance method ). Sedangkan untuk asset bangunan hanya metode garis lurus ( straight line method ).

3. Metode Penghapusan Piutang : Dalam akuntansi komersial, penghapusan piutang ditentukan berdasarkan metode cadangan. Dalam fiskal, penghapusan piutang dilakukan pada saat piutang nyata-nyata tidak dapat ditagih.

d. Perbedaan Perlakuan dan Pengakuan Penghasilan dan Biaya

1. Penghasilan diakui dalam akuntansi komersil, tetapi bukan merupakan objek pajak. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari Penghasilan Kena Pajak. Contoh :

a. Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura.

b. Penghasilan dividen yang diterima oleh perseroan terbatas, koperasi, BUMN/BUMD sebagai Wajib Pajak dalam negeri dengan persyaratan tertentu.

c. Hibah, bantuan, sumbangan. Penghasilan lain yang termasuk dalam kelompok bukan objek pajak.

2. Penghasilan tertentu diakui dalam akuntansi komersil tetapi pengenaan pajaknya bersifat final. Dalam rekonsiliasi fiskal, penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari total Penghasilan menurut akuntansi komersial. Contoh :

a. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara.

b. Penghasilan hadiah undian.

3. Penyebab perbedaan lain yang berasal dari penghasilan :

a. Kerugian usaha di luar negeri : Dalam akuntansi komersial, kerugian tersebut mengurangi laba bersih, dalam fiskal tidak boleh dikurangkan dari total penghasilan kena pajak.

b. Kerugian usaha dalam negeri tahun-tahun sebelumnya : dalam akuntansi komersil, kerugian tersebut tidak berpengaruh dalam perhitungan laba bersih tahun berikut. Secara fiskal rugi tahun sebelumnya, dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak tahun sekarang.

4. Pengeluaran tertentu diakui dalam akuntansi komersil sebagai biaya atau pengurang penghasilan bruto, tetapi dalam fiskal pengurangan tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam SPT tahunan PPh, merupakan koreksi fiskal positif yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh. Contoh :

a. Imbalan atau penggantian dalam bentuk natura.

b. Pajak Penghasilan.

c. Sanksi administrasi berupa denda, bunga, kenaikan dan sanksi pidana.

2.3.6 Koreksi Fiskal

Untuk keperluan perpajakan wajib pajak tidak perlu membuat pembukuan ganda, melainkan cukup membuat satu pembukuan berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK), dan pada waktu mengisi SPT Tahunan PPh terlebih dahulu harus dilakukan koreksi-koreksi fiskal. Perbedaan antara Standar Akuntansi Keuangan dengan Peraturan Perpajakan anatara lain dalam hal penggunaan sistem maupun metode pengakuan biaya maupun penghasilan secara akuntansi komersial dengan akuntansi secara pajak, baik dalam rangka pengakuan pendapatan maupun biaya untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak.

Perbedaan yang akan terjasdi dengan adanya pengakuan secara komersial dan secara fiskal adalah atas besarnya pajak yang terutang yang diakui dalam laporan laba-rugi komersial dengan pajak yang terutang menurut fiskus. Perbedaan besarnya pajak yang terutang tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi apabila perhitungan pajak yang diakui dalam laporan laba-rugi komersial dilanjutkan dengan memperhitungkan adanya koreksi fiskal.

Koreksi fiskal terjadi karena adanya perbedaan pengakuan secara komersial dan secara fiskal. Perbedaan tersebut dapat berupa:

1. Beda tetap Beda tetap terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh Wajib Pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya sesuai akuntansi secara komersial, tetapi berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan, transaksi dimaksud bukan merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, atau sebagian merupakan penghasilan atau sebagian merupakan biaya. Pengakuan penghasilan maupin biaya yang menimbulakn adanya beda tetap tersebut antara lain bahwa dalam akuntansi pajak dikenal istilah-istilah berikut:

a. Penghasilan sebagai obyek pajak

b. Penghasilan bukan sebagai obyek pajak

c. Penghasilan terkena PPh Final

d. Biaya sebagai pengurang penghasilan bruto

e. Biaya bukan sebagai pengurang penghasilan bruto

2. Beda waktu Beda waktu terjadi karena adanya perbedaan pengakuan besarnya waktu secara akuntansi komersial dibandingkan dengan secara fiskal, misalnya dalam hal:

a. Waktu pengakuan manfaat dari aktiva yang akan dilakukan penyusutan atau amortisasi

b. Waktu diperolehnya penghasilan

c. Waktu diakuinya biaya Dengan adanya koreksi fiskal maka besarnya Penghasilan Kena Pajak yang dijadikan dasar perhitungan secara komersial dan secara fiskal akan dapat berbeda.

Koreksi fiskal meliputi pengakuan pendapatan dan biaya yang dapat berupa koreksi positif dan koreksi negatif.

a. Koreksi Fiskal Positif Koreksi Fiskal Positif adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan

meningkatnya laba kena pajak yang pada akhirnya akan membuat PPh Badan Terhutangnya juga akan meningkat. Koreksi fiskal positif diantaranya:

1. Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan.

2. Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang PKP.

3. Biaya yang diakui lebih kecil, seperti penyusutan, amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan menurut WP lebih tinggi.

4. Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

5. Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final.

b. Koreksi Fiskal Negatif Koreksi fiskal adalah koreksi/penyesuaian yang akan mengakibatkan

menurunnya laba kena pajak yang membuat PPh badan terhutangnya juga akan menurun. Koreksi fiskal negatif diantaranya :

1. Biaya yang diakui lebih besar, seperti penyusutan menurut WP lebih rendah, selisih amortisasi, dan biaya yang ditangguhkan pengakuannya.

2. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

3. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan PPh Final.

2.3.7 Angsuran PPh Pasal 25

Pajak Penghasilan Pasal 25 mengatur tentang perhitungan besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan. Pembayaran pajak dalam tahun berjalan. Angsuran Pajak Penghasilan Pasal 25 adalah angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan untuk setiap bulan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal

25 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Pembayaran atas angsuran PPh Pasal 25 dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Wajib Pajak dapat membayar sendiri dan melalui pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga (PPh Pasal 21, 22, 23 dan 24). Menurut UU No. 36 Tahun 2008, angsuran PPh Pasal 25 dapat mempermudah atau meringankan beban wajib pajak untuk membayar pajak yang terhutang setiap tahunnya.

3 KERAGAAN PERUSAHAAN

3.1 Sejarah Perusahaan

Perusahaan ini didirikan oleh Kunto Wiyono,SE,SH, MSi. dan rekan pada tahun 2000 dengan nama PT CK Consultant. Pada tahun 2009, perusahaan ini berganti nama menjadi PT Bina Fiscal Indonesia.

PT Bina Fiscal Indonesia bergerak dalam bidang layanan jasa konsultan pajak, bisnis, serta pendidikan dan pelatihan perpajakan dengan tujuan memberikan layanan maksimal bagi kebutuhan klien. Layanan jasa perpajakan mulai dari penyusunan SPT masa/tahunan review perpajakan, pendamping pemeriksaan, keberatan, banding pada Pengadilan Pajak hingga Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung serta layanan jasa akuntansi yang dikemas secara efektif dan efisien agar memberikan banyak kemudahan pada klien untuk tetap fokus menjalankan fungsi bisnisnya secara baik.

PT Bina Fiscal Indonesia memiliki kredibilitas yang tinggi, dapat dilihat dari profil pemilik, yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua Ikatan Konsultan Pajak Indonesia Daerah Tangerang, dan dapat dilihat juga dari banyaknya pengalaman menghadapi berbagai macam kasus dan situasi perpajakan, sebagai contoh kasusnya adalah pendampingan restitusi PPh Badan PT Nestle Indofood Citarasa Indonesia tahun pajak 2010, Pengajuan Gugatan pada Pengadilan Pajak PT Davomas Abadi, Tbk Tahun Pajak 2008 (selesai dan dikabulkan seluruhnya), Legal Opini atas Inbreng PT Krakatau Steel pada PT Krakatau Industrial Estate Cilegon Tahun 2010, Permohonan Surat Keterangan Bebas PPh Pasal 22 dan PPN PT Crevis Tex (perusahaan korea) Jaya atas impor barang modal Tahun Pajak 2010, dan masih banyak pengalaman kerja sama lainnya yang telah dilakukan oleh PT Bina Fiscal Indonesia.

Kini PT Bina Fiscal Indonesia telah memperluas cakupan usahanya seperti telah memiliki Tax Centre sebagai pusat pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan yang berupa Pelatihan Brevet Pajak Terapan A-B-C, Bimbel Ujian Sertifikasi Konsultan Pajak, Seminar, Workshop dan Inhouse Tax Training, dan PT Bina Fiscal Indonesia juga telah banyak melakukan kerjasama dengan berbagai Universitas dan instansi lain untuk program pelatihan perpajakan.

3.2 Visi dan Misi PT Bina Fiscal Indonesia Visi

Menjadi Konsultan Pajak Terkemuka, Profesional & Terpercaya

Misi

1. Memberikan layanan jasa konsultan pajak yang berkualitas dan menjunjung tinggi profesionalisme kerja, integritas, dan etika dalam menyelesaikan permasalahan perpajakan klien.

2. Menempatkan kebutuhan klien sebagai prioritas utama dengan memberikan

solusi yang kreatif dan kredibel.

3.3 Struktur Organisasi

Direktur

Divisi Marketing

Divisi Konsultan

Divisi Finance

Wakil Ketua 1

Wakil Ketua 2

Account Representa tive

Account Representa tive

Account Representa tive

Account Representa tive

Sumber : PT Bina Fiscal Indonesia

Gambar 1 Struktur Organisasi PT Bina Fiscal Indonesia

3.4 Kegiatan Perusahaan

Kegiatan yang dilakukan PT Bina Fiscal Indonesia mempunyai fokus untuk memberikan solusi layanan perpajakan kreatif tanpa menyalahi peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan poin yang sangat penting, karena dengan layanan yang disediakan dapat menghemat waktu, pikiran, tenaga serta biaya, sehingga klien dapat lebih fokus untuk menjalankan dan mengembangkan bisnisnya secara baik. Berikut pelayanan yang dilakukan oleh PT Bina Fiscal Indonesia dalam kegiatan usahanya :

1. Jasa Konsultasi Perpajakan

2. Jasa Kepatuhan Pajak orang pribadi

3. Jasa Kepatuhan Pajak Bulanan & Tahunan

4. Tax Review

5. Tax Planning

6. Pendampingan Pemeriksaan Pajak

7. Pendampingan Keberatan, Banding, Gugatan dan Peninjauan Kembali

8. Restitusi

4 TINJAUAN KOREKSI FISKAL ATAS LAPORAN LABA RUGI KOMERSIAL TAHUN 2011 PT BINA FISCAL INDONESIA

4.1 Gambaran Laporan Laba Rugi Secara Fiskal PT Bina Fiscal Indonesia

Bentuk laporan laba rugi yang menjadi rujukan tugas akhir terkait atas PT Bina Fiscal Indonesia pada tahun buku 2011 :

Tabel 1 Laporan Laba Rugi Komersial PT Bina Fiscal Indonesia Tahun Pajak 2011

Keterangan Jumlah Pendapatan

Pendapatan Jasa 1 144 915 503

Total Pendapatan 1 144 915 503

Biaya Usaha

Biaya Gaji Karyawan & Direksi 482 070 267 Biaya Komisi/Honor/ Bonus

5 000 000 Biaya Pajak PPh Pasal 21

19 004 330 Biaya Pos & Materai

1 880 000 Biaya Fotocopy & Percetakan

8 599 600 Biaya Alat Tulis Kantor (ATK)

33 989 150 Biaya Rumah Tangga Kantor (RTK)

14 352 193 Biaya Telp & Fax

8 557 731 Biaya Internet

2 583 919 Biaya Listrik & Air

14 790 337 Biaya Pulsa HP

10 890 906 Biaya Iuran Keamanan & Kebersihan

720 000 Biaya Pengiriman Dokumen/Barang

3 788 000 Biaya Iklan / Marketing

23 595 000 Biaya Perjalanan Dinas

25 457 783 Biaya Sewa Kantor

18 999 996 Biaya Koran & Majalah

2 000 000 Biaya Legalitas & Perizinan

1 900 000 Biaya Sewa Mesin Fotocopy

7 661 760 Biaya Adm Bank

1 574 000 Biaya Seminar / Pelatihan

33 624 800 Biaya Sewa Kendaraan

42 000 000 Biaya Entertainment

35 530 211 Biaya BBM, Parkir & Tol

35 512 326 Biaya Penyusutan Peralatan

19 797 958 Biaya Penyusutan Inventaris Kantor

23 802 950 Biaya Penyusutan Kendaraan

2 635 000 Biaya Renovasi Kantor

32 000 000 Biaya Pemeliharaan Gedung

2 300 000 Biaya Pemeliharaan Peralatan Kantor

20 517 500 Biaya Pemeliharaan Kendaraan

34 872 209 Biaya Retribusi & Sumbangan

550 000 Biaya Sanksi Perpajakan

295 713 Biaya Umum & Adm lainnya

330 000 Biaya Asuransi Karyawan

14 153 395 Biaya Sparepart, Oli & Ban

Jumlah Biaya Usaha 994 115 169

Jumlah Pendapatan Operasi 150 800 334

Lanjutan Tabel 2 Laporan Laba Rugi Komersial PT Bina Fiscal Indonesia Tahun

Pajak 2011

Pendapatan Lainnya

Pendapatan Jasa Giro 333 574 Pendapatan Lain-lain

Jumlah Pendapatan Lainnya 7 333 621

Biaya Lainnya

Pajak Jasa Giro 65 945

Jumlah Biaya Lainnya 65 945

Jumlah Pendapatan & Biaya Lainnya 7 267 676

Laba (Rugi) Bersih 158 068 010

Sumber : Laporan Keuangan PT Bina Fiscal Indonesia, Data Diolah

4.2 Pendapatan yang Diakui Oleh PT Bina Fiscal Indonesia

Jenis-jenis pendapatan yang diperoleh oleh PT Bina Fiscal Indonesia, merupakan pendapatan jasa yang diperoleh melalui pendapatan atas jasa konsultasi perpajakan, pendampingan pemeriksaan perpajakan, dan pelatihan keahlian perpajakan brevet A dan B. Ketiga kegiatan tersebut menambah dan termasuk kedalam pendapatan jasa. Setelah melihat Tabel 1, selain pendapatan jasa, PT Bina Fiscal Indonesia juga mendapatkan pendapatan lain-lain. Pendapatan atas kegiatan yang dilakukan oleh PT Bina Fiscal Indonesia dapat diakui, karena sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 4 ayat (1) Perubahan Keempat atas Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini. Untuk pendapatan jasa giro, tidak dapat diakui dan harus di koreksi karena, Pendapatan jasa giro ini telah dikenakan PPh Pasal 4 ayat 2 yang telah diakui secara final.

4.3 Biaya yang Diakui Oleh PT Bina Fiscal Indonesia

Jenis-jenis biaya yang diperoleh oleh PT Bina Fiscal Indonesia dibagi menjadi dua jenis biaya yaitu, biaya usaha dan biaya luar usaha. Biaya ini kemudian dimasukan kedalam Laporan Laba Rugi Komersial. Terdapat 37 jenis biaya yang diakui oleh PT Bina Fiscal Indonesia yang kemudian akan dikoreksi secara fiskal. Berikut daftar biayanya dan penjelasannya :

1. Biaya Gaji Karyawan & Direksi Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya gaji karyawan & direksi ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya gaji karyawan & direksi ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara 1. Biaya Gaji Karyawan & Direksi Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya gaji karyawan & direksi ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya gaji karyawan & direksi ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara

2. Biaya Komisi / Honor / Bonus Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya komisi/honor/bonus ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya komisi/honor/bonus ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya komisi/honor/bonus sebesar Rp 5 000 000 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

3. Biaya Pajak PPh Pasal 21 Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya pajak PPh Pasal 21 ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya pajak PPh Pasal 21 ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya pajak PPh Pasal 21 sebesar Rp 19 004 330 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

4. Biaya Pos & Materai Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya pos & materai ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya pos & materai ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya biaya pos & materai sebesar Rp 1 880 000 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

5. Biaya Foto Copy & Percetakan Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya foto copy & percetakan ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya foto copy & percetakan ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya foto copy & percetakan sebesar Rp 8 599 600 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

6. Biaya Alat Tulis Kantor (ATK) Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya alat tulis kantor (ATK) ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya alat tulis kantor (ATK) ini mempunyai hubungan langsung 6. Biaya Alat Tulis Kantor (ATK) Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya alat tulis kantor (ATK) ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya alat tulis kantor (ATK) ini mempunyai hubungan langsung

7. Biaya Rumah Tangga Kantor (RTK) Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya rumah tangga kantor (RTK) ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya rumah tangga kantor (RTK) ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya rumah tangga kantor (RTK) sebesar Rp 14 352 193 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

8. Biaya Telpon & Fax Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya telepon & fax ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Dikarenakan biaya telepon & fax ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya telepon & fax sebesar Rp 8 557 731 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

9. Biaya Internet Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya internet ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Dikarenakan biaya internet ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya internet sebesar Rp 2 583 919 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

10. Biaya Listrik & Air Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa listrik & air ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya listrik & air ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya listrik sebesar Rp 14 790 337 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

11. Biaya Pulsa Handphone Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE – 09/PJ.42/2002 Pasal 1 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan, atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai 11. Biaya Pulsa Handphone Sesuai dengan Surat Edaran Direktur Jendral Pajak No. SE – 09/PJ.42/2002 Pasal 1 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan, atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai

12. Biaya Iuran Keamanan & Kebersihan Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya iuran keamanan & kebersihan ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya iuran keamanan & kebersihan ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Meskipun biaya ini berkaitan dengan kegiatan perusahaan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, apabila tidak terdapat bukti pendukung, maka biaya tersebut harus dikoreksi. Sehingga pengeluaran untuk biaya iuran keamanan & kebersihan sebesar Rp 720 000 tidak dapat dibiayakan secara fiskal.

13. Biaya Pengiriman Dokumen / Barang Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya pengiriman dokumen/barang ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya pengiriman dokumen / barang ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya pengiriman dokumen / barang sebesar Rp 3 788 000 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

14. Biaya Iklan / Marketing Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya iklan / marketing ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya iklan / marketing ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Seluruhnya didukung dengan daftar nominatif, sehingga pengeluaran untuk biaya iklan / marketing sebesar Rp 23 595 000 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

15. Biaya Perjalanan Dinas Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa perjalanan dinas ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya perjalanan dinas ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Seluruhnya didukung 15. Biaya Perjalanan Dinas Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa perjalanan dinas ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya perjalanan dinas ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Seluruhnya didukung

16. Biaya Sewa Kantor Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya sewa kantor ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya sewa kantor ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya sewa kantor sebesar Rp 18 999 996 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

17. Biaya Koran & Majalah Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya koran & majalah ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya koran & majalah ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya koran & majalah sebesar Rp 2 000 000 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

18. Biaya Legalitas & Perijinan Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya legalitas & perijinan ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya legalitas & perijinan ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya legalitas & perijinan sebesar Rp 1 900 000 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.

19. Biaya Sewa Mesin Fotokopi Sesuai dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) No. 36 Tahun 2008 Pasal 6 ayat (1) huruf a Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh), bahwa biaya sewa mesin foto copy ini termasuk kedalam biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan. Biaya sewa mesin foto copy ini mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek PPh atau pengenaan PPh-nya final. Sehingga pengeluaran untuk biaya sewa mesin foto copy sebesar Rp 7 661 760 ini dapat dibiayakan menurut fiskal.