Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sa

Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Sains Tahun 2014
“Inovasi Pendidikan Sains dalam Menyongsong Pelaksanaan Kurikulum 2013”
Surabaya, 18 Januari 2014

KAJIAN TEORI DAN EKSPERIMEN DARK MATTER DARI PERSPEKTIF
KOSMOLOGI DAN SUPERSIMETRI
Rifky Nia Sarantie1,2), Moh. Luqman Hakim1), Hafsemi Rapsanjani1), Febdian Rusydi2)
1)

Pendidikan Sains, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya, Jl. Ketintang Kampus Ketintang Gedung
K.9 Surabaya – 60231.
2)
Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Airlangga, Jl. Mulyorejo Kampus C Surabaya –
60115.
e-mail: rifkynias@gmail.com
Abstract

The fact that “invisible” matters still dominate the Universe. It is a serious problem for our understanding of the
Universe. Especially the dark matter, which is consider as a real invisible matter that raise gravitationalrelated problems, such as large scale structure and gravity lens. Dark matter becomes the top priority issue in
astrophysics community recently in order to perfect our physical model to be more close to the real Universe. Some
huge experiments have been studying the dark matter, such as Large Hadron Collider in CERN, Energetic Gamma

Ray Emission Telescope in outer space by NASA, and Xenon 10 in Italy. In theoretical point of view, particle physics
is being used to pursue the particle candidate of dark matter's constituent. For this purpose, Minimal
Supersymmetric Standard Model (MSSM), a model according to the Standard Model, predicts neutralino as the
candidate. This study is to review the dark matter from cosmology, where General Relativity theory plays an
important role, and to calculate the probability of finding neutralino in Xenonl0 experiment. The study result shows
that physics needs the hypothetical matter of Dark Matter to understand fully of the Universe and neutralino could
be the right candidate of the constituent matter of Dark Matter. If it is true and has detected, it will be a great
triumph both for particle physics that owns the neutralino in their MSSM and for cosmology that owns dark matter.
Keywords: general relativity, dark matter, cosmology, XenonlO, MSSM

Abstrak
Fakta bahwa “invisible matter ” mendominasi komposisi alam semesta adalah sebuah masalah yang serius untuk
memahami Alam Semesta. Khususnya “dark matter ”, yang dipertimbangkan sebagai materi yang sesungguhnya
dari “invisible matter ” yang memunculkan masalah-masalah yang berkaitan dengan gravitasi, seperti struktur
besar Alam Semesta dan lensa gravitasi. Beberapa eksperimen raksasa yang mempelajari “dark matter ” seperti
Large Hadron Collider di CERN, Energetic Gamma Ray Emission Telescope dalam ruang terbuka oleh NASA, dan
Xenon10 di Italia. Dalam kacamata teoritis, fisika partikel dapat digunakan untuk menentukan partikel kandidat
penyusun dark matter mengacu pda Minimal Supersymetric Standard Model (MSSM), sebuah model di luar
Standard Model, untuk memprediksi neutralino sebagai partikel kandidat penyusun dark matter. Kajian ini adalah
untuk mengkaji ulang (review) dark matter dari perspektif kosmologi, yang mana teori Relativitas Umum berperan

penting, dan untuk menghitung probabilitas menemukan neutralino dalam eksperimen Xenon10. Hasil kajian ini
menunjukkan bahwa fisika membutukan hipotesis dark matter untuk memahami alam semesta secara utuh dan
neutralino dapat menjadi partikel kandidat penyusun dark matter. Jika neutralino benar-benar terdeteksi, itu akan
menjadi keberhasilan baik untuk fisika partikel yang menyumbangkan partikel neutralino dalam MSSM maupun
untuk kosmologi yang memiliki dark matter.
Kata Kunci: relativitas umum Einstein, dark matter, kosmologi, Xenon10, MSSM

PENDAHULUAN
Dark matter adalah sebuah hipotesis materi yang
dibutuhkanuntuk melengkapi materi yang hilang di
Alam semesta kita. Dark matter tidak memancarkan
cahaya dan juga tidak berinteraksi dengan cahaya
(refleksi atau absorbsi) karena tidak berinteraksi di
bawah pengaruh elektromagnetik. Oleh karena itu,
keberadaan dark matter tidak dapat dideteksi langsung
oleh detektor yang ada saat ini yang bekerja
berdasarkan interaksi elektromagnetik.
Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya


Metode pengamatan tak-langsung menjadi pilihan
utama dalam penyelidikan dark matter , misalnya
membandingkan massa sebuah galaksi yang didapat
dari spektroskopi massa bintang dengan pengukuran
kecepatan objek di pinggir galaksi tersebut. Metode ini
dikenal dengan konvensional M/L (mass-light ratio).
Dark matter kemudian menjadi salah satu misteri dalam
fisika yang sampai sekarang belum tuntas terpecahkan.
Hipotesis dark matter bermula pada tahun 1933,
ketika astronom Swiss, Fritz Zwicky, mempelajari
ISBN XXXX-YYYY
1

Kajian teori dan eksperimen….

pergerakan sebuah galaksi terluar dari kluster Coma
yang jauh dan massif (D.Perkins, 2005). Zwicky
kemudian memperkirakan massa dari tiap galaksi pada
kluster tersebut berdasarkan luminositasnya, dan
menjumlahkan massa tiap galaksi tersebut untuk

mendapatkan total massa kluster galaksi tersebut.
Dalam perhitungannya, Zwicky tidak mendapatkan
hasil perhitungan yang sesuai dengan hasil pengamatan.
Zwicky mendapatkan kecepatan orbit dari lapisan
terluar kluster yang teramati lebih cepat dari kecepatan
orbit dari hasil perhitungan.
Pada saat yang bersamaan secara terpisah, astronom
Belanda, Jan Oort mempelajari pergerakan rotasi
galaksi-galaksi di sebuah kluster lokal. Jan Oort
mendukung hasil pengamatan Zwicky dengan
menyatakan bahwa massa galaksi-galaksi di sebuah
kluster lokal tiga kali lebih massif daripada yang
diperoleh dari intensitas cahaya masing-masing galaksi.
Salah satu solusi dari ketidaksesuaian ini adalah bahwa
ada massa yang tidak terhitung karena tidak terdetesi
oleh pengamatan mereka. Massa yang tidak
teridentifikasi inilah yang diperkirakan sebagai dark
matter .
Selain membuat model matematis untuk dark matter
agar dapat masuk dalam Standard Model fisika yang

sudah ada, dilakukan juga pencarian dark matter di
Alam
Semesta.
Beberapa
eksperimen
yang
didedikasikan untuk pencarian dark matter di antaranya
adalah ANTARES di Laut Mediterania, EGRET
(bagian dari proyek WMAP NASA), XENON10 di
Italia, dan Large Hadron Collider (LHC) di CERN.
Masing-masing eksperimen memiliki teknik dan
detektor berbeda, tapi memiliki satu tujuan yaitu
menangkap partikel penyusun dark matter langsung
atau tidak langsung. Eksperimen XENON10, misalnya,
dalam berita utama majalah Nature volume 448 (19 Juli
2007) meyakini Weakly Interacting Massive Particle
(WIMP) sebagai partikel penyusun dark matter dan
menggunakan likuid Xenon sebagai detektornya.
WIMP sendiri sampai sekarang masih berupa sebuah
hipotetikal partikel yang dijelaskan oleh teori

supersimetri.
Hipotesis dark matter sendiri secara menakjubkan
telah diungkap oleh proyek WMAP (Wilkinson
Microwave Anisotropy Probe ), yang merupakan
suksesor proyek Cosmic Background Explorer (COBE).
Proyek WMAP menguraikan komposisi Alam Semesta
yang terdiri dari 74% dark energy, 22% dark matter ,
dan sisanya 4% adalah materi dan radiasi yang kita
kenal (Bennett, 2003). Tanggal 5 November 2008,
Satelit PAMELA mengklaim telah berhasil mendeteksi
sisa-sisa anihilasi dark matter di Alam Semesta.
Fakta bahwa 22% komposisi Alam Semesta adalah
dark matter menempatkan dark matter menjadi sebuah
isu yang sangat serius. Ini terkait dengan keinginan
untuk memahami Alam Semesta secara utuh.
Komunitas fisika astropartikel Eropa dalam laporan
ROAD MAAP penelitian tahun 2006 menempatkan
dark matter sebagai riset pertama dari enam riset
Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya


unggulan yang mereka rekomendasikan. Di Indonesia
belum banyak yang melakukan kajian tentang dark
matter . Kajian ini diharapkan dapat menjadi inisiator
riset dark matter di Fisika Universitas Negeri Surabaya
secara khusus dan memberikan sumbangan kepada
komunitas Fisika Astropatikel di Indonesia secara
umum.
METODE
Metode
pengkajian
dilakukan
dengan
cara
mengumpulkan data dan informasi dari beberapa
literatur, buku teks, dan jurnal-jurnal ilmiah. Kemudian
menentukan teori hamburan yang sesuai dengan reaksi
antara WIMP (weakly Interacting Massive Particle )
dengan inti atom Xenon pada eksperimen XENON10.
Selanjutnya melakukan penghitungan cross section

sebagai indikasi adanya WIMP yang terdeteksi dalam
eksperimen XENON10. Perhitungan cross section
digunakan sebagai indikasi keberadaan dark matter
melalu Persamaan (7).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bukti keberadaan dark matter di Alam Semesta
dapat dilihat dari fenomena-fenomena: kurva rotasi
galaksi, lensa gravitasi, dan Large Scale Structure .
Teknik pengamatan astronomi modern melalui
kurva rotasi galaksi yang dilakukan oleh Zwicky lebih
akurat untk objek galaksi. Sebuah galaksi umumnya
dapat dibagi atas bagian inti galaksi yang berbentuk
bola dan bagian yang mengelilingi inti yang berbentuk
cakram. Semua objek-objek astronomi seperti bintang,
planet, gas dan debu kosmos yang terkonsentrasi pada
kedua bagianini dengan fungsi kerapatan massa tertentu.

Gambar 1.

(a) Galaksi (garis tebal hitam di tengah-tengah)

dikelilingi oleh daerah yang disebut halo. (b)
Penampang galaksi yang dipotong dari dipotong
horizontal. R adalah jari-jari galaksi dan r m
adalah jarak objek ke titik pusat galaksi
(Sumber: Hasil kajian teoritik penelitian, 2009)

Populasi objek langit pada bagian inti dan cakram
ini disebut Populasi I. Di luar dua bagian ini, ada
bagian ekstensi galaksi yang disebut halo seperti yang
diilustrasikan pada Gambar 1(a), yang mana hanya
terdapat bintang dan planet tanpa gas dan debu kosmos
yang disebut Populasi II (Kutner, 2003). Bentuk galaksi
pada Gambar 1(a) dapat dimodelkan sebagai sebuah
piring dengan kerapatan massa berpusat pada bagian
tengah piring seperti pada Gambar 1(b). Kecepatan
ISBN XXXX-YYYY
2

Kajian teori dan eksperimen….


orbit dari lapisan terluar dapat dihitung dengan hukum
III Newton, yaitu

v2  G

M r 
r

(1)

dengan v adalah kecepatan orbit dari matahari, r
adalah jarak antara mata-hari dan pusat galaksi,
G adalah konstanta gravitasi, dan M r  adalah
distribusi massa kluster yang didefinisikan oleh:

M r     r   dV
r

0


(2)

Berdasarkan Gambar 1(b) kita akan menentukan
hubungan kecepatan orbit terhadap jarak dari lapisan
terluar sebuah galaksi. Perhitungan kecepatan orbit
dapat dibagi dalam dua ranah, pertama untuk objek di
dalam galaksi ( r  R ) dan kedua untuk objek di
daerah halo ( r  R ).
Untuk r

Gambar 2.

Grafik kecapatan orbit terhadap jarak untuk
menghitung massa total galaksi dan halonya.
Garis putus-putus pada daerah r > R adalah hasil
perhitungan dari pengamatan massa dan garis
bersambung adalah dari luminositas.

Kecepatan konstan yang diberikan oleh Persamaan (5)
mengharuskan:

M r  R  r

(6)

Persamaan (6) menunjukkan bahwa massa total semua
objek dalam radius r (dengan r > R) sebanding dengan
pertambahan r . Ini jelas tidak sesuai dengan hasil
perhitungan dari kecepatan orbit. Dengan kata lain, ada
massa dengan jumlah yang besar yang tidak teramati
dengan teknik luminositas.

 R , dengan asumsi  r    0 adalah

konstan, kecepatan orbit dari lapisan terluar diberikan
oleh:

4
v 2  G 0 r 2
3

(3)

 R , massa M r  adalah massa
total galaksi, yaitu M R , didapatkan kecepatan orbit

Sedangkan untuk r

Gambar 3.

lapisan terluar:

Teknik ini telah dilakukan pada galaksi NGC 3198
dan hasilnya ditampilkan pada Gambar 3. Hasil
perhitungan dari model matematis ditunjukkan oleh dua
garis solid, yaitu perhitungan jika massa hanya ada
pada galaksi dan perhitungan jika melibatkan massa
halo. Sementara, garis yang dibentuk oleh plot titik-titik
adalah hasil pengamatan. Gambar 3. mengindikasikan
bahwa massa yang tidak terhitung oleh teknik
luminositas adalah dark matter .

v 2  G 0

4 R3

3 r

(4)

Berdasarkan Persamaan (3) dan (4) dapat diketahui
bahwa

 r untuk r  R

vr    1
untuk r  R
 r

Sementara, dari pengamatan langsung dan mempertimbangkan efek Doppler didapatkan bahwa (KlapdorKleingrothaus, 2000)

v  tetap

untuk

r R

(5)

Kurva galaksi NGC 3198. (Sumber: KlapdorKleingrothaus, 2000: 269).

Dark matter pada halo dikenal dengan nama
Massive Astrophysical Compact Halo Object atau
disingkat MACHO. Massanya diperkirakan dalam orde
yang sama dengan massa rata-rata bintang di galaksi,
yaitu sekitar 0,001 – 0,1 massa Matahari. Salah satu
cara mengamati MACHO adalah melalui efek lensa
gravitasi.
(3)

sehingga Persamaan (3), (4), dan (5) dapat diplot dalam
satu grafik, yaitu Gambar 2.

Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya

ISBN XXXX-YYYY
3

Kajian teori dan eksperimen….
Gambar 4.

Massa
membuat
dimensi
ruang-waktu
melengkung sehingga lin-tasan cahaya yang
bergerak di dekat massa juga ikut melengkung.
Akibatnya, cahaya terbelokkan dan peristiwa ini
disebut lensa gravitasi. (Sumber: diambil dari
situs http://www.star.ucl.ac.uk, diakses pada 5
Desember 2008)

terdistribusi secara random, melainkan memiliki
struktur pada skala sangat besar (D.Perkins, 2005)
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.

Lensa gravitasi adalah pembelokkan cahaya oleh
benda yang sangat massif. Efek lensa gravitasi sudah
diramalkan oleh Einstein lewat konsep gravitasinya:
bahwa massa membuat ruang-waktu melengkung dan
cahaya yang bergerak dalam dimensi ruang-waktu ikut
melengkung ketika mele-wati massa. Peristiwa ini
diilustrasikan oleh Gambar 4. di mana lintasan cahaya
terbelokkan ketika melewati sebuah benda bermassa.

Gambar 6.

Gambar 5.

Fenomena lensa gravitasi yang teramati dari
kluster galaksi CL0024 yang diamabil oleh
Hubble Space Telescope (2007). Galaksi Abell
2218 menjadi penghalang antara pengamat dan
kuasar di belakang kluster tersebut. Galaksi
Abell 2218 yang sangat massif mem-buat
cahaya dari kuasar terbelokkan dan terlihat efek
penggandaan cahaya yang berbentuk melengkung mirip cincin. (Sumber: diambil dari situs
http://www.nasa.gov, diakses pada 21 Juli 2009).

Lensa gravitasi mengizinkan kita untuk melihat
benda di belakang benda yang lain. Sebuah galaksi
adalah objek yang sangat massif yang dapat berperan
seperti sebuah lensa. Efek ini diberikan oleh galaksi
Abell 2218 pada kluster galaksi CL0024 yang dipotret
pada tanggal 15 Mei 2007 oleh teleskop Hubble. Dari
data spektroskopi, massa kluster ini seharusnya tidak
sanggup menghasilkan lensa gravitasi seperti pada
Gambar 5. Jika benar demikian, maka ada massa kluster
atau massa galaksi dalam jumlah besar yang tidak
teramati oleh teleskop. Massa tersebut diduga berasal
dari dark matter yang terletak di dalam atau di belakang
kluster galaksi CL0024. Dengan teknik ini, ratusan
buah MACHO telah teramati bahkan di galaksi Bima
Sakti.
Pengetahuan terhadap komposisi Alam semesta
bergantung pada tingkat akurasi memindai langit jagad
raya pada skala besar. Studi khusu tentang struktur
Alam Semesta berskala besar (large scale structure)
menunjukkan bahwa material di Alam Semesta tidak

Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya

Struktur skala besar Alam Semesta yang
dipotong pada belahan utara dan selatan galaksi.
Kita berada tepat di pusat gambar. Jumlah titik
putih adalah 9.325 dan setiap titiknya adalah
sebuah galaksi. Terlihat ada pola yang dibuat
titik-titik tersebut sebagai tanda kecenderungan
bahwa massa tersebar dengan struktur tertentu.
(Sumber: diambil dari situs http://www.nasa.gov,
diakses pada 5 Desember 2008).

Berdasarkan prediksi teoritis dan hasil pengamatan
modern mengantarkan para kosmolog kepada
kesimpulan bahwa Alam Semesta tersusun dari
komponen materi, radiasi, dan vakum. Informasi yang
ada sekarang menunjukkan adanya selisih besar
kerapatan komponen materi yang terdeteksi dengan
besar kerapatan materi yang diprediksi oleh teori untuk
pengukuran untuk satu galaksi atau satu kluster galaksi.
(pengukuran lokal). Selisih tersebut menunjukkan
adanya massa yang hilang atau tidak teramati oleh para
kosmolog.
Fakta ini membuat para kosmolog membedakan
materi sebagai materi tampak (visible matter ) dan
materi tak-tampak (invisible matter ). Materi tak-tampak
inilah yang kemudian disebut sebagai dark matter .
Usaha pencarian dark matter juga dilakukan melalui
eksperimen-eksperimen raksasa di Bumi. Eksperimeneksperimen ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan
dark matter di Alam Semesta. Usaha pendeteksian dark
matter tidak dapat dilakukan secara langsung. Ini
dikarenakan dark matter tidak berinteraksi secara
elektromagnetik, sedangkan detektor yang ada sampai
saat ini bekerja secara elektromagnetik. Oleh sebab itu,
para kosmolog melakukan pencarian dark matter secara
tak-langsung, yaitu dengan melacak/mendeteksi jejak
dark matter (dalam hal ini adalah WIMP). Caranya
adalah dengan mendeteksi dan menganalisis energi
recoil yang dihasilkan dari interaksi antara WIMP
dengan inti atom. Cara berikutnya adalah dengan
mendeteksi partikel-partikel hasil interaksi WIMP
dengan partikel pasangannya.

ISBN XXXX-YYYY
4

Kajian teori dan eksperimen….

Salah satu eksperimen raksasa itu adalah XENON10.
XENON10 adalah proyek eksperimen yang berlokasi di
Laboratorium bawah tanah, Gunung Gran Sasso, Italia.
Proyek ini menggunakan detektor likuid Xenon (LXe)
dan gas Xenon dalam usaha pencarian WIMP secara
eksperimen (Aprile, 2002). Prinsip pengukuran
XENON10 adalah berdasarkan sinyal dari sensor
(scintillation) yang dihasilkan dari penurunan energi
dalam skala medium. Scintillation ini kemudian diukur
menggunakan 89 Hamamatsu R8520 Photomultiplier
Tubes (PMTs) (Gomes, 2007).

Pertikel SuSy secara teoritis massif. Massa partikel
SuSy antara 100 GeV (batas bawah dalam akselerator
partikel) dampai dengan 1000 GeV (Perkins, 2005).
Partikel SuSy yang stabil ini tidak mengalami
peluruhan lagi. Partikel yang tidak mengalami
peluruhan lagi disebut the Lightest SuperSymetry
Particle (LSP).
Salah satu partikel yang termasuk LSP adalah
neutralino. Neutralinomerupakan fermion bermuatan
netral yang disusun oleh kombinasi linier fotino, zino,
dan dua higgsino. Neutralino juga bukan barion,
sehingga partikel SuSy ini tidak berinteraksi secara
elektrmagnetik dan tidak berinterksi di bawah pengaruh
gaya kuat.Fisika partikel mengasumsikan neutralino
hanya berinteraksi di bawah pengaruh gaya lemah.
Meskipun memiliki massa kecil untuk partikel SuSy,
namun dibandingkan partikel yang disediakan Standard
Model massa neutralino sangat massif (setidak-tidaknya
100 kali massa proton). Dengan demikian, neutralino
dapat dikategorikan sebagai WIMP, partikel kandidat
yang diharapkan para kosmolog untuk memecahkan
misteri dark matter .
Probabilitas terdeteksinya WIMP dapat dilihat dari
cross section hamburan yang dihasilkan dari interaksi
inti xenon yang tereksitasi atau ionisasi dengan gas
Xenon. Cross section hamburan dari interaksi ini
diberikan oleh:

 SD 
Gambar 7.

Skema detektor XENON10. (Sumber: Gomez,
2007: 31).

Berdasarkan Gambar 7, dapat dijelaskan bahwa
WIMP yang datang menghasilkan sinyal S1 kemudian
ditangkap oleh detektor Lxe dan berinteraksi dengan
inti atom Xenon. Interaksi yang terjadi menyebabkan
inti atom Xenon mengalami recoil. Recoil inti dari
interaksi menghasilkan inti Xenon dalam keadaan
tereksitasi atau bisa juga terjadi peristiwa ionisasi
(pasangan ion dari elektron Xe* + e-) yang terjadi di
dalam likuid Xenon (Baudis, 2006). Energi foton yang
dihasilkan dari interaksi inti xenon yang tereksitasi atau
ionisasi dengan gas Xenon kemudian ditangkap oleh
PMT (PhotoMultiplier Tube) bagian atas sebagai sinya
S2. Energi yang terdeteksi kemudian dianalisis oleh
PMT sebagai indikator terdeteksinya WIMP dalam
eksperimen XENON10.
WIMP adalah partikel yang berinteraksi di bawah
pengaruh gaya lemah. WIMP tidak berinteraksi secara
elektromagnetik dan tidak berinteraksi di bawah
pengaruh gaya kuat. Oleh karena itu, WIMP dapat
dikategorikan sebagai dark matter .
Standard Model tidak menyediakan partikel yang
memenuhi kriteria WIMP, para kosmolog melihat
kemungkinan itu pada partikel SuSy (SuperSymmetry)
dalam MSSM (Minimal Supersymetry Standard Model ).
Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya

2 J  1M   mN 
24M 2 mN2 G F2

2

4
S 0
3

(7)

S 0 adalah zero momentum transfer S q  ,
S q  adalah form factor yang bergantung spin partikel
inti (nucleon), M  adalah massa WIMP dan

dengan G F adalah konstanta Fermi coupling dan

M N adalah massa inti atom Xenon ( 131Xe ).
Sedangkan J adalah total momentum anguler inti atom
Xenon.
Perhitungan cross section melalui Persamaan (7)
akan menghasilkan grafik yang sesuai dengan bentuk
grafik yang diperoleh dari hasil eksperimen.
SIMPULAN
Hipotesis dark matter dari aspek kosmologi
dibutuhkan untuk memahami Alam Semesta secara
utuh. Ini terkait dengan keberadaan dark matter yang
besarnya 22% dari komposisi Alam Semesta. Patikel
kandidat penyusun dark matter adalah neutralino (dapat
dikategorikan sebagai WIMP). Hasil cross section yang
diperoleh sesuai dengan hasil eksperimen.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan puji syukur atas berkat
rahmat Allah SWT. yang telah memberikan nikmat
kesehatan dan kesempatan kepada penulis sehingga
ISBN XXXX-YYYY
5

Kajian teori dan eksperimen….

penulisan makalah ini dapat terselesaikan dengan baik.
Terima kasih pula kepada orang tua penulis atas
dukungan finansialnya pada penelitian ini dan
Universitas Negeri Surabaya atas dukungannya dalam
keikutsertaan dalam kegiatan ilmiah ini. Penulis juga
berterima kasih kepada Bapak Febdian Rusydi atas
bimbingan dan diskusi-diskusi ilmiah yang bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA
Aprile, E., Baltz, E.A., Curioni, A., Giboni, K-L.,
Hailey, C.J., Hui, L., Kobayashi, M., Ni, K.
2002. “Xenon : A 1 Tonne Liquid Xenon
Experiment for A Sensitive Dark Matter Search”.
July 2002. arXiv:astro-ph/0207670v1 . [diakses 8
Desember 2008]
Baudis, L. dan Ni, K. 2006. “Direct Dark Matter
Searches with CDMS and Xenon”. November
2006. arXiv:astro-ph/0611124v2 . [diakses 11
Desember 2008]
Bennett, C.L., Halpern, M., Hinshaw, G., Jarosik, N.,
Kogut, A., Limon, M., Meyer, S.S., Page, L.,
Spergel, D.N., Tucker, G.S., Wollack, E.,
Wright, E.L., Barnes, C., Greason, M.R., Hill,
R.S., Komatsu, E., Nolta, M.R., Odegard, N.,
Peiris, H.V., Verde, L., Weiland, J.L.
2003. ”First Year Wilkinson Microwave
Anisotropic Probe (WMAP) observation:
Preliminary maps and basic results”. June 2003.
arXiv:astro-ph/0302207v3 . [diakses 2 Mei 2008].
Gomez, R.G. 2007. ” Characterization of the Xenon-10
Dark Matter Detector with Regard to Electric
Field and Light Response”. Thesis, Rice
University
Klapdor-Kleingrothaus. 2000. Particle Astrophysics
(revised edition). Bristol: J.W. Arrowsmith Ltd.
Kutner, L.M. 2003. Astronomy a Physical Perspective:
Second Edition . New York: Cambridge
University Press.
Perkins, D. 2005. Particle Astrophysics. New York:
Oxford University Press.

Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana
Universitas Negeri Surabaya

ISBN XXXX-YYYY
6