Kajian Solusi Krisis Air Bersih di Indon

Abstrak
Jumlah penduduk Indonesia pada 2015 diprediksi oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melonjak menjadi
247,5 juta jiwa, akan membutuhkan air sebanyak 9.391 miliar m3 atau naik 47 persen dari tahun 2000.
Fenomene krisis air bersih pada saat itu pasti terjadi jika tidak diantisipasi solusinya dari sekarang.
Beberapa solusi yang dikaji dapat diimplementasikan untuk memenuhi kebutuhan air bersih yaitu:
pembangunan Infrastruktur dan manajemen pengelolaan air, mengoptimalkan potensi air tanah,
reformasi rekayasa dan kekaryaan PDAM, mereduksi pemanasan global dan mengelola air hujan
dengan resapan air.
Kata kunci: Air bersih, daerah aliran sungai, pemanasan global

Kajian Solusi Krisis Air Bersih di Indonesia
A. Pendahuluan
Menurut data Bank Dunia pada tahun 2006, dari 230 juta penduduk Indonesia, terdapat 108 juta
penduduk atau sekitar 47 persen yang memiliki akses air terhadap air bersih yang aman untuk
dikonsumsi. Berarti selebihnya 53 pesen penduduk Indonesia (lebih dari separuh) belum mendapatkan
air bersih. Padahal data juga menunjukkan bahwa 6 persen potensi air dunia atau 21 persen potensi air
Asia terdapat di Indonesia. Ironis memang negara yang kaya air ternyata masih belum dapat dinikmati
kekayaan tersebut oleh mayoritas penduduk.
Uraian ini air hanya dilihat dari satu aspek yaitu untuk kebutuhan rumah tangga, padahal air telah
menjadi sangat dominan dalam seluruh aspek kehidupan kita. Disamping kebutuhan rumah tangga air
juga berfungsi sebagai variabel penting tentang keberhasilan pangan atau pertanian dan air juga

berpotensi sebagai penyedia energi.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksi pada 2015 jumlah penduduk Indonesia melonjak menjadi
247,5 juta jiwa. Jumlah tersebut mengakibatkan pemenuhan kebutuhan air meningkat menjadi 9.391
miliar meter kubik atau naik 47 persen dari tahun 2000. Padahal ketersediaan air cenderung menurun
setiap tahunnya.
Di Pulau Jawa, misalnya, ketersediaan air hanya 1.750 meter kubik per kapita per tahun, jauh di
bawah standar kecukupan yaitu 2.000 meter kubik per kapita per tahun. Jika hal ini tidak
ditanggulangi, dipastikan Indonesia akan mengalami kelangkaan air bersih pada 2020. (Ruzardi,
2007)
Fenomena ini memerlukan penanganan yang akurat, solusi krisis air bersih mutlak dikaji dan
dimplementasikan dari sekarang.

B. Fakta Yang Terjadi Saat ini
Indikator krisis air bersih dapat dilihat dari beberapa fakta yang terjadi sebagai berikut:
1. Forum Air Dunia II (World Water Forum) di Den Haag pada Maret 2000 sudah
memprediksikan Indonesia termasuk salah satu negara yang akan mengalami krisis air

pada 2025.
Penyebabnya adalah kelemahan dalam pengelolaan air. Salah satunya di antaranya
pemakaian air yang tidak efisien. Laju kebutuhan akan sumber daya air dan potensi

ketersediaannya sangat pincang dan semakin menekan kemampuan alam dalam
menyuplai air.
2. Derajat kelangkaan air semakin meningkat. Sementara pertumbuhan penduduk yang pesat
disertai dengan pola hidup yang semakin menuntut penggunaan air yang berlebihan
semakin menambah tekanan terhadap kuantitas air. Daya beli masyarakat, khususnya
masyarakat kota terhadap air cukup memadai sehingga tidak merasa ada kesulitan
mendapatkan air.
3. Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Departemen Pertanian di Bogor, Kasdi
Subagyono (2006), belum lama ini mengungkapkan, masyarakat juga memanfaatkan air
bawah permukaan (groundwater) dengan menggunakan pompa, dan sangat jarang
memikirkan dampak penurunan tinggi muka air bawah permukaan dan intrusi air laut.
4. Petani di kawasan beririgasi juga tidak pernah kebingungan selama fasilitas air irigasi
tersedia di saluran. Padahal tidak jarang saluran irigasi kering di musim kemarau. Di saat
banjir, pikiran tertuju kepada upaya penyelamatan diri dan bagaimana menyurutkan
kelebihan air. Mereka tidak berpikir panjang untuk menyimpan kelebihan air tersebut
untuk dimanfaatkan pada saat musim kering tiba.
5. Untuk memenuhi kebutuhan air yang mendesak, warga yang mengalami kesulitan air
rela mengonsumsi sisa-sisa air irigasi persawahan. Air yang berwarna coklat tersebut
dipakai warga untuk air minum.
6. Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai fungsi penyangga atau resapan makin jauh dari

angan-angan karena sebagian besar rusak. Ini disebabkan terjadinya alih fungsi lahan di
daerah penyangga, makin meluasnya lahan kritis (Data Departemen PU menunjukkan,
ada 13,1 juta ha pada 1992, tetapi sekarang menjadi 18,5 juta ha), makin luasnya
penyebaran DAS kritis (22 DAS kritis pada tahun 1984, menjadi 59 DAS kritis tahun
1998), dan penebangan liar pada areal penyangga.
Berubahnya fungsi DAS adalah awal dari hilangnya volume besar air melalui aliran
permukaan yang seharusnya dapat dikonservasi. Faktanya, makin meningkatnya defisit
air di wilayah kekurangan air atau menurunnya ketersediaan air di daerah surplus.
Mengeringnya kantong-kantong air di daerah cekungan di kawasan DAS adalah indikasi
nyata dari makin hilangnya fungsi hidrologis DAS.
7. Sumber daya air mengalami berbagai tekanan yang berakibat pada makin buruknya
kualitas. Salah satu penyebabnya adalah pencemaran pada air permukaan (sungai,
danau, waduk) dan air bawah permukaan. Intrusi air laut ke daratan menyebabkan
salinitas air di sumur-sumur penduduk meningkat.

C. Pembahasan Solusi Krisis Air Bersih
1. Pembangunan Infrastruktur dan Manajemen Pengelolaan Air
Penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah petani sudah pasti ketergantungan
keberadaan akan air sangat besar. Ketersediaan air yang cukup bagi petani akan
menjadikan penghasilan petani meningkat dan sudah pasti megurangi angka kemiskinan.

Konsep teoritis: air kita berlimpah, tanah kita subur pasti petani kita juga makmur. Semua
aspek kehidupan keluarga petani mulai dari pendidikan, kesehatan dan kemudahan lainnya
dengan sendirinya akan membaik kalau konsep teoritis ini diimplementasikan dalam
bentuk program fisik yang tepat sasaran. Kalau kita perpikir secara nasional masa kini dan

masa depan maka pembangunan infrastruktur dan manajemen pengelolaan air semestinya
selalu mendapat prioritas utama dalam sektor pembangunan.
Yang ada kenyataannya adalah ketidakmampuan kita mengelola sumber daya air yang
berlimpah ini. Program hemat air, program kampanye hemat air perlu pula dilakukan
secara berkelanjutan. Iklan di tv dan radio kiranya lebih baik didanai pemerintah daripada
dana bertriliun-triliun dibelanjakan untuk membeli pangan dari luar.

2. Potensi Cekungan Air Tanah
Potensi air tanah sebagai salah satu sumber pasokan air bersih di Indonesia mencapai
sekitar 100 miliar m3 dan tersebar di seluruh daratan Indonesia. Potensi yang cukup
melimpah tersebut dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemenuhan
kebutuhan air bersih bagi masyarakat.
Kepala Badan Geologi Departemen ESDM, R Sukhyar (2009) memaparkan, saat ini
Indonesia tercatat memiliki cekungan air tanah (CAT) sebanyak 421 buah. Cekungan
air tanah tersebut meliputi 4 CAT lintas negara, 35 CAT lintas provinsi, 176 CAT

lintas kabupaten/kota, dan 206 CAT di dalam kabupaten/kota.
Ketersediaan data dan informasi keairtanahan, menurut R Sukhyar, merupakan hal
mendasar yang diperlukan untuk memahami kondisi air tanah guna menunjang
perencanaan pendayagunaan air tanah untuk mewujudkan pemanfaatan air tanah yang
optimal dan berkelanjutan.
Dalam hal ini, Badan Geologi sebagai instansi pusat, memiliki peran penting untuk
pelaksanaan pendayagunaan air tanah, yaitu melakukan penelitian, penyelidikan,
rekayasa teknologi dan rancang bangun, dan pemetaan tematik air tanah.
Keberhasilan pelaksanaan pendayagunaan air tanah sangat ditentukan oleh
keterpaduan dan koordinasi dari para pemangku kepentingan.
3. Reformasi Rekayasa dan Kekaryaan PDAM
Mencermati begitu banyak masalah di tubuh PDAM, semestinyalah ada reformasi rekayasa
dan kekaryaan. Dua hal itu adalah penentu mutu layanannya. Adapun privatisasi dengan
syarat-syarat ketat, menurut Undang-Undang No. 22 tahun 1999 yang diganti dengan UU No.
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, juga berpeluang hadir dan menjadi opsi sumber
air bersih warga.
Reformasi rekayasa
Telah disebutkan, ada dua aspek internal yang perlu direformasi di PDAM yaitu rekayasa dan
kekaryaan. Urgensi pertama ialah rekayasa instalasi. Selain pengolahan konvensional (kuno,
klasik) atau conventional treatment yang berupa pengolahan lengkap dan tak lengkap

(complete and incomplete treatment, AWWA, 1990) juga dapat dilengkapi dengan teknologi
membran (Heitmann, 1990). Ini perlu karena jumlah air kian susut dan mutunya memburuk.
Air bakunya kaya zat berbahaya-beracun. Terlebih lagi teknologi PDAM tidak mampu
menangani zat tersebut.

Hingga kini, fokus PDAM hanya kualitas fisika dan bakteriologi. Sebagian kecil di sektor
kimiawi. Itu pun sebatas penurunan kadar besi, mangan dan kesadahan. Banyak instalasinya
yang tak berdaya mengolah senyawa kimia seperti pestisida dan logam-logam berat. Padahal
justru zat inilah yang banyak saat ini.
Juga ada titik lemah yang menyebabkan interpretasinya keliru (misleading) pada monitoring
air baku, yakni acuannya hanya parameter konvensional, tidak mempertimbangkan parameter
lainnya seperti logam berat dan pestisida. Termasuk sering diperoleh nilai lump parameter
BOD (Biochemical Oxygen Demand) atau COD (Chemical Oxygen Demand) yang sangat
kecil, namun sebenarnya ada zat yang tidak terdeteksi dengan parameter tersebut tapi
berbahaya, yaitu zat xenobiotik. Kelemahan kedua ialah tidak pernah di-sampling sedimen
sungai yang boleh jadi konsentrasi polutannya ratusan kali lebih besar daripada di air sungai.
Polutan yang terlekat atau teradsorpsi di pasir dan lempung tersebut, pada saat hujan dan
banjir akan lepas (flushing) lagi sehingga konsentrasinya membesar.
Belum lagi soal polusi lindi (leachate) dari sanitary landfill yang juga kaya logam berat,
bakteri dan zat organik berbahaya. Sudah jadi rahasia umum, tidak satu pun lokasi timbunan

sampah yang betul-betul saniter. Malah acapkali terjadi, yang didesain lahan saniter tetapi
yang terwujud timbunan terbuka (open dumping).
Jadi, reformasi rekayasa tak bisa ditawar-tawar lagi. Aplikasi teknologi membran adalah satu
di antara beberapa solusinya walaupun mahal namun menguntungkan dalam jangka panjang.
Beberapa yang bisa diterapkan adalah reverse osmosis, ultrafiltrasi, dan nanofiltrasi. Kalau
tidak demikian, pasti ada kerugian pada masa datang. Ketika itu, insidensi sakit ginjal, hati,
jantung dan jaringan otak akan meningkat pesat.
Reformasi kekaryaan
Di tingkat internal pun muncul konflik yang menyangkut profesionalisme. Sampai kini
PDAM dikelola oleh pemda setempat berupa BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) dan
menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Kepala daerah punya hak prerogatif dalam
menyusun direksi dan jajarannya. Sudah rahasia umum bahwa direksi haruslah sosok pemda
karier. Padahal ada tiga jenis karyawan PDAM, yaitu karyawan perusahaan, karyawan yang
dikaryakan dari pemda dan karyawan kontrak alias lepas harian. Di titik simpul inilah sering
terjadi friksi berkaitan dengan posisi kunci, sebagai decision maker dan menimbulkan
ketegangan di tingkat elitenya.
Oleh karena itu, formula direksi dan jajarannya perlu direformasi agar warga yakin bahwa
PDAM memang institusi profesional berorientasi kerakyatan. Artinya, ada figur familiar
dalam bidang teknologi perairbersihan sebagai pengendalinya. Termasuk unjuk etika
profesional dalam bersaing bebas (free fight ethics) dan tanpa main uang (money politics).

Selain bervisi marketing, juga wajib memahami rekayasa sistem pengolahan dan integritasnya
telah teruji, bebas moral hazard.
Selain reformasi internal, ada cara lain untuk meningkatkan profesionalitas sektor air bersih
ini, yaitu penswastaan (privatisasi).

4. Pemanasan Global dan Neraca Air Hujan

Perubahan iklim global ditandai dengan fenomena ElNino dan La Nina.
El Nino merupakan fenomena global dari sistem interaksi laut dan atmosfer, yang ditandai dengan
memanasnya suhu muka laut di Pasifik Equator, atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut
positif. Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia akan
berkurang. Tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El Nino tersebut.
Selain itu karena posisi geografis Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh
wilayah Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino. Sedangkan La Nina adalah fenomena
mendinginnya suhu muka laut di Pasifik equator, atau anomali suhu muka laut di daerah tersebut
negative. Fenomena La Nina ini berakibat curah hujan di Indonesia secara umum akan bertambah.
Perubahan aliran air, selain dipengaruhi oleh pemanasan global, juga disebabkan oleh perubahan tata
guna lahan, penutupan lahan dan penggunaan air. Beberapa studi menyatakan bahwa, fluktuasi aliran
air meningkat sejalan dengan pengurangan luasan tutupan hutan. Tingginya tingkat laju kerusakan
hutan yang mencapai 1.6 juta ha pertahun, menyebabkan persoalan serius di beberapa Daerah Aliran

Sungai (DAS). Pada saat aliran air mencapai tingkat terendah, akan menyebabkan kekeringan.
Sedangkan pada saat aliran air mencapai titik tertinggi, akan menyebabkan banjir. Temuan ini juga
menyatakan bahwa resiko terjadinya kekeringan dan banjir meningkat dalam situasi terjadinya
pemanasan global.
Akumulasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) akibat aktivitas manusia mengakibatkan kerusakan siklus
hidrologi di atmosfir. Lapisan GRK menyebabkan sebagian panas matahari memantul kembali ke
bumi dan menyebabkan kenaikan suhu atmosfir sehingga terjadilah iklim ekstrim yang berdampak
semakin meningkatnya intensitas dan frekwensi bencana yang terkait dengan air (banjir, kekeringan,
tanah longsor, kenaikan muka air laut).
Neraca keseimbangan air yang turun ke bumi dan distribusinya secara alamiah, dapat dinyatakan
dalam persamaan sebagai berikut:
Q total = Q run-off + Q infiltrasi + Q evapotranspirasi
dimana:
Q total = jumlah total air hujan yang turun per satuan waktu
Q run-off = jumlah air hujan yang mengalir ke tempat yang lebih rendah sebagai limpasan air
permukaan (surface run-off) yang merupakan fungsi dari:
Q run-off = C.I.A,
Dimana:
C = koefisien limpasan yang bergantung pada jenis lapisan penutup permukaan tanahnya,
nilainya dari 0,1 – 1

I = Intensitas curah hujan
A = luas daerah tangkapan hujan

Q infiltrasi = jumlah air hujan yang meresap ke dalam lapisan tanah yang sangat bergantung pada
jenis tanah dari lapisan tanah pada kedalaman 1-3 meter di bawah permukaan tanah.
Q evapotranspirasi = jumlah air hujan yang meresap kembali ke atmosfir yang sangat bergantung
pada iklim setempat (suhu udara, kelembaban, angin)
Dari persamaan neraca di atas, hanya Q run-off dan Q infilitrasi yang dapat dikendalikan terutama
dengan intervensi pengaturan kegiatan/aktivitas manusia dan rekayasa teknis dengan sasaran
memperkecil Q run-off sesuai dengan kapasitas badan air (sungai, danau, situ, retensi air buatan
dan alamiah) dan memperbesar Q infiltrasi. Dalam hal ini terjadi hubungan timbal balik
(reciprocal) antara Q run-off dan Q infiltrasi. Jika Q run-off membesar maka Q infiltrasi mengecil
dan sebaliknya.

D. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
a. Ancaman krisis air bersih di negara kita pada tahun 2025 sangat mungkin terjadi
berdasarkan fakta dari pengelolaan air dan fenomena alam.
b. Manajemen pengelolaan air yang baik dan pembangunan infrastruktur merupakan
solusi utama di dalam upaya mengatasi krisis air, disamping solusi lainnya.

c. Pemanasan Global dapat direduksi dengan mengubah perilaku hidup manusia
terutama mengurangi atau mengganti aktivitas yang banyak menghasilkan emisi
Gas Rumah Kaca (GRK), dan kerja sama antar negara di seluruh dunia.
d. Resapan air hujan di setiap rumah merupakan tabungan air di dalam tanah sebagai
salah satu solusi sederhana akan krisis air.
2. Saran
a. Agar selamat dari krisis air bersih maka harus dilakukan secara komprehensif dari
semua pihak, pelaksanaan peraturan dan perundangan yang kondusif dari pemerintah,
partisipasi masyarakat dalam membiasakan gaya hidup hemat air.
b. Ketersediaan air dapat dijaga dengan mengurangi kerusakan lingkungan di sekitar DAS
dalam bentuk meminimalisir kemiskinan dan keserakahan para pemodal dalam
eksploitasi hutan.

Daftar Pustaka
Ruzardi , DR. , Ketahanan Air Nasional, UII Yogyakarta, 2007
Sjarief, Rustam, DR.Ir, Tata Ruang Air, Pertemuan Tahunan HATHI, Makassar, 2009
Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, http://www.esdm.go.id/berita/geologi/42geologi/2660-potensi-cekungan-air-tanah-indonesia.html, tanggal akses: 02 Agustus 2010
Upload and Share Powerpoint Presentations and Documents,
http://www.slideshare.net/akeminissa/krisis-air-bersih-presentation, tanggal akses 03 Agustus 2010
Departemen Pertanian, http://www.pustaka-deptan.go.id/inovasi/kl060218.pdf, tanggal akses: 08
Agustus 2010