Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

5

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS PARU
2.1.1 DEFINISI
Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman
Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari seluruh
kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis
extrapulmonar. Diperkirakan bahawa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi
kuman M.Tuberkulosis (Djojodibroto, 2009).
2.1.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1. Tuberkulosis paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim)
paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis extra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,

selaput otak, selaput jantung (pericardium), tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Klasifikasi berdasarkan dahak pemeriksaan mikroskopis:
1. Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Universitas Sumatera Utara

6

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman tuberkulosis
positif.
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru positif

Kriteria TB paru negatif harus meliputi yang berikut:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA negatif
b) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian obat antibiotika non OAT.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk pemberian obat.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1.Tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif
Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru
yang luas.

2.Tuberkulosis ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
i.

Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.


Universitas Sumatera Utara

7

ii.

2) Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis,
peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang,
tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

1. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan
OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.


3. Kasus setelah putus berobat (default )
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.

4.Kasus setelah gagal (failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi
positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulangan (Menkes RI, 2011).

Universitas Sumatera Utara

8

2.1.3 EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia

ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan
tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan
bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta
adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang
terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi
kuman tuberkulosis (Menkes RI, 2011).

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di
dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan
estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat
TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.

Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah
dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan
pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap
tahunnya.

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara
pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian
yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan

pengobatan pada tahun 2006.

Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan
diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+.
Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000
(Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan

Universitas Sumatera Utara

9

selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai
91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program
pengendalian TB nasional yang utama (Aditama, 2011).

2.1.4 MORFOLOGI
Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan
ukuran 0,2 - 0,4 x 1 - 4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk
identifikasi bakteri tahan asam.
Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu bahkan

kadang-kadang setelah 6-8 rninggu. Suhu optimum 37°C, tidak tumbuh pada suhu
25°C atau lebih dari 40°C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah
Lowenstein-Jensen. PH optimum 6,4- 7,0.
Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6°C selama 15-20 menit. Biakan
dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat
bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8
– 10 hari. Biakan basil ini dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat
disimpan dalam lemari dengan suhu 20oC selama 2 tahun (Hiswani, 2004).

Gambar 2.1 Electron Micrograph of Mycobacterium Tuberculosis

Universitas Sumatera Utara

10

2.1.5 CARA PENULARAN
Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang terdapat dalam paru–paru penderita, persebaran kuman tersebut diudara melalui
dahak berupa droplet. Penderita TB- Paru yang mengandung banyak sekali kuman
dapat terlihat langung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita BTA

positif) adalah sangat menular.
Penderita TB paru BTA positif mengeluarkan kuman–kuman ke udara dalam bentuk
droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini
mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis
dan dapat bertahan si udara selama beberapa jam.
Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman
tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka kuman
mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang ke
orang lain (Hiswani, 2004).

2.1.6 PATOGENESIS

2.1.6.1 TUBERKULOSIS PRIMER
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 90% kasus infeksi TB. Karena ukurannya
sangat kecil (10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2.1.10.2 PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan
dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi

tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai
berikut:


Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini
pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru
BTA positif.



Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan
setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).



Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang
memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa,
efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis
berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Werdhani).


Universitas Sumatera Utara

17

2.1.10.3 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto rontgen
toraks, tetapi ada beberapa gambaran yang karakteristik untuk tuberkulosis paru
yaitu:


apabila lesi terdapat terutama di lapangan atas paru



bayangan berawan atau beracak




terdapat kavitas tunggal atau multipel



terdapat kalsifikasi



apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru



bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang
beberapa minggu kemudian (Crofton, 2002)

2.1.10.4 BRONKOSKOPI

Pemeriksaan

bronkoskopi

adalah

pemeriksaan

sistem

pernapasan

dengan

menggunakan endoskop. Endoskop adalah alat untuk memeriksa rongga di dalam
organ. Endoskop yanh digunakan untuk pemeriksaan organ paru disebut bronkoskop.
Pemeriksaan bronkoskopi termasuk dalam golongan tindakan invasive. Ada dua
macam pemeriksaan bronkoskopi, yaitu pemeriksaan dengan bronkoskop rigid dan
pemeriksaan dengan bronkoskop serat-optik lentur dapat terlihat 85% dari
keseluruhan jumlah bronkus subsegmental turunan ke-5 dan 55% dari keseluruhan
humlah bronkus subsegmental turunan ke-6. Visualisasi dan washing (cuci bronkus)
merupakan prosuder standar pemeriksaan bronkoskopi. Prosedur lain yang dapat
dilakukan adalah: biopsi transbronkial(TBB), broncho alveolar lavage(BAL),
transbronkial

needle

aspiration(TBNA),ultrasonografi

bronkoskopik,

dan

bronkoskopi autofluoresen.

Universitas Sumatera Utara

18

Indikasi dilakukan bronkoskopi,yaitu:


Pemeriksaan hemoptysis,mencari asal pendarahan



Pengambilan benda asing(corpus alienum)



Terapi pada atelectasis



Penggunaan di ICU: Intubasi intratrakea, menghisap secret



Mendiagnosis dan menentukan staging kanker paru



Mendiagnosis nodul di perifer dan infiltrate



Mendiagnosis penyakit paru interstial



Mendiagnosis pneumonia dengan cara mendapatkan sekret atau mucus di
trakea atau bronkus



Mendiagnosis penyebab batuk



Mendiagnosis penyebab efusi pleura

Walaupun penggunaan bronkoskop dinilai dapat ditoleransi oleh pasien, terdapat
kemungkinan timbulnya komplikasi, yaitu hipoksemia, pendarahan, demam, aritmia
kordis, bronkospasme, pneumonia, dan pnuemotoraks. Pemeriksaan bronkoskopi
yang sampai menyebabkan kematian kejadiannya sangat kecil, yaitu 0,01%,
sedangkan penyebab komplikasi mayor, jumlahnya kurang dari 1%. Pemeriksaan
bronkoskopi dapat menyebabkan penurunan Pa02 antara 15-20mmHG (Djojodibroto,
2009).

2.1.10.5 Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Bilas

bronkoalveolar

dilakukan

(Bronkoalveolar

Lavage)

dilakukan

untuk

memperoleh konstituen alveolus. BAL berbeda dengan bronkial washing. Pada
bronkial washing, cairan garam fisiologik yang digunakan untuk mendapatkan sel
bronkus hanya beberapa mL. Pada BAL, diperlukan 150-300mL cairan garam
fisiologik. Cairan garam yang disemprotkan dapat diambil kembali sebanyak 40-60%

Universitas Sumatera Utara

19

untuk diperiksa. Cairan yang disemprotkan pertama sebanyak 20-30mL, dibuang
karena banyak mengandung sel bronki. Untuk menghindari sampling errors, dan
menghindari kontaminasi oleh darah, BAL dilakukan sebelum brushing atau TBB.
Bronkskop langsung mengarah ke perifer,yaitu ke bronkus subsegmental turunan ke4 atau turunan ke-5. Garam fisiologik disemprotkan dan langsung diisap kembali.
Komplikasi BAL adalah hipoksemia, demam, bronkospasme, dan pendarahan
(Djojodibroto, 2009).

2.1.11 DIAGNOSIS

Diagnosis TB Paru


Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).



Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan
dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya.



Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Diagnosis TB ekstra paru


Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada
Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar
limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang
(gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.



Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau
histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena

Universitas Sumatera Utara

20

Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)
Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai
berikut:
1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif.
2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran
klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB
positif.
3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis,
bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena. (Menkes RI, 2011)

2.1.12 PENATALAKSANAAN

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,
mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).
Tabel 2.1: Pengelompokkan OAT
Golongan dan Jenis

Obat

Golongan-1 Obat Lini

Isoniazid (H)

Pyrazinamid (Z)

Pertama

Ethambutol (E)

Rifampisin (R)
Streptomycin (S)

Golongan-2/Obat

suntik/ Kanamycin (Km)

Suntikan lini kedua

Amikacin (Am)
Capreomycin (Cm)

Golongan-3/Golongan

Ofloxacin (Ofx)

Floroquinole

Levofloxacin (Lfx)

Moxifloxacin (Mfx)

Universitas Sumatera Utara

21

Golongan-4/Obat

Ethionamide (Eto)

Para amino

bakteriostatik lini kedua

Prothionamide (Pto)

salisilat(PAS)

Cycloserine (Cso)

Terizidone (Trd)

Clofazimine (Cfz)

Thioacetazone (Thz)

Golongan-5/Obat yang

belum terbukti efikasinya dan Linezolid (Lzd)

Clarithromycin (Clr)

tidak direkomendasi

Amoxilin-Clavulanate

Imipenem (Imp)

Oleh WHO

(Amx-Clv)

(Strategi Nasional Pengendalian TB, 2011)

Tabel 2.2 : Efek Samping OAT
Efek Samping

Penyebab

Penatalaksanaan

Rifampisin

Obat diminum malam sebelum

Minor
Tidak nafsu makan,mual dan
sakit perut

tidur

Nyeri sendi

Pyranazinamid

Kesemutan sehingga rasa

INH

terbakar di kaki
Warna kemerahan pada air

Beri aspirin/allopurinol
Beri vitamin B6 (piridoksin)
100mg perhari

Rifampisin

seni

Beri penjelasan,tidak perlu
diberi apa-apa

Mayor
Gatal dan kemerahan pada

Semua jenis OAT

kulit
Tuli
Ikterik

Binggung dan muntah-muntah

Beri antihistamin dan
dievaluasi ketat

Streptomisin

Streptomisin dihentikan

Hampir semua

Hentikan semua OAT

OAT

sehinnga ikterik hilang

Hampir senua obat Hentikan semua OAT dan

Universitas Sumatera Utara

22

lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan

Ethambutol

Hentikan ethambutol

Purpura dan renjatan (shok)

Rifampisin

Hentikan rifampisin

(Pedomen Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia)

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:
 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam
jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.
 Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan
lanjutan.

Tabel 2.3 : Dosis Obat AntiTuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap
Fasa Intensif
Fasa Lanjutan
2 bulan

4 bulan

Harian

Harian

3X/minggu

Harian

3X/minggu

RHZE

RHZ

RHZ

RH 150/150

150/75/400
/275

150/75/40
0

150/150/50
0

RH
150/75

30-37

2

2

2

2

2

38-54

3

3

3

3

3

55-70

4

4

4

4

4

BB

Universitas Sumatera Utara

23

>71

5

5

5

5

5

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan di Indonesia.)
Available from: http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb.tb.html)

Tahap Pengobatan TB Paru menurut Program Nasional Penanggulan TB di
Indonesia:

1. Tahap intensif
Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam
kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
2. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka
waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT Yang Digunakan di Indonesia paduan pengobatan yang digunakan oleh
program nasional Penanggulangan TB oleh pemerintah Indonesia:

1. Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3
Tahap intensif diberikan untuk penderita baru TB paru BTA Positif, penderita TB
paru BTA negatif rontgen positif dan penderita TB ekstra paru terdiri dari Isonazid
(H),Rifampisin (R),Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obatan ini diberikan

Universitas Sumatera Utara

24

setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri
dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

2. Kategori 2: 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5 (HR)3E3
Tahap intensif diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure),
dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) diberikan selama 3
bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin (S),
diberikan setelah penderita selesai menelan obat. setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan
dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5
bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

3. Kategori 3 : 2(HRZ) / 4(HR)3
Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ),
diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali
seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif
sakit ringan dan Penderita TB ekstra paru ringan.

2.1.12.1 EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek
samping obat serta evaluasi keteraturan berobat.(PDPI,2006)

Evaluasi Klinik


Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan



Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada
tidaknya komplikasi penyakit



Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Universitas Sumatera Utara

25

Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/9)


Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak



Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
- Sebelum pengobatan dimulai
- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
- Pada akhir pengobatan



Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)

Evaluasi Radiologik (0-2-6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:


Sebelum pengobatan



Setelah 2 bulan pengobatan



Pada akhir pengobatan

Evaluasi Efek Samping Secara Klinik


Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan
darah lengkap



Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula
darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping
pengobatan



Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid



Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.



Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri



Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan
efek samping obat sesuai pedoman

Universitas Sumatera Utara

26

Evaluasi Keteraturan Berobat


Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah
keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka
sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan
keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan



Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Kriteria Sembuh


BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir
pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat



Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/perbaikan



Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

2.1.13 PENCEGAHAN

Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan
hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. Tersedia sarana-sarana
kedokteran, pemeriksaan pnderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan,
pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.
Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit
inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. BCG, vaksinasi
diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan
keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa
tempat pencegahan. Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan tukang
potong sapi dan pasteurisasi air susu sapi (Hiswani, 2004).

Universitas Sumatera Utara

27

2.2 MULTI DRUG RESISTANCE/MDR (RESISTEN GANDA)

2.2.1 DEFINISI
Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis
dibagi menjadi :


Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB



Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah
pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak



Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan
sebelumnya (PDPI, 2006).

Drug Resistance TB dikonfirmasi melalui uji laboratorium yang menunjukkan bahwa
isolate Mycobacterium Tuberculosis dapat tumbuh secara invitro meskipun dengan
adanya satu atau lebih obat antituberkulosis(OAT). Empat kategori resistensi OAT
dapat dibedakan atas:


Mono-resistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT



Poly-resistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid
(INH) dan rifampisin secara bersamaan



Multidrug-resistance: resisten terhadap sekurang-kurangnya INH beserta
rifampisin



Extensive drug-resistance: Multidrug-resistance ditambah resisteni terhadap
salah satu golongan fluroquinolon, dan sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini
kedua injeksi (kapreomisin, kanamisin dan amikasin) (Yunita, 2011).

Universitas Sumatera Utara

28

2.2.2 PATOGENESA TB-MDR

Kejadian resistensi M.Tuberculosis terhadap OAT adalah akibat mutasi alami.
Amplifikasi M.Tuberculosis yang resisten selanjutnya terjadi akibat kesalahan
manusia seperti:
 Kesalahan pengelolaan OAT
 Kesalahan manajemen kasus TB
 Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien
 Kesalahan hasil uji DST
 Pemakaian OAT dengan mutu rendah
 Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak selesai

TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara yang sama yaitu
melalui droplet saluran nafas yang menyebar di udara (Yunita, 2011).

2.2.3 PENYEBAB

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu :


Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis



Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang
tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal
pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi
yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin
dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut
sudah cukup tinggi



Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga
minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan

Universitas Sumatera Utara

29

mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian
seterusnya


Fenomena

“addition

syndrome”

(Crofton,

1987),

yaitu

suatu

obat

ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.


Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang
pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan
menambah panjang nya daftar obat yang resisten



Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara
baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat



Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah
kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan



Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan
kebosanan



Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB



Belum menggunakan strategi DOTS (PDPI, 2006)

2.2.4 FAKTOR RESIKO
Beberapa faktor resiko untuk terjadinya kasus TB-MDR adalah:
 Pengobatan TB yang sebelumnya tidak berhasil(kasus kambuh, gagal, kronik)
 Kontak erat dengan penderita TB-MDR
 Orang dengan daya tahan tubuh yang rendah
 Tinggal/lahir di tempat prevalensi TB-MDR yang tinggi
 Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat (Yunita, 2011)

2.2.5 MEKANISME RESISTENSI OAT
Mekanisme Resistensi Terhadap INH
Isoniazid merupakan hdyrasilasi dari asam isonikotonik, molekul yang larut air
sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan

Universitas Sumatera Utara

30

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting
pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen
seperti rekasi katase peroksidase.

Mutan M.Tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan
kecepatan 1 dalam 10⁵-10⁶ organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan
oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau
promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi
katG berkaitan dengan berkurangya aktivitas katalase dan peroksidase (Syahrini,
2008).

Mekanisme Resistensi Rifampisin
Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang
bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun extraseluler. Obat ini menghambat
sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase
yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan
gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi,
biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frequensi 1: 10⁷ atau
lebih.
Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barrier atau
adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin menghambat RNA
polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA
bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai
(chain elongation), terapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi
rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frequensi tinggi
dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10
ˉ ⁷ sampai 10ˉ³, dengan akibat terjadi pada

gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan
pada tempat ikatan obat tersebut (Syahrini, 2008).

Universitas Sumatera Utara

31

Mekanisme Resistensi Terhadap Pirazinamid
Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai
bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif
terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan
pH netral, pirazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan
bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana
asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil
tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pirazinoat.

Mekanisme

resistensi

pirazinamid

berkaitan

dengan

hilangnya

aktivitas

pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam
pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamid ini berkaitan dengan mutasi pada
gen pncA, yang menyandikan pirazinamidase (Syahrini, 2008).

Mekanisme Resistensi Terhadap Etambutol
Etambutol merupakan turunan ethlyenediamine yang larut air dan aktif hanya pada
mycobakteria. Etambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar.
Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang
memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam
dinding sel.

Resistensi etambutol pada M.Tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi
missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltranferase. Mutasi ini
telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam
amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Syahrini, 2008).

Universitas Sumatera Utara

32

Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin
Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces
griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menggangu
fungsi ribosomal.

Pada 2/3 strain M.Tuberkulosis yang resisten terhadap streptomisin telah
diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S
rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target
diyakini terlibat pada ikatan streptomisin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada
rpsl. Mutasi pada rpsl telh diindentifikasi sebanyak 50% isolate yang resisten
terhadap streptomisin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang
menjadi lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frequensi resisten mutan terjadi
pada 1 dari 10⁵ sampai 10⁷ organisme. Strain M.Tuberculosis yang resisten terhadap
streptomisin tidak mengalami resisten silang terhadap capreomisin maupun amikasin
(Syahrini, 2008).

2.2.6 DIAGNOSA SUSPEK TB-MDR
Menurut Menkes RI, (2011):
1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik)
2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.
3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS.
4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.
5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan.
6. Pasien TB kambuh.
7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default.
8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR
9. ODHA dengan gejala TB-HIV.

Universitas Sumatera Utara

33

2.2.7 PENATALAKSANAAN
Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah
berikut:


Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang masih efektik



Jangan menggunakn obat yang kemungkinan menimbulkan resisten silang
(cross-resistance)



Membatasi penggunaan yang tidak aman



Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai potensinya.
Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus
dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.



Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap
lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6
bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.



Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan
Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan
jarak pemeriksaan 30 hari.



Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO
diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan panduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah panduan
standar ( standardized treatment), yaitu:
Km – E – Eto – Lfx – Z –Cs / E – Eto – Lfx – Z – Cs

Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara
laboratoris dan dapat disesuaikan bila (Menkes RI, 2011):
a.

Etambutol
tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan

Universitas Sumatera Utara

34

sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap
etambutol.
b.
Panduan
OAT disesuaikan panduan atau dosis pada:

Pasien TB
MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil
konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

Bila
ada
riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya
sehingga dicurigai telah ada resistensi.

Terjadi efek
samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi
penyebabnya.

Terjadi
perburukan klinis

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Angka Kejadian Hepatotoksisitas pada Penderita Tuberkulosis Paru Pengguna Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2010

12 121 83

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

1 9 82

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 13 80

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 13

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 2

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 12

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 2

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 4

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 3

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 15