Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

(1)

LAMPIRAN 1

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Renjitha A/P Gurunathan Tempat / Tanggal Lahir : Malaysia / 07 April 1993 Agama : Hindu

Alamat : Jalan Jamin Ginting No.46, Padang Bulan, Medan, Indonesia.

Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Kebangsaan (1) Convent Bukit Nanas, Malaysia

2. Sekolah Menengah Kebangsaan Convent Bukit Nanas, Malaysia 3. Nirwana College

Riwayat Organisasi :

1. Anggota Persatuan Kebangsaan Pelajar Malaysia Di Indonesia (PKPMI), Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Anggota Kelab Kebudayaan India Malaysia (KKIM), Universitas Sumatera Utara, Medan.


(2)

(3)

(4)

(5)

LAMPIRAN 4 DATA INDUK

NO UMUR SEX S.KAHWIN PEKERJAAN PEMBERIAN OAT

1 44 L Udah Pegawai Swasta 6 bulan Puskesmas

2 45 L Udah Petani 6 bulan Puskesmas

1 bulan Dokter umum

3 47 P Udah IRT 6 bulan Puskesmas

3 bulan Puskesmas

4 26 L Belum Wiraswasta 8 bulan Puskesmas

5 25 P Udah IRT 9 bulan Puskesmas

6 20 P Belum Mahasiswa 6 bulan Puskesmas

9 bulan Puskesmas 6 bulan RS

9 bulan RS

7 46 L Udah Karyawan 9 bulan Puskesmas

9 bulan I Puskesmas

8 54 P Udah IRT 9 bulan RS

9 57 L Udah Wiraswasta 6 bulan RS

2 bulan RS

10 20 P Udah Wiraswasta 7 bulan Puskesmas

9 bulan Puskesmas

11 47 P Udah IRT 6 bulan RS

8 bulan Puskesmas

12 50 L Udah Petani 3 bulan Puskesmas

12 bulan Puskesmas 13 46 L Udah Pegawai Swasta 1 tahun Puskesmas


(6)

15 31 L Udah Pegawai Swasta 6 bulan DPS 7 bulan DPS 6 bulan DPS

16 42 P Udah PNS 6 bulan RS

8 bulan RS

17 47 L Udah Pegawai Swasta 3 tahun RS Pemerintah

18 33 L Belum Wiraswasta 2 bulan Puskesmas

6 bulan DPS

1 tahun RS Pemerintah 1 tahun DPS

19 26 P Belum Pegawai Swasta 6 bulan DPS

20 49 L Udah Petani 6 bulan Puskesmas

9 bulan RS

21 55 L Udah Wiraswasta 2 bulan RSU

2 mgg RSU

22 65 L Udah Wiraswasta 2 bulan RSU

2 mgg RSU HAM

23 34 P Udah IRT 2 bulan Puskesmas

24 43 L Udah Perbengkelan 2 bulan DPS

6 bulan Puskesmas

25 21 P Udah IRT 4 bulan RS Pemerintah

9 bulan Puskesmas

26 24 L Belum Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

6 bulan Puskesmas

27 53 L Udah Supir 6 bulan Kat I DPS

6 bulan Kat I DPS

28 45 L Udah Supir 7 bulan Puskesmas


(7)

29 34 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas 1 tahun Dr Umum 3 bulan RS

30 26 L Belum Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

9 bulan DPS 2 bulan DPS

31 45 L Janda Supir 2 tahun RS

32 57 L Janda Wiraswasta 6 bulan RS

33 35 L Udah Wiraswasta 3 bulan Puskesmas

6 bulan Puskesmas 6 bulan Puskesmas 34 74 L Udah Pegawai Swasta 6 bulan RS

35 40 L Udah PNS 6 bulan DPS

8 bulan DPS 8 bulan DPS

36 29 P Belum Wiraswasta 5 bulan RS Pemerintah

4 bulan RS Pemerintah 3 bulan Rs Pemerintah 5 bulan RS Pemerintah 5 bulan RS Pemerintah 2 bulan RS Pemerintah

37 64 L Udah Supir 6 bulan RS

2 mgg RS

38 41 L Udah Karyawan 5 bulan DPS

2 tahun DPS

39 47 L Udah Wiraswasta 6 bulan RS

3 bulan RS 1 tahun RS


(8)

40 67 L Udah Wiraswasta 9 bulan DPS

41 35 L Udah Wiraswasta 6 bulan RS Pemerintah

2 bulan RS

42 39 L Udah Karyawan 3 bulan RS

9 bulan RS 3 bulan I RS

43 41 L Udah Wiraswasta 6 bulan DPS

44 43 L Udah Pegawai Swasta 3 bulan Rs 2 bulan RS

45 44 P Udah IRT 6 bulan RS

9 bulan RS

9 bulan Puskesmas & RS Pemerintah 3 bulan Puskesmas

46 29 L Udah Karyawan 2 mgg RS Umum

1 tahun DPS

47 50 L Udah Supir 6 bulan Puskesmas

11 bulan RS

48 31 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

5 bulan Puskesmas

49 51 L Udah Karyawan 6 bulan RS Swasta

9 bulan Rs Swasta 9 bulan Rs Umum 6 bulan Rs

50 73 P Udah IRT 6 bulan DPS

51 29 L Belum Pegawai Swasta 6 bulan RS 52 33 L Belum Pegawai Swasta 5 bulan RS


(9)

53 22 L Belum Wiraswasta 6 bulan Puskesmas 9 bulan Puskesmas

54 53 P Udah PNS 6 bulan Puskesmas

9 bulan Puskesmas

55 24 P Belum Wiraswasta 6 bulan DPS

6 bulan Dr Umum

56 32 L Udah Wiraswasta 5 bulan Dr Umum

2 tahun Dr Umum

57 42 P Udah Petani 3 bulan RSU

6 bulan RSU 9 bulan Dr Umum

58 39 P Udah IRT 8 bulan Dr Umum

6 bulan Rs Swasta

59 32 L Udah Guru 6 bulan RS

5 bulan DPS

60 44 L Udah Petani 6 bulan Puskesmas

61 27 P Udah IRT 9 bulan RS

10 bulan RS

7 bulan RS Pemerintah

62 52 L Udah PNS 6 bulan Puskesmas

4 bulan Puskesmas

63 44 P Udah PNS 6 bulan RSU

3 bulan RSU

64 35 L Udah Penarik Becak 6 bulan DPS

9 bulan RSUP 6 bulan DPS

65 50 P Udah IRT 6 bulan Dr Umum


(10)

66 41 P Udah Guru 6 bulan DPS 6 bulan DPS 8 bulan DPS 6 bulan DPS

67 33 L Belum Wiraswasta 4 bulan Puskesmas

8 bulan DPS

68 33 P Udah IRT 6 bulan Puskesmas

9 bulan Puskesmas 8 bulan DPS

69 56 L Udah PNS 6 bulan DPS

4 bulan Dr.Umum 9 bulan RS

70 31 L Belum Perbengkelan 6 bulan Rs Pemerintah 6 bulan RS

71 31 L Udah Perbengkelan 6 bulan Puskesmas

6 bulan Puskesmas

72 46 L Udah Wiraswasta 3 bulan RS

6 bulan RS

73 29 L Udah Petani 6 bulan Puskesmas

6 bulan DPS

74 53 L Udah Wiraswasta 6 bulan RS

6 bulan RS 6 bulan RS

75 48 P Udah Wiraswasta 5 bulan DPS

76 28 P IRT Udah 6 bulan Puskesmas

5 bulan Dr Umum 2 bulan Dr Umum


(11)

77 55 P Udah IRT 6 bulan DPS

78 29 L Udah Guru 6 bulan Puskesmas

79 35 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

8 bulan Puskesmas

80 55 L Udah Petani 6 bulan DPS

9 bulan Puskesmas

81 35 P Belum Wiraswasta 6 bulan Dr Umum

8 bulan Dr Umum 7 bulan DPS 82 33 L Belum Pegawai Swasta 6 bulan Puskesmas

6 bulan RS

83 33 L Belum Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

4 bulan Puskesmas 9 bulan Puskesmas

84 50 L Janda Buruh

Pelabuhan

5 bulan Dr Umum

85 45 L Udah Petani 12 bulan Puskesmas

86 45 L Udah Supir 6 bulan Puskesmas

6 bulan RS

87 43 P Udah Wiraswasta 4 bulan RS

3 bulan RS

88 21 L Udah Mahasiswa 6 bulan DPS

6 bulan DPS

89 42 L Udah Supir 6 bulan RS


(12)

91 21 L Belum Karyawan 6 bulan DPS 6 bulan DPS 2 bulan DPS

92 24 L Belum Karyawan 4 bulan DPS

3 bulan DPS 3 bulan DPS

93 52 L Udah Wiraswasta 6 bulan Dr Umum

9 bulan DPS

94 57 L Udah Dosen 1 tahun 6 bulan DPS

1 tahun DPS 1 tahun DPS 9 bulan DPS 2 bulan DPS 5 bulan DPS

95 64 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

1 tahun Dr Umum 18 bulan Dr Umum 2 bulan Dr Umum

96 50 L Udah Petani 4 bulan Puskesmas

97 44 L Udah Supir 7 bulan Dr Umum

8 bulan Dr Umum 8 bulan Dr Umum 1 tahun Dr Umum 1 tahun Puskesmas

98 54 L Udah PNS 6 bulan Puskesmas

99 50 L Udah PNS 6 bulan RS

100 27 P Udah IRT 6 bulan RS


(13)

101 57 L Udah Supir 6 bulan RS 1 bulan RS

102 55 P Udah IRT 6 bulan Puskesmas

2 bulan Puskesmas 9 bulan Puskesmas

103 48 P Janda Wiraswasta 6 bulan Puskesmas

6 bulan RS 5 bulan DPS 3 bulan DPS

104 32 L Udah Petani 4 bulan Puskesmas

8 bulan Puskesmas 2 bulan Puskesmas

105 41 L Udah Buruh 6 bulan Dr Umum

2 bulan Puskesmas

106 55 L Udah Wiraswasta 9 bulan RS

107 53 L Udah Petani 9 bulan RS

108 43 P Udah PNS 6 bulan Puskesmas

3 bulan Puskesmas

109 62 L Udah PNS 6 bulan Puskesmas

8 bulan Rs Pemerintah

110 55 L Udah Perbengkelan 2 bulan Puskesmas

3 bulan RS

111 66 L Udah Wiraswasta 6 bulan Puskesmas


(14)

LAMPIRAN 5

OUTPUT DATA HASIL PENELITIAN

Distribusi Data Penelitian

Umur

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid 20-30 tahun 21 18.9 18.9 18.9

31-40 tahun 24 21.6 21.6 40.5 41-50 tahun 38 34.2 34.2 74.8 51-60 tahun 20 18.0 18.0 92.8 61-70 tahun 6 5.4 5.4 98.2 71-80 tahun 2 1.8 1.8 100.0 Total 111 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid Laki-laki 79 71.2 71.2 71.2

Perempuan 32 28.8 28.8 100.0 Total 111 100.0 100.0

S.Kahwin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent Valid Sudah Menikah 89 80.2 80.2 80.2 Belum Menikah 18 16.2 16.2 96.4 Janda 4 3.6 3.6 100.0 Total 111 100.0 100.0


(15)

Jenis Pekerjaan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Buruh 2 1.8 1.8 1.8

Guru 4 3.6 3.6 5.4

IRT 17 15.3 15.3 20.7

Karyawan 7 6.3 6.3 27.0 Mahasiswa 2 1.8 1.8 28.8 Pegawai Swasta 10 9.0 9.0 37.8

Petani 11 9.9 9.9 47.7

PNS 10 9.0 9.0 56.8

Supir 10 9.0 9.0 65.8

Tukang Becak 1 .9 .9 66.7 Perbengkelan 4 3.6 3.6 70.3 Wiraswasta 33 29.7 29.7 100.0 Total 111 100.0 100.0

Frekuensi Pengobatan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent Valid 1x pemberian 30 27.0 27.0 27.0

2x pemberian 51 45.9 45.9 73.0 3x pemberian 20 18.0 18.0 91.0 4x pemberian 7 6.3 6.3 97.3 5x pemberian 1 .9 .9 98.2 6x pemberian 2 1.8 1.8 100.0 Total 111 100.0 100.0


(16)

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T. Y. 2011. Strategi Nasional Pengendalian TB. Kementerian Kesehatan REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Diunduh: http://pppl.depkes.go.id / _asset /_regulasi/STRANAS_TB.pdf. [Diakses pada 3 Juni 2014]

Ạmad, I., Aqil, F., & Wiley InterScience (Online service) (2008). Types of bacterial

infections. New strategies combating bacterial infection. Weinheim:

Wiley-VCH. Hal 73.

Crofton, J. 2002. Diagnosis TB.Tuberkulosis Klinis (2nd ed.)..Indonesia: Penerbit Widya Medika. Hal 96-103

Dalimunthe, N., Keliat, E.N., Abidin, A. Penatalaksanaa Tuberkulosis dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis. Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi, Departmen Ilmu Penyakit Dalam,Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera. Diunduh

Djojodibroto, D. 2009. Tuberkulosis Paru. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC. Hal 151-168.

Herlina, L. Tuberkulosis dan Faktor Resiko Kejadian Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR TB/Resistensi Ganda). Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Padjadjaran. Diunduh


(17)

Hiswani, 2004. Tuberkolosis Merupakan Penyakit Infeksi Yang Masih Menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Diunduh

International Union Against Tuberculosis And Lung Disease (2010)

Diunduh:

[Diakses pada 15 Maret 2014]

Mapparenta, M.A., Suriah., Ibnu, I.F. 2013.Perilaku Pasien Tuberkulosis Tipe MDR Di BBKPM dan RSUD Labung Baji Kota Makassar Tahun 2013. Fakultas Kesehatan Masyarakat UNHAS.

Diunduh

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2011). (2nd ed) Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen Penanggulan Tuberkulosis (TB).

Menteri Kesehatan Republik Indonesia (2009). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364/Menkes/SK/V/2009. Pedomen Penanggulan Tuberkulosis (TB)

Otaviani, D. 2011. Hubungan Kepatuhan Minum Obat Anti Tuberkulosis dengan Status Gizi Anak Penderita Tuberkulosis Paru. Fakultas Kedokteran

Universitas Diponegoro. Diunduh


(18)

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia. Diunduh

Rahajoe, N. 2010. Diagnosis dan Penatalaksanaan TB. Buku Ajar Respirologi Anak (1st ed.). Jakarta, Indonesia. Hal 163-170

Sarwani, Nurlaela, S.,A Zahratul, Isnani 2012. Faktor Risiko Multidrug Resistant Tuberculosis (MDR-TB). Jurnal Kesehatan Masyarakat. Diunduh:

Syahrini, H. 2008. Tuberkulosis Paru Resistensi Ganda. Departmen Ilmu Penyakit Dalam R.S.U.P. H. Adam Malik Universitas Sumatera Utara.

Tirtana, B.T. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan pada Pasien Tuberkulosis Paru dengan Resistensi Obat Anti Tuberkulosis di

Wilayah Jawa Tengah. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Diunduh 2014]

Werdhani, R. A. Patofisiologi,Diagnosis dan Klasifikasi Tuberkulosis. Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Okupasi, dan Keluarga,FKUI.

Diunduh

Yunita, R. 2011

Multi-Drug Resistance Tuberculosis (MDR-TB). Departmen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(19)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 KERANGKA KONSEP

Gambar 3.1 Kerangka Konsep

3.2 DEFINISI OPERASIONAL

1) Riwayat OAT : Informasi tentang pengunaan OAT pada seseorang pada masa lalu

2) Pengobatan OAT lini pertama : Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin

3) Terdiagnosa TB-MDR : TB-MDR menunjukkan M.tuberkulosis yang resisten terhadap Rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya.

Riwayat pengobatan OAT lini pertama


(20)

Tabel 3.1. Variabel, Alat Ukur, Hasil Ukur, dan Skala Ukur

Variabel Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Gejala Klinis TB paru

Hasil dari data rekam medik

Tempoh waktu timbulnya kembali gejala klinis TB paru

Ordinal

Riwayat pengobatan OAT lini pertama

Hasil dari data rekam medik

Tempoh waktu pengambilan pengobatan


(21)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 JENIS PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain penelitian berupa

cross-sectional study untuk melihat profil pemberian OAT lini pertama pada pasien

TB-MDR di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik periode bulan Juli 2012 hingga April 2014.

4.2 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN

4.2.1 WAKTU PENELITIAN

Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan 1 Juni 2014 hingga 1 Desember 2014, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan dan analisis data.

4.2.2 TEMPAT PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik yang merupakan RS Rujukan TB-MDR untuk wilayah regional Sumatera Utara dan tersediannya data pasien TB-TB-MDR.

4.3 POPULASI DAN SAMPEL

4.3.1 POPULASI

Populasi dari penelitian ini adalah semua penderita TB-MDR yang sudah mempunyai data rekam medik di RSUP Haji Adam Malik, Medan.


(22)

4.3.2 SAMPEL

Kriteria inklusi:

1) Umur >20 tahun

Kriteria eksklusi:

1) Rekam medik yang tidak memiliki data pengobatan OAT lini pertama

Sampel penelitian ini adalah data pasien TB-MDR yang ada di RSUP Haji Adam Malik periode bulan 1 Juli 2012 hingga 30 April 2014. Sampel dalam penelitian ini adalah populasi yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan metode total sampling.

4.4 PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Semua data yang telah dikumpulkan, dicatat, dikelompokkan kemudian diolah sesuai dengan tujuan penelitian dengan menggunakan komputer dengan SPSS (Statistical

Package for the Social Science) versi 17, kemudian dianalisa secara deskriptif dan


(23)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

RSUP H. Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dengan SK Menkes No.335/Menkes/SK/VII/1990 dan juga sebagai Rumah Sakit Pendidikan sesuai dengan SK Menkes No.502/Menkes/SK/IX/1991 yang memiliki visi sebagai pusat unggulan pelayanan kesehatan dan pendidikan juga merupakan pusat rujukan kesehatan untuk wilayah pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara,Aceh,Sumatera Barat dan Riau. Lokasinya dibangun di atas tanah seluas kurang lebih 10 Ha dan terletak di Jalan Bunga Lau No.17 Km 12, Kecamatan Medan Tuntungan Kotamadya Medan Provinsi Sumatera Utara.

RSUP H.Adam Malik Medan memiliki fasilitas pelayanan yang terdiri dari pelayanan medis (instalasi rawat jalan, rawat inap, perawatan intensif, gawat darurat, bedah pusat, hemodialisa), pelayanan penunjang medis (instalasi diagnostik terpadu, patologi klinik, patologi anatomi, radiologi, rehabilitasi medik, kardiovaskular, mikrobiologi), pelayanan penunjang non medis (instalasi gizi, farmasi, Central

Sterilization Supply Depart (CSSD), bioelektrik medik, Penyuluhan Kesehatan

Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS), dan pelayanan non medis (instalasi tata usaha pasien,teknik sipil pemulasaraan jenazah).

5.1.2 Dekskripsi Data Penelitian

Dari 141 pasien TB MDR yang berobat jalan di RSUP H.Adam Malik pada periode Juli 2012 hingga April 2014, hanya 111 data pasien yang digunakan dalam penelitian ini, sementara 30 data yang lainnya dimasukkan ke dalam kriteria ekslusi karena hasil pemberian OAT lini pertama yang tidak tercantum di dalam rekam medis atau data rekam medis lain yang tidak lengkap. Data penelitian yang digunakan


(24)

adalah data sekunder, yaitu data yang berasal dari rekam medis pasien TB MDR yang berobat jalan di RSUP H.Adam Malik pada periode Juli 2012 hingga April 2014.

Jumlah data keseluruhan adalah 111 data rekam medis yang lengkap berisi umur, jenis kelamin, status kahwin, pekerjaan, tempat pengobatan TB dan frequensi pengobatan TB.

5.1.2.1 Distribusi Pasien TB MDR yang Berobat Jalan Berdasarkan Umur

Tabel 5.1 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Umur Umur Frekuensi (n) Persentase (%)

20-30 tahun 21 18.9

31-40 tahun 24 21.6

41-50 tahun 38 34.2

51-60 tahun 20 18.0

61-70 tahun 6 5.4

71-80 tahun 2 1.8

Total 111 100.0

Berdasarkan table 5.1, didapati bahwa mayorits pasien yang berobat berumur 41-50 tahun yaitu sejumlah 38 orang (34.2%), pada rentang usia 31-40 tahun adalah sejumlah 24 orang (21.6%), pada rentang usia 20-30 tahun sejumlah 21 orang (18.9%), pada rentang usia 51-60 tahun sejumlah 20 orang (18.0%), pada rentang usia 61-70 tahun sejumlah 6 orang (5.4%), dan pada rentang usia 71-80 tahun adalah yang terendah yaitu sejumlah 2 orang (1.8%).


(25)

5.1.2.2 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 5.2 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 79 71.2

Perempuan 32 28.8

Total 111 100.0

Berdasarkan table 5.2, didapati bahwa mayorits pasien berjenis kelamin laki-laki yang berobat untuk pengobatan OAT yaitu sebanyak 79 orang (71.2%), sedangkan pasien yang berjenis perempuan adalah sebanyak 32 orang (28.8%).

5.1.2.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status Pernikahan

Tabel 5.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status Pernikahan

Berdasarkan Tabel 5.3, didapati bahwa mayoritas pasien yang berobat untuk pengobatan TB adalah pasien yang sudah menikah yaitu sejumlah 89 orang (80.2%), sementara pasien yang belum menikah adalah sebanyak 18 orang (16.2%), dan pasien yang janda adalah sebanyak 4 orang (3.6%).

Status Pernikahan Frekuensi (n) Persentase (%)

Sudah Menikah 89 80.2

Belum Menikah 18 16.2

Janda 4 3.6


(26)

5.1.2.4 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Tabel 5.4 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Berdasarkan Tabel 5.4, dapat dilihat bahwa mayoritas pasien berprofesi sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 33 orang (29.7%), sementara jenis pekerjaan pasien yang paling sedikit adalah sebagai penarik becak yaitu sebanyak 1 orang (0.9%).

Jenis Pekerjaan Frekuensi (n) Persentase (%)

Buruh 2 1.8

Guru 4 3.6

IRT 17 15.3

Karyawan 7 6.3

Mahasiswa 2 1.8

Pegawai Swasta 10 9.0

Petani 11 9.9

PNS 10 9.0

Supir 10 9.0

Penarik Becak 1 0.9

Perbengkelan 4 3.6

Wiraswasta 33 29.7


(27)

5.1.2.5 Distribusi Berdasarkan Frequensi Pengobatan TB

Tabel 5.5 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Frekuensi Pengobatan TB

Frekuensi Pengobatan Frekuensi (n) Persentase (%)

1x pengobatan 30 27.0

2x pengobatan 51 45.9

3x pengobatan 20 18.0

4x pengobatan 7 6.3

5x pengobatan 1 0.9

6x pengobatan 2 1.8

Total 111 100.0

Berdasarkan Tabel 5.5, dapat dilihat bahwa mayoritas pasien dengan riwayat pengobatan 2 kali berjumlah 51 orang (45.9%), diikuti dengan riwayat pengobatan 1 kali berjumlah 30 orang (27.0%), riwayat pengobatan 3 kali berjumlah 20 orang (18.0%), riwayat pengobatan 4 kali berjumlah 7 orang (6.3%), riwayat pengobatan 6 kali berjumlah 2 orang (1.8%) dan minoritas pasien dengan riwayat pengobatan 5 kali pengobatan TB sebelumnya sejumlah 1 orang (0.9%). Terdapat sebanyak 58 orang (51.8%) yang teratur berobat sementara terdapat sejumlah 53 orang (48.2%) yang tidak teratur berobat dengan pengobatan TB.


(28)

5.1.2.6 Distribusi Berdasarkan Tempat Pengobatan TB

Gambar 5.6 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Tempat Pengobatan TB

Berdasarkan gambar 5.6, mayoritas pasien mendapatkan pengobatan TB terbanyak di Puskesmas atau RS Pemerintah yaitu sejumlah 154 orang (65.2%), sementara pasien TB mendapatkan pengobatan TB melalui Dr Spesialis adalah sebanyak 54 orang (22.9%), manakala pasien TB mendapatkan pengobatan yang paling sedikit adalah di RS Swasta (Dr.Umum) yaitu sebanyak 28 orang (11.9%). Terdapat sebanyak 84 orang (75.7%) berobat di satu tempat, 25 orang (22.5%) berobat di dua tempat dan terdapat 3 orang (1.8%) yang berobat di ketiga tempat pengobatan tersebut


(29)

5.2 PEMBAHASAN

Dari hasil penelitian ini, dijumpai mayoritas pasien yang berobat berumur 41-50 tahun sebanyak 38 orang (34.2%) sementara minoritas pasien berobat berumur 71-80 tahun adalah sejumlah 2 orang (1.8%). Menurut B. T Tirtana kelompok umur yang rentan terkena TB pada dasarnya adalah pada usia produktif karena kebanyakan keluar rumah mencari nafkah pada usia produktif, dengan frekuensi keluar rumah yang sering dapat dimungkinkan terjadi penularan.

Menurut Munawwarah et al. (2013), pasien berjenis kelamin laki-laki lebih rentan menderita TB karena laki-laki sebagai ketua keluarga yang lebih banyak beraktifitas di luar sehingga mudah untuk tertular TB. Banyak aktivitas yang dilakukan menjadi penyebab kelalaian menjalani pengobatan sehingga menjadi MDR-TB. Laki-laki juga biasanya sulit untuk di atur sehingga kemungkinan lalai selama pengobatan lebih besar dibanding perempuan. Pada penelitian ini didapati bahwa mayoritas pasien yang berobat untuk pengobatan TB adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu sejumlah 79 orang (71.2%) sementara pasien berjenis kelamin perempuan didapati sebanyak 32 orang (28.8%).

Pada penelitian ini dijumpai mayoritas pasien yang datang berobat adalah mereka yang sudah menikah yaitu sejumlah 89 orang (80.2%). Salah satu alasannya adalah kemungkinan mereka dipengaruhi oleh anggota keluarga dan teman-teman mereka ketika mereka kembali ke rumah setelah motivasi/pengobatan awal dan pengobatan wajib bulan pertama. Motivasi dari anggota keluarga lain mungkin berpengaruh ke pasien untuk mendukung program pengobatan TB secara tuntas (Sarwani et al, 2012).

Studi di Yogyakarta menemukan bahwa sebagian besar pasien TB resisten OAT adalah bekerja sebagai pedagang/ wiraswasta (38,5%). Dari hasil penelitian ini didapati bahwa mayoritas pasien yang datang berobat bekerja sebagai wiraswasta yaitu sebanyak 33 orang (29.7%) sementara minoritas pasien berprofesi sebagai tukang becak dan tukang gereja. Semua jenis pekerjaan yang menyebabkan subyek


(30)

penelitian terpapar oleh zat-zat yang dapat mengganggu fungsi paru dan pekerjaan yang memungkinkan subyek penelitian yang kontak dengan pasien TB dianggap sebagai pekerjaan yang berisiko (Tirtana, B.T, 2011).

Menurut Mapperenta et al. (2013), di Indonesia masih banyak ditemukan ketidakberhasilan dalam terapi tuberkolosis, hal ini disebabkan karena ketidakpatuhan pasien dalam meminum obat secara rutin sehingga dapat menyebabkan resistensi kuman tuberkulosis terhadap obat-obat anti tuberkulosis dan kegagalan terapi. Ketidaksesuaian pemilihan jenis obat OAT berdasarkan standar pengobatan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi dan terjadinya kekambuhan karena jenis obat yang diterima pasien tidak sesuai dengan keadaan dan perkembangan pengobatan tuberkulosisnya.

Pada penelitian ini dijumpai, mayoritas pasien dengan riwayat pengobatan sebanyak 2 kali yaitu sejumlah 51 orang (45.9%) dan minoritas pasien dengan riwayat pengobatan sebanyak 5 kali adalah berjumlah 1 orang (0.9%). Pengobatan TB dilakukan dengan pemberian OAT yang diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap awal (intensif) selama 2 bulan dan tahap lanjutan selama 4 bulan. Untuk pengobatan selanjutnya setelah 6 bulan sekiranya pasien tidak sembuh maka harus dicuriga terjadi TB-MDR. Menurut Dwiastuti (2011), riwayat pengobatan merupakan faktor resiko kejadian TB paru resisten. Risiko kejadian TB paru resisten dengan riwayat pengobatan lebih besar dibandingkan dengan penderita TB paru yang tidak memiliki riwayat pengobatan sebelumnya. Menurut Notoamodja, S(2010), pengobatan dapat berhasil jika dipengaruhi oleh kepatuhan penderita meminum obat. Jika penderita tidak patuh meminum obat, berhenti minum obat sebelum waktu yang ditentukan, atau putus berobat maka akan menimbulkan mutan Mycobacterium

Tuberculosis yang resisten dengan pengobatan (Mapperenta et al, 2013).

Pada penelitian ini dijumpai, mayoritas pasien mendapatkan pengobatan TB adalah di Puskesmas atau RS Pemerintah yang berjumlah 154 orang (65.2%) dan minoritas pasien mendapatkan pengobatan TB adalah di RS Swasta atau Dr Umum


(31)

yang berjumlah sebanyak 28 orang (11.9%). Kebanyakan pasien ini mendapatkan pengobatan TB lebih dari satu tempat. Terdapat sebanyak 84 orang (75.7%) berobat di satu tempat, 25 orang (22.5%) berobat di dua tempat dan terdapat 3 orang (1.8%) yang berobat di ketiga tempat pengobatan tersebut. Kemungkinan jarak tempat asal pasien ke fasilitas pengobatan mempengaruhi tempat mereka berobat serta pasien berpendapat bahwa penyakitnya akan sembuh sekiranya berobat di beberapa tempat dan tidak teratur berobat di satu tempat. Menurut Ti T et al. (2006), menyatakan

bahwa orang yang melakukan pengobatan tidak teratur memiliki risiko terkena TB-MDR lebih besar dibandingkan dengan yang melakukan pengobatan teratur (Sarwani et al, 2012).


(32)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang di peroleh, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat sejumlah 111 penderita TB-MDR dengan pengobatan OAT lini pertama.

2. Penyakit TB sering terjadi pada laki-laki sebanyak 79 kasus (71.2%) yang berusia 41-50 tahun sebanyak 38 kasus (34.2%). Mayoritas pasien sudah bernikah sebanyak 89 kasus (80.2%) dan berprofesi sebagai wiraswata sebanyak 33 kasus (29.7%).

3. Jumlah penderita yang teratur berobat adalah sebanyak 58 kasus (51.8%). 4. Jumlah pengobatan TB terbanyak terdapat di Puskesmas atau RS Pemerintah

sebanyak 154 kasus (65.2%).

5. Jumlah penderita TB-MDR dengan riwayat pengobatan sebanyak 2 kali pengobatan TB sebelumnya berjumlah 71 kasus (64.0%).

6.2Saran

 Sehubungan dengan tingginya angka kejadian TB MDR, maka pasien dengan riwayat pengobatan lebih dari 2 kali pengobatan TB sebelumnya harus

disuspek terjadi TB MDR.

 Jika pasien tidak mengambil pengobatan yang tuntas maka pasien beresiko untuk mendapat infeksi TB kembali jadi pasien haruslah mengambil pengobatan seperti yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan agar pasien dapat sembuh sepenuhnya dan dapat mencegah infeksi kembali.

 Dokter harus bertanya kepada pasien apakah pasien tersebut pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya setelah dokter menegakkan diagnosa.


(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TUBERKULOSIS PARU 2.1.1 DEFINISI

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis paru mencakup 80% dari seluruh

kejadian penyakit tuberkulosis, sedangkan 20% selebihnya merupakan tuberkulosis extrapulmonar. Diperkirakan bahawa sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi kuman M.Tuberkulosis (Djojodibroto, 2009).

2.1.2 KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena 1. Tuberkulosis paru

:

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.

2. Tuberkulosis extra paru

Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

1. Tuberkulosis paru BTA positif

Klasifikasi berdasarkan dahak pemeriksaan mikroskopis:


(34)

b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis.

c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman tuberkulosis positif.

d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.

2. Tuberkulosis paru BTA negatif

Kasus yang tidak memenuhi definisi pada tuberkulosis paru positif Kriteria TB paru negatif harus meliputi yang berikut:

a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS yang hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal menunjukan gambaran tuberkulosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian obat antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk pemberian obat.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit

1.Tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif

Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas.

2.Tuberkulosis ekstraparu dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu:

i. Tuberkulosis ekstra paru ringan, misalnya: tuberkulosis kelenjar limfe, tulang (kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.


(35)

ii. 2) Tuberkulosis ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, tuberkulosis tulang belakang, tuberkulosis usus, tuberkulosis saluran kemih dan alat kelamin.

Klasifikasi berdasarkan tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu:

1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh tetapi kambuh lagi.

3. Kasus setelah putus berobat (default )

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.

4.Kasus setelah gagal (failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan (Menkes RI, 2011).


(36)

2.1.3 EPIDEMIOLOGI

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis (Menkes RI, 2011).

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar 660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya.

Angka MDR-TB diperkirakan sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang. Diperkirakan terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya.

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006.

Pada tahun 2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000


(37)

selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama (Aditama, 2011).

2.1.4 MORFOLOGI

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak bengkok dengan ukuran 0,2 - 0,4 x 1 - 4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen dipergunakan untuk identifikasi bakteri tahan asam.

Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2 minggu bahkan kadang-kadang setelah 6-8 rninggu. Suhu optimum 37°C, tidak tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C. Medium padat yang biasa dipergunakan adalah Lowenstein-Jensen. PH optimum 6,4- 7,0.

Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6°C selama 15-20 menit. Biakan dapat mati jika terkena sinar matahari langsung selama 2 jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam percikan bahan dapat bertahan hidup 8 – 10 hari. Biakan basil ini dalam suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari dengan suhu 20oC selama 2 tahun (Hiswani, 2004).


(38)

2.1.5 CARA PENULARAN

Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang terdapat dalam paru–paru penderita, persebaran kuman tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB- Paru yang mengandung banyak sekali kuman dapat terlihat langung dengan mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita BTA positif) adalah sangat menular.

Penderita TB paru BTA positif mengeluarkan kuman–kuman ke udara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau bersin. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi droplet yang mengandung kuman tuberkulosis dan dapat bertahan si udara selama beberapa jam.

Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain. Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang menghirupnya, maka kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan terjadilah infeksi dari satu orang ke orang lain (Hiswani, 2004).

2.1.6 PATOGENESIS

2.1.6.1 TUBERKULOSIS PRIMER

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 90% kasus infeksi TB. Karena ukurannya sangat kecil (<5 µm), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirupnya dapat mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi proses imunologis spesifik. Akan tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.


(39)

Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Gohn.

Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe

(limfangitis) dan di kelenjar limfe ( limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihilier), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gambungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (primary complex).

Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2-12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10³-10⁴, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas selular (Werdhani).

2.1.6.2 TUBERKULOSIS SEKUNDER

TB sekunder berasal dari reaktivasi fokus yang dorman. Pada 5% populasi yang terinfeksi TB, reaktivasi endogen dapat terjadi beberapa tahun setelah infeksi primer. Reaktivasi TB ini biasanya terjadi di apeks paru. Lesi di apeks ini didapatkan melalui penyebaran hematogen selama infeksi primer beberapa tahun sebelumnya. Segmen apikal dan posterior dari lobus superior serta segmen apikal lobus inferior merupakan tempat reaktivasi sering terjadi. Hal ini diakibatkan tekanan oksigen di tempat tersebut merupakan yang paling tinggi dibandingkan bagian paru lainnya.


(40)

Penjelasan lain adalah sistem pengaliran limfatik di daerah tersebut yang kurang baik. Lesi di apeks tersebut merupakan kelanjutan dari fokus Simon yang terjadi setelah infeksi primer. Setelah reaktivasi, lesi di fokus Simon akan berkonfluens, dan mengalami likuefaksi serta ekskavasi. Infeksi sekunder juga dapat terjadi akibat reinfeksi, walaupun hal ini jarang terjadi bila pasien berdomisili di negara-negara maju (Werdhani).

2.1.7 FAKTOR RESIKO

Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur jenis kelamin, dan faktor toksis untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini :

1. Faktor Sosial ekonomi

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian, lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekrja yang buruk dapat memudahkan penularan TBC. Pendapatan keluarga sangat erat juga dengan penularan TBC, karena pendapatan yang kecil membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat – syarat kesehatan.

2. Status Gizi.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan lain – lain akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang berpengaruh di negara miskin, baik pada orang dewasa maupun pada anak – anak.

3. Umur.

Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia produktif (15-50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi demografi menyebabkan usia


(41)

harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB Paru.

4. Jenis Kelamin.

Penyakit TB-paru cenderung lebih tinggi pada jenis pada jenis kelamin laki –laki dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-paru, dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan akibat proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki–laki penyakit ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah dipaparkan dengan agent penyebab TB-Paru (Hiswani, 2004).

2.1.8 MANIFESTASI KLINIS

Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat.

Gejala sistemik/umum:

 Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

 Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul

 Penurunan nafsu makan dan berat badan  Perasaan tidak enak (malaise), lemah Gejala khusus:

 Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan


(42)

kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,suara nafas melemah yang disertai sesak.

 Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.

 Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

 Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang (Werdhani).

2.1.9 PEMERIKSAAN FISIS

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia,suhu demam,badan kurus atau berat badan menurun.

Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan pun terutama pada kasus-kasus dini atau sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Bila dicurigai adanya infiltrate yang agak luas, maka di dapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara napas bronchial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki basah,kasar dan nyaring. Tetapi bila infiltrate diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberi suara hipersonar atau timpani dan akultasi bersuara amforik (Crofton, 2002).


(43)

2.1.10 PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.1.10.1 PEMERIKSAAN SPUTUM

Pemeriksaaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpul 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

• S(Sewaktu)

Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua.

• P(Pagi)

Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidue. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas Fasyankes.

• S(Sewaktu)

Dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Pemeriksaan dahak BTA lazimnya dilakukan 3 X berturut-turut untuk menghundari faktor kebetulan. Bila hasil pemeriksaan dahak minimal 2 X positif, maka pasien sudah dapat dipastikan sakit TB paru (Hudoyo, 2008). Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien dapat dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) yaitu :


(44)

- Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan

- Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+) - Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+) - Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

2.1.10.2 PEMERIKSAAN FOTO TORAKS

Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut:

• Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif.

• Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon).

• Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi pericarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma) (Werdhani).


(45)

2.1.10.3 PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang bermacam-macam pada foto rontgen toraks, tetapi ada beberapa gambaran yang karakteristik untuk tuberkulosis paru yaitu:

 apabila lesi terdapat terutama di lapangan atas paru  bayangan berawan atau beracak

 terdapat kavitas tunggal atau multipel  terdapat kalsifikasi

 apabila lesi bilateral terutama bila terdapat pada lapangan atas paru  bayangan abnormal yang menetap pada foto toraks setelah foto ulang

beberapa minggu kemudian (Crofton, 2002)

2.1.10.4 BRONKOSKOPI

Pemeriksaan bronkoskopi adalah pemeriksaan sistem pernapasan dengan menggunakan endoskop. Endoskop adalah alat untuk memeriksa rongga di dalam organ. Endoskop yanh digunakan untuk pemeriksaan organ paru disebut bronkoskop. Pemeriksaan bronkoskopi termasuk dalam golongan tindakan invasive. Ada dua macam pemeriksaan bronkoskopi, yaitu pemeriksaan dengan bronkoskop rigid dan pemeriksaan dengan bronkoskop serat-optik lentur dapat terlihat 85% dari keseluruhan jumlah bronkus subsegmental turunan ke-5 dan 55% dari keseluruhan humlah bronkus subsegmental turunan ke-6. Visualisasi dan washing (cuci bronkus) merupakan prosuder standar pemeriksaan bronkoskopi. Prosedur lain yang dapat dilakukan adalah: biopsi transbronkial(TBB), broncho alveolar lavage(BAL), transbronkial needle aspiration(TBNA),ultrasonografi bronkoskopik, dan bronkoskopi autofluoresen.


(46)

Indikasi dilakukan bronkoskopi,yaitu:

• Pemeriksaan hemoptysis,mencari asal pendarahan

• Pengambilan benda asing(corpus alienum)

• Terapi pada atelectasis

• Penggunaan di ICU: Intubasi intratrakea, menghisap secret

• Mendiagnosis dan menentukan staging kanker paru

• Mendiagnosis nodul di perifer dan infiltrate

• Mendiagnosis penyakit paru interstial

• Mendiagnosis pneumonia dengan cara mendapatkan sekret atau mucus di trakea atau bronkus

• Mendiagnosis penyebab batuk

• Mendiagnosis penyebab efusi pleura

Walaupun penggunaan bronkoskop dinilai dapat ditoleransi oleh pasien, terdapat kemungkinan timbulnya komplikasi, yaitu hipoksemia, pendarahan, demam, aritmia kordis, bronkospasme, pneumonia, dan pnuemotoraks. Pemeriksaan bronkoskopi yang sampai menyebabkan kematian kejadiannya sangat kecil, yaitu 0,01%, sedangkan penyebab komplikasi mayor, jumlahnya kurang dari 1%. Pemeriksaan bronkoskopi dapat menyebabkan penurunan Pa02 antara 15-20mmHG (Djojodibroto, 2009).

2.1.10.5 Bronchoalveolar Lavage (BAL)

Bilas bronkoalveolar dilakukan (Bronkoalveolar Lavage) dilakukan untuk memperoleh konstituen alveolus. BAL berbeda dengan bronkial washing. Pada

bronkial washing, cairan garam fisiologik yang digunakan untuk mendapatkan sel

bronkus hanya beberapa mL. Pada BAL, diperlukan 150-300mL cairan garam fisiologik. Cairan garam yang disemprotkan dapat diambil kembali sebanyak 40-60%


(47)

untuk diperiksa. Cairan yang disemprotkan pertama sebanyak 20-30mL, dibuang karena banyak mengandung sel bronki. Untuk menghindari sampling errors, dan menghindari kontaminasi oleh darah, BAL dilakukan sebelum brushing atau TBB. Bronkskop langsung mengarah ke perifer,yaitu ke bronkus subsegmental turunan ke-4 atau turunan ke-5. Garam fisiologik disemprotkan dan langsung diisap kembali. Komplikasi BAL adalah hipoksemia, demam, bronkospasme, dan pendarahan (Djojodibroto, 2009).

2.1.11 DIAGNOSIS

Diagnosis TB Paru

• Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).

• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.

• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis.

Diagnosis TB ekstra paru

• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya.

• Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena


(48)

Diagnosis TB pada Orang Dengan HIV AIDS (ODHA)

Pada ODHA, diagnosis TB paru dan TB ekstra paru ditegakkan sebagai berikut:

1. TB Paru BTA Positif, yaitu minimal satu hasil pemeriksaan dahak positif. 2. TB Paru BTA negatif, yaitu hasil pemeriksaan dahak negatif dan gambaran

klinis & radiologis mendukung Tb atau BTA negatif dengan hasil kultur TB positif.

3. TB Ekstra Paru pada ODHA ditegakkan dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan tubuh yang terkena. (Menkes RI, 2011)

2.1.12 PENATALAKSANAAN

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT).

Tabel 2.1: Pengelompokkan OAT Golongan dan Jenis Obat Golongan-1 Obat Lini

Pertama

Isoniazid (H) Ethambutol (E)

Pyrazinamid (Z) Rifampisin (R) Streptomycin (S) Golongan-2/Obat suntik/

Suntikan lini kedua

Kanamycin (Km) Amikacin (Am) Capreomycin (Cm)

Golongan-3/Golongan Floroquinole

Ofloxacin (Ofx) Levofloxacin (Lfx)


(49)

(Strategi Nasional Pengendalian TB, 2011)

Tabel 2.2 : Efek Samping OAT

Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan

Minor

Tidak nafsu makan,mual dan sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur

Nyeri sendi Pyranazinamid Beri aspirin/allopurinol Kesemutan sehingga rasa

terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 100mg perhari

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin Beri penjelasan,tidak perlu diberi apa-apa

Mayor

Gatal dan kemerahan pada kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin dan dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik Hampir semua

OAT

Hentikan semua OAT sehinnga ikterik hilang Binggung dan muntah-muntah Hampir senua obat Hentikan semua OAT dan Golongan-4/Obat

bakteriostatik lini kedua

Ethionamide (Eto) Prothionamide (Pto) Cycloserine (Cso) Para amino salisilat(PAS) Terizidone (Trd) Golongan-5/Obat yang

belum terbukti efikasinya dan tidak direkomendasi Oleh WHO Clofazimine (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoxilin-Clavulanate (Amx-Clv) Thioacetazone (Thz) Clarithromycin (Clr) Imipenem (Imp)


(50)

lakukan uji fungsi hati Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol Purpura dan renjatan (shok) Rifampisin Hentikan rifampisin (Pedomen Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia)

Pengobatan TB dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut:

 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan.

 Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.

 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan lanjutan.

Tabel 2.3 : Dosis Obat AntiTuberkulosis Kombinasi Dosis Tetap

BB

Fasa Intensif Fasa Lanjutan

2 bulan 4 bulan

Harian Harian 3X/minggu Harian 3X/minggu

RHZE 150/75/400 /275 RHZ 150/75/40 0 RHZ 150/150/50 0 RH 150/75 RH 150/150 30-37 38-54 55-70 2 3 4 2 3 4 2 3 4 2 3 4 2 3 4


(51)

>71 5 5 5 5 5

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.)

Available from:

Tahap Pengobatan TB Paru menurut Program Nasional Penanggulan TB di Indonesia:

1. Tahap intensif

Pada tahap awal (intensif) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap lanjutan

Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Paduan OAT Yang Digunakan di Indonesia paduan pengobatan yang digunakan oleh program nasional Penanggulangan TB oleh pemerintah Indonesia:

1. Kategori 1: 2 (HRZE) / 4 (HR)3

Tahap intensif diberikan untuk penderita baru TB paru BTA Positif, penderita TB paru BTA negatif rontgen positif dan penderita TB ekstra paru terdiri dari Isonazid (H),Rifampisin (R),Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E). Obat-obatan ini diberikan


(52)

setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

2. Kategori 2: 2 (HRZE)S / (HRZE) / 5 (HR)3E3

Tahap intensif diberikan untuk penderita kambuh (relaps), penderita gagal (failure), dan penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default) diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZE dan suntikan streptomisin (S), diberikan setelah penderita selesai menelan obat. setiap hari. Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu.

3. Kategori 3 : 2(HRZ) / 4(HR)3

Tahap intensif terdiri dari HRZ diberikan setiap hari selama 2 bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk penderita baru BTA negatif dan rontgen positif sakit ringan dan Penderita TB ekstra paru ringan.

Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat serta evaluasi keteraturan berobat.(PDPI,2006)

2.1.12.1 EVALUASI PENGOBATAN TUBERKULOSIS PARU

Evaluasi Klinik

• Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan

• Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit


(53)

Evaluasi Bakteriologik (0-2-6/9)

• Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak • Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik

- Sebelum pengobatan dimulai

- Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif) - Pada akhir pengobatan

• Bila ada fasiliti biakan : pemeriksaan biakan (0 - 2 – 6/9)

Evaluasi Radiologik (0-2-6/9)

Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada: • Sebelum pengobatan

• Setelah 2 bulan pengobatan • Pada akhir pengobatan

Evaluasi Efek Samping Secara Klinik

• Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap

• Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan

• Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

• Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.

• Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri

• Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman


(54)

Evaluasi Keteraturan Berobat

• Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan • Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.

Kriteria Sembuh

• BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan telah mendapatkan pengobatan yang adekuat

• Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/perbaikan • Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

2.1.13 PENCEGAHAN

Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan kesehatan. Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan pnderita, kontak atau suspect gambas, sering dilaporkan, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita, kontak, suspect, perawatan.

Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan. BCG, vaksinasi diberikan pertama-tama kepada bayi dengan perlindungan bagi ibunya dan keluarganya. Diulang 5 tahun kemudian pada 12 tahun ditingkat tersebut berupa tempat pencegahan. Memberantas penyakit TBC pada pemerah air susu dan tukang potong sapi dan pasteurisasi air susu sapi (Hiswani, 2004).


(55)

2.2 MULTI DRUG RESISTANCE/MDR (RESISTEN GANDA)

2.2.1 DEFINISI

Resistensi ganda menunjukkan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan INH dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi :

• Resistensi primer ialah apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB

• Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak

• Resistensi sekunder ialah apabila penderita telah punya riwayat pengobatan sebelumnya (PDPI, 2006).

Drug Resistance TB dikonfirmasi melalui uji laboratorium yang menunjukkan bahwa isolate Mycobacterium Tuberculosis dapat tumbuh secara invitro meskipun dengan adanya satu atau lebih obat antituberkulosis(OAT). Empat kategori resistensi OAT dapat dibedakan atas:

 Mono-resistance: resistensi terhadap salah satu dari OAT

 Poly-resistance: resistensi terhadap lebih dari satu OAT, selain isoniazid (INH) dan rifampisin secara bersamaan

 Multidrug-resistance: resisten terhadap sekurang-kurangnya INH beserta rifampisin

 Extensive drug-resistance: Multidrug-resistance ditambah resisteni terhadap salah satu golongan fluroquinolon, dan sedikitnya satu dari tiga jenis obat lini kedua injeksi (kapreomisin, kanamisin dan amikasin) (Yunita, 2011).


(56)

2.2.2 PATOGENESA TB-MDR

Kejadian resistensi M.Tuberculosis terhadap OAT adalah akibat mutasi alami. Amplifikasi M.Tuberculosis yang resisten selanjutnya terjadi akibat kesalahan manusia seperti:

 Kesalahan pengelolaan OAT  Kesalahan manajemen kasus TB

 Kesalahan proses penyampaian OAT kepada pasien  Kesalahan hasil uji DST

 Pemakaian OAT dengan mutu rendah

 Kurangnya keteraturan pengobatan atau pengobatan yang tidak selesai

TB yang rentan OAT dan TB yang resisten menular dengan cara yang sama yaitu melalui droplet saluran nafas yang menyebar di udara (Yunita, 2011).

2.2.3 PENYEBAB

Ada beberapa penyebab terjadinya resitensi terhadap obat tuberkulosis,yaitu :

• Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis

• Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak tepat misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal pengobatan, maupun karena di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi

• Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan


(57)

mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya

• Fenomena “addition syndrome” (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu paduan pengobatan yang tidak berhasil.

• Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka “penambahan” (addition) satu macam obat hanya akan menambah panjang nya daftar obat yang resisten

• Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabiliti obat

• Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti pengirimannya sampai berbulan-bulan

• Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan

• Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB

• Belum menggunakan strategi DOTS (PDPI, 2006)

2.2.4 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor resiko untuk terjadinya kasus TB-MDR adalah:

 Pengobatan TB yang sebelumnya tidak berhasil(kasus kambuh, gagal, kronik)  Kontak erat dengan penderita TB-MDR

 Orang dengan daya tahan tubuh yang rendah

 Tinggal/lahir di tempat prevalensi TB-MDR yang tinggi

 Pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak adekuat (Yunita, 2011)

2.2.5 MEKANISME RESISTENSI OAT Mekanisme Resistensi Terhadap INH

Isoniazid merupakan hdyrasilasi dari asam isonikotonik, molekul yang larut air sehingga mudah untuk masuk ke dalam sel. Mekanisme kerja obat ini dengan


(58)

menghambat sintesis dinding sel asam mikolik (struktur bahan yang sangat penting pada dinding sel mykobakterium) melalui jalur yang tergantung dengan oksigen seperti rekasi katase peroksidase.

Mutan M.Tuberculosis yang resisten isoniazid terjadi secara spontan dengan kecepatan 1 dalam 10⁵-10⁶ organisme. Mekanisme resistensi isoniazid diperkirakan oleh adanya asam amino yang mengubah gen katalase peroksidase (katG) atau promotor pada lokus 2 gen yang dikenal sebagai inhA. Mutasi missense atau delesi katG berkaitan dengan berkurangya aktivitas katalase dan peroksidase (Syahrini, 2008).

Mekanisme Resistensi Rifampisin

Rifampisin merupakan turunan semisintetik dari Streptomyces mediterranei, yang bekerja sebagai bakterisid intraseluler maupun extraseluler. Obat ini menghambat sintesis RNA dengan mengikat atau menghambat secara khusus RNA polymerase yang tergantung DNA. Rifampisin berperan aktif invitro pada kokus gram positif dan gram negatif, mikobakterium, chlamydia, dan poxvirus. Resistensi mutannya tinggi, biasanya pada semua populasi miikobakterium terjadi pada frequensi 1: 10⁷ atau lebih.

Resistensi terhadap rifampisin ini disebabkan oleh adanya permeabilitas barrier atau adanya mutasi dari RNA polymerase tergantung DNA. Rifampisin menghambat RNA polymerase tergantung DNA dari mikobakterium, dan menghambat sintesis RNA bakteri yaitu pada formasi rantai (chain formation) tidak pada perpanjangan rantai

(chain elongation), terapi RNA polymerase manusia tidak terganggu. Resistensi

rifampisin berkembang karena terjadinya mutasi kromosom dengan frequensi tinggi dengan kecepatan mutasi tinggi yaitu 10ˉ ⁷ sampai 10ˉ³, dengan akibat terjadi pada gen untuk beta subunit dari RNA polymerase dengan akibat terjadinya perubahan pada tempat ikatan obat tersebut (Syahrini, 2008).


(59)

Mekanisme Resistensi Terhadap Pirazinamid

Pirazinamid merupakan turunan asam nikotinik yang berperan penting sebagai bakterisid jangka pendek terhadap terapi tuberkulosis. Obat ini bekerja efektif terhadap bakteri tuberkulosis secara invitro pada pH asam (pH 5,0-5,5). Pada keadaan pH netral, pirazinamid tidak berefek atau hanya sedikit berefek. Obat ini merupakan bakterisid yang memetabolisme secara lambat organisme yang berada dalam suasana asam pada fagosit atau granuloma kaseosa. Obat tersebut akan diubah oleh basil tuberkel menjadi bentuk yang aktif asam pirazinoat.

Mekanisme resistensi pirazinamid berkaitan dengan hilangnya aktivitas pirazinamidase sehingga pirazinamid tidak banyak yang diubah menjadi asam pirazinoat. Kebanyakan kasus resistensi pirazinamid ini berkaitan dengan mutasi pada gen pncA, yang menyandikan pirazinamidase (Syahrini, 2008).

Mekanisme Resistensi Terhadap Etambutol

Etambutol merupakan turunan ethlyenediamine yang larut air dan aktif hanya pada mycobakteria. Etambutol ini bekerja sebagai bakteriostatik pada dosis standar. Mekanisme utamanya dengan menghambat enzim arabinosyltransferase yang memperantarai polymerisasi arabinose menjadi arabinogalactan yang berada di dalam dinding sel.

Resistensi etambutol pada M.Tuberculosis paling sering berkaitan dengan mutasi

missense pada gen embB yang menjadi sandi untuk arabinosyltranferase. Mutasi ini

telah ditemukan pada 70% strain yang resisten dan keterlibatan pengganti asam amino pada posisi 306 atau 406 pada sekitar 90% kasus (Syahrini, 2008).


(60)

Mekanisme Resistensi Terhadap Streptomisin

Streptomisin merupakan golongan aminoglikosida yang diisolasi dari Streptomyces

griseus. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis protein dengan menggangu

fungsi ribosomal.

Pada 2/3 strain M.Tuberkulosis yang resisten terhadap streptomisin telah diidentifikasi oleh karena adanya mutasi pada satu dari dua target yaitu pada gen 16S rRNA (rrs) atau gen yang menyandikan protein ribosomal S12 (rpsl). Kedua target diyakini terlibat pada ikatan streptomisin ribosomal. Mutasi yang utama terjadi pada rpsl. Mutasi pada rpsl telh diindentifikasi sebanyak 50% isolate yang resisten terhadap streptomisin dan mutasi pada rrs sebanyak 20%. Pada sepertiga yang menjadi lainnya tidak ditemukan adanya mutasi. Frequensi resisten mutan terjadi pada 1 dari 10⁵ sampai 10⁷ organisme. Strain M.Tuberculosis yang resisten terhadap streptomisin tidak mengalami resisten silang terhadap capreomisin maupun amikasin (Syahrini, 2008).

2.2.6 DIAGNOSA SUSPEK TB-MDR

Menurut Menkes RI, (2011):

1. Pasien TB yang gagal pengobatan kategori 2 (kasus kronik) 2. Pasien TB tidak konversi pada pengobatan kategori 2.

3. Pasien TB dengan riwayat pengobatan TB di fasyankes Non DOTS. 4. Pasien TB gagal pengobatan kategori 1.

5. Pasien TB tidak konversi setelah pemberian sisipan. 6. Pasien TB kambuh.

7. Pasien TB yang kembali berobat setelai lalai/default. 8. Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR 9. ODHA dengan gejala TB-HIV.


(61)

2.2.7 PENATALAKSANAAN

Secara umum, prinsip pengobatan TB resist obat, khususnya TB dengan MDR adalah berikut:

• Pengobatan menggunakan minimal 4 macam obat OAT yang masih efektik

• Jangan menggunakn obat yang kemungkinan menimbulkan resisten silang (cross-resistance)

• Membatasi penggunaan yang tidak aman

• Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis (TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.

• Panduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan.

• Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2 kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari.

• Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan.

Pilihan panduan baku OAT untuk pasien TB dengan MDR saat ini adalah panduan standar ( standardized treatment), yaitu:

Panduan ini diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan bila (Menkes RI, 2011):

a. Etambutol

tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau riwayat penggunaan Km – E – Eto – Lfx – Z –Cs / E – Eto – Lfx – Z – Cs


(62)

sebelumnya menunjukkan kemungkinan besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.

b. Panduan

OAT disesuaikan panduan atau dosis pada:

 Pasien TB

MDR yang diagnosis awal menggunakan Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan hasil resistensi yang berbeda.

 Bila ada

riwayat penggunaan salah satu obat tersebut diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada resistensi.

 Terjadi efek

samping yang berat akibat salah satu obat yang dapat diidentifikasi penyebabnya.

 Terjadi


(63)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan satu dari sepuluh penyakit didunia penyebab kematian. Tuberkulosis ialah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium Tuberculosis. Tuberkulosis masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat dunia dimana setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 9 juta penderita baru dengan kematian 3 juta orang (Oktaviani, 2011).

Menurut Departmen Kesehatan, kini penanggulan TB di Indonesia menjadi lebih baik, data statistik World Health Organization (WHO) menunjukkan Indonesia turun dari peringkat tiga menjadi ke peringkat lima dunia dengan jumlah insiden terbanyak TB pada tahun 2009 setelah India, China, Afrika Selatan dan Nigeria. Beberapa hasil dan pencapaian program TB, menurut Tjandra Yoga angka keberhasilan pengobatan TB di Indonesia naik sebesar 91% pada tahun 2008. Target pencapaian angka penemuan kasus TB paru Case Detection Rate ( CDR) tahun 2009 sudah mencapai 73,1%. Insiden TB paru sejak tahun 1998 hingga 2005 trennya menurun dan rata-rata penurunan insiden TB paru positif pada tahun 2005-2007 adalah 2,4% (Tirtana, 2011).

Namun masih terdapat tantangan dalam pengobatan TB di dunia dan di Indonesia, antara lain kegagalan pengobatan,putus pengobatan, pengobatan yang tidak benar sehingga mengakibatan terjadinya kemungkinan retensi primer kuman TB terhadap obat anti Tuberkulosis atau Multi Drug Resistance (MDR) (Tirtana, 2011).


(64)

MDR-TB merupakan bentuk TB yang tidak merespon terhadap standar 6 bulan pengobatan yang menggunakan obat standard atau first-line(resisten terhadap isoniazid dan rifampicin). Dibutuhkan waktu 2 tahun untuk diobati dengan obat yang 100 kali lebih mahal dibandingkan pengobatan dengan obat standard (first-line) (Mapparenta, 2013).

Menurut Tjandra Yoga dalam Tanggap,B (2011),pada perokok terjadi gangguan makrofag dan meningkatkan resistensi saluran nafas dan permeabilitas epitel paru. Rokok akan menurunkan sifat responsif antigen. Insiden dan beratnya TB berhubungan dengan penggunaan rokok. Penderita TB paru yang masih merokok sejak terdiagnosis TB paru akan berisiko 1.204 kali lebih besar untuk mengalami kejadian TB paru resisten dibanding yang tidak merokok sejak terdiagnosis TB paru (Mapparenta, 2013).

Setyarini dalam Tanggap, B (2011) yang mendapati bahwa sebagian besar pasien TB yang resisten OAT memiliki status gizi kurang (61.5%). Infeksi TB dapat menyebabkan penurunan berat badan,status gizi yang buruk meningkatkan risiko infeksi dan penyebaran penyakit TB. Selain itu, gizi kurang akan menyebabkan daya tahan tubuh rendah sehingga pertahanan tubuh terhadap kuman TB akan berkurang. Studi Tanggap (2011) bahwa peningkatan status gizi selama 6 bulan saat pengobatan berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan (Mapparenta, 2013).

Obat tuberculosis harus diminum oleh penderita secara rutin selama 6 bulan berturut-turut tanpa henti. Kedisiplinan pasien dalam menjalankan pengobatan juga perlu diawasi oleh anggota keluarga terdekat yang tinggal serumah. Apabila pengobatan terputus tidak sampai enam bulan, penderita sewaktu-waktu akan kambuh kembali penyakitnya dan kuman tuberkulosis menjadi resisten sehingga membutuhkan biaya besar untuk pengobatannya (Mapparenta, 2013).


(65)

Tahitu (2006) kegagalan pengobatan TB disebabkan oleh kebiasaan pasien meminum obat. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien yang tidak patuh meminum obat akan berisiko 41,8 kali mengalami kegagalan konversi BTA(+) dibandingkan responden yang patuh meminum obat. Resisten terhadap OAT disebabkan pasien tidak meminum obat secara teratur selama periode waktu yang ditentukan sehingga dapat mempengaruhi dalam upaya penyembuhan (Aditama dalam Setyowati 2011). Risiko kejadian TB paru resisten dengan ketidakpatuhan minum obat yaitu 3,5 kali lebih besar dibandingkan penderita TB paru yang patuh minum obat (Mapparenta, 2013).

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimanakah profil pemberian pengobatan OAT (Obat Anti-Tuberkulosis) lini pertama pada penderita TB-MDR”.

1.3Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui profil pemberian OAT ( Obat Anti-Tuberkulosis) lini pertama pada penderita TB-MDR.

1.3.2 Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk:

1. Mengetahui jumlah penderita TB-MDR dengan pengobatan OAT lini pertama

2. Mengetahui demografi (umur, jenis kelamin, pekerjaan dan status perkahwinan) penderita TB-MDR

3. Mengetahui keteraturan pengobatan OAT lini pertama 4. Mengetahui tempat pelayanan pengobatan OAT lini pertama


(66)

5. Mengetahui frequensi pemberian OAT lini pertama

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Bidang Penelitian

Penelitian ini diharapkan menjadi sumber informasi tambahan dalam meningkatkan pengetahuan peneliti di bidang kesehatan khususnya dalam mengevaluasi pemberian OAT pada penderita TB supaya tidak terjadi TB MDR.

1.4.2 Bidang Pelayanan Masyarakat

Data atau informasi hasil penelitian ini dapat memberi informasi tentang penyakit TB dan TB MDR.

1.4.3 Bidang Akademis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi dan bahan bacaan untuk mahasiswa dan mahasiswi FK USU dan tenaga medis mengenai TB MDR.


(67)

ABSTRAK

TB-MDR adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid. Indonesia termasuk salah satu negara dari 27 negara di dunia dengan kasus TB-MDR.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil pemberian OAT lini pertama pada pasien TB MDR di RSUP H.Adam Malik pada periode Juli 2012-April 2014.

Penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 111 orang dengan teknik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan rekam medis di RSUP H. Adam Malik.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa mayoritas penderita TB Paru adalah kelompok umur produkif (34.2%), laki-laki (71.2%), sudah menikah (80.2%), berprofesi sebagai wiraswasta (29.7%), frequensi 1x pengobatan (27.0%), 2x pengobatan (45.9%), 3x pengobatan (18.0%), 4x pengobatan (6.3%), 5x pengobatan (0.9%), 6x pengobatan (1.8%), dan tempat pengobatan di Puskesmas/ Rs Pemerintah (65.2%).

Kesimpulannya, terdapat sebanyak 111 orang penderita TB-MDR yang sering terjadi pada laki-laki berusia 41-50 tahun. Mayoritas pasien sudah bernikah dan berprofesi sebagai wiraswata. Pengobatan TB terbanyak terdapat di Puskesmas atau Rs Pemerintah sebanyak 154 kasus dengan riwayat pengobatan sebanyak 2 kali pengobatan TB sebelumnya yang berjumlah 71 kasus.


(68)

ABSTRACT

MDR-TB is caused by Mycobacterium tuberculosis that resistant to at least rifampicin and isoniazid. Indonesia is one of country from 27 countries in the world with TB-MDR cases.

This study aims to see the profile of first-line administration of OAT in MDR TB patients by age, gender, marriage status, type of job, places and frequency of treatment of OAT decision in Adam Malik Hospital in the period July 2012-April 2014.

The study used a descriptive method with a total sample of 111 people with a total sampling technique. Data was collected through medical records at Adam Malik Hospital.

From the research, it is known that the majority of patients with pulmonary TB is the productive age group (34.2%), males (71.2%), were married (80.2%), worked as a self-employed (29.7%), frequency 1x administration (27.0% ), 2x administration (45.9%), 3x administration (18.0%), 4x administration (6.3%), 5x administration (0.9%), 6x administration (1.8%), and a treatment at the health center /Government Hospital (65.2%).

Overall , there were as many as 111 people with MDR-TB is common in men aged 41-50 years . The majority of patients already get married and worked as self-employed. Treatment of TB found in the health center or Government Hospital are about 154 cases with a history of treatment as much as 2 times the previous TB treatment was about 71 cases.


(69)

PROFIL PEMBERIAN OAT (OBAT ANTI-TUBERKULOSIS)

LINI PERTAMA PADA PENDERITA TB-MDR DI RSUP HAJI

ADAM MALIK PADA PERIODE JULI 2012-APRIL 2014

Oleh:

RENJITHA A/P GURUNATHAN

110100386

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2014


(70)

(71)

ABSTRAK

TB-MDR adalah penyakit yang disebabkan Mycobacterium tuberkulosis yang resisten minimal terhadap rifampisin dan isoniazid. Indonesia termasuk salah satu negara dari 27 negara di dunia dengan kasus TB-MDR.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat profil pemberian OAT lini pertama pada pasien TB MDR di RSUP H.Adam Malik pada periode Juli 2012-April 2014.

Penelitian yang dilakukan dengan metode deskriptif dengan jumlah sampel sebanyak 111 orang dengan teknik total sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan rekam medis di RSUP H. Adam Malik.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa mayoritas penderita TB Paru adalah kelompok umur produkif (34.2%), laki-laki (71.2%), sudah menikah (80.2%), berprofesi sebagai wiraswasta (29.7%), frequensi 1x pengobatan (27.0%), 2x pengobatan (45.9%), 3x pengobatan (18.0%), 4x pengobatan (6.3%), 5x pengobatan (0.9%), 6x pengobatan (1.8%), dan tempat pengobatan di Puskesmas/ Rs Pemerintah (65.2%).

Kesimpulannya, terdapat sebanyak 111 orang penderita TB-MDR yang sering terjadi pada laki-laki berusia 41-50 tahun. Mayoritas pasien sudah bernikah dan berprofesi sebagai wiraswata. Pengobatan TB terbanyak terdapat di Puskesmas atau Rs Pemerintah sebanyak 154 kasus dengan riwayat pengobatan sebanyak 2 kali pengobatan TB sebelumnya yang berjumlah 71 kasus.


(72)

ABSTRACT

MDR-TB is caused by Mycobacterium tuberculosis that resistant to at least rifampicin and isoniazid. Indonesia is one of country from 27 countries in the world with TB-MDR cases.

This study aims to see the profile of first-line administration of OAT in MDR TB patients by age, gender, marriage status, type of job, places and frequency of treatment of OAT decision in Adam Malik Hospital in the period July 2012-April 2014.

The study used a descriptive method with a total sample of 111 people with a total sampling technique. Data was collected through medical records at Adam Malik Hospital.

From the research, it is known that the majority of patients with pulmonary TB is the productive age group (34.2%), males (71.2%), were married (80.2%), worked as a self-employed (29.7%), frequency 1x administration (27.0% ), 2x administration (45.9%), 3x administration (18.0%), 4x administration (6.3%), 5x administration (0.9%), 6x administration (1.8%), and a treatment at the health center /Government Hospital (65.2%).

Overall , there were as many as 111 people with MDR-TB is common in men aged 41-50 years . The majority of patients already get married and worked as self-employed. Treatment of TB found in the health center or Government Hospital are about 154 cases with a history of treatment as much as 2 times the previous TB treatment was about 71 cases.


(73)

KATA PENGANTAR

Penulis bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih karunia-Nya yang telah memelihara dan memampukan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Banyak sekali hambatan dan tantangan yang dialami penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Dengan dorongan, bimbingan dan arahan dari beberapa pihak, akhirnya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD. KGEH atas izin penelitian yang telah diberikan. 2. Kepada dr. Parluhutan Siagiaan M.Ked(Paru), SpP selaku dosen pembimbing,

yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

3. Kepada kedua orang tua yaitu ayah, J.Gurunathan serta ibu, G.Janaki yang telah memberikan dukungan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran ini.

4. Seluruh teman-teman penulis terutama angkatan 2011 yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari sempurna.

Untuk itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak. Demikian dan terima kasih.


(74)

Medan, Desember 2014 Penulis,

Renjitha A/P Gurunathan 110100386


(1)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN

Halaman Persetujuan………... i

Abstrak………. ii

Abstract……… iii

Kata Pengantar……… iv

Daftar Isi………... vi

Daftar Tabel………. ix

Daftar Gambar………. x

Daftar Lampiran……… xi

BAB 1 PENDAHULUAN……… 1

1.1. Latar Belakang………. 1 1.2. Rumusan Masalah………... 3 1.3. Tujuan Penelitian………... 3 1.4. Manfaat Penelitian……… 4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……...……… 5


(2)

vii

2.1. Tuberkulosis Paru……… 5

2.1.1. Definisi……… 5

2.1.2. Klasifikasi………... 5

2.1.3. Epidemiologi……… 8

2.1.4. Morfologi……… 9

2.1.5. Cara Penularan………... 10

2.1.6. Patogenesis……….. 10

2.1.7. Faktor Resiko……….. 12

2.1.8. Manifestasi Klinis……… 13

2.1.9. Pemeriksaan Fisis………... 14

2.1.10. Pemeriksaan Penunjang………. 15

2.1.11. Diagnosis……… 19

2.1.12. Penatalaksanaan……….. 20

2.1.13. Pencegahan……….. 26

2.2 Multi Drug Resistance……… 27

2.2.1. Definisi………... 27

2.2.2. Patogenesa TB-MDR……….. 28

2.2.3. Penyebab………. 28

2.2.4. Faktor Resiko……….. 29

2.2.5. Mekanisme Resistance OAT……….. 29

2.2.6. Diagnosa Suspek TB-MDR………. 32


(3)

viii

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL…………. 35

3.1. Kerangka Konsep Penelitian………. 35

3.2. Definisi Operasional………. 35

BAB 4 METODE PENELITIAN………... 37

4.1. Jenis Penelitian……… 37

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian……… 37

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian………. 38

4.4. Pengolahan dan Analisis Data……… 38

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN……… 39

5.1 Hasil Penelitian……….. 39

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian………... 39

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian……….. 39

5.2 Pembahasan………... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……… 48

6.1 Kesimpulan………. 48

6.2 Saran……… 48

DAFTAR PUSTAKA……… 49 LAMPIRAN


(4)

ix

DAFTAR TABEL

Nombor Judul Halaman 2.1 Pengelompokkan OAT………... 20 2.2 Efek Samping OAT………... 21 2.3 Dosis Obat AntiTuberkulosis Dosis Kombinasi

Tetap……… 22

3.1 Variabel, Alat Ukur,Hasil Ukur dan Skala Ukur…… 36 5.1 Distribusi Pasien TB-MDR Berdasarkan Umur……. 40 5.2 Distribusi Pasien TB-MDR Berdasarkan Jenis

Kelamin………... 41 5.3 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Status

Perkahwinan……… 41

5.4 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Jenis

Pekerjaan……….. 42

5.5 Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan Frekuensi


(5)

x

DAFTAR GAMBAR

No Judul Halaman 2.1 Gambaran Elektron Mikroskop Mycobacterium

Tuberculosis……… 9

3.1 Kerangka Konsep……… 35

5.6 Gambaran Distribusi Pasien TB MDR Berdasarkan


(6)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup Lampiran 2 Surat Izin Penelitian

Lampiran 3 Surat Persetujuan Komisi Etik Lampiran 4 Data Induk


Dokumen yang terkait

Angka Kejadian Hepatotoksisitas pada Penderita Tuberkulosis Paru Pengguna Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2010

12 121 83

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

1 9 82

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 13

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 2

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 12

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 2

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 4

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 1 30

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 3

Profil Pemberian Oat (Obat Anti-Tuberkulosis) Lini Pertama Pada Penderita Tb-Mdr Di RSUP Haji Adam Malik Pada Periode Juli 2012-April 2014

0 0 15