Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

(1)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Gina Kristina P

Tempat / Tanggal Lahir : Palembang / 5 April 1993

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Komplek Citra Garden Blok B6 No. 5, Jalan Letjen. Jamin Ginting P. Bulan, Medan.

Riwayat Pendidikan :

1. Sekolah Dasar RK Cinta Rakyat 2 Pemantangsiantar (1998-2004)

2. Sekolah Menengah Pertama Kalam Kudus Pematangsiantar (2004-2007) 3. Sekolah Menengah Atas Budi Mulia Pematangsiantar (2007-2010) Riwayat Organisasi :

1. Anggota Organisasi SCOPH FK USU tahun 2010


(2)

3. Anggota Seksi Dana Perayaan Paskah FK USU tahun 2011 4. Anggota Seksi Dana Perayaan Natal FK USU tahun 2012

5. Anggota Seksi Dana Pengabdian Masyarakat Mahasiswa Kristen FK USU tahun 2012

6. Anggota Seksi Medis Pengabdian Masyarakat Mahasiswa Kristen FK USU tahun 2013


(3)

KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN PEMAKAIAN OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT) DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN PADA

PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2013

A. Identitas Pasien

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin : Laki-laki / Perempuan

Alamat :

Kapan terdiagnosa : Tanggal Survei :

1. Apakah Anda sedang menggunakan obat anti tuberkulosis? a. Ya

b. Tidak

Jika ya, sudah berapa lama?

... 2. Obat anti tuberkulosis apakah yang sedang anda gunakan?

Isoniazid a. Ya b. Tidak Rifampisin a. Ya b. Tidak Etambutol a. Ya b. Tidak Pirazinamid a. Ya b. Tidak Streptomisin a. Ya b. Tidak

3. Apakah Anda merasa kesehatan Anda semakin membaik dengan memakai obat antituberkulosis?

a. Ya b. Tidak


(4)

4. Apakah Anda pernah mengalami keluhan pendengaran sebelumnya? a. Ya

b. Tidak

5. Apabila ya, kapan keluhan pendengaran itu muncul? a. Sebelum memakai obat antituberkulosis

b. Sesudah memakai obat antituberkulosis

6. Keluhan pendengaran yang anda rasakan:

Keluhan Pendengaran Sebelum menggunakan obat antituberkulosis

Sesudah menggunakan obat antituberkulosis Rasa pusing berputar

(vertigo)

Telinga berdenging (tinitus)

Gangguan pendengaran

7. Adakah keluhan yang lain yang Anda rasakan di luar keluhan pendengaran:

a. Ya b. Tidak

Jika ya, sebutkan.

... 8. Apakah Anda sedang menggunakan obat lain selain obat antituberkulosis?

a. Ya b. Tidak

Jika ya, untuk pengobatan apa?


(5)

9. Apakah Anda sudah melakukan tes pendengaran terlebih dahulu sebelum memakai obat antituberkulosis?

a. Ya (...) b. Tidak

Hasil pemeriksaan fungsi pendengaran (dari hasil pemeriksaan) (hanya diisi oleh peneliti)

a. Rinne test : b. Weber test :


(6)

LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON PENELITIAN Dengan hormat,

Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada

Bapak/Ibu/Saudara/Saudari atas kehadirannya meluangkan waktu untuk mengisi surat persetujuan dan kuesioner ini.

Saya, Gina Kristina Perangin-angin, mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara stambuk 2010. Saat ini saya sedang mengerjakan penelitian guna melengkapi Karya Tulis Ilmiah yang menjadi kewajiban saya untuk menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran USU. Adapun judul penelitian saya adalah Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis Paru di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2013.

Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui angka kejadian dan hubungan pemakaian obat anti tuberkulosis tersebut dengan gangguan pendengaran, agar kiranya kelak para pengguna obat anti tuberkulosis lebih memperhatikan fungsi pendengarannya dalam pengobatan penyakit tuberkulosisnya. Untuk itu saya mohon kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari untuk ikut serta dalam penelitian ini, yaitu sebagai responden. Saya akan menanyakan beberapa hal seputar identitas, fakta sesuai pengobatan yang anda gunakan, dan melakukan pemeriksaan fisik pada telinga Anda.

Demikian informasi ini saya sampaikan. Atas partisipasi dan kesediaan waktu Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, saya mengucapkan terima kasih. Semoga partisipasi dan kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/Saudari dalam penelitian ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, ... 2013 Peneliti,


(7)

SURAT PERNYATAAN PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN (INFORMED CONSENT)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama :

Alamat :

Telah mendapatkan penjelasan dan memahami sepenuhnya tentang penelitian yang akan dilakukan,

Judul Penelitian : Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita

Tuberkulosis Paru di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2013

Nama Peneliti : Gina Kristina Perangin-angin

Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Jenis Penelitian : Analitik dengan pendekatan cross sectional Lokasi Penelitian : Poliklinik Paru RSUP H. Adam Malik Medan Dengan ini menyatakan bersedia mengikuti penelitian tersebut secara sukarela sebagai responden penelitian. Bila sewaktu-waktu saya berniat mengundurkan diri, maka kepada saya tidak akan dikenakan sanksi apapun.

Medan, ... 2013


(8)

LAMPIRAN

OUTPUT DATA HASIL PENELITIAN

a. Frekuensi Data Penelitian

Kel. umur

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 18-27 23 33.8 33.8 33.8

28-37 14 20.6 20.6 54.4

38-47 10 14.7 14.7 69.1

48-57 17 25.0 25.0 94.1

58-60 4 5.9 5.9 100.0

Total 68 100.0 100.0

Jenis Kelamin

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid laki-laki 47 69.1 69.1 69.1

perempuan 21 30.9 30.9 100.0

Total 68 100.0 100.0

Jenis OAT

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid, streptomisin

26 38.2 38.2 38.2

isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid

37 54.4 54.4 92.6

isoniazid, rifampisin 5 7.4 7.4 100.0


(9)

Durasi penggunaan OAT

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 0-1 bulan 3 4.4 4.4 4.4

1-2 bulan 6 8.8 8.8 13.2

2-3 bulan 8 11.8 11.8 25.0

3-4 bulan 5 7.4 7.4 32.4

4-5 bulan 3 4.4 4.4 36.8

5-6 bulan 8 11.8 11.8 48.5

>6 bulan 35 51.5 51.5 100.0

Total 68 100.0 100.0

hasil fungsi pendengaran

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid normal 47 69.1 69.1 69.1

tuli sensorineural 21 30.9 30.9 100.0

Total 68 100.0 100.0

keluhan pendengaran dan vestibular yang dirasakan

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid Vertigo 3 4.4 4.4 4.4

Tinnitus 18 26.5 26.5 30.9

vertigo dan tinnitus 3 4.4 4.4 35.3

vertigo dan gangguan pendengaran 3 4.4 4.4 39.7

tinitus dan gangguan pendengaran 8 11.8 11.8 51.5

vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran

11 16.2 16.2 67.6

tidak ada 22 32.4 32.4 100.0


(10)

b. Crosstab Data Penelitian

Jenis OAT oral/oral+injeksi * hasil fungsi pendengaran Crosstabulation

hasil fungsi pendengaran

Total normal tuli sensorineural

Jenis OAT oral/oral+injeksi oral OAT Count 42 0 42

% within hasil fungsi pendengaran

89.4% .0% 61.8%

oral+injeksi OAT Count 5 21 26

% within hasil fungsi pendengaran

10.6% 100.0% 38.2%

Total Count 47 21 68

% within hasil fungsi pendengaran

100.0% 100.0% 100.0%

Uji Chi square : Jenis OAT oral/oral+injeksi & Hasil fungsi pendengaran Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Jenis OAT oral/oral+injeksi * hasil fungsi pendengaran

68 100.0% 0 .0% 68 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-sided) Exact Sig. (2-sided) Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 49.080a 1 .000

Continuity Correctionb 45.369 1 .000

Likelihood Ratio 58.613 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

N of Valid Cases 68

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,03.


(11)

Nama Umur JK P2 P1 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 JenisOAT

Warsito

58-60 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

tidak ya tidak SNHL Oral+injeksi

Husein L

48-57 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan pendengaran

tidak ya Tidak SNHL Oral+injeksi

Sri T

28-37 PR HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan pendengaran

tidak ya Ya SNHL Oral+injeksi

Joseph S

48-57 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

tidak ya tidak SNHL Oral+injeksi

Budi E

18-27 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

tidak ya tidak SNHL Oral+injeksi

Ramli S

38-47 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

Ya ya tidak SNHL Oral+injeksi

Candra T 18-47 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan


(12)

pendengaran Tualim

38-47 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan pendengaran

Ya ya tidak SNHL Oral+injeksi

Mayes S 28-37 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, gangguan pendengaran

Ya ya tidak SNHL Oral+injeksi

Cerry AM

28-37 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan pendengaran

Ya tidak tidak SNHL Oral+injeksi

Rahuddin

58-60 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

Ya ya tidak SNHL Oral+injeksi

Karta G

38-47 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan pendengaran

Ya ya tidak SNHL Oral+injeksi

Sihite

38-47 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

Ya ya tidak SNHL Oral+injeksi

Syawalud 48-57 LK HRZES 5-6bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada Ya ya tidak N Oral+injeksi Repelita 38-47 PR HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tidak Tidak tidak SNHL Oral+injeksi


(13)

tinitus, gangguan pendengaran

Berman S

28-37 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

tidak Tidak tidak SNHL Oral+injeksi

Wasinton

48-57 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

Ya ya tidak SNHL Oral+injeksi

Naomi G 28-37 PR HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo Ya ya tidak N Oral+injeksi Martua S 48-57 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus Ya ya tidak N Oral+injeksi

Sheres S 48-57 LK HRZE 5-6bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada tidak Tidak tidak N oral

Yan L 18-37 LK HRZE 5-6bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada tidak tidak tidak N oral Aninda S 18-27 PR HRZE 4-5bulan ya tidak sesudah Tinitus tidak Tidak tidak N oral Reni A 28-37 PR HRZE 3-4bulan ya tidak sesudah Tinitus tidak Tidak tidak N oral Dameria 58-60 PR HRZE 5-6bulan ya tidak sesudah Tinitus Ya Ya tidak N oral Risa 18-27 PR HRZE >6bulan ya tidak sesudah Tinitus Tidak Tidak tidak N oral Rianta S 18-27 LK HRZE 2-3bulan ya tidak Tidak

ada

Tidak ada Tidak Tidak tidak N oral Sukastra 38-47 LK HRZE 1-2bulan ya tidak Tidakad Tidak ada Ya Ya tidak N oral


(14)

Sri M 18-27 PR HRZE >6bulan ya tidak sesudah Tinitus tidak Tidak tidak N oral Bagus A 18-27 LK HRZE >6bulan ya tidak sesudah Tinitus tidak Tidak tidak N oral Ridzen M 28-37 LK HRZE 3-4bulan ya tidak Tidak

ada

Tidak ada tidak Tidak tidak N oral

Irwansah 18-27 LK HRZE 2-3bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada tidak Tidak tidak N oral

Jainal A

38-47 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, gangguan pendengaran

tidak Tidak tidak SNHL Oral+injeksi

Suwandi 48-57 LK HRZE 2-3bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada Ya Tidak tidak N oral Hotmanus 38-47 LK HRZE >6bulan ya tidak Sesudah Tinitus Tidak Tidak tidak N oral

Putri A 18-27 PR HRZE >6bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada Ya Ya tidak N oral

Aninda A 18-27 PR HRZE 2-3bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada Tidak Tidak tidak N oral

Josua 18-27 LK HRZE 1-2bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada tidak Tidak tidak N oral Ema S 48-57 PR HRZE 5-6bulan ya tidak Sesudah Tinitus tidak Tidak tidak N oral Hidayat 38-47 LK HRZE 3-4bulan ya tidak Tidak

ada

Tidak ada tidak Tidak tidak N oral

Selamat 48-57 LK HR 4-5bulan ya tidak Sesudah Tinitus Ya Ya tidak N oral

Ferdinan 28-37 LK HRZE 2-3bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada ya Tidak tidak N oral Julkar S 48-57 LK HR 5-6bulan ya tidak Tidak Tidak ada tidak Tidak tidak N oral


(15)

ada Okto S 18-27 LK HRZE 1-2bulan ya tidak Tidak

ada

Tidak ada tidak Tidak tidak N oral

Ade P 18-27 PR HRZE 1-2bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada Ya Tidak tidak N oral

Sri A 28-37 PR HRZE 3-4bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada Ya Tidak tidak N oral Lola S A 18-27 PR HRZE 2-3bulan ya tidak sesudah Tinitus Tidak Ya tidak N oral

Marini

48-57 PR HR 4-5bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan pendengaran

Tidak Ya tidak N oral

Guntur R 18-27 LK HRZE 5-6bulan ya tidak sesudah Vertigo Ya Ya tidak N oral Liana P 38-47 PR HRZE >6bulan ya tidak sesudah Vertigo,

tinitus

Ya Tidak tidak N oral Flora S 48-57 PR HRZE 2-3bulan ya tidak sesudah Tinitus Ya Ya tidak N oral

Rudi 18-27 LK HRZE 3-4bulan ya tidak sesudah Tinitus Ya Ya tidak N oral

Daratika 18-27 PR HR >6bulan ya tidak sesudah Tinitus Tidak Ya tidak N oral Stevan 18-27 LK HRZE 0-1bulan ya tidak Tidak

ada

Tidak ada Ya Tidak tidak N oral

B Sinaga 58-60 LK HRZE 1-2bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus

Ya Ya tidak N oral

Deni Asr 28-37 LK HR >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus

Ya Tidak tidak N oral

Ridzan 28-37 LK HRZE 0-1bulan ya tidak sesudah vertigo Ya Ya tidak N oral


(16)

ada Djiwa B 48-57 LK HRZE 1-2bulan ya tidak Tidak

ada

Tidak ada Ya Ya tidak N oral

Rizky A 18-27 PR HRZE 2-3bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada ya Tidak tidak N oral

Agar L 48-57 LK HRZE >6bulan ya tidak Tidak ada

Tidak ada Ya Ya tidak N oral

Irwansya 18-27 LK HRZE 5-6bulan ya tidak sesudah Tinitus Tidak Tidak tidak N oral Sahat S 18-27 LK HRZE >6bulan ya tidak sesudah Tinitus Tidak Tidak tidak N oral

Ali

48-57 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

Tidak Tidak tidak SNHL Oral+injeksi

A Sinaga

48-57 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, tinitus, gangguan pendengaran

Ya Ya tidak SNHL Oral+injeksi

Beriman

48-57 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus, gangguan pendengaran

Ya Ya tidak SNHL Oral+injeksi

N.Tampub 28-37 PR HRZES >6bulan ya tidak sesudah Tinitus Ya Ya tidak N Oral+injeksi R Silito

28-37 LK HRZES >6bulan ya tidak sesudah Vertigo, gangguan pendengaran


(17)

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, H., Mukty, H.A., 2010. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press.

Chambers, H.F., 2007. Senyawa Antimikroba Makrolida. Dalam: Hardman, J. G.

Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta: EGC, 1230-1231.

Chambers, H.F., 2010. Obat Antimikobakterium. Dalam: Katzung, B.G.

Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi kesepuluh. Jakarta: EGC, 796-803.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011. TBC Masalah Kesehatan

Dunia. Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi

Kesehatan. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1444-tbc-masalah-kesehatan-dunia.html. [Accesed 09 April 2013]. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2012. Pengendalian Kasus

Tuberkulosis Harus Berkualitas Untuk Mencegah Terjadinya TB-MDR.

Direktorat Jendral Kesehatan Masyarakat, Direktorat Promosi Kesehatan. Available from: http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press- release/1922-pengendalian-kasus-tuberkulosis-harus-berkualitas-untuk-mencegah-terjadinya-tb-mdr.html. [Accesed 09 April 2013].

Djojodibroto, R.D., 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC. Duggal, P., Sarkar, M., 2007. Audiologic Monitoring of Multi-Drug Resistant

Tuberculosis Patients on Aminoglycoside Treatment With Long Term Follow-Up. Medical College, Tanda, Kangra, Himachal Pradesh, India. Available

from: http://www.biomedcentral.com/1472-6815/7/5. [Accesed 08 April 2013].

Ghazali, M.V, et al., 2011. Studi Cross-Sectional. Dalam: Sastroasmoro, S., dan Ismael, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi keempat. Jakarta: Sagung Seto, 130-145.


(19)

Hershfield, E., 1999. Tuberculosis: 9. Treatment. In: Fanning, A. Canadian Medical Association 161 (4): 405-11.

Katijah, K., Anniah, M., Precious, M.N., 2009. Ototoxic Effects of Tuberculosis

Treatments: How Aware Are Patients?. African Journal of Pharmacy and

Pharmacology, 3 (8): 391-399. Available from: http://www.academicjournals.org/ajpp/pdf/%20pdf2009/August/Katijah%20e t%20al..pdf. [Accesed 08 April 2013].

Kowalak, J.P., 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2009. Pedoman Penanggulangan

Tuberkulosis (TB). Available from:

http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/KMK%20No.%20364% 20ttg%20Pedoman%20Penanggulangan%20Tuberkolosis%20%28TB%29.pd f. [Accesed 25 Mei 2013].

Miyoso, D.P., Mewengkang, L.N., Aritomoyo, D., 1985. Diagnosis Kekurangan

Pendengaran. Cermin Dunia Kedokteran. Dalam: Supramaniam, S., 2011. Prevalensi Gangguan Pendengaran pada Siswa SMA Swasta Raksana di

Kota Medan Tahun 2010. Available from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21550/4/Chapter%20II.pdf. [Accesed 27 Mei 2013].

Rab, H.T., 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media.

Ratnasari, N.Y., 2012. Hubungan Dukungan Sosial dengan Kualitas Hidup pada

Penderita Tuberkulosis Paru (TB Paru) di Balai Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Yogyakarta Unit Minggiran. Dalam: Jurnal Tuberkulosis Indonesia,

2012. Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI). Jakarta 8: 12-16.


(20)

Reiter, R.J., Tan, D-X., Korkmaz, A., Fuentes-Broto, L., 2011. Drug-Mediated

Ototoxicity and Tinnitus: Alleviation With Melatonin. Journal of Physiology

and Pharmacology 2011. Available from:

http://www.jpp.krakow.pl/journal/archive/04_11/pdf/151_04_11_article.pdf . [Accesed 27 Mei 2013].

Santosa, Y.I., 2010. Ototoksisitas. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Bandung.

Sastroasmoro, S., 2011. Pemilihan Subyek Penelitian. Dalam: Sastroasmoro, S., dan Ismael, S. 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi keempat. Jakarta: Sagung Seto, 88-103.

Sherwood, L., 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Edisi kedua. Jakarta: EGC.

Sihombing, H., et al., 2012. Pola Resistensi Primer pada Penderita TB Paru

Kategori I di RSUP H. Adam Malik Medan. Jurnal Respirologi Indonesia

2012 (32): 138-45.

Soepardi, E.A., 2007. Pemeriksaan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan

Leher. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., Restuti, D.R.,

2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan

Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 1-9.

Soetirto, I., Hendarmin, H., Bashiruddin, J., 2007. Gangguan Pendengaran dan

Kelainan Telinga. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., Bashiruddin, J.,

Restuti, D.R., 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,

Kepala, dan Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas


(21)

Sturdy, A., et al., 2011. Multidrug-Resistant Tuberculosis (MDR-TB) Treatment in

UK: a Study of Injectable Use and Toxicity in Practice. Journal of

Antimicrobial Chemotherapy 2011 (66): 1815-1820.

Surbakti, K., 2007. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru BTA Positif Yang

Selesai Mengikuti Program Pengobatan Strategi DOTS di Puskesmas Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2005-2007. Dalam : Sitepu, M.Y., 2009. Karakteristik Penderita TB Paru Relapse Yang Berobat di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)Medan Tahun 2000-2007. Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan: 64-65.

Wahyuni, A.S., 2008. Statistika Kedokteran (Disertai Aplikasi dengan SPSS). Jakarta Timur: Bamboedoea Communication. Dalam: Bangun, L.G., 2012.

Gambaran dan Prevalensi Keluhan Gangguan Kulit pada Pekerja Bengkel Kendaraan Bermotor di Kecamatan Medan Baru, Medan Selayang, dan Medan Johor Tahun 2012. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara,

27-30.

Widyastuti, I., 2011. Medan Terbesar TB Paru. Available from: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id =174580:medan-terbesar-penderita-tb-paru&catid=14:medan&Itemid=27. [Accesed 26 Mei 2013].

World Health Organization, 2009. Treatment of Tuberculosis Guidelines. 4th ed. Available from: http://www.who.int/tb/publications/2010/9789241547833/en. [Accesed 25 April 2013].

Xie, J., Talaska, A.E., Schacht, J., 2011. New Developments in Aminoglycoside

Therapy and Ototoxic. University of Michigan, Ann Arbor. Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3169717/pdf/nihms299275.pd f. [Accesed 08 April 2013].


(22)

Zubaidi, Y., 2007. Tuberkulostatik dan Leprostatik. Dalam: Gunawan, S.G., Setiabudy, R., Elysabeth. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 597-611.


(23)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep

Variabel independen Variabel dependen

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Umur Lamanya

responden hidup dalam tahun

berdasarkan ulang tahun responden terakhir

Kuesioner Wawancara 18-27 tahun 28-37 tahun 38-47 tahun 48-57 tahun 58-60 tahun

Nominal

Jenis Kelamin

Keadaan tubuh penderita yang membedakan manusia secara fisik

Kuesioner Wawancara Laki-laki Perempuan

Nominal Obat Anti


(24)

Jenis OAT Obat yang digunakan pasien dalam pengobatan penyakit TB Parunya

Kuesioner Wawancara Isoniazid Rifampisin Etambutol Pirazinamid Streptomisin Nominal Durasi Pengobatan Lama penggunaan OAT semenjak pertama sekali mengonsumsi hingga waktu pengisian kuesioner

Kuesioner Wawancara 0-1 bulan 1-2 bulan 2-3 bulan 3-4 bulan 4-5 bulan 5-6 bulan >6 bulan Interval Fungsi Pendengaran

Kondisi fungsi pendengaran yang dialami sekarang apakah dalam kondisi normal atau abnormal. Normal apabila

Rinne test (+)

dan Weber test tidak ada lateralisasi. Abnormal: pasien yang menderita tuli sensorineral

Garpu penala 512 Hz

Pemeriksaan langsung dengan menggunakan

Weber test

dan Rinne test

a. Rinne test:

Normal: + SNHL: + CHL: - b. Weber test:

Normal: tidak ada lateralisasi SNHL: Lateralisasi ke telinga yang sehat CHL: Lateralisasi ke telinga yang sakit


(25)

Keluhan yang berhubungan dengan pendengaran dan

vestibular

Keluhan pendengaran yang secara subjektif sering dirasakan oleh pasien dan dikatakan terjadi keluhan pendengaran jika salah satu atau semua keluhan

dibawah ini dialami pasien.

- Tinnitus: telinga berdengung yang dirasakan pasien

- Vertigo: pusing

berputar yang dirasakan pasien - Gangguan

pendengaran: pasien merasa telah

mengalami penurunan

Kuesioner Wawancara 1. Ada 2. Tidak ada


(26)

kepekaan pendengaran Pemakaian

OAT

Pemakaian obat baik secara oral maupun IM oleh seorang pasien dalam pengobatan tuberkulosis

Kuesioner Wawancara (+) bila menerima OAT oral (-) bila memakai injeksi streptomisin Nominal Prevalensi gangguan pendengaran Jumlah keseluruhan gangguan pendengaran yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah

Kuesioner Wawancara % (persen) Ratio

3.2.1. Prevalensi Gangguan Pendengaran

Untuk prevalensi terdapat dua ukuran, yaitu point prevalence (prevalensi sesaat) dan periode prevalence (prevalensi periode).

Point prevalence = Jumlah semua kasus yang dicatat (pada saat waktu tertentu) Jumlah pasien TB paru

3.2.2. Hipotesa

Dari landasan teori diatas dapat diajukan hipotesis: “Ada hubungan antara pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran pada penderita tuberkulosis (TB) paru.


(27)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi observasional yang bersifat analitik untuk melihat hubungan pemakaian obat anti tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran pada penderita tuberkulosis paru di RSUP H. Adam Malik, Medan tahun 2013. Pendekatan yang digunakan pada desain penelitian ini adalah cross sectional, dimana pengukuran variabel-variabelnya dilakukan hanya satu kali, pada waktu observasi (Ghazali et al., 2011).

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di poliklinik paru RSUP H. Adam Malik Medan. Tempat penelitian ini dipilih karena RSUP H. Adam Malik merupakan rumah sakit rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan termasuk untuk kasus TB paru. Pengumpulan data penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2013, kemudian dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1. Populasi Penelitian

Populasi adalah seluruh subjek yang mempunyai karakteristik tertentu (Sastroasmoro, 2011). Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien TB paru yang menggunakan OAT yang berkunjung ke poliklinik paru di RSUP H. Adam Malik Medan. Jumlah populasi penderita TB di poliklinik paru RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2013 belum diketahui secara pasti dan data yang akan diambil adalah pasien yang masih aktif melakukan pengobatan ke poliklinik paru RSUP H. Adam Malik Medan sampai penelitian selesai dilaksanakan kecuali pasien TB yang termasuk TB-MDR (Multidrug resistant tuberculosis). Hal ini dikarenakan oleh pasien yang TB-MDR memiliki resiko yang sangat tinggi untuk menularkan infeksi TB terhadap sekitarnya termasuk terhadap peneliti.


(28)

4.3.2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian (subset) dari populasi yang dipilih dengan cara

tertentu hingga dianggap dapat mewakili populasinya (Sastroasmoro, 2011). Jumlah sampel penelitian ini berjumlah 68 responden. Sampel penelitian ini adalah subjek yang diambil dari populasi penelitian yang memenuhi unsur-unsur kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel penelitian dikumpulkan berdasarkan waktu penelitian yaitu mulai Juli sampai Agustus 2013. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah consecutive sampling. Semua subjek yang ada dan

memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian. Consecutive sampling ini merupakan jenis non-probability sampling yang paling baik dan cara yang termudah (Sastroasmoro, 2011).

4.3.2.1. Kriteria Inklusi

Pasien yang berusia 18-60 tahun

Pasien yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian

 Pasien yang tidak mempunyai keluhan fungsi pendengaran sebelum menggunakan OAT

4.3.2.2. Kriteria Eksklusi

Membran timpani pasien perforasi

 Seluruh pasien yang termasuk dalam kriteria inklusi tetapi tidak mengisi kuesioner dengan lengkap

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner dan pemeriksaan fisik secara langsung kepada pasien. Setiap pasien TB paru yang datang ke poliklinik paru RSUP H. Adam Malik Medan dan sudah selesai melakukan rawat jalan akan ditanyakan kesediaannya mengikuti penelitian ini. Ketika pasien setuju, peneliti memberikan kuesioner yang sudah tersedia dan meminta pasien untuk mengisi semua pertanyaan yang ada didalamnya. Setelah dipastikan bahwa semua pertanyaan diisi, peneliti melakukan pemeriksaan telinga pasien dengan menggunakan lampu kepala untuk


(29)

melihat keadaan membran timpani pasien. Pasien dengan membran timpani yang perforasi tidak diikutsertakan dalam penelitian ini. Lalu dilakukan pemeriksaan fungsi pendengaran dengan menggunakan garpu penala 512 Hz. Hasil yang didapat akan dituliskan dalam kuesioner pasien tersebut.

4.5. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner (daftar pertanyaan), lampu kepala, dan garpu penala 512 Hz.

4.6. Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahap pertama

editing yaitu mengecek nama dan kelengkapan identitas maupun data responden

serta memastikan bahwa semua jawaban telah diisi. Tahap kedua coding yaitu memberikan kode angka tertentu pada kuesioner untuk mempermudah waktu mengadakan tabulasi dan analisis. Tahap ketiga entry yaitu memasukkan data dari kuesioner ke dalam program komputer dengan menggunakan program SPSS. Tahap keempat adalah melakukan cleaning yaitu untuk mengecek kembali data yang telah di-entry untuk mengetahui ada kesalahan atau tidak (Wahyuni, 2008 dalam Bangun, 2012). Mengenai distribusi penderita TB berdasarkan jenis OAT, fungsi pendengaran, keluhan yang berhubungan dengan pendengaran dan

vestibular, serta prevalensi gangguan pendengaran pada penderita TB paru di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2013 dilakukan perhitungan frekuensi dan presentase. Hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. Mengenai hubungan pemakaian OAT dengan gangguan pendengaran dilakukan perhitungan chi-square.


(30)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 dan sesuai dengan SK Menkes No. 502/Menkes/SK/IX/1991, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik juga sebagai Pusat Rujukan wilayah Pembangunan A yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau.

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik terletak di Jalan Bunga Lau No. 17 Km. 12 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Paru bagian infeksi yang berada di lantai dua gedung Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

5.1.2. Deskripsi Data Penelitian

Data penelitian yang digunakan adalah data primer, yaitu data yang

diambil langsung dari pasien TB paru di Poliklinik Paru bagian infeksi Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang berjumlah 68 responden dengan karakteristik sebagai berikut:

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur

Kelompok Umur Frekuensi (n) Persentase (%)

18-27 tahun 23 33.8

28-37 tahun 14 20.6

38-47 tahun 10 14.7

48-57 tahun 17 25.0

58-60 tahun 4 5.9

Total 68 100.0

Berdasarkan Tabel 5.1. didapati bahwa jumlah penderita TB paru pada rentang usia 18-27 tahun sebanyak 23 orang (33,8%) dan pada rentang usia 58-60 tahun sebanyak 4 orang (6,9%)


(31)

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi (n) Persentase (%)

Laki-laki 47 69.1

Perempuan 21 30.9

Total 68 100.0

Berdasarkan tabel 5.2. didapati bahwa jumlah laki-laki yang menderita TB paru adalah 47 orang (69,1%) dan perempuan sebanyak 21 orang (30,9%).

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis OAT yang Digunakan

Jenis OAT Frekuensi (n) Persentase (%)

Oral + injeksi OAT

Isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid, streptomisin

26 38.2

Oral OAT

Isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid

37 54.4

Isoniazid, rifampisin

5 7.4

Total 68 100.0

Berdasarkan Tabel 5.3. didapati bahwa jumlah penderita TB paru yang menggunakan obat oral dan injeksi OAT (isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid, streptomisin) adalah sebanyak 26 orang (38,2%), dan jumlah penderita TB paru yang hanya menggunakan obat oral OAT adalah sebanyak 42


(32)

orang (61,4%) dengan jumlah masing-masing untuk penderita TB paru yang menggunakan obat isoniazid, rifampisin, etambutol, pirazinamid sebanyak 37 orang (54,4%) dan penderita TB paru yang menggunakan obat isoniazid, rifampisin sebanyak 5 orang (7,4%).

Tabel 5.4. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Durasi Penggunaan OAT

Durasi Penggunaan OAT Frekuensi (n) Persentase (%)

0-1 bulan 3 4.4

1-2 bulan 6 8.8

2-3 bulan 8 11.8

3-4 bulan 5 7.4

4-5 bulan 3 4.4

5-6 bulan 8 11.8

>6 bulan 35 51.5

Total 68 100.0

Berdasarkan Tabel 5.4. didapati bahwa jumlah pasien TB paru dengan lama pengobatan >6 bulan sebanyak 35 orang (51,5%) dan paling sedikit dengan lama pengobatan 0-1bulan sebanyak 3 orang (4,4%).

Tabel 5.5. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Fungsi Pendengaran

Fungsi Pendengaran Frekuensi (n) Persentase (%)

Normal 47 69.1

Tuli sensorineural 21 30.9

Total 68 100.0

Berdasarkan Tabel 5.5. didapati bahwa fungsi pendengaran penderita TB paru dalam keadaan normal sebanyak 47 orang (69,1%) dan penderita TB paru yang mengalami tuli sensorinueral sebanyak 21 orang (30,9%).


(33)

Tabel 5.6. Distribusi Penderita TB Paru Berdasarkan Keluhan yang Berhubungan Dengan Pendengaran dan Vestibular

Keluhan Pendengaran dan Vestibular Frekuensi (n) Persentase (%)

Vertigo 3 4.4

Tinnitus 18 26.5

Vertigo dan tinnitus 3 4.4

Vertigo dan gangguan pendengaran 3 4.4

Tinitus dan gangguan pendengaran 8 11.8

Vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran

11 16.2

Tidak ada keluhan 22 32.4

Total 68 100.0

Berdasarkan Tabel 5.6. didapati jumlah penderita TB paru yang memiliki keluhan gangguan pendengaran dan vestibular sebesar 46 orang (67,6%) dengan keluhan yang terbanyak adalah tinnitus sebanyak 18 orang (26,5%) dan tidak ada keluhan sebanyak 22 orang (32,4%).

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Pemakaian OAT dan Gangguan Pendengaran

Hasil Fungsi Pendengaran

Total

Normal Tuli sensorineural

Jenis OAT

OAT Oral N 42 0 42

% 61.8 .0 61.8

OAT

Oral+injeksi

N 5 21 26

% 7.4 30.9 38.2

Total N 47 21 68


(34)

Berdasarkan Tabel 5.7. didapati bahwa dari 42 orang (61,8%) jumlah penderita TB paru yang menggunakan OAT oral, fungsi pendengaran semua orang tersebut (61,8%) dalam batas normal. Sedangkan 26 orang (38,2%) penderita TB paru yang menggunakan OAT oral dan injeksi, ada sebanyak 21 orang (30,9%) yang fungsi pendengarannya dalam keadaan tuli sensorineural.

Tabel 5.8. Hubungan Pemakaian OAT dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita TB Paru Berdasarkan Uji Chi square

Jenis OAT Hasil Fungsi Pendengaran N % p

Tuli sensorineural Normal

n % n %

OAT oral+injeksi

21 30.9 5 7.4 26 38.2

0.000

OAT oral 0 .0 42 61.8 42 61.8

Total 21 30.9 57 69.1 68 100.0

Berdasarkan Tabel 5.8. didapati bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian OAT dengan gangguan pendengaran pada penderita TB paru dengan nilai p = 0.000 (p<0.05).

5.2. Pembahasan

Pada penelitian ini didapatkan penderita TB dengan kelompok umur paling banyak adalah kelompok umur 18-27 tahun sebanyak 23 orang (33,8%). Seperti pada penelitian Sihombing et al. (2012) di RSUP H. Adam Malik Medan, kelompok umur paling banyak adalah kelompok umur 22-24 tahun sebanyak 35 orang (41,18%). Hal ini diasumsikan kelompok usia 18-27 tahun merupakan bagian dari kelompok usia produktif yang mempunyai kecenderungan untuk terpapar dengan lingkungan sekitar lebih besar sehingga kemungkinan terpapar kuman Mycobacterium tuberculosis lebih besar. Depkes (2011) menyatakan


(35)

bahwa sepertiga dari populasi dunia sudah tertular TB dimana sebagian besar penderita TB adalah usia produktif (15-55 tahun).

Penderita TB berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah jenis kelamin laki-laki sebanyak 47 orang (69,1%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Duggal dan Sarkar (2007), jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebesar 60,9% dan juga penelitian oleh Surbakti (2007) dalam Sitepu (2009) di Puskesmas Kabanjahe yang memperoleh hasil tertinggi penderita TB paru berjenis kelamin laki-laki sebesar 67,5%. Hal ini dikarenakan laki-laki memiliki mobilitas lebih tinggi dibanding perempuan sehingga kemungkinan untuk terpapar kuman Mycobacterium tuberkulosis lebih besar. Disamping itu, kemungkinan laki-laki mengonsumsi rokok dan minum minuman beralkohol dapat menurunkan sistem kekebalan tubuhnya sehingga lebih rentan untuk terkena kuman penyebab TB paru.

Jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terbanyak yang digunakan oleh penderita TB di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik-Medan adalah kelompok Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, dan Pirazinamid yaitu sebanyak 37 orang (54,4%). Hal ini disebabkan oleh masih tingginya angka kejadian penyakit TB di Indonesia sehingga kasus baru terus bertambah dan setiap kasus baru harus di terapi dengan isoniazid, rifampisin, etambutol, dan pirazinamid. Insidensi (kasus baru) TB di Indonesia yang dilaporkan oleh WHO dalam Global Report

2011 adalah 450.000 pertahun dengan prevalensi sekitar 690.000 pertahun

(Depkes, 2012).

Jumlah penderita TB paru berdasarkan durasi pengobatan terbanyak berada pada kelompok durasi pengobatan >6 bulan sebanyak 35 orang (51,5%). Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Duggal dan Sarkar (2007) di India yang menyatakan bahwa rata-rata durasi pengobatan berada pada rentang 18-24 bulan. Hal ini dikarenakan oleh waktu pengobatan TB yang cukup panjang yaitu 6-8 bulan. Disamping itu adanya kemungkinan pasien yang putus berobat atau gagal pengobatan sebelumnya yang menyebabkan durasi pengobatan pasien itu menjadi lebih lama.


(36)

Dari 68 penderita TB di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik-Medan, 42 orang (61,8%) penderita TB paru yang menggunakan OAT oral, fungsi pendengaran semua orang tersebut (61,8%) dalam batas normal. Sedangkan sisanya, 26 orang (38,2%) penderita TB paru yang menggunakan OAT oral dan injeksi, ada sebanyak 21 orang (30,9%) yang fungsi pendengarannya dalam keadaan tuli sensorineural. Hal ini sesuai dengan penelitian Katijah et al. (2009) di Johannesburg, Afrika, ditemukan 33% penderita TB yang menggunakan OAT oral dan injeksi mengalami tuli sensorineural. Begitu juga pada penelitian Duggal dan Sarkar (2007) di India, 25% penderita TB yang menggunakan injeksi aminoglikosida menderita tuli sensorineural dimana 18,75% menderita tuli sensorineural frekuensi tinggi dan 6,25% frekuensi rendah. Seperti yang dikemukakan oleh Duggal dan Sarkar (2007), bahwa aminoglikosida menghasilkan radikal bebas di telinga dalam dengan merusak sel sensorik dan neuronnya sehingga menyebabkan gangguan pendengaran yang permanen.

Sebanyak 68 orang penderita TB yang masuk dalam penelitian ini, sebagian besar yaitu 46 orang (67,6%) memiliki keluhan gangguan pendengaran dan vestibular sebagai berikut : didapati jumlah penderita TB paru dengan tinnitus sebanyak 18 orang (26,5%), vertigo, tinitus, dan gangguan pendengaran sebanyak 11 orang (16,2%), tinitus dan gangguan pendengaran sebanyak 8 orang (11,8%), vertigo dan tinitus sebanyak 3 orang (4,4%), vertigo dan gangguan pendengaran sebanyak 3 orang (4,4%), keluhan vertigo sebanyak 3 orang (4,4%). Ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Katijah et al. (2009), ditemukan 63% penderita TB mengeluhkan gangguan pendengaran dan vestibular setelah menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan distribusi keluhan sebagai berikut : gangguan pendengaran 33%, tinitus 20%, dan vertigo 10%. Keluhan tinitus dan vertigo menjadi gejala awal ototoksisitas dan dalam banyak kasus hal ini mendahului terjadi gangguan pendengaran (Catlin, 1981 dalam Katijah et al., 2009). Menurut peneliti, alasan lamanya dan seringnya menggunakan OAT menyebabkan timbulnya keluhan gangguan pendengaran dan vestibular.

Berdasarkan hasil analisis uji Chi square dalam penelitian ini, disimpulkan bahwa pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) berhubungan dengan gangguan


(37)

pendengaran pada penderita TB paru dengan melihat p value pada Fisher’s exact

test yaitu nilai p<0.05 (p=0.000). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Sturdy et al. (2011) di Inggris yang menyatakan bahwa terdapat hubungan pemakaian amikasin (salah satu lini kedua dalam pengobatan TB dan termasuk golongan aminoglikosida seperti streptomisin) dengan ototoksisitas dengan nilai

p=0.02 (p<0.05). Hubungan ini dapat terjadi dengan diketahuinya mekanisme

ototoksisitas aminoglikosida ini yang langsung merusak telinga bagian dalam dengan menghasilkan radikal bebas dan merangsang kematian sel-sel sensori dan neuron lebih dini sehingga mengakibatkan gangguan pendengaran (tuli sensorineural) yang permanen (Duggal dan Sarkar, 2007).


(38)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, maka kesimpulan yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Prevalensi gangguan pendengaran pada penderita tuberkulosis (TB) paru yang mendapatkan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik-Medan adalah sebesar 67,6%. 2. Kelompok usia terbesar penderita TB paru di Rumah Sakit Umum

Pusat Haji Adam Malik Medan adalah kelompok umur 18-27 tahun yaitu sebanyak 23 orang (33,8%).

3. Jenis kelamin penderita TB paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan terbanyak adalah laki-laki sebanyak 47 orang (69,1%) dan sisanya 21 orang (30,9%) adalah perempuan.

4. Jenis OAT terbanyak yang digunakan oleh penderita TB paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan adalah kelompok isoniazid, rifampisin, etambutol, dan pirazinamid yaitu sebanyak 37 orang (54,4%).

5. Dari penelitian ini, ditemukan 35 orang (51,5%) menggunakan OAT dengan durasi penggunaan obat > 6.

6. Gambaran keluhan pendengaran dan vestibular pada penderita TB paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan sebagai berikut: tidak ada keluhan sebanyak 22 orang (32,4%) dan sisanya 46 orang (67,6%) memiliki kelihan pendengaran dan vestibular. Keluhan pendengaran dan vestibular yang terbanyak adalah keluhan tinitus atau telinga berdenging 18 orang (26,5%).

7. Dari data yang diperoleh pada penelitian ini, diketahui bahwa 47 orang (69,1%) fungsi pendengarannya dalam keadaan normal dan 21 orang (30,9%) menderita tuli sensorineural.


(39)

8. Dari 68 penderita TB paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, 42 orang (61,8%) penderita TB paru yang menggunakan OAT oral, fungsi pendengaran semua orang tersebut (61,8%) dalam batas normal. Sedangkan 26 orang (38,2%) penderita TB paru yang menggunakan OAT oral dan injeksi, ada sebanyak 21 orang (30,9%) yang fungsi pendengarannya dalam keadaan tuli sensorineural.

9. Terdapat hubungan yang bermakna antara pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran pada penderita TB paru (p<0.05, p=0.000).

6.2. Saran

1. Untuk masyarakat, khususnya penderita TB yang dalam masa pengobatan agar lebih memperhatikan fungsi pendengarannya dengan mengenali tanda gangguan pendengaran seperti telinga berdenging, pusing berputar, atau penurunan ketajaman pendengaran karena pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini dapat mempengaruhi pendengaran. Penderita TB yang memiliki keluhan tersebut sebaiknya memeriksakan pendengarannya kepada klinisi dan melakukan pemeriksaan audiometri sehingga kejadian gangguan pendengaran dapat dicegah sedini mungkin.

2. Untuk tenaga kesehatan, agar dapat memberikan informasi dan penyuluhan yang benar tentang adanya efek yang ditimbulkan dari pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap pendengaran serta penyuluhan tentang hasil pemeriksaan pendengaran mereka (seperti hasil audiogram), sehingga penderita TB lebih termotivasi untuk memperhatikan kesehatan pendengarannya.

3. Untuk Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan, kiranya bisa diterapkan pemeriksaan telinga secara berkala pada setiap pasien TB paru yang menggunakan OAT agar jangan penyakit tuberkulosisnya saja yang sembuh, tetapi efek samping dari pengobatan tersebut pada telinga bisa dicegah sehingga kualitas hidup penderita TB tersebut bisa tetap maksimal.


(40)

4. Penelitian ini masih sangat sederhana, dimana jumlah sampel masih sedikit, alat pemeriksaan sangat sederhana yang hanya dapat menentukan jenis ketulian tanpa mengetahui derajat penurunan ketajaman pendengaran, serta cakupan lokasi yang kurang luas. Untuk itu diperlukan pemeriksaan yang lebih lanjut dengan sampel dan cakupan lokasi penelitian yang lebih besar serta pemeriksaan menggunakan alat yang lebih canggih agar didapatkan hasil yang lebih tepat dalam menggambarkan hubungan pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan gangguan pendengaran.


(41)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru

2.1.1. Definisi

Tuberkulosis paru adalah penyakit radang parenkim paru karena infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis (Djojodibroto, 2009). Basil ini berbentuk batang, bersifat aerob, mudah mati pada air mendidih, dan mudah mati apabila terkena sinar ultraviolet. Basil tuberkulosis tahan hidup berbulan-bulan pada suhu kamar dan dalam ruangan yang lembab (Alsagaff dan Mukty, 2010). Kuman ini dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang

mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak yang tinggi pada membrana selnya sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap asam (Rab, 2010).

2.1.2. Epidemiologi

WHO menyatakan bahwa TB saat ini telah menjadi ancaman global. Diperkirakan 1.9 milyar manusia atau sepertiga penduduk dunia terinfeksi penyakit ini. Setiap tahun terjadi sekitar sembilan juta penderita baru TB dengan kematian sebesar tiga juta orang. Di negara berkembang kematian mencakup 25% dari keseluruhan kasus (Ratnasari, 2012). Sepanjang tahun 2010, sebanyak 73.8% penderita TB paru BTA (+) di Sumatera Utara. Berdasarkan survey, dari jumlah tersebut, kota Medan merupakan yang terbesar jumlah penderitanya. Data yang dilaporkan melalui Penanggulangan dan Pemberantasan Penyakit (P2P)

mengatakan, sebanyak 15.614 orang positif Tuberculosis (TB) paru BTA (+) di Sumatera Utara. Sedangkan estimasi berjumlah 21.148 orang (Widyastuti, 2011).

2.1.3. Patogenesis dan Patologi

Penyakit tuberkulosis ditularkan melalui udara secara langsung dari penderita TB kepada orang lain. Droplet yang mengandung basil TB yang dihasilkan dari batuk dapat melayang di udara hingga kurang lebih dua jam tergantung pada kualitas ventilasi ruangan. Jika droplet tadi terhirup oleh orang


(42)

lain yang sehat, droplet tersebut akan terdampar pada dinding sistem pernafasan. Pada tempat terdamparnya, basil tuberkulosis akan membentuk suatu fokus primer berupa tempat pembiakan basil tuberkulosis tersebut dan tubuh penderita akan memberikan reaksi inflamasi (Djojodibroto, 2009).

Didalam alveoli yang kemasukan kuman terjadi penghancuran (lisis) bakteri yang dilakukan oleh makrofag dan dengan terdapatnya sel langhans, yakni makrofag yang mempunyai inti di perifer, maka mulailah terjadi pembentukan granulasi. Keadaan ini disertai pula dengan fibrosis dan kalsifikasi yang terjadi di lobus bawah paru. Proses infeksi yang terjadi di lobus bawah paru yang disertai dengan pembesaran dari kelenjar limfe yang terdapat di hilus disebut dengan kompleks Ghon yang sebenarnya merupakan permulaan infeksi yang terjadi di alveoli atau di kelenjar limfe hilus. Kuman tuberkulosis akan mengalami penyebaran secara hematogen ke apeks paru yang kaya dengan oksigen dan kemudian berdiam diri (dorman) untuk menunggu reaksi yang lebih lanjut (Rab, 2010).

2.1.4. Gejala Klinis

Menurut Rab (2010), tanda-tanda klinis yang tampak dari penyakit tuberkulosis adalah terdapatnya keluhan berupa:

 Batuk

 Sputum mukoid atau purulen  Nyeri dada

 Hemoptisis

 Demam dan berkeringat, terutama pada malam hari  Berat badan berkurang

 Anoreksia  Malaise

 Ronki basah di apeks paru

 Wheezing (mengi) yang terlokalisir

Perjalanan penyakit dan gejalanya bervariasi tergantung pada umur dan keadaan penderita saat terinfeksi. Gejala umum berupa demam dan malaise.


(43)

Demam dapat mencapai 40o-41oC dan bersifat hilang timbul. Malaise yang terjadi dalam jangka waktu panjang berupa pegal-pegal, rasa lelah, anoreksia, nafsu makan berkurang, serta penurunan berat badan. Gejala respiratorik berupa batuk kering maupun batuk produktif. Batuk ini sering bersifat persisten karena

perkembangan penyakitnya lambat. Gejala sesak napas timbul jika terjadi pembesaran nodus limfa pada hilus yang menekan bronkus, atau terjadi efusi pleura, ekstensi radang parenkim atau miliar (Djojodibroto, 2009).

2.1.5. Diagnosis

Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu

sewaktu - pagi - sewaktu (SPS). Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan

dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama (Menkes RI, 2009).

Menurut Kowalak (2011), diagnosis juga dapat ditegakkan melalui:

1. Foto rontgen toraks memperlihatkan lesi nodular, bercak-bercak infiltrat (terutama pada lobus atas paru), pembentukan kavitas, jaringan parut, dan timbunan kalsium.

2. Tes kulit tuberkulin mengungkapkan infeksi hingga taraf tertentu tetapi tidak menunjukkan aktivitas penyakit.

3. Sediaan apus dengan pewarnaan dan pemeriksaan kultur pada sputum, cairan serebrospinal, cairan drainase dari abses atau cairan pleura memperlihatkan bakteri basil tahan asam yang sensitif-panas, tidak bergerak, dan bersifat aerob.

4. CT scan atau MRI memungkinkan evaluasi kerusakan pada paru dan

dapat memastikan diagnosis yang sulit ditegakkan.

5. Bronkoskopi memperlihatkan inflamasi dan perubahan pada jaringan paru. Pemeriksaan ini dapat pula dilakukan untuk mendapatkan sputum jika pasien tidak dapat mengeluarkan spesimen sputum dalam jumlah cukup.


(44)

2.1.6. Pengobatan Tuberkulosis

Ada dua prinsip pengobatan tuberkulosis, yaitu: a) paling sedikit menggunakan dua obat, dan b) pengobatan harus berlangsung setidaknya 3-6 bulan setelah sputum negatif untuk tujuan sterilisasi lesi dan mencegah kambuh. Kini semua pasien tuberkulosis diobati dalam jangka pendek, antara 6-8 bulan (Zubaidi, 2007). Menurut Menkes RI (2009), paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di Indonesia:

o Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3

o Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3 Paduan OAT dan peruntukannya:

1. Kategori-1

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: • Pasien baru TB paru BTA positif

• Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif • Pasien TB ekstra paru

2. Kategori-2

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:

• Pasien kambuh • Pasien gagal

• Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

2.2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas dua kelompok yaitu kelompok obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer, yaitu isoniazid, rifampisin, etambutol, streptomisin dan pirazinamid, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa digunakan obat lain yang kurang efektif karena pertimbangan resistensi atau kontraindikasi pada penderita. OAT sekunder adalah etionamid,

paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin, dan kanamisin (Zubaidi, 2007).


(45)

Isoniazid dan rifampisin merupakan dua obat yang paling aktif. Kombinasi isoniazid-rifampisin yang diberikan selama sembilan bulan akan menyembuhkan 95-98% kasus tuberkulosis. Penambahan pirazinamid pada kombinasi isoniazid-rifampisin selama 2 bulan pertama membuat durasi total terapi dapat dipersingkat hingga enam bulan tanpa terjadinya penurunan efektivitas. Baik etambutol

maupun streptomisin tidak menambah aktivitas regimen secara keseluruhan (artinya, durasi terapi tidak dapat dikurangi meskipun salah satu dari kedua obat tersebut digunakan), tetapi obat tersebut memberikan perlindungan tambahan jika isolat mikobakterium terbukti resisten terhadap isoniazid, rifampin, atau keduanya (Chambers, 2010).

Tabel 2.2. Antimikroba yang digunakan dalam terapi tuberkulosis (Chambers, 2010).

Obat Dosis biasa pada dewasa1

Agen lini-pertama

Isoniazid 300 mg/hari

Rifampisin 600 mg/hari

Pirazinamid 25 mg/kg/hari

Etambutol 15-25 mg/kg/hari

Streptomisin 15 mg/kg/hari

Agen lini-kedua

Amikasin 15 mg/kg/hari

Paraaminosalisilat 8-12 g/hari

Kapreomisin 15 mg/kg/hari

Etionamid 500-750 mg/hari

Sikloserin 500-1000 mg/hari, terbagi

1fungsi ginjal dianggap normal.


(46)

Streptomisin in vitro bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Obat ini dapat mencapai kavitas (Zubaidi, 2007), melintasi sawar darah otak dan mencapai kadar terapeutik bila meningens meradang. Penetrasi streptomisin ke dalam sel buruk, dan obat ini aktif terutama pada basil tuberkel ekstrasel (Chambers, 2010).

Resistensi terjadi akibat mutasi titik pada gen rpsL yang mengode gen protein ribosomal S12 atau gen rss yang mengode rRNA ribosomal 16S, yang mengubah lokasi pengikatan ribosomal (Chambers, 2010). Penggunaan streptomisin bersama anti tuberkulosis lain menghambat terjadinya resistensi (Zubaidi, 2007).

Setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada dalam plasma. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira-kira sepertiga streptomisin yang berada didalam plasma terikat protein plasma. Streptomisin diekskresikan melalui filtrasi glomerulus. Kira-kira 50-60% dosis streptomisin yang diberikan secara parenteral diekskresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Masa paruh obat ini pada orang dewasa normal antara 2-3 jam, dan dapat sangat memanjang pada gagal ginjal (Zubaidi, 2007).

Mati rasa dan kesemutan di sekitar mulut terjadi segera setelah injeksi. Reaksi hipersensitivitas kulit dapat terjadi (WHO, 2009). Streptomisin bersifat neurotoksik pada saraf kranialis ke VIII, bila diberikan dalam dosis besar dan jangka lama (Zubaidi, 2007). Vertigo dan tuli merupakan efek samping yang paling sering terjadi dan dapat bersifat permanen (Chambers, 2010). Ototoksisitas dan nefrotoksisitas dihubungkan dengan pemberian obat ini, terjadi lebih sering pada pasien usia lanjut. Gangguan vestibular lebih sering terjadi dibandingkan dengan kerusakan auditori (Hershfield, 1999). Streptomisin tidak boleh diberikan pada masa kehamilan karena dapat menembus sawar plasenta dan menyebabkan gangguan saraf auditorius dan nefrotoksisitas pada bayi (WHO, 2009).


(47)

Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang tumbuh aktif.

Mikroorganisme yang sedang “istirahat” mulai lagi dengan pembelahan biasa bila

kontaknya dengan obat dihentikan. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan mudah. Isoniazid kadar rendah mencegah perpanjangan rantai asam lemak yang sangat panjang yang merupakan bentuk awal asam mikolat. Isoniazid

menghilangkan sifat tahan asam dan menurunkan jumlah lemak yang terekstraksi oleh metanol dari mikobakterium (Zubaidi, 2007). Isoniazid larut dengan bebas dalam air. Isoniazid dapat mempenetrasi makrofag sehingga aktif terhadap organisme intrasel dan ekstrasel. Isonizid menghambat sintesis asam mikolat, yang merupakan komponen penting dalam dinding sel mikobakterium. Isoniazid merupakan prekursor obat yang diaktifkan oleh KatG, suatu katalase-peroksidase milik mikobakterium. Bentuk aktif isoniazid membentuk kompleks kovalen dengan protein pembawa beta keto-asil (AcpM) dan KasA, suatu sintetase protein pembawa beta-ketoasetil, yang menyekat sintesis asam mikolat dan membunuh sel (Chambers, 2010).

Resistensi terhadap isoniazid disebabkan mutasi yang mengakibatkan ekspresi berlebihan inhA, yang mengode reduktase untuk protein pembawa asil yang dependen-NADH; mutasi atau delesi gen katG; mutasi promotor yang menyebabkan ekspresi berlebih ahpC, suatu gen virulens putatif yang terlibat dalam perlindungan sel mikobakterium terhadap stres oksidatif; dan mutasi kasA (Chambers, 2010).

Isoniazid mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Kadar puncak dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral. Isoniazid mudah berdifusi ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Obat terdapat dengan kadar yang cukup dalam cairan pleura dan cairan asites. Kadar dalam cairan serebrospinal kira-kira 20% kadar cairan plasma. Kadar obat ini pada mulanya lebih tinggi dalam plasma dan otot daripada dalam jaringan yang terinfeksi, tetapi kemudian obat tertinggal lama di jaringan yang terinfeksi dalam jumlah yang lebih dari cukup sebagai bakteriostatik. Antara 75-95% isoniazid diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam


(48)

nikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresi dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali berupa N-metil isoniazid (Zubaidi, 2007).

Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadinya lupus eritematous sistemis yang dipicu oleh obat (Chambers, 2010). Isoniazid dapat mencetuskan terjadinya kejang pada pasien dengan riwayat kejang. Neuritis optik juga dapat terjadi. Kelainan mental dapat juga terjadi selama menggunakan obat ini di antaranya euforia, kurangnya daya ingat sementara, hilangnya pengendalian diri, dan psikosis. Efek samping lain yang terjadi ialah mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati, methemoglobinemia, tinitus, dan retensi urin (Zubaidi, 2007). Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin. Berbagai reaksi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna (Chambers, 2010).

2.2.3. Rifampisin

Rifampisin menghambat pertumbuhan kuman positif dan gram-negatif (Zubaidi, 2007). Rifampisin adalah bahan ampuh untuk melawan secara aktif pembelahan mikroorganisme intraseluler dan ekstraseluler dan memiliki aktivitas melawan basil semi dormant. Obat ini bekerja terutama dengan menghambat DNA-dependentRNApolimerase, menghalangi transkripsi RNA (Hershfield, 1999).

Rifampisin dapat larut dalam lemak. Dengan pemberian oral, rifampisin dapat diserap dengan cepat dan didistribusikan melalui jaringan dan cairan tubuh. Dosis tunggal 600 mg menghasilkan konsentrasi serum puncak sekitar 10 mcg / ml dalam 2-4 jam, yang kemudian meluruh dengan waktu paruh 2-3 jam (WHO, 2009). Obat ini cepat mengalami deasetilasi, sehingga dalam waktu 6 jam hampir semua obat yang berada dalam empedu berbentuk deasetil rifampisin, yang mempunyai aktivitas bakteri penuh. Rifampisin menyebabkan induksi metabolisme, sehingga walaupun bioavailabilitasnya tinggi, eliminasinya


(49)

plasma. Obat ini berdifusi baik ke berbagai jaringan termasuk ke cairan otak. Eksresi melalui urin mencapai 30%, setengahnya merupakan rifampisin utuh sehingga gangguan fungsi ginjal tidak memerlukan penyesuaian dosis. Obat ini juga dibuang lewat ASI (Zubaidi, 2007).

Rifampisin jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Dengan dosis biasa, kurang dari 4% penderita tuberkulosis mengalami efek toksik. Yang paling sering adalah ruam kulit, demam, mual, dan muntah. Berbagai keluhan yang berhubungan dengan sistem saraf seperti rasa lelah, mengantuk, sakit kepala, pening, ataksia, bingung, sukar berkonsentrasi, sakit pada tangan dan kaki, dan melemahnya otot dapat juga terjadi (Zubaidi, 2007). Pemantauan klinis (dan tes fungsi hati, jika mungkin) harus dilakukan selama perawatan semua pasien dengan penyakit hati yang sudah ada, yang akan meningkatkan risiko kerusakan hati (WHO, 2009). Rifampisin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air mata, dan lensa kontak. Efek samping yang sesekali muncul meliputi ruam, trombositopenia, dan nefritis (Chambers, 2010).

2.2.4. Etambutol

Obat ini tetap menekan pertumbuhan kuman tuberkulosis yang telah resisten terhadap isoniazid dan streptomisin. Kerjanya menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat dan sel mati (Zubaidi, 2007). Etambutol menghambat arabinosil transferase mikobakterium, yang dikode oleh operon embCAB. Arabinosil transferase terlibat dalam reaksi polimerasi

arabinoglikan, suatu komponen esensial dinding sel mikobakterium (Chambers, 2010).

Pada pemberian oral sekitar 75-80% etambutol tetap diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dalam waktu 2-4 jam setelah

pemberian sebanyak 25 mg / kg. Masa paruh eliminasinya 3-4 jam. Kadar etambutol dalam eritrosit 1-2 kali kadar dalam plasma. Oleh karena itu eritrosit dapat berperan sebagai depot etambutol yang kemudian melepaskannya sedikit demi sedikit ke dalam plasma. Dalam waktu 24 jam, 50% etambutol yang diberikan diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, 10% sebagai metabolit,


(50)

berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Bersihan ginjal untuk etambutol kira-kira 8.6 ml / menit / kg menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi glomerulus juga disekresi melalui tubuli (Zubaidi, 2007). Etambutol melintasi sawar darah otak hanya jika meningens mengalami radang. Seperti semua OAT, resistensi terhadap etambutol segera timbul jika obat ini digunakan secara tunggal. Oleh sebab itu, etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan OAT lain (Chambers, 2010).

Dosis harian sebesar 15 mg / kgBB menimbulkan efek toksik yang minimal. Pada dosis ini kurang dari 2% penderita akan mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam. Efek samping lain ialah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit kepala, bingung, disorientasi dan mungkin juga halusinasi. Reaksi kaku dan kesemutan di jari sering terjadi. Efek samping yang paling penting adalah gangguan

penglihatan, biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya tajam penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna,

mengecilnya lapangan pandang, dan skotoma sentral maupun lateral. Terapi dengan etambutol menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50% penderita. Hal ini disebabkan oleh penurunan ekskresi asam urat melalui ginjal (Zubaidi, 2007).

2.2.5. Pirazinamid

Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik (Zubaidi, 2007), yang dikode oleh pncA. Obat ini tidak aktif pada pH netral, tetapi pada pH 5,5 obat ini menghambat basil tuberkel dan beberapa mikobakterium lain pada kadar sekitar 20 mcg/ml. Pirazinamid diambil oleh makrofag dan memunculkan aktivitasnya terhadap mikobakterium yang tinggal dalam lingkungan lisosom yang bersifat asam. Resistensi dapat disebabkan oleh gangguan ambilan ambilan pirazinamid atau mutasi pada pncA yang mengganggu konversi pirazinamid menjadi bentuk aktifnya (Chambers, 2010).


(51)

Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis 1 gram menghasilkan kadar plasma sekitar 45 mcg/ml pada dua jam setelah pemberian obat. Ekskresinya terutama melalui filtrasi glomerulus. Asam

pirazinoat yang aktif kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam

hidropirazinoat yang merupakan metabolit utama. Masa paruh eliminasi obat ini antara 10-16 jam (Zubaidi, 2007). Pirazinamid merupakan obat lini-pertama penting yang digunakan bersama dengan isoniazid dan rifampin pada regimen jangka pendek (yakni, 6 bulan) sebagai agen “sterilisasi” yang aktif terhadap organisme intrasel residual yang dapat menimbulkan relaps (Chambers, 2010).

Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita), mual, muntah, demam karena obat, dan hiperurisemia (Chambers, 2010).

2.2.6. Etionamid

Etinonamid secara kimiawi terkait dengan isoniazid dan juga menyekat sintesis asam mikolat. Etionamid sulit larut dalam air dan hanya tersedia dalam bentuk oral. Obat ini dimetabolisme di hati. Meskipun secara teoritis bermanfaat, dosis sebesar 1 g / hari ditoleransi dengan buruk karena sering menimbulkan iritasi lambung yang hebat dan gejala neurologis. Etionamid juga bersifat hepatotoksik (Chambers, 2010). Etionamid sering menyebabkan efek samping pada gastrointestinal, seperti nyeri perut, mual, muntah dan anoreksia (Hershfield, 1999). Sering juga terjadi hipotensi postural yang hebat, depresi mental,

mengantuk, dan astenia. Efek samping lain pada sistem saraf mencakup gangguan pada saraf olfaktorius, penglihatan kabur, diplopia, vertigo, parastesia, sakit kepala, rasa lelah, dan tremor (Zubaidi, 2007).

2.2.7. Paraaminosalisilat

Asam aminosalisilat adalah antagonis sintesis folat yang hampir hanya aktif terhadap M. tuberculosis. Asam amiosalisilat cepat diserap dari saluran


(52)

cerna. Obat ini didistribusi secara luas dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh kecuali cairan serebrospinal. Asam aminosalisilat cepat diekskresi dalam urin, sebagian dalam bentuk asam aminosalisilat aktif dan sebagian lagi dalam bentuk senyawa terasetilasi dan produk metabolik lainnya. Kadar asam aminosalisilat yang sangat tinggi dicapai dalam urin, yang dapat menimbulkan kristaluria (Chambers, 2010).

2.2.8. Sikloserin

Sikloserin merupakan penghambat dinding sel (Chambers, 2010). Sikloserin sering menyebabkan gangguan neurologis dan psikiatri, mencakup sakit kepala, kantuk, bingung, kejang dan psikosis. Gangguan ginjal menurunkan ekskresi obat (Hershfield, 1999). Efek samping yang paling sering timbul dalam penggunaan sikloserin ialah pada SSP dan biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama pengobatan. Gejalanya ialah somnolen, sakit kepala, tremor, disartria, vertigo, gangguan tingkah laku, paresis, serangan psikosis akut, dan konvulsi. Obat ini hanya digunakan pada kegagalan terapi dengan obat primer atau bila kumannya resisten terhadap obat-obat itu. Penggunannya harus bersama dengan obat lain yang efektif (Zubaidi, 2007).

2.2.9. Amikasin dan Kanamisin

Obat ini termasuk golongan aminoglikosida dan bersifat bakterisid dengan menghambat sintesis protein mikroba. Efeknya pada M. tuberkulosis hanyalah bersifat supresif. Pada pemberian IM obat ini diserap dengan cepat dan sempurna. Metabolismenya dapat diabaikan, ekskresinya melalui ginjal kira-kira 90% dan dalam bentuk utuh. Masa paruh eliminasi obat ini sekitar 2 jam. Kanamisin dapat menyebabkan gangguan pendengaran yang dihubungkan dengan hilangnya fungsi labirin. Kanamisin juga mempunyai efek nefrotoksik sedang (Zubaidi, 2007). Kanamisin telah digunakan dalam terapi tuberkulosis yang disebabkan oleh galur resisten-streptomisin. Efek toksik ginjal biasanya terjadi kadang-kadang, dimana efek toksik auditori lebih sering terjadi. Pemeriksaan reguler terhadap


(53)

2.2.10. Kapreomisin

Kapreomisin adalah antibiotik injeksi poliptida dan mekanisme belum diketahui (Chambers, 2010). Obat ini terutama digunakan untuk infeksi paru oleh

M. tuberculosis yang resisten terhadap antituberkulosis primer. Kapreomisin

kurang toksik dan efek bakteriostatiknya lebih besar. Kapreomisin juga merusak saraf otak VIII, oleh karena itu perlu dilakukan audiometri dan pemeriksaan fungsi vestibuler sebelum mulai pemberian obatnya. Efek samping lain adalah hipokalemia, memburuknya fungsi hati, eosinofilia, leukositosis dan leukopenia, serta trombositopenia (Zubaidi, 2007).

2.3. Fisiologi Pendengaran

Telinga terdiri dari tiga bagian: telinga luar, tengah, dan dalam. Bagian luar dan tengah telinga menyalurkan gelombang suara dari udara ke telinga dalam yang berisi cairan untuk memperkuat energi suara dalam proses tersebut. Telinga dalam berisi dua sistem sensorik yang berbeda: koklea, yang mengandung

reseptor-reseptor untuk mengubah gelombang suara menjadi impuls-impuls saraf, sehingga kita dapat mendengar; dan aparatus vestibularis, yang penting untuk sensasi keseimbangan (Sherwood, 2001).

Telinga luar terdiri dari pinna (bagian daun telinga, auricula), meatus

auditorius eksternus (saluran telinga), dan membrana timpani (gendang telinga)

(Sherwood, 2001). Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit (Soetirto et al., 2007), mengumpulkan gelombang suara dan menyalurkannya ke saluran telinga luar. Karena bentuknya, daun telinga secara parsial menahan gelombang suara yang mendekati telinga dari arah belakang dan, dengan

demikian, membantu seseorang membedakan apakah suara datang dari arah depan atau belakang. Korteks pendengaran mengintegrasikan semua petunjuk tersebut untuk menentukan lokasi sumber suara (Sherwood, 2001).

Menurut Sherwood (2001), pintu masuk ke kanalis telinga (saluran telinga) dijaga oleh rambut-rambut halus. Kulit yang melapisi saluran telinga mengandung kelenjar-kelenjar keringat termodifikasi yang menghasilkan serumen (kotoran


(54)

telinga), suatu sekresi lengket yang menangkap partikel-partikel asing yang halus. Membrana timpani, yang teregang sewaktu menutupi pintu masuk ke telinga tengah, bergetar sewaktu terkena gelombang suara. Daerah-daerah gelombang suara yang bertekanan tinggi dan rendah berselang-seling menyebabkan gendang telinga yang sangat peka tersebut menekuk keluar-masuk seirama dengan

frekuensi gelombang suara. Tekanan udara istirahat di kedua sisi membrana timpani harus setara agar membrana dapat bergerak bebas sewaktu gelombang suara mengenainya. Bagian luar gendang telinga terpajan ke tekanan atmosfer yang mencapainya melalui saluran telinga. Bagian dalam gendang telinga yang berhadapan dengan rongga telinga tengah juga terpajan ke tekanan atmosfer melalui tuba Eustachius (auditoria), yang menghubungkan telinga tengah ke faring (bagian belakang tenggorokan).

Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang ke koklea (Soetirto et al., 2007). Telinga tengah memindahkan gerakan bergetar membran timpani ke cairan di telinga dalam. Pemindahan ini dipermudah oleh adanya rantai yang terdiri dari tiga tulang yang dapat bergerak atau osikula (maleus, inkus, dan stapes), yang berjalan melintasi telinga tengah. Tulang pertama, maleus, melekat ke membran timpani, dan tulang terakhir, stapes, melekat ke jendela oval, pintu masuk ke koklea yang berisi cairan. Ketika membran timpani bergetar sebagai respon terhadap gelombang suara, rantai tulang-tulang tersebut juga bergerak dengan frekuensi sama, memindahkan frekuensi gerakan tersebut dari membran timpani ke jendela oval. Namun, seperti dinyatakan sebelumnya, diperlukan tekanan yang lebih besar untuk menggerakkan cairan. Terdapat dua mekanisme yang berkaitan dengan sistem osikuler yang memperkuat tekanan gelombang suara dari udara untuk menggetarkan cairan di koklea. Pertama, karena luas permukaan membran timpani jauh lebih besar daripada luas permukaan jendela oval, terjadi peningkatan tekanan ketika gaya yang bekerja di membrana timpani disalurkan ke jendela oval (tekanan = gaya/satuan luas). Kedua, efek pengungkit tulang-tulang pendengaran


(55)

bersama-sama meningkatkan gaya yang timbul pada jendela oval sebesar dua puluh kali lipat dari gelombang suara yang langsung mengenai jendela oval. Tekanan ini cukup untuk menyebabkan pergerakan cairan koklea.

Bagian koklearis telinga dalam yang berbentuk seperti siput adalah suatu sistem tubulus bergelung yang terletak di dalam tulang temporalis. Di seluruh panjangnya, koklea dibagi menjadi tiga kompartemen longitudinal yang berisi cairan. Duktus koklearis yang buntu, yang juga dikenal sebagai skala media, membentuk kompartemen tengah. Saluran ini berjalan di sepanjang bagian tengah koklea, hampir mencapai ujungnya. Kompartemen atas, yakni skala vestibuli mengikuti kontur bagian dalam spiral, dan skala timpani, kompartemen bawah, mengikuti kontur luar spiral. Cairan di dalam duktus koklearis disebut endolimfe. Skala vestibuli dan skala timpani keduanya mengandung cairan yang sedikit berbeda, yaitu perilimfe. Daerah di luar ujung duktus koklearis tempat cairan di kompartemen atas dan bawah berhubungan disebut helikotrema. Skala vestibuli disekat dari rongga telinga tengah oleh jendela oval, tempat lekatnya stapes. Lubang kecil berlapis membran lainnya, yakni jendela bundar, menyekat skala timpani dari telinga tengah. Membran vestibularis yang tipis memisahkan duktus koklearis dari skala vestibuli. Membran basilaris membentuk lantai duktus koklearis, memisahkannya dari skala timpani. Membran basilaris sangat penting karena mengandung organ Corti, organ untuk indra pendengaran.

Organ Corti, yang terletak di atas membran basilaris, diseluruh panjangnya mengandung sel-sel rambut, yang merupakan reseptor untuk suara. Sel-sel rambut menghasilkan sinyal listrik jika rambut di permukaannya secara mekanis

mengalami perubahan bentuk berkaitan dengan gerakan cairan didalam telinga. Rambut-rambut ini secara mekanis terbenam didalam membrana tektorial, suatu tonjolan mirip tenda-rumah yang menggantung di atas.

Gerakan stapes yang menyerupai piston terhadap jendela oval

menyebabkan timbulnya gelombang tekanan di kompartemen atas. Karena cairan tidak dapat ditekan, menyebabkan jendela oval menonjol ke dalam: (1) perubahan posisi jendela bundar dan (2) defleksi membran basilaris. Pada jalur pertama, gelombang tekanan mendorong perilimfe ke depan di kompartemen atas,


(56)

kemudaian mengelilingi helikotrema, dan ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar ke dalam rongga telinga tengah untuk mengompensasi peningkatan tekanan. Ketika stapes bergerak mundur dan menarik jendela oval ke luar ke arah telinga tengah, perilimfe mengalir dalam arah berlawanan, mengubah posisi jendela bundar ke arah dalam. Jalur ini tidak menyebabkan timbulnya persepsi suara; tetapi hanya menghamburkan tekanan.

Gelombang tekanan di kompartemen atas dipindahkan melalui membran vestibularis yang tipis, ke dalam duktus koklearis, dan kemudian melalui

membran basilaris ke kompartemen bawah, tempat gelombang tersebut menyebabkan jendela bundar menonjol ke luar-masuk bergantian. Perbedaan utama pada jalur ini adalah bahwa transmisi gelombang tekanan melalui membran basilaris menyebabkan membran ini bergerak ke atas dan ke bawah, bergetar, secara sinkron dengan gelombang tekanan. Karena organ Corti menumpang pada membran basilaris, sel-sel rambut juga bergerak naik turun sewaktu membran basilaris bergetar. Karena rambut-rambut dari sel reseptor terbenam di dalam membran tektorial. Perubahan bentuk mekanis rambut yang maju-mundur ini menyebabkan saluran-saluran rambut terbuka dan tertutup secara bergantian. Hal ini menyebabkan perubahan potensial depolarisasi dan hiperpolarisasi yang bergantian—potensial reseptor—dengan frekuensi yang sama dengan rangsangan suara semula.

Sel-sel rambut adalah sel reseptor khusus yang berkomunikasi melalui sinaps kimiawi dengan jung-ujung serat saraf aferen yang membentuk saraf auditorius (koklearis). Depolarisasi sel-sel rambut (sewaktu membrana basilaris bergeser ke atas) meningkatkan kecepatan pengeluaran zat perantara mereka, yang menaikkan kecepatan potensial aksi di serat-serat aferen. Sebaliknya, kecepatan pembentukan potensial aksi berkurang ketika sel-sel rambut mengeluarkan sedikit zat perantara karena mengalami hiperpolarisasi (sewaktu membran basilaris bergerak ke bawah).

Perubahan bentuk mekanis rambut-rambut tersebut menyebabkan pembukaan dan penutupan (secara bergantian) saluran di sel reseptor, yang


(57)

menimbulkan perubahan potensial berjenjang di reseptor, sehingga

mengakibatkan perubahan kecepatan pembentukan potensial aksi yang merambat ke otak. Dengan cara ini, gelombang suara diterjemahkan menjadi sinyal saraf yang dapat dipersepsikan oleh otak sebagai sensasi suara.

2.4. Fisiologi Keseimbangan

Menurut Sherwood (2001), selain perannya dalam pendengaran yang bergantung pada koklea, telinga dalam memiliki komponen khusus lain, yakni aparatus vestibularis, yang memberikan informasi yang penting untuk sensasi keseimbangan dan untuk koordinasi gerakan kepala dengan gerakan-gerakan mata dan postur tubuh. Aparatus vestibularis terdiri dari dua set struktur yang terletak di dalam tulang temporalis di dekat koklea—kanalis semisirkularis

dan organ otolit, yaitu utrikulus dan sakulus.

Aparatus vestibularis mendeteksi perubahan posisi dan gerakan kepala. Seperti di koklea, semua komponen aparatus vestibularis mengandung endolimfe dan dikelilingi oleh perilimfe. Juga, serupa dengan organ Corti, komponen vestibular masing-masing mengandung sel-sel rambut yang berespon terhadap perubahan bentuk mekanis yang dicetuskan oleh gerakan-gerakan spesifik endolimfe. Seperti sel-sel rambut auditorius, reseptor vestibularis juga dapat mengalami depolarisasi atau hiperpolarisasi, bergantung pada arah gerakan cairan.

Kanalis semisirkularis mendeteksi akselerasi atau deselerasi anguler atau rotasi kepala. Tiap-tiap telinga memiliki tiga kanalis semisirkularis yang secara tiga dimensi tersusun dalam bidang-bidang yang tegak lurus satu sama lain. Sel-sel reseptif di setiap kanalis semisirkularis terletak diatas suatu bubungan (ridge) yang terletak di ampula. Rambut-rambut terbenam dalam suatu lapisan gelatinosa, yaitu kupula, yang menonjol ke dalam endolmfe didalam ampula. Kupula

bergoyang sesuai arah gerakan cairan.

Akselerasi (percepatan) atau deselerasi (perlambatan) selama rotasi kepala ke segala arah menyebabkan pergerakan endolimfe. Ketika kepala mulai bergerak, saluran tulang dan bubungan sel rambut yang terbenam dalam kupula bergerak mengikuti gerakan kepala. Namun, cairan di dalam kanalis, yang tidak melekat ke


(58)

tengkorak, mula-mula tidak ikut bergerak sesuai arah rotasi, tetapi tertinggal di belakang karena adanya inersia (kelembaman). Ketika endolimfe tertinggal saat kepala mulai berputar, endolimfe yang terletak sebidang dengan gerakan kepala pada dasarnya bergeser dengan arah yang berlawanan dengan arah gerakan kepala. Gerakan cairan ini menyebabkan kupula condong ke arah yang berlawanan dengan arah gerakan kepala, membengkokkan rambut-rambut

sensorik yang terbenam didalamnya. Apabila gerakan kepala berlanjut dalam arah dan kecepatan yang sama, endolimfe akan menyusul dan bergerak bersama dengan kepala, sehingga rambut-rambut kembali ke posisi tegak mereka. Ketika kepala melambat dan berhenti, keadaan yang sebaliknya terjadi. Endolimfe secara singkat melanjutkan diri bergerak searah dengan rotasi kepala sementara kepala melambat untuk berhenti. Akibatnya, kupula dan rambut-rambutnya secara sementara membengkok sesuai dengan arah rotasi semula, yaitu berlawanan dengan arah membengkok ketika akselerasi. Pada saat endolimfe secara bertahap berhenti, rambut-rambut kembali tegak. Dengan demikian, kanalis semisirkularis mendeteksi perubahan kecepatan gerakan rotasi kepala. Kanalis tidak berespon jika kepala tidak bergerak.

Rambut-rambut pada sel rambut vestibularis terdiri dari dua puluh sampai lima puluh stereosilia, yaitu mikrovilus yang diperkuat oleh aktin, dan satu silium, kinosilium. Setiap sel rambut berorientasi sedemikian rupa, sehingga sel rambut tersebut mengalami depolarisasi ketika stereosilianya membengkok ke arah kinosilium; pembengkokan ke arah berlawanan menyebabkan hiperpolarisasi sel. Sel-sel rambut membentuk sinaps zat perantara kimiawi dengan ujung-ujung terminal neuron aferen yang akson-aksonnya menyatu dengan akson struktur vestibularis lain untuk memberntuk saraf vestibularis. Saraf ini bersatu dengan saraf auditorius dari koklea untuk membentuk saraf vestibulokoklearis.

Depolarisasi sel-sel rambut meningkatkan kecepatan pembentukan potensial aksi di serat-serat aferen; sebaliknya, ketika sel-sel rambut mengalami hiperpolarisasi, frekuensi potensial aksi di serat aferen menurun.

Sementara kanalis semisirkularis memberikan informasi mengenai perubahan rotasional gerakan kepala kepada SSP, organ otolit memberikan


(1)

8. Seluruh teman-teman angkatan 2010 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini masih banyak hal yang harus disempurnakan. Untuk itu, penulis mengharapkan masukan berupa saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa melimpahkan karuniaNya kepada kita semua, dan penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat diterima dan memberikan informasi serta sumbangan pemikiran yang berguna bagi semua pihak. Terima kasih.

Medan, Desember 2013 Penulis,


(2)

DAFTAR ISI

HALAMAN Lembar Pengesahan ...

i

Abstrak ...

... ii

Abtsract ... ... iii

Kata Pengantar ... ... iv

Daftar Isi ... ... vi

Daftar Tabel ... ... ix

Daftar Lampiran ... ... x

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus ... 3

1.4 Manfaat ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Tuberkulosis Paru ... 5

2.1.1 Definisi ... 5

2.1.2 Etiologi ... 5

2.1.3 Patogenesis dan Patologi ... 5

2.1.4 Gejala Klinis ... 6

2.1.5 Diagnosis ... 7

2.1.6 Pengobatan Tuberkulosis ... 8


(3)

2.2.1 Streptomisin ... 10

2.2.2 Isoniazid ... 11

2.2.3 Rifampisin ... 12

2.2.4 Etambutol ... 13

2.2.5 Pirazinamid ... 14

2.2.6 Etionamid ... 15

2.2.7 Paraaminosalisilat ... 15

2.2.8 Sikloserin ... 16

2.2.9 Amikasin dan Kanamisin ... 16

2.2.10 Kapreomisin ... 17

2.3 Fisiologi Pendengaran ... 17

2.4 Fisiologi Keseimbangan ... 21

2.5 Gangguan Pendengaran Akibat Obat Ototoksik ... 24

2.5.1 Mekanisme Ototoksik pada Telinga ... 25

2.5.2 Mekanisme Ototoksik pada Sistem Vestibular ... 26

2.6 Pemeriksaan Telinga ... 26

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL .... 28

3.1 Kerangka Konsep ... 28

3.2 Definisi Operasional ... 28

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN ... 32

4.1 Jenis Penelitian ... 32

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 32

4.3.1 Populasi ... 32

4.3.2 Sampel ... 33

4.4 Teknik Pengumpulan Data ... 33


(4)

4.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 34

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

5.1 Hasil Penelitian ... 35

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 35

5.1.2 Deskripsi Data Penelitian ... 35

5.2 Pembahasan ... 39

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 43

6.1 Kesimpulan ... 43

6.2 Saran ... 44

DAFTAR PUSTAKA ... 45 LAMPIRAN


(5)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.2. Antimikroba yang digunakan dalam terapi tuberkulosis 10

3.2. Definisi Operasional 28

5.1. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Kelompok Umur

35

5.2. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis Kelamin

36

5.3. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Jenis OAT yang Digunakan

36

5.4. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Durasi Penggunaan OAT

37

5.5. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Fungsi Pendengaran

37

5.6. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Keluhan yang Berhubungan Dengan Pendengaran dan Vestubular

38

5.7. Distribusi Frekuensi Penderita TB Paru Berdasarkan Pemakaian OAT dan Gangguan Pendengaran

38

5.8. Hubungan Pemakaian OAT dengan Gangguan

Pendengaran pada Penderita TB Paru Berdasarkan Uji Chi Square


(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian

Lampiran 2. Lembar penjelasan kepada calon subjek penelitian Lampiran 3. Lembar persetujuan (Informed Consent) penelitian Lampiran 4. Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 5. Data Induk

Lampiran 6. Surat Izin Penelitian dari Fakultas Kedokteran USU

Lampiran 7. Surat Izin Penelitian dari Instalasi Rawat Jalan RSUP HAM Medan Lampiran 8. Persetujuan Komisi Etik


Dokumen yang terkait

Jumlah Penularan Tuberkulosis Paru Dalam Satu Keluarga Dengan Melakukan Penelusuran Kontak Di Kecamatan Medan Tembung 2013

0 30 112

Hubungan Hilangnya Gejala Klinis Tuberkulosis Paru Dengan Kepatuhan Pengobatan di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan Tahun 2012

1 72 109

Angka Kejadian Hepatotoksisitas pada Penderita Tuberkulosis Paru Pengguna Obat Anti Tuberkulosis Lini Pertama Di RSUP Haji Adam Malik Tahun 2010

12 121 83

Gambaran kadar gula darah pada penderita Tuberkulosis Paru di Rumah Sakit Haji Adam Malik, Medan Tahun 2009

19 127 45

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 13

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 2

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 1 4

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 23

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 5

Hubungan Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan Gangguan Pendengaran pada Penderita Tuberkulosis (TB) Paru di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2013

0 0 17